Dheny Kebijkan
Dheny Kebijkan
BAB 1
PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG
Dalam program 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu periode kedua, Presiden RI menetapkan 45
program penting yang akan dijalankan di seluruh tanah air berkaitan dengan pembangunan
sektoral dan regional.
Dari 45 program ini telah dipilih 15 program unggulan, dimana kesehatan masuk dalam program
ke 12. Landasan kerja pembangunan kesehatan pada Kabinet Indonesia Bersatu ke-2 ini, akan
memperhatikan tiga “tagline” penting yaitu change and continuity; debottlenecking, acceleration,
and enhancemen; serta unity, together we can
Sejak dilantik menjadi Menteri Kesehatan, dr. Endang R. Sedyaningsih, MPH, Dr. PH. telah
menetapkan program jangka pendek 100 hari dan program jangka menengah tahun 2010 – 2014
yang disusun dalam sebuah rencana strategis Depkes.
Maksud dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah manajemen
1. .Tujuan Umum
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah akan membahas masalah kebijakan –kebijakan
pemerintah dalam bidang kesehatan
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusu dalam penulisan makalah ini adalah akan membahas masalah-masalah:
a. Dasar-hukum Gerakan pembangunan berwawasan kesehatan
b. Perubahan paradigm system pelayanan kesehatan
c. Oragnisasi depkes
d. Visi, misi depkes
e. Strategi depkes
C. RUANG LINGKUP
Adapun ruang lingkup penulisan makalah ini adalah hanya akan membahas maslah kebijakan
pemerintah dalam bidang kesehatan, terutama perubahan paradigm pelayanan kesehatan, visi,
misi dan strategi depkes.
BAB II
PEMBAHASAN
II. Memutuskan
Menetapkan :
1. Keputusan Menteri Kesehatan tentang Sistem Kesehatan Nasional
2. Sistem Kesehatan Nasional Dimaksud dalam dictum dimaksud agar digunakan sebagai
Pedoman semua pihak dalam penyelenggaran pembangunan kesehatan di Indonesia
3 . keputusan ini berlaku mulai pada tanggal ditetapkan dengan ketentuan akan diadakan
perubahan sebagaimana mestinya apabila dikemudian hari terdapat kekeliruan
ditetapkan 10 Februari 2004 ( Jakarta/ MenKes RI).
STRATEGI
1. Menggerakan dan memberdayakan masyarakat
2. Meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan kesehatan yang berkualitas
3. Meningkatkan system survey lens, monitoring, dan informasi kesehatan
4. Meningkatkan pembiayaan kesehatan
Sejak dilantik menjadi Menteri Kesehatan, dr. Endang R. Sedyaningsih, MPH, Dr. PH. telah
menetapkan program jangka pendek 100 hari dan program jangka menengah tahun 2010 – 2014
yang disusun dalam sebuah rencana strategis Depkes.
Visi Rencana Strategis yang ingin dicapai Depkes adalah “Masyarakat Yang Mandiri dan
Berkeadilan“. Visi ini dituangkan menjadi 4 misi yaitu :
Visi dan Misi ini akan diwujudkan melalui 6 Rencana Strategi Tahun 2010 – 2014, yaitu:
1. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat, swasta dan masyarakat madani dalam
pembangunan kesehatan melalui kerjasama nasional dan global
2. Meningkatkan pelayanan kesehatan yang merata, bermutu dan berkeadilan, serta berbasis
bukti,: dengan pengutamaan pada upaya promotif dan preventif
3. MEningkatkan pembiayaan pembangunan kesehatan, terutama untuk mewujudkan jaminan
social kesehatan nasional
4. Meningkatkan pengembangan dan pendayagunaan SDM kesehatan yang merata dan bermutu
5. Meningkatkan ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat dan alat kesehatan serta
menjamin keamanan, khasiat, kemanfaatan, dan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan dan
makanan
6. Meningkatkan manajemen kesehatan yang akuntabel, transparan, berdayaguna dan
berhasilguna untuk memantapkan desentralisasi kesehatan yang bertanggung jawab.
JAMPERSAL
Menteri Kesehat an akhirnya mengeluarkan petunjuk teknis (juknis) mengenai jaminan
persalinan (jampersal). Juknis ini tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia nomor 631/Menkes/per/ iii/2011 Tentang Petunjuk Teknis Jaminan Persalinan.
Diterbitkannya Petunjuk Teknis Jaminan Persalinan ini untuk digunakan sebagai acuan
penyelenggaraan program Jaminan Persalinan. Petunjuk Teknis ini merupakan bagian tak
terpisahkan dari Pedoman Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas).
Petunjuk Teknis ini telah disusun bersama-sama secara lintas sektor dan lintas program serta
masukan dari ikatan profesi dan pelaksana program di daerah. “Kepada semua pihak yang
memberikan kontribusinya saya ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya. Semoga petunjuk
teknis ini bermanfaat dalam mendukung upaya kita untuk mewujudkan masyarakat sehat yang
mandiri dan berkeadilan.
Sebagaimana diketahui, dalam rangka mempercepat pencapaian tujuan pembangunan kesehatan
nasional serta Millennium Development Goals (MDGs), pada tahun 2011 Kementerian
Kesehatan meluncurkan kebijakan jampersal.
Dari beberapa pencapaian tujuan pembangunan kesehatan nasional serta MDGs, pihaknya
menghadapi berbagai hal yang multi kompleks seperti masalah budaya, pendidikan masyarakat,
pengetahuan, lingkungan, kecukupan fasilitas kesehatan, sumberdaya manusia dan lainnya.
Penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan tantangan
yang lebih sulit dicapai dibandingkan target MDGs lainnya
Oleh karena itu, upaya penurunan AKI tidak dapat lagi dilakukan dengan intervensi biasa,
diperlukan upaya-upaya terobosan serta peningkatan kerjasama lintas sektor untuk mengejar
ketertinggalan penurunan AKI agar dapat mencapai target MDGs.
Salah satu faktor yang penting adalah perlunya meningkatkan akses masyarakat terhadap
persalinan yang sehat dengan cara memberikan kemudahan pembiayaan kepada seluruh ibu
hamil yang belum memiliki jaminan persalinan.
Jaminan Persalinan ini diberikan kepada semua ibu hamil agar dapat mengakses pemeriksaan
persalinan, pertolongan persalinan, pemerikasaan nifas dan pelayanan KB oleh tenaga kesehatan
di fasilitas kesehatan sehingga pada gilirannya dapat menekan angka kematian ibu dan bayi.
JAMKESMAS
Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) adalah program pelayanan kesehatan gratis bagi
masyarakat miskin yang sebelumnya disebut Asuransi Kesehatan untuk Masyarakat Miskin
(Askeskin).
Program yang dimulai pada tahun 2008 ini dilanjutkan pada tahun 2009 karena (menurut
pemerintah) terbukti meningkatkan akses rakyat miskin terhadap layanan kesehatan gratis.
Program itu nantinya terintegrasi atau menjadi bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional yang
bertujuan memberi perlindungan sosial dan kesehatan bagi seluruh lapisan masyarakat. Jika
Sistem Jaminan Sosial Nasional(SJSN) efektif diterapkan di Indonesia, program Jamkesmas
akan disesuaikan dengan sistem itu. Salah satunya, pengaturan proporsi iuran pemerintah pusat
dan daerah untuk pembiayaan pemeliharaan kesehatan rakyat miskin.
–o–
4. Promotif
• Meningkatkan pengetahuan
• Menjaga stamina tubuh
• Menu seimbang
5. Preventif
• Imunisasi
• Hygiene
• Lingkungan
• Amdal
• Taat lalu lintas
• Keselamatan kerja
6. Kuratif
• Pengobatan
• Rehabilitasi
STRATEGI
5. Menggerakan dan memberdayakan masyarakat
6. Meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan kesehatan yang berkualitas
7. Meningkatkan system survey lens, monitoring, dan informasi kesehatan
8. Meningkatkan pembiayaan kesehatan
PENUTUP
KESIMPULAN
1. A. Latar Belakang
Dalam Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, pada pasal 5 ayat (1) menegaskan bahwa
setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan.
Selanjutnya pada ayat (2) ditegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan
yang aman, bermutu, dan terjangkau. Kemudian pada ayat (3) bahwa setiap orang berhak secara mandiri dan
bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya. Selanjutnya pada pasal 6
ditegaskan bahwa setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat kesehatan.
Untuk menjamin terpenuhinya hak hidup sehat bagi seluruh penduduk termasuk penduduk miskin dan tidak mampu,
pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan sumber daya di bidang kesehatan yang adil dan merata bagi seluruh
masyarakat untuk memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Oleh sebab itu di awal tahun 2011, Pemerintah melalui Kementrian Kesehatan RI mencanangkan suatu kebijakan
yang tertuang dalam program Jaminan Persalinan (Jampersal). Program ini dibuat guna membantu dalam
pencapaian tujuan Pembangunan Kesehatan Nasional serta Millennium Development Goals (MDGs) tahun 2015.
Salah satu dari tujuan Pembangunan Kesehatan Nasional yang terkait dengan program Jampersal ini adalah
Penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB).
Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia masih cukup tinggi dibandingkan
dengan negara ASEAN lainnya. Menurut data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007, AKI 228
per 100.000 kelahiran hidup, AKB 34 per 1000kelahiran hidup, Angka Kematian Neonatus (AKN) 19 per 1000
kelahiran hidup. Berdasarkan kesepakatan global (Millenium Develoment Goals/MDG’s 2000) pada tahun 2015,
diharapkan angka kematian ibu menurun dari 228 pada tahun 2007 menjadi 102 per 100.000 KH dan angka
kematian bayi menurun dari 34 pada tahun 2007 menjadi 23 per 1000 KH.
