Anda di halaman 1dari 16

GANGGUAN DISOSIATIF

Gangguan disosiatif itu artinya sebuah kelompok gangguan yang ditandai oleh suatu
kekacauan atau disosiasi dari fungsi identitas, ingatan, atau kesadaran. Gangguan disosiatif
merupakan suatu mekanisme pertahanan alam bawah sadar yang membantu seseorang
melindungi aspek emosional dirinya dari mengenali dampak utuh beberapa peristiwa
traumatik atau peristiwa yang menakutkan dengan membiarkan pikirannya melupakan atau
menjauhkan dirinya dari situasi atau memori yang menyakitkan. Disosiasi dapat terjadi baik
selama maupun setelah suatu peristiwa. Seperti pada mekanisme koping atau mekanisme
perlindungan lainnya, disosiasi menjadi lebih mudah jika dilakukan berulang-ulang.
Gangguan identitas disosiatif biasanya disebut sebagai kepribadian ganda. (Videbeck, 2001)
Gangguan disosiatif memiliki gambaran esensial berupa gangguan pada fungsi yang
biasanya terintegrasi mencakup kesadaran, memori, identitas, atau persepsi lingkungan. Hal
ini sering menghambat kemampuan individu untuk melakukan fungsi dalam kehidupan
sehari-hari , mengganggu hubungan, dan menghambat kemampuan individu untuk
melakukan koping terhadap realitas peristiwa yang traumatik. Identitas gangguan ini sangat
bervariasi pada individu yang berbeda dan dapat muncul tiba-tiba atau bertahap, bersifat
sementara atau kronis (Videbeck, 2001)
Gejala utama disosiatif adalah adanya kehilangan (sebagian atau seluruh) dari
integrasi normal di bawah kendali kesadaran antara :
- Ingatan masa lalu
- Kesadaran identitas dan pengindraan segera (awareness of identity and immediate
sensation) dan,
- Kontrol terhadap gerakan tubuh
A. Jenis-jenis Gangguan Disosiatif
1. Gangguan Identitas Disosiatif
Suatu gangguan disosiatif dimana seseorang memiliki dua atau lebih
kepribadian yang berbeda atau kepribadian pengganti (alter). Terdapat beberapa
variasi dari kepribadian ganda, seperti kepribadian tuan rumah atau utama
mungkin tidak sadar akan identitas lainnya, sementara kepribadian lainnya sadar
akan keberadaan si tuan rumah ada juga kepribadian yang berbeda benar-benar
tidak sadar satu sama lain. Terkadang dua kepribadian bersaing untuk
mendapatkan kontrol terhadap orang tersebut ada juga satu kepribadian dominan
(Dorahy, 2001). Ada juga yang menyebutnya dengan gangguan kepribadian
multipel. Seseorang memperlihatkan dua atau lebih identitas yang berbeda yang
sering kali mengendalikan perilakunya. Gangguan ini disertai dengan
ketidakmampuan untuk mengingat informasi personal yang penting (Videbeck,
2001)
Orang dengan kepribadian ganda seringkali sangat imajinatif pada masa
kecilnya karena terbiasa dengan permainan “make-believe” (pura-pura atau
bermain peran) mereka mungkin sudah mengadopsi identitas pengganti, terutama
bila mereka belajar bagaimana menampilkan peran kepribadian ganda. Dalam
kasus kepribadain ganda masih terdapat kontroversi, karena selama tahun 1920-
1970 dilaporkan hanya sedikit kasus di seluruh dunia tentang kepribadian ganda.
Sejumlah ahli percaya bahwa gangguan tersebut terlalu cepat didiagnosis pada
orang-orang yang sangat mudah tersugesti yang bisa saja hanya mengikuti sugesti
bahwa mereka mungkin memiliki gangguan tersebut (APA, 2000). Sejumlah
pakar terkenal, seperti Alm. Psikolog Nicholas Spanos dan para psikolog lainnya
telah menentang keberadaan gangguan identitas disosiatif. Bagi Spanos,
kepribadian ganda bukanlah suatu gangguan tersendiri, namun suatu bentuk
bermain peran dimana individu pertama-tama mulai menganggap diri mereka
memiliki self ganda dan kemudian mulai bertindak dengan cara yang konsisten
dengan konsepsi mereka mengenai gangguan tersebut. Pada akhirnya permainan
peran mereka tertanam sangat dalam sehingga menjadi kenyataan bagi mereka.
Kepribadian ganda berbeda dengan skizofrenia. Dalam kepribadian ganda
kepribadiannya seperti terbagi kedalam dua atau lebih kepribadian namun
masing-masing biasanya menunjukkan fungsi yang lebih terintegrasi pada tingkat
