Anda di halaman 1dari 5

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Catecholamine mesolimbic pathway (CMP) merupakan jalur dopamin

pada otak yang berasal dari badan sel di daerah mesensefalon (ventral tegmental

area) dengan akson menuju ke daerah limbik yaitu nucleus accumbens, amigdala

dan hipokampus. Dopamin merupakan salah satu neurotransmiter yang termasuk

dalam kelompok katekolamin. Selain dopamin, neurotransmiter yang termasuk

dalam kelompok katekolamin adalah norepinefrin dan epinefrin. Catecholamine

mesolimbic pathway berperan dalam berbagai fungsi otak diantaranya kontrol

motorik, kontrol motivasi, memori serta terlibat dalam pengaturan emosi dan

kognitif. Pada manusia, gangguan pada jalur ini dapat mengakibatkan penyakit

neuropsikiatri seperti skizofrenia dan stress (Klejbor et al., 2004). Pernah di

laporkan juga bahwa jalur ini mengalami gangguan pada tikus yang diinfeksi virus

rabies yang muncul berupa perubahan perilaku (Fu et al., 1993).

Salah satu petanda keberadaan neuron katekolaminergik di jaringan

adalah dengan mendeteksi enzim yang mensintesis neurotransmiter tersebut.

Enzim utama yang mengontrol konsentrasi katekolamin dalam sintesis

katekolamin adalah tirosin hidroksilase (TH), sehingga TH sering dipakai sebagai

petanda keberadaan neuron katekolaminergik (Ong et al., 2011).

Kalong kapauk (Pteropus vampyrus) merupakan salah satu spesies

kelelawar pemakan buah (Megachiroptera) yang tersebar luas di dunia. Kelelawar

ini umumnya disebut flying foxes atau fruit bats, di Pulau Jawa disebut kalong, di

Manado disebut paniki dan di NTT disebut kabauk. Spesies ini memiliki berat

1
2

badan dewasa mencapai 1,1 kg, menciri dengan telinga yang panjang dan runcing,

bermata besar serta tidak memiliki ekor (Kunz dan Jones, 2000), rambut berwarna

hitam pada dada, perut dan punggung, bahu warna coklat kekuningan, membran

antarpaha tidak tumbuh di tengah, dan betis bagian atas tidak berambut (Suyanto,

2001). Kalong kapauk (Pteropus vampyrus) hidup di Semenanjung Malaysia,

Filipina, Sumatera selatan, Jawa, Kalimantan, dan tersebar hingga ke Pulau Timor

bagian selatan (Corbet dan Hill, 1992).

Kelelawar merupakan mamalia yang memiliki kemampuan untuk terbang

yang didukung oleh adanya selaput kulit tipis yang membentang di antara tulang-

tulang telapak dan jari tangan/anggota tubuh depan, sampai sepanjang sisi

samping tubuh dan kaki belakang. Kelelawar memiliki potensi untuk terbang

dengan jarak yang jauh dan sering bergabung dalam koloni yang sangat besar.

Beberapa jenis kelelawar hidup di sekitar pemukiman manusia tetapi sebagian

besar hidup di dalam hutan (Turmelle dan Olival, 2009).

Kelelawar termasuk ordo Chiroptera yang terdiri dari dua subordo

utama yaitu Megachiroptera (pemakan buah) dan Microchiroptera (pemakan

serangga). Subordo Megachiroptera meliputi 170 spesies dan subordo

Microchiroptera meliputi sekitar 760 spesies (Cleave, 1999). Di Indonesia,

sampai saat ini ada 215 spesies atau 20% dari jumlah jenis kelelawar yang sudah

dikenal didunia (Suyanto, 2001).

