A. Kajian teoritik
1. Tanda dan gejala
Menurut Ningsih (2011), tanda dan gejalanya seperti adanya nyeri
hebat, tidak mampu menggerakkan lengan/tangan, adanya spasme otot,
perubahan bentuk/posisi berlebihan, kehilangan sensasi pada daerah distal
karena terjadi jepitan syarat oleh fragmen tulang, krepitasi jika digerakkan,
perdarahan. Dan hematoma, keterbatasan mobilisasi.
Tanda dan gejala dari fraktur antara lain (Smeltzer & Bare, 2002):
a. Nyeri hebat di tempat fraktur
Nyeri akan timbul selama fragmen tulang belum diimobilisasi. Nyeri
ini timbul karena ketika tulang tersebut patah, otot akan mengalami spasme.
b. Tak mampu menggerakkan ekstremitas bawah
Pergeseran pada tulang yang fraktur menyebabkan tulang bergeser dan
berubah bentuk (deformitas). Hal ini juga mengakibatkan tulang tidak dapat
digerakan dari biasanya.
c. Adanya pemendekan tulang
Hal ini diakibatkan oleh kontraksi otot yang melekat di atas dan di
bawah fraktur.
d. Pembengkakan dan Perubahan Warna
Hal ini terjadi karena adanya respon inflamasi. Saat terjadi fraktur,
fragmen tulang yang patah akan turut melukai jaringaningan sekitarnya
sehingga terjadi respon inflamasi yang diawali dengan vasodilatasi
pembuluh darah dan pelepasan mediator-mediator.
2. Penyebab
Penyebab fraktur secara umum dapat disebabkan menjadi 2, yaitu :
penyebab ekstrinsik dan intrinsik. Penyebab ekstinsik juga dapat dibedakan
menjadi 2 bagian yaitu penyebab fraktur akibat gangguan langsung yaitu
berupa trauma yang merupakan penyebab utama terjadinya fraktur, misalnya
kecelakaan, tertabrak, jatuh. Penyebab yang lainnya adalah fraktur akibat
gangguan tidak langsung seperti perputaran, kompresi.
Penyebab fraktur secara intrinsic dapat diakibatkan kontraksi dari otot
yang menyebabkan avulsion fraktur, seperti fraktur yang sering terjadi pada
hewan yang belum dewasa. Fraktur patologis adalah fraktur yang diakibatkan
oleh penyakit sistemik seperti neoplasia, cyste tulang, ricketsia, osteoporosis,
hiperparatyroidisme, osteomalasia. Tekanan yang berulang juga dapat
menyebabkan fraktur.
3. Etiologi penyakit
Penyebab paling umum fraktur adalah benturan/trauma langsung pada
tulang antara lain kecelakaan lalu lintas/jatuh dan kelemahan/kerapuhan
struktur tulang akibat gangguan penyakti seperti osteoporosis, kanker tulang
yang bermetastase (Helmi, 2012).
4. Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya
pegas untuk menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar
dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang
mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Fraktur tulang
radius sering terjadi akibat jatuh dan tangan menyangga dengan siku ekstensi.
Setelah terjadi fraktur, kulit, jaringaningan saraf, pembuluh darah dan
jaringaningan lunak yang membungkus tulang rusak. Kerusakan pada otot atau
jaringaningan lunak dapat menimbulkan nyeri yang hebat karena adanya
spasme otot di sekitarnya. Sedangkan kerusakan pada tulang itu sendiri
mengakibatkan perubahan sumsum tulang (fragmentasi tulang) dan dapat
menekan persyaratan di daerah tulang yang fraktur sehingga menimbulkan
gangguan syaraf ditandai dengan kesemutan, rasa baal dan kelemahan.
Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di
rongga medula tulang. Jaringaningan yang mengalami nekrosis ini
menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi,
eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah
yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang.
