Anda di halaman 1dari 3

1

EROSI MORALITAS URANG AWAK

Oleh: Juliardi, S.Pd

Minangkabau bisa dikatakan sebagai suku yang memiliki banyak kekayaan dalam
hal filosofi kebudayaan Konsep pandangan hidup yang diwariskan secara turun-temurun
dianggap sebagai bagian dari kearifan lokal yang terus dijaga dan dipelihara. Nilai-nilai
filosofis dalam masyarakat Minangkabau mampu menjadi suatu kebiasaan hidup untuk
dijunjung tinggi sebagai identitas budaya juga suatu pola budaya yang memiliki ciri khas
untuk diperlihatkan kepada orang lain. Nilai-nilai filosofis dalam masyarakat Minangkabau
mampu menjadi suatu kebiasaan hidup untuk dijunjung tinggi sebagai identitas budaya
juga suatu pola budaya yang memiliki ciri khas untuk diperlihatkan kepada orang lain.
Salah satu nilai filosofis orang Minang yang tidak asing bagi masyarakat kita adalah konsep
“Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK)”. Konsep “Adat Basandi Syarak,
Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK)” bukan hal baru untuk dibahas. Sejatinya, prinsip ABS-
SBK merupakan statemen orang Minangkabau yang secara formal menerima dan
memasukkan nilai-nilai dan ajaran agama Islam ke dalam konten adat dan nilai-nilai
budayanya.
Namun, kenyataan saat ini pemaknaan serta implementasi dari nilai-nilai filosofi
budaya tersebut dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di Ranah Minang semakin lama
semakain minim dan bahkan seolah-olah sudah terlupakan oleh masyarakat pendukungnya.
Sepertinya, peranan dalam ABS-SBK hanya sebagai sebuah merek bahan pelajaran yang
dikenalkan kepada generasi muda dalam bangku pendidikan. ABS-SBK tidak sejalan
dengan prilaku orang Minang sebagai si pemilik tetap falsafah hidup tersebut. Faktanya,
etika dalam berpakaian yang sarat dengan adat dan nilai filosofis, sekarang tidak ada lagi
dalam daftar koleksi orang Minang. Generasi urang awak lebih enteng memilih pakaian gaya
metropolitan sebagai trend yang harus diikuti sebagai generasi pembaharu.
Selain dalam hal etika berpakaian, fenomena pergaulan dikalangan masyarakat
khusus para pemuda dan pemudi seperti halnya para pelajar atau mahasiswa yang
menunjukkan adanya degradasi moral dengan gaya berpacaran di depan umum yang tidak
mencerminkan etika dan norma agama. Padahal anak gadih jo anak bujang di Minang,
dulunya sangat tabu dan malu jika kedapatan berduaan dengan lawan jenis. Begitu juga
halnya dengan hubungan kekerabatan dalam lingkungan rumah tangga dan masyarakat,
kerap kita dijumpai bahwa kemenakan yang tidak lagi memanggil mamak pada paman, dan
mintuo pada istri mamaknya. Mereka lebih membiasakan diri memanggil Om dan Tante,
yang jelas panggilan ini bukanlah berasal dari budaya masyarakat Minangkabau.

Bahan Workshop Kesejarahan dan Nilai Budaya Tanggal 25-27 Oktober 2017@ Hotel
Daima Padang.
2

Memang harus diakui bahwa untuk mengatasi problem itu tidaklah mudah.
Apalagi ditengah derasnya arus modernisasi yang kian pesat. Namun, kendati demikian,
apabila kondisi terus dibiarkan saja, maka orang Minang akan terancam kehilangan
identitasnya dalam skala hitungan tahun mendatang. Fenomena prilaku budaya masyarakat
Minangkabau diatas perlu disikapi dengan serius, agar pemerosotan nilai-nilai budaya itu
tidak menjadi kronis. Salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi kondisi ini adalah
pola pikir modernisasi dan globalisasi dihampir semua aspek kehidupan masyarakat pada
masa kekinian, dimana nilai-nilai dan kearifaan budaya lokal masyarakat Minang tertinggal
dan meredup akibat pola pikir modernisasi kearah IPTEK dengan dalih kiblatnya sebuah
kemajuan masyarakat dan bangsa. Di lain pihak, dan tidak kalah menariknya adalah
munculnya masalah ini juga disebabkan karena kurang diperkenalkannya kepada
masyarakat khususnya generasi muda tentang budaya lokal bisa menjadi faktor yang
menyebabkan nilai-nilai filosofis ini kian luntur.
Dalam penanamannya, budaya lokal tidak akan hidup jika hanya menjadi sebagai
bahan perkenalan saja. Dimana sekolah sebagai lembaga pendidikan mengajarkan Minang
secara utuh, namun minim akan realisasinya. Selain itu, kaum tua tidak lagi memberikan
suri tauladan kepada anak muda Minang. Kato nan ampek yaitu kato mandaki, kato manurun,
kato mandata, dan kato malereng. Tidak lagi mempunyai nilai dan aplikatif dalam kehidupan
sehari-hari, sehingga menimbulkan sikap apatis generasi muda terhadap adat Minangkabau
itu sendiri.
Penulis setuju dengan program yang dilakukan oleh pemerintah Sumatera Barat
dengan menggagas gerakkan aksi Kembali ke Surau. Dimana Surau sebagai institusi yang
khas dan memiliki nilai filosofis tinggi dalam masyarakat dahulunya. Fungsinya bukan
sekedar tempat sholat, tetapi juga sebagai tempat pembelajaran bagi anak muda Minang
mengenai seluk beluk agama, tradisi, adat istiadat yang memiliki nilai filosofis. Banyak
tokoh-tokoh terkemuka di Minangkabau yang lahir dari Surau. Salah satunya adalah
Hamka, Hatta, bahkan Tan Malaka yang pernah mengecap pendidikan Surau sebagai
tempat dalam pemahaman diri.
Pengelolaan Surau bisa dihidupkan kembali esensinya dengan mengajarkan
kebersamaan pada anak nagari. Memberikan pelatihan dan pengetahuan adat, terutama
kepada generasi muda Minang. Memberikan penyegaran pada tokoh-tokoh masyarakat
melalui pelatihan dan workshop ABS-SBK itu sendiri. Mengingat konsep ABS-SBK
merupakan ajaran hukum alam yang bersumber dari Islam. ABS-SBK menjadi konsep dasar
adat nan sabana adat. Sebagai koto pusako yang mempengaruhi sikap umum dan tata cara
pergaulan di masyarakat. Hal ini patut dilestarikan dan tidak boleh ditinggalkan begitu saja.
Karena adat istiadat Minangkabau sebagai identitas dan sudah terkenal dikalangan nasional
maupun internasional. Warisan nenek moyang urang minang yang tidak ternilai harganya.

Bahan Workshop Kesejarahan dan Nilai Budaya Tanggal 25-27 Oktober 2017@ Hotel
Daima Padang.
3

Bahan Workshop Kesejarahan dan Nilai Budaya Tanggal 25-27 Oktober 2017@ Hotel
Daima Padang.

Anda mungkin juga menyukai