Anda di halaman 1dari 51

makalah kebijakan pemerintah dalam bidang kesehatan

BAB 1
PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG

Dalam program 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu periode kedua, Presiden RI menetapkan 45
program penting yang akan dijalankan di seluruh tanah air berkaitan dengan pembangunan
sektoral dan regional.
Dari 45 program ini telah dipilih 15 program unggulan, dimana kesehatan masuk dalam program
ke 12. Landasan kerja pembangunan kesehatan pada Kabinet Indonesia Bersatu ke-2 ini, akan
memperhatikan tiga “tagline” penting yaitu change and continuity; debottlenecking, acceleration,
and enhancemen; serta unity, together we can
Sejak dilantik menjadi Menteri Kesehatan, dr. Endang R. Sedyaningsih, MPH, Dr. PH. telah
menetapkan program jangka pendek 100 hari dan program jangka menengah tahun 2010 – 2014
yang disusun dalam sebuah rencana strategis Depkes.

Program 100 hari Menkes mengangkat 4 isu, yaitu:


(1) peningkatan pembiayaan kesehatan untuk memberikan Jaminan Kesehatan
Masyarakat,
(2) peningkatan kesehatan masyarakat untuk mempercepat pencapaian target
MDGs
(3) pengendalian penyakit dan penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana,
serta
(3) peningkatan ketersediaan, pemerataan dan kualitas tenaga kesehatan terutama
di daerah terpencil, tertinggal, perbatasan dan kepulauan (DTPK)

B. MAKSUD DAN TUJUAN

Maksud dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah manajemen

1. .Tujuan Umum
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah akan membahas masalah kebijakan –kebijakan
pemerintah dalam bidang kesehatan

2. Tujuan Khusus

Tujuan khusu dalam penulisan makalah ini adalah akan membahas masalah-masalah:
a. Dasar-hukum Gerakan pembangunan berwawasan kesehatan
b. Perubahan paradigm system pelayanan kesehatan
c. Oragnisasi depkes
d. Visi, misi depkes
e. Strategi depkes

C. RUANG LINGKUP

Adapun ruang lingkup penulisan makalah ini adalah hanya akan membahas maslah kebijakan
pemerintah dalam bidang kesehatan, terutama perubahan paradigm pelayanan kesehatan, visi,
misi dan strategi depkes.

BAB II
PEMBAHASAN

A.Kebijakan Pemerintah Dalam Bidang Kesehatan


I. Dasar Hukum
Menimbang
1. SKep Men Kes RI No 99a/Men.Kes /SK/III/1982 Tentang berlakunya Sistem Kesehatan
Nasional
2. TAP MPR RI VII tahun 2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan
3. Undang-undang No 23 Tahun 1992 tentang pokok-pokok kesehatan.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan
kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom
5. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah
pusat dan daerah
6. Keputusan Menteri Kesehatan RI. No 574/ Men.Kes. `/SK/IV/2000 tentang Pembangunan
Kesehatan Menuju Indonesia Sehat tahun 2010
7. Keputusan Menteri Kesehatan RI. No 1277/Men. Kes/SK/X/2001 tentang Susunan organisasi
dan Tata Kerja Departemen Kesehatan

II. Memutuskan
Menetapkan :
1. Keputusan Menteri Kesehatan tentang Sistem Kesehatan Nasional
2. Sistem Kesehatan Nasional Dimaksud dalam dictum dimaksud agar digunakan sebagai
Pedoman semua pihak dalam penyelenggaran pembangunan kesehatan di Indonesia
3 . keputusan ini berlaku mulai pada tanggal ditetapkan dengan ketentuan akan diadakan
perubahan sebagaimana mestinya apabila dikemudian hari terdapat kekeliruan
ditetapkan 10 Februari 2004 ( Jakarta/ MenKes RI).

B.Gerakan Pembangunan Berwawasan Kesehatan.


Gerakan pembangunan berwawasan kesehatan adalah inisiatif semua komponen bangsa dalam
menetapkan perencanaan pembangunan selalu berorientasi untuk mengedapankan upaya
promotif dan preventif pada masalah kesehatan, walaupun bukan berarti mengesampingkan
kegiatan kuratif.
Gerakan tersebut berlaku untuk semua komponen bangsa yang harus berpartisipasi secara aktif
baik yang berupa kegiatan individu, keluarga, kelompok masyarakat, instansi pemerintah
ataupun swasta. Promotif yang dimaksud adalah suatu upaya untuk meningkatkan status
kesehatan dan menjaganya dari semua kemungkinan-kemingkinan yang menyebabkan timbulnya
penyakit dan masalah kesehatan. Kegiatan tersebut bisa berupa meningkatkan pengetahuan
tentang kesehatan, menjaga kebugaran tubuh, mengatur menu seimbang termasuk didalamnya
kegiatan rekreasi dan pembinaan mental spiritual
Kegiatan preventif dapat dilaksanakan dengan cara mencegah dan menghindari timbulnya
penyakit dan masalah kesehatan lain. Kegiatan ini bisa berupa pemberian imunisasi, perbaikan
lingkungan ( hygiene dan sanitasi )baik perorangan, perumahan, industri rumah tangga maupan
indistri perusahaan. Kegiatan preventif juga diulakukan untuk menghindari terjadinya kecelakaan
lalu lintas juga kereta api dan keselamatan kerja terhadap seluruh pekerja termasuk pekerja
perusahaan. Pada tingkat perusahaan dan departemen dampak lingkungan dengan kegiatan
analisa dampak lingkungan ( AMDAL)
Pada departemen yang terkait misalkan Departemen Pertanian harus dipikirkan juga bagaimana
mencegah dan mengurangi terjadinya dampak insectisida terhadap penggunanya.
Contoh yang lain : misal pada kegiatan industri perusahaan, jadi semua industri perusahaan
dalam mengolah produknya harus sudah memikirkan dampak lingkungan utamanya terhadap
pengolahan polutan (limbah produksi) sehingga memenuhi batas ambang kesehatan yang
ditentukan

C.Pembangunan Berwawasan Kesehatan


1. Promotif
• Meningkatkan pengetahuan
• Menjaga stamina tubuh
• Menu seimbang

2. Preventif
• Imunisasi
• Hygiene
• Lingkungan
• Amdal
• Taat lalu lintas
• Keselamatan kerja
3. Kuratif
• Pengobatan
• Rehabilitasi

STRATEGI
1. Menggerakan dan memberdayakan masyarakat
2. Meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan kesehatan yang berkualitas
3. Meningkatkan system survey lens, monitoring, dan informasi kesehatan
4. Meningkatkan pembiayaan kesehatan

D. Visi dan misi Indonesia sehat 2010-2014

Sejak dilantik menjadi Menteri Kesehatan, dr. Endang R. Sedyaningsih, MPH, Dr. PH. telah
menetapkan program jangka pendek 100 hari dan program jangka menengah tahun 2010 – 2014
yang disusun dalam sebuah rencana strategis Depkes.
Visi Rencana Strategis yang ingin dicapai Depkes adalah “Masyarakat Yang Mandiri dan
Berkeadilan“. Visi ini dituangkan menjadi 4 misi yaitu :

1. .Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat, termasuk


swasta dan masyarakat madani,
2. Melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin tersedianya upaya kesehatan yang
paripurna, merata, bermutu dan berkeadilan,
3. menjamin ketersediaan dan pemerataan sumberdaya kesehatan,
4. Menciptakan tata kelola keperintahan yang baik.

Visi dan Misi ini akan diwujudkan melalui 6 Rencana Strategi Tahun 2010 – 2014, yaitu:
1. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat, swasta dan masyarakat madani dalam
pembangunan kesehatan melalui kerjasama nasional dan global
2. Meningkatkan pelayanan kesehatan yang merata, bermutu dan berkeadilan, serta berbasis
bukti,: dengan pengutamaan pada upaya promotif dan preventif
3. MEningkatkan pembiayaan pembangunan kesehatan, terutama untuk mewujudkan jaminan
social kesehatan nasional
4. Meningkatkan pengembangan dan pendayagunaan SDM kesehatan yang merata dan bermutu
5. Meningkatkan ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat dan alat kesehatan serta
menjamin keamanan, khasiat, kemanfaatan, dan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan dan
makanan
6. Meningkatkan manajemen kesehatan yang akuntabel, transparan, berdayaguna dan
berhasilguna untuk memantapkan desentralisasi kesehatan yang bertanggung jawab.

JAMPERSAL
Menteri Kesehat an akhirnya mengeluarkan petunjuk teknis (juknis) mengenai jaminan
persalinan (jampersal). Juknis ini tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia nomor 631/Menkes/per/ iii/2011 Tentang Petunjuk Teknis Jaminan Persalinan.
Diterbitkannya Petunjuk Teknis Jaminan Persalinan ini untuk digunakan sebagai acuan
penyelenggaraan program Jaminan Persalinan. Petunjuk Teknis ini merupakan bagian tak
terpisahkan dari Pedoman Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas).
Petunjuk Teknis ini telah disusun bersama-sama secara lintas sektor dan lintas program serta
masukan dari ikatan profesi dan pelaksana program di daerah. “Kepada semua pihak yang
memberikan kontribusinya saya ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya. Semoga petunjuk
teknis ini bermanfaat dalam mendukung upaya kita untuk mewujudkan masyarakat sehat yang
mandiri dan berkeadilan.
Sebagaimana diketahui, dalam rangka mempercepat pencapaian tujuan pembangunan kesehatan
nasional serta Millennium Development Goals (MDGs), pada tahun 2011 Kementerian
Kesehatan meluncurkan kebijakan jampersal.
Dari beberapa pencapaian tujuan pembangunan kesehatan nasional serta MDGs, pihaknya
menghadapi berbagai hal yang multi kompleks seperti masalah budaya, pendidikan masyarakat,
pengetahuan, lingkungan, kecukupan fasilitas kesehatan, sumberdaya manusia dan lainnya.
Penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan tantangan
yang lebih sulit dicapai dibandingkan target MDGs lainnya
Oleh karena itu, upaya penurunan AKI tidak dapat lagi dilakukan dengan intervensi biasa,
diperlukan upaya-upaya terobosan serta peningkatan kerjasama lintas sektor untuk mengejar
ketertinggalan penurunan AKI agar dapat mencapai target MDGs.
Salah satu faktor yang penting adalah perlunya meningkatkan akses masyarakat terhadap
persalinan yang sehat dengan cara memberikan kemudahan pembiayaan kepada seluruh ibu
hamil yang belum memiliki jaminan persalinan.
Jaminan Persalinan ini diberikan kepada semua ibu hamil agar dapat mengakses pemeriksaan
persalinan, pertolongan persalinan, pemerikasaan nifas dan pelayanan KB oleh tenaga kesehatan
di fasilitas kesehatan sehingga pada gilirannya dapat menekan angka kematian ibu dan bayi.

JAMKESMAS

Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) adalah program pelayanan kesehatan gratis bagi
masyarakat miskin yang sebelumnya disebut Asuransi Kesehatan untuk Masyarakat Miskin
(Askeskin).
Program yang dimulai pada tahun 2008 ini dilanjutkan pada tahun 2009 karena (menurut
pemerintah) terbukti meningkatkan akses rakyat miskin terhadap layanan kesehatan gratis.
Program itu nantinya terintegrasi atau menjadi bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional yang
bertujuan memberi perlindungan sosial dan kesehatan bagi seluruh lapisan masyarakat. Jika
Sistem Jaminan Sosial Nasional(SJSN) efektif diterapkan di Indonesia, program Jamkesmas
akan disesuaikan dengan sistem itu. Salah satunya, pengaturan proporsi iuran pemerintah pusat
dan daerah untuk pembiayaan pemeliharaan kesehatan rakyat miskin.
–o–

Strategi kesehatan di Indonesia:


► Mewyjudkan komitmen pembangunan kesehatan
► Meningkatkan pertanggungjawaban dan pertanggunggugatan
► Membina sistem kesehatan dan sistem hukum di bidang kesehatan
► Mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan
► Melaksanakan jejaring pembangunan kesehatan
Dr. Wasis Budiarto, MS menyatakan perubahan paradigma sentralisasi menjadi desentralisasi
memberikan konsekuensi terhadap pergeseran orientasi pelayanan dari kuratif-rehabilitatif
menjadi preventif-promotif, pendekatan fisik organik menjadi pendekatan paradigma sehat yang
holistik dengan pendekatan masyarakat, pasif-reaktif dan individual centered menjadi proaktif
dan community centered. Lebih lanjut dikemukakan, perubahan paradigma pelayanan kesehatan
juga berdampak pada terjadinya pergeseran orientasi pembiayaan dan anggaran kesehatan.
Semula berorientasi pada pembiayaan out of pocket ke sistem prabayar dan asuransi. Terlihat
bahwa sistem kesehatan sekarang ini merupakan sistem yang terintegrasi antara pelayanan,
pembiayaan, jaminan mutu (quality assurance) dan pengendalian biaya (cost containment).

