Anda di halaman 1dari 9

DEMOKRATISASI PELAYANAN KESEHATAN

A. Pendahuluan
Kesehatan adalah bagian integral dari kehidupan manusia. Sebab itu semua manusia berusaha
untuk sehat. Keadaan sehat merupakan harapan dan dambaan setiap manusia. Bahkan bagi suatu
bangsa, kesehatan rakyatnya menjadi salah-satu modal dasar yang mempunyai peranan penting
dalam mencapai cita-cita bangsa tersebut. Itu sebabnya peningkatan derajat kesehatan harus terus-
menerus diupayakan untuk memenuhi hidup sehat.
Dalam rangka melayani masyarakat untuk hidup sehat dapat dilakukan pada 5 upaya kesehatan,
yaitu: (1). upaya promotif; (2). upaya preventif; (3). upaya kuratif; (4). upaya dissability limitation; (5).
upaya rehabilitatif. Hanya saja dalam perjalan sejarah pembangunan kesehatan Indonesia, terjadi
suatu kondisi yang jauh dari harapan masyarakat terutama pada kaum marginal dengan
kemiskinannya, pendidikan yang rendah, kultur dan tempat yang jauh dari sarana pelayanan
kesehatan.
Dalam rangka mendorong kualitas pelayanan kesehatan yang optimal, maka dilakukanlah gerakan
perubahan melalui demokratisasi. Meskipun sesungguhnya demokratisasi lebih banyak digunakan
dalam rangka menyelesaikan perselisihan dengan damai dan sukarela dan menjamin
terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat.
Bahkan istilah demokrasi lebih banyak digunakan dalam konteks negara dan kepemimpinan. Dalam
perkembangan demokrasi di Indonesia dapat dibagi ke dalam 3 masa, yaitu: (1). masa demokrasi
konstitusional yang menonjolkan peranan parlemen serta partai-partai sehingga disebut juga
demokrasi parlementer; (2). masa demokrasi terpimpin sesungguhnya memiliki aspek demokrasi
rakyat tetapi lebih banyak menyimpang; (3). masa demokrasi pancasila merupakan demokrasi yang
menonjolkan sistem presidentil.
Sejak runtuhnya orde baru tahun 1998, telah terjadi komitmen perubahan yang lebih baik terutama
dalam rangka upaya pemerataan dan keadilan bagi seluruh rakyat, meningkatkan supremasi hukum
dan transparansi serta memberantas korupsi yang banyak menyengsarakan rakyat. Pada konteks
pelayanan kesehatan demokratisasi ditujukan untuk meletakkan dasar-dasar perikemanusiaan, adil
dan merata, pemberdayaan kemandirian masyarakat, dan pengutaman manfaaat.
Pada konteks inilah kajian demokratisasi pelayanan kesehatan. Regulasi pelayanan kesehatan
sesungguhnya sudah sangat jelas melakukan pemihakan pada hak asasi manusia. Namun dalam
prakteknya belum konsisten. Praktek kesewenang-wenangan tenaga kesehatan dan rumah sakit
banyak menempatkan kaum marginal sebagai pengguna fasilitas pelayanan kesehatan menjadi
korban.
B. Sistem Pelayanan Kesehatan
Apabila kita melihat pada sistem kesehatan bahwa sistem kesehatan merupakan kumpulan
berbagai faktor yang kompleks dan saling berhubungan yang terdapat dalam suatu negara, yang
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan kesehatan perseorangan, keluarga, kelompok
dan atau masyarakat pada setiap saat yang dibutuhkan.
Bentuk sistem kesehatan yang dianut oleh suatu negara sangat tergantung dari pilihan ideologi
negara. Pada bentuk sistem yang ada dapat dilihat sebagai berikut:
1). Sistem kesehatan yang dimonopoli pemerintah, yaitu pelayanan kesehatan swasta tidak dikenal
sama sekali, karena pemerintah memiliki monopoli penuh terhadap upaya penyelenggaraan
pelayanan kesehatan, seperti yang dikenal pada negara-negara sosialis.
2). Sistem kesehatan yang didominasi oleh pemerintah, yaitu peranan pemerintah masih bersifat
dominan namun peran swasta dalam pelayanan kesehatan juga tetap dilakukan, seperti yang
dikenal di Indonesia.
3). Sistem kesehatan yang didominasi oleh swasta, yaitu upaya-upaya kesehatan lebih banyak
diberikan kesempatan pada pihak swasta, dan pemerintah tetap melakukan pada bentuk pelayanan
kesehatan yang strategis saja, seperti yang dilaksanakan di negara-negara maju.
