Paradigma Keadilan Dalam Perspektif Al
Paradigma Keadilan Dalam Perspektif Al
I. PENDAHULUAN
II. PEMBAHASAN
A. Keadilan dalam Perspektif Al-Qur’an
B. Perintah Berkuasa
Salah satu kata yang digunakan Al-Qur’an untuk menunjukkah pada kekuasaan adalah
istilah khilafah, di samping kata imamah[16], Daulah[17] dan hukumah[18]. Istilah khilafah
mengandung arti "Perwakilan", "pergantian", atau "jabatan khalifah". Istilah ini berasal dari
kata Arab, "khaf", yang berarti "wakil", "pengganti", dan "penguasa".[19] Dalam perspektif
politik Sunni, khilafah didasarkan pada dua rukun, yaitu: konsensus elit politik. Setelah itu,
baru di bai'ah oleh para rakyatnya. Cara demikian, menurut Harun Nasution tidak merupakan
bentuk kerajaan, tetapi lebih cenderung pada republik. Dalam arti, kepala negara dipilih dan
tidak mempunyai sifat turun-temurun.[20]
Menurut Bernard Lewis, istilah khalifah pertama kali muncul di Arabia pra-Islam dalam
suatu prasasti Arab abad ke-6 Masehi. Di situ kata khalifah tampaknya menunjukkan kepada
semacam raja muda atau letnan yang bertindak sebagai wakil pemilik kedaulatan yang berada
di tempat lain.[21] Sedangkan dalam Islam, istilah ini pertama kali digunakan ketika Abu
Bakar menjadi khalifah pertama setelah Nabi Muhammad.[22] Dalam pidato inagurasinya.
Karena itu, istilah tersebut, menurut Aziz Ahmad, sangat erat kaitannya dengan tugas-tugas
kenabian yaitu meneruskan misi-misi Rasul.
Sejauh ini, terdapat tiga teori mengenai dasar-dasar pembentukan khilafah. Pertama,
pembentukan khilafah ini wajib hukumnya berdasarkan syari'ah atau berdasarkan wahyu.
Para ahli fiqh Sunni, antara lain teologi Abu Hasan al-Asy'ari, berpendapat bahwa khilafah itu
wajib karena wahyu dan ijma' para sahabat. Pendapat kedua, antara lain dikemukakan oleh
al-Mawardi, mengatakan bahwa mendirikan khilafah hukumnya fardhu kifayah atau wajib
kolektif berdasarkan ijma' atau konsensus. Ketiga adalah pendapat kaum Mu'tazilah yang
mengatakan bahwa pembentukan khilafah ini memang wajib tetapi berdasarkan
pertimbangan akal.[23]
Dari uraian di atas, tampak bahwa perintah berkuasa telah lebih awal diturunkan Allah
kepada manusia dalam rangka memakmurkan bumi ini. Di samping istilah di atas, juga
ditemukan istilah seperti sultan, dan Amirul Mu’minin yang bermakna penguasa/pemimpin.
III. PENUTUP
Dari beberapa uraian tentang tanggung jawab penguasa dalam menegakkan keadilan
yang ditinjau dari sudut fiqh Al-Qur’an dapat disimpulkan sebagai berikut: Keadilan
diungkapkan oleh Al-Qur’an antara lain dengan kata-kata al-‘adl, al-qisth, al-mizan, dan
dengan menafikan kezaliman, walaupun pengertian keadilan tidak selalu menjadi antonim
kezaliman. ‘Adl, yang berarti “sama”, memberi kesan adanya dua pihak atau lebih; karena
jika hanya satu pihak tidak akan terjadi persamaan. Keadilan yang dibicarakan dan dituntut
Al-Qur’an amat beragam, tidak hanya pada proses penepatan hukum atau terhadap pihak
yang beselisih, melainkan Al-Qur’an menuntut keadilan terhadap diri sendiri, baik ketika
berucap, menulis, atau bersikap batin. Ketiga kata qisth, ‘adl, dan mizan pada berbagai
bentuk digunakan oleh Al-Qur’an dalam konteks perintah kepada manusia untuk berlaku
adil.
Paling tidak ada empat makna keadilan yang dikemukakan oleh pakar agama, yaitu:
Pertama, adil dalam arti “sama”. Kedua, adil dalam arti “seimbang”. Ketiga, adil adalah
“pengertian terhadap hak-hak individu dan memberi hak-hak itu kepada setiap pemiliknya”.
Keempat, adil yang dinisbatkan kepada Ilahi. Adil di sini berarti “memelihara kewajaran atas
berlanjutnya eksistensi, tidak mencegah kelanjutan eksistensi dan perolehan rahmat sewaktu
terdapat banyak kemungkinan untuk itu.”