Upaya penurunan AKI harus difokuskan pada penyebab langsung kematian ibu, yang terjadi 90% pada saat
persalinan dan segera setelah pesalinan yaitu perdarahan (28%), eklamsia (24%), infeksi (11%), komplikasi
pueperium 8%, partus macet 5%, abortus 5%, trauma obstetric 5%, emboli 3%, dan lain-lain 11% (SKRT 2001).
Kematian ibu juga diakibatkan beberapa faktor resiko keterlambatan (Tiga Terlambat), di antaranya terlambat dalam
pemeriksaan kehamilan, terlambat dalam memperoleh pelayanan persalinan dari tenaga kesehatan, dan terlambat
sampai di fasilitas kesehatan pada saat dalam keadaan emergensi. Salah satu upaya pencegahannya adalah
melakukan persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan.
Oleh karena itu, upaya penurunan AKI dan AKB tidak dapat lagi dilakukan dengan intervensi biasa, diperlukan
upaya-upaya terobosan serta peningkatan kerjasama lintas sektor untuk mengejar ketertinggalan penurunan AKI dan
AKB, agar dapat mencapai target MDGs. Salah satu indikasi yang penting adalah perlunya meningkatkan akses
masyarakat terhadap persalinan yang sehat dengan cara memberikan kemudahan pembiayaan kepada seluruh ibu
hamil yang belum memiliki jaminan persalinan.
Sasaran peserta dari program Jampesal ini ialah ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas (pasca melahirkan sampai 42 hari)
dan bayi baru lahir (0-28 hari) yang belum memiliki jaminan biaya kesehatan.
Pelayanan Jampersal ini meliputi pemeriksaan kehamilan ante natal care (ANC), pertolongan persalinan,
pemeriksaan post natal care (PNC) oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan pemerintah (Puskesmas dan
jaringannya), fasilitas kesehatan swasta yang tersedia fasilitas persalinan (Klinik/Rumah Bersalin, Dokter Praktik,
Bidan Praktik) dan yang telah menanda-tangani Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan Tim Pengelola Jamkesmas
Kabupaten/Kota. Selain itu, pemeriksaan kehamilan dengan risiko tinggi dan persalinan dengan penyulit dan
komplikasi dilakukan secara berjenjang di Puskesmas dan RS berdasarkan rujukan.
Sumber pendanaan program Jampersal berasal dari dana APBN yang dituangkan dalam satu DIPA bergabung
dengan program Jamkesmas. Jamkesmas dananya untuk tahun 2011 ini mencapai Rp6,3 triliun, dan dari jumlah itu
sebesar Rp1,2 triliun digunakan untuk program Jampersal.
1. B. Tujuan
2. Tujuan umum
Untuk mengetahui gambaran jaminan persalinan
1. Tujuan khusus
A. Untuk mengetahui Pengertian Jaminan Persalinan
B. Untuk mengetahui Tujuan Jaminan Persalinan
C. Untuk mengetahui Sasaran Jaminan Persalinan
D. Untuk mengetahui Kebijakan Operasional Jampersal
e. Untuk mengetahui Manfaat Jaminan Persalinan
1. Manfaat keilmuan
Diharapkan dapat menjadi kajian dan acuan serta bahan bacaan dalam studi literatur dalam konteks penelitian.
1. b. Tujuan khusus
A. Meningkatkan cakupan pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, dan pelayanan nifas ibu oleh tenaga
kesehatan.
B. Meningkatkan cakupan pelayanan bayi baru lahir oleh tenaga kesehatan.
C. Meningkatkan cakupan pelayanan KB pasca persalinan.
D. Meningkatkan cakupan penanganan komplikasi ibu hamil, bersalin, nifas, dan bayi baru lahir.
E. Terselenggaranya pengelolaan keuangan yang efisien, efektif, transparan, dan akuntabel.
1. Ibu hamil.
2. Ibu bersalin.
3. Ibu nifas (pasca melahirkan – 42 hari).
4. Bayi baru lahir (0-28 hari).
1. D. KEBIJAKAN OPERASIONAL
A. Pengelolaan Jaminan Persalinan di setiap jenjang pemerintahan (pusat, provinsi, dan kabupaten/ kota) menjadi satu
kesatuan dengan pengelolaan Jamkesmas dan Bantuan Operasional Kesehatan (BOK).
B. Pengelolaan kepesertaan Jaminan Persalinan merupakan perluasan kepesertaan dari program Jamkesmas yang
mengikuti tata kelola kepesertaan dan manajemen Jamkesmas, namun dengan kekhususan dalam hal penetapan
pesertanya.
C. Peserta program Jaminan Persalinan adalah seluruh sasaran yang belum memiliki jaminan persalinan.
D. Peserta Jaminan Persalinan dapat memanfaatkan pelayanan di seluruh jaringan fasilitas pelayanan kesehatan tingkat
pertama dan tingkat lanjutan (Rumah Sakit) di kelas III yang memiliki Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan Tim
Pengelola Jamkesmas dan BOK Kabupaten/Kota.
E. Pelaksanaan pelayanan Jaminan Persalinan mengacu pada standar pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA).
F. Pelayanan Jaminan Persalinan diselenggarakan dengan prinsip Portabilitas, Pelayanan terstruktur berjenjang
berdasarkan rujukan.
G. Untuk pelayanan paket persalinan tingkat pertama di fasilitas kesehatan pemerintah (Puskesmas dan Jaringannya)
didanai berdasarkan usulan POA Puskesmas.
H. Untuk pelayanan paket persalinan tingkat pertama di fasilitas kesehatan swasta dibayarkan dengan mekanisme
klaim. Klaim persalinan didasarkan atas tempat (lokasi wilayah) pelayanan persalinan dilakukan.
1. Pemeriksaan kehamilan
2. Pertolongan persalinan normal
3. Pelayanan nifas, termasuk KB pasca persalinan
4. Pelayanan bayi baru lahir
5. Penanganan komplikasi pada kehamilan, persalinan, nifas dan bayi baru lahir
1. Persalinan normal
2. Pelayanan nifas normal, termasuk KB pasca persalinan
3. Pelayanan bayi baru lahir normal
4. Pemeriksaan kehamilan pada kehamilan risiko tinggi
5. Pelayanan pasca keguguran
6. Persalinan per vaginam dengan tindakan emergensi dasar
7. Pelayanan nifas dengan tindakan emergensi dasar
8. Pelayanan bayi baru lahir dengan tindakan emergensi dasar
9. Pemeriksaan rujukan kehamilan pada kehamilan risiko tinggi
10. Penanganan rujukan pasca keguguran
11. Penanganan kehamilan ektopik terganggu (KET)
12. Persalinan dengan tindakan emergensi komprehensif
13. Pelayanan nifas dengan tindakan emergensi komprehensif
14. Pelayanan bayi baru lahir dengan tindakan emergensi komprehensif
15. Pelayanan KB pasca persalinan.
Tatalaksana PNC dilakukan sesuai dengan buku pedoman KIA.Ketentuan pelayanan pasca persalinan meliputi
pemeriksaan nifas minimal 3 kali.
Pada pelayanan pasca nifas ini dilakukan upaya KIE/Konseling untukmemastikan seluruh ibu pasca bersalin atau
pasangannya menjadi akseptor KB yang diarahkan kepada kontrasepsi jangka panjang seperti alat kontrasepsi dalam
rahim (AKDR) atau kontrasepsi mantap/kontap (MOP dan MOW) untuk tujuan pembatasan dan IUD untuk tujuan
penjarangan, secara kafetaria disiapkan alat dan obat semua jenis kontrasepsi oleh BKKBN.
Agar tujuan tersebut dapat tercapai, perlu dilakukan koordinasi yang sebaik-baiknya antara tenaga di fasilitas
kesehatan/pemberi layanan dan Dinas Kesehatan selaku Tim Pengelola serta SKPD yang menangani masalah
keluarga berencana serta BKKBN atau (BPMP KB) Propinsi.
1. 2. Alokasi dana
Alokasi dana Jaminan Persalinan di Kabupaten/Kota diperhitungkan berdasarkan perkiraan jumlah sasaran yang
belum memiliki jaminan persalinan di daerah tersebut dikalikan besaran biaya paket pelayanan persalinan tingkat
pertama.
1. c. Penyaluran dana
Dana untuk pelayanan Jamkesmas termasuk Jampersal merupakan satu kesatuan (secara terintegrasi) disalurkan
langsung dari Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Jakarta V ke:
1. Rekening Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota sebagai penanggung jawab Pengelolaan Jamkesmas di
wilayahnya.
2. Rekening Rumah Sakit untuk Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan (pemerintah dan swasta).
1. d. Pengelolaan Dana
Agar penyelenggaraan Jamkesmas termasuk Jaminan Persalinan terlaksana secara baik, lancar, transparan dan
akuntabel, pengelolaan dana tetap memperhatikan dan merujuk pada ketentuan pengelolaan keuangan yang berlaku.
1. Pengelolaan dana jamkesmas dan jaminan persalinan di pelayanan dasar
Pada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dibentuk Tim Pengelola Jamkesmas tingkat Kabupaten/Kota. Tim ini
berfungsi dan bertanggung dalam pelaksanaan penyelenggaraan Jamkesmas di wilayahnya. Salah satu tugas dari
Tim Pengelola Jamkesmas adalah melaksanakan pengelolaan keuangan Jamkesmas yang meliputi penerimaan dana
dari Pusat, verifikasi atas klaim, pembayaran, dan pertanggungjawaban klaim dari fasilitas kesehatan Puskesmas dan
lainnya.
1. Dana pelayanan Jamkesmas dan Jaminan Persalinan dipelayanan kesehatan lanjutan disalurkan ke rekening Fasilitas
Kesehatan Tingkat Lanjutan dalam satu kesatuan (terintegrasi).
2. Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan (Rumah Sakit/Balai Kesehatan) membuat laporan pertanggungjawaban/klaim
dengan menggunakan INA-CBGs.
3. Selanjutnya Laporan pertanggungan jawaban/klaim tersebut sebagaimana dimaksud angka 3 (tiga) dilaksanakan
sebagaimana pertanggungjawaban yang selama ini telah berjalan di Rumah Sakit (sesuai pengaturan sebelumnya).
4. Sesuai dengan ketentuan pengelolaan keuangan negara, Jasa Giro/Bunga Bank harus disetorkan oleh Rumah Sakit
ke KasNegara.
5. Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan mengirimkan secara resmi laporan pertanggungjawaban/klaim dana
Jamkesmas dan Jaminan Persalinan terintegrasi kepada Tim Pengelola Jamkesmas Pusat dan tembusan kepada Tim
Pengelola Jamkesmas Kabupaten/kota dan Provinsi sebagai bahan monitoring, evaluasi dan pelaporan.
6. Seluruh berkas dokumen pertanggungjawaban dana disimpan oleh Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan untuk
bahan dokumen kesiapan audit kemudian oleh Aparat Pengawas Fungsional (APF)
1. e. Kelengkapan Pertanggungjawaban/Klaim
Pertanggungjawaban klaim pelayanan Jaminan Persalinan dari fasilitas kesehatan tingkat pertama ke Tim Pengelola
Kabupaten/Kota dilengkapi:
1. Fotokopi lembar pelayanan pada Buku KIA sesuai pelayanan yang diberikan untuk Pemeriksaan kehamilan,
pelayanan nifas, termasuk pelayanan bayi baru lahir dan KB pasca persalinan. Apabila tidak terdapat buku KIA pada
daerah setempat dapat digunakan bukti-bukti yang syah yang ditandatangani ibu hamil/bersalin dan petugas yang
menangani. Tim Pengelola Kabupaten/Kota menghubungi Pusat (Direktorat Kesehatan Ibu) terkait ketersediaan
buku KIA tersebut.
2. Partograf yang ditandatangani oleh tenaga kesehatan penolong persalinan untuk Pertolongan persalinan.
3. Fotokopi/tembusan surat rujukan, termasuk keterangan tindakan pra rujukan yang telah dilakukan di tandatangani
oleh ibu hamil/ibu bersalin.
4. Fotokopi identitas diri (KTP atau identitas lainnya) dari ibu hamil/yang melahirkan.
1. H. PENGORGANISASIAN
Pengorganisasian kegiatan Jaminan Persalinan dimaksudkan agar pelaksanaan manajemen kegiatan Jaminan
Persalinan dapat berjalan secara efektif dan efisien. Pengelolaan kegiatan Jaminan Persalinan dilaksanakan secara
bersama-sama antara pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. Dalam pengelolaan Jaminan
Persalinan dibentuk Tim Pengelola di tingkat pusat, tingkat provinsi, dan tingkat kabupaten/kota. Pengelolaan
kegiatan Jaminan Persalinan terintegrasi dengan kegiatan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan BOK.
1. Tim Koordinasi Jamkesmas dan BOK (bersifat lintas sektor), sampai tingkat kabupaten/kota.
2. Tim Pengelola Jamkesmas dan BOK (bersifat lintas program), sampaitingkat kabupaten/kota
BAB III
PENUTUP
1. A. KESIMPULAN
Kebijakan Jaminan Persalinan diselenggarakan dengan maksud untuk mempermudah akses ibu hamil dalam
mendapatkan pelayanan ANC dan pertolongan persalinan yang hygienis oleh tenaga kesehatan yang terlatih baik
persalinan normal maupun dengan penyulit. Hal ini dilakukan untuk mengatasi hambatan biaya persalinan yang
sering rmenjadi masalah pada kelompok masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah. Jaminan
persalinan sesungguhnya merupakan perluasan kepesertaan dan manfaat Jamkesmas kepada ibu hamil, bersalin dan
ibu dalam masa nifas yang belum mempunyai jaminan persalinan
DAFTAR PUSTAKA
http://mediabidan.com/ruang-lingkup-jaminan-persalinan/
http://dinkes.jatimprov.go.id/contentdetail/12/2/132/jaminan_persalinan_jampersal.html
http://dinkes.bantulkab.go.id/berita/baca/2012/04/23/084644/program-jaminan-persalinan-jampersal-kabupaten-
bantul-tahun-2012
http://sehatnegeriku.com/mengupas-kebijakan-jaminan-persalinan/
http://www.gizikia.depkes.go.id/wp-content/uploads/2011/05/Buku-Juknis-Jampersal_Final_versi-cetak1.pdf
http://www.depkes.go.id/downloads/PERATURAN_MENTERI_KESEHATAN_JUKNIS_JAMPERSAL.pdf
http://agus34drajat.files.wordpress.com/2010/10/buku-saku-jampersal1.pdf
Selama ini mungkin kita sudah terbiasa "pesimis" dengan segala macam bentuk program pemerintah :).
Wajar ini terjadi karena memang ada banyak contoh yang tidak berjalan sesuai rencana. Entah itu
hanya menjadi slogan atau hanya dinikmati sebagian kalangan.
Tapi tidak semuanya seperti itu, bilapun ada kekurangan disana-sini masih bisa dimaklumi karena toh
tak ada yang sempurna di dunia ini :). Salah contoh program pemerintah yang sangat mulia dan telah
berjalan cukup baik adalah program Jampersal.
Apakah tujuan program Jampersal ? Tujuan program ini warcoff jadikan satu sebagai berikut :
Meningkatkan akses pemeriksaan kehamilan (antenatal), persalinan, dan pelayanan nifas dan bayi baru lahir yang
dilahirkannya (postnatal) yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dengan menghilangkan hambatan finansial dalam
Mendorong peningkatan pemeriksaan kehamilan (antenatal), persalinan, dan pelayanan nifas ibu dan bayi baru
Dengan dukungan Jampersal diharapkan makin mengurangi hambatan finansial yang dihadapi masyarakat yang
selama ini tidak memiliki jaminan pembiayaan persalinan, agar mereka dapat mengakses pelayanan kesehatan ibu
yang berkualitas, dalam upaya percepatan penurunan Angka Kematian Ibu di Indonesia.
Apa saja bentuk layanan dari Jampersal ? Bentuk pelayanan jampersal pada intinya tidak hanya
meliputi pelayanan persalinan tapi juga termasuk dengan ketersediaan fasilitas kesehatan seperti
puskesmas, bidan swasta, rumah sakit pemerintah/swasta, rumah bersalin dan sejenisnya yang telah
bekerjasama dengan pihak terkait. (untuk lebih jelas bisa dilihat disini)
Bagaimana contoh penerapan di daerah ? Di Palembang sendiri program ini telah berjalan cukup baik
dan sudah banyak dirasakan manfaatnya secara langsung oleh masyarakat. Contohnya adik warcoff yang
beberapa bulan lagi melahirkan. Dimana persyaratan untuk mendapatkan layanan Jampersal ini tidak
rumit cuma melengkapi prosedur berikut :
KTP
KK
Secara keseluruhan program Jampersal ini sangat bermanfaat terutama bagi kalangan menengah ke
bawah dan harapan kita semua tentu program ini dijauhkan dari segala macam bentuk
korupsi/penyalahgunaan hingga bisa langgeng dan secara maksimal bisa dirasakan oleh masyarakat yang
membutuhkan. Semoga manfaat :).
MAKALAH ASKEB III NIFAS
TENTANG
TARGET PENCAPAIAN MDGS UNTUK PENURUNAN AKI
DI INDONESIA
Mata kuliah :Askeb III Nifas
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan hidayah-
Nya makalah ini dapat terselesaikan.
Makalah Kesehatan ibu dan anak adalah syarat untuk memenuhi salah satu tugas di Akademi
Kebhidanan Wahana Husada Bandar Jaya Terbanggi Besar Lampung Tengah. Makalah ini
terwujud berkat bantuan, pengarahan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis
mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini penulis masih banyak kesalahan dan
kekurangan jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga makalah yang
sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Bandar Jaya, 30 September 2011
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.......................................................................................
KATA PENGNTAR........................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang .........................................................................1
Tujuan........................................................................................1
BAB II LANDASAN TEORI
Status pencapaian MDGs di Indonesia
Tujuan MDGs
BAB I
PENDAHULUAN
1.LatarBelakang
Saat ini kita berada di tahun 2011. Sebuah tahun yang sangat dekat dengan tahun 2015. Tahun
2015 adalah tahun dimana seluruh masyarakat dunia mendukung atas pencapaian suatu tujuan
ambisius. Tujuan ini dinamakan Millenium Development Goals (MDGs). Pada September 2000,
tujuan ini dideklarasikan pada Konferensi Tingkat Tinggi Millenium yang dihadiri oleh
pimpinan 189 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York.
Millenium Development Goals merupakan sebuah paket berisi delapan tujuan utama yang
mempunyai batas waktu tahun 2015 dan target yang sangat terukur.2 Delapan tujuan itu adalah
memberantas kemiskinan dan kelaparan ekstrem, mewujudkan pendidikan dasar untuk semua,
mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, menurunkan angka kematian anak,
meningkatkan kesehatan Ibu, memerangi HIV & AIDS, malaria serta penyakit lainnya,
memastikan kelestarian linkungan, dan membangun kemitraan global untuk pembangunan.
Seiring dengan berjalannya waktu tak terasa MDGs sudah memasuki kuartal terakhir. Hanya
tinggal empat tahun lagi seharusnya kita bisa menyaksikan perubahan-perubahan besar yang
ditargetkan.