Pada konteks demokratisasi dalam pelayanan kesehatan sesungguhnya diharapkan adanya saling
mengisi atau sinergisitas antara pihak pemerintah, swasta dan masyarakat dalam penyelenggaraan
pelayanan kesehatan. Dengan adanya kondisi sinergistas ini maka tidaklah terjadi kecenderungan
adanya pihak-pihak yang dilemahkan atau berada dalam ketidakmampuan dalam pelayanan
kesehatan. Karena itulah dalam proses demokratisasi maka secara terus-menerus didorong lahirnya
suatu program kemitraan dalam pelayanan kesehatan.
Yang perlu dicatat bahwa sistem pelayanan kesehatan pada hakekatnya merupakan sistem yang
mengkoordinasikan semua kegiatan sedemikian rupa sehingga menjamin setiap masyarakat
memperoleh pelayanan kesehatan yang dibutuhkannya. Bahwa upaya pemberian pelayanan
kesehatan bisa dalam satu bentuk tertentu atau dengan bentuk gabungan. Satu bentuk tertentu
seperti dengan pemebrian pelayanan kesehatan dasar di puskesmas terhadap penderita Tb Paru,
tetapi juga sekaligus diberikan pelayanan konseling untuk meningkatkan kesehatannya sehingga
dapat mempercepat kesembuhannya.
Sesungguhnya kedepan masyarakat Indonesia diharapkan dapat hidup dalam lingkungan dan
dengan perilaku hidup sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang
bermutu secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Karena demokratisasi merupakan kegiatan yang terus-menerus dalam membangun perbaikan
sistem kesehatan, maka ditetapkanlah empat misi yang menjadi koridor dalam penyelenggaraan
pelayanan kesehatan, yaitu:
1). Menggerakkan pembangunan nasional berwawasan kesehatan
2). Mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat
3). Memelihara dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata dan terjangkau
4). Memelihara dan meningkatkan kesehatan individu, keluarga dan masyarakat beserta
lingkungannya.
C. Sistem Pembiayaan Kesehatan
Masalah biaya kesehatan sejak beberapa tahun terakhir telah banyak menarik perhatian, tidak saja
dikalangan dunia kedokteran, tetapi juga diluar kalangan kedokteran. Tidak saja di dalam negeri,
tetapi juga diluar negeri. Kenaikan biaya kesehatan tidak secara otomatis meningkatkan status
kesehatan rakyat. Anggapan lama bahwa medical care equals health ternyata tidak benar. Hanya
sebagian dari status kesehatan kita dipengaruhi oleh sistem pelayanan kesehatan kita, selebihnya
ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan, keturunan, dan faktor-faktor sosial budaya.
Kompleksitas faktor-faktor yang mempengaruhi status kesehatan rakyat ini juga menarik apabila kita
melihat keadaan dibeberapa negara yang sedang berkembang. Gunnar Mydall mengatakan adanya
hubungan korelasi antara kesehatan dan ekonomi. Namun demikian tidak semuanya benar, sebab
faktor ekonomi hanyalah salah satu faktor yang mempengaruhi status kesehatan kita.
Dalam meningkatkan derajat kesehatan yang baik, faktor-faktor yang sangat mempengaruhi derajat
kesehatan itu harus memperoleh perhatian secara simultan. Namun apabila banyak yang
memprihatinkan masalah biaya kesehatan, ternyata karena tidak selalu dan bahkan banyak yang
tidak dibarengi dengan peningkatan derajat kesehatan rakyat.
Dalam pelayanan kesehatan dikenal apa yang disebut ” The Medical Uncertainty Principle”,
maksudnya adalah bahwa dalam hubungan dokter-pasien akan selalu ada hal-hal ketidakpastian
dan selalu ada hal-hal lain yang mungkin harus dilakukan. Hal ini akan berdampak pada pembiayan
kesehatan.
Dalam rangka pengelolaan pembiayaan kesehatan yang begitu kompleks maka perlu dilakukan
pengeloaan manajemen yang baik dengan memperhatikan secara ekonomi. Oleh sebab itu pada
saat ini telah berkembang dengan pesat pengetahuan sistem manajemen pembiayaan kesehatan.
Secara konseptual, system pelayanan kesehatan dibagi menjadi 2 yaitu: sistem pelayanan
kesehatan masyarakat (Public Health) dan sistem jasa pelayanan pribadi. Sistem pelayanan
kesehatan masyarakat mempunyai ciri-ciri:
a. Pemakaian jasa kepada seseorang tidak mengurangi jatah bagi orang lain yang ingin
menggunakannya
b. Untuk menggunakannya tidak perlu berebut
c. Ada pengaruh eksternalitas
Sistem pelayanan kesehatan pribadi mempunyai ciri-ciri:
a. Pemakaian jasa kepada seseorang akan mengurangi jatah bagi orang lain yang ingin
menggunakannya
b. Untuk menggunakannya perlu berebut
Masalah utama yang saat ini dihadapi oleh sistem pelayanan kesehatan adalah sumber daya yang
semakin lama semakin sulit mengejar kebutuhan pelayanan. Sumber daya ini berasal dari swasta
dan pemerintah dimana prosentase dari swasta akan relatif semakin besar. Akibat dari semakin
besarnya peranan swasta, akan muncul masalah baru yang berkaitan dengan akses ke pelayanan
kesehatan, dan semakin rendahnya mutu pelayanan kesehatan masyarakat.
