Ulumul Quran 10
Ulumul Quran 10
1
BAB II PEMBAHASAN
2
2.3 Corak dan Metodologi Tafsir
Sepanjang sejarah penafsiran Al-Qur’an, ada dua bentuk penafsiran yang dipakai
(diterapkan) oleh ulama’ yaitu al-ma’tsur (riwayat) dan al-ra’y (pemikiran).
3
ditarik dari riwayat pernyataan Nabi dan atau dalam bentuk asbab al-nuzul sebagai satu-satunya
sember data. Sebagai salah satu metode, model metode riwayat dalam pengertian yang terakhir
ini tentu statis, karena hanya tergantung pada data riwayat penafsiran Nabi. Dan juga harus
diketahui bahwa tidak setiap ayat mempunyai asbab al-nuzul.
ــــــــــــــــــم
ِ الر ْح َم ِن للاِ بِ ْس
َّ الر ِحي ِْم
َّ
َاك إِ َّل ِب َمثَل َيأْتُون ََك َو َل ِ سنَ ِب ْال َح
َ ق ِجئْن َ ِيرا َوأ َ ْح
ً ت َ ْفس
Artinya: “ Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu membawa sesuatu yang ganjil,
melainkan Kami datangkan kepadamu Sesuatu yang benar dan penjelasan (tafsir) yang terbaik
”. (QS. Alfurqan: 33)
Di dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata Tafsir diartikan dengan keterangan atau
penjelasan tentang ayat-ayat Al-Qur’an. Jadi tafsir Al-qur’an ialah penjelasan atau keterangan
untuk memperjelas maksud yang sukar dipahami dari ayat-ayat Al-Qur’an.
Para ulama telah melakukan pembagian tentang kitab-kitab karangan menyangkut Al-
Qur’an dan kitab-kitab tafsir. Ada empat macam metode tafsir, yaitu:
4
1. Metode Ijmali (global)
Yang dimaksud dengan metode ijmali ialah menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an secara
ringkas tapi mencakup, dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti, dan enak dibaca.
Sistematika penulisannya mengikuti sususnan ayat-ayat dalam mushaf. Disamping itu
penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa Al-Qur’an sehingga pendengar dan pembaca
mudah memahaminya.
a. Ciri-ciri Metode Ijmali
Dalam metode ijmali seorang mufasir langsung menafsirkan Al-Qur’an dari
awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul. Pola serupa ini tak jauh
berbeda dengan metode alalitis, namun uraian di dalam metode analitis lebih rinci
daripada di dalam metode global sehingga mufasir lebih banyak dapat mengemukakan
pendapat dan ide-idenya. Sebaliknya di dalam metode global, tidak ada ruang bagi
mufasir untuk mengemukakan pendapat serupa itu. Itulah sebabnya kitab-kitab tafsir
ijmali seperti disebutkan di atas tidak memberikan penafsiran secara rinci, tapi ringkas
dan umum sehingga seakan-akan kita masih membaca Al-Qur’an padahal yang dibaca
tersebut adalah tafsirnya. Namun pada ayat-ayat tertentu diberikan juga penafsiran yang
agak luas, tapi tidak sampai pada wilayah tafsir analitis. Kitab Tafsir Al-Qur’an Al-
Karim karangan Muhammad Farid Wajdi, Al-tafsir Al-Wasith terbitan Majma’ Al-
Buhus Al-islamiyyat, dan Tafsir Al-Jalain serta Taj Al-Tafsir karangan Muhammad
Ustman al-Mirgani, masuk kedalam kelompok ini.
Ruang lingkup yang luas. Contohnya saja ahli bahasa, mendapat peluang yang
luas untuk menafsikan Al-Qur’an dari pemahaman kebahasaan, seperti tafsir Al-
Nasafi karangan karangan Abu Al-Su’ud, Ahli qiraat seperti Abu Hayyan,
menjadikan qiraat sebagai titik tolak dalam penafsirannya. Begitu pula ahli filsafat,
sains dan teknologi. Memuat berbagai ide. Tafsir ini memberikan kesempatan yang
sangat luas kepada mufasir untuk mencurahkan ide-ide dan gagasannya dalam
menafsirkan Al-Qur’an.