PEMBANGUNAN BERWAWASAN KESEHATAN

4. Promotif
• Meningkatkan pengetahuan
• Menjaga stamina tubuh
• Menu seimbang
5. Preventif
• Imunisasi
• Hygiene
• Lingkungan
• Amdal
• Taat lalu lintas
• Keselamatan kerja
6. Kuratif
• Pengobatan
• Rehabilitasi

STRATEGI
5. Menggerakan dan memberdayakan masyarakat
6. Meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan kesehatan yang berkualitas
7. Meningkatkan system survey lens, monitoring, dan informasi kesehatan
8. Meningkatkan pembiayaan kesehatan

GRAND STRATEGI DEPKES


1. Meningkatkan system survey, monitoring dan informasi kesehatan
2. Menggerakan dan memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat
3. Meningkatkan pembiayaan kesehatan
4. Meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas

Menggerakan dan memberdayakan masy arakat untuk hidup sehat


1. Seluruh desa menjadi desa siaga
2. Seluruh masyarakat berperilaku hidup bersih dan sehat
3. Seluruh keluarga sadar gizi

Meningkatkan akses Masy rakat terhadap pelayan an kesehatan


1. Setiap orang miskin mendapat yan kes yang bermutu
2. Setiap bayi,anak,bumil,dan kelompok masy resti terlindungi dari penyakit
3. Di setiap desa tersedia SDM yang kompeten
4. Di setiap desa cukup tersedia obat essensial dan ala kesehatan dasar
5. Setiap puskesmas dapat menjangkau wil kerjanya
6. Yan kes disetiap tempat memenuhi standar mutu

Meningkatkan sistem Survey, monitoring Informasi kesehatan


1. Setiap KLB harus dilaporkan secara tepat
2. Setiap insiden penyakit harus masuk pada RR
3. Semua sediaan farmasi, makanan & perbekalan kesehatan memenuhi syarat kesehatan
4. Terkendalinya pencemaran lingkungan sesuai standart
5. Berfungsinya sistem informasi kesehatan yang on line di seluruh Indonesia

Menigkatkan pembiayaan kesehatan


1. Pembangunan kesehatan hrs memperoleh preoritas pemerintah Pusat dan Daerah
2. Anggaran kesehatan dipreoritaskan untuk promotif dan preventif
3. Terciptanya JPKM terutama bagi rakyat miskin

E. Perubahan Paradigma Sehat


Berdasarkan pemahaman situasi dan adanya perubahan terhadap konsep sehat –sakit serta makin
kayanya khasanah ilmu pengetahuan dan informasi tentang determinan kesehatan yang bersifat
multifaktural, telah mendorong pembangunan kesehatan nasional kearah paradigma baru, yaitu
pardigma sehat
Paradigma adalah pemikiran dasar sehat, berorientasi pada peningkatan dan perlindungan
penduduk sehat dan bukan hanya penyembuhan orang sakit, sehingga kebijakan lebih ditekankan
pada upaya promotif dan preventif dengan maksud melindungi dan meningkatkan orang sehat
menjadi lebih sehat dan lebihn produktif serta tidak jatuh sakit karena adanya upaya preventif.
Sehingga perlu diupayakan semua polecy pemerintah selalu berwawasan kesehatan dengan
mottonya menjadi “ Pembangunan Berwawasan Kesehatan”
Paradigma sehat diharapkan menjadi suatu cara pandang “ baru “ masyarakat yang merupakan
perubahan pandang terhadap konsep sehat sakit. Paradigma sehat dijadikan sebagai suatu
komitmen
gerakan nasional segenap masyarakat sehingga betul-betul kesehatan menjadi tanggung jawab
bersama (shared responsibility) yang mengacu pada prinsip-pronsip kemitraan ( partner ship).
Menggunakan paradigma sehat maka segenap masyarakat bersama pemerintah
menyelenggarakan pembangunan yang berwawasan kesehatan agar terwujud “ INDONESIA
SEHAT TAHUN 2010”.
Wujud nyata para digma sehat
Merealisasikan visi Indonesia Sehat tahun 2010 yaitu :
gambaran masa depan masyarakat Indonesia yang akan dicapai melalui penyelenggarakan
pembangunan kesehatan yakni :
1. Masyarakat bangsa dan negara yang ditandai dengan penduduknya hidup dalam lingkungan
yang sehat.
2. Berperilaku hidup bersih dan sehat
3. Mampu menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil
dan merata
4. memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya di seluruh
wilayah Indonesia
PILAR UTAMA UNTUK MENOPANG VISI INDONESIA SEHAT
• Lingkungan yang kondusif bagi masyarakat untuk berperilaku hidup bersih dan sehat
• Perilaku hidup bersih dan sehat setiap anggota masyarakat
• Tersedianya pelayanan kesehatan yang bermutu sesuai yang dibutuhkan
• Masyarakat mempunyai kemampuan untuk mengakses pelayanan kesehatan tanpa terpengaruh
faktor sosial ekonomi maupun non ekonomi

UU No 32-33 2004 yaitu tentang :


1. Regulasi Nasional
2. Regulaso Provinsi
3. Regulasi Daerah
Yang membahas tengtang fungsi puskesmas yang bertujuan untuk memberikan pelayanan yang
bermutu, perilaku hidup sehat, dan lingkungan sehat.
Fungsi puskesmas :
1. Pusat kesehatan berwawasan kesehatan
2. Pusat pemberdayaan keluarga
3. Pusat pelayanan kesehatan setara yaitu : Yankesmas dan yankes perorangan

PENUTUP

KESIMPULAN

Dalam menjalankan program pembangunan di bidang kesehatan pemerintah menjalankan misi


dan visi di bidang kesehatan dan merubah paradigm kesehatan dari kuratif dan rehabilitative
bergeser menjadi preventif dan edukatif dan paradigm kesehatan juga diubah dari sentralisasi
menjadi disentralisasi, sehingga tidak terpusat oleh pemerintah pusat tetapi diserahkan kepada
masing-masing daerah karena tiap-tiap daerah mempunyai problem masing-masing.
Hal ini bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat,serta menurunkan angka
kematian ibu dan anak yang biasanya terjadi ketika ibu melahirkan, oleh karena itu pemerintah
meluncurkan program jampersal dan jamkesmas yang diharapkan dapat menurunkan angka
kematian dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
BAB I
PENDAHULUAN

1. A. Latar Belakang
Dalam Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, pada pasal 5 ayat (1) menegaskan bahwa
setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan.
Selanjutnya pada ayat (2) ditegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan
yang aman, bermutu, dan terjangkau. Kemudian pada ayat (3) bahwa setiap orang berhak secara mandiri dan
bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya. Selanjutnya pada pasal 6
ditegaskan bahwa setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat kesehatan.
Untuk menjamin terpenuhinya hak hidup sehat bagi seluruh penduduk termasuk penduduk miskin dan tidak mampu,
pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan sumber daya di bidang kesehatan yang adil dan merata bagi seluruh
masyarakat untuk memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

Oleh sebab itu di awal tahun 2011, Pemerintah melalui Kementrian Kesehatan RI mencanangkan suatu kebijakan
yang tertuang dalam program Jaminan Persalinan (Jampersal). Program ini dibuat guna membantu dalam
pencapaian tujuan Pembangunan Kesehatan Nasional serta Millennium Development Goals (MDGs) tahun 2015.
Salah satu dari tujuan Pembangunan Kesehatan Nasional yang terkait dengan program Jampersal ini adalah
Penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB).

Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia masih cukup tinggi dibandingkan
dengan negara ASEAN lainnya. Menurut data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007, AKI 228
per 100.000 kelahiran hidup, AKB 34 per 1000kelahiran hidup, Angka Kematian Neonatus (AKN) 19 per 1000
kelahiran hidup. Berdasarkan kesepakatan global (Millenium Develoment Goals/MDG’s 2000) pada tahun 2015,
diharapkan angka kematian ibu menurun dari 228 pada tahun 2007 menjadi 102 per 100.000 KH dan angka
kematian bayi menurun dari 34 pada tahun 2007 menjadi 23 per 1000 KH.

Upaya penurunan AKI harus difokuskan pada penyebab langsung kematian ibu, yang terjadi 90% pada saat
persalinan dan segera setelah pesalinan yaitu perdarahan (28%), eklamsia (24%), infeksi (11%), komplikasi
pueperium 8%, partus macet 5%, abortus 5%, trauma obstetric 5%, emboli 3%, dan lain-lain 11% (SKRT 2001).

Kematian ibu juga diakibatkan beberapa faktor resiko keterlambatan (Tiga Terlambat), di antaranya terlambat dalam
pemeriksaan kehamilan, terlambat dalam memperoleh pelayanan persalinan dari tenaga kesehatan, dan terlambat
sampai di fasilitas kesehatan pada saat dalam keadaan emergensi. Salah satu upaya pencegahannya adalah
melakukan persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan.

Oleh karena itu, upaya penurunan AKI dan AKB tidak dapat lagi dilakukan dengan intervensi biasa, diperlukan
upaya-upaya terobosan serta peningkatan kerjasama lintas sektor untuk mengejar ketertinggalan penurunan AKI dan
AKB, agar dapat mencapai target MDGs. Salah satu indikasi yang penting adalah perlunya meningkatkan akses
masyarakat terhadap persalinan yang sehat dengan cara memberikan kemudahan pembiayaan kepada seluruh ibu
hamil yang belum memiliki jaminan persalinan.

Sasaran peserta dari program Jampesal ini ialah ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas (pasca melahirkan sampai 42 hari)
dan bayi baru lahir (0-28 hari) yang belum memiliki jaminan biaya kesehatan.
Pelayanan Jampersal ini meliputi pemeriksaan kehamilan ante natal care (ANC), pertolongan persalinan,
pemeriksaan post natal care (PNC) oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan pemerintah (Puskesmas dan
jaringannya), fasilitas kesehatan swasta yang tersedia fasilitas persalinan (Klinik/Rumah Bersalin, Dokter Praktik,
Bidan Praktik) dan yang telah menanda-tangani Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan Tim Pengelola Jamkesmas
Kabupaten/Kota. Selain itu, pemeriksaan kehamilan dengan risiko tinggi dan persalinan dengan penyulit dan
komplikasi dilakukan secara berjenjang di Puskesmas dan RS berdasarkan rujukan.

Sumber pendanaan program Jampersal berasal dari dana APBN yang dituangkan dalam satu DIPA bergabung
dengan program Jamkesmas. Jamkesmas dananya untuk tahun 2011 ini mencapai Rp6,3 triliun, dan dari jumlah itu
sebesar Rp1,2 triliun digunakan untuk program Jampersal.

1. B. Tujuan
2. Tujuan umum
Untuk mengetahui gambaran jaminan persalinan

1. Tujuan khusus
A. Untuk mengetahui Pengertian Jaminan Persalinan
B. Untuk mengetahui Tujuan Jaminan Persalinan
C. Untuk mengetahui Sasaran Jaminan Persalinan
D. Untuk mengetahui Kebijakan Operasional Jampersal
e. Untuk mengetahui Manfaat Jaminan Persalinan

f. Untuk mengetahui Pendanaan Jaminan Persalinan

1. Untuk mengetahui Pengorganisasian Jaminan Persalinan


2. C. Manfaat
A. Manfaat praktis
Diharapkan makalah ini dapat menjadi sumber informasi terbaru untuk para analis dalam melakukan penelitian
dan juga pihak terkait agar dapat membuat program-program yang akurat untuk mengatasi masalah Jampersal.

1. Manfaat keilmuan
Diharapkan dapat menjadi kajian dan acuan serta bahan bacaan dalam studi literatur dalam konteks penelitian.

1. Manfaat bagi penulis


Penulis dapat menambah wawasan tentang penyakit pada industri maju dan mampu mempelajari serta mancari tahu
atau dapat meneliti hal-hal yang dianggap dapat berhubungan dengan Jampersal.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. A. PENGERTIAN JAMINAN PERSALINAN


Jaminan Persalinan adalah jaminan pembiayaan pelayanan persalinan yang meliputi pemeriksaan kehamilan,
pertolongan persalinan, pelayanan nifas termasuk pelayanan KB paska persalinan dan pelayanan bayi baru lahir.
Dan dasar hukum dari jaminan persalinan yaitu Permenkes RI NO 2562/ MENKES / PER / XII / 2011 tentang
Petunjuk Teknis Jaminan Persalinan.

1. B. TUJUAN JAMINAN PESALIANAN


A. a. Tujuan umum
Jaminan Persalinan mempunyai tujuan untuk menjamin akses pelayanan persalinan yang dilakukan oleh dokter atau
bidan dalam rangka menurunkan AKI dan AKB.

1. b. Tujuan khusus
A. Meningkatkan cakupan pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, dan pelayanan nifas ibu oleh tenaga
kesehatan.
B. Meningkatkan cakupan pelayanan bayi baru lahir oleh tenaga kesehatan.
C. Meningkatkan cakupan pelayanan KB pasca persalinan.
D. Meningkatkan cakupan penanganan komplikasi ibu hamil, bersalin, nifas, dan bayi baru lahir.
E. Terselenggaranya pengelolaan keuangan yang efisien, efektif, transparan, dan akuntabel.

1. C. SASARAN JAMINAN PERSALINAN


Sasaran yang dijamin Jampersal :

1. Ibu hamil.
2. Ibu bersalin.
3. Ibu nifas (pasca melahirkan – 42 hari).
4. Bayi baru lahir (0-28 hari).

1. D. KEBIJAKAN OPERASIONAL
A. Pengelolaan Jaminan Persalinan di setiap jenjang pemerintahan (pusat, provinsi, dan kabupaten/ kota) menjadi satu
kesatuan dengan pengelolaan Jamkesmas dan Bantuan Operasional Kesehatan (BOK).
B. Pengelolaan kepesertaan Jaminan Persalinan merupakan perluasan kepesertaan dari program Jamkesmas yang
mengikuti tata kelola kepesertaan dan manajemen Jamkesmas, namun dengan kekhususan dalam hal penetapan
pesertanya.
C. Peserta program Jaminan Persalinan adalah seluruh sasaran yang belum memiliki jaminan persalinan.
D. Peserta Jaminan Persalinan dapat memanfaatkan pelayanan di seluruh jaringan fasilitas pelayanan kesehatan tingkat
pertama dan tingkat lanjutan (Rumah Sakit) di kelas III yang memiliki Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan Tim
Pengelola Jamkesmas dan BOK Kabupaten/Kota.
E. Pelaksanaan pelayanan Jaminan Persalinan mengacu pada standar pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA).
F. Pelayanan Jaminan Persalinan diselenggarakan dengan prinsip Portabilitas, Pelayanan terstruktur berjenjang
berdasarkan rujukan.
G. Untuk pelayanan paket persalinan tingkat pertama di fasilitas kesehatan pemerintah (Puskesmas dan Jaringannya)
didanai berdasarkan usulan POA Puskesmas.
H. Untuk pelayanan paket persalinan tingkat pertama di fasilitas kesehatan swasta dibayarkan dengan mekanisme
klaim. Klaim persalinan didasarkan atas tempat (lokasi wilayah) pelayanan persalinan dilakukan.

1. E. RUANG LINGKUP JAMINAN PERSALINAN


Pelayanan persalinan dilakukan secara terstruktur dan berjenjang berdasarkan rujukan. Ruang lingkup pelayanan
jaminan persalinan terdiri dari:

1. a. Pelayanan Persalinan Tingkat Pertama


Pelayanan persalinan tingkat pertama adalah pelayanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan yang berkompeten dan
berwenang memberikan pelayanan pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, pelayanan nifas termasuk KB
pasca persalinan, pelayanan bayi baru lahir, termasuk pelayanan persiapan rujukan pada saat terjadinya komplikasi
(kehamilan, persalinan, nifas dan bayi baru lahir) tingkat pertama.
Pelayanan tingkat pertama diberikan di Puskesmas dan Puskesmas PONED ( Adalah Puskesmas yang mempunyai
kemampuan dalam memberikan pelayanan obstetri (kebidanan) dan neonatus emergensi dasar) serta jaringannya
termasuk Polindes dan Poskesdes, fasilitas kesehatan swasta yang memiliki Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan
Tim Pengelola Kabupaten/Kota.