Namun sayang sekali, berdasarkan data-data yang ada mengenai perkembangan MDGs
khususnya di Indonesia dan Negara-negara berkembang lainnya, kita tidak akan mencapai tujuan
ambisius tersebut. Begitu banyak hal yang terjadi termasuk krisis pangan dan keuangan serta
begitu luasnya Indonesia menjadi kendala tercapainya MDGs.
Memang saat ini kita menyaksikan banyak kemajuan dalam berbagai bidang jika dibandingkan
dengan Indonesia tahun 1990. Pembangunan diberbagai bidang yang luar biasa telah cukup
meningkatkan taraf hidup masyarakat Indonesia. Namun masih cukup jauh jika kita merujuk
pada tujuan spesifik dari MDGs.
2.Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah mengetahui Aki di Indonesia,target pencapaian MDGS untuk
menurunkan AKI di Indonesia.
BAB II
TINJAUAN TEORI
Indonesia telah berhasil menurunkan tingkat kemiskinan, sebagaimana diukur oleh indikator
USD 1,00 per kapita per hari, menjadi setengahnya. Kemajuan juga telah dicapai dalam upaya
untuk lebih menurunkan lagi tingkat kemiskinan, sebagaimana diukur oleh garis kemiskinan
nasional dari tingkat saat ini sebesar 13,33 persen (2010) menuju targetnya sebesar 8 - 10 persen
pada tahun 2014. Prevalensi kekurangan gizi pada balita telah menurun dari 31 persen pada
tahun 1989 menjadi 18,4 persen pada tahun 2007, sehingga Indonesia diperkirakan dapat
mencapai target MDG sebesar 15,5 persen pada tahun 2015. Prioritas kedepan untuk
menurunkan kemiskinan dan kelaparan
adalah dengan memperluas kesempatan kerja, meningkatkan infrastruktur pendukung, dan
memperkuat sektor pertanian. Perha an khusus perlu diberikan pada: (i) perluasan fasilitas kredit
untuk usaha mikro,kecil, dan menengah (UMKM); (ii) pemberdayaan masyarakat miskin dengan
meningkatkan akses dan penggunaan sumber daya untuk meningkatkan kesejahteraannya; (iii)
peningkatan akses penduduk miskin terhadap pelayanan sosial dan (iv) perbaikan penyediaan
proteksi sosial bagi kelompok termiskin di antara
yang miskin.
Upaya Indonesia untuk mencapai target MDG tentang pendidikan dasar dan melek huruf sudah
menuju pada pencapaian target 2015 (on-track). Bahkan Indonesia menetapkan pendidikan dasar
melebihi target MDGs dengan menambahkan sekolah menengah pertama sebagai sasaran
pendidikan dasar universal. Pada tahun 2008/09 angka par sipasi kasar (APK) SD/MI termasuk
Paket A telah mencapai 116,77 persen dan angka par sipasi murni (APM) sekitar 95,23
persen.Pada tingkat sekolah dasar (SD/MI) secara umum disparitas par sipasi pendidikan
antarprovinsi semakin menyempit dengan APM di hampir semua provinsi telah mencapai lebih
dari 90,0 persen. Tantangan utama dalam percepatan pencapaian sasaran MDG pendidikan
adalahmeningkatkan pemerataan akses secara adil bagi semua anak, baik laki-laki maupun
perempuan, untuk mendapatkan pendidikan dasar yang berkualitas di semua daerah. Berbagai
kebijakan dan program pemerintah untuk menjawab tantangan tersebut adalah:
(i) perluasan akses yang merata pada pendidikan dasar khususnya bagi masyarakat miskin; (ii)
peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan; (iii) penguatan tatakelola dan akuntabilitas
pelayanan pendidikan.
Kebijakan alokasi dana pemerintah bagi sektor pendidikan minimal sebesar 20 persen dari
jumlah anggaran nasional akan diteruskan untuk mengakselerasi pencapaian pendidikan dasar
universal pada tahun 2015.
Berbagai kemajuan telah dicapai dalam upaya meningkatkan kesetaraan gender di semuajenjang
dan jenis pendidikan. Rasio angka par sipasi murni (APM) perempuan terhadap laki-laki di
sekolah dasar dan sekolah menengah pertama berturut-turut sebesar 99,73 dan 101,99 pada tahun
2009, dan rasio melek huruf perempuan terhadap laki-laki pada kelompok usia 15 sampai 24
tahun telah mencapai 99,85.
Oleh sebab itu, Indonesia sudah secara efek f menuju (on-track) pencapaian kesetaraan gender
yang terkait dengan pendidikan pada tahun 2015. Di bidang ketenagakerjaan, terlihat adanya
peningkatan kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan di sektor non pertanian. Di samping
itu, proporsi kursi yang diduduki oleh perempuan di DPR pada Pemilu terakhir juga mengalami
peningkatan, menjadi 17,9 persen. Prioritas ke depan dalam mewujudkan kesetaraan gender
melipu : (1) peningkatan kualitas hidup dan peran perempuan dalam pembangunan; (2)
perlindungan perempuan terhadap berbagai ndak kekerasan; dan (3) peningkatan
kapasitas kelembagaan PUG dan pemberdayaan perempuan.
Angka kema an bayi di Indonesia menunjukkan penurunan yang cukup signifikan dari 68 pada
tahun 1991 menjadi 34 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2007, sehingga target sebesar 23
per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2015 diperkirakan dapat tercapai. Demikian pula dengan
target kema an anak diperkirakan akan dapat tercapai. Namun demikian, masih terjadi disparitas
regional pencapaian target, yang mencerminkan adanya perbedaan akses atas pelayanan
kesehatan, terutama di daerah-daerah miskin dan terpencil. Prioritas kedepan adalah memperkuat
sistem kesehatan dan meningkatkan akses pada pelayanan kesehatan terutama bagi masyarakat
miskin dan daerah
terpencil.
Dari semua target MDGs, kinerja penurunan angka kematian ibu secara global masih rendah. Di
Indonesia, angka kema an ibu melahirkan (MMR/Maternal Mortality Rate) menurun dari 390
pada tahun 1991 menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2007.
Target pencapaian MDG pada tahun 2015 adalah sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup,
sehingga diperlukan
kerja keras untuk mencapai target tersebut. Walaupun pelayanan antenatal dan pertolongan
persalinan oleh tenaga kesehatan terla h cukup tinggi, beberapa faktor seper risiko nggi pada saat
kehamilan dan aborsi perlu mendapat perha an. Upaya menurunkan angka kema an ibu didukung
pula dengan meningkatkan angka pemakaian kontrasepsi dan menurunkan unmet need yang
dilakukan melalui peningkatan akses dan kualitas pelayanan KB dan kesehatan reproduksi. Ke
depan, upaya peningkatan kesehatan ibu diprioritaskan
pada perluasan pelayanan kesehatan berkualitas, pelayanan obstetrik yang komprehensif,
peningkatan pelayanan keluarga berencana dan penyebarluasan komunikasi, informasi dan
edukasi kepada masyarakat.
Tingkat emisi gas rumah kaca di Indonesia cukup nggi, walaupun upaya peningkatan luas hutan,
pemberantasan pembalakan hutan, dan komitmen untuk melaksanakan kerangka kebijakan
penurunan emisi karbon dioksida dalam 20 tahun kedepan telah dilakukan. Proporsi rumah
tangga dengan akses air minum layak meningkat dari 37,73 persen pada tahun 1993 menjadi
47,71 persen pada tahun 2009. Sementara itu, proporsi rumah tangga dengan akses sanitasi layak
meningkat dari 24,81 persen (1993) menjadi 51,19 persen (2009). Upaya untuk mengakselerasi
pencapaian target air minum dan sanitasi yang layak terus dilakukan melalui investasi
penyediaan air minum dan sanitasi, terutama untuk melayani jumlah penduduk perkotaan yang
terus meningkat. Untuk daerah
perdesaan, penyediaan air minum dan sanitasi dilakukan melalui upaya pemberdayaan
masyarakat agar memiliki tanggung jawab dalam pengelolaan infrastruktur dan pembangunan
sarana. Di samping itu, perlu dilakukan upaya untuk memperjelas peran dan tanggung jawab
pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya air dan pengelolaan sistem air minum dan
sanitasi yang layak. Proporsi rumah tangga kumuh perkotaan menurun dari 20,75 persen pada
tahun 1993 menjadi 12,12 persen pada tahun 2009. Upaya untuk penurunan proporsi rumah
tangga kumuh dilakukan melalui penanganan pemukiman kumuh.
Indonesia merupakan par sipan ak f dalam berbagai forum internasional dan mempunyai
komitmen untuk terus mengembangkan kemitraan yang bermanfaat dengan berbagai organisasi
multi lateral, mitra bilateral dan sektor swasta untuk mencapai pola pertumbuhan ekonomi yang
berdampak pada penurunan ngkat kemiskinan (pro-poor). Indonesia telah mendapat manfaat dari
mitra pembangunan internasional.
Untuk meningkatkan efek fitas kerjasama dan pengelolaan bantuan pembangunan di Indonesia,
Jakarta Commitment telah ditandatangani bersama 26 mitra pembangunan pada tahun 2009.
