Anda di halaman 1dari 165

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Umum Tentang Efektivitas Hukum


a. Teori Efektivitas Hukum

Teori efektivitas hukum dikemukakan oleh Bronislaw Malinowski


dan Soerjono Soekanto. Bronislaw Malinowski (1884-1942) menyajikan
teori efektivitas pengendalian sosial atau hukum. Bronislaw Malinowski
menyajikan teori efektivitas hukum dengan menganalisis tiga masalah
yang meliputi:

1) Dalam masyarakat modern, tata tertib kemasyarakatan dijaga antara


lain oleh suatu sistem pengendalian sosial yang bersifat memaksa,
yaitu hukum, untuk melaksanakannya hukum didukung oleh suatu
sistem alat-alat kekuasaan (kepolisian, pengadilan dan sebagainya)
yang diorganisasi oleh suatu negara.

2) Dalam masyarakat primitif alat-alat kekuasaan serupa itu kadang-


kadang tidak ada.

3) Dengan demikian apakah dalam masyarakat primitif tidak ada


hukum.1

Bronislaw Malinowski menganalisis efektivitas hukum dalam


masyarakat. Masyarakat dapat dibedakan menjadi 2 yaitu masyarakat
modern dan masyarakat primitif. Masyarakat modern merupakan
masyarakat yang perekonomiannya berdasarkan pasar secara luas,
spesialisasi di bidang industri dan pemakaian teknologi canggih. Dalam
masyarakat modern, hukum yang dibuat dan ditetapkan oleh pejabat yang
berwenang itu ditegakkan oleh kepolisian, pengadilan dan sebagainya,
sedang masyarakat primitif merupakan masyarakat yang

1
Koentjaraningrat dalam H. Halim HS, Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum pada
Penelitian Tesis dan Disertasi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014, hal. 305

5
6

mempunyai sistem ekonomi yang sederhana dan dalam masyarakat


primitif tidak mengenal alat-alat kekuasaan.

Soerjono Soekanto mengatakan bahwa efektif adalah taraf sejauh


mana suatu kelompok dapat mencapai tujuannya. Hukum dapat
dikatakan efektif jika terdapat dampak hukum yang positif, pada saat itu
hukum mencapai sasarannya dalam membimbing ataupun merubah
perilaku manusia sehingga menjadi perilaku hukum. Sehubungan dengan
persoalan efektivitas hukum, pengidentikkan hukum tidak hanya dengan
unsur paksaan eksternal namun juga dengan proses pengadilan. Ancaman
paksaan pun merupakan unsur yang mutlak ada agar suatu kaidah dapat
dikategorikan sebagai hukum, maka tentu saja unsur paksaan inipun erat
kaitannya dengan efektif atau tidaknya suatu ketentuan atau aturan
hukum.2

Membicarakan tentang efektivitas hukum berarti membicarakan


daya kerja hukum itu dalam mengatur dan atau memaksa masyarakat
untuk taat terhadap hukum. Hukum dapat efektif jikalau faktor-faktor
yang mempengaruhi hukum tersebut dapat berfungsi dengan sebaik-
baiknya. Ukuran efektif atau tidaknya suatu peraturan perundang-
undangan yang berlaku dapat dilihat dari perilaku masyarakat. Suatu
hukum atau peraturan perundang-undangan akan efektif apabila warga
masyarakat berperilaku sesuai dengan yang diharapkan atau dikehendaki
oleh atau peraturan perundang-undangan tersebut mencapai tujuan yang
dikehendaki, maka efektivitas hukum atau peraturan perundang-
undangan tersebut telah dicapai.

Teori efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto adalah


bahwa efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor,
yaitu :3
2
Soerjono Soekanto, Efektivitas Hukum dan Penerapan Sanksi, (Bandung : CV. Ramadja Karya,

1988), hal 80.

3
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 2008), hal. 8.
7

1) Faktor hukumnya sendiri (undang-undang).

2) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun


menerapkan hukum.

3) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

4) Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku


atau diterapkan.

5) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Kelima faktor di atas saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena


merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur
daripada efektivitas penegakan hukum. Pada elemen pertama, yang
menentukan dapat berfungsinya hukum tertulis tersebut dengan baik atau
tidak adalah tergantung dari aturan hukum itu sendiri.

Teori efektivitas hukum yang dikemukakan Soerjono Soekanto


tersebut relevan dengan teori yang dikemukakan oleh Romli Atmasasmita
yaitu bahwa faktor-faktor yang menghambat efektivitas penegakan
hukum tidak hanya terletak pada sikap mental aparatur penegak hukum
(hakim, jaksa, polisi dan penasihat hukum) akan tetapi juga terletak pada
faktor sosialisasi hukum yang sering diabaikan.4

Menurut Soerjono Soekanto ukuran efektivitas pada elemen


pertama adalah :5

1) Peraturan yang ada mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu sudah


cukup sistematis.

2) Peraturan yang ada mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu sudah


cukup sinkron, secara hierarki dan horizontal tidak ada pertentangan.
3) Secara kualitatif dan kuantitatif peraturan-peraturan yang mengatur
bidang-bidang kehidupan tertentu sudah mencukupi.

4) Penerbitan peraturan-peraturan tertentu sudah sesuai dengan


persyaratan yuridis yang ada.

4
Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia &Penegakan Hukum, (Bandung :

Mandar Maju, 2001), hal. 55.


5
Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, (Bandung : Bina Cipta, 1983), hal. 80.
8

Pada elemen kedua yang menentukan efektif atau tidaknya kinerja


hukum tertulis adalah aparat penegak hukum. Dalam hubungan ini
dikehendaki adanya aparatur yang handal sehingga aparat tersebut dapat
melakukan tugasnya dengan baik. Kehandalan dalam kaitannya disini
adalah meliputi keterampilan profesional dan mempunyai mental yang
baik.

Menurut Soerjono Soekanto bahwa masalah yang berpengaruh


terhadap efektivitas hukum tertulis ditinjau dari segi aparat akan
tergantung pada hal berikut :6

1) Sampai sejauh mana petugas terikat oleh peraturan-peraturan yang


ada.

2) Sampai mana petugas diperkenankan memberikan kebijaksanaan.

3) Teladan macam apa yang sebaiknya diberikan oleh petugas kepada


masyarakat.

4) Sampai sejauh mana derajat sinkronisasi penugasan-penugasan yang


diberikan kepada petugas sehingga memberikan batas-batas yang
tegas pada wewenangnya.

Pada elemen ketiga, tersedianya fasilitas yang berwujud sarana

dan prasarana bagi aparat pelaksana di dalam melakukan tugasnya. Sarana


dan prasarana yang dimaksud adalah prasarana atau fasilitas yang
digunakan sebagai alat untuk mencapai efektivitas hukum. Sehubungan
dengan sarana dan prasarana yang dikatakan dengan istilah fasilitas ini,
Soerjono Soekanto memprediksi patokan efektivitas elemen-elemen
tertentu dari prasarana. Prasarana tersebut harus secara jelas memang
menjadi bagian yang memberikan kontribusi untuk kelancaran tugas-tugas
aparat di tempat atau lokasi kerjanya. Adapun elemen-elemen tersebut
adalah :7

1) Prasarana yang telah ada apakah telah terpelihara dengan baik.

6
Ibid., hal. 82.
7 Loc. Cit.
9

2) Prasarana yang belum ada perlu diadakan dengan memperhitungkan


angka waktu pengadaannya.

3) Prasarana yang kurang perlu segera dilengkapi.

4) Prasarana yang rusak perlu segera diperbaiki.

5) Prasarana yang macet perlu segera dilancarkan fungsinya.

6) Prasarana yang mengalami kemunduran fungsi perlu ditingkatkan lagi

fungsinya.

Ada beberapa elemen pengukur efektivitas yang tergantung dari kondisi


masyarakat, yaitu:

1) Faktor penyebab masyarakat tidak mematuhi aturan walaupun


peraturan yang baik.

2) Faktor penyebab masyarakat tidak mematuhi peraturan walaupun


peraturan sangat baik dan aparat sudah sangat berwibawa.

3) Faktor penyebab masyarakat tidak mematuhi peraturan baik, petugas

atau aparat berwibawa serta fasilitas mencukupi.

Elemen tersebut di atas memberikan pemahaman bahwa disiplin


dan kepatuhan masyarakat tergantung dari motivasi yang secara internal
muncul. Internalisasi faktor ini ada pada tiap individu yang menjadi
elemen terkecil dari komunitas sosial. Oleh karena itu pendekatan paling
tepat dalam hubungan disiplin ini adalah melalui motivasi yang
ditanamkan secara individual. Dalam hal ini, derajat kepatuhan hukum
masyarakat menjadi salah satu parameter tentang efektif atau tidaknya
hukum itu diberlakukan sedangkan kepatuhan masyarakat tersebut dapat
dimotivasi oleh berbagai penyebab, baik yang ditimbulkan oleh kondisi
internal maupun eksternal.

Kondisi internal muncul karena ada dorongan tertentu baik yang


bersifat positif maupun negatif. Dorongan positif dapat muncul karena
adanya rangsangan yang positif yang menyebabkan seseorang tergerak
untuk melakukan sesuatu yang bersifat positif. Dorongan yang bersifat
negatif dapat muncul karena adanya rangsangan yang sifatnya negatif
seperti perlakuan tidak adil dan sebagainya. Dorongan yang sifatnya
10

eksternal karena adanya semacam tekanan dari luar yang mengharuskan


atau bersifat memaksa agar warga masyarakat tunduk kepada hukum.
Pada takaran umum, keharusan warga masyarakat untuk tunduk dan
menaati hukum disebabkan karena adanya sanksi atau punishment yang
menimbulkan rasa takut atau tidak nyaman sehingga lebih memilih taat
hukum daripada melakukan pelanggaran. Motivasi ini biasanya bersifat
sementara atau hanya temporer.

b. Kompleksitas bekerja hukum

Berlakunya hukum dibedakan atas tiga hal, yaitu berlakunya


secara filosofis, yuridis, dan sosiologis. Bagi studi hukum dalam
masyarakat maka yang penting adalah hal berlakunya hukum secara
sosiologis, yang intinya adalah efektivitas hukum. Studi efektivitas
hukum merupakan suatu kegiatan yang memperlihatkan suatu strategi
perumusan masalah yang bersifat umum, yaitu suatu perbandingan antara
realistas hukum dan ideal hukum, secara khusus terlihat jenjang antara
hukum dalam tindakan (law in action) dengan hukum dalam teori (law in
theory), atau dengan perkataan lain, kegiatan ini akan memperlihatkan
kaitan antara law in book dan law in action.8

Realitas hukum menyangkut perilaku dan apabila hukum itu


dinyatakan berlaku, berarti menemukan perilaku hukum yaitu perilaku
yang sesuai dengan ideal hukum, dengan demikian apabila ditemukan
perilaku yang tidak sesuai dengan (ideal) hukum, yaitu tidak sesuai
dengan rumusan yang ada pada undang-undang atau keputusan hakim
(case law), dapat berarti bahwa diketemukan keadaan dimana ideal
hukum tidak berlaku. Hal tersebut juga mengingat bahwa perilaku hukum
itu terbentuk karena faktor motif dan gagasan, maka tentu saja bila
ditemukan perilaku yag tidak sesuai dengan hukum berarti ada faktor
penghalang atau ada kendala bagi terwujudnya perilaku sesuai dengan
hukum.

8
Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti
11

Masyarakat dan ketertiban merupakan dua hal yang berhubungan


sangat erat, bahkan bisa juga dikatakan sebagai dua sisi dari satu mata
uang. Susah untuk mengatakan adanya masyarakat tanpa ada suatu
ketertiban, bagaimanapun kualitasnya. Ketertiban dalam masyarakat
diciptakan bersama-sama oleh berbagai lembaga secara bersama-sama
seperti hukum dan tradisi. Oleh karena itu dalam masyarakat juga
dijumpai berbagai macam norma yang masing-masing memberikan
sahamnya dalam menciptakan ketertiban itu. Kehidupan dalam
masyarakat yang sedikit banyak berjalan dengan tertib dan teratur ini
didukung oleh adanya suatu tatanan. Karena adanya tatanan inilah
kehidupan menjadi tertib.

Suatu tatanan yang ada dalam masyarakat sesungguhnya terdiri


dari suatu kompleks tatanan, yaitu terdiri dari sub-sub tatanan yang
berupa kebiasaan, hukum dan kesusilaan, dengan demikian ketertiban
yang terdapat dalam masyarakat itu senantiasa terdiri dari ketiga tatanan
tersebut. Keadaan yang demikian ini memberikan pengaruhnya tersendiri
terhadap masalah efektivitas tatanan dalam masyarakat. Efektivitas ini
bisa dilihat dari segi peraturan hukum, sehingga ukuran-ukuran untuk
menilai tingkah laku dan hubungan-hubungan antara orang-orang
didasarkan pada hukum atau tatanan hukum.

Bekerjanya hukum sangat dipengaruhi oleh kekuatan atau faktor-


faktor sosial dan personal. Faktor sosial dan personal tidak hanya
berpengaruh terhadap rakyat sebagai sasaran yang diatur oleh hukum,
melainkan juga terhadap lembaga-lembaga hukum. Akhir dari pekerjaan
tatanan dalam masyarakat tidak bisa hanya dimonopoli oleh hukum.
Tingkah laku masyarakat tidak hanya ditentukan oleh hukum, melainkan
juga oleh kekuatan sosial dan personal lainnya.9
9
Ibid.
12

c. Pengertian Sanksi Pidana

Sanksi pidana atau sering disebut pidana saja (yang selanjutnya


disebut pidana) merupakan istilah yang lebih khusus dari istilah hukuman.
Hukum adalah suatu istilah yang luas sehingga sulit untuk didefinisikan
pernyataan berikut menyampaikan beberapa makna yang terkait dengan
istilah tersebut:

1) Hukum berarti aturan perilaku sipil, yaitu perintah apa yang benar dan
melarang apa yang salah.

2) Hukum merupakan aturan bagi individu dan masyarakat beradap hidup


dan mempertahankan hubungan satu sama lain. Ini mencakup semua

pengundang legeslatif dan kontrol didirikan tindakan manusia.10


Maka perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang

dapat menunjukkan ciri-ciri atau sifat-sifatnya yang khas. Agar


memberikan gambaran yang lebih luas, berikut dikemukakan beberapa
difinisi atau pendapat dari para sarjana sebagai berikut :

1) Pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang
dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu.11
2) Pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang

melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.12


Berdasarkan kedua definisi di atas dapatlah dinyatakan, bahwa

pidana mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut:

1) Pidana pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau


nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;
2) Pidana diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang
mempunyai kekuasaan (yang berwenang);

3) Pidana dikenakan kepada sesorang yang telah melakukan tindak


pidana menurut undang-undang.

10
Joseph T. Bockrah. Contracts and The Legal Enviroument for Engineers and Architects, The
McGraw-Hill Companies. Inc, United States of America, 2000, hal. 5
11
Saleh, Roeslan, Stelsel Pidana Indonesia, (Jakarta : Aksara Baru, 1978), hal. 10.
12 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung : Alumni, 1981), hal. 5.
13

Selain ketiga unsur di atas, pidana harus juga merupakan pernyataan


pencelaan terhadap diri si pelaku. Penambahan unsur pencelaan ini
dimaksudkan untuk membedakan secara jelas antara pidana (punishment)
dengan tindakan perlakuan perlakuan (treatment).13 “Concept of
punishment bertolak pada dua syarat atau tujuan, yaitu: (a) pidana
ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap orang yang bersangkutan;
dan (b) pidana itu merupakan suatu pernyataan pencelaan terhadap
perbuatan si pelaku”.

Dengan demikian perbedaan antara punishment dengan treatment


tidak didasarkan pada ada tidaknya unsur pertama, yaitu “penderitaan”,
tetapi harus didasarkan pada ada tidaknya “pencelaan” sebagai unsur
kedua.14

Tidak semua sarjana berpendapat bahwa pidana pada hakekatnya


adalah suatu penderitaan atau nestapa. Hakekat pidana adalah
menyerukan untuk tertib (tot de orde roepen). Pidana pada hakekatnya
mempunyai dua tujuan, yakni untuk mempengaruhi tingkah laku
(gedragsbeinvloeding) dan penyelesaian konflik atau perbaikan hubungan
yang dirusak antar sesama manusia.

Ada yang menyatakan tidak setuju dengan pendapat bahwa pidana


merupakan suatu pencelaan (censure) atau suatu penjeraan
(discouragement) atau merupakan suatu penderitaan (suffering). Ketidak
setujuan ini bertolak pada pengertian yang luas, bahwa sanksi dalam
hukum pidana adalah semua reaksi terhadap pelanggaran hukum yang
telah ditentukan oleh undang-undang, sejak penahanan dan pengusutan
tersangka oleh polisi sampai vonis dijatuhkan. Keseluruhan proses pidana
itu sendiri (sejak penahanan, pemeriksaan sampai vonis dijatuhkan)
merupakan suatu pidana.15
Bertolak dari uraian di atas dapat dinyatakan, bahwa pidana
mengandung dua arti. Pertama dalam arti luas, adalah keseluruhan proses

13
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung : Alumni, 1984), hal. 5.
14 Ibid., hal. 7.

15 Ibid., hal. 9.
14

pidana itu sendiri (sejak penahanan, pemeriksaan sampai vonis


dijatuhkan). Kedua, dalam arti sempit adalah pengenaan penderitaan dan
pencelaan kepada pelaku tindak pidana.

2. Tinjauan Umum Tentang Perseroan Terbatas


a. Pengertian Perseroan Terbatas

Peraturan yang mengatur Perseroan Terbatas (PT) diatur di dalam


Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,
sehingga merupakan suatu kemudahan bagi para pihak untuk mendirikan
dan menyelenggarakan usaha Perseroan Terbatas. Pasal 1 angka 1
Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 disebutkan bahwa:

“Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut perseroan adalah badan


hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan
perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang
seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang
ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya
pelaksanaannya”.

Perseroan Terbatas dalam bahasa Belanda disebut Naamloze


Vennotschap (NV) artinya perseroan tanpa nama, yang dimaksud tanpa
nama ialah tanpa nama perseorangan yang memasukkan modalnya,
yang sebenarnya bentuk tersebut diambil dari bahasa Perancis yang
disebut Societe Anonyme (SA). Di dalam bahasa Indonesia disebut
Perseroan Terbatas diambil dari bahasa Inggris yaitu “Limited” yang
artinya terbatas atau berhingga, yang dimaksud adalah terbatas pada
modal dan kekayaan perusahaan saja tidak termasuk kekayaan pribadi
perseronya.16

Selain itu Perseroan Terbatas dapat pula diartikan sebagai suatu


asosiasi pemegang saham yang diciptakan oleh hukum dan diberlakukan
sebagai manusia semu (artificial person) oleh pengadilan, yang
merupakan badan hukum karenanya sama sekali terpisah dengan orang-
orang yang mendirikannya dengan mempunyai kapasitas untuk
bereksistensi yang terus menerus dan sebagai suatu badan hukum,

16
Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia, (Bandung : PT. Alumni, 2005), hal. 111.
15

perseroan terbatas berwenang untuk menerima, memegang dan


mengalihkan harta kekayaan, menggugat atau digugat dan
melaksanakan kewenangan-kewenangannya lainnya yang diberikan oleh
hukum yang berlaku (Steven, 1984: 100).17

Pengertian-pengertian lain yang berkaitan dengan Perseroan


Terbatas adalah sebagai berikut : 18

1) Suatu manusia semu (artificial person) atau badan hukum (legal


entity) yang diciptakan oleh hukum, yang dapat saja (sesuai hukum
setempat) hanya terdiri dari 1 (satu) orang anggota saja beserta para
ahli warisnya, tetapi yang lebih lazim terdiri dari sekelompok
individu sebagai anggota, yang oleh hukum badan hukum tersebut
dipandang terpisah dari para anggotanya karena keberadaannya tetap
eksis terlepas dari saling bergantinya para anggota, badan hukum
mana dapat berdiri untuk waktu yang tidak terbatas (sesuai hukum
setempat) atau berdiri untuk jangka waktu tertentu dan dapat
melakukan kegiatan sendiri untuk kepentingan bersama dari
anggota, kegiatan mana dalam ruang lingkup yang ditentukan oleh
hukum yang berlaku.