Jenis pelayanan Jaminan persalinan di tingkat pertama meliputi:

1. Pemeriksaan kehamilan
2. Pertolongan persalinan normal
3. Pelayanan nifas, termasuk KB pasca persalinan
4. Pelayanan bayi baru lahir
5. Penanganan komplikasi pada kehamilan, persalinan, nifas dan bayi baru lahir

1. b. Pelayanan Persalinan Tingkat Lanjutan


Pelayanan persalinan tingkat lanjutan adalah pelayanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan spesialistik, terdiri
dari pelayanan kebidanan dan neonatus kepada ibu hamil, bersalin, nifas, dan bayi dengan risiko tinggi dan
komplikasi, di rumah sakit pemerintah dan swasta yang tidak dapat ditangani pada fasilitas kesehatan tingkat
pertama dan dilaksanakan berdasarkan rujukan, kecuali pada kondisi kedaruratan.
Pelayanan tingkat lanjutan diberikan di fasilitas perawatan kelas III di Rumah Sakit Pemerintah dan Swasta yang
memiliki Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan Tim Pengelola Kabupaten/Kota.

Jenis pelayanan Persalinan di tingkat lanjutan meliputi:

1. Pemeriksaan kehamilan dengan risiko tinggi (RISTI) dan penyulit.


2. Pertolongan persalinan dengan RISTI dan penyulit yang tidak mampu dilakukan di pelayanan tingkat pertama.
3. Penanganan komplikasi kebidanan dan bayi baru lahir di Rumah Sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan yang
setara.

1. F. PAKET MANFAAT JAMINAN PERSALINAN


Peserta jaminan persalinan mendapatkan manfaat pelayanan yang meliputi:

1. Pemeriksaan kehamilan (ANC)


Pemeriksaan kehamilan (ANC) dengan tata laksana pelayanan mengacu
pada buku Pedoman KIA. Selama hamil sekurang-kurangnya ibu hamil
diperiksa sebanyak 4 kali dengan frekuensi yang dianjurkan sebagai
berikut:

- 1 kali pada triwulan pertama

- 1 kali pada triwulan kedua.

- 2 kali pada triwulan ketiga

1. Persalinan normal
2. Pelayanan nifas normal, termasuk KB pasca persalinan
3. Pelayanan bayi baru lahir normal
4. Pemeriksaan kehamilan pada kehamilan risiko tinggi
5. Pelayanan pasca keguguran
6. Persalinan per vaginam dengan tindakan emergensi dasar
7. Pelayanan nifas dengan tindakan emergensi dasar
8. Pelayanan bayi baru lahir dengan tindakan emergensi dasar
9. Pemeriksaan rujukan kehamilan pada kehamilan risiko tinggi
10. Penanganan rujukan pasca keguguran
11. Penanganan kehamilan ektopik terganggu (KET)
12. Persalinan dengan tindakan emergensi komprehensif
13. Pelayanan nifas dengan tindakan emergensi komprehensif
14. Pelayanan bayi baru lahir dengan tindakan emergensi komprehensif
15. Pelayanan KB pasca persalinan.

Tatalaksana PNC dilakukan sesuai dengan buku pedoman KIA.Ketentuan pelayanan pasca persalinan meliputi
pemeriksaan nifas minimal 3 kali.
Pada pelayanan pasca nifas ini dilakukan upaya KIE/Konseling untukmemastikan seluruh ibu pasca bersalin atau
pasangannya menjadi akseptor KB yang diarahkan kepada kontrasepsi jangka panjang seperti alat kontrasepsi dalam
rahim (AKDR) atau kontrasepsi mantap/kontap (MOP dan MOW) untuk tujuan pembatasan dan IUD untuk tujuan
penjarangan, secara kafetaria disiapkan alat dan obat semua jenis kontrasepsi oleh BKKBN.

Agar tujuan tersebut dapat tercapai, perlu dilakukan koordinasi yang sebaik-baiknya antara tenaga di fasilitas
kesehatan/pemberi layanan dan Dinas Kesehatan selaku Tim Pengelola serta SKPD yang menangani masalah
keluarga berencana serta BKKBN atau (BPMP KB) Propinsi.

1. G. PENDANAAN JAMINAN PERSALINAN


A. a. Ketentuan Umum Pendanaan
Pendanaan Jamkesmas di pelayanan dasar dan Jaminan Persalinan merupakan belanja bantuan sosial bersumber dari
dana APBN yang dimaksudkan untuk mendorong percepatan pencapaian MDGs pada tahun 2015, sekaligus
peningkatan kualitas pelayanan kesehatan termasuk persalinan oleh tenaga kesehatan difaslitas kesehatan, sehingga
pengaturannya tidak melalui mekanisme APBD, dengan demikian tidak langsung menjadi pendapatan daerah.

1. b. Sumber dan Alokasi Dana


A. 1. Sumber dana
Dana Jaminan Persalinan bersumber dari APBN Kementerian Kesehatan yang dialokasikan pada Daftar Isian
Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Sekretariat Ditjen Bina Upaya KesehatanKementerian Kesehatan.

1. 2. Alokasi dana
Alokasi dana Jaminan Persalinan di Kabupaten/Kota diperhitungkan berdasarkan perkiraan jumlah sasaran yang
belum memiliki jaminan persalinan di daerah tersebut dikalikan besaran biaya paket pelayanan persalinan tingkat
pertama.

1. c. Penyaluran dana
Dana untuk pelayanan Jamkesmas termasuk Jampersal merupakan satu kesatuan (secara terintegrasi) disalurkan
langsung dari Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Jakarta V ke:
1. Rekening Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota sebagai penanggung jawab Pengelolaan Jamkesmas di
wilayahnya.
2. Rekening Rumah Sakit untuk Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan (pemerintah dan swasta).

1. d. Pengelolaan Dana
Agar penyelenggaraan Jamkesmas termasuk Jaminan Persalinan terlaksana secara baik, lancar, transparan dan
akuntabel, pengelolaan dana tetap memperhatikan dan merujuk pada ketentuan pengelolaan keuangan yang berlaku.
1. Pengelolaan dana jamkesmas dan jaminan persalinan di pelayanan dasar
Pada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dibentuk Tim Pengelola Jamkesmas tingkat Kabupaten/Kota. Tim ini
berfungsi dan bertanggung dalam pelaksanaan penyelenggaraan Jamkesmas di wilayahnya. Salah satu tugas dari
Tim Pengelola Jamkesmas adalah melaksanakan pengelolaan keuangan Jamkesmas yang meliputi penerimaan dana
dari Pusat, verifikasi atas klaim, pembayaran, dan pertanggungjawaban klaim dari fasilitas kesehatan Puskesmas dan
lainnya.

1. Pengelolaan dana pada fasilitas kesehatan lanjutan


Pengelolaan dana pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan dilakukan mulai dari persiapan pencairan dana,
pencairan dana, penerimaan dana, dan pertanggungjawaban dana. Adapun pengelolaan dana pada Fasilitas
Kesehatan Tingkat Lanjutan adalah sebagai berikut :

1. Dana pelayanan Jamkesmas dan Jaminan Persalinan dipelayanan kesehatan lanjutan disalurkan ke rekening Fasilitas
Kesehatan Tingkat Lanjutan dalam satu kesatuan (terintegrasi).
2. Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan (Rumah Sakit/Balai Kesehatan) membuat laporan pertanggungjawaban/klaim
dengan menggunakan INA-CBGs.
3. Selanjutnya Laporan pertanggungan jawaban/klaim tersebut sebagaimana dimaksud angka 3 (tiga) dilaksanakan
sebagaimana pertanggungjawaban yang selama ini telah berjalan di Rumah Sakit (sesuai pengaturan sebelumnya).
4. Sesuai dengan ketentuan pengelolaan keuangan negara, Jasa Giro/Bunga Bank harus disetorkan oleh Rumah Sakit
ke KasNegara.
5. Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan mengirimkan secara resmi laporan pertanggungjawaban/klaim dana
Jamkesmas dan Jaminan Persalinan terintegrasi kepada Tim Pengelola Jamkesmas Pusat dan tembusan kepada Tim
Pengelola Jamkesmas Kabupaten/kota dan Provinsi sebagai bahan monitoring, evaluasi dan pelaporan.
6. Seluruh berkas dokumen pertanggungjawaban dana disimpan oleh Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan untuk
bahan dokumen kesiapan audit kemudian oleh Aparat Pengawas Fungsional (APF)

1. e. Kelengkapan Pertanggungjawaban/Klaim
Pertanggungjawaban klaim pelayanan Jaminan Persalinan dari fasilitas kesehatan tingkat pertama ke Tim Pengelola
Kabupaten/Kota dilengkapi:

1. Fotokopi lembar pelayanan pada Buku KIA sesuai pelayanan yang diberikan untuk Pemeriksaan kehamilan,
pelayanan nifas, termasuk pelayanan bayi baru lahir dan KB pasca persalinan. Apabila tidak terdapat buku KIA pada
daerah setempat dapat digunakan bukti-bukti yang syah yang ditandatangani ibu hamil/bersalin dan petugas yang
menangani. Tim Pengelola Kabupaten/Kota menghubungi Pusat (Direktorat Kesehatan Ibu) terkait ketersediaan
buku KIA tersebut.
2. Partograf yang ditandatangani oleh tenaga kesehatan penolong persalinan untuk Pertolongan persalinan.
3. Fotokopi/tembusan surat rujukan, termasuk keterangan tindakan pra rujukan yang telah dilakukan di tandatangani
oleh ibu hamil/ibu bersalin.
4. Fotokopi identitas diri (KTP atau identitas lainnya) dari ibu hamil/yang melahirkan.

1. f. Pemanfaatan dana di puskesmas, bidang praktek dan swasta lainya.


A. Dana jamkesmas dan dana persalinan terintegrasi dan merupakan dana belanja bantuan sosial yang diperuntukkan
untuk pelayanan kesehatan peserta Jamkesmas dan pelayanan persalinan bagi seluruh ibu hamil/bersalin yang
membutuhkan.
B. Setelah dana tersebut disalurkan pemerintah melalui SP2D ke rekening Kepala Dinas Kesehatan sebagai
penanggungjawab program, maka status dana tersebut berubah menjadi dana masyarakat ( sasaran ), yang ada di
rekening dinas kesehatan.

1. H. PENGORGANISASIAN
Pengorganisasian kegiatan Jaminan Persalinan dimaksudkan agar pelaksanaan manajemen kegiatan Jaminan
Persalinan dapat berjalan secara efektif dan efisien. Pengelolaan kegiatan Jaminan Persalinan dilaksanakan secara
bersama-sama antara pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. Dalam pengelolaan Jaminan
Persalinan dibentuk Tim Pengelola di tingkat pusat, tingkat provinsi, dan tingkat kabupaten/kota. Pengelolaan
kegiatan Jaminan Persalinan terintegrasi dengan kegiatan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan BOK.

Pengorganisasian manajemen Jamkesmas dan BOK terdiri dari:

1. Tim Koordinasi Jamkesmas dan BOK (bersifat lintas sektor), sampai tingkat kabupaten/kota.
2. Tim Pengelola Jamkesmas dan BOK (bersifat lintas program), sampaitingkat kabupaten/kota

BAB III
PENUTUP

1. A. KESIMPULAN
Kebijakan Jaminan Persalinan diselenggarakan dengan maksud untuk mempermudah akses ibu hamil dalam
mendapatkan pelayanan ANC dan pertolongan persalinan yang hygienis oleh tenaga kesehatan yang terlatih baik
persalinan normal maupun dengan penyulit. Hal ini dilakukan untuk mengatasi hambatan biaya persalinan yang
sering rmenjadi masalah pada kelompok masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah. Jaminan
persalinan sesungguhnya merupakan perluasan kepesertaan dan manfaat Jamkesmas kepada ibu hamil, bersalin dan
ibu dalam masa nifas yang belum mempunyai jaminan persalinan
DAFTAR PUSTAKA

http://mediabidan.com/ruang-lingkup-jaminan-persalinan/
http://dinkes.jatimprov.go.id/contentdetail/12/2/132/jaminan_persalinan_jampersal.html
http://dinkes.bantulkab.go.id/berita/baca/2012/04/23/084644/program-jaminan-persalinan-jampersal-kabupaten-
bantul-tahun-2012
http://sehatnegeriku.com/mengupas-kebijakan-jaminan-persalinan/
http://www.gizikia.depkes.go.id/wp-content/uploads/2011/05/Buku-Juknis-Jampersal_Final_versi-cetak1.pdf
http://www.depkes.go.id/downloads/PERATURAN_MENTERI_KESEHATAN_JUKNIS_JAMPERSAL.pdf
http://agus34drajat.files.wordpress.com/2010/10/buku-saku-jampersal1.pdf

Program Jampersal (Definisi, Fungsi & Manfaat)

Selama ini mungkin kita sudah terbiasa "pesimis" dengan segala macam bentuk program pemerintah :).
Wajar ini terjadi karena memang ada banyak contoh yang tidak berjalan sesuai rencana. Entah itu
hanya menjadi slogan atau hanya dinikmati sebagian kalangan.

Tapi tidak semuanya seperti itu, bilapun ada kekurangan disana-sini masih bisa dimaklumi karena toh
tak ada yang sempurna di dunia ini :). Salah contoh program pemerintah yang sangat mulia dan telah
berjalan cukup baik adalah program Jampersal.

Apakah program Jampersal itu ? (sumber: www.kesehatanibu.depkes.go.id)Jampersal adalah


singkatan dari jaminan persalinan, sebuah program dari Departemen Kesehatan berdasarkan Permenkes
No.252 / Menkes / Per / XII / 2011 tentang Petunjuk teknis jaminan persalinan. Kegiatan Jampersal
secara resmi dilaksanakan di seluruh Indonesia sejak Januari 2012.

Pengertian umum dari program Jampersal adalah program pemeriksaan kehamilan


(antenatal), persalinan dan pemeriksaan masa nifas (postnatal ) bagi seluruh ibu hamil yang
belum mempunyai jaminan kesehatan serta bayi yang dilahirkannya pada fasilitas kesehatan yang
bekerjasama dengan program jaminan persalinan terintegrasi dengan program JAMKESMAS. (sumber:
www.jamsosindonesia.com)

Apakah tujuan program Jampersal ? Tujuan program ini warcoff jadikan satu sebagai berikut :
 Meningkatkan akses pemeriksaan kehamilan (antenatal), persalinan, dan pelayanan nifas dan bayi baru lahir yang

dilahirkannya (postnatal) yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dengan menghilangkan hambatan finansial dalam

rangka menurunkan AKI dan AKB.


 Memberikan kemudahan akses pemeriksaan kehamilan (antenatal), persalinan, dan pelayanan nifas ibu, dan bayi

baru lahir yang dilahirkannya (postnatal) ke tenaga kesehatan

 Mendorong peningkatan pemeriksaan kehamilan (antenatal), persalinan, dan pelayanan nifas ibu dan bayi baru

lahir (postnatal) ke tenaga kesehatan.