Bersamaan dengan ini, Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan pinjaman luar negeri
pemerintah terhadap PDB. Hal ini ditunjukkan dengan menurunnya rasio pinjaman luar negeri
pemerintah terhadap PDB dari 24,6 persen pada tahun 1996 menjadi 10,9 persen pada tahun
2009. Sementara itu, Debt Service Ra o Indonesia juga telah menurun dari 51 persen pada tahun
1996 menjadi 22 persen pada tahun 2009. Untuk meningkatkan akses komunikasi dan informasi,
sektor swasta telah membuat investasi besar ke dalam teknologi informasi dan komunikasi, dan
akses pada telepon genggam, jaringan PSTN, dan
komunikasi internet telah meningkat sangat pesat selama lima tahun terakhir. Pada tahun 2009,
sekitar 82,41 persen dari penduduk Indonesia mempunyai akses pada telepon seluler
B.TUJUAN MDGs
1: Memberantas kemiskinan dan kelaparan ekstrem
a Menurunkan hingga setengahnya Proporsi Penduduk dengan Tingkat Pendapatan Kurang dari
US$ 1 perhari
b. Meneydiakan seutuhnya Pekerjaan yang produktif dan layak, terutama untuk perempuan dan
kaum muda
c. Menurunkan hingga setengahnya Proporsi Penduduk yang Menderita Kelaparan
2.5.2 Undang-undang yang mengatur kode etik bidan dalam asuhan nifas
Pasal 10 ayat 1 menjelaskan bahwa pelayanan kesehatan ibu antara lain pada masa nifas.
Pada ayat 2 d menjelaskan bahwa bidan memberikan pelayanan ibu nifas normal. Ayat 3 e
menjelaskan bahwa bidan berwenang memberikan vitamin A dosis tinggi pada masa nifas.
Dengan adanya undang-undang diatas di harapkan bidan dapat melaksanakan tugasnya sesuai
dengan peraturan yang berlaku dan sesuai etika kebidanan dan dapat memberikan pelayanan
sesuai kebutuhan ibu.
2.5.3 Undang – Undang Tentang ASI Eksklusif
1. Undang – undang republik Indonesia nomor 36 tahun 2009
Tentang kesehatan Departemen kesehatan republik Indonesia Jakarta Bagian kesatu Kesehatan
ibu, bayi, dan anak
Pasal 128
1. Setiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu ekslusif sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan,
kecuali atas indikasi medis.
2. Selama pemberian air susu ibu pihak keluarga, pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat
harus mendukung ibu bayi secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitasa khusus.
3. Penyediaan fasilitas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diadakan di tempat kerja dan
tempat sarana umum.
2. Peraturan menteri kesehatan republik Indonesia nomor 15 tahun 2013 tentang tata cara
penyediaan fasilitas khusus menyusui dan/atau memerah air susu ibu
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 30 ayat (4) Peraturan Pemerintah
Nomor 33 tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif, perlu menetapkan Peraturan
Menteri Kesehatan tentang Tata Cara Penyediaan Fasilitas Khusus Menyusui dan/atau Memerah
Air Susu Ibu;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);
2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5291);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG TATA CARA PENYEDIAAN
FASILITAS KHUSUS MENYUSUI DAN/ATAU MEMERAH AIR SUSU IBU.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Air Susu Ibu yang selanjutnya disingkat ASI adalah cairan hasil sekresi kelenjar payudara ibu.
2. Air Susu Ibu Eksklusif yang selanjutnya disebut ASI Eksklusif adalah ASI yang diberikan kepada bayi
sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan, tanpa menambahkan dan atau mengganti dengan makanan atau
minuman lain.
3. Fasilitas Khusus Menyusui dan/atau Memerah ASI yang selanjutnya disebut dengan Ruang ASI adalah
ruangan yang dilengkapi dengan prasarana menyusui dan memerah ASI yang digunakan untuk menyusui
bayi, memerah ASI, menyimpan ASI perah, dan/atau konseling menyusui/ASI.
4. Tempat kerja adalah ruangan atau lapangan tertutup dan terbuka, bergerak atau tetap dimana tenaga kerja
bekerja, atau yang sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan dimana terdapat sumber
atau sumber-sumber bahaya.
5. Pengurus Tempat Kerja adalah orang yang mempunyai tugas memimpin langsung suatu tempat kerja atau
bagiannya yang berdiri sendiri.
6. Tempat Sarana Umum adalah sarana yang diselenggarakan oleh Pemerintah/swasta atau perorangan yang
digunakan bagi kegiatan masyarakat.
7. Penyelenggara Tempat Sarana Umum adalah penanggung jawab tempat sarana umum.
8. Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki
pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu
memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
9. Tenaga Terlatih Pemberian ASI adalah tenaga yang memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan
mengenai pemberian ASI melalui pelatihan, antara lain konselor menyusui yang telah mendapatkan
sertifikat.
10. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
11. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang
memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
12. Pemerintah Daerah adalah gubernur bupati, atau walikota dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.
13. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah bidang kesehatan.
Pasal 2
Pengaturan Tata Cara Penyediaan Ruang ASI bertujuan untuk:
a. Memberikan perlindungan kepada ibu dalam memberikan ASI Eksklusif dan memenuhi hak anak untuk
mendapatkan ASI Eksklusif; dan
b. meningkatkan peran dan dukungan keluarga, masyarakat, Pemerintah Daerah, dan Pemerintah terhadap
pemberian ASI Eksklusif.
BAB II
DUKUNGAN PROGRAM ASI EKSKLUSIF
Pasal 3
(1) Pengurus Tempat Kerja dan Penyelenggara Tempat Sarana Umum harus mendukung program ASI
Eksklusif.
(2) Dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. penyediaan fasilitas khusus untuk menyusui dan/atau memerah ASI;
b. pemberian kesempatan kepada ibu yang bekerja untuk memberikan ASI Eksklusif kepada bayi atau
memerah ASI selama waktu kerja di Tempat Kerja;
c. pembuatan peraturan internal yang mendukung keberhasilan program pemberian ASI Eksklusif; dan
d. penyediaan Tenaga Terlatih Pemberian ASI.
Pasal 4
Selain dukungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), Penyelenggara Tempat Sarana Umum
berupa Fasilitas Pelayanan Kesehatan, harus membuat kebijakan yang berpedoman pada 10 (sepuluh)
langkah menuju keberhasilan menyusui.
Pasal 5
Penyelenggaraan dukungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a dan huruf d
dilaksanakan sesuai dengan kondisi kemampuan perusahaan, serta dilaksanakan dengan peraturan
perusahaan antara pengusaha dan pekerja/buruh, atau melalui perjanjian kerja bersama antara serikat
pekerja/serikat buruh dengan pengusaha.
BAB III
RUANG ASI
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 6
1. Setiap Pengurus Tempat Kerja dan Penyelenggara Tempat Sarana Umum harus memberikan kesempatan
bagi ibu yang bekerja di dalam ruangan dan/atau di luar ruangan untuk menyusui dan/atau memerah ASI
pada waktu kerja di tempat kerja.
2. Pemberian kesempatan bagi ibu yang bekerja di dalam dan di luar ruangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat berupa penyediaan ruang ASI sesuai standar.
Pasal 7
Dalam menyediakan Ruang ASI, Pengurus Tempat Kerja dan Penyelenggara Tempat Sarana Umum harus
memperhatikan unsur-unsur:
a. perencanaan;
b. sarana dan prasarana;
c. ketenagaan; dan
d. pendanaan;
Bagian Kedua
Perencanaan
Pasal 8
1. Dalam menyediakan Ruang ASI, Pengurus Tempat Kerja dan Penyelenggara Tempat Sarana Umum
harus melakukan Perencanaan.
2. Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk mengetahui kebutuhan jumlah Ruang
ASI yang harus disediakan, meliputi:
a. jumlah pekerja/buruh perempuan hamil dan menyusui
b. luas area kerja;
c. waktu/pengaturan jam kerja;
d. potensi bahaya di tempat kerja; dan
e. sarana dan prasarana;
Bagian Ketiga
Sarana dan Prasarana
Pasal 9
1. Ruang ASI diselenggarakan pada bangunan yang permanen, dapat merupakan ruang tersendiri atau
merupakan bagian dari tempat pelayanan kesehatan yang ada di Tempat Kerja dan Tempat Sarana Umum.
2. Ruang ASI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan kesehatan.
3. Setiap Tempat Kerja dan Tempat Sarana Tempat Umum harus menyediakan sarana dan prasarana Ruang
ASI sesuai dengan standar minimal dan sesuai kebutuhan.
Pasal 10
Persyaratan kesehatan Ruang ASI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) paling sedikit meliputi:
a. tersedianya ruangan khusus dengan ukuran minimal 3x4 m2 dan/atau disesuaikan dengan jumlah pekerja
perempuan yang sedang menyusui;
b. ada pintu yang dapat dikunci, yang mudah dibuka/ditutup;
c. lantai keramik/semen/karpet;
d. memiliki ventilasi dan sirkulasi udara yang cukup;
e. bebas potensi bahaya di tempat kerja termasuk bebas polusi;
f. lingkungan cukup tenang jauh dari kebisingan;
g. penerangan dalam ruangan cukup dan tidak menyilaukan;
h. kelembapan berkisar antara 30-50%, maksimum 60%; dan
i. tersedia wastafel dengan air mengalir untuk cuci tangan dan mencuci peralatan.
Pasal 11
1. Peralatan Ruang ASI di Tempat Kerja sekurang-kurangnya terdiri dari peralatan menyimpan ASI dan
peralatan pendukung lainnya sesuai standar. (2) Peralatan menyimpan ASI sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) antara lain meliputi:
a. lemari pendingin (refrigerator) untuk menyimpan ASI;
b. gel pendingin (ice pack);
c. tas untuk membawa ASI perahan (cooler bag); dan
d. sterilizer botol ASI. (3) Peralatan pendukung lainnya sebagaimana dimaksud
padaayat (1) antara lain meliputi:
1. meja tulis;
2. kursi dengan sandaran untuk ibu memerah ASI;
3. konseling menyusui kit yang terdiri dari model payudara, boneka, cangkir minum ASI, spuit 5cc, spuit 10
cc, dan spuit 20 cc;
4. media KIE tentang ASI dan inisiasi menyusui dini yang terdiri dari poster, foto, leaflet, booklet, dan
buku konseling menyusui);
5. lemari penyimpan alat;
6. dispenser dingin dan panas;
7. alat cuci botol;
8. tempat sampah dan penutup;
9. penyejuk ruangan (AC/Kipas angin);
10. nursing apron/kain pembatas/ pakai krey untuk memerah ASI;
11. waslap untuk kompres payudara;
12. tisu/lap tangan; dan
13. bantal untuk menopang saat menyusui.
