Anda di halaman 1dari 17

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/277743157

SUKSESI DALAM PERUSAHAAN KELUARGA

Article · June 2009

CITATION READS

1 8,409

1 author:

Sentot Imam Wahjono


Universitas Muhammadiyah Surabaya, Indonesia
52 PUBLICATIONS   32 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Now, my project is Crowdfunding in Muslim countries and/or Islamic Crowdfunding View project

Human Resource in Family Business View project

All content following this page was uploaded by Sentot Imam Wahjono on 31 January 2016.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Jurnal Balance
Vol. 3, No. 1: 1-15 (2009)
Available online @ http://puslit2.petra.ac.id/ejournal/index.php/unm/article/view/17158

SUKSESI DALAM PERUSAHAAN KELUARGA


Drs. Ec. Sentot Imam Wahjono, M.Si
Universitas Muhammadiyah Surabaya.
wahjonos@gmail..com

Abstract
Suksesi dalam perusahaan keluarga menempati posisi strategis khususnya
dalam mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan. Tidak banyak perusahaan
keluarga yang mampu bertahan sampai generasi ke-tiga dan seterusnya. Untuk itu
diperlukan perencanaan suksesi yang matang. Terdapat hubungan antara
keberhasilan suksesi dengan kinerja dalam perusahaan keluarga. Meskipun juga
dipengaruhi oleh variabel etnik (Jawa, Madura, dan Cina) dan variabel antar
generasi (generasi 1, 2, dan 3 dan seterusnya) terdapat hubungan positif.

Keywords: perusahaan keluarga, etnik Jawa, Madura, Cina, suksesi antar generasi.

Pendahuluan
Banyak bisnis keluarga yang sulit melewati 3 generasi (Widyasmoro,
2008). Kebanyakan perusahaan keluarga terlibat dalam konflik yang
berkepanjangan untuk memperebutkan kekuasaan dalam perusahaan. Banyak
permasalahan yang melingkupi bisnis keluarga sehubungan dengan suksesi. Pada
umumnya pemegang pucuk kekuasaan perusahaan keluarga menyadari bahwa
dengan perencanaan yang baik akan didapatkan pemimpin perusahaan yang baru
dengan kualitas dan kapabilitas serta penerimaan yang baik dari sebagian besar
komponen pendukung perusahaan keluarga.
Merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh Family Firm Institute untuk
the Family Business Review (Hall, 2008), diketahui bahwa hanya 30% dari
keseluruhan perusahaan yang dimiliki oleh keluarga bisa bertahan pada masa
transisi antar generasi pada generasi ke-dua, sementara itu hanya 12% mampu
bertahan pada generasi ke-tiga dan hanya 3% saja yang mampu berkembang
sampai pada generasi ke-empat dan seterusnya. Hal ini yang membuat bertumbuh
suburnya idiom dalam perusahaan keluarga bahwa: “generasi pertama yang
mendirikan, generasi ke-dua yang membangun, dan generasi ke-tiga yang
merusak”.
Suksesi generasi pertama, dimana pendiri perusahaan keluarga sudah
merasa tidak kuat lagi memegang kendali perusahaan, biasanya karena factor usia,

1
2

merasa bahwa para pelanjutnya kurang siap, seperti dalam kasus perusahaan
keluarga Lombardi (Lansberg, 1999). Sementara itu bagi perusahaan generasi ke-2
terdapat permasalahan lain sehubungan dengan suksesi, yaitu pada umumnya
pemegang puncak kendali perusahaan merasa sulit memutuskan dalam memilih
pengganti. Pertimbangan loyalitas dan kedekatan emosional antara suksesor
menjadi masalah pelik yang sulit dipecahkan (Baer, 2007). Dan bila perusahaan
keluarga telah mencapai generasi ke-tiga terdapat pergeseran permasalahan yaitu
apakah memilih suksesor dari dalam anggota keluarga (Kellerman, et al, 2008)
ataukah dari luar dengan pertimbangan profesionalisme (Hall, 2008) tingkat
pendidikan (Royer, 2008), kecakapan pengelolaan usaha, dan gender (Harveston,
1997). Lebih jauh, ketika terjadi permasalahan suksesi di perusahaan keluarga
generasi ke-empat, kebanyakan permasalahan suksesi disebabkan oleh factor-
faktor tata-nilai dari karyawan sehubungan dengan budaya perusahaan (Zulfikar,
2004).
Adalah menarik untuk meneliti suksesi dalam perusahaan keluarga karena
ternyata banyak perusahaan besar tingkat dunia yang sampai sekarang masih
bertahan (sustain), bermula dari perusahaan keluarga yang berhasil melaksanakan
suksesi kepemimpinan dalam perusahaannya. Beberapa perusahaan kelas dunia
seperti Motorola, Nordstrom, Bakrie, Gudang Garam, sampai sekarang tetap
sebagai perusahaan keluarga meskipun mereka telah menjadi perusahaan yang
telah terdaftar sebagai perusahaan publik dalam bursa pasar modal.
Miller dan Miller (2005) menyatakan bahwa, meskipun telah menjadi
perusahaan publik, Nordstrom, Inc. tetap sebagai perusahaan dengan karakteristik
perusahaan keluarga. Nordstrom, Inc. adalah perusahaan perdagangan retail khusus
di bidang pakaian, sepatu, kosmetik, asesoris dan produk-produk fashion. Sebagai
perusahaan yang berbasis di seattle, Washington, Amerika Serikat, perusahaan
keluarga ini mempunyai 166 toko yang berlokasi di 28 negara bagian. Perusahaan
keluarga ini didirikan di tahun 1901. Saat ini keluarga Norstrom mempunyai 3
direktur dari 11 anggota dewan direktur dalam perusahaan termasuk Presiden
Direktur yaitu Blake W. Nordstrom, 48 tahun. Keluarga Nordstrom juga masih
memegang kendali dalam keputusan-keputusan strategis perusahaan dan
mempunyai 27,9% kepemilikan saham (source: http://www.nordstrom.com/ ).
Tidak jauh berbeda dengan Nordstrom, Inc., Grup Gudang Garam juga
masih mempertahankan karakteristiknya sebagai perusahaan keluarga. Menurut
Basri dan Eng (2004), PT Gudang Garam sebagai satu dari empat perusahaan
terbesar di Indonesia adalah pabrikan rokok sigaret terbesar di Indonesia, dan
perusahaan publik terbesar ke-dua di lantai Bursa Efek Indonesia. PT Gudang
Garam didirikan di Kediri Jawa Timur di tahun 1958 oleh almarhum Surya
Wonowidjojo dan kemudian dilanjutkan oleh putranya yang bernama Rachman
Halim (meninggal dunia tahun 2008). Kepemilikan saham oleh keluarga
Wonowidjojo mengalami penurunan, di tahun 1985 tercatat 94% saham
perusahaan dimiliki oleh keluarga, menurun menjadi 80% di tahun 1996 dan terus
menurun menjadi 76% di tahun 2000. Meskipun terus mengalami penurunan porsi
kepemilikan saham, PT Gudang Garam sebagai entitas bisnis tetap mempunyai
kinerja yang baik. Sampai dengan tahun 2004, PT Gudang Garam masih
merupakan salah satu perusahaan di Indonesia yang paling menguntungkan,
terutama bila dilihat dari indicator imbal hasil atas asset (ROA) dan imbal hasil
atas ekuitas (ROE) yang masing-masing menunjuk angka lebih dari 20% sampai
3