 Dengan dukungan Jampersal diharapkan makin mengurangi hambatan finansial yang dihadapi masyarakat yang

selama ini tidak memiliki jaminan pembiayaan persalinan, agar mereka dapat mengakses pelayanan kesehatan ibu

yang berkualitas, dalam upaya percepatan penurunan Angka Kematian Ibu di Indonesia.

Apa saja bentuk layanan dari Jampersal ? Bentuk pelayanan jampersal pada intinya tidak hanya
meliputi pelayanan persalinan tapi juga termasuk dengan ketersediaan fasilitas kesehatan seperti
puskesmas, bidan swasta, rumah sakit pemerintah/swasta, rumah bersalin dan sejenisnya yang telah
bekerjasama dengan pihak terkait. (untuk lebih jelas bisa dilihat disini)

Bagaimana contoh penerapan di daerah ? Di Palembang sendiri program ini telah berjalan cukup baik
dan sudah banyak dirasakan manfaatnya secara langsung oleh masyarakat. Contohnya adik warcoff yang
beberapa bulan lagi melahirkan. Dimana persyaratan untuk mendapatkan layanan Jampersal ini tidak
rumit cuma melengkapi prosedur berikut :
 KTP

 KK

 Surat keterangan lurah

 Surat periksa puskesmas


Dan sudah ada kerjasama dengan beberapa rumah sakit swasta, bidan swasta, klinik bersalin, etc
sehingga penerapan program ini di Palembang bisa berjalan sesuai yang diharapkan. Tapi perlu
diketahui jika program Jampersal ini diutamakan untuk kelahiran anak pertama dan kedua saja, jadi
untuk kelahiran anak ketiga dan seterusnya tidak diprioritaskan untuk mendapatkan Jampersal hehe.

Secara keseluruhan program Jampersal ini sangat bermanfaat terutama bagi kalangan menengah ke
bawah dan harapan kita semua tentu program ini dijauhkan dari segala macam bentuk
korupsi/penyalahgunaan hingga bisa langgeng dan secara maksimal bisa dirasakan oleh masyarakat yang
membutuhkan. Semoga manfaat :).
MAKALAH ASKEB III NIFAS
TENTANG
TARGET PENCAPAIAN MDGS UNTUK PENURUNAN AKI
DI INDONESIA
Mata kuliah :Askeb III Nifas

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan hidayah-
Nya makalah ini dapat terselesaikan.
Makalah Kesehatan ibu dan anak adalah syarat untuk memenuhi salah satu tugas di Akademi
Kebhidanan Wahana Husada Bandar Jaya Terbanggi Besar Lampung Tengah. Makalah ini
terwujud berkat bantuan, pengarahan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis
mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini penulis masih banyak kesalahan dan
kekurangan jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga makalah yang
sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Bandar Jaya, 30 September 2011

Penyusun

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................
KATA PENGNTAR........................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang .........................................................................1
Tujuan........................................................................................1
BAB II LANDASAN TEORI
Status pencapaian MDGs di Indonesia
Tujuan MDGs

BAB III PENUTUP…………………………………………………….10


BAB IV DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

1.LatarBelakang

Saat ini kita berada di tahun 2011. Sebuah tahun yang sangat dekat dengan tahun 2015. Tahun
2015 adalah tahun dimana seluruh masyarakat dunia mendukung atas pencapaian suatu tujuan
ambisius. Tujuan ini dinamakan Millenium Development Goals (MDGs). Pada September 2000,
tujuan ini dideklarasikan pada Konferensi Tingkat Tinggi Millenium yang dihadiri oleh
pimpinan 189 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York.

Millenium Development Goals merupakan sebuah paket berisi delapan tujuan utama yang
mempunyai batas waktu tahun 2015 dan target yang sangat terukur.2 Delapan tujuan itu adalah
memberantas kemiskinan dan kelaparan ekstrem, mewujudkan pendidikan dasar untuk semua,
mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, menurunkan angka kematian anak,
meningkatkan kesehatan Ibu, memerangi HIV & AIDS, malaria serta penyakit lainnya,
memastikan kelestarian linkungan, dan membangun kemitraan global untuk pembangunan.

Seiring dengan berjalannya waktu tak terasa MDGs sudah memasuki kuartal terakhir. Hanya
tinggal empat tahun lagi seharusnya kita bisa menyaksikan perubahan-perubahan besar yang
ditargetkan.

Namun sayang sekali, berdasarkan data-data yang ada mengenai perkembangan MDGs
khususnya di Indonesia dan Negara-negara berkembang lainnya, kita tidak akan mencapai tujuan
ambisius tersebut. Begitu banyak hal yang terjadi termasuk krisis pangan dan keuangan serta
begitu luasnya Indonesia menjadi kendala tercapainya MDGs.
Memang saat ini kita menyaksikan banyak kemajuan dalam berbagai bidang jika dibandingkan
dengan Indonesia tahun 1990. Pembangunan diberbagai bidang yang luar biasa telah cukup
meningkatkan taraf hidup masyarakat Indonesia. Namun masih cukup jauh jika kita merujuk
pada tujuan spesifik dari MDGs.

2.Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah mengetahui Aki di Indonesia,target pencapaian MDGS untuk
menurunkan AKI di Indonesia.

BAB II
TINJAUAN TEORI

A.STATUS PENCAPAIAN MDGs DI INDONESIA

1.Menanggulangi kemiskinan dan kelaparan

Indonesia telah berhasil menurunkan tingkat kemiskinan, sebagaimana diukur oleh indikator
USD 1,00 per kapita per hari, menjadi setengahnya. Kemajuan juga telah dicapai dalam upaya
untuk lebih menurunkan lagi tingkat kemiskinan, sebagaimana diukur oleh garis kemiskinan
nasional dari tingkat saat ini sebesar 13,33 persen (2010) menuju targetnya sebesar 8 - 10 persen
pada tahun 2014. Prevalensi kekurangan gizi pada balita telah menurun dari 31 persen pada
tahun 1989 menjadi 18,4 persen pada tahun 2007, sehingga Indonesia diperkirakan dapat
mencapai target MDG sebesar 15,5 persen pada tahun 2015. Prioritas kedepan untuk
menurunkan kemiskinan dan kelaparan
adalah dengan memperluas kesempatan kerja, meningkatkan infrastruktur pendukung, dan
memperkuat sektor pertanian. Perha an khusus perlu diberikan pada: (i) perluasan fasilitas kredit
untuk usaha mikro,kecil, dan menengah (UMKM); (ii) pemberdayaan masyarakat miskin dengan
meningkatkan akses dan penggunaan sumber daya untuk meningkatkan kesejahteraannya; (iii)
peningkatan akses penduduk miskin terhadap pelayanan sosial dan (iv) perbaikan penyediaan
proteksi sosial bagi kelompok termiskin di antara
yang miskin.

2.Mencapai pendidikan dasar untuk semua

Upaya Indonesia untuk mencapai target MDG tentang pendidikan dasar dan melek huruf sudah
menuju pada pencapaian target 2015 (on-track). Bahkan Indonesia menetapkan pendidikan dasar
melebihi target MDGs dengan menambahkan sekolah menengah pertama sebagai sasaran
pendidikan dasar universal. Pada tahun 2008/09 angka par sipasi kasar (APK) SD/MI termasuk
Paket A telah mencapai 116,77 persen dan angka par sipasi murni (APM) sekitar 95,23
persen.Pada tingkat sekolah dasar (SD/MI) secara umum disparitas par sipasi pendidikan
antarprovinsi semakin menyempit dengan APM di hampir semua provinsi telah mencapai lebih
dari 90,0 persen. Tantangan utama dalam percepatan pencapaian sasaran MDG pendidikan
adalahmeningkatkan pemerataan akses secara adil bagi semua anak, baik laki-laki maupun
perempuan, untuk mendapatkan pendidikan dasar yang berkualitas di semua daerah. Berbagai
kebijakan dan program pemerintah untuk menjawab tantangan tersebut adalah:
(i) perluasan akses yang merata pada pendidikan dasar khususnya bagi masyarakat miskin; (ii)
peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan; (iii) penguatan tatakelola dan akuntabilitas
pelayanan pendidikan.
Kebijakan alokasi dana pemerintah bagi sektor pendidikan minimal sebesar 20 persen dari
jumlah anggaran nasional akan diteruskan untuk mengakselerasi pencapaian pendidikan dasar
universal pada tahun 2015.

3.Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan

Berbagai kemajuan telah dicapai dalam upaya meningkatkan kesetaraan gender di semuajenjang
dan jenis pendidikan. Rasio angka par sipasi murni (APM) perempuan terhadap laki-laki di
sekolah dasar dan sekolah menengah pertama berturut-turut sebesar 99,73 dan 101,99 pada tahun
2009, dan rasio melek huruf perempuan terhadap laki-laki pada kelompok usia 15 sampai 24
tahun telah mencapai 99,85.

Oleh sebab itu, Indonesia sudah secara efek f menuju (on-track) pencapaian kesetaraan gender
yang terkait dengan pendidikan pada tahun 2015. Di bidang ketenagakerjaan, terlihat adanya
peningkatan kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan di sektor non pertanian. Di samping
itu, proporsi kursi yang diduduki oleh perempuan di DPR pada Pemilu terakhir juga mengalami
peningkatan, menjadi 17,9 persen. Prioritas ke depan dalam mewujudkan kesetaraan gender
melipu : (1) peningkatan kualitas hidup dan peran perempuan dalam pembangunan; (2)
perlindungan perempuan terhadap berbagai ndak kekerasan; dan (3) peningkatan
kapasitas kelembagaan PUG dan pemberdayaan perempuan.

4. Menurunkan angka kematian anak

Angka kema an bayi di Indonesia menunjukkan penurunan yang cukup signifikan dari 68 pada
tahun 1991 menjadi 34 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2007, sehingga target sebesar 23
per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2015 diperkirakan dapat tercapai. Demikian pula dengan
target kema an anak diperkirakan akan dapat tercapai. Namun demikian, masih terjadi disparitas
regional pencapaian target, yang mencerminkan adanya perbedaan akses atas pelayanan
kesehatan, terutama di daerah-daerah miskin dan terpencil. Prioritas kedepan adalah memperkuat
sistem kesehatan dan meningkatkan akses pada pelayanan kesehatan terutama bagi masyarakat
miskin dan daerah
terpencil.

5. Meningkatkan kesehatan ibu

Dari semua target MDGs, kinerja penurunan angka kematian ibu secara global masih rendah. Di
Indonesia, angka kema an ibu melahirkan (MMR/Maternal Mortality Rate) menurun dari 390
pada tahun 1991 menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2007.

Target pencapaian MDG pada tahun 2015 adalah sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup,
sehingga diperlukan
kerja keras untuk mencapai target tersebut. Walaupun pelayanan antenatal dan pertolongan
persalinan oleh tenaga kesehatan terla h cukup tinggi, beberapa faktor seper risiko nggi pada saat
kehamilan dan aborsi perlu mendapat perha an. Upaya menurunkan angka kema an ibu didukung
pula dengan meningkatkan angka pemakaian kontrasepsi dan menurunkan unmet need yang
dilakukan melalui peningkatan akses dan kualitas pelayanan KB dan kesehatan reproduksi. Ke
depan, upaya peningkatan kesehatan ibu diprioritaskan
pada perluasan pelayanan kesehatan berkualitas, pelayanan obstetrik yang komprehensif,
peningkatan pelayanan keluarga berencana dan penyebarluasan komunikasi, informasi dan
edukasi kepada masyarakat.

6.Memerangi HIV/AIDS Malaria dan penyakit menular lainya

Tingkat prevalensi HIV/AIDS cenderung meningkat di Indonesia, terutama pada kelompok


risiko nggi, yaitu pengguna narkoba sun k dan pekerja seks. Jumlah kasus HIV/AIDS yang
dilaporkan di Indonesia meningkat dua kali lipat antara tahun 2004 dan 2005. Angka kejadian
malaria per 1.000 penduduk menurun dari 4,68 pada tahun 1990 menjadi 1,85 pada tahun 2009.
Sementara itu, pengendalian penyakit Tuberkulosis yang melipu penemuan kasus dan
pengobatan
telah mencapai target. Pendekatan untuk mengendalikan penyebaran penyakit ini terutama
diarahkan pada upaya pencegahan dan pengarusutamaan ke dalam sistem pelayanan kesehatan
nasional. Selain itu, pengendalian penyakit harus melibatkan semua pemangku kepen ngan dan
memperkuat kegiatan promosi
kesehatan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat.

7. Memastikan kelestarian lingkungan hidup

Tingkat emisi gas rumah kaca di Indonesia cukup nggi, walaupun upaya peningkatan luas hutan,
pemberantasan pembalakan hutan, dan komitmen untuk melaksanakan kerangka kebijakan
penurunan emisi karbon dioksida dalam 20 tahun kedepan telah dilakukan. Proporsi rumah
tangga dengan akses air minum layak meningkat dari 37,73 persen pada tahun 1993 menjadi
47,71 persen pada tahun 2009. Sementara itu, proporsi rumah tangga dengan akses sanitasi layak
meningkat dari 24,81 persen (1993) menjadi 51,19 persen (2009). Upaya untuk mengakselerasi
pencapaian target air minum dan sanitasi yang layak terus dilakukan melalui investasi
penyediaan air minum dan sanitasi, terutama untuk melayani jumlah penduduk perkotaan yang
terus meningkat. Untuk daerah
perdesaan, penyediaan air minum dan sanitasi dilakukan melalui upaya pemberdayaan
masyarakat agar memiliki tanggung jawab dalam pengelolaan infrastruktur dan pembangunan
sarana. Di samping itu, perlu dilakukan upaya untuk memperjelas peran dan tanggung jawab
pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya air dan pengelolaan sistem air minum dan
sanitasi yang layak. Proporsi rumah tangga kumuh perkotaan menurun dari 20,75 persen pada
tahun 1993 menjadi 12,12 persen pada tahun 2009. Upaya untuk penurunan proporsi rumah
tangga kumuh dilakukan melalui penanganan pemukiman kumuh.

8. Membangun kemitraan global untuk pembangunan

Indonesia merupakan par sipan ak f dalam berbagai forum internasional dan mempunyai
komitmen untuk terus mengembangkan kemitraan yang bermanfaat dengan berbagai organisasi
multi lateral, mitra bilateral dan sektor swasta untuk mencapai pola pertumbuhan ekonomi yang
berdampak pada penurunan ngkat kemiskinan (pro-poor). Indonesia telah mendapat manfaat dari
mitra pembangunan internasional.

