Anda di halaman 1dari 7

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Keamanan merupakan keadaan bebas dari cedera fisik dan psikologis yang
merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi. Lingkungan
klien mencakup semua faktor fisik dan psikososial yang mempengaruhi atau berakibat
terhadap kehidupan dan kelangsungan hidup klien. Keamanan yang ada didalam
lingkungan ini akan mengurangi insiden terjadinya penyakit dan cidera,
memperpendek lama tindakan dan hospitalisasi, meningkatkan kesejahteraan klien.
Jatuh merupakan salah satu bahaya yang mengancam keamanan dan
keselamatan terhadap manusia. Selain itu, 90% jenis kecelakaan yang dilaporkan dan
seluruh kecelakaan yang terjadi di RS adalah jatuh. Dalam makalah ini penyusun akan
mencoba membahas tentang asuhan keperawatan apa yang bisa dilaksanakan untuk
mencegah resiko jatuh terhadap lansia.
Jatuh sering terjadi atau dialami oleh usia lanjut. Banyak faktor berperan
didalamnya, baik faktor intrinsik dalam diri lansia tersebut seperti gangguan gaya
berjalan, kelemahan otot ekstremitas bawah, kekakuan sendi, sinkoppe dan dizzines,
serta faktor ekstrinsik seperti lantai yang licin dan tidak rata, tersandung benda-benda,
penglihatan kurang karena cahaya kurang terang, dan sebagainya. Jatuh adalah
kejadian yang mengakibatkan seseorang mendadak terbaring/terduduk di
lantai/tempat yang lebih rendah dengan atau tanpa kehilangan kesadaran atau luka.
Berdasarkan survei di masyarakat AS, Tinetti (1992) mendapatkan seitar 30% lansia
lebih dari umur 65 tahun jatuh setipa tahunnya, separuh dari angka tersebut
mengalami jatuh berulang.
Reuben dkk (1996) mendapatkan insiden jatuh di masyarakat AS pada umum
lebih dari 65 tahun berkisar 1/3 populasi lansia setiap tahun, dengan rata-rata jatuh
0.6/orang. Insiden di rumah-rumah perawatan 3 kali lebih banyak. Lima persen dari
penderita jatuh ini mengalami patah tulang atau memerlukan perawatan di rumah
sakit. Kecelakaan merupakan penyebab kematian no.6 di Amerika Serikat tahun 1992.
kematian akibat jatuh sangat sulit didefinisikan karena sering tidak disadari oleh
keluarga atau dokter pemeriksanya, sebaliknya jatuh juga merpakan akibat penyakit
lain misalnya serangan jantung mendadak.
Fraktur kolum femoris merupakan komplikasi utama akibat jatuh pada lansia.
Fraktur kolum femoris merupakan fraktur yang berhubungan dengan proses menua
2

dan osteoporosis. Wanita mempunyai resiko tinggi dibanding laki-laki untuk


terjadinya fraktur dan perlukaan akibat jatuh. Lansia yang sehat juga mempunyai
resiko lebih tinggi dibanding lansia yang lemah atau cacat untuk terjadinya fraktur
dan perlukaan akibat jatuh.resiko untuk terjadinya perlikaan akibat jatuh merupakan
efek gabungan dari penurunan respon perlindungan diri ketika jatuh dan besar
kekuatan terbantingnya. Sehingga dalam mencegah jatuh pada lansia perlu dianjurkan
untuk melakukan aktivitas fisik meliputi pola gerakan yang beragam seperti latihan
kekuatan atau kelas aerobik yang dapat meningkatkan massa tulang sehingga tulang
lebih padat dan dapat menurunkan risiko jatuh.