2) Suatu manusia semu yang diciptakan oleh hukum yang terdiri dari
baik 1 (satu) orang (corporatiaon sole) maupun yang terdiri dari
sekumpulan atau beberapa orang anggota, yakni yang disebut
dengan perusahaan banyak orang (corporation aggregate).

3) Suatu badan intelektual (intellektual body) yang diciptakan oleh


hukum, yang terdiri dari beberapa orang individu, yang bernaung di
bawah 1 (satu) nama bersama, Perseroan Terbatas tersebut sebagai
badan intelektual tetap sama dan eksis meskipun para anggotanya
saling berubah-ubah.
17
Munir Fuady, Perseroan Terbatas Paradigma Baru, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 2.
18 Loc .Cit.
16

b. Klasifikasi Perseroan Terbatas

Suatu perseroan dapat diklasifikasikan dalam beberapa bentuk jika


dilihat dari beberapa kriteria, yaitu sebagai berikut:

1) Dilihat dari banyaknya pemegang saham, jika dilihat dari banyaknya


pemegang saham, suatu perseroan terbatas dapat dibagi ke dalam19 :

a) Perusahaan Tertutup

Perusahaan tertutup adalah suatu perseroan terbatas yang belum


pernah menawarkan sahamnya kepada publik melalui penawaran
umum dan jumlah pemegang sahamnya belum memenuhi jumlah
pemegang saham suatu perusahan publik, perusahaan tertutup ini
berlaku Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas.

b) Perusahaan Terbuka

Perusahaan terbuka (PT Tbk.) adalah suatu Perseroan Terbatas


yang telah melakukan penawaran umum atas sahamnya atau telah
memenuhi syarat dan telah memproses dirinya menjadi
perusahaan publik, sehingga telah memiliki pemegang saham
publik dimana perdagangan saham sudah dapat dilakukan di
bursa-bursa efek. Terhadap perusahaan terbuka ini berlaku
Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas maupun Undang
undang tentang Pasar Modal.

c) Perusahaan Publik

Perusahaan publik adalah perusahaan dimana keterbukaannya


tidak melalui proses penawaran umum, tetapi melalui proses
khusus, setelah memenuhi syarat untuk menjadi perusahaan
publik, antara lain jumlah pemegang sahamnya yang sudah
mencapai pemegang sahamnya, yang oleh Undang-Undang Pasar
Modal ditentukan jumlah pemegang sahamnya minimal sudah
menjadi 300 (tiga ratus) orang. Terhadap perusahaan

19
Ahmad Yani, dkk. Seri Hukum Bisnis Perseroan Terbatas. (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada), hal. 7
17

publik ini berlaku, baik Undang- Undang tentang Perseroan


Terbatas maupun Undang-Undang tentang Pasar Modal.

2) Dilihat dari jenis Penanaman Modal

Jika dilihat dari segi jenis penanaman modalnya, suatu Perseroan


Terbatas dapat dibagi ke dalam beberapa jenis, yaitu20 :

a) Perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN)

Perusahaan Modal Dalam Negeri adalah suatu perusahaan


yang didalamnya terdapat penanaman modal dari sumber dalam
negeri dan perusahaan tersebut telah diproses menjadi perusahaan
Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Terhadap perusahaan
PMDN ini berlaku Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas
dan Undang-Undang tentang Pasar Modal.

b) Perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA)

Perusahaan Modal Asing adalah suatu Perseroan Terbatas yang


sebagian atau seluruh modal sahamnya beasal dari luar negeri,
sehingga mendapat perlakuan khusus dari pemerintah. Terhadap
perusahaan PMA ini berlaku Undang-Undang tentang Perseroan
Terbatas dan Undang-Undang tentang Pasar Modal.

c) Perusahaan Non-Penanaman Modal Asing (PMA)/Penanaman


Modal Dalam Negeri (PMDN)

Perusahaan Non-Penanaman Modal Asing (PMA)/Penanaman


Modal Dalam Negeri (PMDN) adalah perusahaan domestik yang
tidak memperoleh status sebagai perusahaan PMDN, sehingga
tidak mendapat fasilitas dari pemerintah. Terhadap Perusahaan
Non-Penanaman Modal Asing (PMA)/Penanaman Modal Dalam
Negeri (PMDN) ini pada pokoknya berlaku Undang-Undang
tentang Perseroan Terbatas.

20
Ibid.
18

3) Dilihat dari keikutsertaan pemerintah

Perseroan Terbatas dilihat dari keikutsertaan pemerintah, dapat dibagi


ke dalam :

a) Perusahaan Swasta

Perusahaan swasta adalah adalah suatu perseroan dimana seluruh


sahamnya dipegang oleh pihak swasta tanpa ada saham
pemerintah di dalamnya. Terhadap perusahaan swasta ini pada
pokoknya berlaku Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas.

b) Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah suatu perusahaan di


dalamnya terdapat saham yang dimiliki oleh pihak pemerintah.
Jika BUMN tersebut berbentuk Perseroan Terbatas maka
perusahaan tersebut disebut Perseroan Terbatas Persero (PT
Persero). Terhadap perusahaan BUMN ini berlaku Undang-
Undang tentang PerseroanTerbatas dan perundang-undangan yang
berkaitan dengan BUMN.

c) Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)

Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) merupakan salah satu varian


dari BUMN, unsur pemerintah yang memegang saham di
dalamnya adalah pemerintah daerah setempat, karena itu untuk
BUMD tersebut berlaku juga kebijaksanaan dan peraturan daerah
setempat

4) Dilihat dari sedikitnya pemegang saham

Jika dilihat dari sedikitnya pemegang saham, suatu Perseroan Terbatas


dapat dibagi ke dalam :
a) Perusahaan Pemegang Saham Tunggal (Corporation Sole)
Perusahaan Pemegang Saham Tunggal (Corporation Sole) adalah
suatu Perseroan Terbatas di mana pemegang sahamnya hanya
terdiri dari satu orang saja. UUPT Nomor 1 Tahun 1995 tidak
memungkinkan eksistensi perusahaan pemegang saham tunggal
ini. UUPT hanya memungkinkan adanya pemegang saham
19

tunggal dalam suatu Perseroan Terbatas hanya dalam hal sebagai


berikut:

(1) Jika perusahaan tersebut adalah BUMN

(2) Dalam waktu maksimal 6 (enam) bulan setelah terjadinya


perusahaan pemegang saham tunggal

b) Perusahaan Pemegang Saham Banyak (Corporation Agregate)


Yaitu Perseroan Terbatas yang jumlah pemegang sahamnya 2
(dua) orang atau lebih. Pada prinsipnya Perseroan Terbatas seperti
inilah yang dikehendaki oleh UUPT.

5) Dilihat dari hubungan saling memegang saham

Dilihat dari hubungan saling memegang saham, suatu Perseroan


Terbatas dapat dibagi ke dalam :

a) Perusahaan Induk (Holding)

Yaitu perseroan terbatas yang ikut dalam memegang saham dalam


beberapa perusahaan lain.

b) Perusahaan Anak (Subsidary)

Yaitu Perseroan Terbatas di mana ada saham-sahamnya dipegang


oleh perusahaan holding.

c) Perusahaan Terafiliasi (Afiliate)

Yaitu perusahaan dimana adanya hubungan antar anak perusahaan


dalam 1 (satu) induk perusahaan disebut hubungan terafiliasi.

6) Dilihat dari segi kelengkapan proses pendirian


Dilihat dari segi kelengkapan proses pendirian, suatu Perseroan
Terbatas dapat dibagi ke dalam :

a) Perusahaan de jure

Yaitu suatu Perseroan Terbatas yang didirikan secara wajar dan


memenuhi segala formalitas dalam proses pendiriannya, mulai dari
pembuatan akta pendirian secara notariil sampai dengan
pengesahan aktanya oleh Menteri, serta pendaftarannya dalam
Daftar Perusahaan dan pengumumannya dalam Berita Negara.
20

b) Perusahaan de facto

Yaitu Perseroan Terbatas yang secara itikad baik diyakini


oleh pendirinya sebagai suatu perseroan terbatas yang legal, tetapi
tanpa disadarinya ada cacat yuridis dalam proses pendiriannya,
sehingga eksistensinya secara de jure diragukan, tetapi perseroan
tersebut tetap saja berbisnis sebagaimana perseroan normal
lainnya. Menurut hukum Indonesia ada konsekuensi tertentu dari
ketidakadaaan salah satu mata rantai dalam proses pendirian
Perseroan Terbatas.

Perseroan Terbatas yang tidak disahkan oleh Menteri


misalnya, maka badan hukum dari perusahaan tersebut tidak
pernah ada, sehingga para pendirinya bertangung jawab secara
renteng, sementara jika terjadi kealpaan dalam proses pendaftaran
dan pengumuman perseroan, tetapi perseroan tersebut telah
disahkan oleh Menteri, maka badan hukum tersebut sudah eksis
tetapi belum berlaku terhadap pihak ketiga, sehingga yang harus
bertanggung jawab terhadap pihak ketiga adalah pihak direksinya.

c. Persyaratan dan Prosedur Pendirian Perseroan Terbatas

1) Persyaratan Pendirian Perseroan Terbatas

Ada 3 (tiga) syarat utama yang harus dipenuhi oleh pendiri perseroan,
ketiga persyaratan tersebut adalah sebagai berikut :21

a) Didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih

Pasal 7 UUPT menyatakan bahwa perseroan harus


didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan akta Notaris yang
dibuat dalam bahasa Indonesia. Istilah mengenai orang
sebagaimana di atas adalah orang perseorangan atau badan
hukum. Rumusan ini pada dasarnya mempertegas kembali makna
perjanjian sebagaimana diatur dalam ketentuan umum mengenai

21
Abdul Kadir Muhammad, Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia, (Bandung : PT. Citra Aditya
Bakti, 1995), hal. 77.
21

perjanjian yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum


Perdata.22

Perjanjian pembentukan Perseroan Terbatas ini juga


tunduk sepenuhnya pada syarat-syarat sahnya perjanjian
sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, disamping ketentuan khusus yang di atur dalam
UUPT. Menurut Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, suatu perjanjian hanya sah jika :23

(1) Pihak yang berjanji adalah mereka yang cakap dalam hukum
dengan pengertian bahwa pihak tersebut dianggap mampu
untuk melakukan tindakan atau perbuatan hukum;

(2) Dilakukan berdasarkan kesepakatan sukarela antara para


pihak yang berjanji;

(3) Adanya suatu objek yang diperjanjikan;

(4) Bahwa perjanjian tersebut meliputi sesuatu yang halal, yang


diperkenankan oleh hukum, peraturan perundang-undangan
yang berlaku, ketertiban umum, kesusilaan, kepatutan dan
kebiasaan yang berlaku di masyarakat.

b) Didirikan dengan akta otentik

Perjanjian pendirian Perseroan Terbatas yang dilakukan


oleh para pendiri tersebut dituangkan dalam suatu akta Notaris,
yang berarti harus otentik, tidak boleh dibawah tangan melainkan
oleh pejabat umum dan dalam bahasa Indonesia, bukan dalam
bahasa Inggris atau bahasa-bahasa lain, tetapi itu bukan berarti
bahwa tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa lain.24
Akta notariil merupakan akta otentik, dalam hukum
pembuktian akta otentik dipandang sebagai alat bukti yang

22
CST. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia, (Jakarta : Pradnya Paramita,
2001), hal. 116.
23
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Perseroan Terbatas, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2003), hal. 11.
24
I.G. Rai Widjaya, Hukum Perusahaan, (Jakarta : Kesaint Blanc, 2000), hal. 153.
22

mengikat dan sempurna, maksudnya adalah bahwa apa yang


ditulis dalam akta tersebut harus dipercaya kebenarannya dan tidak
memerlukan tambahan alat bukti lain, berbeda dengan akta di
bawah tangan, baru akan menjadi alat bukti yang sempurna
apabila isinya diakui para pihak yang membuatnya.25

c) Modal dasar perseroan

Pada saat perseroan didirikan, undang-undang menentukan


bahwa besarnya modal dasar sekurang-kurangnya Rp.50.000.000,-
(lima puluh juta rupiah), dengan ketentuan bahwa modal yang
disetor dan ditempatkan sekurang-kurangnnya berjumlah 25%
(dua puluh lima persen) dari modal dasar.

2) Prosedur Pendirian Perseroan Terbatas

Setelah persyaratan terpenuhi, maka pendirian Perseroan


Terbatas harus mengikuti langkah-langkah yang ditentukan oleh
UUPT sebagai berikut:26

a) Pembuatan akta pendirian di muka Notaris

Perjanjian pendirian Perseroan Terbatas yang dilakukan


oleh para pendiri tersebut dituangkan dalam suatu akta Notaris
yang disebut dengan Akta Pendirian. Akta Pendirian pada
dasarnya mengatur berbagai macam hak-hak dan kewajiban para
pendiri perseroan dalam mengelola dan menjalankan Perseroan
Terbatas tersebut, hak-hak dan kewajiban tersebut yang
merupakan isi perjanjian selanjutnya disebut Anggaran Dasar
perseroan, sebagaimana ditegaskan kembali dalam Pasal 8 ayat (1)
UUPT.27
Dalam suatu Akta Pendirian memuat Anggaran Dasar dan
keterangan lain, sekurang-kurangnya:28

25
Gatot Supramono, Hukum Perseroan Terbatas Yang Baru, (Jakarta : Djambatan, 1996), hal. 6.
26
Abdul Kadir Muhammad, Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia, (Bandung : PT. Citra Aditya
Bakti, 1995), hal. 79.
27
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Op.Cit., hal. 12.
28 C.S.T. Kansil, Op. Cit., hal. 118.
23

(1) Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, tempat


tinggal dan kewarganegaraan pendiri. Dalam mendirikan
perseroan diperlukan kejelasan mengenai kewarganegaraan
pendiri, pada dasarnya badan hukum Indonesia yang berbentuk
perseroan didirikan oleh warga negara Indonesia, namun
demikian kepada warga negara asing diberi kesempatan untuk

mendirikan badan hukum Indonesia yang berbentuk perseroan

sepanjang undang-undang yang mengatur bidang usaha


perseroan tersebut memungkinkan atau pendirian perseroan
tersebut diatur dengan undang-undang tersendiri;

(2) Susunan, nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan,


tempat tinggal dan kewarganegaraan anggota direksi dan
komisaris yang pertama kali di angkat;

(3) Nama pemegang saham yang telah mengambil bagian saham,


rincian jumlah saham dan nilai nominal atau nilai yang
diperjanjikan dari saham yang telah ditempatkan dan disetor
pada saat pendirian. Yang dimaksud dengan mengambil saham
adalah jumlah saham yang diambil oleh pemegang saham pada

saat pendirian perseroan.

Namun dalam suatu akta pendirian tidak boleh memuat hal-hal yang
berkaitan dengan :29

(1) Ketentuan tentang penerimaan bunga tetap atas saham,

(2) Ketentuan tentang pemberian keuntungan pribadi kepada pendiri


atau pihak lain. (Pasal 8 UUPT).
Untuk membuat akta pendirian tersebut undang-undang
memberi kebebasan kepada pendiri Perseroan Terbatas, apakah akta
tersebut dibuat sendiri oleh mereka atau oleh kuasanya (Pasal 7 ayat
(7) UUPT). Kemungkinan ini dapat terjadi apabila pendiri Perseroan
Terbatas sedang berhalangan atau kurang memahami dalam
pembuatannya, sehingga mereka menunjuk wakilnya dengan

29
Loc. Cit.
24

terlebih dahulu membuat surat kuasa. UUPT tidak mengharuskan


bahwa surat kuasa itu dibuat dengan akta otentik, yang berarti dapat
dibuat dengan akta di bawah tangan.30

b) Pengesahan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia

Cara untuk memperoleh pengesahan terhadap Perseroan Terbatas:

(1) Untuk memperoleh pengesahan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas, menetapkan bahwa untuk
memperoleh Keputusan Menteri maka prosedur dan tata cara
permohonan pengesahan Perseroan Terbatas dilakukan melalui
jasa teknologi informasi Sistem Administrasi Badan Hukum
secara elektronik.

(2) Pengesahan sebagaimana dimaksud di atas diberikan dalam


waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak
pemesanan nama perseroan dan 30 (tiga puluh) hari terhitung
sejak penandatangan akta perseroan.

c) Pendaftaran Perseroan

Suatu Perseroan Terbatas untuk dapat diakui sebagai badan


hukum dengan segala konsekuensi hukumnya, maka akta
pendirian suatu Perseroan Terbatas harus disetujui oleh Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia terlebih dahulu, selanjutnya untuk
melindungi kepentingan Direksi perseroan, maka perseroan
tersebut harus didaftarkan dalam daftar perusahaan dan
diumumkan dalam Berita Negara.31

Direksi perseroan wajib mendaftarkan dalam Daftar


Perusahaan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam
Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar
Perusahaan (WDP), hal-hal yang harus didaftarkan adalah:32

30
Supramono Gatot, Hukum Perseroan Terbatas Yang Baru, (Jakarta : Djambatan, 1996), hal. 7.
31
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Perseroan Terbatas, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2003), hal. 11.
32
I.G. Rai Widjaya, Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, (Jakarta : Kesaint Blanc, 2003), hal. 23.
25

(1) Akta Pendirian beserta surat pengesahan Menteri Hukum dan


Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Perseroan
memperoleh status badan hukum setelah Akta Pendirian
Perseroan disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia sesuai dengan Pasal 7 ayat (6) UUPT);

(2) Akta Perubahan Anggaran Dasar beserta surat persetujuan


Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
(Perubahan tertentu Anggaran Dasar sesuai dengan Pasal 15
ayat (2) UUPT);

(3) Akta Perubahan Anggaran Dasar beserta laporan kepada


Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
(Perubahan Anggaran Dasar yang cukup dilaporkan sesuai
dengan Pasal 15 ayat (3) UUPT).

(4) Pengumuman dalam Berita Negara Republik Indonesia


Perseroan yang telah didaftarkan tersebut diumumkan dalam
Tambahan Berita Negara Republik Indonesia yang
permohonan pengumumannya dilakukan oleh Direksi dalam
waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak pendaftaran. Tata
cara pengajuan permohonan pengumuman dilakukan sesuai
dengan perundangundangan yang berlaku.33

Berdasarkan uraian di atas, maka secara sistematis dapat


dilihat syarat-syarat dan prosedur yang harus dipenuhi dan diikuti
sehubungan dengan proses pendirian Perseroan Terbatas menurut
UUPT adalah sebagai berikut :34

(1) Sebagai bentuk perjanjian, perseroan harus didirikan oleh


sekurang-kurangnya dua orang (termasuk badan hukum),
ketentuan ini diperberat dengan adanya kewajiban untuk
mempertahankan jumlah pemegang saham sekurang-
kurangnya dua orang;

33
I.G. Rai Widjaya, Hukum Perusahaan, (Jakarta : Kesaint Blanc, 2000), hal. 159.
34 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Op. Cit., hal. 20.
26

(2) Dibuat dengan akta Notaris;

(3) Dalam bahasa Indonesia;

(4) Mencantumkan perkataan PT (atau PT Tbk untuk Perseroan


Terbatas Terbuka);

(5) Disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia;

(6) Didaftarkan berdasarkan Undang-Undang Wajib Daftar


Perusahaan Nomor 3 Tahun 1982, termasuk semua
perubahannya;

(7) Diumumkan dalam Berita Negara, termasuk semua


perubahannya;

(8) Untuk Perseroan Terbatas, ditentukan besarnya modal dasar


sekurang-kurangnya Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah),
dengan ketentuan bahwa modal yang disetor dan ditempatkan
sekurang-kurangnnya berjumlah 25% (dua puluh

lima persen) dari modal dasar.