Untuk meningkatkan efek fitas kerjasama dan pengelolaan bantuan pembangunan di Indonesia,
Jakarta Commitment telah ditandatangani bersama 26 mitra pembangunan pada tahun 2009.
Bersamaan dengan ini, Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan pinjaman luar negeri
pemerintah terhadap PDB. Hal ini ditunjukkan dengan menurunnya rasio pinjaman luar negeri
pemerintah terhadap PDB dari 24,6 persen pada tahun 1996 menjadi 10,9 persen pada tahun
2009. Sementara itu, Debt Service Ra o Indonesia juga telah menurun dari 51 persen pada tahun
1996 menjadi 22 persen pada tahun 2009. Untuk meningkatkan akses komunikasi dan informasi,
sektor swasta telah membuat investasi besar ke dalam teknologi informasi dan komunikasi, dan
akses pada telepon genggam, jaringan PSTN, dan
komunikasi internet telah meningkat sangat pesat selama lima tahun terakhir. Pada tahun 2009,
sekitar 82,41 persen dari penduduk Indonesia mempunyai akses pada telepon seluler

B.TUJUAN MDGs
1: Memberantas kemiskinan dan kelaparan ekstrem
a Menurunkan hingga setengahnya Proporsi Penduduk dengan Tingkat Pendapatan Kurang dari
US$ 1 perhari
b. Meneydiakan seutuhnya Pekerjaan yang produktif dan layak, terutama untuk perempuan dan
kaum muda
c. Menurunkan hingga setengahnya Proporsi Penduduk yang Menderita Kelaparan

2. Mewujudkan pendidikan dasar untuk semua


a. Menjamin pada 2015 semua anak dimanapun, laki-laki maupun perempuan dapat
menyelesaikan pendidikan dasar
3: Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan
a. Menghilangkan ketimpangan gender di tingkat pendidikan dasar dan lanjutan tahun 2005, dan
disemua jenjang sebelum 2015

4: Menurunkan angka kematian anak


a.Menurunkan Angka Kematian Balita sebesar dua-per-tiganya antara 1990 dan 2015

5: Meningkatkan kesehatan ibu


a. Menurunkan Angka Kematian Ibu sebesar tiga-per-empatnya antara 1990 dan 2015
b. Mencapai dan menyediakan akses kesehatan reproduksi untuk semua pada 2015

6: Memerangi HIV dan AIDS, malaria serta penyakit lainnya


a. Mengendalikan Penyebaran HIV/AIDS dan mulai menurunkan kasus baru pada 2015
b. Terseianya akses universal untuk perawatn terhadap HIV/AIDS bagi yang
c.Mengendalikan Penyakit Malaria dan muali menurunnya kasus Malria dan Penyakit lainnya
tahun 2015

7: Memastikan kelestarian lingkungan


a. Memadukan Prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dengan kebijakan program nasional
serta mengembalikan sumberdaya yang hilang
b. Mengurangi laju hilangnya keragaman hayati, dan mencapai pengurangan yang signi_ kan
pada 2010
c. Menurunkan hingga separuhnya proporsi penduduk tanpa akses terhadap sumber air minum
yang aman dan berkelanjutan serta fasilitas sanitasi dasar pada 2015
d. Memperbaiki kehidupan penduduk miskin yang hidup di pemukiman kumuh pada 2020

8: Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan 9: Meng-Indonesiakan Mdgsi


a.. Mengembagnkan sistem perdanganan dan keuangan yang terbuka, berdasar pada peraturan,
dapat diperkirakan dan non-diskriminatif - termasuk komitmen terhadap
sistem pemerintahan yang baik, dan penanggulangan kemiskinan - ditingkat nasional dan
internasional
b.. Penanggulangan Masalah pinjaman luar negeri melalui upaya nasional maupun internasional
dala rangka pengelolaan utang luar negeri yang berkelanjutan dan berjangka
panjang
c. Bekerjasama dengan sektor swasta dalam memanfaatkan teknologi baru, terutama teknologi
informasi dan komunikasi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Nifas


Masa nifas (puerperium) adalah masa pulih kembali, mulai dari persalinan setelah
selesai sampai alat kandungan kembali seperti prahamil denagn lama masa nifas ini 6-8 minggu
(Ambarwati, E. D. 2009: 1). Masa nifas dimulai setelah kelahiranplasenta dan berakhir ketika
alat-alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil yang berlangsung kira-kira 6 minggu
(Saleha, S. 2009: 2). Masa nifas adalah masa setelah seorang ibu melahirkan bayi yang
dipergunakan untuk memulihkan kesehatannya kembali yang umumnya memerlukan waktu 6 -
12 minggu (Sulistyawati, A. 2009: 1). Masa nifas atau puerperium dimulai sejak 1 jam setelah
lahirnya lahirnya plasenta sampai dengan 6 minggu (42 hari) setelah itu (Prawirohardjo, S. 2008:
356). Jadi masa nifas perlu dilakukan penanganan khusus untuk mencegah terjadinya komplikasi
pasca persalinan, sehingga bidan dalam melakukan pelayanan pada masa nifas harus sesuai
dengan kode etik kebidanan yang berlaku.

2.2 Tujuan Asuhan Masa Nifas


Tujuan dari pemberian asuhan pada masa nifas untuk:
1. Untuk memberikan asuhan yang adekuat dan terstandar pada ibu segara setelah melahirkan
dengan memerhatikan riwayat selama kehamilan, dalam persalinan dan keadaan segara setelah
melahirkan.
2. Menjaga kesehatan ibu dan bayinya, baik fisik maupun psikologis.
3. Melaksanakan skrinning secara komprehensif, deteksi dini, mengobati atau merujuk bila terjadi
komplikasi pada ibu maupun bayi.
4. Memberikan pendidikankesehatan tentang perawatan kesehatan diri, nutrisi, KB, cara dan
manfaatmenyusui, pemberian imunisasi serta perawatan bayi sehari-hari.
5. Memberikan pelayanankeluarga berencana.
6. Mendapatkan kesehatan emosi.

2.3 Tahapan Masa Nifas


Masa nifas di bagi menjadi tiga tahap,yaitu:
1. Puerperium dini
Puerperium dini merupakan masa kepulihan,yang dalam hal ini ibu telah di perbolehkan berdiri
dan berjalan –jalan. Dalam agama islam,dianggap bersih dan boleh bekerja setelah 40 hari.
2. Puerperium Intermedial
Puerperium intermedial merupakan masa kepilihan menyeluruh alat-alat genetalia,yang lamanya
sekitar 6-8 minggu.
3. Remote Puerperium
Remote Puerperium merupakan masa yang diperlukan untuk pulih dan sehat sempurna,terutama
bila selama hamil atau waktu persalinan mempunyai komplikasi. Waktu untuk sehat sempurna
dapat berlangsung selama berminggu-minggu,bulanan bahkan tahunan.

2.4 Peran dan Tanggung Jawab Bidan Pada Masa Nifas


Peran bidan dalam memberikan asuhan masa nifas adalah memberikan asuhan yang
konsisten, ramah dan memberikan dukungan pada setiap ibu dalam proses penyembuhannya dari
stress fisik akibat persalinan dan meningkatkan kepercayaan diri ibu dalam merawat bayinya.
Dalam proses penyesuaian ini, dituntut konstribusi bidan dalam melaksanakan kompetensi,
keterampilan, dan sensitivitas terhadap kebutuhan dan harapan setiap ibu dan keluarga. Bidan
harus dapat merencanakan asuhan yang akan diberikan pada ibu sesuai dengan kebutuhan ibu
tersebut.
Peran dan tanggung jawab bidan dalam masa nifas ini, antara lain :
1. Teman terdekat, sekaligus pendamping ibu nifas dalam menghadapi saat kritis masa nifas.
Pada awal masa nifas, ibu mengalami masa-masa sulit. Saat itulah, ibu sangat
membutuhkan teman dekat yang dapat ia andalkan dalam megatasi kesulitan yang ia alami.
Bagaimana pola hubungan yang terbentuk antara ibu dan bidan akan sangat ditentukan oleh
ketrampilan bidan dalam menempatkan diri sebagai teman dan pendamping bagi ibu. Jika pada
tahap ini hubungan yang terbentuk sudah baik maka tujuan dari asuhan akan lebih mudah
tercapai.
2. Pendidik dalam usaha pemberian pendidikan kesehatan terhadap ibu dan keluarga
Masa nifas merupakan masa yang paling efektif bagi bidan untuk menjalankan peranya
sebagai pendidik. Dalam hal ini, tidak hanya ibu yang akan mendapatkan materi pendidikan
kesehatan, tapi juga seluruh anggota keluarga. Melibatkan keluarga dalam teknik yang dapat di
gunakan untuk memberikan pendidikan kesehatan yang tepat. Selain itu, setiap pengambilan
keputusan yang berhubungan dengan kesehatan selalu melibatkan keluarga sehingga bidan selalu
mengikutsertakan keluarga dalam pelaksanaan asuhan.
3. Pelaksana asuhan kepada pasien dalam hal tindakan perawatan, pemantauan, penangan masalah,
rujukan dan deteksi dini komplikasi masa nifas.
Dalam menjalankan peran dan tanggung jawabnya, bidan sangat di tuntut kemampuannya
dalam menerapkan teori yang telah di dapatkan kepada pasien. Perkembangan ilmu dan
pengetahuan yang paling up to date harus selalu di ikuti agar bidan dapat memberikan pelayanan
yang berkualitas kepada pasien. Penguasaan bidan dalam hal pengambilan kepuusan yang tepat
mengenai kondisi pasien sangatlah penting, terutama menyangkut penentuan kasus rujukan dan
deteksi dini pasien agra komplikasi dapat di cegah.

2.5 Kode Etik dan UU Permenkes Pada Masa Nifas


2.5.1 Kebijakan Program Nasional Masa Nifas
Kebijakan program nasional pada masa nifas yaitu paling sedikit empat kali melakukan
kunjungan pada masa nifas, dengan tujuan untuk:
1. Menilai kondisi kesehatan ibu dan bayi.
2. Melakukan pencegahan terhadap kemungkinan-kemungkinan adanya gangguankesehatan
ibunifas dan bayinya.
3. Mendeteksi adanya komplikasi atau masalah yang terjadi pada masa nifas.
4. Menangani komplikasi atau masalah yang timbul dan mengganggu kesehatan ibu nifas maupun
bayinya.

2.5.2 Undang-undang yang mengatur kode etik bidan dalam asuhan nifas
Pasal 10 ayat 1 menjelaskan bahwa pelayanan kesehatan ibu antara lain pada masa nifas.
Pada ayat 2 d menjelaskan bahwa bidan memberikan pelayanan ibu nifas normal. Ayat 3 e
menjelaskan bahwa bidan berwenang memberikan vitamin A dosis tinggi pada masa nifas.
Dengan adanya undang-undang diatas di harapkan bidan dapat melaksanakan tugasnya sesuai
dengan peraturan yang berlaku dan sesuai etika kebidanan dan dapat memberikan pelayanan
sesuai kebutuhan ibu.
2.5.3 Undang – Undang Tentang ASI Eksklusif
1. Undang – undang republik Indonesia nomor 36 tahun 2009
Tentang kesehatan Departemen kesehatan republik Indonesia Jakarta Bagian kesatu Kesehatan
ibu, bayi, dan anak
Pasal 128
1. Setiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu ekslusif sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan,
kecuali atas indikasi medis.
2. Selama pemberian air susu ibu pihak keluarga, pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat
harus mendukung ibu bayi secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitasa khusus.
3. Penyediaan fasilitas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diadakan di tempat kerja dan
tempat sarana umum.
2. Peraturan menteri kesehatan republik Indonesia nomor 15 tahun 2013 tentang tata cara
penyediaan fasilitas khusus menyusui dan/atau memerah air susu ibu
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 30 ayat (4) Peraturan Pemerintah
Nomor 33 tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif, perlu menetapkan Peraturan
Menteri Kesehatan tentang Tata Cara Penyediaan Fasilitas Khusus Menyusui dan/atau Memerah
Air Susu Ibu;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);
2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5291);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG TATA CARA PENYEDIAAN
FASILITAS KHUSUS MENYUSUI DAN/ATAU MEMERAH AIR SUSU IBU.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Air Susu Ibu yang selanjutnya disingkat ASI adalah cairan hasil sekresi kelenjar payudara ibu.
2. Air Susu Ibu Eksklusif yang selanjutnya disebut ASI Eksklusif adalah ASI yang diberikan kepada bayi
sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan, tanpa menambahkan dan atau mengganti dengan makanan atau
minuman lain.
3. Fasilitas Khusus Menyusui dan/atau Memerah ASI yang selanjutnya disebut dengan Ruang ASI adalah
ruangan yang dilengkapi dengan prasarana menyusui dan memerah ASI yang digunakan untuk menyusui
bayi, memerah ASI, menyimpan ASI perah, dan/atau konseling menyusui/ASI.
4. Tempat kerja adalah ruangan atau lapangan tertutup dan terbuka, bergerak atau tetap dimana tenaga kerja
bekerja, atau yang sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan dimana terdapat sumber
atau sumber-sumber bahaya.
5. Pengurus Tempat Kerja adalah orang yang mempunyai tugas memimpin langsung suatu tempat kerja atau
bagiannya yang berdiri sendiri.
6. Tempat Sarana Umum adalah sarana yang diselenggarakan oleh Pemerintah/swasta atau perorangan yang
digunakan bagi kegiatan masyarakat.
7. Penyelenggara Tempat Sarana Umum adalah penanggung jawab tempat sarana umum.
8. Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki
pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu
memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
9. Tenaga Terlatih Pemberian ASI adalah tenaga yang memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan
mengenai pemberian ASI melalui pelatihan, antara lain konselor menyusui yang telah mendapatkan
sertifikat.
10. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
11. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang
memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
12. Pemerintah Daerah adalah gubernur bupati, atau walikota dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.
13. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah bidang kesehatan.

Pasal 2
Pengaturan Tata Cara Penyediaan Ruang ASI bertujuan untuk:
a. Memberikan perlindungan kepada ibu dalam memberikan ASI Eksklusif dan memenuhi hak anak untuk
mendapatkan ASI Eksklusif; dan
b. meningkatkan peran dan dukungan keluarga, masyarakat, Pemerintah Daerah, dan Pemerintah terhadap
pemberian ASI Eksklusif.