kognitif, afektif dan perilaku. Sedangkan skizofrenia adalah kelainan mental yang
ditandai oleh gangguan proses berpikir dan respon emosi yang lemah. Keadaan
ini pada umumnya dimanifestasikan dalam bentuk halusinasi pendengaran,
paranoid atau waham yang ganjil, atau cara berbicara dan berpikir yang kacau,
dan disertai dengan disfungsi sosial dan pekerjaan yang signifikan (Dorahy,
2001).
Identitas disosiatif merupakan kemunculan dua atau lebih kepribadian
yang berbeda. Kejelasan atau ketidakjelasan dari kepribadian ini bagaimanapun
bervariasi dari fungsi motivasi psikologis, level stress sekarang, budaya, konflik
internal dan dinamic, serta naik turunnya emosi. Penekanan periode-periode dari
gangguan identitas mungkin terjadi ketika tekanan psikososial parah dan/atau
berkepanjangan. Dalam beberapa kasus “possession-form” dari gangguan
identitas disosiatif, dan dalam proporsi kasus “non-possession-form” yang kecil,
perwujudan dari identitas alter akan sangat jelas. Kebanyakan individu dengan
gangguan identitas disosiatif “non-possession-form”, tidak sejara jelas
menunjukkan ketidaksinambungan identitas diri dalam periode waktu yang lama;
hanya sedikit bagian menujukkan pada perhatian klinis dengan identitas alternatif
yang terobservasi (Dorahy, 2001).
Gejala-gejala yang berhubungan dengan diskontinuitas pengalaman yang
dapat berpengaruh pada berbagai aspek fungsi individu. Individu dengan
gangguan identitas disosiatif dapat menunjukkan perasaan yang tiba-tiba menjadi
pengamat yang didepersonalisasi dari perkataan dan tindakan mereka, dimana
mereka merasa tidak berdaya untuk menghentikannya (sense of self). Beberapa
individu juga menunjukkan persepsi suara (contoh : suara anak; tangisan ; dan
suara roh). Pada beberapa kasus, suara-suara tersebut terasa banyak,
membingungkan, pikiran bebas mengalir melalui individu yang tidak terkontrol.
Emosi yang kuat, impuls, dan perkataan atau tindakan lain tiba-tiba muncul tanpa
rasa kepemilikan diri atau tanpa kontrol. Emosi-emosi dan impuls ini seringkali
ditunjukkan sebagai ego yang tidak kuat dan membingungkan. Sikap, penampilan
dan kesukaan pribadi (makanan, aktivitas, pakaian) dapat berubah secara tiba-tiba
dan berubah lagi. Individu juga merasa tubuhnya berbeda (seperti tubuh anak-
anak, jenis kelampin berbeda, besar dan berotot). Perubahan dalam perasan diri
sendiri dan kehilangan agen personal dapat diikuti rasa bahwa sikap, emosi, dan
perilaku – dalam satu tubuh – bukan milik sendiri dan bukan dalam kontrol diri.
Kebanyakan dari diskontinuitas yang tiba-tiba dalam berbicara, pengaruh, dan
perilaku dapat diamati oleh keluarga, teman, dan terapis. Serangan non-epilepsi
dan gejala konversi lainnya menonjol dalam beberapa penjelasan dari identitas
disosiatif, khususnya dalam setting non-Barat (Hibbert, dkk. 2009).
Individu yang memiliki gangguan identitas disosiatif berbeda dalam
kesadaran diri dan sikap terhadap amnesia. Hal ini umum pada individu tersebut
untuk memperkecil gejala amnesia mereka. Beberapa perilaku amnesia dapat
menjadi nyata pada lainnya – seperti ketika orang-orang tidak mengingat kembali
sesuatu yang mereka sadari dalam berbuat atau berkata, ketika mereka tidak bisa
mengingat nama mereka, atau ketika mereka tidak mengenal pasangan, anak, atau
teman dekatnya (Tomb, 2004)
Identitas “possession-form” dalam identitas disosiatif nyata sebagai
perilaku yang muncul seperti ada “spirit”, kekuatan supernatural, atau ada orang
lain di luar yang mengontrol. Contohnya, perilaku individu dapat memunculkan
bahwa identitas mereka telah digantikan dengan “hantu” dari perempuan yang
bunuh diri dalam komunitas mereka beberapa tahun yang lalu, berbicara dan
berperilaku seakan-akan perempuan itu masih hidup. Atau, individu diambil alih
oleh iblis, sebagai tuntutan dari individu untuk mendapatkan hukuman atas
perilaku yang telah dia lakukan di masa lalu. Bagaimanapun, bagian utama dari