Pasal 12
1. Penyediaan Ruang ASI di Tempat Sarana Umum harus sesuai standar untuk Ruang ASI.
2. Standar untuk Ruang ASI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi:
a. kursi dan meja;
b. wastafel; dan
c. sabun cuci tangan.
Bagian Keempat
Ketenagaan
Pasal 13
1. Setiap Pengurus Tempat Kerja dan Penyelenggara Tempat Sarana Umum dapat menyediakan Tenaga
Terlatih Pemberian ASI untuk memberikan konseling menyusui kepada pekerja/buruh di Ruang ASI.
2. Tenaga Terlatih Pemberian ASI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus telah mengikuti pelatihan
konseling menyusui yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.
3. Pelatihan konseling menyusui sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus telah tersertifikasi mengenai
modul maupun tenaga pengajarnya.
Pasal 14
Dalam memberikan konseling menyusui sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Tenaga Terlatih
Pemberian ASI juga menyampaikan manfaat pemberian ASI Eksklusif antara lain berupa:
a. peningkatan kesehatan ibu dan anak;
b. peningkatan produktivitas kerja;
c. peningkatan rasa percaya diri ibu;
d. keuntungan ekonomis dan higienis; dan
e. penundaan kehamilan.
Pasal 15
1. Setiap Ruang ASI harus memiliki penanggung jawab yang dapat merangkap sebagai konselor menyusui.
2. Penanggung jawab Ruang ASI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditunjuk oleh Pengurus Tempat
Kerja dan Penyelenggara Tempat Sarana Umum.
Pasal 16
1. Tenaga Terlatih Pemberian ASI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 harus memahami pengelolaan
pemberian ASI dan mampu memotivasi pekerja agar tetap memberikan ASI kepada anaknya walaupun
bekerja.
2. Dalam hal Ruang ASI belum memiliki konselor menyusui, Pengurus Tempat Kerja dan Penyelenggara
Tempat Sarana Umum dapat bekerja sama dengan Fasilitas Pelayanan Kesehatan atau berkoordinasi
dengan dinas kesehatan provinsi/kabupaten/kota untuk memberikan pelatihan konseling menyusui
3. Jenis dan jumlah tenaga kesehatan dan/atau tenaga non kesehatan sebagai Tenaga Terlatih Pemberian ASI
disesuaikan dengan kebutuhan dan jenis pelayanan yang diberikan di Ruang ASI.
BAB IV
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 17
1. Menteri, menteri terkait, kepala lembaga pemerintah non kementerian, gubernur dan bupati/walikota
melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan penyediaan ruang ASI sesuai dengan
tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing.
2. Dalam melakukan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melibatkan unsur
tripartit dan organisasi profesi terkait.
3. Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk meningkatkan peran
dan dukungan pengurus tempat kerja dan penyelenggara sarana umum untuk keberhasilan program
pemberian ASI Eksklusif.
4. Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui:
a. advokasi, sosialisasi, dan bimbingan teknis peningkatan pemberian ASI Eksklusif; dan
b. monitoring dan evaluasi.
BAB V
PENDANAAN
Pasal 18
1. Tempat Kerja dan Tempat Sarana Umum menyediakan dana untuk mendukung peningkatan pemberian
ASI Eksklusif.
2. Pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari Tempat Kerja, Tempat Sarana Umum
dan sumber lain yang tidak mengikat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. Pendanaan untuk pengelolaan ruang ASI di Tempat Kerja dan Tempat Sarana Umum sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilarang bersumber dari produsen atau distributor susu formula bayi dan/atau
produk bayi lainnya.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 19
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Pengurus Tempat Kerja dan Penyelenggara Tempat Sarana
Umum yang telah menyelenggarakan Ruang ASI, harus menyesuaikan dengan ketentuan Peraturan
Menteri ini paling lambat 1 (satu) tahun.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 20
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan
menempatkannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 18 Februari 2013
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
NAFSIAH MBOI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 15 Maret 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
AMIR SYAMSUDIN
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 441
BAB III
TINJAUAN KASUS
Ny”S” melahirkan anak pertama di bidan “F” pada tanggal 05 oktober 2013 pada pukul
23.15 WIB. Setelah bayi lahir dilakukan IMD (Inisiasi Menyusui Dini). Reflek sucking dan
swallowing bayi baik, sehingga ibu mengetahui bahwa IMD berhasil. Setelah 1jam dilakukan
IMD bayi tidur pulas.Pada pukul 02.00 WIB bayi tiba-tiba menangis dan rewel. Asisten bidan
bergegas menghampiri bayi ternyata bayi tampak kehausan. Melihat ibu bayi yang tertidur pulas,
asisten bidan tanpa persetujuan ibu bayi, memberikan susu formula pada bayi, dan bayi pun
tertidur pulas.
Keesokan harinya, asisten bidan memandikan bayi dan kemudian memberikan sebotol
susu formula untuk diminumkan pada bayi. Setelah itu bidan mempersiapkan segala
perlengkapan pasien termasuk 2 kardus susu formula untuk bayi beserta cara pembuatannya.
Akhirnya Ny “S” pulang dengan hati yang gamang, ia bingung apa yang harus ia perbuat.apakah
dia harus tetap memberikan ASI formula/ASI eksklusif, padahal ibu ingin memberikan Asi
eksklusif pada bayi selama 6 bulan. Selain itu,keadaan ekonomi juga menjadi factor utama
penyebab ibu memilih ASI eksklusif.
BAB IV
PEMBAHASAN
Masalah Etika :
Bidan tidak memberikan penjelasan/pilihan dalam pemilihan susu untuk bayi.
Bidan mengajarkan/membiasakan sistennya untuk memberikan susu formula pada bayi tanpa
persetujuan ibu terlebih dahulu.
Dengan menjelaskan takaran susu formula pada ibu,bidan dianggap turut serta memasarkan susu
formula. Hal itu bertentangan dengan program pemberian ASI eksklusif 6 bulan.
Solusi :
Kekhawatiran Ny”S” berawal dari kesalahan bidan yang tidak mau menjelaskan dan
memberikan pilihan tentang pemberian susu pada bayi. Sehingga Ny “S” tidak begitu paham
tentang kekurangan dan kelebihan dari masing-masing pilihan susu yang di konsumsi bayi.
Seharusnya bidan menjelaskan terlebih dahulu pada ibu tentang pilihan susu yang nantinya
diberikan pada bayi. Sehubungan dengan kondisi ekonomi keluarga pasien dan bidan
memberikan hak sepenuhnya kepada ibu untuk mengambil keputusan.
Menurut UU RI No:36 2009 pada paragraf ke 2 tentang perlindungan pasien pasal 56:
1. setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang
akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan
tersebut secara lengkap.
2. Hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku pada:
a. Penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara cepat menular ke dalam masyarakat yang
lebih luas.
b. Keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri atau,
c. Gangguan mental berat
3. Ketentuan mengenai hak menerima atau menolak sebagaiman di maksud pada ayat (1) diatur
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sesuai dengan UU No:36 th 2009 pasal: 128 tentang kesehatan Ibu, Bayi, Anak, Remaja, Lansia
dan penyandang cacat :
1. Setiap bayi berhak mendapatkan Air Susu Ibu (ASI) eksklusif sejak dilahirkan selama 6 bulan,
kecuali atas indikasi medis.
Hak bayi sesuai Declaration of Barcelona on the right of mother and newborn (2001):
a. Setiap bayi baru lahir berhak atas gizi baik yang menjamin pertumbuhannya.
b. Setiap bayi baru lahir berhak atas kehidupannya tanpa resiko yang berkaitan dengan alasan
budaya, politik, agama.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam masa nifas dibutuhkan pelayanan kebidanan untuk mencegah terjadinya komplikasi
pasca persalinan.Dalam pemberian asuhan kebidanan, bidan dituntut untuk memberikan
pelayanan sesuai pelayanan dan kode etik kebidanan yang berlaku.Sehingga bidan mampu
memberikan pelayanan yang professional dan ibu merasa nyaman dengan pelayanan yang
diberikan oleh bidan.
B. Saran
Bidan harus memberikan pelayanan sesuai kode etik kebidanan terutama pada masa nifas dan
selalu memperbaharui informasi.
DAFTAR PUSTAKA
Ambarwati, E. D. (2009). Asuhan Kebidanan Nifas. Jogjakarta: Mitra Cendekia Offset.
Saleha, S. (2009). Asuhan Kebidanan Pada Masa Nifas. Jakarta: Salemba Medika.
Sulistyawati, A. (2009). Buku Ajar Asuhan Kebidanan Pada Ibu Nifas. Yogyakarta: C. V
Andi offset
Soepardan , Suryani.dkk. (2008). Etika Kebidanan dan Hukum Kesehatan.Jakarta :EGC.
Pujiwahyuningsih, Heni. (2006). Etika Profesi Kebidanan. Yogyakarta: Fitrimaya
Himpunan Peraturan Perundang-undangan .UU.Kes. Fokus media
http://therizkikeperawatan.blogspot.com/2009/03/askeb.html
Wulandari,Diah.2009.Asuhan Kebidanan Nifas.Yogyakarta:mitra Cendikia Press
Prawirohardjo,Sarwono.2006.Ilmu Kebidanan.Jakarta:FKUI
Advance Family Planning (AFP) adalah suatu inisiatif yang memiliki ciri berbasis pada
data/bukti nyata (evidence-based) yang akan dijalankan selama tiga tahun untuk membantu
Negara berkembang dalam mencapai akses universal pada kesehatan reproduksi (MDG 5b).