BAB II
DUKUNGAN PROGRAM ASI EKSKLUSIF
Pasal 3
(1) Pengurus Tempat Kerja dan Penyelenggara Tempat Sarana Umum harus mendukung program ASI
Eksklusif.
(2) Dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. penyediaan fasilitas khusus untuk menyusui dan/atau memerah ASI;
b. pemberian kesempatan kepada ibu yang bekerja untuk memberikan ASI Eksklusif kepada bayi atau
memerah ASI selama waktu kerja di Tempat Kerja;
c. pembuatan peraturan internal yang mendukung keberhasilan program pemberian ASI Eksklusif; dan
d. penyediaan Tenaga Terlatih Pemberian ASI.

Pasal 4
Selain dukungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), Penyelenggara Tempat Sarana Umum
berupa Fasilitas Pelayanan Kesehatan, harus membuat kebijakan yang berpedoman pada 10 (sepuluh)
langkah menuju keberhasilan menyusui.

Pasal 5
Penyelenggaraan dukungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a dan huruf d
dilaksanakan sesuai dengan kondisi kemampuan perusahaan, serta dilaksanakan dengan peraturan
perusahaan antara pengusaha dan pekerja/buruh, atau melalui perjanjian kerja bersama antara serikat
pekerja/serikat buruh dengan pengusaha.

BAB III
RUANG ASI
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 6
1. Setiap Pengurus Tempat Kerja dan Penyelenggara Tempat Sarana Umum harus memberikan kesempatan
bagi ibu yang bekerja di dalam ruangan dan/atau di luar ruangan untuk menyusui dan/atau memerah ASI
pada waktu kerja di tempat kerja.
2. Pemberian kesempatan bagi ibu yang bekerja di dalam dan di luar ruangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat berupa penyediaan ruang ASI sesuai standar.

Pasal 7
Dalam menyediakan Ruang ASI, Pengurus Tempat Kerja dan Penyelenggara Tempat Sarana Umum harus
memperhatikan unsur-unsur:
a. perencanaan;
b. sarana dan prasarana;
c. ketenagaan; dan
d. pendanaan;

Bagian Kedua
Perencanaan
Pasal 8
1. Dalam menyediakan Ruang ASI, Pengurus Tempat Kerja dan Penyelenggara Tempat Sarana Umum
harus melakukan Perencanaan.
2. Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk mengetahui kebutuhan jumlah Ruang
ASI yang harus disediakan, meliputi:
a. jumlah pekerja/buruh perempuan hamil dan menyusui
b. luas area kerja;
c. waktu/pengaturan jam kerja;
d. potensi bahaya di tempat kerja; dan
e. sarana dan prasarana;

Bagian Ketiga
Sarana dan Prasarana
Pasal 9
1. Ruang ASI diselenggarakan pada bangunan yang permanen, dapat merupakan ruang tersendiri atau
merupakan bagian dari tempat pelayanan kesehatan yang ada di Tempat Kerja dan Tempat Sarana Umum.
2. Ruang ASI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan kesehatan.
3. Setiap Tempat Kerja dan Tempat Sarana Tempat Umum harus menyediakan sarana dan prasarana Ruang
ASI sesuai dengan standar minimal dan sesuai kebutuhan.

Pasal 10
Persyaratan kesehatan Ruang ASI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) paling sedikit meliputi:
a. tersedianya ruangan khusus dengan ukuran minimal 3x4 m2 dan/atau disesuaikan dengan jumlah pekerja
perempuan yang sedang menyusui;
b. ada pintu yang dapat dikunci, yang mudah dibuka/ditutup;
c. lantai keramik/semen/karpet;
d. memiliki ventilasi dan sirkulasi udara yang cukup;
e. bebas potensi bahaya di tempat kerja termasuk bebas polusi;
f. lingkungan cukup tenang jauh dari kebisingan;
g. penerangan dalam ruangan cukup dan tidak menyilaukan;
h. kelembapan berkisar antara 30-50%, maksimum 60%; dan
i. tersedia wastafel dengan air mengalir untuk cuci tangan dan mencuci peralatan.

Pasal 11
1. Peralatan Ruang ASI di Tempat Kerja sekurang-kurangnya terdiri dari peralatan menyimpan ASI dan
peralatan pendukung lainnya sesuai standar. (2) Peralatan menyimpan ASI sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) antara lain meliputi:
a. lemari pendingin (refrigerator) untuk menyimpan ASI;
b. gel pendingin (ice pack);
c. tas untuk membawa ASI perahan (cooler bag); dan
d. sterilizer botol ASI. (3) Peralatan pendukung lainnya sebagaimana dimaksud
padaayat (1) antara lain meliputi:
1. meja tulis;
2. kursi dengan sandaran untuk ibu memerah ASI;
3. konseling menyusui kit yang terdiri dari model payudara, boneka, cangkir minum ASI, spuit 5cc, spuit 10
cc, dan spuit 20 cc;
4. media KIE tentang ASI dan inisiasi menyusui dini yang terdiri dari poster, foto, leaflet, booklet, dan
buku konseling menyusui);
5. lemari penyimpan alat;
6. dispenser dingin dan panas;
7. alat cuci botol;
8. tempat sampah dan penutup;
9. penyejuk ruangan (AC/Kipas angin);
10. nursing apron/kain pembatas/ pakai krey untuk memerah ASI;
11. waslap untuk kompres payudara;
12. tisu/lap tangan; dan
13. bantal untuk menopang saat menyusui.

Pasal 12
1. Penyediaan Ruang ASI di Tempat Sarana Umum harus sesuai standar untuk Ruang ASI.
2. Standar untuk Ruang ASI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi:
a. kursi dan meja;
b. wastafel; dan
c. sabun cuci tangan.

Bagian Keempat
Ketenagaan
Pasal 13
1. Setiap Pengurus Tempat Kerja dan Penyelenggara Tempat Sarana Umum dapat menyediakan Tenaga
Terlatih Pemberian ASI untuk memberikan konseling menyusui kepada pekerja/buruh di Ruang ASI.
2. Tenaga Terlatih Pemberian ASI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus telah mengikuti pelatihan
konseling menyusui yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.
3. Pelatihan konseling menyusui sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus telah tersertifikasi mengenai
modul maupun tenaga pengajarnya.

Pasal 14
Dalam memberikan konseling menyusui sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Tenaga Terlatih
Pemberian ASI juga menyampaikan manfaat pemberian ASI Eksklusif antara lain berupa:
a. peningkatan kesehatan ibu dan anak;
b. peningkatan produktivitas kerja;
c. peningkatan rasa percaya diri ibu;
d. keuntungan ekonomis dan higienis; dan
e. penundaan kehamilan.
Pasal 15
1. Setiap Ruang ASI harus memiliki penanggung jawab yang dapat merangkap sebagai konselor menyusui.
2. Penanggung jawab Ruang ASI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditunjuk oleh Pengurus Tempat
Kerja dan Penyelenggara Tempat Sarana Umum.

Pasal 16
1. Tenaga Terlatih Pemberian ASI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 harus memahami pengelolaan
pemberian ASI dan mampu memotivasi pekerja agar tetap memberikan ASI kepada anaknya walaupun
bekerja.
2. Dalam hal Ruang ASI belum memiliki konselor menyusui, Pengurus Tempat Kerja dan Penyelenggara
Tempat Sarana Umum dapat bekerja sama dengan Fasilitas Pelayanan Kesehatan atau berkoordinasi
dengan dinas kesehatan provinsi/kabupaten/kota untuk memberikan pelatihan konseling menyusui
3. Jenis dan jumlah tenaga kesehatan dan/atau tenaga non kesehatan sebagai Tenaga Terlatih Pemberian ASI
disesuaikan dengan kebutuhan dan jenis pelayanan yang diberikan di Ruang ASI.

BAB IV
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 17
1. Menteri, menteri terkait, kepala lembaga pemerintah non kementerian, gubernur dan bupati/walikota
melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan penyediaan ruang ASI sesuai dengan
tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing.
2. Dalam melakukan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melibatkan unsur
tripartit dan organisasi profesi terkait.
3. Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk meningkatkan peran
dan dukungan pengurus tempat kerja dan penyelenggara sarana umum untuk keberhasilan program
pemberian ASI Eksklusif.
4. Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui:
a. advokasi, sosialisasi, dan bimbingan teknis peningkatan pemberian ASI Eksklusif; dan
b. monitoring dan evaluasi.
BAB V
PENDANAAN

Pasal 18
1. Tempat Kerja dan Tempat Sarana Umum menyediakan dana untuk mendukung peningkatan pemberian
ASI Eksklusif.
2. Pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari Tempat Kerja, Tempat Sarana Umum
dan sumber lain yang tidak mengikat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. Pendanaan untuk pengelolaan ruang ASI di Tempat Kerja dan Tempat Sarana Umum sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilarang bersumber dari produsen atau distributor susu formula bayi dan/atau
produk bayi lainnya.

BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 19
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Pengurus Tempat Kerja dan Penyelenggara Tempat Sarana
Umum yang telah menyelenggarakan Ruang ASI, harus menyesuaikan dengan ketentuan Peraturan
Menteri ini paling lambat 1 (satu) tahun.

BAB VII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 20
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan
menempatkannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 18 Februari 2013
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
NAFSIAH MBOI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 15 Maret 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
AMIR SYAMSUDIN
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 441

2.6 Kompetesi Bidan


Kompetesi bidan berdasarkan etik kebidanan yaitu bidan memberikan asuhan pada ibu nifas dan
menyusui yang bermutu tinggi dan tanggap terhadap budaya setempat. Dalam memberikan
asuhan bidan memilki pengetahuan dan ketrampilan dasar antara lain:
A. Pengetahuan Dasar:
1. Fisiologis nifas
2. Proses involasi dan penyembuhan sesudah persalinan
3. Proses laktasi/menyusui dan teknik menyusui yang benar serta penyimpangan yang lazim terjadi
termasuk pembengkakan payudara, abses, mastitis, puting susu lecet, puting susu masuk.
4. Nutrisi ibu nifas, kebutuhan istirahat, aktivitas, dan kebutuhan fisiologis lainya seperti
pengosongan kandung kemih.
5. Kebutuhan nutrisi bayi baru lahir
6. Adaptasi persalinan atau abortus
7. “bonding & attachement” orang tua bayi baru lahir untuk mencipatakan hubungan positif.
8. Indikator subinvolusi misalnya pendarahan yang terus meneus, infeksi.
9. Indikator maslah laktasi
10. Tanda gejala mengancam kehidupan misalnya pendarahan pervaginam menerap, sisa plasenta,
renjatan(syok), dan pre-eklamsia post partum.
11. Indikator pada komplikasi tertentudalam periode post partum, seperti anemia kronis, hematoma
vulva, retensi urin.
12. Kebutuhan asuhan dan konseling selama dan sesudah abortus.
13. Tanda dan gejala komplikasi abortus.
B. Ketrampilan Dasar Masa Nifas :
1. Mengumpulkan data tentang riwayat kesehatan yang terfokus, termasuk keterngan rinci tentang
kehamilan, persalinan dan kelahiran.
2. Melakukan pemeriksaan fisik yang terfokus pada ibu
3. Pengkajian involusi uterus serta penyembuhan perlukaan/ luka jahitan.
4. Merumuskan diagnosa masa nifas
5. Menyusun perencanaan
6. Memulai dan mendukung pemberian ASI Eksklusif
7. Melaksanakan pendidikan kesehatan pada ibu meliputi perawatan diri sendiri, istirahat, Nutrisi
dan asuhan bayi baru lahir.
8. Mengidentifikasi hematoma vulva dan melaksanakan rujukan bila mana perlu.
9. Mengidentifikasi infeksi pada ibu, mengobati sesuai kewenangan atau merujuk untuk tindakan
yang sesuai.
10. Penatalaksanaan ibu post partum abnormal: sisa placenta, renjatan dan infeksi ringan.
11. Melakukan konseling pada ibu tentang seksualitas dan kb pasca persalinan
12. Melakukan konseling dan memberikan dukungan untuk wanita pasca aborsi
13. Melakukan kolaborasi atau rujukan pada komplikasi tertentu.
14. Memberikan antibiotika yang sesuai
15. Mencatat dan mendokumentasikan temuan-temuan dan intervensi yang di lakukan.

BAB III
TINJAUAN KASUS
Ny”S” melahirkan anak pertama di bidan “F” pada tanggal 05 oktober 2013 pada pukul
23.15 WIB. Setelah bayi lahir dilakukan IMD (Inisiasi Menyusui Dini). Reflek sucking dan
swallowing bayi baik, sehingga ibu mengetahui bahwa IMD berhasil. Setelah 1jam dilakukan
IMD bayi tidur pulas.Pada pukul 02.00 WIB bayi tiba-tiba menangis dan rewel. Asisten bidan
bergegas menghampiri bayi ternyata bayi tampak kehausan. Melihat ibu bayi yang tertidur pulas,
asisten bidan tanpa persetujuan ibu bayi, memberikan susu formula pada bayi, dan bayi pun
tertidur pulas.
Keesokan harinya, asisten bidan memandikan bayi dan kemudian memberikan sebotol
susu formula untuk diminumkan pada bayi. Setelah itu bidan mempersiapkan segala
perlengkapan pasien termasuk 2 kardus susu formula untuk bayi beserta cara pembuatannya.
Akhirnya Ny “S” pulang dengan hati yang gamang, ia bingung apa yang harus ia perbuat.apakah
dia harus tetap memberikan ASI formula/ASI eksklusif, padahal ibu ingin memberikan Asi
eksklusif pada bayi selama 6 bulan. Selain itu,keadaan ekonomi juga menjadi factor utama
penyebab ibu memilih ASI eksklusif.

BAB IV
PEMBAHASAN
Masalah Etika :
 Bidan tidak memberikan penjelasan/pilihan dalam pemilihan susu untuk bayi.
 Bidan mengajarkan/membiasakan sistennya untuk memberikan susu formula pada bayi tanpa
persetujuan ibu terlebih dahulu.
 Dengan menjelaskan takaran susu formula pada ibu,bidan dianggap turut serta memasarkan susu
formula. Hal itu bertentangan dengan program pemberian ASI eksklusif 6 bulan.
Solusi :
Kekhawatiran Ny”S” berawal dari kesalahan bidan yang tidak mau menjelaskan dan
memberikan pilihan tentang pemberian susu pada bayi. Sehingga Ny “S” tidak begitu paham
tentang kekurangan dan kelebihan dari masing-masing pilihan susu yang di konsumsi bayi.
Seharusnya bidan menjelaskan terlebih dahulu pada ibu tentang pilihan susu yang nantinya
diberikan pada bayi. Sehubungan dengan kondisi ekonomi keluarga pasien dan bidan
memberikan hak sepenuhnya kepada ibu untuk mengambil keputusan.
 Menurut UU RI No:36 2009 pada paragraf ke 2 tentang perlindungan pasien pasal 56:
1. setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang
akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan
tersebut secara lengkap.
2. Hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku pada:
a. Penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara cepat menular ke dalam masyarakat yang
lebih luas.
b. Keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri atau,
c. Gangguan mental berat
3. Ketentuan mengenai hak menerima atau menolak sebagaiman di maksud pada ayat (1) diatur
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 Sesuai dengan UU No:36 th 2009 pasal: 128 tentang kesehatan Ibu, Bayi, Anak, Remaja, Lansia
dan penyandang cacat :
1. Setiap bayi berhak mendapatkan Air Susu Ibu (ASI) eksklusif sejak dilahirkan selama 6 bulan,
kecuali atas indikasi medis.

