Anda di halaman 1dari 2

II

Ia yang lebih dulu mengenal

Sane menyalamiku lalu memberikan arahan untuk duduk, dia terlalu manis untuk
ukuran wartawan lokal yang sekaligus menjadi seorang pelukis. Aku selalu mengira dia
mempunyai dwi kepribadian, karena tak mungkin, dua pekerjaan yang membutuhkan skill
yang berbeda dapat ia kerjakan. Di kantornya ia selalu berkutat dengan berita yang ia akan
sampaikan ke editornya, dan di sanggar ia adalah pendiam yang berbicara lewat karyanya.
Dia menanyaiku banyak hal. Tentang aliran seni dan karya-karyaku, sama seperti dua hari
yang lalu.

Namun kali ini ia lebih banyak menanyakan tentang keluarga, pendidikan,


kewarganegaraan, dan kepercayaan. Sungguh jika ia harus tau semua hal itu ia pasti tidak
mau menemuiku lagi, karena kebanyakan orang Indonesia tidak menyukai orang sepertiku.
“maaf jika saya menanyakan hal-hal yang sifatnya pribadi. Anda bisa tidak menjawab
pertanyaan saya jika mau” ada jarak beberapa menit yang kami lalui dengan hanya terdiam.
Lebih tepatnya Sane terpaku pada tulisannya, dan aku hanya bisa diam.

Saya percaya Tuhan. Tuhan menciptakan saya. Itu kataku, aku tak berbohong.
Hidupku kini lebih menakutkan dari seorang pembunuh. Tak percaya siapapun, tak ada. Yang
kulalui hanya sebatas kehidupan yang diisi oleh perlombaan mencari uang. Hidup bukan
hanya untuk mencari uang katanya, namun ia pun butuh uang untuk hidup. Lucu bukan?
Seorang yang beragama mengatakan hal itu padaku. Kau seorang atheis jika tak punya
agama. Sungguh muka kesalnya selalu memberiku pertanyaan. Dia beragama, aku tidak.
Banyak hal yang ingin aku ceritakan padanya, mungkin dia juga sama.

“Saya cukup terkesan mempunyai percakapan yang penting dengan anda. Saya
terkejut bukan main saat mengetahui anda adalah agnostik. Kebanyakan Agnostik yang
tinggal di Indonesia sering kali tidak mau mengungkapkannya”. Dia kembali meminum
kopinya yang sudah dingin. Menerka-nerka apa yang aku akan ucapkan. Kebanyakan orang
Indonesia memang berkata seperti itu, tak terkecuali dia. Dia kemudian memandangiku
seperti mencari jawaban, atau hanyut dalam pertanyaan.

“Saya mungkin sama seperti yang lain, tapi cepat atau lambat, seorang akan
menanyaimu akan hal itu. Mungkin lain kali kita bisa berdiskusi panjang lebar tentang aliran
seni abstrak atau naturalisme.” Aneh memang, disaat diskusi panjang tentang aliran abstrak,
ia menanyakan kepercayaanku, meski dalam hal ini aku bisa saja bungkam, tapi berbicara
dengannya membuatku nyaman. Dia menyalamiku, lalu pamit, mungkin karena jam di
tangannya sudah menunjukkan waktu untuk melakukan kegiatan yang lain.

Anda mungkin juga menyukai