30%. Kinerja usaha ini juga diperlihatkan saat terjadi krisis ekonomi dan periode
setelahnya.
Ilustrasi dua perusahaan di atas menunjukkan keistimewaan perusahaan
keluarga dalam perekonomian suatu Negara. Sebagai perusahaan keluarga yang
telah menjalani suksesi masih tetap dan bahkan bisa meningkatkan kinerja
perusahaan. Bahkan beberapa perusahaan keluarga berhasil menunjukkan kinerja
terbaiknya saat periode krisis melanda suatu Negara. Hal ini merupakan
pendidikan ekonomi yang baik bagi masyarakat dunia usaha.

KAJIAN PUSTAKA
A. Peran Perusahaan Keluarga
Beberapa penelitian tentang perusahaan keluarga telah mencatatkan peran
yang sangat signifikan dari perusahaan keluarga atas pertumbuhan ekonomi suatu
Negara. Perusahaan keluarga telah member kontribusi yang sangat besar bagi
kegiatan ekonomi. Berbeda dengan perusahaan-perusahaan bukan keluarga yang
mengalami pasang surut pertumbuhan, perusahaan keluarga justru menunjukkan
kinerja yang stabil dan cenderung meningkat. Sebagai dampak dari itu, perusahaan
keluarga mampu member sumbangan antara 45% sampai 70% dari Produk
Domestik Kotor (GDP) dan banyak menyerap tenaga kerja di banyak Negara
(Glassop dan Waddell, 2005).
Meskipun terdapat perbedaan antar Negara, persentase sumbangan
perusahaan keluarga di suatu Negara secara rata-rata adalah di atas 60%. Jadi,
secara umum perusahaan keluarga menempati posisi utama khususnya di Negara-
negara yang menganut system ekonomi pasar. Dengan kata lain, di Negara-negara
dengan system pasar, keberadaan perusahaan keluarga sangat menonjol dan
mempunyai derajat keberlanjutan (sustainability) yang tinggi.
Berdasarkan data dari International Family Enterprise Research Academy
(2003), perusahaan keluarga menempati posisi penting dalam perekonomian suatu
Negara-negara di dunia. Sebagai contoh, di Amreika Serikat, dimana diperkirakan
96 persen dari keseluruhan perusahaan adalah perusahaan keluarga. Sedangkan di
Italy jumlah itu sedikit lebih kecil yaitu 93%. Sementara itu di Chili, 75% dari
keseluruhan perusahaan dapat digolongkan sebagai perusahaan keluarga, di Belgia
sebanyak 70%, di Spanyol sebanyak 75%, sedangkan di Australia bagian
perusahaan keluarga adalah 75% dari keseluruhan unit bisnisnya.
Selain itu, perusahaan keluarga memberikan sumbangan yang besar
terhadap pembentukan Produk Nasional Kotor (GNP). Di Amerika Serikat 40%
dari GNPnya disumbangkan oleh perusahaan keluarga. Perusahaan keluarga di
Brazil dan Portugal menyumbangkan 65% GNP, sedangkan perusahaan keluarga
di Australia menyumbangkan 50% GNP. Di Indonesia, sumbangan perusahaan
keluarga terhadap pembentukan GNP adalah sebesar 80% (Casillas, Jose C.,
Fransisco J. Acedo and Ana M. Moreno, 2007: 22-24).
Berdasar data BPS (2007) yang telah menyelenggarakan Survey Ekonomi
Nasional (Susenas) di tahun 2006, di Indonesia terdapat 48.929.636 perusahaan.
Dari sejumlah itu, sebanyak 90,95% dapat dikategorikan sebagai perusahaan
keluarga. Data susenas tersebut juga menyebutkan bahwa perusahaan keluarga
menyumbang 53,28% dari GDP dan menyerap 85.416.493 orang sebagai tenaga
kerja atau 96,18% dari seluruh angkatan kerja.
4