 Hak bayi sesuai Declaration of Barcelona on the right of mother and newborn (2001):
a. Setiap bayi baru lahir berhak atas gizi baik yang menjamin pertumbuhannya.
b. Setiap bayi baru lahir berhak atas kehidupannya tanpa resiko yang berkaitan dengan alasan
budaya, politik, agama.

 Sesuai Etika Kebidanan:


1. Pasien berhak mendapatkan informasi yang meliputi kehamilan, persalinan, nifas, dan bayi yang
baru dilahirkan
 Kewajiban bidan :
a. Bidan wajib memberikan pelayanan asuahan kebidanan sesuai dengan standart profesi dengan
menghormati hak-hak pasien.
b. Bidan wajib memberikan informasi yang akurat tentang tindakan yang akan dilakukan serta
resiko yang mungkin dapat timbul.

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam masa nifas dibutuhkan pelayanan kebidanan untuk mencegah terjadinya komplikasi
pasca persalinan.Dalam pemberian asuhan kebidanan, bidan dituntut untuk memberikan
pelayanan sesuai pelayanan dan kode etik kebidanan yang berlaku.Sehingga bidan mampu
memberikan pelayanan yang professional dan ibu merasa nyaman dengan pelayanan yang
diberikan oleh bidan.

B. Saran
Bidan harus memberikan pelayanan sesuai kode etik kebidanan terutama pada masa nifas dan
selalu memperbaharui informasi.

DAFTAR PUSTAKA
Ambarwati, E. D. (2009). Asuhan Kebidanan Nifas. Jogjakarta: Mitra Cendekia Offset.
Saleha, S. (2009). Asuhan Kebidanan Pada Masa Nifas. Jakarta: Salemba Medika.
Sulistyawati, A. (2009). Buku Ajar Asuhan Kebidanan Pada Ibu Nifas. Yogyakarta: C. V
Andi offset
Soepardan , Suryani.dkk. (2008). Etika Kebidanan dan Hukum Kesehatan.Jakarta :EGC.
Pujiwahyuningsih, Heni. (2006). Etika Profesi Kebidanan. Yogyakarta: Fitrimaya
Himpunan Peraturan Perundang-undangan .UU.Kes. Fokus media

http://therizkikeperawatan.blogspot.com/2009/03/askeb.html
Wulandari,Diah.2009.Asuhan Kebidanan Nifas.Yogyakarta:mitra Cendikia Press
Prawirohardjo,Sarwono.2006.Ilmu Kebidanan.Jakarta:FKUI

Peraturan menteri kesehatan republik indonesia nomor 1464/MENKES/PER/X/2010

ADVANCE FAMILY PLANNING

Inisiatif Advokasi untuk meningkatkan Akses Pada layanan KB Berkualitas

Advance Family Planning (AFP) adalah suatu inisiatif yang memiliki ciri berbasis pada
data/bukti nyata (evidence-based) yang akan dijalankan selama tiga tahun untuk membantu
Negara berkembang dalam mencapai akses universal pada kesehatan reproduksi (MDG 5b).
Inisiatif ini ditujukan untuk merevitalisasi program Keluarga Berencana melalui peningkatan
dana yang lebih efektif, peningkatan komitmen di tingkat lokal, nasional dan global. AFP
didukung oleh the Bill & Melinda Gates Foundation dan the David and Lucile Packard
Foundation. Konsorsium AFP terdiri dari Johns Hopkins University Bloomberg School of Public
Health, African Women's Development Fund, Partners in Population and Development, dan
Futures Group International.

Tujuan

Tujuan AFP adalah untuk meningkatkan pendanaan dan komitmen kebijakan di seluruh tataran
pemerintahan, di antara donor bilateral dan multilateral serta sektor swasta. AFP dibangun
berdasarkan investasi masa lalu dan kegiatan yang sudah berjalan dalam program-program
advokasi kesehatan reproduksi, pengembangan kepeloporan, pengetahuan yang dimiliki dan
penyediaan layanan inovatif. Keberhasilan inisiatif AFP sangat bergantung pada kerjasama yang
efektif dengan lembaga-lembaga yang terkait dan bergerak di bidang kesehatan reproduksi
seperti BKKBN, Kementerian Kesehatan, dan lembaga pemerintah lainnya, Ikatan Bidan
Indonesia (IBI), Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dan lembaga profesi lainnya, USAID, UNFPA
dan lembaga donor lainnya serta berbagai pihak lain termasuk perorangan.

AFP dibangun berdasarkan momentum keberlanjutan dan meningkatnya minat pemerintah


AS dan lembaga- lembaga donor Eropa, selain itu perhatian di tingkat nasional juga muncul
terhadap perlunya melakukan investasi dalam bidang Keluarga Berencana untuk meningkatkan
kondisi kesehatan serta mencapai Tujuan Pembangunan Milenium.

Inisiatif AFP berfokus pada penyediaan fakta bagi para pengambil keputusan mengenai
mengapa Keluarga Berencana merupakan investasi yang logis dengan dividen dalam bentuk
kesehatan, perkembangan sosial ekonomi, lingkungan dan bidang lainnya. Pesan advokasi serta
pembawa pesannya akan merefleksikan situasi setiap negara serta minat para pengambil
keputusan.

Untuk mencapai tujuan inisiatif memperkuat para pelaku advokasi dari Negara-negara Selatan
serta menciptakan platform advokasi yang berkelanjutan, AFP mengembangkan tiga tujuan yang
berbeda namun saling berkaitan:

 Tujuan 1 : Memobilisasi dan menguatkan advokasi keluarga berencana/kesehatan reproduksi


yang berkesi- nambungan melalui investasi katalistik di Indonesia, Tanzania dan Uganda, yang
merupakan negara-negara dengan potensi replikasi yang luas terhadap pendekatan AFP di
Negara-negara berkembang lainnya.
 Tujuan 2 : Menguatkan investasi advokasi keluarga berencana/kesehatan reproduksi yang telah
berjalan di India, Pakistan, Ethiopia, Kenya, Nigeria dan Senegal melalui penyediaan bantuan
teknis yang dikembangkan secara khusus.
 Tujuan 3 : Suara dari Selatan – meningkatkan suara dari para champion (pihak-pihak yang telah
bekerja secara terus menerus dalam isu keluarga berencana/kesehatan reproduksi) dari Selatan
secara regional dan global untuk menyuarakan kebutuhan akan revitalisasi agenda keluarga
berencana/kesehatan reproduksi untuk mencapai MDG 5b dan mengembangkan platform bagi
kerjasama Selatan-Selatan yang lebih luas.

Pendekatan AFP

Champion Lokal (Local Champions) : AFP bekerja untuk memfasilitasi proses identifikasi dan
pengembangan strategi bersama dengan para champion lokal yang telah memiliki reputasi dan
kecakapan untuk menyuarakan keluarga berencana secara efektif di antara para pengambil
keputusan di tingkat regional dan global. Di Indonesia, Tanzania dan Uganda, AFP akan dipandu
oleh kelompok kerja inti yang terdiri dari para champion lokal.

Advokasi Terfokus (Focused Advocacy): Upaya-upaya dalam AFP terkonsentrasi pada


penyediaan data dan fakta untuk para pembuat keputusan yang mengontrol sumber daya bagi
keluarga berencana—dana, manusia, dan komoditas—serta pengelolaannya. Fokusnya adalah
dalam meningkatkan sumber daya dan menyempurnakan lingkungan kebijakan bagi keluarga
berencana dan kesehatan reproduksi serta memobilisasi para pembuat keputusan yang terlibat
dalam alokasi sumber daya dan kebijakan kesehatan reproduksi.

Peluang Advokasi (Advocacy Opportunities) : AFP berkonsentrasi pada peluang advokasi yang
memungkinkan dalam mempengaruhi kebijakan, memiliki hasil nyata dan dapat diukur. Selain
itu, AFP bekerja di tingkat lokal, kabupaten, provinsi, nasional, regional dan global, karena
pembuatan keputusan di satu tingkat akan mempengaruhi proses pembuatan keputusan di tingkat
lainnya.

AFP bertumpu pada potensi seperti berbagai program yang didanai USAID, misalnya
Demographic and Health Surveys (DHS), dan analisis Resources for the Awareness of
Population Impact on Development (RAPID). DHS saat ini merupakan metode utama yang
digunakan berbagai pemerintah dan donor untuk memantau perubahan dalam perilaku kesehatan
dan kesehatan reproduksi serta digunakan untuk mengembangkan kebijakan, merencanakan
program dan memahami perilaku. Kesembilan Negara AFP akan, atau sudah, memiliki DHS.
AFP akan menggunakan hasilnya untuk mengembangkan pesan-pesan advokasi dan
mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan yang ditujukan bagi para pembuat keputusan yang
spesifik. RAPID menganalisis hubungan antara dinamika populasi dan prospek pembangunan
suatu Negara. Presentasi RAPID secara spesifik dirancang untuk para pembuat keputusan yang
sibuk serta memungkinkan mereka untuk mengubah asumsi pengembangan modelnya dan
melihat dampak potensial dari berbagai program.

Melalui kerjasama dengan berbagai rekan terutama champion lokal, AFP akan mengaitkan
berbagai kegiatan terfokus dengan peluang-peluang advokasi dan para pembuat keputusan yang
spesifik. AFP akan mendorong liputan media yang akurat atas kegiatan atau peristiwa terfokus
tersebut. Champion lokal akan dibekali dengan kecakapan mengenai cara terbaik untuk
menggunakan data DHS dan analisis RAPID untuk mendapatkan hasil terbaik. Pengaruh dari
kegiatan-kegiatan terfokus akan memiliki kurva penurunan yang tajam jika tidak diikuti dengan
upaya-upaya berkesinambungan untuk memelihara dan memperkuat pesan-pesannya. Kegiatan
lanjutan AFP akan memaksimalkan gaung dari kegiatan-kegiatan terfokus ini.

Berbasiskan Data/Fakta (Evidence Based): AFP menggunakan asumsi bahwa para pembuat
keputusan akan melakukan tindakan atas data/fakta yang membutuhkan penanganan segera yang
disampaikan dengan cara yang mudah diterima dan disampaikan oleh pemberi pesan yang
kredibel. Pendekatan AFP mengembangkan pesan untuk para pembuat keputusan dan ditujukan
untuk mempengaruhi cara pembuat keputusan dalam melakukan tindakan,
mengimplementasikan kebijakan serta mengalokasikan sumber daya. AFP akan dikembangkan
di atas kecakapan champion keluarga berencana lokal untuk memelihara serta menjaga irama
interaksi dan informasi dalam meningkatkan ketertarikan atas masalah keluarga berencana dan
pendanaannya. Data/bukti yang dilengkapi dengan penyampaian kisah/peristiwa yang kuat
mengenai bagaimana kehidupan masyarakat akan terpengaruh merupakan hal yang sentral bagi
pendekatan FP.

Hasil Nyata yang Segera (Quick Wins) : Quick wins adalah tindakan nyata yang dilakukan serta
dapat dikontrol oleh para pembuat keputusan dan dapat mempengaruhi hadirnya perubahan
selama masa tugas mereka. Bagian inti dari AFP adalah mengidentifikasi hasil yang segera
namun penting, menentukan dukungan apa yang diperlukan pembuat keputusan untuk
mengimplementasikannya, mengembangkan pesan advokasi dengan berbasis data/ fakta untuk
para pembuat keputusan ini, dan membantu para champion keluarga berencana menyampaikan
pesan-pesan ini di saat dan cara yang paling efektif.

Keberlanjutan (Sustainability) : Jika pada akhir inisiatif ini kegiatan-kegiatan yang dilakukan
tidak mendapatkan dukungan yang cukup, dampak jangka panjang AFP tidak akan maksimal.
AFP akan membantu mengidentifikasi dana-dana non-proyek sehingga berbagai kegiatan yang
diinisiasi AFP akan berlanjut setelah inisiatif AFP selesai.

Dokumentasi Pemantauan Advokasi (Advocacy Scorecard) : AFP berfokus pada hasil


advokasi yang spesifik dan nyata dan akan menggunakan dokumentasi pemantauan yang bersifat
transparan dan diperbaharui terus menerus untuk seluruh peluang advokasi, sebagai bagian dari
rencana pemantauan dan evaluasi. Walaupun dokmentasi ini akan juga memantau variabel proses
dan pengembangan kapasitas, seperti jumlah champion yang sudah mendapatkan pelatihan dan
lain-lain, namun nilai sesungguhnya dari dokumentasi ini adalah pemantauan atas perubahan
pada aspek program dan pendanaan.

Suara dari Selatan

Karena dalam beberapa waktu ke depan program keluarga berencana akan tetap berbasiskan
donor di banyak negara Afrika sub-Sahara, kelanjutan keluarga berencana tidak dapat dilakukan
tanpa peningkatan prioritas dari pihak donor terhadap masalah keluarga berencana serta masalah
lainnya yang terkait. Peningkatan dukungan tidak akan diraih jika negara berkembang tidak
menyuarakan kebutuhan dan keinginan mereka atas dukungan terhadap keluarga berencana ini.

Untuk informasi mengenai AFP di Indonesia, silahkan menghubungi Mayun Pudja:


mayun.pudja@afp-indonesia.org, Endang K. Saputra: endang.saputra@afp-indonesia.org atau
Dini Haryati: dini.haryati@afp-indonesia.org

Bias Gender dalam Kebijakan Kesehatan Reproduksi di Indonesia


administrator


 1
 2
 3
 4
 5

( 26 Votes )
User Rating: / 26

Poor Best

Banyak tulisan dan analisis yang merekam kondisi perempuan dalam konteks yang beraneka
ragam: baik dari sisi
bahasannya (kesehatan, pendidikan, kesehatan, kekerasan terhadap perempuan, partisipasi
politik) maupun cara melihat
kondisi tersebut (misalnya: teori sosial, pendekatan ekonomi, ideologi gender). Diantara sekian
banyak permasalahan
yang perlu dipikirkan solusinya tersebut, tidak ada satu masalah yang lebih penting dibanding
yang lain.