Sistem pelayanan kesehatan di Indonesia dibiayai oleh pemerintah dan swasta. Secara garis besar
fihak swasta membiayai sekitar 70% total biaya kesehatan. Pembiayaan dari sektor swasta terutama
diperuntukan bagi sistem pelayanan kesehatan perorangan. Demikian pula pelayanan kesehatan
oleh pemerintah, anggaran rutin terutama diperuntukan bagi pelayanan kesehatan perorangan
melalui Derektorat Jendral Pelayanan Medik.
Peran pemerintah saat ini adalah sebagai regulator, sumber pembiayaan, agen pembaharu, dan
bahkan pemberi biaya pelayanan kesehatan. Peran yang diharapkan adalah menetapkan dan
merumuskan standar-standar, melakukan monitoring secara teknis, mendefinisikan paket-paket
pemeliharaan kesehatan yang tepat, mengawasi dengan peraturan agar terjadi efisiensi pelayanan
kesehatan. Pemerintah sebagai penyusun peraturan mempunyai tugas untuk memperbaharuhi
peraturan-peraturan, dan mengerjakan berbagai pendekatan untuk mempengaruhi perilaku hidup
sehat.
Pemerintah khususnya Departemen Kesehatan cenderung untuk memandang kesehatan sebagai
sektor yang tidak berdasar hukum ekonomi. Berbagai peraturan pemerintah, termasuk pentarifan
puskesmas dan rumah sakit yang sangat mempengaruhi premi asuransi kesehatan atau JPKM
ditetapkan berdasarkan pertimbangan sosial bahkan politik untuk menyenangkan rakyat, bukan
dengan konsep unit-cost dan subsidi. Pengelolaan tenaga spesialis dilakukan tanpa memperhatikan
konsep pasar tenaga kerja. Masyarakat terbiasa memandang kesehatan sebagai sektor yang
dibiayai oleh pemerintah dan murah.
Peran pemerintah di kesehatan saat ini dapat mengacu pada jalan ketiga dari Giddens yang
mempunyai nilai-nilai: persamaan, perlindungan atas mereka yang lemah, kebebasan sebagai
otonomi, tak ada hak tanpa tanggung jawab, tak ada otoritas tanpa demokrasi pluralisme
kosmopolitan, dan konservatisme filosofi. Oleh karena itu Departemen Kesehatan harus tegas
mengenai pelayanan kesehatan sebagai pelayanan sosial atau komoditi pasar. Jika sudah
mengarah kepada komoditi pasar, maka diperlukan suatu sistem yang tepat dengan prioritas jelas
untuk melindungi orang miskin harus tetap dijaga. Untuk berbagai pelayanan kesehatan, termasuk
JPKM, dapat diserahkan ke swasta dengan sistem pengendalian mutu yang baik. Pemerintah
diharapkan pula untuk tetap menjamin terselenggaranya pelayanan kesehatan masyarakat yang
berciri pelayanan preventif dan promotif.
Peran pemerintah di kesehatan saat ini dapat mengacu pada jalan ketiga dari Giddens yang
mempunyai nilai-nilai: persamaan, perlindungan atas mereka yang lemah, kebebasan sebagai
otonomi, tak ada hak tanpa tanggung jawab, tak ada otoritas tanpa demokrasi pluralisme
kosmopolitan, dan konservatisme filosofi. Oleh karena itu Departemen Kesehatan harus tegas
mengenai pelayanan kesehatan sebagai pelayanan sosial atau komoditi pasar. Jika sudah
mengarah kepada komoditi pasar, maka diperlukan suatu sistem yang tepat dengan prioritas jelas
untuk melindungi orang miskin harus tetap dijaga. Untuk berbagai pelayanan kesehatan, termasuk
JPKM, dapat diserahkan ke swasta dengan sistem pengendalian mutu yang baik. Pemerintah
diharapkan pula untuk tetap menjamin terselenggaranya pelayanan kesehatan masyarakat yang
berciri pelayanan preventif dan promotif.
Berbagai bentuk pembayaran pada pemberi pelayanan kesehatan dewasa ini telah banyak
diperkenalkan. Semua bentuk pembayaran itu dimaksudkan untuk dapat mengendalikan biaya
pelayanan kesehatan, yang terus meningkat dengan bentuk pembayaran yang selama ini dikenal
yaitu fee for services reimbursement system, yang diberikan setelah pelayanan diberikan
(retrospective). Pembayaran yang diberikan setelah pelayanan berlangsung itu, ternyata tidak ada
insentif bagi para pemberi pelayanan kesehatan untuk melaksanakan efisiensi. Dan apabila biaya
pelayanan kesehatan itu ditanggung oleh pihak ketiga, terjadinya moral hazard akan lebih terbuka
lebar, sehingga memberi dampak kenaikan biaya pelayanan kesehatan yang drastis.
