DEFINISI
Ada tujuh tulang servikal vertebrae (tulang belakang) yang mendukung kepala
dan menghubungkannya ke bahu dan tubuh. Sebuah fraktur (patah atau retak) di salah
satu tulang leher disebut fraktur servikal atau kadang-kadang juga disebut patah
tulang leher. Cedera tulang belakang adalah cedera mengenai cervicalis, vertebralis
dan lumbalis akibat trauma ; jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas,
kecelakakan olah raga dsb (Sjamsuhidayat, 1997).
B. ETIOLOGI
C. MANIFESTASI KLINIK
Lewis (2006) menyampaikan gejala klinis dari fraktur adalah sebagai berikut:
1. Nyeri
Nyeri dirasakan langsung setelah terjadi trauma. Hal ini dikarenakan adanya
spasme otot, tekanan dari patahan tulang atau kerusakan jaringan sekitarnya.
Nyeri dirasakan terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2. Bengkak/edama
Edema muncul lebih cepat dikarenakan cairan serosa yang terlokalisir pada daerah
fraktur dan extravasi daerah di jaringan sekitarnya.
3. Memar/ekimosis
Merupakan perubahan warna kulit sebagai akibat dari extravasi daerah di jaringan
sekitarnya.
4. Spame otot
Merupakan kontraksi otot involunter yang terjadi disekitar fraktur.
5. Penurunan sensasi
Terjadi karena kerusakan syaraf, terkenanya syaraf karena edema.
6. Gangguan fungsi
Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang frkatur, nyeri atau spasme otot,
paralysis dapat terjadi karena kerusakan syaraf.
7. Mobilitas abnormal
Mobilitas abnormal adalah pergerakan yang terjadi pada bagian-bagian yang pada
kondisi normalnya tidak terjadi pergerakan. Ini terjadi pada fraktur tulang
panjang.
8. Krepitasi
Krepitasi merupakan rasa gemeretak yang terjadi jika bagian-bagaian tulang
digerakkan. Krepitasi yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan
lainnya. Uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih
berat.
9. Deformitas
Abnormalnya posisi dari tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma dan
pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang ke posisi abnormal, akan
menyebabkan tulang kehilangan bentuk normalnya.
10. Syok hipovolemik
Syok terjadi sebagai kompensasi jika terjadi perdarahan hebat. Ditandai dengan
nadi cepat, kerja jantung meningkat, vasokontriksi.
11. Pemendekan tulang
Pada fraktur panjang terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi
otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering saling
melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1 sampai 2 inci)
D. KOMPLIKASI
Komplikasi awal
1. Syok
Syok hipovolemik atau traumatik akibat perdarahan (baik kehilangan darah
eksterna maupun yang tidak kelihatan) dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan
yang rusak.
2. Sindrom emboli lemak
Setelah terjadi fraktur femur dapat terjadi emboli lemak khususnya pada dewasa
muda (20-30 tahun) pria. Pada saat terjadi fraktur, globula lemak dapat masuk ke
dalam darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau
karena katekolamin yang dilepaskan oleh reaksi stres pasien akan memobilisasi
asam lemak dan memudahkan terjadinya globula lemak dalam aliran darah.
Globula lemak akan bergabung dengan trombosit membentuk emboli yang
kemudian menyumbat pembuluh darah kecil yang memasok otak, paru, ginjal dan
organ lain. Awitan gejalanya sangat cepat, dapat terjadi dari beberapa jam sampai
satu minggu setelah cedera, namun paling sering terjadi dalam 24 sampai 72 jam.
Gambaran khasnya berupa hipoksia, takipnea, takikardia dan pireksia. Gangguan
cerebral diperlihatkan dengan adanya perubahan status mental yang bervariasi dari
agitasi ringan dan kebingungan sampai delirium dan koma yang terjadi sebagai
respon terhadap hipoksia, akibat penyumbatan emboli lemak di otak.