Demikian juga terhadap setiap perubahan-perubahan atas :

(1) Nama, maksud dan tujuan kegiatan perseroan;

(2) Perpanjangan jangka waktu perseroan;

(3) Peningkatan atau penurunan modal;

(4) Perubahan status perseroan terbatas dari tertutup menjadi


terbuka dan sebaliknya;

(5) Penggabungan, peleburan dan pengambilalihan.


Persyaratan-persyaratan di atas baru berlaku terhadap pihak
ketiga jika dilaksanakan menurut persyaratan yang ditentukan
untuk pendiriannya. Perubahan terhadap hal-hal tersebut di atas
wajib memperoleh persetujuan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia, kemudian setelah persetujuan diperoleh, perubahan
tersebut didaftarkan dalam Daftar Perusahaan dan diumumkan
dalam Berita Negara. Perubahan atas ketentuan Anggaran Dasar
lainnya cukup hanya dilaporkan kepada Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia dan
27

selanjutnya didaftarkan menurut ketentuan Wajib Daftar


Perusahaan seperti tersebut di atas.35

d. Organ-Organ Perseroan Terbatas

1) Kedudukan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dalam Perseroan


Terbatas

a) Kedudukan Hukum Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)

Perseroan Terbatas mempunyai alat yang disebut organ


perseroan, gunanya untuk menggerakkan perseroan agar badan
hukum dapat berjalan sesuai dengan tujuannya.36. Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS) adalah suatu organ perseroan yang
memegang kekuasaan tertinggi dalam perseroan dan memegang
segala kewenangan yang bersifat residual, yakni wewenang yang
tidak dialokasikan kepada organ perusahaan lainnya, yaitu direksi
dan komisaris, yang dapat mengambil keputusan setelah
memenuhi syarat-syarat tertentu dan sesuai dengan prosedur
tertentu sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan
dan Anggaran Dasar Perseroan.37

Menurut Agus Budiarto (2002: 57) bahwa tugas,


kewajiban, wewenang dari setiap organ termasuk RUPS sudah
diatur secara mandiri (otonom) di dalam UUPT. Setiap organ
diberi kebebabasan asal semuanya dilakukan demi tujuan dan
kepentingan perseroan. Instruksi dari organ lain, misalnya RUPS,
dapat saja tidak dipenuhi oleh direksi, meskipun direksi diangkat
oleh RUPS sebab pengangkatan direksi oleh RUPS tidak berarti
bahwa wewenang yang dimiliki direksi merupakan pemberian
kuasa atau bersumber dari pemberian kuasa dari RUPS kepada
direksi adalah bersumber dari undang-undang dan Anggaran
Dasar. Oleh karena itu, RUPS tidak dapat mencampuri tindakan
35
Ibid., hal. 21.
36 Gatot Supramono, Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta : Djambatan, 1996), hal. 3.

37
Munir Fuady, Perseroan Terbatas Paradigma Baru, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hal.
135.
28

pengurusan perseroan sehari-hari yang dilakukan direksi sebab


tindakan direksi semata-mata adalah untuk kepentingan perseroan,
bukan untuk RUPS.38

Paham klasik yang berpendapat bahwa lembaga RUPS


merupakan kekuasaan tertinggi Perseroan Terbatas, dalam arti

segala sumber kekuasaan yang ada dalam suatu Perseroan


Terbatas tiada lain bersumber dari RUPS, kiranya sudah
ditinggalkan oleh UUPT.39

Berdasarkan paham klasik tersebut, komisaris dan direksi


mempunyai kekuasaan berdasarkan mandat atau kuasa dari RUPS,
sehingga apabila RUPS menghendakinya sewaktu-waktu dapat
mencabutnya kembali. Melihat dari pengaturan tentang tugas,
kewajiban dan wewenang dari organ perseroan yang oleh UUPT
telah diatur secara mandiri (otonom) bagi tiap-tiap organ tersebut
menggambarkan adanya paham institutional, yang berpandangan
bahwa ketiga organ masing-masing Perseroan Terbatas masing-
masing mempunyai kedudukan yang otonom dengan
kewenangannya sendiri-sendiri sebagaimana yang diberikan dan
menurut undang-undang dan anggaran dasar

tanpa wewenang organ yang satu boleh dikerjakan oleh organ


yang lain.40

Dengan demikian, selama pengurus menjalankan


wewenangnya dalam batas-batas ketentuan undang-undang dan
anggaran dasar, maka pengurus tersebut berhak untuk tidak

mematuhi perintah-perintah atau instruksi-instruksi dari organ


lainnya, baik dari komisaris maupun RUPS. Dengan kata lain,
menurut paham tersebut wewenang yang ada pada organ-organ
dimaksud bukan bersumber dari limpahan atau kuasa dari

38
Agus Budiarto, Kedudukan Hukum dan Tanggung Jawab Pendiri Perseroan Terbatas, (Jakarta : :
Ghalia Indonesia, 2002), hal. 58.
39
Loc. Cit.
40 Loc. Cit.
29

RUPS, melainkan bersumber dari ketentuan undang-undang dan


Anggaran Dasar.41

b) Wewenang Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)

Pasal 63 ayat (91) UUPT memberi batasan terhadap


wewenang RUPS, yaitu sejauh yang tidak diberikan kepada
direksi dan komisaris. Dengan demikian, dapat diuraikan lingkup
wewenang RUPS sebagaimana dapat dilihat dalam Bab V UUPT
yang mengatur tentang RUPS dan Bab VI yang mengatur tentang
Direksi dan Komisaris, antara lain adalah sebagai berikut:42

(1) Pengangkatan direksi dan komisaris adalah menjadi


wewenang RUPS demikian juga dengan pemberhentian
direksi dan komisaris.

(2) RUPS mempunyai wewenang mengambil keputusan untuk


mengubah anggaran dasar.

(3) Wewenang RUPS juga dapat dilihat pada perbuatan


penggabungan/merger dan akuisisi diantara perusahaan.
Walaupun rencana merger dan akuisisi merupakan pekerjaan
direksi dari perseroan-perseroan yang bersangkutan, namun
penggabungan dan akuisisi hanya dapat dilakukan jika
disetujui oleh RUPS masing-masing perseroan. Persetujuan itu
adalah hak dan wewenang dari RUPS. Hal ini berarti tidak ada
perusahaan yang akan melakukan merger ataupun akuisisi
dengan sah tanpa persetujuan dari RUPS masing-masing
perusahaan tersebut

(4) RUPS berwenang membuat peraturan pembagian tugas dan


wewenang setiap anggota direksi serta besar dan jenis
penghasilan direksi. Tugas tersebut dapat dilimpahkan kepada
komisaris jika ditentukan demikian dalam anggaran dasar.

41
Loc. Cit.
42 Ibid., hal. 61.
30

(5) RUPS berwenang mengangkat satu orang pemegang saham


atau lebih untuk mewakili perseroan dalam keadaan direksi
tidak berwenang mewakili perseroan karena terjadi
perselisihan/perkara antara direksi dengan perseroan atau
menjadi pertentangan kepentingan antara direksi dan
perseroan.

(6) RUPS berwenang mengambil keputusan jika diminta oleh


direksi untuk memberikan persetujuan guna mengalihkan atau
menjadikan jaminan utang seluruh atau sebagian harta
kekayaan perseroan.

(7) RUPS mempunyai wewenang mengambil keputusan atas


permohonan kepailitan perseroan yang akan dimajukan direksi
kepada Pengadilan Negeri.

(8) RUPS berwenang dan berhak meminta segala keterangan yang


berkaitan dengan kepentingan perseroan dari direksi dan atau
komisaris. Sebaliknya, hal ini merupakan kewajiban bagi
direksi atau komisaris untuk memberikan keterangan yang
diperlukan oleh RUPS.

2) Kedudukan Direksi dalam Perseroan Terbatas

a) Kedudukan Hukum Direksi

Direksi atau disebut juga sebagai pengurus perseroan


adalah alat perlengkapan perseroan yang melakukan semua
kegiatan perseroan dan mewakili perseroan, baik di dalam maupun
di luar pengadilan. Dengan demikian, ruang lingkup tugas direksi
ialah mengurus perseroan.43

Di dalam penjelasan Pasal 79 ayat (1) UUPT dikatakan


bahwa tugas direksi dalam mengurus perseroan antara lain
meliputi pengurusan sehari-hari dari perseroan. Mengenai
pengurusan sehari-hari lebih lanjut tidak ada penjelasan resmi,
oleh karena itu harus dilihat dalam Anggaran Dasar tentang apa

43
Loc. Cit.
31

yang termasuk pengurusan sehari-hari, walaupun tidak mungkin


disebut secara detail dalam anggaran dasar tersebut. Mengurus
perseroan semata-mata adalah tugas direksi yang tidak dapat
dicampuri langsung oleh organ lain. Hal ini secara tegas
dinyatakan dalam Pasal 82 UUPT yang memberikan ketentuan
sebagai berikut, Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan
perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili
perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan.

Pasal 82 UUPT tersebut di atas juga memberikan pedoman


kepada direksi agar dalam mengurus perseroan selalu berorientasi
pada kepentingan dan tujuan perseroan.44 Ketentuan mengenai
direksi yang dalam melaksanakan tugasnya hanya untuk
kepentingan serta tujuan perseroan didasarkan pada pandangan
bahwa perseroan merupakan subjek hukum yang mempunyai
fungsi dalam masyarakat dan menjadi titik perhatian utama dari
kepengurusan direksi.

Pasal 85 ayat (1) menegaskan bahwa setiap anggota direksi


wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan
tugas untuk kepentingan usaha perseroan. Itikad baik direksi
dalam menjalankan/ mengurus perseroan secara profesional
dengan kemampuan dan tindakan pemeliharaan semuanya
dimaksudkan untuk kepentingan usaha perseroan termasuk pula
kepentingan para pemegang saham.45

Direksi bertindak mewakili Perseroan Terbatas sebagai


badan hukum. Kewenangan perwakilan dari direksi Perseroan
Terbatas ini timbul, karena adanya pengangkatan dari RUPS dan
akan berakhir dengan meninggalnya orang yang diangkat untuk
mewakili tersebut atau kewenangan mewakili itu ditarik kembali.
Hal ini sesuai dengan Pasal 44 ayat (2) KUHD Jo.

44
Ibid., hal. 62.
45 Loc. Cit.
32

Pasal 80 ayat (3) UUPT yang menyebutkan bahwa direksi tidak


boleh diangkat tanpa kemungkinan untuk dicabut kembali.46

Pengangkatan direksi dilakukan oleh RUPS akan tetapi


untuk pertama kalinya pengangkatan dilakukan dengan
mencantumkan susunan dan nama anggota direksi dalam akta
pendiriannya. Ketentuan seperti ini pada Pasal 80 ayat (1) dan

(2) UUPT. Direksi dapat diangkat dari pemegang saham atau


bukan, bahkan pemegang jabatan direksi sekaligus sebagai
pemegang saham, hanyalah suatu kebetulan, karena di dalam
praktek sering dijumpai direksi Perseroan Terbatas adalah orang
luar, dalam arti bukan pemegang saham.47

b) Wewenang dan Tanggung Jawab Direksi

Pasal 79 ayat (1) UUPT tidak menjelaskan sampai dimana


kewenangan direksi dalam menjalankan tuganya, pasal-pasal
tersebut hanya menyebutkan bahwa Perseroan Terbatas diurus
oleh pengurus yang diangkat oleh para pemegang saham, tanpa
penjelasan lebih lanjut mengenai luas, isi maupun ruang lingkup
pengurusan itu. Demikian pula rincian tugas direksi didalam
UUPT tidak dapat diketahui. Pasal 81 ayat (1) dan (2) UUPT
hanya menyatakan bahwa pengaturan tentang pembagian tugas
dan wewenang setiap anggota direksi serta besar dan jenis
penghasilan direksi ditetapkan oleh RUPS. Dalam anggaran dasar
dapat ditetapkan bahwa kewenangan RUPS tersebut dilakukan
oleh komisaris atas nama RUPS.48

Jadi, untuk mengetahui rincian tugas direksi harus dilihat


dalam anggaran dasar Perseroan Terbatas dan pada umumnya
berkisar pada hal-hal berikut :49
46
Agus Budiarto, Kedudukan Hukum dan Tanggung Jawab Pendiri Perseroan Terbatas, (Jakarta :
Ghalia Indonesia, 2002), hal. 62.
47
Loc. Cit.
48 Ibid., hal. 63.

49 Loc. Cit.
33

(1) Mengurus segala urusan.

(2) Menguasai harta kekayaan perseroan.

(3) melakukan perbuatan-perbuatan seperti yang termaksud dalam


Pasal 1796 KUH Perdata, yaitu :

(a) memindahtangankan hipotik pada barang-barang tetap,

(b) membebankan hipotik pada barang-barang tetap,

(c) melakukan dading,

(d) melakukan perbuatan lain mengenai hak milik,

(e) mewakili perseroan di muka dan di luar pengadilan.

(4) Dalam melakukan hubungannya dengan pihak ketiga, direksi


masing-masing atau bersama-sama mempunyai hak mewakili
perseroan mengenai hal-hal dalam bidang usaha yang menjadi
tujuan perseroan. Direksi bertanggung jawab penuh mengenai
pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan
serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar
pengadilan, sebagaimana diatur dalam Pasal 82 UUPT.

(5) Dalam hubungannya dengan harta kekayaan perseroan, direksi


harus mengurus dan meguasai dengan baik, menginventarisasi
secara teliti dan cermat.

(6) Melaksanakan pendaftaran dan pengumuman. Jika akta


pendirian perseroan sudah mendapat pengesahan atau
persetujuan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia,
maka pendiri dalam hal ini direksi pertama dari perseroan
tersebut diwajibkan mendaftarkan akta pendirian yang sudah
mendapat pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia tersebut kepada Kantor
Pendaftaran Perusahaan sesuai dengan ketentuan dalam
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1983 tentang Wajib Daftar
Perusahaan serta mengumumkannya dalam Tambahan Berita
Negara Republik Indonesia. Demikian pula bila terjadi
34

perubahan dalam syarat-syarat pendirian atau perpanjangan


jangka waktu perseroan, direksi wajib mendaftarkan dan
mengumumkan persetujuan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia tentang hal itu.

Untuk melaksanakan tugas dan kewajiban direksi sesuai


dengan prinsip manajemen perusahaan, direksi mempunyai
wewenang atau otoritas yang diartikan sebagai kekuasaan resmi
atau legal untuk menyuruh pihak lain bertindak dan taat kepada
pihak lain yang memilikinya. Wewenang direksi yang lazim
terdapat dalam anggaran dasar perseroan, antara lain ialah:50

(1) Apabila pengeluaran saham-saham telah jatuh tempo dan


masih diperlukan perpanjangan waktu, maka direksi
mempunyai wewenang untuk memohonkan perpanjangan
waktu kepada pemerintah, dalam hal ini Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia.

(2) Apabila dalam waktu 1 (satu) bulan setelah direksi


memberitahukan pengeluaran saham-saham tersebut tidak
ada yang membelinya, maka direksi dengan persetujuan
komisaris mempunyai wewenang untuk menjual saham-
saham itu kepada siapa saja.

(3) Direksi bersama-sama dewan komisaris berwenang


menandatangani surat-surat saham.

(4) Bila ada surat saham atau talon yang rusak hingga tidak
dapat dipakai lagi, maka direksi berwenang mengeluarkan
duplikatnya atas permintaan yang berkepentingan setelah
aslinya dimusnahkan oleh direksi di hadapan yang
berkepentingan tersebut.
(5) Demikian pula apabila surat saham atau talon yang asli tadi
hilang, maka dengan bukti yang cukup serta jaminan jaminan
yang dianggap perlu direksi mempunyai wewenang

50
Ibid., hal. 65.
35

untuk memberikan duplikatnya.

(6) Direksi mempunyai wewenang untuk menahan keuntungan-


keuntungan atas saham dan melarang mengeluarkan suara
atas saham tersebut, jika ternyata dalam suatu pemindahan
hak, tidak dipenuhi kewajiban-kewajibannya.

(7) Direksi atas tanggung jawabnya sendiri diberi kewenangan


untuk mengangkat seorang kuasa atau lebih dengan syarat-
syarat dan kekuasaan yang ditentukan secara tertulis.

(8) Direksi mempunyai wewenang untuk mewakili perseroan


dimuka dan di luar pengadilan serta berhak melakukan
perbuatan pengurusan dan pemilikan atau penguasaan
(beheer en beschikking) dengan batasan-batasan tertentu.

(9) Mempunyai wewenang memimpin dan mengetuai RUPS.

(10) Mempunyai wewenang untuk mengadakan rapat umum luar


biasa pemegang saham setiap waktu bila dipandang perlu.

(11) Mempunyai wewenang untuk menandatangani notulen rapat,


jika notulen tidak dibuat dengan proses verbal Notaris.

Selain itu direksi juga memiliki aspek tanggung jawab lain,


yaitu apa yang disebut dengan tanggung jawab berdasarkan prinsip
Fiduciary Duties, yaitu tanggung jawab yang timbul karena
tugasnya yang ada secara hukum (by the operation of law) dari
suatu hubungan fiduciary antara direksi dan perusahaan yang
dipimpinnya, yang, yang menyebabkan direksi berkedudukan
sebagai trustee dalam pengertian hukum trust, sehingga seorang
direksi haruslah mempunyai kepedulian dan kemampuan (duty of
care and skill), itikad baik, loyalitas dan kejujuran terhadap
perusahaannya dengan derajat yang tinggi (hight degree).

Jika kita ambil intisari dari pengaturan tentang direksi


dalam UUPT, maka pada prinsipnya UUPT memberlakukan tugas
dari fiduciary duties dari direksi ini. Karena kedudukannya
36

yang bersifat fiduciary, yang dalam UUPT, sampai batas-batas


tertentu diakui, maka tanggung jawab direksi menjadi sangat
tinggi (high degree). Tidak hanya bertanggung jawab mengenai
ketidakjujuran yang disengaja, tetapi bertanggung jawab pula
secara hukum terhadap tindakan mismanagement, kelalaian atau
gagal atau tidak melakukan sesuatu yang penting bagi perusahaan.

Dalam melaksanakan tugas fiduciary duties, selanjutnya


menurut Munir Fuady, bahwa seorang direksi harus melakukan
tugasnya sebagai berikut :

(1) dilakukan dengan itikad baik,

(2) dilakukan dengn tujuan yang benar (proper purpose),

(3) dilakukan tidak dengan kebebasan yang tidak bertanggung


jawab (unfettered discretion),

(4) tidak memiliki benturan tugas dan kepentingan (conflict of


duty and interest).

Di samping itu, untuk mengetahui apakah seorang direksi


telah melakukan tugasnya secara baik dengan menggunakan
kemampuan dan keperduliannya (duties of care and skill), maka
standar yuridis yang umum diterima adalah bahwa direksi harus
menunjukkan derajat keperdulian (care) dan kemampuan (skill)
seperti yang diharapkan.