6
3. Metode Muqarin (comparative)
Mufasir membandingkan ayat Al-Qur’an dengan ayat lain, yaitu ayat-ayat yang
memiliki persamaan redaksi dalam dua atau lebih masalah atau kasus yang berbeda, atau ayat-
ayat yang memiliki redaksi berbeda dalam masalah atau kasus yang (diduga) sama. Al-Zarkasyi
mengemukakan delapan macam variasi redaksi ayat-ayat Al-Qur’an, yaitu sebagai berikut:
a. Perbedaan tata letak kata dalam kalimat, seperti :
ــــــــــــــــــم
ِ الر ْح َم ِن للاِ ِب ْس
َّ الر ِحي ِْم َّ
ضى َولَ ْن َ ع ْن َك ت َ ْر َ ُارى َو َل ْال َي ُهود َ ص َ َّّللاِ هُدَى ِإ َّن قُ ْل ۗ ِملَّت َ ُه ْم تَت َّ ِب َع َحتَّى الن
َّ ُه َو
ت َولَئِ ِن ۗ ْال ُهدَى َ ّللاِ ِمنَ لَ َك َما ۙ ْال ِع ْل ِم ِمنَ َجا َء َك الَّذِي بَ ْعدَ أ َ ْه َوا َء ُه ْم اتَّبَ ْع َّ ِم ْن
َصير َو َل َو ِلي ِ ن
“Katakanlah : Sesungguhnya petunjuk Allah itulah (yang sebenarnya) petunjuk” (QS : al-
Baqarah : 120)
ــــــــــــــــــم
ِ الر ْح َم ِن للاِ ِب ْس
َّ الر ِحي ِْم
َّ
ُ ُون ِم ْن أَنَ ْد
عو قُ ْل ِ ّللاِ د َّ ض ُّرنَا َو َل يَ ْنفَعُنَا َل َما ُ ََهدَانَا ِإ ْذ بَ ْعدَ أ َ ْعقَا ِبنَا َعلَى َونُ َردُّ ي
َّ ين ا ْست َ ْه َوتْهُ َكالَّذِي
ُّللا ُ اط ِ ش َيَّ ض ِفي ال ِ ص َحاب لَهُ َحي َْرانَ ْاْل َ ْر ْ َ عونَهُ أ ُ ْال ُهدَى ِإلَى َي ْد
ّللاِ ُهدَى ِإ َّن قُ ْل ۗ ائْتِنَاَّ ب ِلنُ ْس ِل َم َوأ ُ ِم ْرنَا ۖ ْال ُهدَى ُه َوِ ْال َعالَ ِمينَ ِل َر
“Katakanlah : Sesungguhnya petunjuk (yang harus diikuti) ialah petunjuk Allah” (QS : al-
An’am : 71)
7
b. Perbedaan dan penambahan huruf, seperti:
ــــــــــــــــــم
ِ الر ْح َم ِن للاِ ِب ْسَّ الر ِحي ِْم َّ
س َواء َكفَ ُروا الَّذِينَ ِإ َّن َ يُؤْ ِمنُونَ َل ت ُ ْنذ ِْر ُه ْم لَ ْم أ َ ْم أَأ َ ْنذَ ْرت َ ُه ْم َعلَ ْي ِه ْم
“Sama saja bagi mereka apakah kamu memberi peringatan kepada mereka ataukah kamu tidak
memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman” (QS : al-Baqarah : 6)
ــــــــــــــــــم
ِ الر ْح َم ِن للاِ ِب ْس َّ الر ِحي ِْم َّ
س َواءَ يُؤْ ِمنُونَ َل ت ُ ْنذ ِْرهُ ْم لَ ْم أ َ ْم أَأ َ ْنذَ ْرت َ ُه ْم َعلَ ْي ِه ْم َو
“Sama saja bagi mereka apakah kamu memberi peringatan kepada mereka ataukah tidak
memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman” (QS : Yasin: 10)
ــــــــــــــــــم
ِ الر ْح َم ِن للاِ ِب ْسَّ الر ِحي ِْم َّ