Semua jenis-jenis keadilan tersebut, oleh Al-Qur’an ditugaskan untuk ditegakkan oleh
penguasa karena mereka mempunyai kekuatan/power sekaligus penguasa itu telah diberi
mandat sosial oleh publik. Karena itu penguasa harus bertanggung jawab untuk menegakkan
keadilan seadil-adilnya, dan menetapkan hukum dengan adil meskipun pada manusia terdapat
keterbatasan dan inilah sebuah relativitas manusia.
DAFTAR PUSTAKA
[16] Term imamah sering dipergunakan dalam menyebutkan negara dalam kajian
keislaman. Munawir Sjadzali dengan mengutip pendapat Mawardi memberikan juga bagi
agama kepada jabatan kepala negara di samping baju politik. Adapun Taqiyuddin an-Nabhani
menyamakan antara imamah dengan khilafah. Karena menurutnya, khilafah adalah
kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-
hukum syari'at Islam dan mengembang dakwah Islam ke segenap penjuru dunia.
[17] Istilah daulah berasal dari bahasa Arab yakni daulah; kata dari dala-yadulu-daulah = bergilir,
beredar, dan berputar (rotate, alternate, take turns, or occur periodically). Kata ini dapat diartikan sebagai
kelompok sosial yang menetap pada suatu wilayah tertentu dan diorganisir oleh suatu pemerintahan yang
mengatur kepentingan dan kemashlahatan.[17] Adapun Azyumardi Azra mengatakan daulah dalam konteks
kerajaan Islam di Nusantara (baca: Indonesia)[17] merupakan kekuatan mutlak raja yang bersumber dari
kualitas sakral sang raja dengan kekuatan gaib yang menjaganya dan dengan keabadian kekuasaannya.
[18] Adapun istilah hukumah bermakna "pemerintah". Dalam bahasa Persia dibaca
dengan sebutan hukumet. Istilah ini tidak sama dengan istilah "daulah" (negara). [18] Selain
itu, hukumah juga berbeda dengan konsep khilafah dan imamah. Sebab kedua konsep ini
lebih berhubungan dengan format politik atau kekuasaan, sedangkan hukumah lebih
berhubungan dengan sistem pemerintahan. Aziz Ahmad, “An Eighteenth-Century Theory of
Caliphate”, Studi Islamica, Vol. 28 (1968), 136.
[19] Khalifah adalah institusi politik umat Islam setelah Nabi wafat. Kepala negara
dalam sistem khilafah bergelar khalifah, yang berarti pengganti, yaitu orang yang diangkat
untuk menggantikan Nabi dalam memimpin umat. Sampai pada khalifah yang keempat,
yaitu Ali bin Abi Thalib. Pengangkatan seorang khalifah dilakukan berdasarkan musyawarah.
Akan tetapi setelah khalifah berpindah kepada Bani Umaiyyah, setelah terbunuhnya Ali bin
Abi Thalib, seorang khalifah tidak lagi dipilih oleh umat berdasarkan musyawarah akan tetapi
berdasarkan dari penunjukan dari khalifah sebelumnya. Sifat pemerintahanpun menjadi
berubah menjadi dinasti, karena khalifah yang ditunjuk adalah keluarga sendiri atau dari
khalifah sebelumnya. Pergantian dinastipun selalu terjadi dengan kekerasan. Khilafah Bani
Umaiyyah runtuh oleh kekerasan yang dilakukan oleh Bani Abbas. Setelah itu Bani
Abbaspun berkuasa. Setelah Bani Abbas runtuh oleh serangan tentara Hulagu, sultan-sultan
dari dinasti Turki Usmani berhasil menguasai sejumlah besar negeri kaum muslimin
mengangkat diri sebagai khalifahsampai pada saat dihapuskannya khilafah oleh Kamal
Attaturk pada tahun 1924. Upaya beberapa penguasa Muslim untuk mempertahankan
khilafah ternyata tidak berhasil. Untuk keterangan lebih lanjut tentang khilafah lihat Sir
William Muir, The Caliphate, (New York: AMS Inc., 1975).
[20] Abdul Aziz Dahlan dkk, Ensiklopedi…, h. 918
[21] Hamid Enayat, Reaksi Politik Sunni dan Syi’ah: Pemikiran Politik Islam Modern
Menghadapi Abad ke-20, Terj. Asep Hikmat (Bandung: Pustaka, 1988), h. 9
[22] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, Cet. V, (Jakarta:
UI Press, 1985), 95.
[23] Glenn E. Perry, artikel “Caliph”, The Oxford, II: 239
[34] Muhammad Mutawalli Sya’rawi, Adillatuha: Keadilan…, h. 21-26
[35] Surat al-Baqarah: 148
[36] Surat al-Mumtahanah: 8
I. Pendahuluan
II. Pembahasan
A. Hubungan Adil dan Amanat
Amanat yaitu: segala sesuatu yang dipercayakan kepada manusia dan diperintahkan
untuk dikerjakan. Dalam ayat ini Allah memerintahkan hambanya untuk menyampaikan
amanat secara sempurna, utuh tanpa mengulur-ulur atau menunda-nundanya kepada
yang berhak. Amanat itu mencakup perwalian, harta benda, rahasia, dan perintah yang
hanya diketahui oleh Allah.