Prospective Payment System (PPS) adalah suatu sistem pembayaran pada pemberi pelayanan
kesehatan, baik RS maupun dokter, dalam jumlah yang ditetapkan sebelum suatu pelayanan medik
dilaksanakan, tanpa memperhatikan tindakan medik atau lamanya perawatan di RS.
PPS memperoleh perhatian yang besar, ketika biaya pelayanan kesehatan di AS meningkat dengan
tajam, sehingga pemerintah federal AS, berdasarkan Sosial Security Amendement of 1993, yang
ditanda tangani oleh Presiden Ronald Reagan pada 20 April 1993, mewajibkan pembayaran peserta
program medicare berdasarkan jumlah yang tetap, sesuai penyakit (diagnosis), yang besarnya telah
ditetapkan sebelum suatu pelayanan medik dilakukan. Pengertian pembayaran ditetapkan dimuka
(advance payment) adalah bahwa PPK akan menerima sejumlah imbalan yang besarnya sesuai
dengan diagnosa penyakit, apapun yang dilakukan terhadap pasien yang bersangkutan, termasuk
lamanya perawatan RS. Pendekatan seperti ini akan mendorong adanya insentif finansial pada
pemberi pelayanan kesehatan, untuk hanya melakukan hal-hal yang secara medik memang
diperlukan dan menurunkan LOS. Dengan demikian adanya kemungkinan penggunaan sarana
kesehatan yang berlebihan dapat dicegah.
Konsep DRGs berkembang di Yale-Haven Hospital oleh Robert Fetter dan John Thompson yang
semula dimaksudkan untuk mempelajari dan mengembangkan penilaian atas proses utilisasi.
Pengelompokan DRGs semula mempergunakan klasifikasi ICD-8-CM. Dengan mempergunakan
data medik, diagnosis klinik dikelompokan sesuai dengan tiga prinsip yang ditetapkan yaitu:
1. Diagnosis disesuaikan dengan pengelompokan anatomi dan fisiologi
2. Jumlah kasus cukup besar, sehingga dapat mewakili unsur tersebut
3. Dapat mencakup seluruh ICD-8-CM dengan tidak saling tumpang
tindih.
Pertimbangan diberlakukan DRGs sebagaimana kita ketahui adalah untuk mengendalikan kenaikan
biaya program medicare. Adapun manfaat DRGs adalah:
1. DRGs ternyata dapat diberlakukan dengan cepat
2. Bagi pemerintah dan RS DRGs dapat memberikan kepastian perkiraan biaya kesehatan yang
berasal dari program medicare
3. Mengurangi beban administrasi bagi RS dan mendorong upaya efisiensi
4. DRGs dapat meningkatkan mutu pelayanan kesehatan
5. Menguntungkan peserta program medicare
Tarif paket ataupun tarif budget bulanan pada rumah sakit merupakan salah satu bentuk sismtem
pembiayaan kesehatan. Dalam tarif paket RS dibayar sesuai dengan jumlah yang telah ditetapkan,
yang meliputi biaya mondok serta sejumlah kelompok tindakan medik. Semakin besar
pengelompokan tindakan medik, sudah tentu akan semakin tumbuh dorongan efisiensi dan
keuntungan dari aspek penyederhanaan administrasi bagi RS.
Konsep kapitasi inilah yang paling banyak memperoleh publikasi, karena memang memberikan
harapan yang sangat bermakna, baik dari aspek penyederhanaan administrasi, efisiensi serta mutu
pelayanan. Dalam konsep kapitasi dorongan adanya upaya-upaya pencegahan dan promosi sangat
besar, sehingga konsep kapitasi secara intrinsik memang akan mengubah orientasi pelayanan, dari
kuratif ke preventif, dengan sangat mempertimbangkan dampak ekonomi.Efisiensi juga dapat
diperlihatkan dari besarnya premi yang harus dibayar oleh peserta program pembiayaan kesehatan
secara kapitasi. Contoh pembiayaan secara sistem kapitasi adalah ASKES, JPKM, ASKESKIN.
D. Model Pelayanan Kesehatan Berbasis Komunitas
Masalah kesehatan tidak lepas dari aspek sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Maka, penentuan
kebijakan kesehatan harus melihat sejumlah aspek. Dalam aspek ekonomi, dengan keterbatasan
dan ketidakseimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan, menyebabkan pihak provider menjadi
kuat dan posisi pasien menjadi lemah. Hal seperti ini sangat berbahaya bagi kondisi kesehatan
masyarakat. Apalagi pada kondisi genting, yang tidak diramalkan sebelumnya seperti saat terjadi
bencana. Itu sebabnya, ekonomi kesehatan berbeda dengan bidang lain.