Kelelawar memiliki banyak manfaat bagi manusia, antara lain sebagai

pemencar biji buah-buahan, penyerbuk bunga tumbuhan, pengendali hama

serangga didaerah pertanian dan penghasil pupuk guano tetapi pada beberapa
3

tahun terakhir, kelelawar telah teridentifikasi ikut berperan dalam kejadian

emerging infectious disease (EID) dan dikenal sebagai hospes dari beberapa virus

yang dapat menginfeksi manusia, hewan domestik, dan mamalia liar lainnya

diantaranya adalah henipavirus dan lyssavirus yang merupakan agen etiologi

rabies akut (Calisher et al., 2006). Telah dilaporkan bahwa di Australia, India dan

Thaliland spesies Pteropus vampyrus merupakan hospes dari Lyssavirus (Barret,

2004). Dilaporkan juga bahwa di Amerika Latin dan Australia, kelelawar dapat

menularkan penyakit rabies pada orang yang memasuki goa (McColl et al.,

2000). Pada tikus percobaan yang diinfeksi dengan virus rabies, menunjukkan

bahwa neurotransmiter katekolamin memiliki peranan dalam menimbulkan

gangguan saraf (Fu et al., 1993). Menurut Jackson dan Fu (2005), infeksi virus

rabies di otak bisa mengakibatkan perubahan perilaku yang kemungkinan

disebabkan karena infeksi neuron di area limbik.

Populasi kalong kapauk (Pteropus vampyrus) di Pulau Timor Nusa

Tenggara Timur (NTT) cukup banyak dan pada saat ini Propinsi NTT termasuk

daerah yang endemis rabies sehingga perlu kewaspadaan terhadap bahaya

penularan penyakit rabies. Walaupun Pulau Timor sebagai salah satu wilayah

NTT belum termasuk daerah endemis rabies namun potensi satwa liar disana

sebagai reservoir alami penyakit rabies perlu mendapatkan perhatian.

Mengingat besarnya peran CMP serta belum lengkapnya informasi

mengenai gambaran anatomis CMP pada kalong kapauk (Pteropus vampyrus)

sehingga menarik untuk diteliti gambaran anatomis tentang CMP pada kalong

kapauk (Pteropus vampyrus) yang berasal dari Pulau Timor menggunakan


4

petanda antibodi terhadap TH. Sebagai pembanding akan dipakai studi pustaka

tentang CMP pada mamalia lainnya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumus masalahan

sebagai berikut :

1. Bagaimana bentuk dan ukuran neuron katekolaminergik penyusun

mesolimbic pathway pada kalong kapauk (Pteropus vampyrus)?

2. Bagaimana jalur akson katekolamin yang terbentuk dari area

mesensefalon menuju ke area limbik pada kalong kapauk (Pteropus

vampyrus)?

C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui :

1. Bentuk dan ukuran neuron katekolaminergik penyusun mesolimbic

pathway pada kalong kapauk (Pteropus vampyrus).

2. Jalur akson katekolamin yang terbentuk dari area mesensefalon menuju

ke area limbik pada kalong kapauk (Pteropus vampyrus).

D. Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan informasi

mengenai bentuk dan ukuran neuron katekolaminergik penyusun mesolimbic

pathway serta informasi mengenai jalur akson katekolamin pada kalong kapauk
5

(Pteropus vampyrus) yang akan dapat digunakan sebagai acuan penelitian lanjutan

tentang saraf.

E. Keaslian Penelitian
Penelitian yang berkaitan dengan distribusi dan karakteristik morfologi

sel katekolaminergik yang menggunakan antibodi terhadap TH telah dilakukan

pada satwa liar. Manger et al (2002) melakukan penelitian pada dua spesies

monotremata yaitu Platypus (Ornithorhynchus anatinus) dan Short-beaked

echidna (Tachyglossus aculeatus) menunjukkan tidak adanya grup A3, A4, dan

C3 pada dua spesies ini jika dibandingkan dengan sistem katekolaminergik pada

mamalia lainnya. Anne Dell et al., (2010), juga melaporkan mengenai distribusi

neuron katekolaminergik pada jaringan otak dua spesies Megachiroptera yaitu

Eidolon helvum dan Epomophorus wahlbergi yang menunjukkan adanya

perbedaan ukuran dan kepadatan nukleus katekolaminergik di diensefalon,

mesensefalon dan pontine nukleus pada dua spesies tersebut.

Sampai saat ini, belum ada informasi mengenai bentuk dan ukuran

neuron katekolaminergik penyusun CMP serta jalur akson katekolamin yang

terbentuk dari ventral tegmental area menuju ke area limbik pada kalong kapauk

(Pteropus vampyrus).

Anda mungkin juga menyukai