keadaan kepemilikan di dunia ini normal, biasanya bagian dari spiritual dan tidak
termasuk dalam gangguan identitas disosiatif. Identitas yang meningkat selama
gangguan disosiatif disorder “possession-form” muncul berulang tidak
diinginkan dan terpaksa yang menyebabkan distress atau kerusakan klinis yang
signifikasn dan tidak dapat diterima oleh budaya atau agama secara luas (Dorahy,
2001).
2. Amnesia disosiatif atau Amnesia Psikogenik
Amnesia disosiatif dipercaya sebagai tipe yang paling umum dari
gangguan disosiatif. Kehilangan memori karena penyebab psikologik disebut
amnesia disosiatif. Amnesia diambil dari kata Yunani a-, berarti “tanpa” dan
mnasthai, berarti “untuk mengingat”. Mengingat kembali dalam amnesia
disosiatif dapat terjadi secara bertahap tapi sering muncul secara tiba-tiba atau
spontan (Maldonado, Butler, dan Speigel, 1998). Biasanya, terdapat kehilangan
informasi bermuatan emosi yang anterograd secara tiba-tiba setelah suatu stres
fisik atau psikososial. Gangguan ini lebih banyak dijumpai oada wanita usia
remaja atau usia 20-1n, atau laki-alki pada waktu perang. Pada saat serangan,
pasien tampak sangat bingung, tetapi dapat pulih secara cepat, spontan, dan
menyeluruh. Pada sebagian kasus, amnesia terjadi sebagian atau menyeluruh,
dialami selama beberapa bulan atau tahun pada saat-saat akhir hidup mereka.
Hipnosis dapat membantu untuk mengembalikan memorinya (Tomb, 2004).
Terdapat jenis-jenis dalam kerusakan ingatan yang diantaranya ialah
ketidak mampuan untuk mengingat semua insiden yang berhubungan dengan
suatu kejadian traumatik untuk suatu periode waktu spesifik setelah kejadian
tersebut (biasanya beberapa jam sampai beberapa hari) yang disebut dengan
Amnesia lokal (Townsend, 1998). Sedangkan amnesia selektif, individu dapat
mengingat beberapa, namun tidak semua, peristiwa-peristiwa dalam periode
waktu terbatas. Jadi, individu dapat mengingat bagian dari peristiwa traumatik,
tetapi tidak pada bagian lain. Beberapa individu melaporkan, dirinya menderita
baik amnesia terlokalisasi dan amnesia selektif. Dengan kata lain yang dapat
diingat hanyalah kejadian pasti yang berhubungan dengan kejadian traumatik
(Townsend, 1998).
Berbeda dengan amnesia selektif dan amnesia lokal, Amnesia
menyeluruh penghilangan memori keseluruhan dari sejarah kehidupan
seseorang, dan hal tersebut jarang. Individu dengan amnesia keseluruhan dapat
melupakan identitas pribadi. Beberapa kehilangan pengetahuan sebelumnya
tentang dunia (pengetahuan semantik) dan tidak dapat melakukan keahlian-
keahlian yang telah dipelajari (pengetahuan prosedural). Amnesia menyeluruh
mempunyai onset akut; membingungkan, disorientasi, dan pengeluyuran yang
tidak bertujuan dari individu dengan amnesia menyeluruh biasanya membawa
mereka pada perhatian polisi atau pelayan psikiater darurat. Amnesia menyeluruh
dapat menjadi lebih umum di antara korban kekerasan seksual dan individu yang
memiliki pengalaman stress emosional yang ekstrim atau konflik (Townsend,
1998).
Dan yang terakhir ialah amnesia kontinu yakni ketidakmampuan
mengingat kejadian-kejadian berikutnya sampai suatu waktu yang spesifik dan
termasuk kejadian-kejadian saat ini. Memorinya tidak kembali setelah suatu
periode waktu yang pendek, seperti pada amnesia lokal. Individu tersebut benar-
benar tidak mampu membentuk memori baru (Townsend, 1998).
Individu dengan amnesias disosiatif seringkali tidak menyadari (atau
hanya sebagian sadar) permasalahan memori mereka. Kebanyakan, terkhusus
mereka yang mengalami amnesia terlokalisasi, meminimalisir kepentingan dari
kehilangan memori mereka dan dapat menjadi tidak nyaman ketika diarahkan
untuk mengingat memori tersebut. Dalam amnesia tersistematis, individu
kehilangan memori untuk kategori informasi yang spesifik (semua ingatan
tentang keluarga, orang penting, pelecehan seksual masa kecil). Dalam amnesia
berkesinambungan, individu melupakan tiap peristiwa yang terjadi (Townsend,
1998).
3. Fugue disosiatif atau Fuga Psikogenik