5. Diagnosis
Untuk mendiagnosa terjadinya fraktur pada bagian radius dan ulna
yaitu melalui klinikal persentasi, inspeksi, palpasi, radiografi, laboratory
findings, pemeriksaan fisik melalui tes. Teknik mendiagnosa fraktur os radius
dan ulna melalui pengamatan history taking cukup efektif juga untuk
mendiagnosa terjadinya fraktur pada tulang radius dan ulna, pasien yang
mempunyai berat badan yang berlebih dan pernah mengalami fraktur tulang
radius atau ulna cenderung akan mengalami fraktur kembali. Mendiagnosa
fraktur dengan menggunakan pengamatan fisik (Physical examination)
sangatlah efektif, karena bila terjadi fraktur pada tulang radius dan ulna, akan
mengalami abnormalitas pada sistem tubuh yang lain. Perlakuan palpasi pada
tulang yang mengalami trauma akan ditemukan krepitasi pada bagian yang
mengalami trauma dan akan terasa sakit bila dilakukan palpasi pada daerah
yang mengalami trauma.
Pengamatan fraktur radius dan ulna dengan menggunakan radiografi
adalah teknik diagnosa yang paling efektif karena fraktur yang terjadi akan
terlihat dengan sangat jelas baik letak, bentuk dan jumlah patahannya.
Pengambilan gambar radiografi dengan sudut pandang craniocaudal dan
lateral (baik pandangan proximal dan distal dari sendi) pada pengamatan
tulang radius dan ulna akan menghasilkan sudut anatomis yang bagus dan
jelas. Pengamatan fraktur juga bisa dilakukan dengan mengevaluasi hasil
laboratorium. Pengamatan laboratorium yang dilakukan seperti evaluasi kimia
serum darah dan pengamatan jumlah sel darah bisa digunakan untuk
mengevaluasi status fraktur.
6. Manajemen dan prevensi
Tujuan terapi penderita fraktur adalah mencapai union tanpa
deformitas dan pengembalian (restoration) fungsi sehingga penderita dapat
kembali pada pekerjaan atau kegiatan seperti semula. Tujuan ini tidak selalu
tercapai secara utuh yang diharapkan dan setiap tindakan untuk mencapai hal
tersebut mempunyai resiko komplikasi. Sebagai contoh operasi pemasangan
fiksasi dalam maka resiko terjadi infeksi dan lain sebagainya dapat terjadi.
Oleh karena itu banyak variasi terjadi pada pengobatan fraktur akibat
perbedaan interpretasi terhadap kondisi penderita. Energi yang menimbulkan
fraktur selalu menyebabkan kerusakan jaringaningan lunak di sekitar fraktur.
Tujuan utama dalam pengobatan kerusakan jaringaningan Iunak
tersebut berhubungan erat dengan pengobatan fraktur itu sendiri yang dimulai
dengan realignment pada fraktur yang mengalami pergeseran dan imobilisasi.
Mengurangi edema seperti fastiotomi pada sindrom kompartemen guna
meningkatkan perfusi ke jaringaningan yang mengalami kerusakan sehingga
metabolisme sel tersebut aktif kembali. Periu diketahui bahwa edema tersebut
akan berdampak pengurangan bahkan tidak ada sama sekali distribusi oksigen
dan material-material nutrisi ke jaringaningan bagian distal lesi tersebut. Oleh
karena itu pengobatan kerusakan jaringaningan Iunak merupakan tindakan
awal dan proses penyambungan tulang.
Manajemen fisioterapi Post operasi ORIF ini untuk tetap menjaga
struktur anatomis pasien supaya tidak mengalami kelemahan terlebih lagi agar
tidak terjadi kekakuan. Dengan cara pemberian modalitas dan latihan, latihan
dilakukan untuk melatih pasien agar pasien tetap ada kontraksi terhadap
pergerakan dari struktur anatomis, supaya tidak passive movement dan
betujuan agar dapat melakukan aktivitas kembali seperti sebelum terjadinya
fraktur.
7. Klasifikasi
Fraktur dapat dibedakan berdasarkan tipe frakturnya yaitu menurut
bentuk kerusakannya, menurut perpindahan fragmen fraktur, menurut
keparahan fraktur, menurut arah patahan, menurut stabilitas fragmen fraktur,
menurut lokasi fraktur. Menurut bentuk kerusakannya, fraktur dapat dibedakan
menjadi 2 yaitu fraktur komplit dan fraktur inkomplit. Fraktur komplit adalah
patah tulang yang menyebabkan tulang menjadi 2 fragmen dan biasaanya
disertai dengan displasia dari fragmen tersebut, sedangkan pada fraktur
inkomplita biasanya terjadi pada hewan muda dan ditandai dengan sebagian
tulang masih menyambung dan jaringanang terjadi perpindahan tulang.