3) Kedudukan Komisaris Dalam Perseroan Terbatas

a) Kedudukan Hukum Komisaris


Dengan dikeluarkannya UUPT keberadaan komisaris tidak
lagi bersifat fakultatif seperti yang terkandung dalam KUHD
bahkan sudah merupakan keharusan. Hal ini dapat dilihat di dalam
Pasal 94 ayat (1) yang bunyinya sebagai berikut:

“Perseroan memiliki komisaris yang wewenang dan


kewajibannya ditetapkan dalam Anggaran Dasar”
37

Menurut Pasal 94 ayat (2) UUPT tersebut, perseroan yang


bidang usahanya mengerahkan dana masyarakat seperti perseroan
yang bergerak di bidang perbankan, perseroan yang menerbitkan
surat pengakuan hutang atau obligasi atau perseroan yang terbuka
(PT. Tbk) yaitu perseroan yang go publik, wajib mempunyai
paling sedikit 2 (dua) orang komisaris. Latar belakang
pertimbangannya, karena perseroan itu diperlukan pengawasan
yang lebih ketat dibanding dengan Perseroan Terbatas lainnya,
karena menyangkut kepentingan masyarakat umum.51

Penjelasan Pasal 94 ayat (1) tersebut di atas, perkataan


komisaris mengandung pengertian baik sebagai organ perseroan
Perseroan Terbatas maupun sebagai orang perseorangan. Sebagai
organ Perseroan Terbatas, komisaris lazim disebut juga Dewan
Komisaris, sedangkan sebagai orang perseorangan disebut anggota
komisaris, sebagai organ Perseroan Terbatas, pengertian
Komisaris termasuk juga badan-badan lain yang menjalankan
tugas pengawasan khusus.52

Komisaris pada umumnya bertugas untuk mengawasi


kebijaksanaan direksi dalam mengurus perseroan serta
memberikan nasehat-nasehat kepada direksi, demikian menurut
Pasal 97 UUPT. Tugas pengawasan itu bisa merupakan bentuk
pengawasan preventif atau represif.53

Pengawasan preventif ialah melakukan tindakan dengan


menjaga agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan yang akan
merugikan perseroan, misalnya untuk perbuatan dari direksi yang
harus dimintakan persetujuan komisaris, apakah hal tersebut sudah
dilaksanakan atau belum. Dalam hal komisaris harus selalu
mengawasi, sedangkan apa yang dimaksud dengan pengawasan
represif ialah pengawasan yang dimaksudkan untuk

51
Ibid., hal. 71.
52 Loc. Cit.

53 Ibid., hal. 72.


38

menguji perbuatan direksi, apakah semua perbuatan yang


dilakukan direksi itu tidak menimbulkan kerugian bagi
perseroan dan tidak bertentangan dengan undang-undang dan
Anggaran Dasar. Apakah nasihat-nasihat dari komisaris

sudah benar-benar diperhatikan oleh direksi. Selanjutnya Pasal 98


ayat (1) UUPT, memberikan kewajiban kepada komisaris agar
dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas
untuk kepentingan dan usaha perseroan.54

b) Tugas dan Tanggung Jawab Komisaris

Rincian tugas komisaris biasanya diatur di dalam anggaran dasar,


antara lain sebagai berikut :55

(1) Mengawasi tindakan pengurusan dan pengelolaan perseroan


yang dilakukan oleh direksi,

(2) Memeriksa buku-buku, dokumen-dokumen, serta kekayaan


perseroan,

(3) Memberikan teguran-teguran, petunjuk-petunjuk, nasihat-


nasihat kepada direksi,

(4) Apabila ditemukan kelalaian direksi yang mengakibatkan


perseroan menderita kerugian, komisaris dapat mem-
berhentikan sementara direksi yang bersalah tersebut, untuk
kemudian dilaporkan kepada RUPS untuk mendapatkan
keputusan lebih lanjut. Pemberhentian ini sifatnya sementara
dan segera dalam waktu 1 (satu) bulan komisaris harus
mengadakan RUPS untuk memberi keputusan lain, maka
direksi akan ditempatkan kembali. Jika RUPS tidak diadakan,
maka keputusan komisaris batal dengan sendirinya.
54
Loc. Cit
55 Ibid., hal. 73.
39

Tanggung jawab komisaris dapat dibagi menjadi:56

(1) Tanggung jawab ke luar terhadap pihak ketiga

Tanggung jawab ke luar komisaris, tidak sebesar tanggung


jawab direksi, karena komisaris bertindak keluar berhubungan
dengan pihak ketiga hanya dalam keadaan-keadaan yang
sangat istimewa, yaitu dalam hal komisaris dibutuhkan direksi
sebagai saksi atau pemberi ijin dalam hal direksi menurut
anggaran dasar harus terlebih dahulu mendapat ijin dari
komisaris dalam perbuatan penguasaan (beschikking), seperti
misalnya menjual, menggadaikan dan lain-lain.

(2) Tanggung jawab ke dalam terhadap perseroan

Tanggung jawab ke dalam perseroan, sama dengan direksi,


pertangungjawaban secara pribadi untuk seluruhnya. Bila ada
2 (dua) orang komisaris atau lebih, maka pertanggung jawaban
itu bersifat kolektif atau majelis, jika komisaris tidak ikut serta
dalam pengurusan, biasanya ia kemudian memberikan
pertanggungjawaban kepada RUPS bersama-sama dengan
direksi.

Agar komisaris dapat melaksanakan tugas kewajiban yang


diberikan kepadanya dengan penuh tanggung jawab, di dalam
Anggaran Dasar dapat diatur beberapa kewenangan antara lain
sebagai berikut :57

(1) Mengadakan dengar pendapat dengan akuntan yang


memeriksa pembukuan perseroan;

(2) Ikut serta menandatangani laporan tahunan dan neraca


perhitungan laba rugi;
(3) Memanggil RUPS;

(4) Memberikan nasihat dalam RUPS;

56
Loc. Cit.
57 Loc. Cit.
40

(5) Mewakili perseroan baik di luar maupun di dalam pengadilan


bila antara direksi dengan perseroan terdapat kepentingan yang
berbeda;

(6) Membebaskan sementara setiap direksi dari tugasnya apabila


kedapatan bertindak merugikan perseroan;

(7) Mengangkat seorang ahli pembukuan untuk membantu


mengawasi pembukuan perseroan dalam waktu-waktu tertentu
(secara insidentil) kecuali sebelumnya telah diangkat seorang
ahli pembukuan oleh RUPS.

e. Peningkatan Status Badan Usaha Perseroan Komanditer (CV) Menjadi


Badan Hukum Perseroan Terbatas (PT)

Tidak dapat dipungkiri pada saat sekarang ini sebagian besar


badan usaha yang berdiri dan menjalankan usaha di Indonesia berbentuk

Perseroan Terbatas.58 Ada beberapa faktor atau alasan mengapa seorang


pengusaha memilih perseroan terbatas untuk menjalankan usaha
dibandingkan dengan bentuk perusahaan lain seperti Persekutuan
Perdata, Koperasi, Firma maupun CV. Alasan tersebut antara lain :

1) Semata-mata untuk mengambil manfaat karakteristik pertanggung


jawaban terbatas.

2) Manakala diperlukan kelak mudah melakukan transformasi


perusahaan.
3) Alasan fiskal.59

PT adalah perusahaan berbadan hukum yang barmakna bahwa


perusahaan PT adalah subjek hukum, dimana PT sebagai sebuah badan
usaha yang dapat dibebani hak dan kewajiban seperti halnya manusia
pada umumnya. Badan hukum berarti orang (person) yang sengaja
diciptakan oleh hukum sebagai badan hukum, PT mempunyai kekayaan
tersendiri yang terpisah dari kekayaan pengurusnya. Badan hukum

58
Rudy Prasetio, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, Citra Aditya Bakt, Bandung, 2010, hal 15.
59
Yetty Komalasari, Paradigma Baru Perseroan Terbatas, Badan Penerbit FH-III, Jakarta, 2011, hal 5.
41

sebagai subjek hukum mempunyai hak dan kewajiban sebagaimana


manusia, dapat mengingat dan dapat digugat serta mempunyai harta
kekayaan sendiri, dalam melakukan kegiatan yang dilihat bukan
perbuatan pengurus atau pejabatnya, tetapi yang harus dilihat adalah PT
sebagai badan hukum, karena pertanggungjawaban adalah perusahaan PT
sebagai badan hukum (legal entity). Dalam hal ini tanggungjawab PT
diwakili oleh Direksinya sebagai suatu badan hukum, PT mempunyai
unsur-unsur sebagai berkut :

1) Organisasi yang teratur.

2) Harta kekayaan tersendiri.

3) Melakukan hubungan hukum sendiri.

4) Mempunyai tujuan sendiri.60

Unsur utama dari Badan Hukum yaitu memiliki harta sendiri


yang terpisah dari pemegang saham sebagai pemilik, karakteristik yang
kedua dari badan hukum adalah tanggungjawab terbatas dari pemegang
saham sebagai pemilik perusahaan dan pengurus perusahaan. Prinsip
tersebut melindungi asset perusahaan dari kreditur pemegang saham,
sebaliknya tanggungjawab terbatas melindungi asset dari pemilik
perusahaan yaitu pemegang saham perusahaan dari klaim para kreditur
perusahaan yang bersangkutan. Tanggungjawab terbatas artinya kreditur
dalam melakukan klaim terbatas hanya kepada asset yang menjadi milik
pemegang saham dan pengurus perseroan. Pembatasan tanggungjawab
pemilik dan pengurus membedakan perseroan dari bentuk organisasi
perusahaan lainnya yang tidak berbadan hukum.61

Walaupun CV mempunyai aset sendiri terpisah dari aset pribadi


para sekutu, namun karena tidak adanya keharusan campur tangan dari
pihak pemerintah (Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia)
sehubungan dengan akta pendirian CV, maka CV bukanlah Badan

60 Jamhur, Organisasi Perusahaan, Pustaka Ilmu, Jakarta, 2011, hal 6.

61
Erman Rajagukguk, Butir-butir Hukum Ekonomi, Lembaga Studi Hukum dari Ekonomi,FH-III,
Jakarta, 2011, hal 191.
42

Hukum. Lebih-lebih CV didalam pendiriannya bahkan tidak memerlukan


formalitas tertentu dalam arti dibenarkan untuk didirikan dengan akta di
bawah tangan atau dengan lisan.62

Bentuk badan usaha commanditaire vennootschap (CV) tidak


diatur secara tersendiri dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
(KUHD) melainkan digabungkan bersama-sama dengan peraturan-
peraturan mengenai Badan Usaha berbentuk Firma (Fa). Pasal 19 KUHD
menyebutkan bahwa Perseroan Komanditer atau commanditaire
vennootschap (CV) adalah suatu perseroan untuk menjalankan suatu
perusahaan yang dibentuk antara satu orang atau beberapa orang persero
yang secara tanggung menanggung bertanggung jawab untuk seluruhnya
(tanggung jawab solider) pada satu pihak dan satu orang atau lebih
sebagai pelepas uang (geld schieter) pada pihak yang lain. Dasar pikiran
dan pembentukan perseroan ini adalah seorang atau lebih
mempercayakan uang atau barang untuk digunakan didalam perniagaan
atau lain perusahaan kepada seorang lainnya atau lebih yang
menjalankan perusahaan itu saja yang pada umumnya berhubungan
dengan pihak-pihak ketiga, karena itu pula si pengusaha bertanggung
jawab sepenuhnya terhadap pihak ketiga, dan tidak semua anggotanya
yang bertindak keluar.

Perseroan Komanditer (CV) adalah suatu perseroan yang tidak


bertindak di muka umum. Dalam CV, seorang atau lebih dari anggota-
anggotanya (si pemberi uang) tidak menjadi pimpinan perusahaan
maupun bertindak terhadap pihak ketiga. Pesero tersebut hanyalah
sekedar menyediakan sejumlah modal bagi anggota atau anggota-anggota
lainnya yang menjalankan CV tersebut. Para persero yang memberi uang
yang berdiri di belakang layar perseroan itu juga turut memperoleh
bagian dalam keuntungan dan turut pula memikul kerugian yang diderita
CV seperti para persero biasa, akan tetapi pertanggungjawabannya
62
Mulyoto, Kesalahan Notaris dalam Pembuatan Akta Perubahan Anggaran Dasar CV, Cakrawala
Media, Yogyakarta, hal.7
43

terbatas dalam CV. Mereka tidak akan memikul kerugian yang melebihi
modal yang disetorkan. Persero di belakang layar tersebut disebut
anggota pasif atau komanditaris yang disebut sleeping partners (still
vennot), sedangkan para anggota yang memimpin perseroan dan
bertindak keluar adalah anggota-anggota aktif yang disebut persero
pengurus atau persero pemimpin atau juga disebut komplementaris.63
Persero pengurus apabila lebih dari satu pesero, maka berhadapan dengan
perseroan rangkap, yaitu suatu perseroan Firma antara persero-persero
pengurus, dan perseroan komanditer antara peserta pengurus dan para
komanditaris.

Pasal 19 ayat (1) KUHD menggunakan istilah geldschieters


terhadap pesero pesero yang hanya memasukkan uang atau barang dan
tidak ikut dalam pengurusan atau pesero komanditer dapat menimbulkan
salah paham sehingga menimbulkan pembahasan khusus untuk
memungkinkan mengadakan perbedaan antar istilah “commmanditaire
dan istilah geldschiters, seperti apa yang dikemukan oleh undang-undang
tersebut.64

Pasal 1759 KUH Perdata berbunyi orang yang meminjamkan


tidak dapat meminta kembali apa yang telah dipinjamkannya sebelum
lewatnya waktu yang ditentukan dalam perjanjian. Pasal 1960 KUH
Perdata berbunyi mereka yang disebutkan dalam pasal yang lalu dapat
memperoleh hak milik dengan jalan daluarsa, jika alas hak penguasaan
mereka telah berganti, baik karena suatu sebab yang berasal dari seorang
pihak ketiga, maupun karena pembantahan yang mereka lakukan
terhadap haknya si pemilik, yang dimaksud dengan pasal yang lalu dalam
Pasal 1960 KUH Perdata tersebut adalah Pasal 1959 KUH perdata yang
berbunyi mereka yang menguasai sesuatu kebendaan untuk seorang lain,
begitu pula ahli warisnya orang-orang itu.
63 Abdul R Salman, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan, Prenada Media, Jakarta, 2005, hal 6.

64
Said Natzir, HukumPerusahaan di Indonesia, Alumni, Bandung, 1987, hal 193.
44

Tak sekali-kali dapat memperoleh sesuatu dengan jalan daluwarsa


meskipun dengan lewatnya waktu yang berapa saja lamanya. Demikian
pun seorang penyewa, seorang penyimpan, seorang penikmat hasil, dan
segala orang lain yang memegang suatu benda berdasarkan suatu
perjanjian dengan si pemiliknya, tidak dapat memperoleh benda itu
dengan jalan daluwarsa”. Persero selama berjalannya usaha CV tersebut
hanya berhak atas penerimaan bagiannya dalam keuntungan yang
diperoleh, tetapi ia mungkin juga dibebani pula dengan membayarkan
bagiannya dalam kerugian yang diderita oleh CV. Hal ini tersimpul
dalam asas pembiayaan bersama untuk menjalankan perusahaan yang
dilakukan oleh anggota-anggota komplementer persero-persero
pengurus.65

Mengingat hubungan dengan pihak ketiga dalam suatu badan


usaha berbentuk CV, hanyalah persero-persero pengurus yang
menjalankan perusahaan dan bertindak keluar, serta terikat kepada pihak
ketiga, sebaliknya para komanditaris yang mempunyai hubungan dengan
pihak ketiga, mereka yang menjalankan perusahaan mempunyai tangung
jawab penuh dan dapat disamakan dengan kedudukan para peserta
perseroan Firma (Fa). Jadi apabila CV mempunyai banyak utang
sehingga jatuh pailit misalnya, dan apabila harta benda perseroan tidak
mencukupi untuk pelunasan utang-utangnya, maka harta benda pribadi
persero pengurus itu dapat pula dipertanggung jawabkan untuk
melunaskan hutang CV. Sebaliknya para komanditaris paling tinggi
hanya akan kehilangan jumlah uang yang disetorkan, sedangkan harta
benda pribadinya tidak dapat diganggu gugat. Adapun tanggung jawab
penuh yang dibebankan pada persero pengurus adalah berdasarkan
pendapat bahwa baik buruknya, maju mundurnya perusahaan itu adalah
bergantung pada usaha dan pimpinan mereka sendiri.
65
Hermansyah, Hukum Perusahaan Indonesia, Media Ilmu, Jakarta, 2007, hal 11.
45

Keadaan demikian akan berubah, apabila seorang komanditer


turut campur tangan dalam penyelenggaraan dan penyusutan perseroan
ataupun apabila ia mengijinkan namanya dipakai dalam nama firma,
yang dipakai sebagai nama firma oleh persero-persero pengurus. Dalam
melakukan tindakan demikian itu akan menimbulkan kesan kepada pihak
ketiga, seakan-akan ia juga menjadi anggota pengurus yang bertanggung
jawab, untuk menghindarkan pihak ketiga akan mendirikan kewajiban
oleh tindakan-tindakan demikian, maka dalam Pasal 21 KUHD
ditentukan, bahwa tiap-tiap persero CV yang ikut melakukan perbuatan-
perbuatan pengurus atau bekerja dalam perusahaan CV ataupun
mengizinkan pemakaian namanya dalam Firma adalah secara tanggung
menanggung bertanggung jawab untuk seluruhnya atas segala utang dan
segala perikatan dari CV tersebut (tanggung jawab solider).

“Dengan demikian seorang komanditaris yang bertingkah laku


sebagai anggota pengurus mempunyai tanggung jawab seperti anggota
pengurus terhadap pihak ketiga dan pertanggung jawaban ini diperluas
juga terhadap persetujuan-persetujuan yang diadakan komanditaris dalam
penyelenggaraan perusahaan CV tersebut, dan terhadap persetujuan-
persetujuan yang masih akan diadakan.”66 Walaupun demikian
komanditaris tanpa melepaskan kedudukannya dapat menuntut untuk
mengawasi tindakan-tindakan para anggota pengurus ataupun mereka ini
tidak boleh bertindak tanpa ijinnya.

Bagi perusahaan CV juga adanya rekanan memberikan


kemungkinan untuk mengumpulkan lebih banyak modal dari pada sistem
perseroan Firma. Hal ini disebabkan ada orang yang mempunyai waktu
ataupun tidak ada bakat untuk berusaha, tidak dapat turut aktif dalam
sesuatu perusahaan, maka bentuk perusahaan CV lah yang memberi
kemungkinan pada orang-orang tersebut untuk turut berusaha walaupun
hanya pasif saja. Pembagian untung rugi diatur dalam peraturan CV,

66
Sentosa Sembiring, Hukum Dagang, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal 9.
46

mengingat reaksi dari tanggungjawab yang dipikul pada peserta aktif,


maka tidaklah mengherankan apabila pembagian untung rugi itu diatur
sesuai serta sebanding dengan tanggungjawab tersebut.

