Anda di halaman 1dari 6

Indonesia Menang

Lawan Perusahaan
Tambang Inggris di
Arbitrase Internasional

Kegiatan pertambangan batubara di Kalimantan (foto ilustrasi/ Antara). Churchill


Mining PLC berusaha berinvestasi di Indonesia, dengan mencoba melakukan
eksplorasi di tambang batubara Kutai Timur, namun belum terlaksana dan terlibat
sengketa hukum dengan pemerintah Indonesia.

Setelah perjuangan selama enam tahun, akhirnya pemerintah


Indonesia memenangkan gugatan yang dilakukan oleh
perusahaan tambang di Inggris, dan terbebas dari tuntutan
membayar gugatan senilai Rp18 triliun. Lalu apa langkah
selanjutnya?
JAKARTA (VOA) —
Pemerintah Indonesia menang telak dalam gugatan oleh perusahaan
tambang asal Inggris “Churchill Mining Plc” dan anak perusahaannya
“Planet Mining Pty Ltd” yang berkedudukan di Australia di forum
arbitrase International Center for Settlement of Investment
Disputes (ICSID) di Washington DC, Amerika Serikat.

Dalam perkara No. ARB/12/14 dan ARB/12/40, komite ICSID yang terdiri
dari Judge Domonique Hascher, majelis yang terdiri dari Profesor Karl-
Heinz Bocktiegel dan Profesor Jean Kalicki pada 18 Maret 2019
memutuskan untuk memenangkan pemerintah Republik Indonesia
dengan menolak semua permohonan pembatalan atau annulment of the
award yang diajukan oleh para penggugat.

Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H Laoly mengatakan kemenangan


yang diperoleh Pemerintah Indonesia dalam forum ICSID ini sudah
bersifat final dan berkekuatan hukum tetap. Dengan demikian tidak ada
lagi upaya hukum lain yang dapat dilakukan oleh para penggugat.

Yasonna menjelaskan bahwa perjuangan pemerintah selama enam tahun


ini membuahkan kemenangan yang manis, dan juga sebagai pembuktian
bahwa pemerintah Indonesia mampu memenangkan gugatan-gugatan
internasional, dimana dulu selalu dipandang sebelah mata oleh banyak
pihak.

Dengan memenangkan perkara ini, kata Yasonna, pemerintah Indonesia


terhindar dari klaim sebesar USD1,3 miliar atau sekitar Rp18 trililiun.
Sebaliknya pihak penggugat harus membayar denda kepada pemerintah
Indonesia senilai USD9,4 juta, atau sekitar Rp140 miliar.

“Saya sendiri menghadiri beberapa kali sidang ICSID-nya di Singapura.


Tidak mudah. Kita sampai mendatangkan ahlinya betul-betul ahli
dokumen dari AS, mereka juga mendatangkan ahli mereka, argumennya
pengacara mereka. Nah apa yang mau kita sampaikan di sini bahwa
pemerintah yang dulu kalah besar, sekarang kalau digugat begini kita gak
boleh memandang lagi sebelah mata. Pemerintah Indonesia mampu
melawan gugatan perkara internasional yang besar asal memang kita betul-
betul sejak awal commit," ungkap Yasonna.
(ki-ka) Dirjen Administrasi Hukum Umum Cahyo Rahardian Muhzar, Menkumham
Yasonna H Laoly, Inspektur Jendral Johny Ginting, Kabiro Humas Bambang
Wiyono, dalam konferensi pers di Gendung Kemenkumham, Jakarta, Senin (25/3)
(Foto: VOA/Ghita).

"Satu pelajaran yang penting sejak awal kita memberi perhatian serius,
mulai dari penentuan hak kita menentukan siapa arbiternya, tahap-tahap
awalnya ini sangat penting, tahap awal ini sangat menentukan, tidak boleh
lalai. Jadi ini saya katakan buat kami ini adalah sweet victory, ini yang
menambah kepercayaan kami, pemerintah, bertarung di forum-forum
internasional untuk gugatan-gugatan yang menurut kita bisa kita bertarung
dan kita bisa menang,” tambah Yasonna dalam konferensi pers di Gedung
Kemenkumham, di Jakarta, Senin (25/3).

Ditambahkanya, sebenarnya para penggugat sudah kalah pada 6 Desember


2016. Namun pada 31 Maret 2017 para penggugat mengajukan
permohonan pembatalan putusan (annulment of the award) berdasarkan
Pasal 52 Convention on the Settlement of Investment Disputes between
States and Nationals of Other States (Konvensi ICSID).

Salah satu argumen yang diajukan para penggugat adalah bahwa telah
terjadi suatu penyimpangan yang serius dari aturan prosedur yang
mendasar, namun pada akhirnya pemerintah Indonesia tetap
memenangkan perkara ini. (Baca dokumen: Permohonan pembatalan
putusan oleh Churchill Mining PLC ditolak)

Kemenangan Indonesia Beri Pesan Tegas pada Investor Asing


Kemenangan ini, kata Yasonna. Memberi pesan yang tegas kepada para
investor asing yang hendak menanamkan modalnya di Indonesia untuk
mematuhi prosedur perijinan dan hukum yang berlaku. Banyak investor
asing, yang tidak melakukan tahapan-tahapan tersebut termasuk tidak
melakukan uji kelayakan atau due diligence yang baik dan benar.