Fraktur menurut perpindahan fragmen fraktur dapat dibagi menjadi 3
yaitu fraktur impact, fraktur distracted, dan fraktur depresi.
Fraktur impact : bagian patahan tulang dapat masuk ke bagian patahan
tulang yang lain.
Fraktur distracted : patahan tulang yang memisah jauh karena adanya
kontraksi otot.
Fraktur depresi : fragmen fraktur berpindah tempat dan menghasilkan
rongga.
Fraktur menurut keparahan fraktur dapat dibedakan menjadi 2 yaitu
fraktur tertutup atau simpel dan compound atau terbuka. Pada fraktur terturup,
tulang tidak akan keluar dan tidak menusuk otot sedangkan pada fraktur
terbuka, tulang akan menusuk otot dan tulang akan terjulur keluar.
Fraktur berdasarkan arahan patahannya :
Transversal : garis fraktur atau patahan tulang tegak lurus dengan
sumbu tulang.
Obligue : garis fraktur membentuk garis diagonal terhadap sumbu
tulang.
Spiral : garis pathan membentuk seperti spiral.
Comminuted : patahan membentuk minimal tiga fragmen fraktur tetapi
masih dapat disambungkan.
Multiple : patahan membentuk tiga atau dua fragmen dan terjadi
perlukaan pada jaringaningan lunak sekitar patahan.
Avulsion : bagian fragmen fraktur masuk (menusuk) ke dalam otot.
Menurut stabilitas fragmen, fraktur yang terjadi dapat dibedakan
menjadi :
Stabel fraktur : fragmen fraktur terfiksir setelah mengalami
pengurangan kelebihan fraktur.
Instable fraktur : fragmen fraktur menjadi tidak stabil setelah
mengalami pengurangna fragmen.
Menurut lokasi fraktur :
Diaphysial fraktur : fraktur terjadi di tengah medial diaphysis.
Metaphysial fraktur : fraktur metaphysis anatomi dari tulang panjang.
Epiphysial fraktur : fraktur epiphysial yang terjadi pada hewan dewasa.
Condylar fraktur : fraktur condylus baik medial atau lateral atau
keduanya.
Articular fraktur : fraktur yang terjadi subchondral tulang dan articular
kartilago.
8. Penyembuhan fraktur
a. Fase hematom
Pembuluh darah robek, hematoma sekitar & di dalam fraktur.
Tulang kedua fragmen mati 1 atau 2 mm.
Fibrinogen: darah beku (blood cload).
Keluar sel pembentuk tulang (osteoblast).
b. Fase proliferasi
Delapan jam pasca fraktur: reaksi radang & proliferasi di bawah
periosteum. Inflamasi berlangsung 1-2 minggu.
Absorpsi blood cload & muncul kapiler baru.
Osteoblas masuk dalam hematom, keluar jaringan seluler berisi
kartilago dari ujung fragmen.
Terbentuk jaringan granulasi.
Pada jaringan lunak & periosteum 4-10 hari.
Pada kedua ujung fragmen 21 hari (sirkulasi krg).
c. Fase callus
Sel yang berkembang memiliki potensi kondrogenik dan osteogenik;
jika diberikan keadaan yang tepat, membentuk tulang dan kartilago.
Osteoklas yang dihasilkan pembuluh darah baru mulai membersihkan
tulang yang mati.
Kalus pertama adalah antara jaringaningan lunak dan periosteum:
external callus (penghubung kedua ujung fragmen).
Kalus antar endosteum: internal callus.
Kalus antar sumsum tulang: intermedium callus.
Tulang fibrosa yang imatur (woven bone/anyaman tulang) menjadi
lebih padat.
Gerak pada tempat fraktur berkurang, pada 4 minggu pasca cedera,
fraktur menyatu (union), walaupun masih ada rasa nyeri.
Sinar-x: garis fraktur masih jelas terlihat.
d. Fase konsolidasi
Aktivitas osteoklas dan osteoblas berlanjut.
Woven bone menjadi lamelar bone.
Sel2 osteoklas masuk ke dalam kalus dan membentuk rongga pada
sumsum tulang.
Osteoblas & kalsium meningkat, mengisi celah yang tersisa di antara
fragmen dengan tulang baru.