Pelayanan jasa kesehatan dapat dilihat berdasar public goods dan private goods. Artinya, sebagai
public goods, pemakaian jasa pada seseorang tidak mengurangi jatah orang lain yang ingin
menggunakannya. Adapun penggunaan private goods akan mengurangi jatah orang lain yang juga
ingin menggunakannya. Aspek public goods dan private goods dalam pelayanan kesehatan ada di
daerah abu-abu, di mana satu pelayanan dapat dianggap public goods, tetapi juga dapat diatur
sebagai komoditas private goods.
Secara Nasional, penyelenggaraan pelayanan kesehatan gratis telah dimulai sejak tahun 2005, dan
Pemerintah Pusat terus berkomiten untuk meningkatkan dan memantapkan program ini. Hal ini
dipertegas kembali oleh Menteri Kesehatan RI Dr. dr. Siti Fadilah Supari, Sp.Jp.(K) pada
pembukaan Rapat Kerja Nasional Kesehatan Tahun 2007 (Antara News, edisi 24 Juni 2007).
Menkes menekankan beberapa hal, diantaranya: 1) penduduk yang miskin yang secara ekonomi
tidak dapat menjangkau pelayanan kesehatan yang berkualitas harus dilayani secara gratis karena
biayanya ditanggung oleh pemerintah, 2) program Askeskin harus terus ditingkatkan dan
dimantapkan bahkan mengusahakan jaminan kesehatan tidak saja bagi penduduk miskin, tetapi
secara bertahap menjadi jaminan kesehatan sosial sebagai bagian dari sistem jaminan sosial
nasional (SJSN), 3) Puskesmas harus mampu mengakomodasi kebutuhan masyarakat akan
pelayanan kesehata dasar yang berkualitas, sebagai akibat positif dari perkembangan desa siaga,
selain itu juga harus mampu membina berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh desa siaga
melalui Pos Kesehatan Desa, 4) Rumah sakit harus siap menerima rujukan pelayanan kesehatan
dengan pelayanan kesehatan spesialistik yang bermutu.
Pembiayaan kesehatan di Indonesia dibagi ke dalam tiga kelompok pembiayaan, yaitu: pembiayaan
yang bersumber dari pemerintah, pembiayaan yang bersumber dari bantuan/pinjaman luar negeri
dan pembiayaan rumah tangga/swasta. Terkait dengan pembiayaan yang berasal dari pemerintah,
maka dikelompokkan lagi ke dalam tiga kelompok, yaitu: (1). Pembiayaan pemerintah pusat dan
dana dekonsentrasi; (2). Pembiayaan pemerintah propinsi melalui skema dana propinsi (PAD
ditambah DAU propinsi); (3). Pembiayaan pemerintah kabupaten/kota melalui skema dana
kabupaten/kota (PAD ditambah DAU Kabupaten/Kota).
Berdasarkan kebijakan nasional pelayanan kesehatan gratis model pembiayaannya sesungguhnya
tidak dapat dibebankan sepenuhnya kepada pemerintah pusat, tetapi secara bertahap beban
pembiayaannya akan dipikul bersama dengan pemerintah propinsi dan kabupaten/Kota. Secara
proporsional sharing pembiayaan akan mengikuti pola 40 – 50% akan dibebankan kepada masing-
masing pemerintah daerah sesuai dengan kemampuan daerah masing-masing.
Pemerintah pusat telah menganggarkan pembiayaan pelayanan kesehatan pada keluarga miskin
untuk pelayanan kesehatan dasar di puskesmas, pelayanan kebidanan dasar oleh bidan di desa,
pelayanan rujukan di rumah sakit, revitalisasi posyandu dan vaksin hepatitis B. Anggaran yang
dikeluarkan pemerintah pusat rata-rata per tahun untuk pembiayaan seluruh komponen pelayanan
tersebut di seluruh Indonesia adalah Rp. 945,9 milyar (Depkes R.I., 2007).
Mencermati distribusi penyebaran penyakit yang berbeda pada setiap daerah akibat keterliabatan
faktor-faktor lingkungan, perilaku kesehatan, pelayanan kesehatan dan genetika maka tentu
melahirkan keterbatasan pemerintah pusat dalam pembiayaan kesehatan. Sebagai contoh
prevalensi penyakit tuberculosis, kusta, dan malaria masih menempati urutan yang tinggi di
Indonesia bagian Timur. Namun sebaliknya pada penyakit-penyakit yang disebabkan oleh
pencemaran banyak diderita oleh komunitas di daerah-daerah kawasan industri di DKI Jakarta,
Banten, Jawa Timur dan Jawa Barat.
Olehnya itu dibutuhkan suatu pengembangan model pelayanan kesehatan berbasis wilayah dan
komunitas. Pengkajian pada basis wilayah dapat dipandang pada segi akses jarak dan sarana
transportasi. Misalnya pemanfaatan pelayanan kesehatan akan sangat berbeda pada wilayah
perkotaan, pegunungan dan pulau. Pengkajian pada pada basis komunitas dapat dipandang pada
segi pengetahuan dan nilai-nilai kultural yang dianut suatu komunitas.