B. Definisi dan Karakteristik Perusahaan Keluarga


Tracey (2001: 3-4) menyatakan bahwa “A business is a family business if
its owners think it is and want it to be”. Pernyataan ini terlihat sangat sederhana
namun mengandung arti yang sangat dalam. Dikatakan bahwa suatu perusahaan
tergolong sebagai perusahaan keluarga manakala pemiliknya berfikir dan
menginginkan perusahaannya sebagai perusahaan keluarga. Hal ini dapat terlihat
dalam budaya bisnis di beberapa Negara. Di Australia kebanyakan perusahaan
dimiliki oleh keluarga, tetapi hanya sedikit yang betul-betul dikelola oleh keluarga
primer.
Dalam beberapa tahun terakhir, banyak definisi perusahaan keluarga
disampaikan, kebanyakan dari usulan definisi itu berfokus pada beberapa factor
yang melingkupi perusahaan keluarga seperti kepemilikan, kendali, manajemen
dan keinginan untuk melestarikan suksesi antar generasi atau masalah-masalah
budaya.
Banyak peneliti sependapat bahwa keterlibatan keluarga dalam perusahaan
lah yang membuat perusahaan keluarga menjadi berbeda disbanding dengan
perusahaan non keluarga (Miller dan Rice, 1967). Pendapat senada juga
dikemukakan oleh Bernard (1975: 42) bahwa perusahaan keluarga dikendalikan
oleh anggota keluarga tunggal khususnya dalam proses pengambilan keputusan
bisnis yang penting.
Beberapa peneliti mengintepreatsikan keterlibatan keluarga dalam hal
kepemilikan dan manajemen (Handler, 1989). Sementara itu Churchill dan Hatten
(1987) lebih cenderung menambahkan factor keberadaan keluarga pada saat
terjadinya suksesi yang berasal dari dalam anggota keluarga. Lebih lanjut Carsrud
(1994: 40) menjelaskan bahwa perusahaan keluarga adalah perusahaan yang benar-
benar dimiliki oleh keluarga dan pembuatan dan pengambilan kebijakan
perusahaan di dominasi oleh anggota “emotional kinship group”. Ini berarti bahwa
sesuatu perusahaan keluarga manakala dominasi anggota keluarga yang termasuk
dalam kelompok yang mempunyai pertalian keluarga secara emosional sangat
besar dan kelihatan secara kasat mata.
Dengan meninjau lebih dari 250 makalah dan artikel ilmiah dalam kelompok
pustaka perusahaan keluarga, Chua, Jess H., James J. Chrisman dan Pramodita
Sharma (1999) lebih jauh menjelaskan definisi perusahaan keluarga berdasar studi
empiris. Dalam beberapa kali wawancara dengan manajemen perusahaan keluarga,
pemimpin puncak (Chief Executives Officers / CEO) dari perusahaan dengan
pemegang saham public minoritas dan dikelola oleh keluarga generasi ke-tiga
menyangkal bahwa sesuatu perusahaan adalah perusahaan keluarga manakala
perusahaan lain yang mempunyai atribut yang sama dideklarasikan. Para anggota
dengan keluarga yang sama dimana secara bersama-sama memiliki dan mengelola
bisnis dengan penuh semangat, membuktikan bahwa mereka bukanlah perusahaan
keluarga. Mereka yakin bahwa hanya bisnis yang dimiliki oleh keluarga secara
penuh dan tanpa pekerja tunggal non-keluarga lah yang bisa disebut perusahaan
keluarga. Termasuk didalam pengertian perusahaan keluarga adalah manakala,
beberapa saudara kandung dan saudara ipar ikut memiliki dan mengelola suatu
perusahaan namun mereka tidak mengelola perusahaan lainnya diluar perusahaan
itu, maka perusahaan itu bisa disebut perusahaan keluarga. Tidak ada perusahaan
yang bisa luput dari keterlibatan keluarga sebab peristiwa pembuatan beberapa
keputusan seringkali dipengaruhi oleh pasangan (suami/istri) dan anak-anak.
5

Definisi yang berbasis komponen yang terlibat dalam keluarga – manajemen,


kepemilikan, tata-kelola, dan suksesi – adalah hal yang mudah untuk
mengoperasikannya. Sayangnya, kita tak bisa membedakan antara dua perusahaan
dengan level keterlibatan keluarga yang sama manakala salah satu menyatakan diri
sebagai perusahaan keluarga sementara yang satunya menyatakan diri sebagai
bukan perusahaan keluarga. Oleh karenanya, terdapat kebutuhan untuk
mengembangkan definisi dalam menangkap esensi dari perusahaan keluarga dan
yang mungkin dapat digunakan dalam membedakan perusahaan keluarga baik
dalam tataran teori, penelitian maupun dalam praktek bisnis.
Oleh karenanya, definisi perusahaan keluarga seringkali berdasar komponen
yang mempengaruhinya bukan pada hal-hal yang termasuk esensinya termasuk visi
yang dibawa oleh keluarga atau sebagian kecil anggota keluarga. Seharusnya
definisi perusahaan keluarga dibangun berdasar tujuan dari kondisi dominan yang
membentuk dan bagaimana mencapai visi melampaui beberapa generasi.
Konsekuensinya, definisi perusahaan keluarga sebaiknya berdasar dua poin
itu. Yang pertama, definisi itu harus didasarkan pada komponen yang popular
sebagai hal-hal yang mempengaruhi pembuatan keputusan dan keterlibatan
keluarga dalam operasional perusahaan keluarga. Yang kedua, definisi perusahaan
keluarga harusnya dibangun berdasar esensi yang menjelaskan maksud dan tujuan
dari visi dan bagaimana mencapai visi tersebut. Saya setuju dengan pemikiran
pembentukan definisi perusahaan keluarga seperti itu. Oleh karenanya perusahaan
keluarga di definisikan sebagai unit bisnis yang dioperasikan oleh keluarga atau
kelompok keluarga yang mempunyai visi dan bermaksud mencapai visi tersebut.
Ciri-ciri perusahaan keluarga pada umumnya adalah bahwa perusahaan
keluarga: (1) dimiliki oleh kelompok keluarga tunggal yang dominan dengan
jumlah kepemilikan saham lebih dari 50% (2) dirasakan sebagai perusahaan, (3)
dikelola oleh orang-rang yang berasal dari keluarga pemilik mayoritas saham
(Westhead, 1997). Sementara itu definisi keluarga sendiri belum ditarik garis tegas.
Apakah yang dimaksud adalah keluarga kecil yang terdiri dari suami, istri dan
anak-anak, ataukah keluarga menengah yang terdiri dari dua (2) tingkat keluarga
kecil dalam arti seluruh anggota kelaurga kecil ditambah seluruh anggota keluarga
suami dan istri, ataukah keluarga besar yang terdiri dari tiga (3) tingkat keluarga
kecil dalam arti seluruh anggota kelaurga kecil ditambah seluruh anggota keluarga
kecil suami dan istri dan ditambah seluruh anggota menengah ipar.
Tugiman (1995; 7) mengemukakan karakteristik perusahaan keluarga dalam
konteks usaha kecil adalah (1) posisi kunci dipegang keluarga, (2) keuangan
perusahaan cenderung berbaur dengan keuangan keluarga, (3) tidak adanya
mekanisme pertanggung jawaban yang ketat, (4) motivasi kerja tinggi, (5) tidak
adanya kekhususan dalam manajemen. Memang dengan karakteristik ini,
perusahaan keluarga sangat lentur terhadap perubahan lingkungan. Hal inilah yang
menjadi alasan utama sebuah perusahaan keluarga cepat beradaptasi dan
menemukan bentuk bisnis yang cocok dan dengan segera dapat meraih peluang
dan sekaligus dapat menampik kendala yang ada. Keluwesan dan kecepatan
menyesuaikan dengan lingkungan yang berubah itu menyebabkan keberhasilan dan
sekaligus kegagalan perusahaan keluarga. Seringkali keluwesan itu menyebabkan
tumpang tindih tugas dan peran yang justru merupakan sumber konflik (Kepner,
1983; Lansberg, 1983; Dyer, 1986).
6