Fugue berasal dari bahasa latin fugere, yang berarti melarikan diri, fugue
sama dengan amnesia ”dalam pelarian”. Dalam fugue disosiatif memori yang
hilang lebih luas dari pada amnesia dissosiative, individu tidak hanya kehilangan
seluruh ingatanya (misalnya nama, keluarga atau pekerjaanya), mereka secara
mendadak meninggalkan rumah dan pekerjaanya serta memiliki identitas yang
baru (parsial atau total) (APA, 1994). Namun mereka mampu membentuk
hubungan sosial yang baik dengan lingkungan yang baru. Fugue, seperti amnesia,
relatif jarang dan diyakini mempengaruhi sekitar 2 orang di 1.000 di antara
populasi umum (APA, 1994). Setelah pulih, tidak ada ingatan sama sekali
terhadap kejadian-kejadian yang terjadi selama fuga (fugue). Prosesnya secara
singkat-beberapa jam sampai beberapa hari dan jarang sampai beberapa bulan.
Kekambuhan jarang terjadi (Townsend, 1998).

Gangguan ini muncul sesudah individu mengalami stress atau konflik


yang berat, misalnya pertengkaran rumah tangga, mengalami penolakan,
kesulitan dalam pekerjaan dan keuangan, perang atau bencana alam. Perilaku
seseorang pasien dengan fugue disosiatif adalah lebih bertujuan dan terintegrasi
dengan amnesianya dibandingkan pasien dengan amnesia disosiatif. Pasien
dengan fugue disosiatif telah berjalan jalan secara fisik dari rumah dan situasi
kerjanya dan tidak dapat mengingat aspek penting identitas mereka sebelumnya
(nama,keluarga, pekerjaan). Pasien tersebut seringkali, tetapi tidak selalu,
mengambil identitas dan pekerjaan yang sepenuhnya baru, walaupun identitas
baru biasanya kurang lengkap dibandingkan kepribadian ganda yang terlihat pada
gangguan identitas disosiatif (Tomb, 2004)

Penyebab dissociative fugue serupa kepada dissociative amnesia.


Dissociative fugue sering disalaharti sebagai malingering, karena kedua kondisi
bisa terjadi dibawah keadaan bahwa seseorang mungkin tidak bisa memahami
keinginan untuk menghindar. Kebanyakan fugue tampak melambangkan
pemenuhan keinginan yang disembunyikan (misal, lari dari tekanan yang
berlebihan, seperti perceraian atau kegagalan keuangan). Fugues lainnya
berhubungan dengan perasaan ditolak atau dipisahkan atau mereka bisa
melindungi orang tersebut dari bunuh diri atau impul pembunuhan. Ketika
dissociative fugue berulang labih dari beberapa waktu, orang tersebut biasanya
memiliki gangguan identitas dissociative yang mendasari. Fugue bisa
berlangsung dari hitungan jam sampai mingguan, atau kadangkala bahkan lebih
lama (Tomb, 2004)