Kebijakan politik daerah di Provinsi Sulawesi Selatan telah menumbuhkan komitmen terhadap
sharing pembiayaan pelayanan kesehatan gratis pada keluarga miskin sehingga sangat
memungkinkan untuk melakukan pengembangan model pelayanan kesehatan gratis yang sangat
berbeda dengan model yang selama ini dikembangkan oleh pemerintah pusat ataupun model-model
yang sudah lama dikenal dibeberapa daerah. Dimana penyelenggaraan pelayanan kesehatan gratis
masih bertumpu pada pelayanan medik dasar. Model ini sesungguhnya masih dapat dikembangkan
berdasarkan paradigma pelayanan kesehatan yang saat ini mengacu pada sistem kesehatan, yaitu
pelayanan medik dan pelayanan kesehatan masyarakat. Hal lainnya juga perlu mempertimbangkan
efesiensi pembiayaan tetapi hasil yang dicapai lebih efektif.
E. Partisipasi Masyarakat
Pembangunan masyarakat umumnya ditujukan pada pembangunan masyarakat pedesaan (rural
community development). Pembangunan masyarakat pedesaan lazim disebut pembangunan
pedesaan (rural development) atau pembangunan desa (village development).
Pembangunan pedesaan dapat berarti pembangunan nasional yang berlokasi di desa dan dapat
pula berarti pembangunan desa yang diselenggarakan sendiri oleh masyarakat. Pengertian yang
kedua inilah yang sangat membutuhkan partisipasi aktif dari masyarakat.
Istilah pembangunan desa dapat saling dipertukarkan dengan istilah pembangunan pedesaan,
didalam batas-batas pengertian pembangunan masyarakat. Tentu saja pembangunan pedesaan
sebagai metode dapat juga diterapkan pada pembangunan masyarakat di daerah perkotaan. Ini
juga yang dijadikan landasan pembangunan desa didalam kota-kota di seluruh Indonesia.
Terwujudnya secara proses pembangunan masyarakat dapat diukur menurut indikator partisipasi.
Tanpa partisipasi langsung masyarakat dalam proses pembangunan, keberhasilan pembangunan
hampir tidak memiliki makna sama sekali. Partisipasi merupakan istilah yang sederhana, namun
penerapannya di masyarakat selalu menemui hambatan-hambatan yang bersifat krusial dan
substansial. Karena itu, sangat diharapkan pembelajaran ini memberi visi kepada mahasiswa untuk
mendesain program peningkatan partisipasi masyarakat dalam upaya peningkatan kualitas hidup
sehat.
Pembangunan masyarakat merupakan suatu proses dimana masyarakat membahas dan
merumuskan kebutuhan mereka, merencanakan usaha pemenuhannya, dan melaksanakan rencana
itu sebaik-baiknya. Pembangunan masyarakat ditujukan kepada upaya untuk mengurangi
kemiskinan, kemelaratan dan kebobrokan lingkungan hidup masyarakat.
Kemiskinan, kemelaratan, kebobrokan itu sendiri menurunkan kualitas dan melemahkan semangat
serta kemampuan masyarakat. Itulah sebabnya, prakarsa (inisiatif) dan yang biasa disebut
partisipasi sebagai salah satu elemen proses pembangunan masyarakat, tidak segera tergerak.
Oleh karena itu partisipasi masyarakat dalam pembangunan perlu dibangkitkan terlebih dahulu oleh
pihak lain. Misalnya LSM sebagai motivator, pemerintah sebagai fasilitator, atau orang-orang kunci
dimasyarakat sebagai perintis (penggerak pertama). Pihak lain tersebutlah yang mengambil
prakarsa dan masyarakat diminta atau diberi kesempatan berpartisipasi (turut serta).
Berbagai sumber mengatakan penggerakan partisipasi masyarakat merupakan salah satu sasaran
pembangunan itu sendiri. Dalam pengertian ini, partisipasi lebih merupakan out put daripada input.

Jnanabrota Bhattacharyya mengartikan partisipasi sebagai pengambilan bagian dalam kegiatan


bersama. Mubyarto mendefinisikannya sebagai kesediaan untuk membantu berhasilnya suatu
program sesuai kemampuan setiap orang tanpa berarti mengorbankan kepentingan diri sendiri.
Nelson menyebut dua macam partisipasi; partisipasi sesama warga atau suatu perkumpulan yang
dinamakannya partisipasi horizontal, dan partisipasi yang dilakukan oleh bawahan terhadap atasan,
antar klien dengan patron, antara masyarakat sebagai suatu keseluruhan dengan pemerintah, yang
diberi nama partisipasi vertikal.