Namun demikian, terdapat satu pemikiran bahwa peran politik perempuan mempunyai andil
besar dalam usaha
memecahkan masalah perempuan. Dengan cara memandang masalah domestik sebagai masalah
publik, maka
pelbagai masalah seperti perkawinan, kekerasan dalam keluarga, dan kesehatan reproduksi mulai
dibicarakan dalam
tataran politik dan hukum nasional.

Bagi perempuan di Indonesia, masalah kesehatan dan pendidikan merupakan masalah penting
dilihat dari urgensi dan
besarnya permasalahan. Dalam bidang kesehatan, misalnya, penerapan program KB (keluarga
berencana) dalam tiga
puluh tahun terakhir membuktikan fokus pemerintah pada alat reproduksi perempuan dalam
mengendalikan jumlah
penduduk. Dalam bidang pendidikan, data statistik kesejahteraan tahun 2000 menunjukkan
persentase penduduk buta
huruf pada perempuan lebih tinggi 0.35 persen dibanding laki-laki. Sedangkan jumlah
perempuan bersekolah pada usia
16-18 tahun lebih rendah 0.76 persen dibanding laki-laki .

Kebijakan Kesehatan Reproduksi di Indonesia

Kesehatan reproduksi perempuan terkait dengan berbagai hal sebagai berikut :


1. Kebijakan kependudukan
2. Muncul dan berkembangnya penyakit HIV/AIDS dan PMS (penyakit menular seksual) lainnya
3. Kecenderungan aktivitas seksual pada usia yang semakin muda

Kesehatan Reproduksi dan Kebijakan Kependudukan


Kesehatan reproduksi perempuan tidak terpisah dengan kebijakan kependudukan. Kebijakan
kependudukan meliputi dua
hal yang mendasar, yaitu . :
1. Pengendalian fertilitas
Adalah hak perempuan dan laki-laki untuk mengambil keputusuan tentang kapasitas reproduksi
mereka
2. Pengendalian penduduk
Usaha pihak luar – pemerintah nasional, badan-badan internasional, atau lembaga agama- untuk
mengendalikan hak
keluarga dalam mengambil keputusan tentang jumlah anak yang diinginkan

Oleh karena itu, kebijakan pendudukan menjadi bagian dari pendekatan kesejahteraan karena
fokusnya adalah
perempuan sebagai ibu atau calon ibu.
Banyak hal dapat dilakukan untuk menurunkan tingkat fertilitas seperti : kondisi kesehatan yang
lebih baik, penghapusan
buta aksara, peningkatan kesempatan kerja bagi perempuan dan pemberdayaan perempuan.
Namun tindakan ini tidak
langsung berpengaruh dan efeknya tidak segera terasakan . Lain halnya dengan program
Keluarga Berencana (KB). Pada
masa pemerintahan Soeharto, KB yang dilarang pada masa Soekarno justru dijadikan program
nasional besar. Dalam
dua dasawarsa penerapan KB di Indonesia, tingkat fertilitas turun total dari 5,5 menjadi 3
kelahiran per perempuan,
sementara tingkat kelahiran kasar turun dari 43 menjadi 28 kelahiran per 1000 . Hal ini dicatat
sebagai keberhasilan
Indonesia dalam menangani masalah kependudukan, bahkan Indonesia dijadikan model teladan
negara berkembang.

Angka-angka demografi di atas sejalan dengan kebijakan penduduk yang berorientasi target.
Namun demikian, terdapat
beberapa permasalahan yang tidak terwakili dalam angka-angka tersebut, khususnya menyangkut
hak reproduksi
perempuan , seperti :
1. Pengabaian hubungan gender
KB berasumsi bahwa hasrat seks laki-laki selalu aktif dan harus selalu dipenuhi perempuan,
sedang perempuan sendiri
dilihat sebagai penghasil anak yang menghadapi kemungkinan mengandung.
2. Pembatasan hak perempuan untuk memilih alat kontrasepsi
Tidak lengkapnya informasi yang tersedia mengakibatkan pilihan hanya terbatas pada beberapa
metoda seperti IUD dan
metoda hormonal. Cara seperti ini merupakan intervensi panjang terhadap alat reproduksi
perempuan (selama beberapa
tahun atau bulan) sedangkan perempuan berpeluang untuk hamil hanya selama beberapa jam
dalam setiap siklus haid.
Beberapa resiko kesehatan seperti tekanan darah tinggi, ketidakteraturan haid, pendarahan, sakit
kepala, tidak banyak
dibicarakan di Indonesia dan negara berkembang lain, berbeda dengan keadaan di negara Barat.
Cara kontrasepsi
berjangka-pendek (misalnya pantang sanggama, kondom) tidak dimasukkan dalam penyuluhan
dan peralatan KB.
Perempuan merupakan obyek utama program KB dengan penggunaan alat kontrasepsi jangka
panjang tersebut, hal ini
terlihat dari penggunaan kontrasepsi di Indonesia tahun 1994/1995 sebagai berikut :

Alat Kontrasepsi Persentase


Pil 31,4%
Suntik 30,9%
IUD 22,2%
Implant/Norplant 8,0%
Tubektomi 4,5%
Kondom 1,6%
Vasektomi 1,4%

Dari data diatas, dapat dilihat bahwa hanya 3% dari alat kontrasepsi yang ditujukan kepada laki-
laki, sementara 97%
ditujukan kepada perempuan.
3. Makin mahalnya harga alat kontrasepsi
Sejak munculnya krisis ekonomi tahun 1997, maka harga alat kontrasepsi meningkat pesat. Hal
ini mengakibatkan
banyaknya ibu hamil yang melakukan cara-cara yang beresiko tinggi untuk menggagalkan
kehamilannya seperti : aborsi,
minum jamu, pijat, dan sebagainya.
4. Pendekatan target dan akibatnya
Pendekatan target mengakibatkan pemeriksaan medis yang sembrono, informasi yang tidak
memadai tentang efek
sampingan cara kontrasepsi, pelayanan kontrasepsi yang tidak memandang kebutuhan khusus
perempuan, penolakan
untuk mencabut IUD, paksaan menjalankan aborsi.

Kesehatan Reproduksi dan HIV/AIDS


Menurut estimasi WHO, sampai dengan Juni 2000 terdapat sekitar 34,3 juta orang dewasa dan
anak mengidap HIV/AIDS
dan lebih dari 18 juta yang meninggal . Ternyata 95% dari jumlah tersebut berada di negara
berkembang, 52000 kasus
terjadi di Indonesia. Dari kasus HIV/AIDS di Indonesia tersebut, 70 persen adalah ibu rumah
tangga .

Penanganan saat ini lebih ditujukan pada perempuan PSK (pekerja seksual) yang dianggap
sebagai faktor penyebar virus
AIDS (misalnya : penyuluhan AIDS pada perempuan PSK kampanye penggunaan kondom pada
daerah kerja PSK),
dengan melupakan faktor perempuan ibu rumah tangga sebagai korban terbesar dan laki-laki
sebagai penyebar potensial
tertinggi. Hal ini dapat dilihat dari data berikut :
 Lebih dari 70% infeksi HIV di seluruh dunia terjadi melalui hubungan seks antara laki-laki
dan perempuan
 10% melalui hubungan seks antar laki-laki
 kurang dari 5% melalui suntikan narkoba (dimana 80% pengguna narkoba adalah laki-laki)
 Hampir 80% perempuan yang mengidap HIV/AIDS hanya berhubungan dengan satu pria,
suaminya

Kesehatan Reproduksi dan Kecenderungan Aktivitas Seksual


Mayoritas perempuan muda di sebagian wilayah dunia, mulai aktif secara seksual pada umur
belasan tahun. Di
Indonesia, data tahun 1994 menunjukkan, 59% perempuan usia 20-24 tahun yang menikah atau
hidup bersama sebelum
usia 18 tahun . Sedangkan 51% perempuan umur 40-44 tahun melahirkan sebelum usia 20 tahun.
Terlepas dari norma
yang mempengaruhi, hubungan seksual pada usia belasan tahun mempunyai resiko tertentu pada
perempuan, seperti :
 Perempuan usia muda tidak dapat menjadi pengambil keputusan mengenai kehamilannya :
apakah akan diasuh
atau digugurkan
 Rentan terhadap penyakit menular seksual
 Lemahnya kesehatan

Beberapa kebijakan untuk mengantisipasi kecenderungan aktivitas seksual yang semakin muda
saat ini membawa
resiko terhadap kesehatan reproduksi :
 Besarnya tekanan sosial terhadap hubungan seksual pra-nikah dan kebijakan kependudukan
yang menekankan
pada penundaan perkawinan sampai usia tertentu, mempunyai resiko yang besar terhadap
perempuan. Penundaan
perkawinan pada perempuan yang hamil sebelum menikah harus memutuskan apakah tetap
memelihara anaknya di luar
nikah atau melakukan pengguguran. Dua pilihan ini sama sulitnya :
 Memelihara anak di luar nikah akan beresiko terhadap tekanan sosial (contoh : perdebatan
apakah seorang pelajar
yang hamil harus dikeluarkan dari sekolahnya atau cukup diberikan cuti saja). Apabila remaja
perempuan tetap
mempertahankan kehamilannya, maka resiko yang dihadapi akan lebih tinggi dibanding
perempuan usia 20 tahun ke
atas, misalnya kelahiran prematur, keguguran, kematian bayi dalam kandungan, bayi lahir
dengan berat badan tidak
normal dan meninggal kurang dari satu tahun.
 sementara aborsi akan beresiko terhadap kesehatan reproduksinya (apalagi bila dilakukan
dengan cara-cara non
medis) dan tidak akan mendapat perlindungan hukum.
 Pendidikan seks terhadap remaja yang minim, disertai dengan kondisi sosial yang mentabukan
seks pra-nikah,
mengakibatkan minimnya pengetahuan, akses, dan cara penggunaan kontrasepsi modern. Hal ini
mengakibatkan remaja
menggunakan cara-cara tradisional (pijat, minum jamu, misalnya) untuk menggugurkan
kehamilannya.
 Apabila remaja perempuan tetap mempertahankan kehamilannya, maka resiko yang dihadapi
akan lebih tinggi
dibanding perempuan usia 20 tahun ke atas, misalnya kelahiran prematur, keguguran, kematian
bayi dalam kandungan,
bayi lahir dengan berat badan tidak normal dan meninggal kurang dari satu tahun.
Kebijakan Kesehatan dan Penghormatan terhadap Perempuan

Dalam keadaan negara yang mengalami krisis multi dimensi, perempuan yang menanggung
beban terberat dalam
keluarganya. Keragaman perempuan berdasarkan kelas, ras, maupun nasion, dikaitkan dalam
benang merah isu-isu
sentral perempuan seperti pendidikan, kesehatan reproduksi, kerja domestik, upah rendah, peran
ganda, kekerasan
seksual, ideologi jender, terutama pada masyarakat yang telah mengenal kapitalisme dan
komersialisasi.

Dari berbagai pendekatan dalam menangani masalah perempuan , seyogyanya beberapa


pendekatan berikut dipakai
sebagai dasar penyusunan kebijakan :
1. Kebutuhan praktis jender
merupakan kebutuhan yang meringankan beban kerja kehidupan perempuan, tapi tidak
menyinggung ketidaksejajaran
dalam bidang kerja, seksual, pendidikan
2. Pendekatan kesetaraan (equity approach)
Perempuan merupakan partisipan aktif dalam proses pembangunan yang mempunyai sumbangan
dalam pertumbuhan
ekonomi melalui kegiatan produktif dan reproduktif.
3. Pendekatan Pemberdayaan (empowerment approach)
Pendekatan ini berdasarkan asumsi bahwa untuk memperbaiki posisi perempuan, beberapa
intervensi dari atas, tanpa
disertai upaya untuk meningkatkan kekuasaan perempuan dalam melakukan negosiasi, tawar-
menawar dan mengubah
sendiri situasinya tidak akan berhasil.

Kebijakan dalam bidang kesehatan reproduksi berikut ini, sebagian perlu dilakukan untuk
memperbaiki keadaan buruk
yang diciptakan oleh kebijakan di masa Soeharto:
1. Peningkatan kondisi kesehatan perempuan dan peningkatan kesempatan kerja
Hal ini dilakukan dalam upaya untuk meningkatkan usia kawin dan melahirkan, sehingga resiko
selama kehamilan akan
menurun
2. Pendekatan target pada program KB harus disertai dengan adanya tenaga dan peralatan medis
yang cukup. Hal ini
untuk mencegah terjadinya malpraktek karena keinginan untuk mencapai target.
3. Peningkatan partisipasi laki-laki dalam menurunkan angka kelahiran
Tidak hanya perempuan yang dituntut untuk mencegah kehamilan, tetapi juga laki-laki, karena
pada saat ini sudah
tersedia beberapa alat kontrasepsi untuk laki-laki.
4. Penyadaran akan kesetaraan dalam menentukan hubungan seksual dengan laki-laki
Penyadaran bahwa perempuan berhak menolak berhubungan seksual dengan laki-laki, meskipun
laki-laki tersebut
suaminya, bila hal itu membahayakan kesehatan reproduksinya (misalnya laki-laki tersebut
mengidap HIV/AIDS)
5. Pencabutan sanksi sekolah terhadap remaja perempuan yang hamil di luar nikah. Remaja
tersebut cukup
dikenakan wajib cuti selama kehamilannya
6. Penyuluhan tentang jenis, guna, dan resiko penggunaan alat kontrasepsi
Baik alat kontrasepsi modern maupun tradisional perlu diperkenalkan guna dan resikonya kepada
perempuan. Dengan
demikian perempuan dapat menentukan alat kontrasepsi mana yang terbaik untuk dirinya
7. Penyuluhan tentang HIV/AIDS dan PMS (penyakit menular seksual) kepada perempuan
8. Pendidikan seks pada remaja perempuan dan laki-laki

Pengabaian hubungan gender mengakibatkan perempuan menjadi target utama dari kebijakan
dalam bidang kesehatan
dan kependudukan yang selama ini dilakukan pemerintah. Selama ini perempuan ditempatkan
hanya sebagai instrumen
perantara dalam mencapai target kependudukan atau kesehatan yang dicanangkan pemerintah
tanpa memandang hak-
hak perempuan atas tubuhnya sendiri. Kebijakan kesehatan yang menghormati hak perempuan
atas tubuhnya, dalam
jangka panjang akan memberikan kontribusi mengatasi masalah kependudukan, dengan resiko
yang jauh lebih kecil
dibanding kebijakan kependudukan menggunakan kontrasepsi modern

Anda mungkin juga menyukai