4. Gangguan Depersonalisasi
Gangguan depersonalisasi didiagnosis hanya terjadi bila pengalaman terjadi
berulangkali dan menimbulkan distress yang jelas.
Ada dua macam gangguan depersonalisasi, diantaranya ialah:
a. Depersonalisasi (depersonalization) mencangkup kehilangan atau
perubahan temporer dalam perasaan yang biasa mengenai realitas diri
sendiri. Dalam suatu tahap depersonalisasi, orang merasa terpisah dari
dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya. Mereka mungkin merasa
seperti sedang bermimpi atau bertingkah laku seperti robot (Guralnik,
Schmeidler, & Simeon, 2000; Maldonado, Butler, & Speigel, 1998).
b. Derealisasi (Derealization) suatu perasaan tidak nyata mengenai dunia
luar yang mencakup perubahan yang aneh dalam persepsi mengenai
lingkungan sekitar, atau dalam perasaan mengenai periode waktu juga
dapat muncul. Orang dan objek dapat berubah ukuran atau bentuk dan
dapat pula mengeluarkan suara yang berbeda. Semua perasaan ini dapat
diasosiasikan dengan kecemasan, termasuk pusing dan ketakutan akan
menjadi gila, atau dengan depresi (Guralnik, Schmeidler, & Simeon,
2000; Maldonado, Butler, & Speigel, 1998).
Hal utama/penting dari gangguan depersonalisasi/derealisasi adalah
episode menetap atau berulang dari depersonalisasi/derealisasi, atau keduanya.
Episode dari depersonalisasi dikaraktersitikan dari perasaan yang tidak nyata atau
tidak familiar dari keseluruhan diri seseorang atau dari aspek-aspek diri. Individu
tersebut dapat merasa terpisah dari dirinya (“saya bukan siapa-siapa”, “saya tidak
mempunyai diri saya”). Dia juga merasa terpisah secara subjektif dari aspek diri,
termasuk perasaan (“ saya tahu saya mempunyai perasaan, tapi saya tidak
merasakannya”), pikiran (“pikiran saya tidak terasa seperti milik saya”,
keseluruhan tubuh/bagian tubuh, atau sensasi (sentuhan, lapar, libido). Ada juga
pengurangan rasa memiliki dari agen diri (terasa seperti robot, kurang dalam
kontrol perkataan atau gerakan). Pengalaman depersonalisasi terkadang menjadi
satu dalam pemisahan diri, dengan satu bagian mengamati dan bagian lain
berpartisipasi (“out-of-body experience” adalah bentuk paling ekstrim). Kesatuan
gejala dari “depersonalisasi” terdiri dari beberapa faktor gejala: pengalaman diri
menyimpang dari biasanya (diri yang tidak nyata dan perubahan persepsi); emosi
atau merasa mati rasa secara fisik; dan distorsi diri yang temporal dengan
mengingat kembali penyimpangan diri (Guralnik, Schmeidler, & Simeon, 2000.
Episode derealisasi dikarakteristikan oleh perasaan tidak nyata atau
memisahkan dari atau tidak familiar dengan, dunia (individu, benda mati, dan
sekitarnya). Individu tersebut dapat merasa bahwa dia dalam kabut, mimpi, atau
gelembung, atau pengalaman buatan, tidak berwarna, atau tidak hidup.
Derealisasi secara umum diikuti dengan distorsi visual subjektif, seperti
kekaburan, merasa lingkungan sekitar makin sempit/makin luas, dua-
dimensi/rata, melebih-lebihkan tiga dimensi, atau perubahan jarak/ukuran dari
objek. Distorsi auditori dapat terjadi, dimana suara mengecil atau mengeras
(Guralnik, Schmeidler, & Simeon, 2000).
B. Gangguan Disosiatif Lainnya
- Stupor Disosiatif ( F 44.2)
Stupor, sangat berkurangnya atau hilangnya gerakan-gerakan volunter dan respon
normal terhadap rangsangan luar seperti misalnya cahaya, suara, dan perabaan
(sedangkan kesadaran tidak hilang). Tidak ditemukan adanya gangguan fisik ataupun
gangguan jiwa lain yang dapat menjelaskan keadaan stupor tersebut. Kondisinya tidak
bergerak dan bisu, namun ia sadar akan kondisi sekelilingnya (Hibbert, dkk. 2009)
- Gangguan Trans dan Kesurupan ( F 44.3)
Gangguan ini menunjukan adanya kehilangan sementara aspek penghayatan akan
identitas diri dan kesadaran akan lingkungannya. Dalam beberapa kejadian, individu
tersebut berperilaku seakan-akan dikuasai oleh kepribadian lain, kekuatan gaib,
malaikat atau “kekuatan lain” . hanya gangguan trans yang “involunter” (diluar
kemampuan individu) dan bukan merupakan aktivitas yang biasa dan bukan
merupakan kegiatan keagamaan ataupun budaya, yang boleh dimasukan dalam
pengertian ini. Tidak ada penyebab organik misalya epilepsi, cidera kepala, dan lain-
lain, dan bukan bagian gangguan jiwa tertentu (Hibbert, dkk. 2009).
- Gangguan Motorik Disosiatif ( F 44.4)
Bentuk yang umum dari gangguan ini adalah ketidakmampuan menggerakan seluruh
atau sebagian dari anggota gerak (tangan atau kaki). Gejala tersebut seringkali
menggambarkan konsep dari penderita mengenai gangguan fisik yang berbeda dengan
prinsip fisiologik dan anatomik (Hibbert, dkk. 2009).
- Konvulsi Disosiatif ( F 44.5)
Konvulsi disosiatif (pseudo seizures) dapat sangat mirip dengan kejang, epileptik
dalam hal gerakan gerakannya, akan tetapi sangat jarang disertai lidah tergigit, luka
serius karena jatuh saat serangan dan mengompol juga tidak dijumpai kehilangan
kesadaran atau hal tersebut diganti dengan keadaan seperti stupor atau trans
(Leksikon, 2001)
- Anestesia dan Kehilangan sensorik disosiatif ( F 44.6)
Gejala anestesia pada kulit seringkali mempunyai batas-batas yang tegas
(menggambarkan pemikiran pasien mengenai kondisi tubuhnya dan bukan
menggambarkan kondisi klinis sebenarnya). Dapat pula terjadi perbedaan antara
hilangnya perasaan pada berbagai jenis modalitas penginderaan yang tidak mungkin
desebabkan oleh kerusakan neurologis, misalnya hilangnya perasaan dapat disertai
dengan keluhan parestesia. Kehilangan penglihatan jarang bersifat total, leih banyak
berupa gangguan ketajaman penglihatan, kekaburan atau “tunnel vision”. Meskipun
ada gangguan penglihatan, mobilitas penderita dan kemampuan motoriknya masih
baik. Tuli disosiatif dan anosmia jauh lebih jarang terjadi dibandingkan dengan hilang
rasa dan penglihatan (Hibbert, dkk. 2009).
- Gangguan Disosiatif (konversi) atau Dissociative (convertion) disorder (F 44)
Kehilangan integrasi normal (sebagian atau seluruhnya) antara ingatan masa lalu,
kesadaran akan identitas diri, sensasi segera, dan pengendalian gerakan tubuh.
Gangguan disosiatif memiliki kecenderungan untuk pulih setelah beberapa minggu
atau bulan, terutama jika kejadiannya berhubungan dengan peristiwa traumatik dalam
kehidupan. Makin banyak gangguan kronik yang dapat terjadi, terutama kelumpuhan
(paralyse) dan anestesia (anaesthesias), jika kejadiannya berhubungan dengan masalah
yang tidak dapat diselesaikan atau mengalami kesulitan dalam hubungan
interpersonal. Gangguan ini pada awalnya dianggap bersifat psikogenik dan dahulu
diklasifikasikan ke dalam histeria konversi. Gejala sering kali merepresentasikan
konsep pasian tentang bagaimana penyakit fisik akan dimanifestasikan. Pemeriksaan
medis dan penunjang biasanya tidak membuktikan adanya gangguan fisik atau
gangguan neurologik apapun (Leksikon, 2001).
- Gangguan disosiatif organik (Dissociative disorder, organic)
Gangguan disosiatif yang timbul sebagai akibat gangguan jiwa organik dan
ditandai dengan kehilangan integritas normal sebagian atau total antara ingatan masa
lalu, kesadaran akan identitas, sensasi segera, dan pengendalian gerakan tubuh
(Leksikon, 2001).