3. Sindrom kompertemen
Sindrom kompartemen disebabkan karena penurunan ukuran kompartemen otot
karena fasia yang membungkus otot terlalu ketat atau gips atau balutan yang
menjerat, atau peningkatan isi kompartemen otot karena edema atau perdarahan
sehubungan dengan berbagai masalah. Pasien mengeluh adanya nyeri dalam,
berdenyut tak tertahankan. Palpasi pada otot akan terasa pembengkakan dan keras.
Komplikasi lambat
1. Penyatuan terlambat atau tidak ada penyatuan
Penyatuan terlambat terjadi bila penyembuhan tidak terjadi dengan kecepatan
normal untuk jenis dan tempat fraktur tertentu. Penyatuan terlambat mungkin
berhubungan dengan infeksi sistemik atau distraksi fragmen tulang. Tidak ada
penyatuan terjadi karena kegagalan penyatuan ujung-ujung patahan tulang.
a) Malunion : tulang patah telah sembuh dalam posisi yang tidak seharusnya.
b) Delayed union : proses penyembuhan yang terus berjalan tetapi dengan
kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal.
c) Non union : tulang yang tidak menyambung kembali
2. Nekrosis avaskuler tulang
Nekrosis avaskuler terjadi bila tulang kehilangan asupan darah dan mati, dapat
terjadi setelah fraktur khususnya pada kolum femoris. Tulang yang mati
mengalami kolaps atau diabsorbsi dan diganti dengan tulang baru. Pasien
mengalami nyeri dan keterbatasan gerak.
3. Reaksi terhadap alat fiksasi interna
Alat fiksasi interna biasanya diambil setelah penyatuan tulang telah terjadi, namun
pada kebanyakan pasien alat tersebut tidak diangkat sampai menimbulkan gejala.
Nyeri dan penurunan fungsi merupakan indikator utama telah terjadi masalah.
Masalah tersebut meliputi pemasangan dan stabilisasi yang tidak memadai, alat
yang cacat atau rusak, berkaratnya alat menyebabkan inflamasi lokal, respon
alergi terhadap campuran logam yang digunakan dan remodeling osteoporotik di
sekitar alat fiksasi.
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan” menggunakan
sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan
kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan
lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada
indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi.
Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi kegunaan
pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang
harus dibaca pada x-ray:
a) Bayangan jaringan lunak.
b) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik
atau juga rotasi.
c) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
d) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu teknik khususnya seperti:
a) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain
tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan
struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada
struktur lain juga mengalaminya.
b) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh
darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
c) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda
paksa.
d) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara
transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
2. Pemeriksaan Laboratorium
a) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan
tulang.
b) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan
osteoblastik dalam membentuk tulang.
c) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5),
Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
3. Pemeriksaan lain-lain
a) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan
mikroorganisme penyebab infeksi.
b) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
c) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan
fraktur.
d) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma
yang berlebihan.
e) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada
tulang.
f) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
E. PENATALAKSANAAN
A. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1. Pola Pemeliharaan dan Persepsi Terhadap Kesehatan
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya
dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan
tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup pasien seperti
penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium,
pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah
pasien melakukan olahraga atau tidak.(Ignatavicius, 1995).
2. Pola Nutrisi dan Metabolik
Pada pasien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-
harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu
proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi pasien bisa membantu
menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi
dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar
matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal
terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan
mobilitas pasien.
3. Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi
walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces
pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi,
kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada
kesulitan atau tidak (Doenges, 1999).
4. Pola Tidur dan Istirahat
Semua pasien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat
mengganggu pola dan kebutuhan tidur pasien. Selain itu juga, pengkajian
dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan
kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur (Doenges, 1999).
5. Pola Aktivitas dan latihan
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan pasien
menjadi berkurang dan kebutuhan pasien perlu banyak dibantu oleh orang lain.
Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas pasien terutama pekerjaan
pasien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur
dibanding pekerjaan yang lain (Ignatavicius, 1995).