Pengendapannya memperkuat seperti semula, terbentuk rongga di
dalam tulang: cavum medullare.
Penyatuan sumsum tulang bagian proksimal & distal.
Penyambungan tulang penuh, tidak ada nyeri, tidak ada gerak, sinar-x:
tidak tampak garis fraktur.
e. Fase remodeling
Fraktur telah dijembatani suatu manset tulang padat.
Proses resorpsi & pembentukan tulang terjadi terus-menerus, mirip
dengan bentuk dan struktur normalnya.
9. Prognosis
Hasil jangka panjang setelah radius fraktur proksimal tergantung pada
klasifikasi Mason dari fraktur dan rehabilitasi awal untuk melestarikan
berbagai gerakan di siku . Dengan tipe II dan tipe III patah tulang radius
proksimal , baik untuk hasil yang sangat baik diperoleh dengan ORIF di 90 %
sampai 100 % dari individu . Untuk tipe III fraktur menerima kepala radial
artroplasti , baik untuk hasil yang sangat baik dicapai dalam 70 % sampai 100
% dari individu , meskipun tingkat kegagalan implan mungkin setinggi 42 %
(Rabin 2006).
Dengan eksisi kepala radial berikut radius fraktur proksimal
pengungsi, adil untuk hasil yang baik yang dicapai dalam hingga 90 % dari
individu, meskipun berkepanjangan nyeri pasca operasi siku dan
ketidakstabilan mungkin terjadi ( Herbertsson ) .
Terlepas dari pendekatan pengobatan , mobilisasi dini sendi siku
sangat penting jika stabilitas fraktur akan memungkinkan.
10. Epidemiologi
Menurut Depkes RI (2007), kebanyakan kasus fraktur yang terjadi
disebabkan olehcedera. Cedera tersebut berdasarkan berbagai hal yaitu karena
jatuh, kecelakaan lalu lintasdan trauma tajam/ tumpul. Pada 45.987 peristiwa
terjatuh, terjadi fraktur sebanyak 1.775orang (3,8 %), dari 20.829 kasus
kecelakaan lalu lintas, terjadi fraktur sebanyak 1.770 orang(8,5 %). Sedangkan
pada 14.127 kasus trauma benda tajam / tumpul, yang mengalami
fraktursebanyak 236 orang (1,7%).
Fraktur radius distal adalah salah satu fraktur yang paling umum dari
ekstremitas atas.Lebih dari 450.000 terjadi setiap tahun di Amerika Serikat.
Fraktur radius distal mewakili sekitar seperenam dari semua patah tulang
yang dirawat di bagian gawat darurat. Insiden fraktur radius distal pada usia
tua selalu berhubungan dengan osteopenia dan naik dalam insiden dengan
bertambahnya usia, hampir secara paralel dengan peningkatan kejadian patah
tulang pinggul. Fraktur radius distal yang terjadi pada usia muda, disebabkan
oleh trauma. Baik karena kecelakaan lalu lintas ataupun terjatuh dari
ketinggian.
11. Instrument pengukuran
a. Goniometer
Goniometer adalah alat ukur luas gerak sendi, atau biasa disebut alat
ukur ROM.
b. MMT (Manual Muscle Testing)
Suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui kekuatan otot atau kemampuan
mengontraksikan otot secara volunteer dengan tujuan membantu
menegakkan diagnosa. Adapun kriteria dari pemeriksaan MMT :
0 = otot tidak mampu berkontraksi (lumpuh total).
1 = otot sedikit berkontraksi , tanpa perubahan ROM, hanya muncul
tonusnya saja.
2 = otot berkontraksi, tidak mampu melawan tahanan (gaya grafitasi) tetapi
full ROM.
3 = mampu melawan tahanan, gaya grafitasi dan full ROM.
4 = mampu melawan tahanan (berupa manual) tetapi tidak maksimal dan
full ROM.
5 = normal, otot mampu gerak aktif dengan full ROM dan mampu melawan
tahanan maksimal.
c. Pengukuran nyeri
Ada 3 metode yang umumnya digunakan untuk memeriksa intensitas
nyeri yaitu Verbal Rating Scale (VRS), Visual Analogue Scala (VAS), dan
Numerical Rating Scale (NRS).