Keterlibatan dalam berbagai proses politik disebut sebagai partisipasi politik dan keterlibatan dalam
kegiatan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan disebut sebagai partisipasi dalam psoses
administratif. Keterlibatan kelompok atau masyarakat sebagai satu kesatuan disebut sebagai
partisipasi kolektif, sedangkan keterlibatan individu dalam suatu kegiatan kelompok disebut sebagai
partisipasi individual.
Partisipasi yang akan didiskusikan lebih lanjut adalah partisipasi horizintal dan vertikal masyarakat.
Disebut partisipasi vertikal karena bisa terjadi dalam kondisi tertentu masyarakat terlibat atau
mengambil bagian dari program pihak lain dalam hubungan mana, masyarakat berperan sebagai
bawahan, klien, dan pengikut. Disebut sebagai partisipasi horizontal karena pada suatu saat tidak
mustahil masyarakat mempunyai kemampuan untuk berprakarsa secara sendiri-sndiri, dengan
demikian keterlibatan bersama sangatlah strategis dalam memecahkan suatu masalah di
masyarakat.
Kejadian DBD dimasyarakat yang merupakan suatu permasalahan penyakit yang bersifat endemik
di Makassar selalu merefleksikan 2 (dua) jenis partisipasi ini. Ketika petugas puskesmas
membagikan abate bagi masyarakat, maka saat itu masyarakat melakukan partisipasi vertikal
(karena ia hanya menjalankan program puskesmas). Akan tetapi bila masyarakat secara bersama-
sama membersihkan selokan, kanal, atau lingkungan pekaranagn rumah, maka saat itu disebut
masyarakat sedang menerapkan partisipasi horizintal. Tentu saja partisipasi seperti ini merupakan
suatu tanda permulaan tumbuhnya masyarakat yang mampu berkembang secara mandiri.
Bentuk partisipasi adalah:
1. Partisipasi melalui kontak dengan orang lain sebagai titik awal perubahan sosial. Contoh
masyarakat bekerjasama dengan puskesmas dalam menciptakan pola hidup bersih dan sehat.
Disini diharapkan tenaga puskesmas memberi visi dan pemahaman pencegahan yang harus
dilakukan oleh masyarakat sendiri.
2. Partisipasi dalam memberi tanggapat terhadap informasi baik dalam arti menerima ataupun
dalam arti menolaknya; misalnya informasi tentang penggunaan kondom bagi pekerja seks untuk
menghindari Infeksi Menular Seksual (IMS) ditanggapi oleh sebagian masyarakat secara skeptis
bahkan ada yang langsung menolaknya dengan alasan pemakaian kondom berarti membenarkan
seks bebas.
3. Partisipasi dalam perencanaan pembangunan, termasuk pengambilan keputusan; misalnya
pelaksanaan posyandu melibatkan masyarakat dalam memutuskan model pelayanan yang bersifat
mandiri dan kontinu. Disini masyarakat berhak untuk menentukan sendiri jenis pelayanan posyandu
yang akan diterapkan.
4. Partisipasi dalam pelaksanaan operasional pembangunan; misalnya kader yang direkrut dari dan
oleh masyarakat secara langsung melayani masyarakat dalam pemberian pelayanan khususnya
dalam aktivitas pencatatan dan penimbangan, serta penyuluhan.
5. Partisipasi dalam menerima, memelihara dan mengembangkan hasil pembangunan; misalnya
keterlibatan masyarakat miskin dalam menggunakan kartu JPS-BK (Jaminan Pengaman Sosial
Bidang Kesehatan). Tidak lagi orang miskin malas untuk berobat atau memeriksakan diri dan
keluarganya.
6. Partisipasi dalam menilai pembangunan; misalnya kelompok masyarakat mengadakan aksi protes
terhadap kinerja dokter atau perawat puskesmas di institusi pelayanan kesehatan (puskesmas atau
rumah sakit).
Perbaikan kondisi dan upaya memenuhi kebutuhan masyarakat dapat menggerakkan partisipasi.
Agar perbaikan kondisi dan peningkatan taraf hidup masyarakat dapat menggerakkan partisipasi,
beberapa hal yang harus dilakukan, adalah;
1. Program pembangunan kesehatan berdasarkan kebutuhan yang dirasakan (felt needs)
2. Program dijadikan sebagai stimulan (perangsang) untuk memunculkan respons yang
dikehendaki.
3. Program hendaknya merupakan motivasi tertinggi masyarakat yang nantinya berperan dalam
memunculkan tingkah laku yang dikehendaki secara berkelanjutan.
Selain cara-cara di atas, partisipasi masyarakat dapat juga digerakkan melalui;
1. Aktivitas proyek pembangunan kesehatan yang dirancang sesederhana mungkin dan dapat
dikelola oleh masyarakat; misalnya gerakan penanggulangan DBD melalui penggerakan
masyarakat.