Perusahaan CV mempunyai kekayakan tersendiri yang pada


pembagian untung rugi dapat dipergunakan sebagai dasar perhitungan
untuk mendirikan badan usaha berbentuk CV, tidaklah memerlukan
suatu fasilitas dan karenanya dapat dilakukan dengan lisan atau tulisan.
Kalau dibuat secara tertulis dalam bentuk surat, maka hal tersebut dapat
dibuat dalam bentuk akta otentik ataupun data di bawah tangan dalam
mana diatur organisasi perusahaan CV itu begitu juga hak-hak dan
kewajiban para anggotanya.67

Dalam praktek perniagaan di Indonesia saat ini, perjanjian untuk


mendirikan suatu perusahaan dengan bentuk CV dibuat dalam bentuk
akta otentik notaris untuk lebih memperkuat kedudukan hukum para
pihak yang mendirikan CV tersebut sekaligus pula untuk memperkuat
kedudukan hukum dan Badan Usaha CV tersebut. Persekutuan
Komanditer (CV) berdasarkan jenisnya dapat dibagi kedalam 3 (tiga)
jenis yaitu :

1) CV diam-diam yaitu suatu badan usaha berbentuk CV yang belum


menyatakan diri secara terbuka sebagai CV, bagi pihak luar jenis
usaha ini masih dianggap sebagai usaha dagang biasa. Akan tetapi
secara intern diantara para pemilik modal dalam usaha dagang
tersebut telah ada pembagian dan wewenang yang berkaitan dengan
tanggungjawab hukum.

2) CV terang-terangan yaitu suatu badan usaha berbentuk CV yang telah


menyatakan diri secara terang-terangan dan terbuka kepada pihak
ketiga. Hal ini terlihat dengan dibuatnya akta pendirian CV oleh
notaris dan akta pendirian tersebut didaftarkan di dalam daftar
perusahaan.

3) CV dengan saham, yaitu suatu badan usaha berbentuk CV yang

67
Ahmad Jalis, Bentuk-Bentuk Usaha di Indonesia, Pustaka Ilmu, Jakarta, 2009, hal 4
47

karena masalah kekuarngan modal usaha memasukkan para


komanditaris (penanaman modal) pengurus pasif yang menanamkan
modalya ke dalam CV tersebut yang menjadikan penanaman modal
tersebut memperoleh kepemilikan satu atau beberapa saham terhadap
perusahaan CV tersebut.68

Pada prinsipnya, suatu perusahaan berbentuk CV bisa


ditingkatkan bentuk usahanya menjadi PT dengan menggunakan riwayat
atau ijin-ijin CV sebelumnya. Adapun langkah-langkahnya sebagai
berikut sebagai berikut :

1) Revaluasi Asset (Neraca Akhir Perusahaan)

Pada dasarnya CV adalah suatu persekutuan yang didirikan


berdasarkan perjanjian. Karena bukan badan hukum, di dalam CV
tidak ada pemisahan kekayaan antara kekayaan para peseronya
(terutama pesero aktifnya) dengan kekayaan CV. Oleh karena itu,
untuk dapat mengetahui berapa jumlah kekayaan dari CV yang
dipisahkan dari kekayaan para perseronya, dimana kekayaan tersebut
akan dimasukkan sebagai kekayaan PT yang akan dibentuk, maka
harus dilakukan revaluasi asset dari CV tersebut.

Untuk itu CV dimaksud pertama-tama harus melakukan audit


seluruh kekayaan yang dimilikinya. Audit tersebut harus dilakukan
oleh akuntan publik independen. Setelah diketahui berapa besar total
asset yang dipisahkan oleh para persero dalam CV tersebut maka asset
CV tersebut akan dianggap sebagai setoran modal para persero CV ke
dalam PT.

2) Iklan di Surat Kabar Nasional


Para pesero kemudian melakukan iklan di surat kabar yang beredar
nasional atas rencana perubahan status CV menjadi PT, sekaligus
mengumumkan pula neraca hasil audit atas total asset CV yang akan
disetorkan oleh para persero tersebut. Tujuan dari iklan tersebut juga

68
Chidir Ali, Badan Hukum, Alumni Bandung, 1997, hal. 24
48

dimaksudkan untuk memberitahukan kepada public dan para kreditur


bahwa hak dan kewajiban dari CV tersebut beralih kepada PT.

3) Akta Pendirian PT

Setelah tahap pertama dan tahap kedua tersebut dilakukan, maka


tanpa menunggu jeda waktu tertentu, pemilik CV bisa langsung
membuat akta pendirian PT di hadapan Notaris, yang pada
premisenya secara garis besarnya menerangkan bahwa:

a) Para persero dari CV mendirikan PT dengan menyetorkan seluruh


kekayaan dari CV yang sudah diaudit ke dalam kekayaan PT.

b) Pendirian PT. A merupakan kelanjutan dari CV. A dan setoran


modal saham berupa aset dan kewajiban CV. A.

4) Pengesahan Badan Hukum PT

Setelah akta pendirian PT selesai, kemudian terhadap akta


tersebut dimohonkan pengesahannya oleh Notaris kepada
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia melalui SABH.
Adapaun tahapan di SABH, antara lain: pemesanan nama perseroan
(bisa dilakukan permohonan pesan nama berbarengan dengan
pembuatan akta PT), input data perseroan, pencetakan Surat
Keputusan Pengesahan Badan Hukum perseroan, pengiriman email
dan bukti fisik kepada Percetakan Negara Republik Indonesia
(PNRI).

3. Tinjauan Umum Tentang Notaris

a. Pengertian dan Kewenangan Notaris


Notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat segala
jenis perjanjian yang berbentuk akta autentik, menetapkan tanggalnya,
menyimpan akta-aktanya dan mengeluarkan grosse, salinan dan
kutipannya, semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga
diwajibakan kepada pejabat-pejabat lain atau khusus menjadi
kewajibannya. Akta autentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal
sesuai dengan apa yangn diberitahukan para pihak kepada Notaris,
namun Notaris mempunyai kewajiban untuk memasukkan
49

bahwa apa yang termuat dalam aktanya sungguh-sungguh telah


dimengerti dan sesuai dengan kehendak para phak, yaitu dengan cara
membacakannya sehingga menjadi jelas isi akta Notaris serta
memberikan akses terhadap informasi termasuk akses terhadap peraturan
perundang-undangan yang terkait bagai para pihak penandatangan akta
Notaris dalam menjalankan jabatannya berperan secara tidak memihak
dan bebas.69

Dalam menjalankan tugas jabatan Notaris ada asas-asas yang


harus dijadikan pedoman dalam pelaksanaan tugas jabatannya. Asas atau
prinsip merupakan suatu yang dapat dijadikan sebagai alas, dasar,
tumpuan untuk menyandarkan sesuatu, mengembalikan sesuatu hal yang
hendak dijelaskan. Asas hukum mengandung nilai-nilai dan tuntutan-
tuntutan etis, sehingga asas tersebut merupakan jembatan antara
peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis
masyarakatnya, melalui asas hukum ini, peraturan-peraturan hukum
berubah sifatnya menjadi bagian dari suatu tatanan etis. Asas-asas
tersebut seperti asas kepastian hukum, asas persamaan, asas kepercayaan,
asas kehati-hatian dan asas profesionalisme.70

Dalam menjalankan jabatannya Notaris harus dapat bersikap


profesional dengan dilandasi kepribadian yang luhur dengan senantiasa
melaksanakan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, sekaligus menjunjung tinggi kode etik profesi Notaris
sebagai rambu yang harus ditaati. Notaris perlu memperhatikan apa yang
disebut sebagai perilaku profesi yang memiliki unsur-unsur sebagai
berikut:71

1) Memiliki integrasi moral yang mantap.

2) Harus jujur terhadap klien maupun diri sendiri (kejujuran


69
Herlin Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2007 hal. 22.
70
Hartanti Sulihandari dan Nisya Rifani, 2013, Prinsip-prinsip Dasar Profesi Notaris. Dunia Cerdas,
Jakarta, hal. 78.
71
Liliana Tedjasaputro, 1995. Etika Profesi Notaris dalam Penegakan Hukum Pidana. Bigraf
Publishing, Yogyakarta, hal. 86.
50

intelektual)

3) Sabar akan batas-batas kewenangannya.

4) Tidak semata-mata berdasarkan pertimbangan uang.

Melalui akta yang dibuatnya, Notaris harus dapat memberikan


kepastian hukum kepada masyarakat pengguna jasa Notaris.72 Akta
Notaris adalah akta otentik yang memiliki kekuatan hukum dengan
jaminan kepastian hukum sebagai alat bukti tulisan yang sempurna
(volledig bewijs), tidak memerlukan tambahan alat pembuktian lain, dan
hakim terikat karenanya.73 Akta yang dibuat Notaris memiliki kekuatan
pembuktian yang sempurnya tidak seperti pada akta di bawah tangan.
Akta di bawah tangan adalah akta dibuat sendiri oleh pihak-pihak yang
berkepentingan tanpa bantuan pejabat umum.74 Akta otentik yang
merupakan bukti yang lengkap (mengikat) berarti kebenaran dari hal-hal
yang tertulis dalam akta tersebut dianggap sebagai benar, selama
kebenarannya itu tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan
sebaliknya.75 Tugas pokok dari Notaris adalah membuat akta-akta
otentik, dimana akta otentik menurut Pasal 1870 BW (Burgelijk
WetBoek) mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna tentang apa
yang dimuat didalamnya dan mengikat kepada pihak yang membuat serta
terhadap orang yang mendapat hak dari mereka.76 dan memberikan
kepada pihak-pihak yang membuatnya suatu perjanjian

yang mutlak. Hal ini sangat penting bagi pihak-pihak yang membutuhkan
alat pembuktian untuk suatu keperluan, baik untuk
72
H. Salim HS dan H. Abdullah. Perancangan Kontrak dan MOU, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hal. 101-
102
73
A.A. Andi Prajitno, Apa dan Siapa Notaris di Indonesia. Cetakan Pertama, Putra Media
Nusantara, Surabaya, 2010, hal. 51
74
Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata. PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2004. Hal. 100
75
Teguh Samudra, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata. Edisi Pertama. PT. Alumni,
Bandung, 2004, hal. 49.
76
Yahya Harapap, Hukum Perseroan Terbatas, Edisi I, cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta,
2009, hal. 340.
51

kepentingan pribadi maupun untuk kepentingan suatu usaha yaitu


kegiatan di bidang usaha.77

Profesi Notaris dituntut untuk mampu menghadapi setiap


kemungkinan yang terjadi dan siap mempertanggungjawabkan
profesinya atas segala keadaan yang timbul seiring tugas dan jabatannya
sebagai seorang Notaris yang mungkin terjadi di kemudian hari atas akta
yang dibuatnya. Untuk membuat akta otentik, Notaris dengan
kewenangannya mempunyai tanggung jawab terhadap akta-akta yang
telah dibuatnya karena akta tersebut merupakan pembuktian tertulis dan
mempunyai sifat yang otentik terhadap para pihak.

Notaris mempunyai kewajiban untuk memasukkan bahwa apa


yang termuat dalam akta Notaris sungguh-sungguh telah dimengerti dan
sesuai dengan para pihak, yaitu dengan cara membacakannya sehingga
menjadi jelas isi akta Notaris, serta memberikan akses terhadap
informasi, termasuk akses terhadap peraturan perundang-undangan yang
terkait bagi para pihak penandatanganan akta. Dengan demikian para
pihak dapat menentukan dengan bebas untuk menyetujui isi akta Notaris
yang akan ditandatanganinya.

Akta otentik menentukan secara jelas hak dan kewajiban,


menjamin kepastian hukum, dan sekaligus diharapkan pula menjadi
penghindar terjadinya sengketa. Walaupun sengketa tidak dapat dihindari
maka dalam proses penyelesaian sengketa tersebut akta otentik bisa
menjadi alat bukti tertulis yang terkuat dan terpenuh dalam penyelesaian
sengketa.78

Selain memenuhi syarat yang telah ditentukan undang-undang


agar suatu akta menjadi otentik, seorang Notaris dalam melaksanakan
tugasnya tersebut wajib melaksanakan tugasnya dengan penuh disiplin,
77
R. Soegando Notodisoejo, Hukum Notariat Di Indonesia Suatu Penjelasan, (Jakarta : CV.

Rajawali, 1982), hal. 8.

78
Wawan Setiawan, 1995. Kedudukan Akta Notaris sebagai Alat Bukti Tertulis dan Otentik Menurut
Hukum Positif di Indonesia. Ikatan Notaris Indonesia, Jurnal Hukum, Media Notariat, Jakarta.
52

profesional dan integritas moralnya tidak boleh diragukan.79 Apa yang


tertuang dalam awal akta dan akhir akta yang menjadi tanggung jawab
Notaris adalah ungkapan yang mencerminkan keadaan yang sebenar-
benarnya pada saat pembuatan akta. Seperti dinyatakan dalam pasal 65
UUJNP yaitu: Notaris, Notaris Pengganti, dan Pejabat Sementara Notaris
bertanggung jawab atas setiap akta yang dibuatnya meskipun Protokol
Notaris telah diserahkan atau dipindahkan kepada pihak penyimpan
Protokol Notaris.

Untuk menentukan sampai kapankah Notaris, Notaris Pengganti


dan Pejabat Sementara Notaris harus bertanggung jawab atas akta yang
dibuat dihadapan atau dibuat olehnya maka harus dikaitkan dengan
konsep Notaris sebagai jabatan (ambt).80 Setiap orang yang mengemban
atau memangku jabatan tertentu dalam bidang apapun sebagai
pelaksanaan dari suatu struktur negara, pemerintah atau organisasi
mempunyai batasan dari segi waktu, artinya sampai kapan jabatan yang
diemban oleh seseorang harus berakhirnya, khususnya Notaris
pertanggungjawabannya mempunyai batas sesuai dengan tempat
kedudukan dan wilayah jabatan dan dari segi kewenangan jabatan dan
profesi merupakan dua hal yang berbeda dari segi substansi.

Notaris diberi wewenang serta mempunyai kewajiban untuk


melayani publik, oleh karena itu Notaris ikut melaksanakan kewibawaan
dari pemerintah. Notaris selaku pejabat umum mempunyai kewenangan
membuat akta otentik, yang merupakan bukti tertulis perbuatan hukum
para pihak dalam bidang hukum perdata. Adapun mengenai akta otentik
yaitu :

1) Akta artinya tulisan yang memang disengaja dibuat untuk dijadikan


bukti tentang suatu peristiwa yang ditandatangani (Pasal 1867 KUH
Perdata).
79
Tan Thong Kie, Studi Notariat Serba-Serbi Praktek Notaris, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2013, hal.
166
80
Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administrasi Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, PT.
Refika Aditama, Bandung, 2008, hal 16.
53

2) Akta otentik itu mempunyai kekuasaan pembuktian hukum yang


sempurna, karena itu kedudukannya sama dengan undang-undang,
artinya apa yang tertulis dalam akta itu harus dipercayai oleh hakim
serta mempunyai kekuatan pembuktian keluar secara formil maupun
materiil.

3) Apabila suatu akta tidak dibuat secara formil, maka akta itu menjadi
tidak otentik melainkan sama dengan akta di bawah tangan, artinya
apabila akta tersebut disangkal oleh penggugat, maka harus dibuktikan
dulu kebenaran tanda tangan yang terdapat dalam suatu akta.

4) Jadi kegunaan akta otentik untuk kepentingan pembuktian dalam suatu


peristiwa hukum guna mendapatkan suatu kepastian hukum.

5) Akta otentik penting bagi mereka yang membutuhkan alat pembuktian


untuk suatu kepentingan pribadi maupun untuk kepentingan usaha
seperti akta pendirian PT, Fa, perkumpulan perdata, dan lain-lain.

Kewenangan dari Notaris diatur dalam Pasal 15 UUJNP, yang


menentukan :

1) Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan,


perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-
undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk
dinyatakan dalam akta otentik.

2) Menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta,


memberikan grosse, salinan dan kutipan akta.

3) Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di


bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus.
4) Membubuhkan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam
buku khusus.

5) Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan, berupa salinan


yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam
surat yang bersangkutan.
54

6) Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya.

7) Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta.

8) Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan.

9) Membuat akta risalah lelang

Kewenangan Notaris tersebut dibatasi oleh ketentuan-ketentuan


lain yakni :

1) Tidak semua pejabat umum dapat membuat semua akta, seorang


pejabat umum hanya dapat membuat akta akta tertentu yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan (Pasal 1).

2) Notaris tidak berwenang membuat akta untuk kepentingan orang-orang


tertentu (Pasal 53) Maksudnya, bahwa Notaris tidak

diperbolehkan membuat akta untuk diri sendiri, suami/istrinya,


keluarga sedarah maupun keluarga semenda dari Notaris, dalam garis
keturunan lurus ke bawah tanpa batasan derajat serta dalam garis ke
samping sampai dengan derajat ketiga, baik menjadi pihak untuk diri
sendiri maupun melalui kuasa. Hal ini untuk mencegah terjadinya
suatu tindakan memihak dan penyalahgunaan jabatan. Notaris hanya
berwenang untuk membuat akta otentik di wilayah hukum atau
wilayah jabatannya. Di luar wilayah hukum atau wilayah jabatannya,
maka akta yang dibuat tidak mempunyai kekuatan sebagai akta notariil
(Pasal 17).
3) Notaris tidak boleh membuat akta, apabila Notaris masih menjalankan
cuti atau dipecat dari jabatannya. Notaris juga tidak boleh membuat
akta, apabila Notaris tersebut belum diambil sumpahnya (Pasal 11).

Sedangkan syarat untuk menjadi seorang Notaris terdapat dalam


Pasal 3 UUJNP, yaitu :

1) Warga Negara Indonesia

2) Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa

3) Berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh) tahun


55

4) Sehat jasmani dan rohani

5) Berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan

6) Telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai


karyawan Notaris dalam waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut
pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi
organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan, dan

7) Tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau


tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang
dilarang untuk dirangkap oleh jabatan Notaris.

Peraturan yang ditujukan kepada Notaris sebagai pejabat umum


dimaksudkan, agar ada kepastian hukum di dalam perbuatan atau tugas
tertentu yang dibebankan kepada Notaris tersebut. Pada dasarnya, salah
satu tugas yang terpenting bagi pemerintah sebagai penguasa (overheid)
adalah azas memberikan dan menjamin adanya rasa kepastian hukum bagi
para warga anggota masyarakat.

Dalam bidang tertentu tugas itu oleh penguasa melalui undang-


undang diberikan dan dipercayakan kepada Notaris, dan sebaliknya
masyarakat juga harus percaya bahwa akta Notaris yang dibuat itu
memberikan kepastian hukum bagi para warganya. Pelayanan negara
terhadap masyarakat umum dibagi 2 bagian yang mendasar, yaitu:

1) Pelayanan negara kepada masyarakat umum dalam bidang publik.


Dijalankan oleh pemerintah atau eksekutif atau dikenal dengan istilah
Pejabat Tata Usaha Kewenangan, atau Pejabat Administrasi Negara
yang mempunyai kewenangan, serta kekuasaan untuk memberikan
pelayanan kepada dan untuk kepentingan masyarakat umum, akan
tetapi tidak terbatas hanya dalam publik saja, yang disebut pejabat
pemerintah.

2) Pelayanan negara kepada masyarakat umum dalam bidang hukum


perdata. Pelayanan dalam bidang hukum perdata ini dijalankan "atas
nama negara", dilaksanakan oleh organ negara, tetapi bukan
56

oleh eksekutif/pemerintah, melainkan dijalankan oleh pejabat umum.


Notaris sebagai pejabat umum, tidak berwenang untuk membuat akta
di bidang hukum publik, wewenangnya hanya terbatas pada
pembuatan akta di bidang hukum perdata.