VRS adalah alat ukur yang menggunakan kata sifat untuk
menggambarkan level intensitas nyeri yang berbeda, range dari “no pain”
sampai “nyeri hebat” (extreme pain). VRS merupakan alat pemeriksaan
yang efektif untuk memeriksa intensitas nyeri. VRS biasanya diskore
dengan memberikan angka pada setiap kata sifat sesuai dengan tingkat
intensitas nyerinya. Sebagai contoh, dengan menggunakan skala 5-point
yaitu none (tidak ada nyeri) dengan skore “0”, mild (kurang nyeri) dengan
skore “1”, moderate (nyeri yang sedang) dengan skore “2”, severe (nyeri
keras) dengan skor “3”, very severe (nyeri yang sangat keras) dengan skore
“4”. Angka tersebut berkaitan dengan kata sifat dalam VRS, kemudian
digunakan untuk memberikan skore untuk intensitas nyeri pasien. VRS ini
mempunyai keterbatasan didalam mengaplikasikannya. Beberapa
keterbatasan VRS adalah adanya ketidakmampuan pasien untuk
menghubungkan kata sifat yang cocok untuk level intensitas nyerinya, dan
ketidakmampuan pasien yang buta huruf untuk memahami kata sifat yang
digunakan.
VAS adalah alat ukur lainnya yang digunakan untuk memeriksa
intensitas nyeri dan secara khusus meliputi 10-15 cm garis, dengan setiap
ujungnya ditandai dengan level intensitas nyeri (ujung kiri diberi tanda “no
pain” dan ujung kanan diberi tanda “bad pain” (nyeri hebat). Pasien diminta
untuk menandai disepanjang garis tersebut sesuai dengan level intensitas
nyeri yang dirasakan pasien. Kemudian jaringanaknya diukur dari batas kiri
sampai pada tanda yang diberi oleh pasien (ukuran mm), dan itulah
skorenya yang menunjukkan level intensitas nyeri. Kemudian skore tersebut
dicatat untuk melihat kemajuan pengobatan/terapi selanjutnya. Secara
potensial, VAS lebih sensitif terhadap intensitas nyeri daripada pengukuran
lainnya seperti VRS skala 5-point karena responnya yang lebih terbatas.
Begitu pula, VAS lebih sensitif terhadap perubahan pada nyeri kronik
daripada nyeri akut (McGuire, 1984). Ada beberapa keterbatasan dari VAS
yaitu pada beberapa pasien khususnya orang tua akan mengalami kesulitan
merespon grafik VAS daripada skala verbal nyeri (VRS) (Kremer et.al,
1981). Beberapa pasien mungkin sulit untuk menilai nyerinya pada VAS
karena sangat sulit dipahami skala VAS sehingga supervisi yang teliti dari
dokter/terapis dapat meminimalkan kesempatan error (Jensen et.al, 1986).
Dengan demikian, jika memilih VAS sebagai alat ukur maka penjelasan
yang akurat terhadap pasien dan perhatian yang serius terhadap skore VAS
adalah hal yang vital (Jensen & Karoly, 1992).
Numeral Rating Scale adalah suatu alat ukur yang meminta pasien
untuk menilai rasa nyerinya sesuai dengan level intensitas nyerinya pada
skala numeral dari 0 – 10 atau 0 – 100. Angka 0 berarti “no pain” dan 10
atau 100 berarti “severe pain” (nyeri hebat). Dengan skala NRS-101 dan
skala NRS-11 point, dokter/terapis dapat memperoleh data basic yang
berarti dan kemudian digunakan skala tersebut pada setiap pengobatan
berikutnya untuk memonitor apakah terjadi kemajuan.
B. Rangkaian proses fisioterapi yang diobservasi
1. Anamnesa
Dalam kasus fraktur os. Radius sinistra ini terapis menggunakan
metode auto-anamnesis dan dapat diperoleh data sebagai berikut :
a. Data yang diperoleh berupa identitas pasien yaitu nama Ny. Ade, usia 51
tahun, jenis kelamin perempuan, agama Islam, pekerjaan sebagai ibu rumah
tangga.
b. Keluhan utama yaitu tangan kiri pasien kaku, tidak bisa menggenggam,
pasien mengeluhkan nyeri pada tangan kirinya, keterbatasan gerak tangan
kiri untuk gerakan menekuk, keatas kebawah, kesamping kanan dan kiri,
serta menengadah dan menelungkupkan tangan kirinya.
c. Riwayat penyakit sekarang yaitu kurang lebih 6 bulan yang lalu, pasien
jatuh dengan posisi lengan bawah yang terpuntir kedalam dan terbentur.