BAB II
TINJAUAN TEORETIS

A. PENGERTIAN
Jatuh merupakan masalah keperawatan utama pada lansia, yang menyebabkan
cedera, hambatan mobilitas dan kematian (Sattin, 2004).
Selain cedera fisik yang berkaitan dengan jatuh, individu dapat mengalami
dampak psikologis, seperti takut terjatuh kembali, kehilangan kepercayaan diri,
peningkatan kebergantungan dan isolasi sosial (Downton dan Andrews, 2006).
3

Jatuh merupakan suatu kejadian yang dilaporkan penderita atau saksi mata yang
melihat kejadian, yang mengakibatkan seseorang mendadak terbaring/terduduk di
lantai atau tempat yang lebih rendah dengan atau tanpa kehilangan kesadaran atau
luka (Ruben, 2005).
Berdasarkan beberapa pengertian jatuh di atas, dapat disimpulkan bahwa jatuh
adalah kejadian tiba-tiba dan tidak disengaja yang mengakibatkan seseorang terbaring
atau terduduk di lantai dengan atau tanpa kehilangan kesadaran atau luka.

B. ETIOLOGI
1. Osteoporosis menyebabkan tulang menjadi rapuh dan dapat mencetuskan fraktur.
2. Perubahan refleks baroreseptor
Cenderung membuat lansia mengalami hipotensi postural, menyebabkan
pandangan berkunang-kunang, kehilangan keseimbangan, dan jatuh.
3. Perubahan lapang pandang, penurunan adaptasi terhadap keadaan gelap dan
penurunan penglihatan perifer, ketajaman persepsi kedalaman, dan persepsi warna
dapat menyebabkan salah interpretasi terhadap lingkungan, dan dapat
mengakibatkan lansia terpeleset dan jatuh.
4. Gaya berjalan dan keseimbangan
berubah akibat penurunan fungsi sistem saraf, otot, rangka, sensori, sirkulasi dan
pernapasan. Semua perubahan ini mengubahpusat gravitasi, mengganggu
keseimbangan tubuh dan menyebabkan limbung, yang pada akhirnya
mengakibatkan jatuh. Perubahan keseimbangan dan properosepsi membua lansia
sangat rentan terhadap perubahan permukaan lantai (contoh lantai licin dan
mengkilat). Akhirnya, usia yang sangat tua atau penyakit parah dapat mengganggu
fungsi refleks perlindungan dan membuat individu yang bersangkutan berisiko
terhadap jatuh (Lord, 2005).

C. FAKTOR RISIKO
1. Faktor intrinsik
Faktor intrinsik yang dapat mengakibatkan insiden jatuh termasuk proses penuaan
dan beberapa kondisi penyakit, termasuk penyakit jantung, stroke dan gangguan
ortopedik serta neurologik.
Faktor intrinsik dikaitkan dengan insiden jatuh pada lansia adalah kebutuhan
eliminasi individu. Beberapa kasus jatuh terjadi saat lnsia sedang menuju,
menggunakan atau kembali dari kamar mandi. Perubahan status mental juga
berhubungan dengan peningkatan insiden jatuh.
4

Faktor intrinsik lain yang menimbulkan resiko jatuh adalah permukaan lantai
yang meninggi, ketinggian tempat tidur baik yang rendah maupun yang tinggi dan
tidak ada susut tangan ditempat yang strategis seperti kamar mandi dan lorong.