6. Pola Hubungan dan Peran
Pasien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena
pasien harus menjalani rawat inap (Ignatavicius, 1995).
7. Pola Persepsi Diri
Dampak yang timbul pada pasien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan
akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas
secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body
image) (Ignatavicius, 1995).
8. Pola Perseptual
Pada pasien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur,
sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. Begitu juga pada kognitifnya
tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur
(Ignatavicius, 1995).
9. Pola Seksual & Reproduksi
Dampak pada pasien fraktur yaitu, pasien tidak bisa melakukan hubungan seksual
karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang
dialami pasien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah
anak, lama perkawinannya (Ignatavicius, 1995).
10. Pola Manajemen Koping Stress
Pada pasien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan
timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang
ditempuh pasien bisa tidak efektif (Ignatavicius, 1995).
11. Pola Nilai dan Keyakinan
Untuk pasien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik
terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan
keterbatasan gerak pasien (Ignatavicius, 1995)
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan pola napas yang berhubungan dengan kerusakan tulang
punggung, disfungsi neurovaskular, kerusakan sistem muskuloskeletal.
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan ketidakmampuan
untuk membersihkan sekret yang menumpuk.
3. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (desakan fragmen cedera pada
jaringan lunak) ditandai dengan pasien tampak meringis, laporan secara verbal
terasa nyeri, perubahan posisi untuk menghindari nyeri.
4. Hipertermi berhubungan dengan respon inflamasi sistemik ditandai dengan
peningkatan suhu tubuh > 37,5° C, akral teraba hangat.
5. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kontraktur otot ditandai dengan
pasien tidak mampu menggerakkan daerah yang mengalami fraktur, pasien
mengeluh nyeri saat menggeser bagian yang fraktur.
6. Gangguan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan gangguan vaskularisasi
ditandai dengan oedema ekstremitas, sianosis, perubahan temperatur kulit.
7. Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif aibat tindakan pemasangan
intubasi/trakeostomi
NOC NIC
Setelah diberikan asuhan Airway management
keperawatan selam ….x24 jam, klien a. Posisikan pasien untuk memaksimalkan
mampu menunjukan perilaku pola ventilasi
napas efektif, dengn kriteria hasil: b. Lakukan fisioterapi dada bila perlu
c. Keluarkan secret dengan batuk dan
Respiratory status: ventilation, suctioning
Respiratory status: Airway patency : d. Auskultasi suara napas, catat adanya suara
No. NOC Score napas tambahan
1. Mendemonstrasikan e. Berikan bronkodilator bila perlu
batuk efektif dan suara
napas yang bersih, f. Atur intake dan ouput untuk
tidak ada sianosis dan mengoptimalkan keseimbangan.
dyspnea.
2. Menunjukkan jalan
napas yang paten.
3 Mampu
mengidentifikasikan
dan mencegah faktor
yang dapat
menghambat jalan
napas
NOC NIC
setelah diberikan asuhan keperawatan Airway management
selam ….x24 jam, klien mampu a. Posisikan pasien untuk memaksimalkan
menunjukan perilaku mencapai ventilasi
bersihan jalan nafas dengan, kriteria b. Lakukan fisioterapi dada bila perlu
hasil: c. Keluarkan secret dengan batuk dan
suctioning
Respiratory status: ventilation, d. Auskultasi suara napas, catat adanya suara
Respiratory status: Airway patency napas tambahan
No. NOC Score e. Berikan bronkodilator bila perlu
1 Mendemonstrasikan f. Atur intake dan ouput untuk
batuk efektif dan mengoptimalkan keseimbangan.
suara napas yang
bersih, tidak ada
sianosis dan dyspnea.
2 Menunjukkan jalan
napas yang paten.
3 Mampu
mengidentifikasikan
dan mencegah faktor
yang dapat
menghambat jalan
napas
3. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (desakan fragmen cedera pada
jaringan lunak) ditandai dengan pasien tampak meringis, laporan secara verbal terasa
nyeri, perubahan posisi untuk menghindari nyeri.