Dalam hubungannya adil dengan amanat sangatlah terkait erat. Karna keadilan
tergantung dengan amanat. Adil tidak akan bisa jalan apabila amanat itu tidak ada.
Seperti firman Allah dalam Surah An-Nisa’ ayat 58 berikut ini:
اا اكاَان س أامن اتمحكككموُّا إباَملاعمدإل إإنن ن
اا إنإعنماَ ايإع ك
ظككمم إبإه إإنن ن اا ايأمكمكرككمم أامن كتاؤددوُّا املااماَاناَ إ
ت إإالىَ أامهلإاهاَ اوُّإإاذا احاكممكتمم ابميان النناَ إ إإنن ن
صيعرا اسإميععاَ اب إ
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat”.
Macam-macam Amanat
Pertama: amanat hamba dengan Rabb-nya, yaitu apa yang telah dijanjikan Allah
kepadanya untuk dipelihara, berupa melaksanakan segala perintah-Nya, menjauhi segala
larangan-Nya dan menggunakan segala perasaan dan anggota badannya untuk hal-hal
yang bermanfaat dan mendekatkannya kepada Rabb.
Kedua: amanat hamba dengan sesama manusia, diantaranya adalah mengembalikan
titipan kepada pemiliknya, tidak menipu, menjaga rahasia dan lain sebagainya yang wajib
dilakukan terhadap keluarga, kaum kerabat, manusia pada umumnya dan pemerintah.
Ketiga: amanat manusia terhadap dirinya sendiri, seperti memilih yang paling pantas dan
bermanfaat baginya dalam masalah agama dan dunia.
Allah berfirman: “Dan apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan hukum dengan adil”, mencakup menetapkan hukum dalam masalah
pertumpahan darah, harta, dan kehormatan. Baik sedikit atau banyak, terhadap karib
kerabat atau orang lain (yang tidak memiliki hubungan kerabat), orang yang fasik atau
orang yang saleh dan musuh sekalipun. Allah berfirman: “Dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.
Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. (Al Maidah:8). Maksud “Adil” di
sini adalah, memberikan sanksi-sanksi dan hukuman sesuai dengan yang telah
disyariatkan oleh Allah melalui rasul-Nya.
Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah memberikan pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”, Yang
demikian ini adalah pujian Allah atas perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya, yang
mencakup maslahat dunia dan akhirat menghindarkan mereka dari berbagai macam
mudarat kepadanya. Karena (perintah dan larangan tersebut) berasal dari yang Maha
Mendengar lagi Maha Melihat, Yang Maha Mengetahui kemaslahatan hamba-hambanya
yang tidak mereka ketahui.
C. Adil dalam arti "perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu
kepada setiap pemiliknya".
Pengertian inilah yang didefinisikan dengan "menempatkan sesuatu pada tempatnya"
atau "memberi pihak lain haknya melalui jalan yang terdekat". Lawannya adalah
"kezaliman", dalam arti pelanggaran terhadap hak-hak pihak lain. Pengertian ini
disebutkan di dalam QS. Al-An‘âm [6]: 152, Wa Idzâ qultum fa‘dilû wa-lau kâna dzâ qurbâ
(َ = اوُّإااذا قكملكتمم افاَمعإدلكموُّا اوُّالموُّاكاَان اذاقكمرابىDan apabila kamu berkata maka hendak¬lah kamu berlaku
adil kendatipun dia adalah kerabatmu). Pengertian ‘adl seperti ini me¬lahirkan keadilan
sosial.
III. Penutup
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maraghi, Muhammad Musthafa, Tafsir al-Maraghi, Beirut: Daar al-Fikr, t.th
Al-Thabary, Abi Ja’far Muhammad bin Jarir, Tafsir al-Thabary, Beirut: Daar al-Kutub
al-‘Ilmiyah, 1992
Al-Khatib, Muhammad Ajaj, Ushul al-Hadits Ulumuhu wa Musthalahuhu, Damasyiq: Dar
al-Fikr, 1966
Hajar, Al-Hafizh Ibnu, Nuzhatun Nazhar Syarah Nukhbatul-Fikar 9, Maktabat Thayibah,
1404 H
Quthb, Sayyid, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Jakarta: Gema Insani Press, Jilid 4, 2002
Shihab, Muhammad Quraisyi, Tafsir Al-Misbah, Volume 3, Lentera Hati, 2002
Shihab, Muhammad Quraisyi, Wawasan al-Qur’an (tafsir maudhu’i atas berbagai
persoalan umat), Bandung: Mizan, t.th