2. Faktor Ekstrinsik
Faktor ekstrinsik juga memengaruhi terjadinya jatuh. Jatuh umumnya terjadi pada
minggu pertama hospitalisasi, yang menunjukkan bahwa megenali lingkungan
sekitar dapat mengurangi kecelakaan.
Obat merupakan agen eksternal yang diberikan kepada lansia dan dapat
digolongkan sebagai faktor risiko eksternal. obat yang memengaruhi sistem
kardiovaskular dan sistem saraf pusat meningkatkan risiko terjadinya jatuh,
biasanya akibat kemungkina hipotensi atau karena mengakibatkan perubahan
status , mental. Laksatif juga berpengaruh terhadap insida jatuh.
Individu yang mengalami hambatan mobilitas fisik cenderung menggunakan
alat bantu gerak seperti kursi roda, tongkat tunggal, tongkat kaki empat dan
walker. Pasien yang menggunakan alat bantu lebih mungkin jatuh dibandingkan
dengan pasien yang tidak menggunakan alat bantu.
Penggunaan restrain mengakibatkan kelemahan otot dan konfusi, yang
merupakan faktor ekstrinsik terjadinya jatuh.
D. KOMPLIKASI
Jatuh pada lansia menimbulkan komplikasi – komplikasi seperti : ( Kane, 2005; Van –
der – Cammen, 2000 )
1. Perlukaan ( injury )
a. Rusaknya jaringan lunak yang terasa sangat sakit berupa robek atau
tertariknya jaringan otot, robeknya arteri / vena.
b. Patah tulang ( fraktur ) : Pelvis, Femur ( terutama kollum ), humerus, lengan
bawah, tungkai bawah, kista.
c. Hematom subdural
2. Perawatan rumah sakit
a. Komplikasi akibat tidak dapat bergerak ( imobilisasi ).
b. Risiko penyakit – penyakit iatrogenik.
3. Disabilitas
a. Penurunan mobilitas yang berhubungan dengan perlukaan fisik.
b. Penurunan mobilitas akibat jatuh, kehilangan kepercayaan diri, dan
pembatasan gerak.

E. PENCEGAHAN TERHADAP JATUH


1. Mengindentifikasi faktor risiko, penilaian keseimbangan, gaya berjalan, diberikan
latihan fleksibilitas gerakan, latihan keseimbangan fisik, koordinasi keseimbangan
serta mengatasi faktor lingkungan. Setiap lansia harus dievaluasi bagaimana
5

keseimbangan badannya dalam melakukan gerakan pindah tempat dan pindah


posisi. Penilaian goyangan badan sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya
jatuh, begitu pula dengan penilaian apakah kekuatan otot ekstremitas bawah
cukup untuk berjalan tanpa bantuan, apakah lansia menapakkan kakinya dengan
baik, tidak mudah goyah, dan mengangkat kaki dengan benar saat berjalan.
Kesemuanya itu harus diperbaiki bila terdapat penurunan.
2. Memperbaiki kondisi lingkungan yang dianggap tidak aman, misalnya dengan
memindahkan benda berbahaya, peralatan rumah dibuat yang aman (stabil,
ketinggian disesuaikan, dibuat pegangan pada meja dan tangga) serta lantai yang
tidak licin dan penerangan yang cukup.
3. Menanggapi adanya keluhan pusing, lemas atau penyakit yang baru. Apabila
keadaan lansia lemah atau lemas tunda kegiatan jalan sampai kondisi
memungkinkan dan usahakan pelan-pelan jika akan merubah posisi (Darmojo,
2009).

F. PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan ini untuk mencegah terjadinya jatuh berulang dan menerapi
komplikasi yang terjadi, mengembalikan fungsi AKS terbaik, mengembalikan
kepercayaan diri penderita.
1. Penatalaksanaan penderita jatuh dengan mengatasi atau meneliminasi faktor
risiko, penyebab jatuh dan menangani komplikasinya. Penatalaksanaan ini harus
terpadu dan membutuhkan kerja tim yang terdiri dari dokter (geriatrik, neurologik,
bedah ortopedi, rehabilitasi medik, psikiatrik, dll), sosiomedik, arsitek dan
keluarga penderita.
2. Penatalaksanaan bersifat individual, artinya berbeda untuk setiap kasus karena
perbedaan factor – factor yang bekerjasama mengakibatkan jatuh. Bila penyebab
merupakan penyakit akut penanganannya menjadi lebih mudah, sederhanma, dan
langsung bisa menghilangkan penyebab jatuh serta efektif. Tetapi lebih banyak
pasien jatuh karena kondisi kronik, multifaktorial sehingga diperlukan terapi
gabungan antara obat rehabilitasi, perbaikan lingkungan, dan perbaikan kebiasaan
lansia itu. Pada kasus lain intervensi diperlukan untuk mencegah terjadinya jatuh
ulangan, misalnya pembatasan bepergian / aktifitas fisik, penggunaan alat bantu
gerak.
3. Untuk penderita dengan kelemahan otot ekstremitas bawah dan penurunan
fungsional terapi difokuskan untuk meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot
6