Dalam sumpah jabatan Notaris juga disebutkan, bahwa seorang


Notaris akan menjaga sikap, tingkah laku, dan akan menjalankan
kewajiban sesuai Kode Etik Profesi, kehormatan, martabat, dan tanggung
jawab sebagai Notaris, Kode Etik Notaris sangat diperlukan bagi Notaris
dalam menjalankan tugas jabatannya, sehingga perlu dibuat secara
tertulis untuk diketahui secara luas bagi setiap Notaris, bahkan Kode Etik
Notaris menjadi salah satu bahan kelulusan untuk dapat menjadi Notaris.

b. Tanggung jawab Notaris selaku Pejabat Umum

Notaris diangkat bukan untuk kepentingan sendiri, akan tetapi untuk


kepentingan masyarakat yang dilayaninya. Untuk itu undang-undang
diberikan kepercayaan begitu besar dan secara umum dapat dikatakan
bahwa setiap kepercayaan terhadap seseorang meletakkan tanggung
jawab di atas bahunya, baik berdasarkan hukum maupun berdasarkan

moral.81

Tanggung jawab Notaris dibedakan menjadi empat yaitu82:

1) Tanggung jawab Notaris secara perdata atas akta yang dibuat


Penjelasan UUJNP menunjukkan bahwa Notaris hanya

sekedar bertanggungjawab terhadap formalitas dari suatu akta otentik


dan tidak terhadap materi akta otentik tersebut. Hal ini mewajibkan
Notaris untuk bersikap netral dan tidak memihak serta memberikan
semacam nasehat serta memberikan nasehat hukum bagi klien yang
meminta petunjuk hukum pada Notaris yang bersangkutan. Sejalan
dengan hal tersebut maka Notaris dapat dipertanggungjawabkan atas

81
GHS. Lumbang Tobing, Peraturan Jabatan Notaris. Erlangga, Jakarta, 1996, hal. 301.
82
Abdul Ghofur Anshori, 2013. Lembaga Kenotariatan Indonesia: Perspektif Hukum dan Etika. UII
Press, Yogyakarta, hal.34
57

kebenaran materiil suatu akta bila nasehat hukum yang diberikan


ternyata di kemudian hari merupakan suatu hal yang keliru.

Melalui kontruksi penjelasan UUJNP tersebut dapat ditarik


kesimpulan bahwa Notaris dapat dimintai pertanggungjawaban atas
kebenaran materiil suatu akta yang dibuatnya bila ternyata Notaris
tersebut tidak memberikan akses mengenai suatu hukum tertentu yang
berkaitan dengan akta yang dibuatnya sehingga salah satu pihak
merasa tertipu atas ketidaktahuannya, untuk itulah disarankan bagi
Notaris unuk memberikan informasi hukum yang penting yang
selayaknya diketahui klien sepanjang yang berurusan dengan masalah
hukum. Lebih lanjut dijelaskan juga bahwa ada hal lain yang juga
harus diperhatikan oleh Notaris, yaitu berkaitan dengan perlindungan
hukum Notaris itu sendiri, dengan tidak adanya ketidakhati-hatian dan
kesungguhan yang dilakukan Notaris, sebenarnya Notaris telah
membawa dirinya pada suatu perbuatan yang oleh undang-undang
harus dipertanggungjawabkan. Jika suatu kesalahan yang dilakukan
oleh Notaris dapat dibuktikan, maka Notaris dapat dikenakan sanksi
berupa ancaman sebagaimana yang telah ditentukan oleh undang-
undang.

2) Tanggung jawab Notaris secara pidana atas akta yang dibuat


Ketentuan mengenai pidana tidak diatur dalam UUJNP

namun tanggung jawab Notaris secara pidana dikenakan apabila


Notaris melakukan perbuatan pidana. UUJNP hanya mengatur sanksi
atas pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris terhadap UUJNP
sanksi tersebut dapat berupa akta yang dibuat oleh Notaris tidak
memiliki kekuatan otentik atau hanya mempunyai kekuatan sebagai
akta di bawah tangan. Terhadap Notarisnya sendiri dapat diberikan
sanksi yang berupa teguran hingga pemberhentian dengan tidak
hormat.
58

Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu


aturan hukum. Larangan tersebut disertai ancaman atau sanksi yang
berupa pidana tertentu bagi yang melanggar larangan tersebut.

3) Tanggung jawab Notaris berdasarkan peraturan jabatan Notaris


Peraturan jabatan Notaris adalah peraturan-peraturan yang

ada dalam kaitannya dengan profesi Notaris di Indonesia. Regulasi


mengenai Notaris di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 2
tahun 2014 tentang jabatan Notaris. Berkaitan dengan tanggung
jawab Notaris secara eksplisit disebutkan dalam pasal 65 UUJNP
yang menyatakan bahwa Notaris, Notaris Pengganti dan Pejabat
Sementara Notaris bertanggung jawab atas setiap akta yang dibuatnya
meskipun protokol Notaris telah diserahkan atau dipindahkan kepada
pihak penyimpan Protokol Notaris.

4) Tanggung jawab Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya


berdasarkan kode etik

Profesi Notaris dapat dilihat dalam perspektif secara integral.


Melalui perspektif terintegrasi ini maka profesi Notaris merupakan
profesi yang berkaitan dengan individu, organisasi profesi,
masyarakat pada umumnya dan negara. Tindakan Notaris akan
berkaitan dengan elemen-elemen tersebut oleh karenanya suatu
tindakan yang keliru dari Notaris dalam menjalankan pekerjaannya
tidak hanya akan merugikan Notaris itu sendiri namun juga
merugikan organisasi profesi, masyarakat dan negara.

Hubungan profesi Notaris dengan masyarakat dan negara


telah diatur dalam UUJNP berikut peraturan perundang-undangan
lainnya. Sementara hubungan profesi Notaris dengan organisasi
profesi diatur melalui kode etik Notaris. Keberadaan kode etik
Notaris merupakan konsekuensi logis untuk suatu pekerjaan disebut
sebagai profesi.
59

c. Kode Etik Notaris

Kode etik Notaris Indonesia ditetapkan beberapa kaidah yang


harus dipegang oleh Notaris (selain memegang teguh kepada peraturan
jabatan Notaris), diantaranya berkaitan dengan kepribadian Notaris,
dalam menjalankan tugas, hubungan Notaris dengan klien dan hubungan
Notaris dengan sesama rekan Notaris.83

Profesi selalu terkait dengan kode etik, karenanya organisasi


organisasi professional tentunya selalu dilengkapi dengan peraturan-
peraturan sendiri. Pada tempat inilah muncul kode etik, ia bukan
merupakan kaidah hukum dalam arti lazim, walaupun ada kalanya ada
beberapa hal yang diatur dalam kode etik juga telah diatur oleh kaidah
hukum baik di dalam hukum perdata maupun dalam hukum pidana.84

Pada hakekatnya etika setiap profesi tercermin dari kode etiknya,


berupa suatu ikatan, suatu aturan yang harus diresapi dan dipatuhi oleh
anggota profesi tersebut. Peranan seorang professional yang taat kode
etiknya, memberikan suatu kepercayaan terhadap kebutuhan masyarakat
akan peningkatan dari suatu kualitas kerja professional.85

Menurut Soebekti, tujuan mengadakan kode etik dalam suatu


kalangan profesi adalah :

1) Menjunjung tinggi martabat profesi. Dari hal tersebut kode etik juga
mendapat nama “kode kehormatan”,

2) Menjaga atau memelihara kesejahteraan para anggotanya, dengan


mengadakan larangan-larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan

yang akan merugikan kesejahteraan materiil para anggotanya.


Profesi Notaris sebagaimana halnya profesi hukum yang lain,
memiliki rumusan kode etik sendiri yang mengusahakan agar terciptanya

83
Supriadi, 2010. Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta,
hal.51-52.
84
Iganatius Ridwan Widyadharma, Hukum Profesi Tentang Profesi Hukum, (Semarang : Mimbar,
2000), hal. 117.
85
Ibid., hal. 118.
60

suatu keserasian nilai-nilai kaidah dan perilaku. Berdasarkan rumusan


tersebut diungkapkan pengertian kode etik pada Pasal 1 angka 2, yaitu :

“Kode etik adalah dan untuk selanjutnya akan disebut Kode Etik
adalah kaidah moral yang ditentukan oleh Perkumpulan Ikatan Notaris
Indonesia yang selanjutnya akan disebut “Perkumpulan” berdasarkan
keputusan Konggres Perkumpulan dan/atau yang ditentukan oleh dan
diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
hal itu dan yang berlaku bagi serta wajib ditaati oleh setiap dan semua
anggota Perkumpulan dan semua orang yang menjalankan tugas
jabatan sebagai Notaris, termasuk didalamnya para Pejabat Sementara
Notaris, Notaris Pengganti pada saat menjalankan jabatan”.

Kode etik tersebut berlaku bagi seluruh anggota perkumpulan

maupun orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan Notaris

baik dalam pelaksanaan jabatan maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Kewajiban-kewajiban yang terkandung dalam kode etik Notaris sebagian

adalah merupakan kewajiban Notaris sebagaimana tertuang dalam UUJN,

diantaranya adalah sebagai berikut :

1) Memiliki moral, akhlak serta kepribadian yang baik,

2) Menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat jabatan


Notaris,

3) Menjaga dan membela kehormatan perkumpulan,

4) Bertindak jujur, mandiri, tidak berpihak, penuh rasa tanggung jawab,


berdasarkan peraturan perundang-undangan dan isi sumpah jabatan
Notaris,
5) Mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat dan negara,

6) Memberikan jasa pembuatan akta dan jasa kenotarisan lainnya untuk


masyarakat yang tidak mampu tanpa memungut honorarium,

7) Menetapkan satu kantor di tempat kedudukan dan kantor tersebut


merupakan satu-satunya kantor bagi Notaris yang bersangkutan dalam
melaksanakan tugas jabatan sehari-hari.

8) Menjalankan jabatan Notaris terutama dalam pembuatan pembacaan


dan penandatanganan akta dilakukan di kantornya, kecuali karena
alasan-alasan yang sah,
61

9) Melakukan perbuatan-perbuatan yang secara umum disebut sebagai


kewajiban untuk ditaati dan dilaksanakan antar lain, namun tidak
terbatas pada ketentuan yang tercantum dalam:

a) UU Nomor 2 tahun 2014 sebagai perubahan atas UU Nomor 30


Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN);

b) Penjelasan Pasal 19 ayat (2) UUJN;

c) Isi sumpah Jabatan Notaris;

d) Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Ikatan Notaris

Sedangkan mengenai larangan, Notaris dan orang lain yang


memangku dan menjalankan jabatan Notaris dilarang antara lain untuk:

1) Mempunyai lebih dari 1 (satu) kantor, baik kantor cabang ataupun


kantor perwakilan,

2) Memasang papan nama dan/atau tulisan yang berbunyi


“Notaris/kantor Notaris” diluar lingkungan kantor,

3) Melakukan publikasi atau promosi diri, baik sendiri maupun secara


bersama-sama, dengan mencantumkan nama dan jabatannya,
menggunakan sarana media cetak dan/atau elektronik dalam bentuk:

a) Iklan

b) Ucapan selamat

c) Ucapan bela sungkawa

d) Ucapan terimakasih

e) Kegiatan pemasaran
f) Kegiatan sponsor, baik dalam bidang sosial, keagamaan maupun
olah raga.

4) Bekerja sama dengan Biro jasa/orang/Badan Hukum yang pada


hakekatnya bertindak sebagai perantara untuk mencari atau
mendapatkan klien

5) Menandatangani akta yang proses pembuatan minutanya telah


dipersiapkan oleh pihak lain,

6) Mengirimkan minuta kepada klien untuk ditandatangani,


62

7) Berusaha dengan cara apapun, agar seseorang berpindah dari Notaris


lain kepadanya, baik upaya itu ditujukan langsung kepada klien yang
bersangkutan maupun melalui perantara orang lain,

8) Melakukan pemaksaan kepada klien dengan cara menahan dokumen-


dokumen yang telah diserahkan dan/atau melakukan tekanan
psikologis dengan maksud agar klien tersebut tetap membuat aktanya,

9) Menetapkan honorarium yang harus dibayar kepada klien dalam


jumlah yang lebih rendah dari honorarium yang telah ditetapkan

perkumpulan.

Rumusan kode etik tersebut juga dilengkapi ketentuan mengenai sanksi,


yaitu :

1) Sanksi yang dikenakan terhadap anggota yang melakukan


pelanggaran kode etik dapat berupa:

5) Teguran,

6) Peringatan,

7) Schorsing (pemecatan sementara) dari keanggotaan perkumpulan,

8) Onzetting (pemecatan) dari keanggotaan perkumpulan,

9) Pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan perkumpulan.

2) Penjatuhan sanksi-sanksi sebagimana terurai di atas terhadap anggota


yang melanggar kode etik disesuaikan dengan kuantitas dan kualitas
pelanggaran yang dilakukan anggota tersebut.

d. Hak, Kewajiban dan Larangan Bagi Notaris

Otoritas Notaris diberikan oleh undang-undang untuk pelayanan


kepentingan publik, bukan untuk kepentingan diri pribadi Notaris. Oleh
karena itu kewajiban-kewajiban yang diemban Notaris adalah kewajiban
jabatan (ambtsplicht). Notaris wajib melakukan perintah tugas jabatannya
itu, sesuai dengan isi sumpah pada waktu hendak memangku jabatan
Notaris. Batasan seorang Notaris dikatakan mengabaikan tugas atau
kewajiban jabatan, apabila Notaris tidak melakukan perintah imperatif
undang-undang yang dibebankan kepadanya.
63

Di dalam melaksanakan tugasnya, Notaris mempunyai beberapa


hak, kewajiban serta larangan. Hak dari seorang Notaris berupa :

1) Hak untuk cuti (Pasal 25)

2) Hak untuk mendapat honorarium (Pasal 36)

3) Hak ingkar (Pasal 4, jo Pasal 16 huruf e jo Pasal


54) Kewajiban Notaris meliputi :

1) Mengucapkan sumpah/janji sebelum menjalankan jabatannya (Pasal 4


ayat (1)

2) Wajib menjalankan jabatan secara nyata, menyampaikan berita acara


sumpah/janji jabatan, alamat kantor, contoh tanda tangan dan paraf
serta teraan cap/stempel jabatan Notaris (Pasal 7)

3) Bertindak jujur, bijaksana, mandiri, tidak berpihak; dan menjaga


kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum (Pasal 16 ayat
(1) huruf a)

4) Membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai


bagian dari Protokol Notaris (Pasal 16 ayat (1) huruf b)

5) Mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan. Akta


berdasarkan Minuta Akta (Pasal 16 ayat (1) huruf c)

6) Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan


(Pasal 16 ayat (1) huruf d)

7) Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya, kecuali


undang-undang menentukan lain (Pasal 16 ayat (1) huruf e)

8) Menjilid akta (Pasal 16 ayat (1) huruf f)


9) Membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak
diterimanya surat berhonorarium (Pasal 16 ayat (1) huruf g)

10) Membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan
waktu pembuatan akta tiap bulan (Pasal 16 ayat (1) huruf h)

11) Mengirimkan daftar akta ke Daftar Pusat Wasiat Departemen dalam


waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama tiap bulan berikutnya (Pasal
16 ayat (1) huruf i)

12) Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada


64

setiap akhir bulan (Pasal 16 ayat (1) huruf j)

13) Mempunyai cap/stempel yang memuat lambang negara Republik


Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama,
jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan (Pasal 16 ayat

(1) huruf k)

14) Membacakan akta di hadapan penghadap (Pasal 16 ayat (1) huruf)

15) Menerima magang calon Notaris (Pasal 16 ayat (1) huruf m)

16) Berkantor di tempat kedudukannya (Pasal 19 ayat (1)

17) Wajib memberikan jasa hukum kepada orang tidak mampu (Pasal 37).
Larangan yang harus dipatuhi oleh Notaris menurut Pasal 17

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yaitu:

1) Menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya

2) Meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja


berturut-turut tanpa alasan yang sah

3) Merangkap sebagai pegawai negeri

4) Merangkap jabatan sebagai pejabat Negara

5) Merangkap jabatan sebagai advokat

6) Merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai Badan Usaha


Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah atau Badan Usaha Swasta

7) Merangkap sebagai PPAT di luar wilayah jabatan Notaris

8) Menjadi Notaris Pengganti


9) Melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama,
kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan
martabat jabatan Notaris.

e. Pengangkatan dan Pemberhentian Notaris dalam Jabatannya

Mengenai pengangkatan dan pemberhentian Notaris dalam


jabatannya, UUJN telah mengatur ketentuan tersebut pada Bab II, Pasal 2
sampai dengan Pasal 14. Dalam ketentuan tersebut disebutkan bahwa
pengangkatan dan pemberhentian Notaris dilakukan oleh Menteri (Pasal 2
UUJN). Syarat untuk dapat diangkat menjadi Notaris adalah sebagai
berikut:
65

1) Warga Negara Indonesia,

2) Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,

3) Berusia minimal 27 (dua puluh tujuh) tahun,

4) Sehat jasmani dan rohani,

5) Memiliki ijazah Sarjana Hukum dan lulusan Strata dua (S2)


kenotariatan,

6) Telah menjalani magang atau telah bekerja sebagai karyawan Notaris


dalam waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut pada kantor Notaris
atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah
lulus Starata Dua Kenotariatan,

7) Tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat atau


tidak sedang memamgku jabatan lain yang oleh undang-

undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris. Mengenai


pengangkatan Notaris tersebut diharuskan adanya

pemgambilan sumpah/janji menurut agamanya dihadapan Menteri atau


pejabat yang ditunjuk, pengucapan sumpah atau janji tersebut dilakukan
dalam waktu paling lambat dua bulan terhitung sejak tanggal keputusan
pengangkatan sebagai Notaris.

Mengenai pemberhentian Notaris, terbagi menjadi 3 (tiga) kriteria


berdasarkan Pasal 8, 9, 12 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang
Jabatan Notaris, yaitu sebagai berikut :

1) Notaris berhenti atau diberhentikan dari jabatannya dengan hormat,


hal tersebut dikarenakan:

a) meninggal dunia;
b) telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun;

c) karena permintaan sendiri;

d) tidak mampu secara rohani dan/atau jasmani untuk melaksanakan


tugas jabatan Notaris terus-menerus lebih dari 3 (tiga) tahun;

e) merangkap jabatan sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 huruf g


UUJN.
66

2) Notaris diberhentikan sementara dari jabatannya, hal tersebut


dikarenakan :

a) dalam proses pailit atau penundaan kewajiban pembayaran utang;

b) berada di bawah pengampuan;

c) melakukan perbuatan tercela;

d) melakukan pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan jabatan.

3) Notaris diberhentikan dengan tidak hormat, hal tersebut dikarenakan :

a) dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah


memperoleh kekuatan hukum tetap;

b) berada di bawah pengampuan secara terus-menerus selama lebih


dari 3 (tiga) tahun;

c) melakukan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan martabat


jabatan Notaris;

d) melakukan pelanggaran berat terhadap kewajiban dan larangan


jabatan.

f. Kedudukan Akta Notaris

Notaris diberi kewenangan oleh undang-undang menciptakan alat


pembuktian yang mutlak yaitu akta otentik, akta Notaris adalah adalah
akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan
tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang, maksudnya adalah suatu
akta yang isinya pada pokoknya dianggap benar. Hal tersebut sangat
penting untuk yang membutuhkan alat pembuktian untuk suatu keperluan,
baik untuk pribadi maupun untuk kepentingan suatu usaha.86

Kehadiran dan perlunya ada serta terciptanya akta otentik jika


dilihat dari asas manfaatnya adalah karena kebutuhan masyarakat akan
pentingnya alat bukti tertulis yang mempunyai kedudukan istimewa,

86
Ahmad Priyo Susetyo, Fungsi Notaris Dalam Pembuatan Akta, (Semarang : Tesis Magister
Kenotariatan Universitas Diponegoro, 2005), hal. 31.
67

khususnya dalam bidang hukum perdata, hal ini sangat erat kaitannya

dengan kewajiban/beban pembuktian (khusus dalam sengketa dan


87
perkara menurut hukum acara perdata).
Akta otentik membuktikan sendiri keabsahannya atau seperti

yang lazim disebut dalam bahasa latin acta publica probant sese ipsa,
apabila suatu akta dikatakan sebagai akta otentik, artinya menandakan
dirinya dari luar, dari kata-katanya sebagai yang berasal dari seorang
pejabat umum, maka akta itu terhadap setiap orang dianggap sebagai akta
otentik, sampai dapat dibuktikan sebaliknya (tidak otentik).88

Apabila suatu akta hendak memperoleh suatu stempel otentitas,


yang merupakan akta Notaris, maka menurut ketentuan dalam Pasal 1868
KUH Perdata, akta yang bersangkutan harus memenuhi persyaratan-
persyaratan sebagai berikut:

1) Akta itu dibuat “oleh” (door) atau“ dihadapan” (ten overstaan)


seorang pejabat umum.

2) Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-
undang,

3) Pejabat umum oleh-atau dihadapan siapa akta itu dibuat harus


mempunyai wewenang untuk membuat akta itu (dalam hal misalnya
Notaris).

4. Tinjauan Umum Sistem Administrasi Badan Hukum


(SABH) a. PermenkumHAM Nomor 1 tahun 2016

Tanggal 7 Januari 2016 telah diundangkan Peraturan Menteri


Hukum dan Hak Asasi Manusia (PermenkumHAM) Nomor 1 Tahun
2016. PermenkumHAM ini merubah sebagian ketentuan dalam
PermekumHAM Nomor 4 Tahun 2014 yakni tentang Pengesahan,
Perubahan Anggaran Dasar dan Perubahan Data Perseroan. Ada 3 bagian
yang dilakukan perubahan dalam PermenkumHAM tersebut,

87
Loc. Cit.
88 Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Jakarta : Erlangga, 1983), hal. 55.
68

yakni terkait pada fase Pendirian, Perubahan Anggaran Dasar dan


Perubahan Data.

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Permenkum


HAM) Nomor 4 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan
Pengesahan Badan Hukum dan Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar
serta Penyampaian Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasar dan
Perubahan Data Perseroan Terbatas (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 nomor 392) ada beberapa ketentuan yang diubah.

Ketentuan Pasal 13 (Proses Pendirian), diubah sehingga berbunyi


sebagai berikut :

1) Pengisian format Pendirian Perseroan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 11 ayat (3) juga harus dilengkapi dengan dokumen pendukung
yang disampaikan secara elektronik.

2) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa


surat pernyataan secara elektronik dari pemohon tentang dokumen
untuk pendirian Perseroan yang telah lengkap.

3) Selain menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2),


pemohon juga harus mengunggah Akta Pendirian Perseroan.

4) Dokumen untuk pendirian Perseroan sebagaiman dimaksud pada ayat

(2) disimpan Notaris, yang meliputi :

a) Minuta akta pendirian Perseroan atau minuta akta perubahan


pendirian Perseroan;

b) Minuta akta peleburan dalam hal pendirian Perseroan


dilakukan dalam rangka peleburan;
c) Bukti setor modal Perseroan, berupa :

(1) Fotokopi slip setoran atau fotokopi surat keterangan bank


atas nama Perseroan atau rekening bersama atas nama para
pendiri atau asli surat pernyataan telah menyetor modal
Perseroan yang ditandatangani oleh semua anggota Direksi
bersama-sama semua pendiri serta semua anggota Dewan
69

Komisaris Perseroan, jika setoran modal dalam bentuk


uang.

(2) Asli surat keterangan penilaian dari ahli yang tidak


terafiliasi atau bukti pembelian barang jika setoran modal
dalam bentuk lain selain uang yang disertai bukti
pengumuman dalam surat kabar, jika setoran dalam bentuk
benda tidak bergerak.

(3) Fotokopi Peraturan Pemerintah dan/atau Keputusan


Menteri Keuangan bagi Perseroan Persero atau Peraturan
Daerah dalam hal pendiri adalah Perusahaan Daerah atau
Pemerintah Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota.

(4) Fotokopi neraca dari Perseroan yang meleburkan diri atau


neraca dari perusahaan bukan Badan Hukum yang
dimasukkan sebagai setoran modal.

d) Surat pernyataan kesanggupan dari pendiri untuk memperoleh


keputusan, persetujuan, atau rekomendasi dari instansi teknis
untuk Perseroan bidang usaha tertentu atau fotokopi
keputusan, persertujuan, dan rekomendasi dari instansi teknis
terkait untuk Perseroan bidang usaha tertentu.

e) Surat pernyataan kesanggupan dari pendiri untuk memperoleh


Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak dan laporan penerimaan
surat pemberitahuan tahunan pajak.

f) Fotokopi surat keterangan mengenai alamat lengkap Perseroan


dari pengelola gedung atau instansi yang berwenang atau asli
surat pernyataan mengenai alamat lengkap Perseroan yang
ditandatangani oleh semua anggota direksi bersama-sama
semua pendiri serta semua anggota dewan komisaris
Perseroan.

Pada proses pendirian, PermenkumHAM Nomor 1 Tahun 2016,


Pasal 13 ayat (4) butir e mensyaratkan dokumen tambahan yang harus
ada dimintakan Notaris kepada pendiri, yaitu surat pernyataan
70

kesanggupan dari pendiri untuk memperoleh Kartu Nomor Pokok Wajib


Pajak (NPWP) dan laporan penerimaan Surat Pemberitahuan Tahunan
(SPT) pajak.

Berdasarkan penjelasan dari perwakilan Ditjen Pajak yang ikut


dalam pembahasan perubahan PermenkumHAM, masuknya aturan
terkait Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan Pemberitahuan Tahunan
(SPT) dalam PermenkumHAM Nomor 1 Tahun 2016 dilatarbelakangi
oleh instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Aksi Pencegahan
dan Pemberantasan Korupsi. Di dalam Instruksi Presiden tersebut ada
peraturan kewajiban melakukan konfimasi status Wajib Pajak untuk
melakukan konfirmasi status Wajib Pajak untuk layanan publik tertentu,
termasuk layanan badan hukum di KemenkumHAM.

Secara teknis ada 3 alternatif yang bisa diserahkan Pendiri kepada

Notaris, yakni :

1) Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan bukti lapor Surat

Pemberitahuan Tahunan (apabila kedua hal tersebut sudah

dilakukan).

2) Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan surat kesanggupan lapor


Surat Pemberitahuan Tahunan (apabila sudah ada Nomor Pokok
Wajib (NPWP) pajak tapi belum lapor Surat Pemberitahuan
Tahunan).

3) Surat kesanggupan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan lapor


Surat Pemberitahuan Tahunan (apabila belum ada Nomor Pokok
Wajib Pajak NPWP) dan tentunya belum lapor Surat Pemberitahuan
Ketentuan Pasal 25 (Perubahan Anggaran Dasar), diubah sehingga
berbunyi sebagai berikut :

1) Pengisian format perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24


ayat (2) juga harus dilengkapi dengan dokumen pendukung yang
disampaikan secara elektronik.
71

2) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa


pernyataan secara elektronik dari pemohon mengenai dokumen
Perubahan Anggaraan Dasar yang lengkap.

3) Selain menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2),


pemohon juga harus menggunggah akta Perubahan Anggaran Dasar
Perseroan dan neraca serta laporan laba rugi dari tahun buku
bersangkutan bagi Perseroan yang wajib diaudit.

4) Dokumen Perubahan Anggaran Dasar sebagaimana dimaksud pada


ayat (2) disimpan Notaris, yang meliputi :

a) Akta tentang Perubahan Anggaran Dasar yang dibuat Notaris;

b) Notula RUPS Perubahan Anggaran Dasar atau keputusan


pemegang saham di luar RUPS;

c) Akta tentang pengabungan, peleburan, pengambilalihan, dan


pemisahan yang dibuat notaris, jika Perubahan Anggaran Dasar
dalam rangka penggabungan, dengan melampirkan:

(1) Akta tentang persetujuan penggabungan, peleburan,


pengambilalihan dan pemisahan rancangan penggabungan,
peleburan, pengambilalihan, dan pemisahan rancangan
penggabungan, peleburan, pengambilalihan, dan pemisahan
dari Perseroan.

(2) Fotokopi laporan keuangan yang meliputi 3 (tiga) tahun


terakhir dari setiap Perseroan yang akan melakukan
penggabungan, peleburan, pengambilalihan, dan pemisahan.

(3) Bukti pengumuman dalam 1 (satu) surat kabar mengenai


ringkasan rancangan penggabungan, peleburan, pengambil
alihan, dan pemisahan Perseroan.
d) Bukti pembayaran penguuman dalam Tambahan Berita Negara
Republik Indonesia.

e) Bukti setor modal Perseroan dari bank atas nama Perseroan,


neraca Perseroan tahun buku berjalan, atau bukti setor dalam
72

bentuk lain, jika Perubahan Anggaran Dasar mengenai penigkatan


modal setor Perseroan.

2. Fotokopi dokumen pendukung dari instansiterkait sesuai dengan


ketentuan peraturan perundang-undangan yang diketahui Notaris
sesuai dengan aslinya.

3. Fotokopi neraca dan laporan laba rugi dari tahun buku


bersangkutan bagi Perseroan yang wajib diaudit.

4. Fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak dan laporan


penerimaan Surat Pemberitahuan Tahunan pajak Perseroan.

4) Ketentuan mengenai Surat Pemberitahuan Tahunan pajak tidak


berlaku bagi perseroan yang melakukan Perubahan Anggaran Dasar
dibawah 1 (satu) tahun setelah Nomor Pokok Wajib Pajak diterbitkan.

Dalam perubahan Pasal 25, ada 2 hal penting yang harus diketahui,
yakni :

2 Kewajiban untuk mengunggah akta Perubahan Anggaran Dasar dan


neraca serta laporan laba rugi dari tahun buku bersangkutan bagi
Perseroan yang wajib diaudit. (Pasal 25 ayat 3, diubah)

3 Fotokopi neraca dan laporan laba rugi dari tahun buku bersangkutan
bagi Perseroan yang wajib diaudit. (Pasal 25 ayat 4 huruf g, diubah)

Kewajiban mengunggah dan menyimpan fotokopi neraca dan

laporan laba rugi bagi Perusahaan yang wajib diaudit mungkin


merupakan kewajiban baru bagi para Notaris. Sesungguhnya ini
merupakan kewajiban Perseroan menurut Pasal 66 ayat 4 UUPT.
Selanjutnya dalam Pasal 68 ayat 1 UUPT kategori Perseroan wajib
diaudit adalah:
6) Kegiatan usaha Perseroan adalah menghimpun dan/atau mengelola
dana masyarakat.

7) Perseroan menerbitkan surat pengakuan utang kepada masyarakat.

8) Perseroan merupakan Perseroan Terbuka.

9) Perseroan merupakan persero.


73

5) Perseroan mempunyai aset dan/ atau jumlah peredaran usaha dengan


nilai paling sedikit Rp.50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah).

6) Diwajibakan oleh peraturan perundang-undangan.

Ketentun Pasal 26, diubah sehingga berbunyi bahwa ketentuan


mengenai tata cara permohonan pengesahan badan hukum Perseroan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 sampai 16, berlaku secara mutatis
mutandis untuk tata cara permohonan pemberitahuan perubahan
anggaran dasar Perseroan.

PermenkumHAm Nomor 1 Tahun 2016 juga mengubah ketentuan


Pasal 26 yaitu dengan menghapus Pasal 12 sebagai ketentuan mutatis
mutandis. Hal ini beralasan karena untuk pemberitahuan Perubahan
Anggaran Dasar tidak dikenakan biaya PNBP (Penerimaan Negara
Bukan Pajak).

Ketentuan Pasal 28 (Pemberitahuan Perubahan Data Perseroan),


diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :

6 Pengisian format perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27


ayat (2) juga harus dilengkapi dengan dokumen pendukung yang
disampaikan secara elektronik.

7 Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat 1 (satu)


berupa pernyataan secara elektronik dari pemohon mengenai
dokumen Perubahan Data Perseroan yang telah lengkap.

8 Selain menyampaikan dokumen sebagaiman dimaksud pada ayat (2),


pemohon juga harus mengunggah akta Perubahan Data Perseroan dan
neraca serta laporan laba rugi dari tahun buku bersangkutan bagi
Perseroan yang wajib diaudit.
9 Dokumen Perubahan Data Persroan sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) disimpan Notaris, untuk :

5) Perubahan susunan pemegang saham karena pengalihan saham


dan/ atau perubahan jumlah kepemilikan saham yang dimiliki,
berupa :
74

Akta tentang perubahan susunan pemegang saham yang


meliputi nama dan jumlah saham yang dimiliki; dan/ atau

Akta pemindahan hak atas saham sesuai dengan ketentuan


peraturan perundang-undangan.

7) Perubahan nama pemegang saham karena pemegang saham ganti


nama, berupa:

Akta tentang RUPS, akta keputusan pemegang saham di luar


RUPS, atau dokumen lainnya tentang ganti nama pemegang
saham; dan

Keputusan instansi terkait mengenai perubahan nama


pemegang saham badan hukum atau orang perseorangan.

8) Perubahan susunan nama dan jabatan anggota Direksi dan/atau


Dewan Komisaris berupa akta tentang RUPS atau akta keputusan
pemegang saham di luar RUPS tentang perubahan susunan direksi
dan/atau dewan komisaris.

9) Fotokopi surat keterangan mengenai alamat lengkap Perseroan


dari pengelola gedung, instansi yang berwenang, atau asli surat
pernyataan mengenai alamat lengkap Perseroan yang
ditandatangani oleh Direksi Perseroan.

10) Penggabungan yang tidak disertai Perubahan Anggaran Dasar


berupa:

Salinan akta penggabungan Perseroan;

Akta RUPS atau keputusan pemegang saham di luar RUPS


tentang persetujuan rancangan penggabungan dari Perseroan
yang akan menggabungkan diri maupun yang menerima
penggabungan Perseroan;
Fotokopi laporan keuangan yang meliputi 3 (tiga) tahun buku
terakhir dari setiap Perseroan yang akan melakukan
penggabungan; dan

Pengumuman dalam 1 (satu) surat kabar mengenai ringkasan


rancangan penggabungan Perseroan.
75

4) Pembubaran Perseroan berupa;

Akta tentang RUPS, akta keputusan pemegang saham di luar


RUPS, atau dokumen lainnya yang menyetujui pembubaran
Perseroan dan bukti pengumuman pembubaran dalam surat
kabar, jika pembubaran Perseroan berdasarkan keputusan
RUPS atau jangka waktu berdirinya Perseroan yang ditetapkan
dalam anggaran dasar telah berakhir;

Akta mengenai pernyataaan likuidator tentang pembubaran


Perseroan berdasarkan penetapan pengadilan, dilampir
fotokopi penetapan pengadilan, jika Perseroan bubar
berdasarkan penetapan pengadilan, dilampiri fotokopi putusan
pengadilan yang sesuai dengan aslinya yang dibuat oleh
pengadilan;

Akta mengenai pernyataan likuidator tentang pembubaran


perseroan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap karena harta pailit
Perseroan tidak cukup untuk membayar biaya pengadilan
niaga yang sesuai dengan aslinya yang di buat oleh pengadilan
niaga;

Akta mengenai pernyataan Kurator tentang pembubaran


Perseroan berdasarkan putusan Pengadilan Niaga yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap karena harta pailit dlam
keadaan insolvensi, dilampiri fotokopi putusan pengadilan
niaga yang sesuai dengan aslinya yang dibuat oleh pengadilan
niaga; atau

Akta mengenai pernyataan direksi tentang pembubaran


Perseroan berdasarkan surat pencabutan izin usaha perbankan
dan perasuransian dari instansi pember izin usaha, dilampiri
fotokopi surat pencabutan izin usaha tersebut yang diketahui
oleh otaris sesuai denga aslinya.
76

Telah berakhirnya Perseroan berupa :

Surat pemberitahuan dari likuidator atau kurator mengenai


pertanggungjawaban hasil akhir proses likuidasi dan
pengumuman dalam surat kabar mengenai pelunasan dan
pembebasan kepada likuidator atau kurator dan akta mengenai
pertanggungjawaban hasil akhir proses likuidasi yang
diketahui oleh Notaris sesuai dengan aslinya; dan

Pengumuman dalam surat kabar mengenai hasil


penggabungan, peleburan atau pemisahan.

Fotokopi neraca dan laporan laba rugi dari tahun buku


bersangkutan bagi Perseroan yang wajib diaudit.

Fotokopi kartu nomor pokok wajib pajak dan laporan penerimaan


surat pemberitahuan tahunan pajak Perseroan.

10 Ketentuan mengenai surat pemberitahuan tahunan pajak sebagaiman


dimaksud pada ayat (3) huruf i tidak berlaku bagi Perseroan yang
melakukan perubahan anggaran dasar dan perubahan data di bawah 1
(satu) tahun setelah Nomor Pokok Wajib Pajak diterbitkan.

11 Dokumen sebagaimana dimaksudkan pada ayat (3) huruf f dan huruf g


selain disimpan pada Notaris juga harus disampaikan secara langsung
kepada Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Ketentuan Pasal 28 ini berkaitan dengan Perubahan Data


Perseroan. Hal-hal baru yang diatur dalam Pasal 28 adalah sama dengan
Pasal 25, yaitu sebagai berikut :
3) Kewajiban untuk mengunggah akta perubahan data perseroan dan
neraca serta laporan laba rugi dari tahun buku bersangkutan bagi
Perseroan yang diaudit (Pasal 28 ayat 3).

4) Fotokopi neraca dan laporan laba rugi dari tahun buku bersangkutan
bagi Perseroan yang wajin diaudit (Pasal 28 ayat 4 huruf h).

5) Fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak dan laporan penerimaan


Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Perseroan (Pasal 28 ayat 4 huruf
77

i). Ketentuan mengenai Surat Pemberitahuan Tahunan diatas tidak


berlaku apabila perubahan data perseroan dilakukan dibawah 1 tahun
sejak Nomor Pokok Wajib Pajak diterbitkan (Pasal 28 ayat 5).

Ketentuan Pasal 29, diubah sehingga berbunyi bahwa ketentuan


mengenai tata cara permohonan pengesahan badan hukum Perseroan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 sampai 16, berlaku secara mutatis
mutandis untuk tata cara permohonan pemberitahuan perubahan dara
Perseroan.

Ketentuan ini diubah alasannya sama dengan Pasal 26, yaitu


menghapus Pasal 12 sebagai mutatis mutandis. Hal ini dikarenakan
karena pemberitahuan perubahan data perseroan tidak dikenakan biaya
PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak).

b. Internet Sebagai Sarana Multimedia

Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH) merupakan suatu


terobosan baru dalam dunia hukum yang merupakan tanggapan terhadap
kemajuan teknologi dan perkembangan dunia usaha. Awalnya SABH
dihadirkan guna menggantikan sistem SISMINBAKUM dalam prosedur
pengesahan pendirian Perseroan Terbatas yang dirasa tidak efisien, hal
ini tentu saja tidak sejalan dengan peraturan pendahulunya yang
menyatakan bahwa sistem manual sudah tidak berlaku lagi.