َ َول ْاْل ُ ِميِينَ فِي بَع
ث الَّذِي ُه َو ً س ُ َويُعَ ِل ُم ُه ُم َويُزَ ِكي ِه ْم آيَاتِ ِه َعلَ ْي ِه ْم يَتْلُو ِم ْن ُه ْم َر
َ َ ض ََلل لَ ِفي قَ ْب ُل ِم ْن َكانُوا َو ِإ ْن َو ْال ِح ْك َمةَ ْال ِكت
اب َ ُم ِبين
“…yang membaca ayat-ayatNya kepada mereka, mensucikan mereka, dan mengajarkan
kepada mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan al-Hikmah” (QS. Al-Jumu’ah : 2)
ــــــــــــــــــم
ِ الر ْح َم ِن للاِ ِب ْس
َّ الر ِحي ِْم
َّ
8
ان ِمنَ يَ ْنزَ َغنَّ َك َوإِ َّما
ط ِ اّللِ فَا ْست َ ِع ْذ ن َْزغ ال َّ
ش ْي َ س ِميع إِنَّهُ ۚ بِ َّ
َع ِليم َ
“…mohonkanlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha
)Mengetahui.” (QS. Al-A’raf : 200
ــــــــــــــــــم
ِ الر ْح َم ِن للاِ ِب ْس
الر ِحي ِْم َّ َّ
سنَا لَ ْن َوقَالُوا ّللاِ ِع ْندَ أَت َّ َخ ْذت ُ ْم قُ ْل ۚ َم ْعدُودَة ً أَيَّا ًما إِ َّل النَّ ُ
ار ت َ َم َّ ف فَلَ ْن َع ْهدًا َّ
ّللاُ يُ ْخ ِل َ
َّ
ّللاِ َعلَى تَقُولُونَ أ َ ْم ۖ َع ْهدَهُ ت َ ْعلَ ُمونَ َل َما َّ
”“…Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja.
)(QS. Al-Baqarah : 80
ــــــــــــــــــم
ِ الر ْح َم ِن للاِ ِب ْس
الر ِحي ِْم َّ
َّ
سنَا لَ ْن قَالُوا ِبأَنَّ ُه ْم ذَ ِل َك َكانُوا َما دِينِ ِه ْم فِي َوغ ََّر ُه ْم ۖ َم ْعد ُودَات أَيَّا ًما ِإ َّل النَّ ُ
ار ت َ َم َّ
َي ْفت َ ُرونَ
“…Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari yang
)dapat dihitung.” (QS. Ali-Imran : 24
ــــــــــــــــــم
ِ الر ْح َم ِن للاِ ِب ْسالر ِحي ِْم َّ َّ
ْث ِم ْن َها فَ ُكلُوا ْالقَ ْريَةَ َه ِذ ِه ا ْد ُخلُوا قُ ْلنَا َوإِ ْذ
اب َوا ْد ُخلُوا َر َغدًا ِشئْت ُ ْم َحي ُ س َّجدًا ْالبَ َ
ُ
طة َوقُولُوا طايَا ُك ْم لَ ُك ْم نَ ْغ ِف ْر ِح َّ ْال ُم ْح ِسنِينَ َو َ
سن َِزيد ُ ۚ َخ َ
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman: Masuklah kamu ke negeri ini, dan makanlah.” (QS.
)Al-Baqarah: 58
ــــــــــــــــــم
ِ الر ْح َم ِن للاِ ِب ْسالر ِحي ِْم َّ َّ
ْث ِم ْن َها َو ُكلُوا ْالقَ ْريَةَ َه ِذ ِه ا ْس ُكنُوا لَ ُه ُم قِي َل َوإِ ْذطة َوقُولُوا ِشئْت ُ ْم َحي ُ اب َوا ْد ُخلُوا ِح َّْالبَ َ
َطيئَاتِ ُك ْم لَ ُك ْم نَ ْغ ِف ْر ُ
س َّجدًا ْال ُم ْح ِسنِينَ َ
سن َِزيد ُ ۚ خ ِ
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman: Masuklah kamu ke negeri ini, dan makanlah.” (QS.