Pada titik ekstrim yang lain, karakteristik perusahaan keluarga, justru


membuat perusahaan keluarga memilih strategi konservatif, bermain aman,
bermain pada pasar yang kurang kompetitif yang pertumbuhannya lambat (Davis
dan Stern, 1988). Sementara itu Donckels dan Frohlich (1991: 159) setelah
membandingkan banyak perusahaan keluarga di delapan negara Eropa menemukan
bukti bahwa perusahaan keluarga secara konsisten menunjukkan jaringan yang
lebih terbatas, kurang kerjasama, berkolaborasi atau melakukan sub-kontrak
dengan perusahaan lain. Oleh karena itu Pery (2000: 121) mengatakan bahwa
sebagai konsekuensinya perusahaan tidak bisa memperoleh tingkat keuntungan
yang tinggi, cenderung stabil tidak dinamis. Berbeda dengan kondisi perusahaan
keluarga di Cina dan negara-negara di Asia Timur dan Tenggara. Perusahaan
keluarga cenderung dinamis, pengambilan keputusan cepat dan tidak bertele-tele
karena didasari oleh kepercayaan sebagai dasar untuk survival, mempunyai
hubungan personal yang erat dengan seluruh karyawan dengan menabrak jenjang
manajemen (Perry, 2000, 97). Lebih lanjut Harianto (1997: 145) menyatakan
kondisi itu akan kondusif bagi perkembangan perusahaan keluarga. Berdasar
kepercayaan itu, selain keputusan lebih cepat diambil, juga memupuk disiplin dan
budaya amanah. Dengan menghilangkan jenjang manajemen yang ada, akan
menempatkan setiap karyawan berada pada posisi yang setara dengan karyawan
yang lain apapapun jabatannya, sehingga menimbulkan komitmen yang lebih kuat.
Hal ini juga memungkinkan pemilik memiliki “jendela yang dipercayai” dengan
mana monitor perusahaan berjalan efektif. Sehingga kohesi yang diperoleh
perusahaan keluarga orang-orang Cina membuatnya responsif pada peluang baru
yang cocok dengan visi personal pemilik. Karakteristik perusahaan keluarga Cina
dapat dilihat dalam tabel 1
Tabel 1
Karakteristik Perusahaan Keluarga Cina

1 Skala kecil dan struktur organisasi sederhana


2 Produk tunggal atau pasarnya terfokus
3 Kendali yang disentralisasi pada satu CEO dominan
4 Kepemilikan dan kendali pada keluarga
5 Kebudayaan organisasi paternalistik
6 Hubungan eksternal ke pemasok dan pelanggan melalui jaringan personal
7 Penghematan biaya dan efisiensi
8 Kemampuan pemasaran lemah terutama promosi citra merk
9 Hambatan pertumbuhan karena enggan berhubungan dengan manajer profesional
10 Fleksibiltas strategis berdasar adaptabilitas pembuat keputusan yang dominan.

John Davis dan Morris Taguiri (Hoover, 2000: 61) menyatakan bahwa terdapat
tiga (3) elemen pengaruh dalam bisnis keluarga, seperti terlihat dalam gambar 1,
yaitu :
7

GAMBAR 1
Tiga Elemen Bisnis Keluarga Taguiri

BISNIS
KELUARGA

KEPEMILIKAN

Sumber : Hoover, 2000, hal. 61.

(1) Keluarga, keberhasilan dalam keluarga diukur dalam artian harmoni,


kesatuan, dan perkembangan individu yang bahagia dengan harga diri yang
solid dan positif.
(2) Bisnis, adalah entitas ekonomi dimana keberhasilan diukur bukan pada harga
diri dan kesenangan interpersonal individu, tetapi dalam produktivitas dan
profesionalisme. Sehingga ukuran utama seseorang terletak pada kontribusi
terhadap pelaksanaan strategi, pencapaian terget, dan profitabilitas
perusahaan.
(3) Kepemilikan, didasarkan pada peranan seseorang dalam investasi dalam
perusahaan, peranan meminimalkan risiko, mewakili perusahaan
berhubungan dengan pihak luar.