Perkembangan teknologi informasi telah menyebabkan aktivitas


diberbagai sektor kehidupan, khususnya di bidang sosial dan ekonomi,
berkembang semakin cepat dan pesat. Bahkan hubungan-hubungan di
bidang sosial ekonomi di masyarakat, terutama masyarakat internasional,
boleh dikatakan dewasa ini telah memasuki suatu masyarakat yang
berorientasi kepada informasi. Hubungan-hubungan melalui teknologi
informasi tersebut tidak lagi secara fisik sebagaimana yang terjadi selama
ini, namun interaksi tersebut secara virtual atau cyberspace (dunia
maya).89

3)
E. Saefullah Wiradipraja, Perspektif Hukum Internasional Tentang Cyberlaw, (Jakarta : ELIPS,
2002), hal. 88.
78

Internet merupakan bagian dari multi media, yang hadir di


tengah-tengah masyarakat global sebagai alat bantu dalam penyelesaian
berbagai masalah, dalam era cyberspace saat ini multi media telah
menjadi bagian-bagian dari kegiatan sehari-hari, terlebih untuk sektor
bisnis.90

Secara teori multi media didefinisikan dalam berbagai bentuk,


namun demikian untuk lebih mempermudah pengertiannya maka multi
media diberikan pengertian sebagai sebuah produk yang
mengkombinasikan teks, grafik, audio, images (gambar) dan atau gambar
yang bergerak (moving pictures) dalam bentuk digital.

Penemuan internet sebagai suatu sistem antar jaringan dimulai


dari konsep Galantic Network yang dirancang oleh J.C.R. Licklinder dari
Massachussetts Institute Technology (MIT), konsep inisial ini kemudian
terus dikembangkan oleh Defence Advanced Research Project Agency
(DARPA).91 Internet memiliki karakteristik sendiri yang

membedakannya dengan media cetak, penyiaran atau telekomunikasi.


Keistimewaannya dalam mengkonvergensikan berbagai bentuk media
menjadikan internet sebagai media pengantar yang relatif sempurna saat
ini.92

Banyaknya tuntutan untuk mengkomputerisasikan sistem


informasi dan administrasi semua organisasi kenegaraan dan
pemerintahan timbul karena adanya perubahan yang diakibatkan oleh
berkembang dan meluasnya pemanfaatan jasa teknologi informasi yang
bersifat elektronis, dalam situasi demikian maka pelayanan hukum dan
sistem hukum akan mengalami perubahan mendasar sehingga untuk
dapat mengakses informasi hukum secara mudah maka diperlukan media
internet.
4)
Budi Santoso, Multi Media Dalam Pandangan Hak Kekeyaan Intelektual (HKI), Masalah-Masalah
Hukum, Volume XXXII Nomor 2 April-Juni 2003, (Semarang : Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro, 2003), hal. 88.
5)
Freddy Harris, S.H. L.L.M. Menanti Hukum Di Cyberspace, Jurnal Hukum Dan Teknologi, Nomor
1 Volume 1 Tahun 2001, LKHT-FHUI, hal. 115.
6)
Loc. Cit.
79

Internet sebagaimana didefinisikan oleh The U.S. Supreme Court


sebagai International Network of Interconnected Computers (Reno

ACLU 1997), telah menghadirkan kemudahan-kemudahan bagi setiap


orang bukan saja sekadar untuk berkomunikasi tapi juga untuk
melakukan transaksi bisnis dan banyak hal lainnya termasuk dalam
bidang hukum kapan saja dan dimana saja.93 Internet adalah jaringan
komputer antar negara ataupun antar benua yang berbasis Protokol
Transmission Control Protocol/Internet Protocol (TCP/IP).94

Pada intinya internet merupakan jaringan komputer yang


terhubung satu sama lain melalui media komunikasi, seperti kabel,
telepon, serat optik, satelit ataupun gelombang frekuensi. Jaringan
komputer ini dapat berukuran kecil seperti Local Area Network (LAN)
yang biasa dipakai secara intern di kantor-kantor, bank atau perusahaan
atau bisa disebut dengan Intranet, dapat juga berukuran super besar
seperti internet. Hal yang membedakan antara jaringan kecil dan jaringan
super besar adalah terletak pada ada atau tidaknya Transmission Control

Protocol/Internet Protocol (TCP/IP).95

Ketiadaan hukum yang berlaku yang dapat melindungi para


pengguna internet mengharuskan para pengguna untuk berhati-hati
terhadap kejahatan yang dilakukan lewat internet. Berbagai jenis
kejahatan yang dilakukan lewat internet yang dapat diidentifikasikan
terdiri dari beberapa golongan, diantaranya adalah:74

16 Kejahatan yang berkaitan dengan data, seperti pemutusan transfer


data, pengubahan, perusakan dan penghapusan serta pencurian data;

17 Kejahatan yang berhubungan dengan jaringan (network) penyadapan


dan sabotase;
18 Kejahatan yang berhubungan dengan akses ke internet, yaitu hacking
dan penyebaran virus;

17
Loc. Cit.
18
Agus Raharjo, Cybercrime Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi Tinggi,
(Bandung : PT. Citra Aditya Bakti 2002), hal. 59.
19
Loc. Cit.
80

Kejahatan yang berhubungan dengan komputer, seperti membantu dan


mendukung kejahatan di cyberspace, pemalsuan data lewat komputer
untuk mencari keuntungan dan pemalsuan data lewat komputer untuk
digunakan sebagai data asli;

Kejahatan yang berhubungan dengan pasar modal.


c. Perspektif Data Elektronik dalam Sistem Pembuktian

Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut


hukum oleh para pihak yang berperkara kepada hakim dalam suatu
persidangan, dengan tujuan untuk memperkuat kebenaran dalil tentang
fakta hukum yang menjadi pokok sengketa, sehingga hakim memperoleh
dasar kepastian untuk menjatuhkan keputusan.96

Peraturan tentang hukum pembuktian terdapat diberbagai undang-


undang, untuk di Indonesia, hukum pembuktian ini terdapat pada hukum
perdata, hukum pidana dan sebagian pada hukum acara pidana dan
perdata.97 Dalam hukum pembuktian ini, alat-alat bukti dalam perkara
perdata terdiri dari bukti tulisan, bukti saksi-saksi, persangkaan-
persangkaan, pengakuan dan bukti sumpah (Pasal 1866 BW atau 164
HIR).98

Pesatnya teknologi informasi melalui internet sebagaimana telah


dikemukakan, yaitu telah mengubah berbagai aspek kehidupan,
diantaranya mengubah kegiatan perdagangan dan hukum.99 Keadaan
tersebut belum mendapat pengaturan dalam sistem hukum pembuktian,
karena sampai saat ini hukum pembuktian masih menggunakan ketentuan
hukum yang lama, namun demikian, keberadaan Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan telah mulai
19
Bahtiar Effendie, Masdari Tasmin dan A. Chodari, Surat Gugat dan Hukum Pembuktian dalam
Perdara Perdata. Pt. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999.
20
Asril Sitompul, Hukum Internet, Pengenalan Mengenai Masalah Hukum di Cyberspace, (Bandung :
PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 87.
21
Isis Ikhwansyah, Prinsip-Prinsip Universal Bagi Kontrak Melalui E Commerce Dalam hukum
Pembuktian Perdata Dalam Teknologi Informasi, (Jakarta : ELIPS, 2002), hal. 33.
22
Loc. Cit.
81

merambah ke arah pembuktian data elektronik.100

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 sebenarnya tidak


mengatur masalah pembuktian, namun undang-undang ini memberi
kemungkinan kepada dokumen perusahaan yang telah diberi kedudukan
sebagai alat bukti tertulis otentik untuk diamankan melalui penyimpanan
dalam bentuk mikro film. Dokumen yang disimpan dalam bentuk
elektronis (paperless) ini dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah.101

Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 1997 telah memberikan peluang yang


luas terhadap pemahaman atas alat bukti, yaitu bahwa:

“Dokumen keuangan terdiri dari catatan, bukti pembukuan dan


data pendukung administrasi keuangan, yang merupakan bukti
adanya hak dan kewajiban serta kegiatan usaha perusahaan”

Pasal 4 UU tersebut menyatakan bahwa :

“Dokumen lainnya terdiri dari data atau setiap tulisan yang


berisi keterangan yang mempunyai nilai guna bagi perusahaan
meskipun tidak terkait langsung dengan dokumen”

Berdasarkan uraian tersebut, maka tampaknya UU tersebut telah


memberikan kemungkinan dokumen perusahaan sebagai alat bukti.102
Hukum pembuktian perdata sebagaimana telah dikemukakan, telah
menyebutkan alat-alat bukti secara limitatif, yaitu hanya menyebutkan
lima macam alat bukti. Dari kelima macam alat bukti tersebut, dalam
perkara perdata bukti tulisan mendapat kedudukan sebagai alat bukti yang
utama, apalagi yang disebut dengan bukti tulisan yang berupa akta
otentik. Akta otentik memiliki kekuatan pembuktian formil, matriil dan
mengikat keluar (sebagai alat bukti yang sempurna, sepanjang tidak
dibuktikan sebaliknya).103

2)
Loc. Cit.
3) Loc. Cit.

4) Loc. Cit.

5) Ibid., hal. 34.


82

Dalam suatu transaksi internet, apabila kemudian hari terjadi


sengketa, maka tidak mudah untuk dibawa ke pengadilan, karena
transaksi yang dilakukan di media internet kebanyakn tidak dituliskan di
atas kertas yang dapat disimpan dan juga tidak selalu kuitansi tanda
pembayaran yang ditandatangani pihak penerima pembayaran sehingga
untuk mencari alat bukti tertulis dipercayakan semata-mata pada
dokumen berbentuk file yang dibuat dimedia internet, baik melalui e-mail
atau berupa formulir on line lainnya.104

Keharusan untuk membuat perjanjian secara tertulis dan


ditandatangani adalah antara lain untuk memenuhi persyaratan dalam
hukum pembuktian, dimana dengan adanya bukti tertulis yang
ditandatangani, maka kedua pihak akan mempunyai bukti yang dapat
diterima oleh pihak yang akan mengadili bila terjadi sengketa dalam
pelaksanaan suatu perjanjian. masalah akan timbul bila pihak yang
berwenang mengadili (hakim, arbitrator atau mediator) dapat menerima
tanda tangan dan bukti tertulis yang dibuat secara on line.105

Pada transaksi terrestrial keharusan yang dibebankan secara


hukum untuk membuat suatu perjanjian tertulis dan penandatanganan
dokumen transaksi dapat dengan mudah dipenuhi para pihak dalam
transaksi. Lain halnya dengan transaksi on line, akan sulit untuk
dinyatakan secara tertulis, apalagi untuk memenuhi persyaratan tanda
tangan, karena tanda tangan yang dibubuhkan oleh pelaku transaksi
adalah tanda tangan digital bukan merupakan tanda tangan dalam arti
yang sama dengan tanda tangan yang dibubuhkan oleh pelaku transaksi di
atas dokumen, melainkan hanya kumpulan beberapa kode digital yang
disusun dan diacak dengan suatu sistem elektronik tertentu, dengan kata
lain, dalam transaksi on line tidak terdapat dokumen tertulis yang dapat
dibawa sebagai bukti autentik ke depan pengadilan atau pihak lain yang
20
Asril Sitompul, Op.Cit., hal. 88.
21 Loc. Cit.
83

dapat menyelesaikan sengketa.106

Demikian pula pembuktian dengan surat yang mengharuskan


adanya pembayaran bea materai atas setiap surat atau dokumen yang
berisi hal-hal tertentu yang membuatnya terhutang bea materai. Menurut
ketentuan hukum, maka hakim dilarang menerima barang bukti yang
tidak dilunasi bea materainya. Dalam transaksi on line, suatu kontrak atau
perjanjain dilakukan dengan pengisian formulir yang disediakan secara on
line, tidak terdapat kemungkinan pembubuhan materai pada dokumen
tersebut.107

3) Pemberlakuan Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH) secara


Elektronik dalam Pendirian Perseroan Terbatas

Sekarang dan dimasa-masa mendatang, kegiatan ekonomi, sosial,


politik dan bahkan kebudayaan tanpa dapat dihindarkan akan makin
banyak dilakukan dengan memanfaatkan jasa jaringan komputer dan
telekomunikasi elektronik. Kegiatan dengan pendekatan paperless, jasa
komputer dan telekomunikasi elektronik ini nantinya akan memperoleh
posisi yang sentral dalam kegiatan umat manusia sehari-hari. Oleh karena
itu, para ahli hukum administrasi negara dan hukum tata negara, para
penentu kebijakan dan juga para pengamat serta peminat mengenai
urusan-urusan administrasi yang berkaitan dengan fungsi-fungsi
kenegaraan dan pemerintahan harus juga turut memperhitungkan
pentingnya jasa komputer dan telekomunikasi elektronik ini di masa
mendatang.

Keseluruhan informasi yang dikomputerisasikan tersebut perlu


dikembangkan menurut standar tertentu, sehingga perangkat sistem yang
dikembangkan bersifat computable satu sama lain dan dapat saling
terkait dalam jaringan sistem informasi yang terintegrasi secara nasional
melalui sistem otomatisasi elektronik.

d)
Asril Sitompul Op.,Cit., hal. 89.
e) Loc. Cit.
84

Berdasarkan hal tersebut di atas maka pemerintah melakukan


kebijakan hukum berupa Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia Nomor: M-01.HT.01.01 TH 2000 tentang
Pemberlakuan Sistem Administrasi Badan Hukum di Direktorat Jendral
Administrasi Hukum Umum Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia, dimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat

(1), bahwa penerapan Sistem Administrasi Badan Hukum adalah


penerapan prosedur permohonan pengesahan Perseroan Terbatas dengan
menggunakan komputer atau dengan fasilitas home page/website.

Sedangkan pada ayat (2) Keputusan Menteri di atas, disebutkan


bahwa anggota atau pelanggan Sistem Administrasi Badan Hukum tersebut
adalah Notaris, Konsultan Hukum dan pihak lain yang memiliki kode
password tertentu dan telah memenuhi persyaratan administrasi yang telah
ditetapkan berdasarkan Keputusan Jenderal Administrasi Hukum Umum.

Password sendiri adalah merupakan salah satu cara sistem


komputer melakukan verifikasi terhadap pengguna, bahwa pengguna
tersebut adalah pihak yang berhak menggunakan login. Password adalah
bagian penting dari keamanan e-mail dan login, maka dari itu teknik
pemilihan password itu sifatnya rahasia, perlakukanlah layaknya hal
pribadi anda yang seharusnya tidak diketahui orang lain, jika seseorang
mengetahui password anda, maka dia dapat mengakses sistem dengan
menggunakan hak-hak anda, dia tidak mengirimkan pesan atas nama
anda/melakukan kegiatan yang sifatnya merusak (destruktif).

Sistem Administrasi Badan Hukum menurut Keputusan Menteri


tersebut di atas diberlakukan pada :
21 Pengesahan Akta Pendirian atau persetujuan Perubahan Anggaran
Dasar Perseroan Terbatas;

22 Permohonan lain yangditetapkan berdasarkan Keputusan Direktorat


Jenderal Administrasi Hukum Umum.
85

B. Kerangka Berpikir

5) No. 40 Tahun 2007 tentang 2 UU No. 30 Tahun 2004;


Perseroan Terbatas 3 UU No. 2 Tahun 2014
4 PP No. 43 Tahun 2011;
5 Permenkumham No. M.Hh-
01.Ah.01.01 Tahun 2009;
6 Permenkumham No.
M.02.Ht.01.10 Tahun 2007;
7 Permenkumham No. M.Hh-
02.Ah.01.01 Tahun 2009;
8 Permenkumham No. M.Hh-
03.Ah.01.01 Tahun 2009;
9 Permenkumham No. 4
Tahun 2014;
10 Permenkumham No. 1
Tahun 2016.

Notaris

Proses
SABH
-NG

Pendirian PT
2 Perbaikan
(renvooi) akta
3 Permohonan
perbaikan SABH
4 Input data ulang

Kesalahan :

SK dan BNRI-TBNRI

Gambar 1. Kerangka Berpikir


86

Dari kerangka berpikir ini, penulis ingin memberikan gambaran guna


menjawab dari sketsa tersebut di atas. Dalam hal ini, pendirian PT
diinterpretasikan terhadap peraturan perundang-undangan (Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris; Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014
tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris; Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2011 tentang
Tata Cara Pengajuan Dan Pemakaian Nama Perseroan Terbatas; Peraturan
Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.Hh-
01.Ah.01.01 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Hukum Dan
Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.Ht.01.10 Tahun 2007
Tentang Tata Cara Pengumuman Perseroan Terbatas Dalam Tambahan Berita
Negara Republik Indonesia; Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia Nomor : M.Hh-02.Ah.01.01 Tahun 2009 tentang Tata Cara
Pengajuan Permohonan Pengesahan Badan Hukum Perseroan, Persetujuan
Perubahan Anggaran Dasar, Penyampaian Pemberitahuan Perubahan Anggaran
Dasar, Dan Perubahan Data Perseroan; Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia Nomor M.Hh-03.Ah.01.01 Tahun 2009 tentang
Daftar Perseroan; dan Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pengesahan
Perseroan; serta Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri
Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014
tentang Tata Cara Pengesahan Perseroan). Dari peraturan perundang-undangan
tersebut kemudian diterapkan ke dalam proses pembuatan melalui Notaris dan
SABH-NG untuk penerbitan Surat Keputusan Menteri untuk kemudian ditarik
suatu kesimpulan mengenai efektivitas pengesahan pendirian Perseroan Terbatas
dengan berlakunya Sistem Administrasi Badan Hukum New Generation (SABH-
NG).
87

C. Penelitian yang Relevan

Penulis membandingkan tesis penulis dengan 2 (dua) karya tesis yang


telah dikaji sebelumnya dan memiliki persamaan dalam bidang penelitian yaitu
membahas mengenai pendirian Perseroan Terbatas. Namun, tesis penulis
memiliki perbedaan dalam pengambilan rumusan permasalahan dan
pembahasannya dengan tesis sebelumnya.

1. Eva Purnawati

Tesis dengan judul Peranan Notaris dalam Pengesahan Pendirian


Perseroan Terbatas, permasalahan dalam tesis ini adalah apaka sajakah
peranan Notaris dalam proses pengesahan pendirian Perseroan Terbatas baik
secara manual maupun dengan Sistem Administrasi Badan Hukum
(SISMINBAKUM) secara elektronik dan hambatan-hambatan apa saja yang
dihadapi Notaris dalam menerapkan peran tersebut serta upaya apa saja yang
dapat dilakukan dalam mengatasi hambatan-hambatan yang timbul.

Simpulan dari tesis tersebut adalah bahwa pengesahan pendirian


Perseroan Terbatas secara elektronik, hanya dapat dilakukan oleh Notaris
bukan pendiri Perseroan Terbatas ataupun Direksi karena yang memiliki user
ID dan password hanyalah Notaris yang bersangkutan, dan sistem manual
tetap diterapkan dalam pengesahan pendirian Perseroan Terbatas dan masih
efektif berlaku, meskipun dengan alasan dan prasyarat tertentu.

2. Hiasinta Yanti Susanti Tan

Judul tesis yang diambil adalah Konsekuensi Perubahan Undang-


Undang Perseroan Terbatas Terhadap Eksistensi Perseroan Terbatas,
permasalahan yang diangkat dalam tesis ini adalah bagaimana konsekuensi
perubahan Undang-Undang Perseroan Terbatas terhadap eksistensi Perseroan
Terbatas di Indonesia, sehubungan dengan diundangkannya Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dan syarat-syarat dan
perijinan apakah yang harus dipenuhi suatu Perseroan Terbatas agar dapat
tetap diakui sebagai Badan Hukum menurut Undang-Undang Perseroan
Terbatas Nomor 40 Tahun 2007.
88

Simpulan dari tesis ini adalah konsekuensinya memberikan beban


kepada para pelaku usaha di Indonesia karena wajib menyesuaikan anggaran
dasar perseroaannya dalam batas waktu (1) tahun terhitung sejak diundangkan
UUPT. Dengan berlakunya UUPT maka syarat-syarat atau perijinan yang
diperlukan agar suatu Perseroan terbatas dapat beroperasi di Indonesia
semakin dipermudah dan menuju ke arah pelayanan satu atap.

Anda mungkin juga menyukai