sehingga memperbaiki nfungsionalnya. Sayangnya sering terjadi kesalahan, terapi


rehabilitasi hanya diberikan sesaat sewaktu penderita mengalami jatuh, padahal
terapi ini diperlukan terus – menerus sampai terjadi peningkatan kekuatan otot dan
status fumgsional. Penelitian yang dilakukan dalam waktu satu tahun di Amerika
Serikat terhadap pasien jatuh umur lebih dari 75 tahun, didapatkanpeningkatan
kekuatan otot dan ketahanannya baru terlihat nyata setelah menjalani terapi
rehabilitasi 3 bulan, semakin lama lansia melakukan latihan semakin baik
kekuatannya.
4. Terapi untuk penderita dengan penurunan gait dan keseimbangan difokuskan
untuk mengatasi / mengeliminasi penyebabnya/faktor yang mendasarinya.
Penderita dimasukkan dalam program gait training, latihan strengthening dan
pemberian alat bantu jalan. Biasanya program rehabilitasi ini dipimpin oleh
fisioterapis. Program ini sangatmembantu penderita dengan stroke, fraktur kolum
femoris, arthritis, Parkinsonisme.
5. Penderita dengan dissines sindrom, terapi ditujukan pada penyakit kardiovaskuler
yang mendasari, menghentikan obat – obat yang menyebabkan hipotensi postural
seperti beta bloker, diuretik, anti depresan, dll.
6. Terapi yang tidak boleh dilupakan adalah memperbaiki lingkungan rumah / tempat
kegiatan lansia seperti di pencegahan jatuh (Reuben,2005).

G. PENDEKATAN DIAGNOSTIK
Setiap penderita lansia jatuh, harus dilakukan assesmen seperti dibawah ini
1. Riwayat Penyakit ( Jatuh )
Anamnesis dilakukan baik terhadap penderita ataupun saksi mata jatuh atau
keluarganya ( Kane,2005).
Anamnesis ini meliputi :
a. Seputar jatuh : mencari penyebab jatuh misalnya terpeleset, tersandung,
berjalan, perubahan posisi badan, waktu mau berdiri dari jongkok, sedang
makan, sedang buang air kecil atau besar, sedang batuk atau bersin, sedang
menoleh tiba – tiba atau aktivitas lain.
b. Gejala yang menyertai : nyeri dada, berdebar – debar, nyeri kepala tiba-tiba,
vertigo, pingsan, lemas, konfusio, inkontinens, sesak nafas.
7

c. Kondisi komorbid yang relevan : pernah stroke, Parkinsonism, osteoporosis,


sering kejang, penyakit jantung, rematik, depresi, defisit sensorik.
d. Review obat – obatan yang diminum : antihipertensi, diuretik, autonomik
bloker, antidepresan, hipnotik, anxiolitik, analgetik, psikotropik.
e. Review keadaan lingkungan : tempat jatuh, rumah maupun tempat – tempat
kegiatanny.

2. Pemeriksaan Fisik
a. Tanda vital : nadi, tensi, respirasi, suhu badan ( panas / hipotermi )
b. Kepala dan leher : penurunan visus, penurunan pendengaran, nistagmus,
gerakan yang menginduksi ketidakseimbangan, bising
c. Jantung : aritmia, kelainan katup
d. Neurologi : perubahan status mental, defisit fokal, neuropati perifer,
kelemahan otot, instabilitas, kekakuan, tremor.
e. Muskuloskeletal : perubahan sendi, pembatasan gerak sendi problem kaki
( podiatrik ), deformitas.

Anda mungkin juga menyukai