C. Penanganan Gangguan Disosiatif


1. Identitas Disosiatif
Psikoanalisis berusaha membantu orang yang menderita gangguan
identitas disosiatif untuk mengungkapkan dan belajar mengatasi trauma-
trauma masa kecil. Mereka sering merekomendasikan membangun kontak
langsung dengan kepribadian-kepribadian alter. Setiap dan semua kepribadian
dapat diminta untuk berbicara tentang memori dan mimpi-mimpi ereka sebisa
mereka. Setiap dan semua kepribadian dapat diyakinkan bahwa terapis akan
membantu mereka untuk memahami kecemasan mereka untuk
“membangkitkan” pengalaman traumatis mereka secara aman dan menjadikan
pengalaman-pengalaman tersebut disadari. Menurut Wilbur, kecemasan yang
dialami saat sesi akan menyebabkan perpindahan kepribadian. Bila terapi
berhasil, self akan mampu bergerak melalui ingatan traumatis dan tidak lagi
perlu melarikan diri ke dalam self pengganti untuk menghindari kecemasan
yang diasosiasikan dengan trauma, sehingga terjadi integrasi kepribadian
(Maldonado, dkk, 1998)
Amnesia dan fugue disosiatif : Berfokus pada penanganan kecemasan atau
depresinya.
2. Penanganan Fugue Disosiatif
Psikoterapi adalah penanganan primer terhadap gangguan disosiatif ini.
Bentuk terapinya berupa terapi bicara, konseling atau terapi psikososial,
meliputi berbicara tentang gangguan yang diderita oleh pasien jiwa. Terapinya
akan membantu anda mengerti penyebab dari kondisi yang dialami.
Psikoterapi untuk gangguan disosiasi sering mengikutsertakan teknik seperti
hipnotis yang membantu kita mengingat trauma yang menimbulkan gejala
disosiatif (Maldonado, Butler, dan Speigel, 1998).
3. Penanganan gangguan disosiatif yang lain meliputi :
 Terapi kesenian kreatif. Dalam beberapa referensi dikatakan bahwa
tipe terapi ini menggunakan proses kreatif untuk membantu pasien
yang sulit mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka. Seni kreatif
dapat membantu meningkatkan kesadaran diri. Terapi seni kreatif
meliputi kesenian, tari, drama dan puisi (Maldonado, Butler, dan
Speigel, 1998).
 Terapi kognitif. Terapi kognitif ini bisa membantu untuk
mengidentifikasikan kelakuan yang negative dan tidak sehat dan
menggantikannya dengan yang positif dan sehat, dan semua tergantung
dari ide dalam pikiran untuk mendeterminasikan apa yang menjadi
perilaku pemeriksa (Maldonado, Butler, dan Speigel, 1998).
 Terapi obat. Terapi ini sangat baik untuk dijadikan penangan awal,
walaupun tidak ada obat yang spesifik dalam menangani gangguan
disosiatif ini. Biasanya pasien diberikan resep berupa anti-depresan
dan obat anti-cemas untuk membantu mengontrol gejala mental pada
gangguan disosiatif ini (Maldonado, Butler, dan Speigel, 1998).
 Ahli terapi biasanya merekomendasikan menggunakan hypnosis yang
biasanya berupa hypnoterapi atau hipnotis sugesti sebagai bagian dari
penanganan pada gangguan disosiatif. Hypnosis menciptakan keadaan
relaksasi yang dalam dan tenang dalam pikiran. Saat terhipnotis, pasien
dapat berkonsentrasi lebih intensif dan spesifik. Karena pasien lebih
terbuka terhadap sugesti saat pasien terhipnotis. Ada beberapa
konsentrasi yang menyatakan bahwa bisa saja ahli hipnotis akan
menanamkan memori yang salah dalam mensugesti. Selain itu, kita
juga bisa melakukan pencegahan. Anak- anak yang secara fisik,
emosional dan seksual mengalami gangguan, sangat beresiko tinggi
mengalami gangguan mental yang dalam hal ini adalah gangguan
disosiatif. Jika terjadi hal yang demikian, maka bersegeralah
mengobati secara sugesti, agar penangan tidak berupa obat anti
depresan ataupun obat anti stress, karena diketahui bahwa jika
menanamkan sugesti yang baik terhadap usia belia, maka nantinya
akan didapatkan hasil yang maksimal, dengan penangan yang minimal
(Maldonado, Butler, dan Speigel, 1998).
4. Penanganan Amnesia Disosiatif
Gangguan disosiatif merupakan produk akhir dari pengalaman
traumatis yang kuat pada masa kanak-kanak, khususnya mencakup penyiksaan
atau bentuk lain dari kesalahan penanganan emosi. Walaupun demikian,
sebagai tambahan pengalaman kekerasan pasa masa kanak-kanak, beberapa
jenis peristiwa traumatis juga dapat menghasilkan pengalaman disosiatif,
bebrapa yang bersifat sementara dan beberapa lainnya berakhir dalam jangka
waktu yang lama (Maldonado, Butler, dan Speigel, 1998).
Treatment untuk gangguan disosiatif ada bermacam-macam, sebagian
besar karena kondisinya juga bervariasi. Tujuan utama dalam memberika
treatment terhadap orang dengan symptom-simptom disosiatif adalah dengan
membawa kestabilan dan integrasi dalam hidup mereka. Hal yang penting
dalam treatment mereka adalah membangun sebuah lingkungan yang aman,
jauh dari stressor yang mengancam yang mungkin dapat membangkitkan
disosiasi. Pada keamanan dalam konteks treatment, klinisi akan mengenalkan
teknik yang menenangkan, beberapa bersifat psikoterapeutik dan yang lain
bersifat psikofarmakologis. Beberapa klinisi akan menambah obat dan
intervensi, juga dapat membantu meningkatkan kondisi tenang. Obat yang
paling umum digunakan adalah sodium pentobarbital dan sodium amobarbital
yang memfasilitasi proses wawancara, khususnya pada klien yang mengalami
amnesia disosiatif dan fugue disosiatif. Jika amnesianya telah hilang, maka
klinisi akan membanti klien menemukan kejadian apa dan factor-faktor apa
yang menyebabkan amnesia (Maldonado, Butler, dan Speigel, 1998)
Gangguan disosiatif menyajikan kesempatan unik menghargai
kompleksitas pikiran manusia dan variasi cara yang tak biasa ketika beberapa
orang merespons pengalaman-pengalaman hidup yang penuh tekanan. Penting
untuk mengingat bahwa gangguan amnesia dan fugue sangat jarang terjadi dan
sulit untuk diterapi, meskipun penjelasan yang saat ini ada bergantung pada
perspektif psikologis (Maldonado, Butler, dan Speigel, 1998)
2. Penanganan Depersonalisasi
Karena gangguan disosiatif tampaknya dipicu sebagai respon terhadap
trauma atau pelecehan, Pengobatan untuk individu dengan gangguan tersebut
adalah psikoterapi stress, meskipun kombinasi perawatan
psychopharmacological dan psikososial sering digunakan. Banyak gejala
gangguan disosiatif terjadi dengan gangguan lain, seperti kecemasan dan
depresi, dan dapat dihilangkan dengan mengatasi penyebab dari kecemasan
dan depresi. Sedangkan obat yang sama digunakan untuk kecemasan dan
depresi (misalnya, anti ansietas obat atau antidepresan) sering diresepkan
untuk orang dalam pengobatan untuk gangguan disosiatif, gejala kecemasan
dan depresi juga bisa mendapatkan keuntungan dari psikoterapi. Pengobatan
gangguan depersonalisasi dapat meliputi, antara lain:
- Konseling psikologis
Konseling psikologis akan membantu pasien memahami mengapa
terjadi depersonalisasi dan melatih pasien untuk berhenti khawatir mengenai
gejala yang terjadi. Gangguan depersonalisasi juga dapat membaik ketika
konseling membantu dengan kondisi psikologis lain, seperti depresi
(Maldonado, Butler, dan Speigel, 1998).