Inisiatif ini ditujukan untuk merevitalisasi program Keluarga Berencana melalui peningkatan
dana yang lebih efektif, peningkatan komitmen di tingkat lokal, nasional dan global. AFP
didukung oleh the Bill & Melinda Gates Foundation dan the David and Lucile Packard
Foundation. Konsorsium AFP terdiri dari Johns Hopkins University Bloomberg School of Public
Health, African Women's Development Fund, Partners in Population and Development, dan
Futures Group International.
Tujuan
Tujuan AFP adalah untuk meningkatkan pendanaan dan komitmen kebijakan di seluruh tataran
pemerintahan, di antara donor bilateral dan multilateral serta sektor swasta. AFP dibangun
berdasarkan investasi masa lalu dan kegiatan yang sudah berjalan dalam program-program
advokasi kesehatan reproduksi, pengembangan kepeloporan, pengetahuan yang dimiliki dan
penyediaan layanan inovatif. Keberhasilan inisiatif AFP sangat bergantung pada kerjasama yang
efektif dengan lembaga-lembaga yang terkait dan bergerak di bidang kesehatan reproduksi
seperti BKKBN, Kementerian Kesehatan, dan lembaga pemerintah lainnya, Ikatan Bidan
Indonesia (IBI), Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dan lembaga profesi lainnya, USAID, UNFPA
dan lembaga donor lainnya serta berbagai pihak lain termasuk perorangan.
Inisiatif AFP berfokus pada penyediaan fakta bagi para pengambil keputusan mengenai
mengapa Keluarga Berencana merupakan investasi yang logis dengan dividen dalam bentuk
kesehatan, perkembangan sosial ekonomi, lingkungan dan bidang lainnya. Pesan advokasi serta
pembawa pesannya akan merefleksikan situasi setiap negara serta minat para pengambil
keputusan.
Untuk mencapai tujuan inisiatif memperkuat para pelaku advokasi dari Negara-negara Selatan
serta menciptakan platform advokasi yang berkelanjutan, AFP mengembangkan tiga tujuan yang
berbeda namun saling berkaitan:
Pendekatan AFP
Champion Lokal (Local Champions) : AFP bekerja untuk memfasilitasi proses identifikasi dan
pengembangan strategi bersama dengan para champion lokal yang telah memiliki reputasi dan
kecakapan untuk menyuarakan keluarga berencana secara efektif di antara para pengambil
keputusan di tingkat regional dan global. Di Indonesia, Tanzania dan Uganda, AFP akan dipandu
oleh kelompok kerja inti yang terdiri dari para champion lokal.
Peluang Advokasi (Advocacy Opportunities) : AFP berkonsentrasi pada peluang advokasi yang
memungkinkan dalam mempengaruhi kebijakan, memiliki hasil nyata dan dapat diukur. Selain
itu, AFP bekerja di tingkat lokal, kabupaten, provinsi, nasional, regional dan global, karena
pembuatan keputusan di satu tingkat akan mempengaruhi proses pembuatan keputusan di tingkat
lainnya.
AFP bertumpu pada potensi seperti berbagai program yang didanai USAID, misalnya
Demographic and Health Surveys (DHS), dan analisis Resources for the Awareness of
Population Impact on Development (RAPID). DHS saat ini merupakan metode utama yang
digunakan berbagai pemerintah dan donor untuk memantau perubahan dalam perilaku kesehatan
dan kesehatan reproduksi serta digunakan untuk mengembangkan kebijakan, merencanakan
program dan memahami perilaku. Kesembilan Negara AFP akan, atau sudah, memiliki DHS.
AFP akan menggunakan hasilnya untuk mengembangkan pesan-pesan advokasi dan
mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan yang ditujukan bagi para pembuat keputusan yang
spesifik. RAPID menganalisis hubungan antara dinamika populasi dan prospek pembangunan
suatu Negara. Presentasi RAPID secara spesifik dirancang untuk para pembuat keputusan yang
sibuk serta memungkinkan mereka untuk mengubah asumsi pengembangan modelnya dan
melihat dampak potensial dari berbagai program.
Melalui kerjasama dengan berbagai rekan terutama champion lokal, AFP akan mengaitkan
berbagai kegiatan terfokus dengan peluang-peluang advokasi dan para pembuat keputusan yang
spesifik. AFP akan mendorong liputan media yang akurat atas kegiatan atau peristiwa terfokus
tersebut. Champion lokal akan dibekali dengan kecakapan mengenai cara terbaik untuk
menggunakan data DHS dan analisis RAPID untuk mendapatkan hasil terbaik. Pengaruh dari
kegiatan-kegiatan terfokus akan memiliki kurva penurunan yang tajam jika tidak diikuti dengan
upaya-upaya berkesinambungan untuk memelihara dan memperkuat pesan-pesannya. Kegiatan
lanjutan AFP akan memaksimalkan gaung dari kegiatan-kegiatan terfokus ini.
Berbasiskan Data/Fakta (Evidence Based): AFP menggunakan asumsi bahwa para pembuat
keputusan akan melakukan tindakan atas data/fakta yang membutuhkan penanganan segera yang
disampaikan dengan cara yang mudah diterima dan disampaikan oleh pemberi pesan yang
kredibel. Pendekatan AFP mengembangkan pesan untuk para pembuat keputusan dan ditujukan
untuk mempengaruhi cara pembuat keputusan dalam melakukan tindakan,
mengimplementasikan kebijakan serta mengalokasikan sumber daya. AFP akan dikembangkan
di atas kecakapan champion keluarga berencana lokal untuk memelihara serta menjaga irama
interaksi dan informasi dalam meningkatkan ketertarikan atas masalah keluarga berencana dan
pendanaannya. Data/bukti yang dilengkapi dengan penyampaian kisah/peristiwa yang kuat
mengenai bagaimana kehidupan masyarakat akan terpengaruh merupakan hal yang sentral bagi
pendekatan FP.
Hasil Nyata yang Segera (Quick Wins) : Quick wins adalah tindakan nyata yang dilakukan serta
dapat dikontrol oleh para pembuat keputusan dan dapat mempengaruhi hadirnya perubahan
selama masa tugas mereka. Bagian inti dari AFP adalah mengidentifikasi hasil yang segera
namun penting, menentukan dukungan apa yang diperlukan pembuat keputusan untuk
mengimplementasikannya, mengembangkan pesan advokasi dengan berbasis data/ fakta untuk
para pembuat keputusan ini, dan membantu para champion keluarga berencana menyampaikan
pesan-pesan ini di saat dan cara yang paling efektif.
Keberlanjutan (Sustainability) : Jika pada akhir inisiatif ini kegiatan-kegiatan yang dilakukan
tidak mendapatkan dukungan yang cukup, dampak jangka panjang AFP tidak akan maksimal.
AFP akan membantu mengidentifikasi dana-dana non-proyek sehingga berbagai kegiatan yang
diinisiasi AFP akan berlanjut setelah inisiatif AFP selesai.
Karena dalam beberapa waktu ke depan program keluarga berencana akan tetap berbasiskan
donor di banyak negara Afrika sub-Sahara, kelanjutan keluarga berencana tidak dapat dilakukan
tanpa peningkatan prioritas dari pihak donor terhadap masalah keluarga berencana serta masalah
lainnya yang terkait. Peningkatan dukungan tidak akan diraih jika negara berkembang tidak
menyuarakan kebutuhan dan keinginan mereka atas dukungan terhadap keluarga berencana ini.
1
2
3
4
5
( 26 Votes )
User Rating: / 26
Poor Best
Banyak tulisan dan analisis yang merekam kondisi perempuan dalam konteks yang beraneka
ragam: baik dari sisi
bahasannya (kesehatan, pendidikan, kesehatan, kekerasan terhadap perempuan, partisipasi
politik) maupun cara melihat
kondisi tersebut (misalnya: teori sosial, pendekatan ekonomi, ideologi gender). Diantara sekian
banyak permasalahan
yang perlu dipikirkan solusinya tersebut, tidak ada satu masalah yang lebih penting dibanding
yang lain.
Namun demikian, terdapat satu pemikiran bahwa peran politik perempuan mempunyai andil
besar dalam usaha
memecahkan masalah perempuan. Dengan cara memandang masalah domestik sebagai masalah
publik, maka
pelbagai masalah seperti perkawinan, kekerasan dalam keluarga, dan kesehatan reproduksi mulai
dibicarakan dalam
tataran politik dan hukum nasional.
Bagi perempuan di Indonesia, masalah kesehatan dan pendidikan merupakan masalah penting
dilihat dari urgensi dan
besarnya permasalahan. Dalam bidang kesehatan, misalnya, penerapan program KB (keluarga
berencana) dalam tiga
puluh tahun terakhir membuktikan fokus pemerintah pada alat reproduksi perempuan dalam
mengendalikan jumlah
penduduk. Dalam bidang pendidikan, data statistik kesejahteraan tahun 2000 menunjukkan
persentase penduduk buta
huruf pada perempuan lebih tinggi 0.35 persen dibanding laki-laki. Sedangkan jumlah
perempuan bersekolah pada usia
16-18 tahun lebih rendah 0.76 persen dibanding laki-laki .
Oleh karena itu, kebijakan pendudukan menjadi bagian dari pendekatan kesejahteraan karena
fokusnya adalah
perempuan sebagai ibu atau calon ibu.