NOC NIC
Setelah diberikan asuhan Pain Management
keperawatan selama…..x …. jam, 1. Kaji karakteristik nyeri meliputi lokasi,
diharapkan nyeri dapat berkurang waktu, frekuensi, kualitas, faktor
dengan kriteria hasil: pencetus, dan intensitas nyeri
2. Kaji faktor-faktor yang dapat
Pain Control
memperburuk nyeri pasien
No. NOC Score
3. Monitor status TTV sebelum dan sesudah
1 Pasien mengenali
pemberian analgetik
onset nyeri.
4. Memastikan pasien mendapat terapi
2 Pasien dapat
analgesik yang tepat
mendeskripsikan
faktor penyebab.
5. Eliminasi faktor-faktor pencetus nyeri
3 Pasien menerapkan 6. Ajarkan teknik nonfarmakologi (misalnya
teknik manajemen teknik relaksasi, guided imagery, terapi
nyeri non musik, dan distraksi) yang dapat
farmakologis.
digunakan saat nyeri timbul.
4 Pasien menggunakan
7. Berikan dukungan selama pengobatan
analgesik sesuai
nyeri berlangsung
rekomendasi.
8. Kolaborasi pemberian analgetik
Pain Level
No. NOC Score
1 Pasien tidak
melaporkan adanya
nyeri
2 Ekspresi wajah
terhadap nyeri
3 Diaphoresis
4 RR dalam batas
normal (16-20
kali/menit)
5 Nadi dalam batas
normal (60-100
kali/menit)
6 Tekanan darah dalam
batas normal (120/80
mmHg)
NOC NIC
diharapkan suhu pasien dalam batas denyut nadi, dan respirasi rate secara
Vital Signs
No. NOC Score
1 Suhu : 36-37±0,5˚C
2 Nadi: 60-100x/menit
3 RR: 16-20 x/menit
4 TD: 120/80 mmHg
5. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kontraktur otot ditandai dengan pasien
tidak mampu menggerakkan daerah yang mengalami fraktur, pasien mengeluh nyeri
saat menggeser bagian yang fraktur.
NOC NIC
Bed Rest care
1. Jelaskan pada pasien tentang kemungkinan
Setelah diberikan asuhan untuk bed rest selama beberapa waktu.
keperawatan ... x … jam, diharapkan 2. Jaga agar linen tetap bersih dan kering.
kekakuan otot tidak terjadi dengan 3. Bantu pasien dalam melakukan ADL.
kriteria hasil: 4. Bersama pasien batasi gerak bagian tubuh
tubuh yang mengalami fraktur.
NIC Label >> Exercise promotion
No. NOC Score
1 Fleksbilitas sendi 1. Beritahukan pasien mengenai manfaat,
dapat dipertahankan prosedur dari latihan untuk kesembuhan
2 Otot tidak mengalami ekstremitasnya.
atropi 2. Kaji kemampuan pasien dalam melakukan
3 Otot tidak mengalami aktivitas dan fungsi persendian, otot dan
kontraktur kekuatan otot pasien.
3. Ajarkan pasien untuk melatih pesendian
dan otot (misalnya: gerakan ekstensi dan
fleksi, memutar kemudian relaks dan
mengkontrasikan otot).
4. Observasi hasil dari latihan yang
dilakukan (misalnya : pernafasan, nadi,
nyeri)
5. Ajarkan pada pasien cara-cara dalam
melakukan perubahan posisi (misalnya:
dengan menggeser keseluruhan
ekstremitas secara bersamaan dan tidak
mengangkat ekstremitas tanpa penopang).
6. Dampingi pasien dalam melakukan
pergerakan (misalnya : duduk, berdiri,
berjalan pada jarak tertentu dan
berbaring).