- Obat-obatan
Meskipun tidak ada obat khusus yang telah disetujui untuk mengobati
gangguan depersonalisasi. Namun, sejumlah obat yang umumnya digunakan
untuk mengobati depresi dan kecemasan juga dapat membantu kondisi
gangguan depersonalisasi. Beberapa contoh yang telah ditunjukkan untuk
meredakan gejala tersebut termasuk:
 Fluoxetine (Prozac) :
Fluoxetine adalah salah satu obat diandalkan untuk pengobatan
depresi. mekanisme aksi dari Fluoxetine adalah dengan meningkatkan
tingkat serotonin dalam otak. bahwa Pasien dengan Depresi memiliki
tingkat serotonin dalam otak mereka. Fluoxetine memudahkan gejala
depresi dengan memperlakukan ketidakseimbangan serotonin dalam
otak (Butcher, dkk, 2008).
 Clomipramine (Anafranil)
Anafranil 10 mg merupakan obat antidepresan yang mengandung
Clomipramine 10 mg. Anafranil termasuk ke dalam kelas tricyclic
antidepressant (TCA). Clomipramine merupakan penghambat selektif kuat
dari reuptake serotonin, antagonis dari reseptor histamin H1, reseptor
asetilkolin, dan reseptor adrenergik α1 (Butcher, dkk, 2008)..
Anafranil digunakan untuk penanganan gangguan obsesif kompulsif,
Gangguan depresi menyeluruh, Gangguan panik dengan atau tanpa
agoraphobia, Gangguan dismorfik tubuh, Ejakulasi dini, Gangguan nyeri
kronis dengan atau tanpa penyakit organik, paling sering berupa nyeri kepala
(Butcher, dkk, 2008)..
Anafranil tidak boleh digunakan pada pasien dengan riwayat alergi
atau hipersensitivitas pada Clomipramine, atau golongan trisiklik
antidepresan lainnya. Pasien dengan riwayat serangan jantung, pasien dengan
gangguan irama jantung, pasien dengan gangguan manik, pasien dengan
gagal hati berat, pasien dengan glukoma, pasien dengan gangguan ginjal
berat atau gangguan mikturisi (buang air kecil). Penggunaan Anafranil
pada ibu hamil berkaitan dengan adanya kelainan jantung congenital pada
janin, dan berkaitan dengan gejala putus zat pada bayi baru lahir. Anafranil
juga dapat masuk ke dalam air susu ibu, sehingga ibu menyusui dilarang
menggunakan obat ini (Butcher, dkk, 2008)..
EFEK SAMPING
Efek samping yang paling sering ketika menggunakan Anafranil
adalah mual, muntah, mulut kering, gangguan penglihatan, konstipasi,
peningkatan nafsu makan, peningkatan berat badan, pusing berputar, nyeri
kepala, rasa mengantuk, gelisah, dan gangguan ereksi/impotensi. Efek
samping yang jaarang terjadi di antaranya adalah kelemahan otot, gangguan
berbicara, kelumpuhan sesaat, gangguan ingatan, gangguan tidur, gangguan
manik, gangguan cemas, pembesaran payudara, galaktorea (keluar air susu),
gangguan keseimbangan, gangguan irama jantung dan peningkatan tekanan
darah (Butcher, dkk, 2008)..
DOSIS
Penggunaan Anafranil dapat digunakan dalam rentang dosis 25 mg
hingga 200 mg per hari dalam dosis terbagi, obat ini dikonsumsi dalam
keadaan perut terisi atau setelah makan guna mengurangi efek samping pada
saluran makan. Pada pasien yang baru menggunakan Anafranil dapat dimulai
dengan dosis ringan 10 mg per hari dua hingga tiga tablet, kemudian
ditingkatkan dosisnya secara bertahap. Memberhentikan penggunaan
Anafranil harus dilakukan secara bertahap, yaitu dimulai dengan penurunan
dosis hingga akhirnya berhenti, hal ini dilakukan untuk mencegah
ketergantungan dan munculnya gejala putus zat (Butcher, dkk, 2008)..
 Clonazepam (Klonopin)
Klonopin mengandung clonazepam. Clonazepam digunakan sendiri
atau bersama-sama dengan obat lain untuk mengobati kejang tertentu atau
gangguan kejang, misalnya, sindrom Lennox Gastaut, akinetic atau kejang
mioklonik). Hal tersebut juga digunakan untuk mengobati gangguan panik
pada beberapa pasien. Clonazepam adalah termasuk golongan benzodiazepin.
Benzodiazepin termasuk dalam kelompok obat yang disebut sebagai depresan
sistem saraf pusat (SSP), yang adalah obat untuk memperlambat sistem saraf.
Fungsi dari obat ini ialah untuk mengatasi gangguan kejang dan gangguan
panik. Obat tersebut hanya dapat diperoleh dengan resep dokter (Butcher,
dkk, 2008).
DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association. (2000). Diagnostic and statistical manual of mental