)Al-A’raf : 161
9
g. Perbedaan penggunaan kosa kata, seperti:
ــــــــــــــــــم
ِ الر ْح َم ِن للاِ ِب ْسَّ الر ِحي ِْم
َّ
َّ أ َ َولَ ْو ۗ آبَا َءنَا َعلَ ْي ِه أ َ ْلفَ ْينَا َما نَتَّبِ ُع بَ ْل قَالُوا
ّللاُ أ َ ْنزَ َل َما اتَّبِعُوا لَ ُه ُم قِي َل َوإِذَا
َش ْيئًا َي ْع ِقلُونَ َل آ َبا ُؤ ُه ْم َكان َ َي ْهتَدُونَ َو َل
“Mereka berkata: Tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati (alfayna) dari
(perbuatan) nenek moyang kami.” (QS. Al-Baqarah : 170)
ــــــــــــــــــم
ِ الر ْح َم ِن للاِ ِب ْس
َّ الر ِحي ِْم
َّ
ّللاُ أ َ ْنزَ َل َما ات َّ ِبعُوا لَ ُه ُم قِي َل َو ِإذَا
َّ َكانَ أ َ َولَ ْو ۚ آبَا َءنَا َعلَ ْي ِه َو َج ْدنَا َما نَتَّبِ ُع بَ ْل قَالُوا
ُ ط
ان َ ش ْي ُ ب ِإلَى َي ْد
َّ عو ُه ْم ال ِ ير َعذَا ِ س ِع َّ ال
“Mereka berkata: Tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati (wajadna)
dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (QS. Luqman : 21)
ــــــــــــــــــم
ِ الر ْح َم ِن للاِ بِ ْس
َّ الر ِحي ِْم
َّ
ّللاَ شَاقُّوا ِبأَنَّ ُه ْم ذَ ِل َك
َّ ُسولَه ُ َاق َو َم ْن ۖ َو َر َّ ّللاَ فَإ ِ َّن
ِ ّللاَ يُش َّ ُشدِيد ِ ْال ِعقَا
َ ب
“Yang demikian ini adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasulnya.
Barang siapa menentang (yusyaqiq) Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya Allah sangat
keras hukuman-Nya.” (QS. Al-Hasyr : 4)
10
2) Membandingkan Ayat Dengan Hadits
Mufasir membandingkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan Hadits Nabi SAW yang terkesan
bertentangan. Dan mufasir berusaha untuk menemukan kompromi antara keduanya. Contoh
perbedaan antara ayat Al-Qur’an surat An-Nahl: 32 dengan hadits riwayat Tirmidzi:
ــــــــــــــــــم
ِ الر ْح َم ِن للاِ ِب ْسَّ الر ِحي ِْم
َّ
َط ِي ِبينَ ْال َم ََل ِئ َكةُ تَت َ َوفَّا ُه ُم الَّذِين
َ ۙ َس ََلم َيقُولُون َ ت َ ْع َملُونَ ُك ْنت ُ ْم ِب َما ْال َجنَّةَ ا ْد ُخلُوا َعلَ ْي ُك ُم
“Masuklah kamu ke dalam surga disebabkan apa yang telah kamu kerjakan” (QS. Al-Nahl :
32)
“Tidak akan masuk seorang pun diantara kamu ke dalam surga disebabkan perbuatannya” (HR.
Tirmidzi)
Antara ayat al-Qur’an dan hadits tersebut di atas terkesan ada pertentangan. Untuk
menghilangkan pertentangan itu, al-Zarkasyi mengajukan dua cara:
Pertama, dengan menganut pengertian harfiah hadits, yaitu bahwa orang-orang tidak
masuk surga karena amal perbuatannya, tetapi karena ampunan dan rahmat Tuhan.
Akan tetapi, ayat di atas tidak disalahkan, karena menurutnya, amal perbuatan manusia
menentukan peringkat surga yang akan dimasukinya. Dengan kata lain, posisi
seseorang di dalam surga ditentukan amal perbuatannya. Pengertian ini sejalan dengan
hadits lain, yaitu :
“Sesungguhnya ahli surga itu, apabila memasukinya, mereka mendapat posisi di dalamnya
berdasarkan keutamaan perbuatannya”. (HR. Tirmidzi)>
Kedua, dengan menyatakan bahwa huruf ba’ pada ayat di atas berbeda konotasinya
dengan yang ada pada hadits tersebut. Pada ayat berarti imbalan, sedangkan pada hadits
berarti sebab.