2. Organisasi dan lembaga kemasyarakatan yang mampu menyalurkan aspirasi masyarakat;
misalnya melalui LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan KSM (Kelompok Swadaya
Masyarakat).
3. Peningkatan peranan masyarakat dalam pembangunan kesehatan; misalnya masyarakat
dijadikan sebagai kader, atau sebagai kontrol terhadap pelayanan-pelayanan kesehatan.
Pengalaman di lapangan memberikan refleksi, bahwa umumnya masyarakat tergerak untuk
berpartisipasi jika:
1. Partisipasi itu dilakukan oleh organisasi yang sudah dikenal ditengah-tengah masyarakat yang
bersangkutan.
2. Partisipasi itu memberi manfaat langsung kepada masyarakat
3. Manfaat yang diperoleh melalui partisipasi dapat memenuhi kepentingan dari masyarakat
setempat.
4. Dalam proses partisipasi itu terjamin adanya kontrol yang dilakukan langsung oleh masyarakat.
Masyarakat desa memiliki potensi yang lebih besar untuk dirangsang partisipasinya dibandingkan
dengan masyarakat perkotaan. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal diantaranya; faktor kesibukan
masyarakat kota, sikap individualitas masyarakat kota yang berkembang dengan ketat, dikota sudah
terjadi asimilasi kebudayaan yang memungkinkan terciptanya heterogenitas yang cukup ekstrim.
Lazimnya masyarakat perkotaan digerakkan melalui tekhnologi informasi dengan mengangkat
akibat-akibat dari suatu permasalahan. Biasanya masyarakat kota juga digerakkan dengan
pendekatan birokrasi pemerintahan (coersive approach).
Cara apapun yang akan dipergunakan dalam pemilihannya selalu mempertimbangkan aspek
demografi, geogerafi, dan budaya lokal dimana partisipasi tersebut akan ditingkatkan.
Partisipasi prosesional adalah keterlibatan masyarakat sejak awal program sampai akhir
pelaksanaan program, sedangkan partisipasi parsial adalah pelibatan masyarakat hanya pada salah
satu tahap program atau sebagian tahapan program.
Pelibatan sepenuhnya masyarakat dalam program sangat efektif mengingat sejak awal masyarakat
diposisikan sebagai subyek, sehingga mereka dapat mengidentifikasi masalahnya sendiri sampai
mereka sendiri yang merencanakan solusi yang dianggapnya tepat. Partisipasi jenis ini memang
memerlukan waktu yang cukup lama, akan tetapi jaminan keberlanjutan program sangatlah besar.
Cukup banyak pelaksana program menganggap bahwa keterlibatan masyarakat pada tahap awal
sangatlah rumit mengingat masyarakat memiliki kekurangan dan keterbatasan yang besar terutama
dalam menggerakkan mereka dalam meninjau masalahnya sendiri. Anggapan ini sangat keliru,
sebab bagaimanapun, masyarakat pasti akan bekerja bila pendekatan yang diberikan sesuai
dengan kapsitas yang mereka miliki. Dalam hal ini persoalan apakah masyarakat akan terlibat pada
tahap awal atau tidak, sangat ditentukan oleh pendekatan yang diterapkan.
Pada tahap penemuan masalah, masyarakat diminta untuk mengemukakan apa yang dirasakan
secara nyata tanpa perlu memberikan beban untuk melakukan analisis sebab tahapan analisis
merupakan pekerjaan pelaksana yang memang sudah memiliki alur berfikir dan metodologi
pengembangan program. Intinya adalah bagaimana masyarakat merasa dihargai dan dijadikan
sebagai subyek pembangunan.
Berbeda dengan partisipasi parsial yang cenderung mengikuti kondisi apatisme masyarakat sebagai
efek dari pembangunan orde baru yang bersifat top-down. Asumsi yang mendasari pendekatan
partisipasi ini adalah bahwa masyarakat hanya menyulitkan jika mereka diminta untuk
membicarakan program, apalagi untuk merencanakan sendiri. Pekerjaan akan semakin lancar jika
program didesain dan dkembangkan sendiri oleh pakarnya. Masyarakat tinggal menunggu saja apa
yang akan diberikan terhadapnya.
Dampak partisipasi parsial adalah program terputus manakala bantuan dana dan bantuan teknis
dari pelaksana sudah selesai. Masyarakat memandang bahwa program tersebut bukan
kepentingannya sebab mereka memang sejak awal tidak diarahkan untuk mempersepsikan
progream tersebut sebagai program yang beasal dari, untuk dan oleh masyarakat.
Saat ini, pembangunan partisipatif sudah mulai menerapkan pendekatan partisipasi prosesional
sebab sudah lama mereka merasakan tidak efektif dan efisiennya pendekatan pembangunan
selama ini, sehingga perubahan yang diharapkan dari sekian banyak program tidsak memberikan
hasil yang signifikan

Anda mungkin juga menyukai