Karena disarankan oleh dokter yang menangani operasi pemasangan ORIF
berupa plate and screw itu untuk tidak menggerakan tangan dibantu dengan
penggunaan mitela dalam waktu sementara sehingga penanganan oleh
fisioterapi terlambat. Ditempat fisioterapi RS. Puri Cinere sebelum ke
fisioterapi RS. Setia Mitra hanya diberikan latihan stretching untuk
shoulder saja sehingga gerakan dari elbow joint (radioulnar joint) menjadi
kaku atau terjadi keterbatasan gerak sendinya karena tidak pernah dilatih
dengan alasan takut untuk menggerakan bagian regio siku karena adanya
pemasangan plate and screw. Setelah tiga bulan di fisioterapi RS. Puri
Cinere maka dirujuklah ke fisioterapi RS. Setia Mitra untuk melatih bagian
regio dari sikunya.
d. Riwayat penyakit penyerta (Tidak ada).
2. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi
Dari inspeksi statis didapatkan tampak tangan kiri dengan deviasi
cubital valgus, warna tangan normal, dan tidak ada bengkak. Sedangkan
secara dinamis didapatkan hasil tampak gerak fungsional tangan kiri pasien
terbatas untuk fleksi elbow.
b. Palpasi
Didapatkan hasil teraba spasme otot, teraba nyeri tekan pada tangan
kirinya, tidak ada teraba adanya oedema pada tangan kirinya, suhu tangan
sama antara tangan kanan dan kiri.
c. Perkusi dan auskultasi (tidak dilakukan).
d. Pemeriksaan lingkup gerak sendi tangan kiri menggunakan Goniometer,
pemeriksaan kekuatan otot menggunakan skala MMT, dan pemeriksaan
aktifitas fungsional dengan Wrist and Hand Dissability Indeks (WDHI).
3. Penentuan masalah
Penentuan masalah yang dialami oleh Ny. Ade yang berusia 51 tahun,
dapat dikaji berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik yang telah
didapatkan, maka dari itu beberapa penentuan masalah yang didapat, yakni :
Adanya cubital angle yang membentuk valgus elbow pada sisi sinistra.
Adanya keterbatasan gerak shoulder flexi.
Adanya kelemahan otot-otot sekitar area patahan karena kurangnya
aktivitas otot-otot yakni, pronator teres, brachioradialis, ekstensor carpi
radialis longus, dan ekstensor carpi radialis brevis.
Adanya rasa parasthesia dibagian lengan bawah, yaitu nervus ulnaris.
Adanya nyeri sendi glenohumeral.
4. Diagnose fisioterapi
Berdasarkan anamnesa pemeriksaan fisik dan juga penentuan masalah
yang ada pada pasien, maka dapat ditegakan diagnose bahwa pasien sedang
dalam kondisi Post. Operasi ORIF Fraktur Radius sisi sinistra yang disertai
dengan rasa paresthesia, muscle weakness, muscle tightness, dan kekakuan
sendi.
5. Perencanaan tindakan
Perencanaa tindakan yang akan dilakukan adalah pengembalian gerak
fungsional tangan kiri pasien yang terbatas dengan latihan Passive-active
movement (assisted-restriktif) pada functional movement, mobilisasi gerak
sendi, dan hold and contrac relax stretching untuk mengulur otot yang
tightness atau spasme.
6. Intervensi atau tindakan
a. TENS (Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation) yang ditujukan untuk
pain relief.
b. Latihan Passive-active movement (assisted-restriktif) yang ditujukan untuk
pengembalian functional movement dari tangan kiri.
c. Hold and Contrac Relax Stretching yang ditujukan untuk mengulur otot
yang tightness atau spasme.
7. Evaluasi
Untuk mengevaluasi hasil dari tindakan fisioterapi menggunakan
Goniometer yang ditujukan untuk mengukur lingkup gerak sendinya atau
ROM (Range of Motion).
Dari hasil evaluasi didapat perbandingan nilai dari gerak sendi sikunya,
yaitu :