Banyak hal dapat dilakukan untuk menurunkan tingkat fertilitas seperti : kondisi kesehatan yang
lebih baik, penghapusan
buta aksara, peningkatan kesempatan kerja bagi perempuan dan pemberdayaan perempuan.
Namun tindakan ini tidak
langsung berpengaruh dan efeknya tidak segera terasakan . Lain halnya dengan program
Keluarga Berencana (KB). Pada
masa pemerintahan Soeharto, KB yang dilarang pada masa Soekarno justru dijadikan program
nasional besar. Dalam
dua dasawarsa penerapan KB di Indonesia, tingkat fertilitas turun total dari 5,5 menjadi 3
kelahiran per perempuan,
sementara tingkat kelahiran kasar turun dari 43 menjadi 28 kelahiran per 1000 . Hal ini dicatat
sebagai keberhasilan
Indonesia dalam menangani masalah kependudukan, bahkan Indonesia dijadikan model teladan
negara berkembang.
Angka-angka demografi di atas sejalan dengan kebijakan penduduk yang berorientasi target.
Namun demikian, terdapat
beberapa permasalahan yang tidak terwakili dalam angka-angka tersebut, khususnya menyangkut
hak reproduksi
perempuan , seperti :
1. Pengabaian hubungan gender
KB berasumsi bahwa hasrat seks laki-laki selalu aktif dan harus selalu dipenuhi perempuan,
sedang perempuan sendiri
dilihat sebagai penghasil anak yang menghadapi kemungkinan mengandung.
2. Pembatasan hak perempuan untuk memilih alat kontrasepsi
Tidak lengkapnya informasi yang tersedia mengakibatkan pilihan hanya terbatas pada beberapa
metoda seperti IUD dan
metoda hormonal. Cara seperti ini merupakan intervensi panjang terhadap alat reproduksi
perempuan (selama beberapa
tahun atau bulan) sedangkan perempuan berpeluang untuk hamil hanya selama beberapa jam
dalam setiap siklus haid.
Beberapa resiko kesehatan seperti tekanan darah tinggi, ketidakteraturan haid, pendarahan, sakit
kepala, tidak banyak
dibicarakan di Indonesia dan negara berkembang lain, berbeda dengan keadaan di negara Barat.
Cara kontrasepsi
berjangka-pendek (misalnya pantang sanggama, kondom) tidak dimasukkan dalam penyuluhan
dan peralatan KB.
Perempuan merupakan obyek utama program KB dengan penggunaan alat kontrasepsi jangka
panjang tersebut, hal ini
terlihat dari penggunaan kontrasepsi di Indonesia tahun 1994/1995 sebagai berikut :
Dari data diatas, dapat dilihat bahwa hanya 3% dari alat kontrasepsi yang ditujukan kepada laki-
laki, sementara 97%
ditujukan kepada perempuan.
3. Makin mahalnya harga alat kontrasepsi
Sejak munculnya krisis ekonomi tahun 1997, maka harga alat kontrasepsi meningkat pesat. Hal
ini mengakibatkan
banyaknya ibu hamil yang melakukan cara-cara yang beresiko tinggi untuk menggagalkan
kehamilannya seperti : aborsi,
minum jamu, pijat, dan sebagainya.
4. Pendekatan target dan akibatnya
Pendekatan target mengakibatkan pemeriksaan medis yang sembrono, informasi yang tidak
memadai tentang efek
sampingan cara kontrasepsi, pelayanan kontrasepsi yang tidak memandang kebutuhan khusus
perempuan, penolakan
untuk mencabut IUD, paksaan menjalankan aborsi.
Penanganan saat ini lebih ditujukan pada perempuan PSK (pekerja seksual) yang dianggap
sebagai faktor penyebar virus
AIDS (misalnya : penyuluhan AIDS pada perempuan PSK kampanye penggunaan kondom pada
daerah kerja PSK),
dengan melupakan faktor perempuan ibu rumah tangga sebagai korban terbesar dan laki-laki
sebagai penyebar potensial
tertinggi. Hal ini dapat dilihat dari data berikut :
Lebih dari 70% infeksi HIV di seluruh dunia terjadi melalui hubungan seks antara laki-laki
dan perempuan
10% melalui hubungan seks antar laki-laki
kurang dari 5% melalui suntikan narkoba (dimana 80% pengguna narkoba adalah laki-laki)
Hampir 80% perempuan yang mengidap HIV/AIDS hanya berhubungan dengan satu pria,
suaminya
Beberapa kebijakan untuk mengantisipasi kecenderungan aktivitas seksual yang semakin muda
saat ini membawa
resiko terhadap kesehatan reproduksi :
Besarnya tekanan sosial terhadap hubungan seksual pra-nikah dan kebijakan kependudukan
yang menekankan
pada penundaan perkawinan sampai usia tertentu, mempunyai resiko yang besar terhadap
perempuan. Penundaan
perkawinan pada perempuan yang hamil sebelum menikah harus memutuskan apakah tetap
memelihara anaknya di luar
nikah atau melakukan pengguguran. Dua pilihan ini sama sulitnya :
Memelihara anak di luar nikah akan beresiko terhadap tekanan sosial (contoh : perdebatan
apakah seorang pelajar
yang hamil harus dikeluarkan dari sekolahnya atau cukup diberikan cuti saja). Apabila remaja
perempuan tetap
mempertahankan kehamilannya, maka resiko yang dihadapi akan lebih tinggi dibanding
perempuan usia 20 tahun ke
atas, misalnya kelahiran prematur, keguguran, kematian bayi dalam kandungan, bayi lahir
dengan berat badan tidak
normal dan meninggal kurang dari satu tahun.
sementara aborsi akan beresiko terhadap kesehatan reproduksinya (apalagi bila dilakukan
dengan cara-cara non
medis) dan tidak akan mendapat perlindungan hukum.
Pendidikan seks terhadap remaja yang minim, disertai dengan kondisi sosial yang mentabukan
seks pra-nikah,
mengakibatkan minimnya pengetahuan, akses, dan cara penggunaan kontrasepsi modern. Hal ini
mengakibatkan remaja
menggunakan cara-cara tradisional (pijat, minum jamu, misalnya) untuk menggugurkan
kehamilannya.
Apabila remaja perempuan tetap mempertahankan kehamilannya, maka resiko yang dihadapi
akan lebih tinggi
dibanding perempuan usia 20 tahun ke atas, misalnya kelahiran prematur, keguguran, kematian
bayi dalam kandungan,
bayi lahir dengan berat badan tidak normal dan meninggal kurang dari satu tahun.
Kebijakan Kesehatan dan Penghormatan terhadap Perempuan
Dalam keadaan negara yang mengalami krisis multi dimensi, perempuan yang menanggung
beban terberat dalam
keluarganya. Keragaman perempuan berdasarkan kelas, ras, maupun nasion, dikaitkan dalam
benang merah isu-isu
sentral perempuan seperti pendidikan, kesehatan reproduksi, kerja domestik, upah rendah, peran
ganda, kekerasan
seksual, ideologi jender, terutama pada masyarakat yang telah mengenal kapitalisme dan
komersialisasi.
Kebijakan dalam bidang kesehatan reproduksi berikut ini, sebagian perlu dilakukan untuk
memperbaiki keadaan buruk
yang diciptakan oleh kebijakan di masa Soeharto:
1. Peningkatan kondisi kesehatan perempuan dan peningkatan kesempatan kerja
Hal ini dilakukan dalam upaya untuk meningkatkan usia kawin dan melahirkan, sehingga resiko
selama kehamilan akan
menurun
2. Pendekatan target pada program KB harus disertai dengan adanya tenaga dan peralatan medis
yang cukup. Hal ini
untuk mencegah terjadinya malpraktek karena keinginan untuk mencapai target.
3. Peningkatan partisipasi laki-laki dalam menurunkan angka kelahiran
Tidak hanya perempuan yang dituntut untuk mencegah kehamilan, tetapi juga laki-laki, karena
pada saat ini sudah
tersedia beberapa alat kontrasepsi untuk laki-laki.
4. Penyadaran akan kesetaraan dalam menentukan hubungan seksual dengan laki-laki
Penyadaran bahwa perempuan berhak menolak berhubungan seksual dengan laki-laki, meskipun
laki-laki tersebut
suaminya, bila hal itu membahayakan kesehatan reproduksinya (misalnya laki-laki tersebut
mengidap HIV/AIDS)
5. Pencabutan sanksi sekolah terhadap remaja perempuan yang hamil di luar nikah. Remaja
tersebut cukup
dikenakan wajib cuti selama kehamilannya
6. Penyuluhan tentang jenis, guna, dan resiko penggunaan alat kontrasepsi
Baik alat kontrasepsi modern maupun tradisional perlu diperkenalkan guna dan resikonya kepada
perempuan. Dengan
demikian perempuan dapat menentukan alat kontrasepsi mana yang terbaik untuk dirinya
7. Penyuluhan tentang HIV/AIDS dan PMS (penyakit menular seksual) kepada perempuan
8. Pendidikan seks pada remaja perempuan dan laki-laki
Pengabaian hubungan gender mengakibatkan perempuan menjadi target utama dari kebijakan
dalam bidang kesehatan
dan kependudukan yang selama ini dilakukan pemerintah. Selama ini perempuan ditempatkan
hanya sebagai instrumen
perantara dalam mencapai target kependudukan atau kesehatan yang dicanangkan pemerintah
tanpa memandang hak-
hak perempuan atas tubuhnya sendiri. Kebijakan kesehatan yang menghormati hak perempuan
atas tubuhnya, dalam
jangka panjang akan memberikan kontribusi mengatasi masalah kependudukan, dengan resiko
yang jauh lebih kecil
dibanding kebijakan kependudukan menggunakan kontrasepsi modern