11
Tidak menggugurkan suatu hadits yang berkualitas sahih.
Sedang dalam hal perbedaan penafsiran mufasir yang satu dengan yang yang lain, mufasir
berusaha mencari, menggali, menemukan, dan mencari titik temu di antara perbedaan-
perbedaan itu apabila mungkin, dan mentarjih salah satu pendapat setelah membahas kualitas
argumentasi masing-masing.
Yang menjadi ciri utama metode ini ialah menonjolkan tema, judul atau topik
pembahasan, sehingga tidak salah bila di katakan bahwa metode ini juga disebut metode
topikal. Jadi mufasir mencari tema-tema atau topik-topik yang ada di tengah
masyarakat atau berasal dari Al-Qur’an itu sendiri, ataupun dari yang lain. Kemudian
tema-tema yang sudah dipilih itu dikaji secara tuntas dan menyeluruh dari berbagai
aspek, sesuai dengan kapasitas atau petunjuk yang termuat di dalam ayat-ayat yang
12
ditafsirkan tersebut. Artinya penafsiran yang diberikan tak boleh jauh dari pemahaman
ayat-ayat Al-Qur’an, agar tidak terkesan penafsiran tersebut berangkat dari pemikiran
atau terkaan belaka (al-Ra’y al-Mahdh).
Sementara itu Prof. Dr. Abdul Hay Al-Farmawy seorang guru besar di Fakultas
Ushuluddin Al-Azhar, dalam bukunya Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Maudhu’i mengemukakan
secara rinci langkah-langkah yang hendak ditempuh untuk menerapkan metode mawdhu’i.
Langkah-langkah tersebut adalah:
Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik).
Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut.
Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya (asbab al-nuzul).
Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya masing-masing.
Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna.
Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang relevan dengan pokok bahasan.
Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-
ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara yang
‘am (umum) dan yang khas (khusus), mutlak dan muqayyad (terikat), sehingga
kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perdebatan atau pemaksaan.
2. Praktis dan sistematis. Tafsir ini disusun secara praktis dan sistematis dalam
memecahkan permasalahan yang timbul. Dengan adanya tematik mereka akan
mendapatkan petunjuk Al-Qur’an secara praktis dan sistematis serta dapat lebih
menghemat waktu, efektif, dan efesien.
3. Dinamis. Metode ini membuat tafsir Al-Qur’an selalu dinamis sesuai dengan
tuntunan zaman.
13
1. Memenggal ayat Al-Qur’an. Memenggal ayat Al-Qur’an yang dimaksud adalah
mengambil satu kasus yamg terdapat didalam satu ayat atau lebih yang mengandung
banyak permasalahan yang berbeda.
14
BAB III KESIMPULAN
Secara garis besarnya ada empat cara (metode) penafsiran al-Qur’an yang dipakai
sejak dahulu sampai sekarang, yaitu: Metode Ijmaliy (global), Metode Tahliliy (analistis),
Metode Muqaran (perbandingan), dan Metode Maudhu’i (tematik).
Dalam penafsiran al-Qur’an ada dua bentuk yang selama ini dipakai (diterapkan) oleh para
ulama, yaitu: Al-Tafsir Bi al-Ma’tsur (Riwayat), dan Al-Tafsir Bi al-Ra’y (Pemikiran).
Yang paling populer dari keempat metode penafsiran, menurut Dr. Quraish Shihab adalah
metode tahliliy (analistis), dan metode maudhu’i (tematik) namun disamping populer
menurut para ulama tafsir, metode ini memiliki kelemahan-kelemahan disamping memiliki
kelebihan.
Ada dua jenis pembatasan dalam tafsir al-Qur’an, yaitu: menyangkut materi ayat-ayat dan
menyangkut syarat-syarat penafsiran.
15
DAFTAR PUSTAKA
Mardan, Sebuah Pengantar Memahami Al-Qur’an Secara Utuh, ( Jakarta: Pustaka Mapan ), 2009.
https://tafsirq.com/
16
17