“Satu hal lagi, menangnya kita ini, juga memberi pesan khusus kepada
investor asing yang punya niat atau itikad tidak baik kalau mau
berinvestasi. Mereka kadang-kadang kan tidak melakukan due
diligence yang baik, ini kan sedang due diligence, kenapa hendak
berinvestasi dengan tidak melihat dulu bagaimana surat-suratnya, data-
datanya, dalam bidang legalnya seperti apa dan lain-lain, hak-hak yang ada
disitu. Ini pesannya serius kepada mereka, hati-hati. Kalau dulu kan
banyak kita digugat berguguran, kalah kita, jadi sekarang agak hati-hati
lah,” paparnya.

Pemerintah Tolak Jaminan Penggugat

Dalam kesempatan yang sama Dirjen Administrasi Hukum Umum


Kemenkumham Cahyo Rahadian Muhzhar mengatakan, pihak pemerintah
akan terus berupaya menagih denda yang harus dibayarkan para penggugat
kepada pemerintah Indonesia senilai USD9,4 juta dolar.

Selain itu, pemerintah juga menolak jaminan para penggugat yang


diberikan yaitu berupa tanah di hutan di Kalimantan Timur, yang baik nilai
ataupun status tanahnya tidak bisa dijadikan sebagai jaminan. Pihaknya
pun akan bekerja sama dengan beberapa negara untuk menelusuri aset-
aset para penggugat yang mungkin bisa disita sebagai pembayaran atas
award tersebut.

“Kita pemerintah harus aktif. Churcill itu perusahaan mining yang


basednya di UK, dan Planet Mining di Australia. Kita harus mulai di situ
dulu. Tapi tentunya pertama kita akan bicara dengan pengacara mereka,
dengan award ini, Anda bisa penuhi gak? Tapi saya terus terang mereka
akan berusaha, proses annulment saja mereka masih berusaha untuk
membatalkan, kita akan cari jalan untuk mengenforced ini, aset mereka
kan pasti ada, tapi tentunya kan kita harus bekerja sama dengan negara
lain juga, kalau prinsip kami adalah kapan pun kita kejar,” jelas Cahyo.

Penggugat Awalnya Tuduh Indonesia Langgar Perjanjian


Bilateral Investasi

Kasus ini bermula saat para penggugat menuduh pemerintah Indonesia,


dalam hal ini Bupati Kutai Timur, melanggar perjanjian bilateral investasi
(BIT) RI-UK dan RI Australia.

Pelanggaran yang dimaksud adalah melakukan ekspropriasi tidak langsung


(indirect expropriation) dan prinsip perlakukan yang adil dan seimbang
(fair and equitable treatment) melalui pencabutan Kuasa Pertambangan/
Izin Usaha Pertambangan Eksploitasi (KP/IU Eksploitasi) anak perusahaan
para penggugat (empat perusahaan Grup Ridlatama) seluas kurang lebih
350 km persegi, di Kecamatan Busang oleh Bupati Kutai Timur pada 4 Mei
2010. Para penggugat mengklaim bahwa pelanggaran tersebut telah
menimbulkan kerugian terhadap investasinya di Indonesia, dan
mengajukan gugatan sebesar USD1,3 miliar atau kurang lebih Rp18 miliar.

Terhadap gugatan tersebut, pada 6 Desember 2016, majelis mahkamah


pengadilan arbitrase internasional yang dikenal sebagai “International
Centre for Settlement of Investment Disputes” (ICSID), yang terdiri dari
Profesor Gabrielle Kaufmann-Kohler, Michale Hwang SC dan Profesor
Albert Jan van den Berg (Tribunal ICSID) menolak semua klaim yang
diajukan oleh para penggugat terhadap Republik Indonesia. Tribunal
ICSID selanjutnya juga mengabulkan klaim pemerintah Indonesia untuk
mendapatkan penggantian biaya perkara (award on costs) sebesar USD9,4
juta.

Dalam jalannya persidangan, yang kemudian ditegaskan dalam


putusannya, Tribunal ICSID menerima argumen dan bukti-bukti, termasuk
keterangan ahli forensik yang diajukan oleh pemerintah Indonesia yang
dengat tegas dapat membuktikan adanya pemalsuan, yang kemungkinan
terbesar menggunakan mesin autopen.

Ada 34 dokumen palsu yang diajukan para penggugat dalam persidangan


(termasuk izin pertambangan untuk tahapan general survey dan
eksplorasi) yang seolah-olah merupakan dokumen resmi-asli yang
dikeluarkan oleh pelbagai lembaga pemerintahan di Indonesia, baik pusat
maupun daerah. Tribunal ICSID sepakat dengan argumen pemerintah
Indonesia bahwa “investasi yang bertentangan dengan hukum tidak pantas
mendapatkan perlindungan dalam hukum internasional”.

Tribunal ICSID juga menemukan bahwa, “Para Penggugat tidak melakukan


kewajibannya untuk memeriksa mitra kerja lokalnya serta mengawasi
dengan baik proses perijinanya (lack of diligence)”. Sehingga berdasarkan,
di antaranya, fakta dan pertimbangan sebagaimana telah dikemukakan,
Tribunal ICSID menyatakan klaim dari para penggugat ditolak. (gi/em)

Anda mungkin juga menyukai