Dalam bisnis keluarga, ketiga elemen tersebut bercampur menjadi satu


bahkan batas-batas diantara ketiganya kabur dan tak tampak. Banyak fungsi
menjadi tumpang tindih sehingga sering terjadi ketegangan hubungan, tetapi
banyak hal menunjukkan bahwa kesuksesan bisnis keluarga dimulai dari kaburnya
batas-batas itu. Untuk menjamin dinamika bisnis keluarga tetap dalam posisi yang
menguntungkan, maka perlu dipertegas aturan hubungan bisnis keluarga, seperti
tergambar dalam tabel 2. berikut.
8

Tabel 2.
Matrix Aturan Hubungan Bisnis Keluarga Taguiri

Keluarga Bisnis Kepemilikan


Mengukur Harmoni Produksi ROI dan ROS (responsibility of
Keberhasilan stewarship)
Otoritas Kesetaraan Tidak setara Keduanya (setara dan tidak
setara
Penghargaan Berdasarkan Berdasarkan Berdasarkan apa yang
Finasial Keperluan Produktivitas diambil dan yang
ditinggalkan.
Lokus Pentingnya Individual Tujuan Profitabilitas
aspirasi
Aturan Inklusi Penerimaan Tergantung Berhak ataukah diperoleh
tanpa kondisi pada kondisi
Sumber : Hoover, 2000, hal. 64.

C. Suksesi dalam Perusahaan Keluarga.


Hal yang krusial dalam perusahaan keluarga adalah pergantian pucuk
pimpinan (suksesi). Banyak perusahaan yang tidak siap dengan pergantian
kepemimpinan sehingga perusahaan tersebut harus terhenti di generasi pertama
saja, seperti dalam kasus Surabaya Post, harian terkemuka yang terbit di Surabaya
dengan cakupan wilayah edar seluruh Jawa Timur. Meskipun putra-putri pendiri
(R. Abdul Azis dan istrinya) bersekolah tinggi di Amerika Serikat dengan gelar
doktor ekonomi, tetapi tidak bisa menyelematkan perusahaan sehingga harus di
pailitkan oleh Pengadilan Niaga di tahun 2002.
Berbeda dengan Surabaya Post, Thayeb Mohammad Gobel, pendiri PT
Gobel Dharma Nusantara dahulu PT. National Gobel, menyiapkan Rachmat Gobel,
anak ke-lima dan anak lelaki tertua. Gobel tua telah menyiapkan Rachmat sejak
usia 8 tahun dengan sesering mungkin dilibatkan dalam suasana kantor dan pabrik
di kawasan Cawang, Jakarta. Selain itu Rachmat juga disekolahkan bisnisdi Jepang
(Chuo University) juga menjalani kerja magang di perusahaan keluarganya sendiri.
Selepas dari kuliahnya di Jepang, Rachmat harus menjalani masa 6 tahun dengan
bekerja mulai dari bawah sampai akhirnya memegang tampuk Direktur pada tahun
1990. Keputusan menyekolahkan Rachmat ke Jepang adalah visi cemerlang Gobel
tua. Belakangan muncul banyak perusahaan baru hasil patungan dengan
perusahaan raksasa elektonik Jepang, Matsushita (tabloit bisnis Kontan, edisi
42/XI, 16 Juli 2007).
Rhenald Kasali (harian Suara Pembaharuan, 27 November 2008) juga
menguatkan pendapat Gobel. Seperti yang terjadi dalam proses pergantian
kepemimpinan perusahaan yang sukses di PT Mustika Ratu, Tbk, dari BRA
Mooryati Soedibyo ke anaknya Putri Koeswisnu Wardani juga didahului dengan
mekanisme pemagangan yang sungguh-sungguh. Proses pemagangan itu
dijalaninya selama 5 tahun, dengan melibatkan pada pekerjaan yang berbeda-beda.
Mulai dari bekerja di bagian pemasaran, kemudian pindah ke bagian keuangan,
dengan perlakuan yang sama dengan karyawan biasa yang lain. Untuk menghindari
9

terjadi tumpang tindih peran, dan adanya kemungkinan “gangguan” dari anggota
keluarga Putri yang lain, maka sang Ibu memberikan “mainan lain” kepada anak-
anak yang tak kebagian tongkat suksesi. Ada yang mengelola spa, untuk
perawatan kecantikan tubuh, juga ada yang mengelola kontruksi yang sesuai
dengan bakat dan pendidikan anak. Sedang anak yang lain yang tidak kebagian
jabatan eksekutif tetap dilibatkan dalam menjaga bendera perusahaan dengan
menempatkannya dalam jabatan komisaris.
Bagi pendiri perusahaan keluarga, keberhasilan suksesi adalah ujian akhir
kejayaannya (Tracey, 2001: 115-116). Adalah sulit untuk memahami mengapa
suksesi seringkali merupakan isu yang sensitive, khususnya bagi perusahaan
keluarga generasi pertama. Orang yang mendirikan dan membesarkan, merasa
sedih untuk mati, dan kegagalan membuat renacana suksesi merupakan hal yang
egois dan tolol. Adalah hal yang tak bisa diacuhkan apabila karena penanganan
suksesi yang buruk tersebut membuat pesaing mendapat keuntungan yang
signifikan. Menurut Alan Carsrud, konsultan perusahaan keluarga dari Amerika
dalam Brännback M., Carsrud, A. L., Hudd, I., Nordberg, L. & Renko, M. (2006)
menyarankan beberapa hal untuk rencana suksesi yang berhasil (golden rules for
succession-planning) yaitu:
1. Susun harapan tentang tugas dan peran secara jernih.
2. Gaji berbasis kinerja actual, bukan berdasar kebutuhan personal.
3. Atur untuk supervisi, pemantauan, dan saran bagi mentor yang bukan
keluarga.
4. Sediakan tanggung jawab yang sesungguhnya atas kinerja yang
sesungguhnya.
5. Putar penugasan untuk periode yang bermakna.
6. Sediakan prosedur tertulis bagi anggota keluarga yang ingin
meninggalkan perusahaan keluarga.