7. Dampingi pasien saat melakukan latihan
pasif/aktif pergerakan sendi
8. Anjurkan pasien untuk melakukan latihan
ROM
9. Monitoring posisi kesejajaran tubuh
10. Monitoring posisi tempat tidur dan
ketinggian tempat tidur pasien
11. Monitoring fiksasi eksternal pasien
12. Konsultasikan pada physical therapy
untuk merencanakan aktivitas ambulasi
pasien.
NIC Label >> Traction/Immobilization Care
1. Pertahankan traksi pada bagian tubuh yang
fraktur agar tetap terpasang dengan baik.
NOC NIC
Setelah diberikan asuhan keperawatan Haemodynamic Regulation
selama ….x … jam, diharapkan perfusi 1. Awasi tanda vital, kaji pengisian kapiler,
jaringan perifer kembali efektif dengan warna kulit/membran mukosa.
kriteria hasil: 2. Kaji untuk respon verbal melambat, mudah
teransang agitasi, gangguan memori,
Tissue Perfussion: Peripheral bingung.
No. NOC Score 3. Pantau pucat, sianosis, kulit
1 Tidak ada nekrosis dingin/lembab.
pada jari-jari.
4. Vasokontriksi sistemik diakibatkan oleh
2 CRT dalam batas
penurunan curah jantung mungkin
normal (kurang dari 3
dibuktikan oleh penurunan perfusi.
detik).
5. Pantau pemeriksaan diagnostik dan
3 Akral hangat.
laboratorium mis EKG, elektrolit, GDA
Tidak ada sianosis pada
kuku kaki ataupun (Pa O2, Pa CO2 dan saturasi O2) dan
NOC NIC
keperawatan selama .....x … jam 1. Jaga agar barier kulit yang terbuka tidak
Risk Control
No. NOC Score
1 Pasien mampu
menyebutkan faktor-
faktor risiko penyebab
infeksi
2 Pasien mampu
memonitor lingkungan
penyebab infeksi
3 Pasien mampu
memonitor tingkah
laku penyebab infeksi
4 Tidak terjadi paparan
saat tindakan
keperawatan
5 Keluarga Pasien
mampu memonitor
efek pengobatan
terapeutik
BAB III
WEB OF CAUTION (WOC)
Cedera Fleksi Cedera Fleksi Rotasi Cedera Ekstensi Cedera kompresi
Fraktur Servikal
C1 – C2 C3 – C5 C4 – C7 C5 – C7
Apley, A. Graham. 1995. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley. Jakarta : Widya
Medika
Bulecheck, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. M. (2016). Nursing
Interventions Classification (NIC) Edisi Bahasa Indonesia Edisi Keenam. Singapore:
Elsevier.
Black, J.M, et al. 1995. Luckman and Sorensen’s Medikal Nursing : A Nursing Process
Approach, 4 th Edition, W.B. Saunder Company.
Carpenito, Lynda Juall. 1999. Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan. Jakarta :
EGC.
Henderson, M.A. 1992. Ilmu Bedah untuk Perawat. Yogyakarta: Yayasan Essentia Medika
Herdman, T. H., & Kamitsuru, S. (2015). NANDA International INc. Diagnosis Keperawatan
: Definisi & Klasifikasi 2015-2017. Jakarta: EGC.
Ignatavicius, Donna D. 1995. Medical Surgical Nursing : A Nursing Process Approach, W.B.
Saunder Company.
Moorhead, S., Johnson, M., Mass, M. L., & Swanson, E. (2016). Nursing Outcomes
Classification (NOC) Pengukuran Outcomes Kesehatan Edisi Bahasa Indonesia Edisi
Keenam. Singapore: Elsevier.
Oswari, E. 1993. Bedah dan Perawatannya. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Price Sylvia, A. 1994. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC.
Smeltzer & Bare. 2002. Buku Ajar Medikal Bedah, Brunner & Suddart. Jakarta: EGC
Reksoprodjo, Soelarto. 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta : Binarupa Aksara