disorders, DSM-IV(4th ed., text revision). Washington, DC: American Psychiatric
American Psychiatric Association. (1994). Diagnostic and statistical manual of mental
disorders, DSM-IV, (4th ed., text revision). Washington, DC: American Psychiatric

Butcher, J. N., Mineka, S., Hooley, J. M. (2008). Abnormal Psychology: Core Concepts.

Boston; Pearson

Davison, G. C., Neale, J. M., Kring, A. M. (2006). Psikologi Abnormal (Edisi ke-9)

(Noermalasari Fajar, Trans). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Dorahy, M. J dan Rhoades, G. (2001) Dissosiative Identity Disorder and Memory


Dysfunction. The Current state of experimental research, and its future direction.
Clinical Psychology Review, 21, 771-795
Guralnik, O., Schmeidler, J., dan Simeon, D. (2000). Feeling unreal: Cognitive Processes in
depersonalization American Journal of Psychiatry, 157 (1), 103-109
Hibbert, A. Godwin, A. dan Frances Dear. (2009). Rujukan Cepat Psikiatri. Jakarta: EGC
Leksikon. (2001). Istilah Kesehatan Jiwa dan Psikiatri. Jakarta: EGC
Tomb, David A. (2004). Psikiatri. Jakarta: EGC
Townsend, Mary C. (1998). Diagnosa Keperawatan pada Keperawatan Psikiatri. Jakarta
EGC
Videbeck, Sheile L. (2001). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC
Maldonado J, Butler L, dan Spiegel D. (1998). Treatment for Dissosiative Disorder. New
York: Oxford University
https://www.academia.edu/9069052/MAKALAH_GANGGUAN_DISOSIATIF diakses pada
tanggal 13 Desember 2014 pukul 15.06

Anda mungkin juga menyukai