Beberapa telaah atas pustaka tentang perusahaan keluarga, seperti yang


dikemukakan oleh Neuberger and Lank (1998: 133) yang menyarankan konklusi
sebagai berikut:
1) Suksesi CEO sejauh ini merupakan isu yang paling sering dibicarakan.
2) Factor kritis yang menentukan apakah suatu perusahaan keluarga dapat
bertahan adalah kemampuan mengelola proses suksesi.
Sementara itu Moores and Barrett (2002: 6) menyatakan bahwa
“sustainability of Family Business depends on success of succession”. Sehingga
tidak bisa dipungkiri bahwa masa depan perusahaan keluarga tergantung pada
keberhasilan suksesi. Sehingga tidak salah manakala Moores and Barrett (2002)
mendefinisikan suksesi adalah peralihan kepemilikan perusahaan keluarga kepada
suksesor dari pemilik sebelumnya. Perusahaan keluarga seringkali mempunyai
masalah dalam pengelolaan suksesi ketika pendiri bisnis atau generasi pengelola
saat ini telah begitu lama mengelola perusahaan keluarganyadan mendekati masa
pensiun. Jika generasi sesudahnya mengambil alih manajemen, ada kemungkinan
terdapat kesenjangan antara kepemilikan dengan kemampuan mengendalikan
bisnis yang memerlukan ketrampilan dan kerja keras dalam memelihara dan
mempertanggung jawabkan perusahaan keluarganya. Disisi lain, generasi tua sulit
untuk menerima kenyataan bahwa ketuaannya dan dominansi patriarchal sudah
tidak bisa diterima atau tidak sesuai lagi.
10

Ketika pengelola dan pemilik awal pension, terdapat dua isu terpisah, yaitu:
1. Pension dari menjalankan bisnis atau
2. Pension sebagai pemilik dan pengendali utama.
Yang kedua seringkali seakan-akan berjalan dengan baik setelah kejadian yang
pertama terjadi. Beberapa hal yang terjadi seperti permohonan saran dari generasi
yang lebih muda adalah hal yang menyenangkan. Hal ini menyadarkan generasi
tua bahwa roda bisnis sekarang telah beralih ke tangan generasi yang lebih muda.
Meskipun demikian, selama kepemilikan masih berada di tangan generasi yang
lebih tua, perasaan gundah dari generasi tua bisa diminimalisir. Perasaan inilah
yang membuat banyak orang merasa nyaman untuk mencoba menjalankan bisnis
meskipun mereka tidak memiliki kendali mutlak. Merujuk pada permasalahan
kepemilikan dan pengendalian, Connolly, Graham and Christopher Jay, (1996:
177) merekomendasikan sejumlah 30% dari kepemilikan yang dipindahkan kepada
generasi yang lebih muda agar generasi yang lebih muda bersemangat dalam
mengelola dan memajukan perusahaan keluarga namun bagai generasi yang lebih
tua merasa aman dan tanpa rasa khawatir atas kelajutan bisnisnya di perusahaan
keluarga.
Dalam hubungannya dengan suksesi, Craight (2003) dalam studinya
menemukan beberapa hal, yaitu:
(a) Generasi pendiri mempunyai derajat individualitas dan kepercayaan
(self-belief) yang lebih tinggi disbanding generasi kedua atau ketiga dari
perusahaan keluarga.
(b) Generasi pendiri berbeda secara signifikan dengan generasi ketiga (tapi
tidak dengan generasi kedua) pada masalah-masalah pelaksanaan
(direction) dan perencanaan.

Ketika proses suksesi sedang berjalan, hal terpenting untuk diingat adalah
seharusnya terdapat uji pendahuluan untuk mengukur ketepatan suksesor dalam hal
peraturan terdahulu dengan kebiasaan yang berjalan. Terdapat beberapa uji,
(Lansberg, 2007) seperti: uji kualifikasi (qualifying test), uji ketabahan (self-
imposed test), uji loyalitas (circumference test), dan uji politis (political test).

D. Model Suksesi dalam Perusahaan Keluarga.


Terdapat beberapa rujukan model yang dapat digunakan oleh perusahaan
keluarga di Indonesia dalam melakukan suksesi. Khususnya untuk perusahaan
keluarga yang tergolong pada skala kecil dan menengah. Contoh model itu adalah:
Lombardi model, Lansberg model, Gobel model, dan Mooryati model. Dalam
mengaplikasikan model suksesi terdapat beberap hal yang perlu dijadikan
pertimbangan, yaitu:
1. Perbedaan budaya Indonesian dan barat (American-European),
2. Perbedaan etika kerja,
3. Perbedaan situasi dan peluang kerja antar Negara,
4. Perbedaan tanggungan keluarga (family bond),
5. Perbedaan tata nilai dalam memandang konflik,
6. Perbedaan antar generasi (generational gap),
7. Perbedaan perhatian dalam berkonflik.
11

Oleh karenya, diperlukan model suksesi yang sesuai dengan dengan kondisi
perusahaan keluarga di Indonesia, khususnya untuk kelas ekonomi kecil dan
menengah. Model suksesi juga diharapkan dapat menjawab beberapa pertanyaan
seperti:
1. Kapan waktu yang paling tepat dalam melakukan suksesi,
2. Bagaimana proses dan tahapan suksesi berlangsung,
3. Apa yang perlu disiapkan,
4. Siapa yang harus berpartisipasi saat perencanaan suksesi berlangsung
dan diimplementasikan,
5. Bagaimana komposisi saham diantara anggota keluarga.

Soedibyo (2007) menemukan dalam penelitiannya, bahwa terdapat lima


fakta penting dalam proses suksesi di perusahaan keluarga, yaitu:
1. Persiapan suksesi adalah sangat penting, itulah sebabnya persiapan
suksesi harus dikerjakan secara bersama-sama antara generasi tua dan
generasi penerus. Keberlanjutan perusahaan keluarga tergantung pada
kualitas persiapannya.
2. Generasi muda yang kompeten adalah prasyarat untuk memelihara dan
meningkatkan kinerja perusahaan keluarga.
3. Mutu suksesi ditentukan oleh variable yang dapat mengkomunikasikan
konsep dan filosofi kepada generasi muda.
4. Penanaman nilai-nilai keluarga adalah sangat penting untuk dilakukan
bersama. Untuk menghindari konflik, diperlukan pernyataan yang jelas
atas hak dan kewajiban masing-masing anggota keluarga sejak dini.
Konsep unit entity (pembedaan antara milik sendiri dan milik
perusahaan) harus betul-betul dipahami dengan jelas diantara anggota
keluarga.
5. Factor lain yang menentukan keberhasilan suksesi adalah semangat,
pamrih (intention), kejujuran, dan honesty, and ketulusan (sincerity)
dalam melakukan bisnis. Konflik antara generasi tua dan muda berasal
dari perlakuan yang berbeda dalam memandang bagaimana
melanjutkan perusahaan keluarga.

Pada perusahaan keluarga Lombardi (Lansberg, 1999) suksesi berjalan


secara spontan. Ketika Paul Lombardi Senior mengalami kecelakaan dan
diputuskan untuk opname di rumah sakit selama 2 tahun. Setelah masa pemulihan
selama 1 tahun kemudian, dia kembali ke kantornya, dia merasa heran bahwa
perusahaan keluarganya masih berjalan dengan baik, bahkan bertambah besar,
terkelola dengan baik dan berkelanjutan. Kemudian dia tahu bahwa anak tertuanya,
Paul Jr, mengambil alih manajemen tapi tidak kepemilikan. Keberlanjutan
perusahaan keluarga Lombardi ini disebabkan kapabilitas manajemen dari
anaknya-anaknya yang dipimpin oleh Paul junior dan dukungan seluruh anggota
keluarganya termasuk istri Paul senior, Anna, yang berfungsi sebagai pasak
penjaga di poros roda (linchpin) dari budaya keluarga. Rangkuman dari model
suksesi perusahaan keluarga Lombardi adalah sebagai berikut:
1. Suksesi adalah perjalanan (a journey), dengan pilihan tujuan yang
ditentukan oleh gabungan mimpi keluarga (family’s share dreams).
12

2. Kunci untuk memahami dimana kekuasaan sesungguhnya adalah


terletak pada kepemilikan (ownership) perusahaan keluarga.
3. Suksesi digerakkan sesuai dengan jam biologis (biological clock).
4. Pembagian kepemimpinan hanya dapat bekerja dibawah kondisi yang
benar.
5. Tawaran perpindahan kepemimpinan untuk mereformulasi arah
perusahaan dan memperbarui energy perusahaan.
6. Upaya untuk mengendalikan kepemilikan dan pengambilan keputusan
secara ketat merupakan benih yang dapat merusak keberlanjutan
perusahaan keluarga.
Akhirnya, keberlanjutan perusahaan keluarga tergantung pada penanaman
rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa melayani (sense of stewardship) pada
setiap generasi.

E. Pengaruh Suksesi dan Kinerja Perusahaan Keluarga.


Tuhardjo (2008) setelah melakukan penelitian di sentra industry kecil Onix
dan Marmer di Tulungagung dengan mengambil sampel sebanyak 143 pengusaha
Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di tiga kecamatan (Campurdarat, Besuki dan
Pakel) dari populasi sebanyak 260 pengusaha menyimpulkan bahwa:
1. Suksesi bisnis berpengaruh signifikan terhadap kinerja bisnis, tidak
terbukti.
2. Suksesi bisnis berpengaruh signifikan terhadap strategi bersaing, terbukti
(hal. 252).
3. Suksesi bisnis dan strategi bersaing mempunyai pengaruh langsung.
4. Suksesi bisnis dan kinerja bisnis mempunyai pengaruh tak langsung (hal.
256)
Temuan Tuhardjo ini, inkonsisten terhadap Zaudtke dan Dough (1997), Frieswick
(1996), Goodchild (2003), Zimmerer (2002), dan Welson (1996).
13

DAFTAR RUJUKAN

Baer, Greg. 2007. Real Love in the Workplace: Eight Principles for Consistently
Effective Leadership in Business. GA: Blue Ridge Press, Rome.
Basri, M. Chatib and Pierre van der Eng. 2004. Business in Indonesia: New
Challenges, Old Problems. Singapore: ISEAS.
Bernard, B. 1975. The development of organization structure in the family firm.
Journal of General Management. Autumn, 42-60.
Biro Pusat Statistik. 2007. National Economic Census (Susenas) in 2006. Jakarta:
BPS. Electronic resources download: Sunday, January 11st, 2009. At
www.depkop.go.id
Brännback M., Carsrud, A. L., Hudd, I., Nordberg, L. & Renko, M. 2006.
Perceived Success Factors In Start Up And Growth Strategies: A
Comparative Study Of Entrepreneurs, Managers, And Students. Journal of
Applied Psychology.
Cale, Priscilla. 2008. Family Business Succession – A Process … Not an Event.
Connecticut: University of Connecticut Family Business Program.
Electronic resources download: Thursday, March 5th, 2009. At:
http://www.business.uconn.edu/ FamilyBusiness/E-
newsletter/July2008/SuccessionProcess.asp.
Carsrud, Alan. L. 1994 Meanderings of a Resurrected Psychologist or, Lessons
Learned in Creating a Family Business Program. Entrepreneurship: Theory
and Practice, Vol. 19, p: 40.
Casillas, Jose C., Fransisco J. Acedo and Ana M. Moreno. 2007. International
Entrepreneurship in Family Business, Northampton: Edward Elgar
Publishing, Inc.
Chua, Jess H., James J. Chrisman and Pramodita Sharma. 1999. Defining the
Family Business by Behavior. Entrepreneurship: Theory and Practice.
Summer 1999 v23 i4 p19. Baylor University. Electronic resources
download: on Sunday, March 2nd, 2009. At:
http://faculty.utep.edu/LinkClick.aspx?fileticket&26055.
Churchill, N.C., & Hatten, K.J. 1987. Non-market based transfers of wealth and
power: A research framework for family businesses. American Journal of
Small Business. 11(3), 51-64.
Connolly, Graham and Christopher Jay. 1996. The Private World of Family
Business. Melbourne: FT Pitman Publishing.
Craig, Justin B.L. 2003. An Investigation and Behavioural Explanation of Family
Businesser Functioning. A Dissertation submitted to the School of Health
Sciences for the Degree of Doctor of Philosophy. Gold Coast: Bond
University.
Davis, P and D. Stern, 1988, Adaptation, survival and growth of the family
business: an integrated systems perspective, Family Business Review.
1(1): 69-85.
Donckels, R. and Frohlich, E., 1991, Are family businesses really different?
European experiences from STRATOS, Family Business Review. 4(2):
149-160.
Drucman, Daniel. 2005. Doing Research: Methods of Inquiry for Conflict Analysis.
California: Sage Publication Inc.
14

Glassop, Linda and Dianne Waddel. 2005. Managing the Family Business.
Heidelberg: Heidelberg Press.
Hall, Anika, Mattias Nordqvist. 2008. Professional Management in Family
Businesses: Toward an Extended Understanding. Family Business Review.
vol. XXI, no. 1, March, pp. 51-68.
Handler, W. C. 1989. Methodological issues and considerations in studying family
businesses. Family Business Review, 2(3), 257-276.
Harianto, F., 1997, Business Linkages and Chinese Entreprenuers in Southeast
Asia, in T. Brook and H.V. Luong (eds) Culture and Economy: The
Shaping of Capitalism in Eastern Asia, The University of Michigan Press,
Ann Arbor:.
Harveston, Paula D., Peter S. Davis and Julie A. Lyden. 1997. Succesion Planning
in family Business: The Impact of Owner Gender. Family Business Review.
Dec v10 i4 p373, Family Firm Institute, Inc.
Hoover, Edwin A., Colette Lombard Hoover, 2000, Getting Along in Family
Business The Relationship Intelligence Handbook, edisi bahasa Indonesia,
PT Raja Gravindo Persada, Jakarta.
Johnson, R. Burke, Anthony J. Onwuegbuzie. 2004. Mixed Methods Research: A
Research Paradigm Whose Time Has Come. Educational Researcher. Vol.
33 No. 7, October, pp. 14-26.
Kellermans, Frans W., Kimberly A. Eddleston, Tim Barnett, Allison Pearson.
2008. An Exploratory Study of Family Member Characteristics and
Involvement: Effects on Entrepreneurial Behavior in the Family Firm.
Family Business Review. vol. XXI, no. 1, March, pp. 1-14.
Kontan tabloit bisnis, edisi 42/XI, 16 Juli 2007.
King, Sandra W., George T. Solomon, and Lloyd W. Fernald, Jr. 2001. Issues in
Growing a Family Business: A Strategic Human Resource Model. Journal
of Small Business Management, 39(1) pp.3-13.
Lansberg, Ivan. 1999. Succeeding Generations: Realizing the Dream of Families in
Business. Boston, Massachusetts: Harvard Business School Press.
Lansberg, Ivan. 2007. The Test of Prince. Harvard Business Review. September.
Lantu, Donald, et al. 2006. Servant Leadership, The Ultimate Calling to Fulfill
Your Life’s Greatness. Jakarta: Gradien Books Press.
Lindsay, Noel J., and Justin B. L. Craig. 2000. Stars under the Southern Cross, the
untold stories of queensland’s Family Businesses. Australian Centre for
Family Business. Gold Coast: School of Business Bond University.
Miller, Danny and Isabelle Le Breton-Miller. 2005. Managing for the long run:
lessons in competitive advantage from great family businesses. Boston:
Harvard Business School Press.
Miller, E. J., & Rice, A. K. 1967. Systems of organizations. London: Tavistock.
Moores, Ken and Mary Barrett. 2002. Learning Family Business, Paradoxes and
Pathways. Aldeshot, Hampshire: Ashgate Publishing Limited.
Neubauer, Fred and Alden G. Lank. 1998. The Family Business, Its Governance
for Sustainability, London: MacMillan Press, Ltd.
Perry, Martin. 2000. Small Firm and Networks Economices, edisi bahasa
Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Pribadi B., P. Cahanar. 2000. Seri Kekayaan yang Tersembunyi Sukses Merambah
Dunia, Jakarta: Kompas Media Nusantara.
15

Royer, Susanne, Roland Simons, Britta Boyd, and Alannah Farrerty. 2008.
Promoting Family: A Contingency Model of Family Business Succession.
Family Business Review. vol. XXI, no. 1, March, pp. 15-30.
Soedibyo, Moorjati. 2007. Kajian terhadap Suksesi Kepemimpinan Puncak (CEO)
Perusahaan Keluarga Indonesia - menurut Perspektif Penerus. Jakarta:
Disertasi, Program Pasca Sarjana, Universitas Indonesia.
Susanto, AB, et al, 2008, A Strategic Management Approach Corporate Culture &
Organization Culture, Divisi Penerbitan The Jakarta Consulting Group,
Jakarta.
Tracey, Denis. 2001. Family Business – Stories from Australian family business
and the people who operate them, the volatile mix of love, power and
money, Melbourne: Information Australia.
Tugiman, 1995, Peranan Usaha kecil dan Koperasi dalam Memanfaatkan Sisa
Laba BUMN, Penerbit Eresco, Bandung.

Tuhardjo. 2008. Hubungan Pengalaman dan Pembelajaran Fungsi Utama Bisnis


dan Suksesi Bisnis dengan Strategi Bersaing dan Kinerja Bisnis pada
sentra Industri Kecil Onix dan Marmer di Tulungagung. Disertasi. Program
Pasca Sarjana. Universitas Negeri Malang. Malang.

Westhead, P., 1997, Ambitions, external environment and strategic factor


differences between family and non-family companies, Entrepreneurship
and Regional Development 9(2): 127-158.
Widyasmoro, T. Tjahjo. 2008. Bisnis Keluarga - Suksesi atau cukup 3 Generasi.
Majalah Intisari. April.
Yang, Twang Peck. 2004, Chinese Business Elite in Indonesia and the Transition
to Independence 1940-1950, Oxford University Press, edisi bahasa
Indonesia diterbitkan oleh Penerbit Niagara, Yogyakarta.
Zulfikar, Mochammad Reza. 2004. Analisis Pengaruh Faktor Nilai-nilai Utama
Karyawan terhadap Budaya Perusahaan PT. HM. Sampoerna, Tbk. Tesis.
Program Pasca Sarjana. Universitas Airlangga. Surabaya.
16

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai