Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

Myelodysplastic Syndrome

Disusun oleh:

Achmad Ma’ruf Fauzi

142011101101

Dokter Pembimbing:

dr. Arief Suseno, Sp.PD.

Disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya


KSM Ilmu Penyakit Dalam di RSD dr.Soebandi Jember

LAB/KSM ILMU PENYAKIT DALAM RSD DR. SOEBANDI JEMBER


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER
2018
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN SAMPUL .................................................................................. i
DAFTAR ISI .................................................................................................. ii
BAB 1. PENDAHULUAN ............................................................................. 1
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 4
2.1 Myelodisplastic Syndrome ......................................................... 4
2.1.1 Definisi .................................................................................... 4
2.1.2 Etiologi .................................................................................... 4
2.1.3 Prevalensi ................................................................................. 5
2.1.4 Klasifikasi ................................................................................ 5
2.1.5 Patogenesis .............................................................................. 6
2.1.6 Gejala Klinis ............................................................................ 7
2.1.7 Klasifikasi ................................................................................ 12
2.1.8 Tatalaksana .............................................................................. 15
2.1.9 Prognosis ................................................................................. 17
BAB 3. KESIMPULAN ................................................................................ 18
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 19

1
BAB 1. PENDAHULUAN

Sindrom myelodisplasia (MDS) adalah gangguan sumsum tulang, ditandai


dengan hematopoesis yang tidak efektif, berbagai tingkat sitopenia serta
peningkatan risiko leukemia akut (Ades, 2014). MDS mewakili spektrum
gangguan neoplastik sel induk klonal yang ditandai oleh kegagalan sumsum
tulang dengan sitopeni, dan persentase leukemia berkisar kurang dari 5% sampai
19% dan terjadi lebih banyak pada populasi lanjut usia. MDS terjadi lebih banyak
pada laki – laki daripada perempuan (Montalban-Bravo, 2018)
Seperti halnya penyakit keganasan pada umumnya, penyebab MDS yang
pasti belum diketahui. Studi epidemiologi menunjukkan MDS dihubungkan
dengan paparan radiasi, atau sitotoksik kemoterapi. Beberapa studi
memperlihatkan bahwa pada pasien yang sedang mengalami terapi penyakit
Hodgkin’s dan menjalani kemoterapi dan/ atau radioterapi memiliki risiko terkena
MDS lebih besar setelah follow-up selama 55 bulan. Onkogenesis pada MDS
bersifat multistep, terjadi proses akumulasi perubahan genetik yang pada akhirnya
menuju suatu neoplasma ganas setelah sebelumnya melewati fase pre maligna.
Pada fase awal, sel induk normal dan abnormal sama-sama berfungsi, tetapi pada
fase selanjutnya klon ganas lebih dominan. Ciri dari penyakit ini pada usia dini
adalah apoptosis yang dipercepat pada sel induk hematopoietik disertai dengan
peningkatan proliferasi (Foran, 2012).
Setelah diagnosis ditegakkan, pasien diklasifikasikan ke kategori untuk
memprediksi prognosis dan memutuskan strategi pengobatan yang akan dilakukan.
Tujuan pengobatan pada kelompok risiko rendah (kelompok dengan prognosis
yang lebih baik) adalah untuk meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi
kebutuhan untuk transfusi, yang dapat dicapai melalui pilihan yang berbeda,
termasuk faktor pertumbuhan erythropoietic, lenalidomide, dan agen
hypomethylating. Pada kelompok risiko tinggi (kelompok dengan prognosis
buruk), tujuan pengobatan adalah untuk meningkatkan kelangsungan hidup dan
memperlambat perkembangan penyakit. Pilihan pengobatan bagi kelompok ini
termasuk transplantasi stem cell alogenik pada pasien yang memenuhi kriteria dan

2
penggunaan agen hypomethylating (Rami, 2009). Meskipun tersedia beberapa
alternatif pengobatan yang dapat dilakukan, sebagian besar pasien meninggal
karena komplikasi dari penyakit atau bertransformasi menjadi leukemia myeloid
akut (AML).
Laporan kasus ini penting untuk dilaporkan dikarenakan 1 dari 6 pasien dengan
anemia yang tidak diketahui penyebabnya merupakan penderita MDS, hal ini
tentu membuat MDS menjadi diagnosa banding paling dipertimbangkan pada
kasus – kasus anemia tersebut (Foran et al, 2012).

3
BAB. 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Myelodysplastic Syndrome


2.1.1 Definisi
Sindrom myelodisplasia atau myelodisplasia syndrome (MDS) adalah
kelainan neoplastik hemopoetik klonal yang disebabkan oleh transformasi
ganas sel induk myeloid sehingga menimbulkan gangguan maturasi dan
diferensiasi sel myeloid, eritriod atau megakariosit, yang ditandai dengan
hematopesis inefektif, sitopenia pada darah tepi dan sebagian akan mengalami
transformasi menjadi leukemia myeloid akut (Rami, 2009).

2.1.2 Etiologi
Etiologi MDS tidak diketahui secara pasti, namun dapat terjadi karena
bertambahnya usia, perubahan genetik yang diwariskan atau disebabkan oleh
paparan zat berbahaya. Faktor risiko meliputi pemaparan terhadap pelarut
benzena atau bahan lainnya, halogenated hydrocarbon, tembakau dan asap
rokok serta penurunan sistem imun. Kemoterapi dan radiasi yang berhubungan
dengan terapi juga dapat terkait dengan MDS (Steensma, 2007).

1. Penuaan
 Sebagaimana disebutkan di atas, penuaan tampaknya menjadi

faktor risiko terpenting dalam perkembangan MDS karena risiko


terjadinya mutasi meningkat sebanding dengan usia.

2. Kimia
 Paparan tingkat tinggi dari beberapa bahan kimia lingkungan,

terutama produk benzena dan minyak bumi, terkait dengan perkembangan


MDS.

3. Rokok
 Paparan bahan kimia dalam asap tembakau / rokok dapat

meningkatkan risiko perkembangan MDS.

4. Sitotoksik kemoterapi
 Pasien yang sebelumnya mengalami pengobatan

4
kanker atau kondisi lain dengan kemoterapi, akan meningkatkan risiko
untuk terjadinya MDS sekunder atau terkait pengobatan. Ini mewakili
kurang dari 10 persen dari semua kasus MDS. Sekunder MDS dikaitkan
dengan mutasi yang berbeda yang terjadi pada MDS spontan dan memiliki
prognosis yang lebih buruk. Waktu antara paparan obat dan terjadinya
MDS dapat 2-3 tahun hingga lebih dari 10 tahun.

5. Radiasi
 Terapi radiasi sebelumnya, atau paparan radiasi lingkungan

tingkat tinggi dikaitkan dengan peningkatan risiko MDS. Dalam beberapa


kasus mungkin tidak terlihat sampai 40 tahun setelah paparan.

6. Kelainan Bawaan
Beberapa kelainan bawaan seperti sindrom Bloom, Down Syndrome,
anemia Fanconi dan neurofibromatosis memiliki risiko lebih untuk
terjadinya mutasi yang menyebabkan kanker atau MDS (Leukaemia
Fondation, 2009.

2.1.3 Prevalensi
Perkiraan terbaru dari American Cancer Society (2009), MDS di Amerika
Serikat berkisar 12.000 kasus baru setiap tahun. Jumlah kasus baru
nampaknya akan meningkat karena peningkatan usia rata-rata populasi.
Sekitar 80% sampai 90% dari semua pasien dengan MDS umumnya lebih dari
60 tahun.
Sedangkan insidens MDS dalam data yang baru-baru ini diterbitkan oleh
Surveillance, Epidemiology, and End Results (SEER) meningkat dari kurang
dari 5 per 100.000 pasien di bawah usia 60 menjadi 36,2 per 100.000 pada
pasien lebih dari 80 tahun. Dengan rata-rata usia diagnosis 76 tahun. Secara
umum, pria dan kulit putih memiliki insiden yang lebih tinggi dari penyakit ini

(Rami, 2009).

5
2.1.4 Patogenesis
Penyebab MDS masih belum dikehui dengan pasti, dan sulit dipisahkan
dari penyebab leukemia dan penyakit mieloproliferatif lainnya. Diajukan
sebuah hipotesis bahwa pengaruh faktor lingkungan, kelainan genetik dan
interaksi sel menimbulkan mutasi pada tingkat selinduk sehingga
menimbulkan ketidakseimbangan proses proliferasi dan diferensiasi. Variasi
perubahan prose situ akan menyebabkan transformasi kea rah leukemia akut,
MDS atau penyakit myeloproliferatif (MPD) (Uwe, 2007).
Pada MDS terjasi ketidakserasian antara proliferasi dengan diferensiasi,
dimana daya proliferadi masih cukup tetapi terjadi gangguan diferensiasi atau
maturasi sehingga terjasi hemopoesis inefektif, dengan kematian premature sel
(eritroid, myeloid, megakariosit) dalam sumsum tulang sebelum sempat
dilepaskan ke darah tepi. Hal ini berakibat terjadinya sumsum tulang
hiperseluler, tetapi terjadi sitopenia pada darah tepi (Uwe, 2007).

Bagan 1. Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya MDA (Uwe, 2007).

6
2.1.5 Gejala Klinis

Gejala MDS sering tidak jelas dan spesifik, dan diagnosis sering dibuat
selama pemeriksaan untuk anemia, trombositopenia, atau neutropenia pada
pemeriksaan darah rutin. Jika tampak tanda-tanda dan gejala, biasanya tergantung
pada jenis sel yang terpengaruh.
Ketika eritrosit terpengaruh (situasi yang paling umum), pasien datang dengan
tanda-tanda anemia, termasuk pucat, konjungtiva anemis, takikardi, hipotensi,
kelelahan, sakit kepala, dan intoleransi latihan, atau dengan tanda dan gejala
memburuknya kondisi atau penyakit yang mendasari seperti angina pectoris, gagal
jantung, atau emfisema.
Ketika trombosit yang terpengaruh, kurang dari 20% dari pasien datang
dengan gejala trombositopenia terisolasi sebagai perdarahan kecil (misalnya,
perdarahan mukosa, petechie, mudah memar, epistaksis) atau perdarahan besar
(misalnya, perdarahan gastrointestinal, perdarahan intrakranial).
Ketika neutrofil yang terpengaruh, terjadi neutropenia terisolasi misalnya
infeksi bakteri yang sering terjadi pada sistem organ yang berbeda. Infeksi
merupakan keluhan utama dari 10% kasus dan penyebab kematian dari 21% kasus.
Splenomegali dan limfadenopati jarang terjadi pada MDS. Jika terdeteksi,
maka harus curiga terhadap adanya neoplasma myeloproliferatif atau
limfoproliferatif (Barzi, 2010).

2.1.6 Diagnosis
Untuk mendiagnosis terdapat beberapa langkah, langkah diagnosis MDS adalah
sebagai berikut :
1.Diagnosis MDS sangat dicurigai apabila dijumpai gejala klinik yang sesuai,
terutama pada orang tua, yang disertai sitopenia (anemia, leukopenia,
trombositopenia) persisten atau monositosis yang tidak dapat diterangkan.
7
2. Kemudian dilakukan pemeriksaan teliti terhadap apusan darah tepi dan sumsum
tulang untuk mencari tanda-tanda displastik. Abnormalitas morfologi pada

penderita MDS dapat dilihat pada Tabel 1.
 


Tabel 1. Abnormalitas Morfologi pada Penderita MDS (List, 2009) 


Jenis Sel Apus darah tepi Sumsum tulang


Eritroid Ovalomakrosit Entropoiesis
megaloblastoid
Eliptosit Nuclear budding
Akantosit Ringed sideroblas
Stomatosit Internuclear bridged
Teardrops Karioreksis
Normoblas Fragmet Nuclet
Basophilic stippling Vakuolisasi sitoplasma
Howel-Jolly bodies Multinuklearitis
Mieloid Anomali Pseudo-Pelger- Defek Granulasi
Huet
Hipogranulasi Hambatan maturasi pada
tingkat miolosit
Nuclear sticks Peningkatan bentuk
monositoid
Hipersegmentasi Lokasi abnormal
precursor imatur
Ring shape nuclet
Auer rods
Megakarosit Giant platelet Mikromegakariosit
Trombosist hipoglanuler/ Hipogranulasi
Agranuler
Nukleus kecil multipel

3. Jika dijumpai tanda displastik pada satu alau lebih jenis sel, penyebab
displasia di luar MDS harus disingkirkan (dengan anamnesis, pemeriksaan

8
klinik, laboratorium atau pemeriksaan lain). Penyebab dysplasia diluar
MDS antara lain: defisiensi vitamin B12, defisiensi folat, infeksi virus
seperti HIV, pemakaian antibiotika tertentu, agen kemoterapi, etanol,
benzene, atau timah hitam. Apabila penyebab-penyebab ini telah dapat

disingkirkan, diagnosis MDA sudah dapat ditetapkan. 


4. Langkah selanjutnya adalah melakukan klasifikasi berdasarkan FAB atau

WHO. 


5. Jika fasilitas tersedia, pemeriksaan sitogenetik dikerjakan untuk menilai


prognosis. Pemeriksaan sitokimia, imunofenotiping, imunokimia,
pemeriksaan onkogen dan kultur jaringan dapat membantu dignosis, tetapi

secara rutin tidak 
 selalu diperlukan. 



Sebenarnya untuk diagnosis MDS perlu dibantu dengan pemeriksaan
pembiakan sel- sel sumsum tulang dan pemeriksaan sitogenetik. Sitogenetik
sumsum tulang dapat memberikan informasi prognosis dan adanya abnormalitas
kromosom yang merupakan kunci untuk membedakan MDS primer dan sekunder.
Kromosom abnormal sumsum tulang ditemukan pada 30 – 50 % pasien MDS de
novo. Berbagai kelainan sitogenetik pada MDS termasuk delesi, trisomi,
monosomi dan anomali struktur.

Bagan 2. Panduan Diagnosis MDS (Peter L, 2011)

9
10
Bagan 3. Algoritma Diagnosis MDS menurut kriteria WHO (Barbara, 2004).

11
2.1.7 KLASIFIKASI
FAB membuat klasifikasi khusus untuk MDS yang diterima secara luas
sampai saat ini. FAB membagi MDS menjadi 5 kategori berdasarkan jumlah blast
dalam darah tepid an sumsum tulang, jumlah monosit dalam darah tepi, serta
jumlah ringed sideroblast dalam sumsum tulang.

1. Refractory Anemia (RA)
 Pada RA dijumpai sitopenia, paling sedikit pada

satu turunan sel (cell lineage), pada umumnya pada seri eritroid. Sumsum
tulang hiperseluler atau normoseluler dengan perubahan displastik terutama
pada sistem eritroid, system granulosit dan megakariosit mengalami
perubahan displastik dalam derajad yang lebih ringan. Blast dalam darah

tepi < 1 % dan dalam sumsum tulang < 5%. 


2. Refractory Anemia with Ringed Sideroblast (RARS)
 Pada RARS

dijumpai sitopenia (hampir selalu disertai anemi), perubahan displastik,


jumlah blast seperti dapa RA. Ring sideroblast dijumpai > 15% dari sel

eritroid berinti dalam sumsum tulang. 


3. Refractory Anemia with Excessive Blast (RAEB)
 Pada RAEB dijumpai

sitopenia dari dua atau lebih turunan sel pada darah tepi. Perubahan
displastik pada ketiga lineage dalam sumsum tulang lebih nyata. Blast

darah tepi < 5%, dan dalam sumsum tulang antara 5-20 %. 


4. RAEB in Transformation to Leukemia (RAEBt)
 Pada RAEBt gambaran

hematologi sama dengan RAEB, tetapi blast darah tepi > 5% atau blast

dalam sumsum tulang 21-30% atau adanya auer rod pada sel blast. 


5. Chronic Myelo-Monocytic Leukemia (CMML)
 Pada CMML dijumpai

12
9
monositosis pada darah tepi (monosit > 1.10 per liter). Dalam darah tepi
< 5%, sedangkan dalam sumsum tulang sampai dengan 20% (Brunning et

al, 2001). 


Tabel 2. Kelainan Darah Tepi dan Sumsum Tulang pada MDS Menurut
Klasifikasi FAB (Brain, 2003).

Jenis MDS Darah Tepi Sumsum Tulang

Refractory Anemia (RA) Anemia <1% blasts < 5% blast


9 < 15% ring sideroblast of
Monocytes 1.10 erythroblast

Refractory Anemia with Anemia <1% blasts < 5% blast


Ringed Sideroblast 9 < 15% ring sideroblast of
Monocytes 1.10
(RARS) erythroblast

Refractory Anemia with Anemia <1% blasts < 5% blast


Excess Blast 9
Monocytes 1.10

Refractory Anemia with Anemia >5% blasts ≥ 20% blast


Excessive Blast in
Transformation to
Leukemia (RAEB-t)

Chronic MyeloMonocytic Monocytes <1.109 Blast up to 20%


Leukemia (CMML)
Granulocytes often Promonocytes often
increased <5% blasts increased

Pada tahun 2016 WHO membuat klasifikasi yang lebih detail yang
memunyai hubungan yang lebih baik dengan prognosis. Penggolongan yang
diusulkan WHO untuk MDS adalah :

1. MDS with multilineage dysplasia (MDS-MLD) 


2. MDS with single lineage dysplasia (MDS-SLD) 


13
3. MDS with ring sideroblasts (MDS-RS) 


4. MDS with excess blasts (MDS-EB) 


5. MDS with isolated del(5q) 


6. MDS, unclassifiable (MDS-U) 


Tabel 3. Kelainan Darah Tepi dan Sumsum Tulang pada MDS Menurut
Klasifikasi WHO 2016 (American Cancer Society, 2018)

Jenis MDS Darah Tepi Sumsum Tulang

MDS-MLD Cytopenias (bicyto- Dysplasia in > 10% of


penia/pancytopenia) the cell in two or ore
myeloid cell lines
No or rare blast No Auer
rods ≥ 5% ring sideroblast <
5% blast
 No Auer rod

MD-SLD Cytopenias (bicytopenia) Dysplasia is seen in at


least 10% of the early
No or rare blast cells of 1 cell type

<5% blas

MDS-RS Anemia Dysplasia in only one


cell types (MDS-RS-
RBC are ring SLD)
sideroblasts ≥ 15% Dysplasia in more than
one cell types (MDS-
RS- MLD)
MDS-EB Anemia <1% blasts ≥ 5% blast
9
Monocytes 1.10

5q Cytopenias (usually red Dysplasia in at least 1


blood cells) cell types in the bone

14
marrow

MDS-U Cytopenias < 10% At least one certain


chromosome
abnormality that is only
seen in MDS or
leukemia

2.1.8 TATA LAKSANA

Beberapa regimen terapi telah digunakan pada pasien MDS, tetapi sebagian
besar tidak efektif di dalam merubah perjalanan penyakitnya. Karena itu
pengobatan pasien MDS tergantung dari usia, berat ringannya penyakit dan
progresivitas penyakitnya. Berbagai macam regimen terapi telah dan sedang
dicobakan pada penderita MDS namun sampai saat ini transplantasi sumsum
tulang masil merupakan satu-satunya terapi yang memberikan kepastian hingga
terapi simtomatik masih memegang peranan yang penting bagi pasien MDS.

 Transplantasi Sumsum Tulang (Bone Marrow Transplatation)

Cangkok sumsum tulang alogenik merupakan pengobatan utama pada MDS


terutama dengan usia < 30 tahun, dan merupakan terapi kuratif, tetapi masih
merupakan pilihan < 5% dari pasien. Pada pasien MDS dengan prognosis jelek,
transplantasi sumsum tulang merupakan satu-satunya pilihan yang memberikan
harapan. Transplantasi stem sel autologus akhir-akhir ini mulai mendapatkan
perhatian mengingat pada beberapa kasus MDS dapat dijumpai hemopoesis
poliklonal yang normal setelah kemoterapi. Satu studi mendapatkan angka disease
free survival > 30% setelah 2 tahun pasca transplantasi stem sel autologus
(Asharianti, 2007).

 Kemoterapi

Pilihan kemoterapi pada MDS bervariasi dari kemoterapi intensif sampai

15
terapi sitostatika dosis rendah. Penggunaan kemoterapi pada MDS biasanya
diberikan pada tipe RAEB, RAEB-t dan CMML. Sejak tahun 1968 pengobatan
ARA-C dosis rendah yang diberikan pada pasien SDM dapat memberikan
response rate antara 50 – 75 % dan respons ini tetap bertahan 2 – 14 bulan setelah
2
pengobatan. Dosis ARA-C yang direkomendasikan adalah 20 mg/m /hari secara
2
drip atau 10 mg/m /hari secara subkutan setiap 12 jam selama 21 hari.
Komplikasi akibat terapi ditemukan sangat tinggi 13-30% pada beberapa studi
yang berbeda, bahkan pada studi lainnya survival didapatkan lebih pendek

dibandingkan penderita yang tidak mendapatkan terapi (Asharianti, 2007).
 GM-

CSF atau G-CSF


Sitokin dan hematopoietic growth factor (HGF) memainkan peranan penting
sebagai bagian dari terapi simtomatik menderita MDS, baik GM-CSF atau G-CSF.
Pada pasien MDS yang mengalami pansitopeni dapat diberikan GM-CSF atau G-
CSF untuk merangsang diferensiasi dari hematopoetic progenitor cells. GM-CSF
2 2
diberikan dengan dosis 30–500 mcg/m /hari atau G-CSF 50–1600 mcg/m /hari
(0,1–0,3 mcg/kgBB/hari/subkutan) selama 7–14 hari. Studi multisenter
membuktikan bahwa pemberian GM-CSF dapat meningkatkan granulosit dan
tidak terbukti dapat meningkatkan kadar hemoglobin dan trombosit. Terapi
dengan eritropoetin dapat meningkatkan hemetokrit 25% penderita sehingga
kebutuhan akan transfusi menjadi jauh berkurang (Asharianti, 2007).

 Lain-lain

Piridoksin, androgen, danazol, asam retinoat dapat digunakan untuk


pengobatan pasien SDM. Piridoksin dosis 200 mg/hari selama 2 bulan kadang-
kadang dapat memberikan respon pada tipe RAEB walaupun sangat kecil.
Danazol 600 mg/hari/oral dapat memberikan response rate 21 – 33 % setelah 3
minggu pengobatan (Asharianti, 2007).

Strategi Terapi

16
Hoffbrand (2005) mengkategorikan MDS menjadi dua kelompok, terdiri

atas :


1. Low Risk MDS, yaitu penderita dengan blast <5% dalam sumsum tulang. Low
Risk MDS dapat dikelola secata konservatif, dengan transfusi sel darah merah
atau trombosit dan pemberian antibiotika bila terjadi infeksi. Dapat juga
diberikan eritropoetin atau growth factor seperti G-CSF untuk mengatasi
leukopenia. Pemberian obat imunosupresif, seperti siklosporin dan ATG dapat

dipertimbangkan


2. High Risk MDS, yaitu penderita dengan blast sumsum tulang 5% atau lebih.

Untuk High Risk MDS dapat dipertimbangkan pemberian kemoterapi, baik


tunggal maupun intensif disamping terapi suportif. Pada pendetita kurang dari
50 tahun, stem cell transplantation merupakan satu-satunya pengobatan yang
sapat menberikan kemungkinan kesembuhan. Untuk High Risk MDS dengan
umur tua (65 tahun) dianjurkan hanya pemberian terapi suportif karena manfaat
kemoterapi tidak sebanding dengan efek sampingnya.

2.1.9 Prognosis

Pasien dengan miokarditis akut dan kerusakan minimal jantung sebagian


besar sembuh tanpa sekuel yang serius nantinya. Pada pasien dengan gejala yang
lebih serius, hasilnya bisa tidak pasti, dan kerusakan otot jantung terbukti. Pada
pasien dengan bentuk berat, secara langsung 1/3 akan mempertahankan fungsi
ventrikel, sementara pada 25% akan ada kebutuhan untuk transplantasi. Oleh
karena itu, dapat disimpulkan bahwa prognosis tergantung pada presentasi klinis,
fraksi ejeksi kurang dari 40% dan tekanan arteri pulmonal, dan beberapa faktor
klinis independen adalah munculnya sinkop, dan blok cabang pada
elektrokardiogram. Ada bukti bahwa pasien dengan miokarditis fulminan
memiliki prognosis yang lebih baik daripada pasien dengan miokarditis akut atau
miokarditis non-fulminan dengan sel raksasa. Dalam studi prospektif tentang Mc
17
Carthy et al. yang memilih pasien sesuai dengan presentasi klinis dan biopsi,
menunjukkan bahwa pasien dengan miokarditis fulminan memiliki tingkat
kelangsungan hidup rata-rata sekitar 11 tahun, dibandingkan dengan 45% pasien
dengan miokarditis non-fulminan. Mayoritas pasien pulih sepenuhnya (80% -
90%) dan sejumlah kecil pasien masuk ke fase kronis penyakit dengan tanda-
tanda gagal jantung dan gangguan irama jantung. Jarang, hasilnya adalah gagal
jantung dengan transplantasi jantung terminal atau kematian (syok kardiogenik,
komplikasi tromboemboli, gangguan denyut jantung ganas) (Simonic, Dejan dan
Marina llic, 2012).

18
BAB III KESIMPULAN

Myelodisplasia sindrom adalah suatu kelainan sumsum tulang yang


berakibat pada ketidakefektifan hematopoesis, yang mana menimbulkan sitopenia
serta cenderung berisiko pada akut leukimia. Gangguan ini diketahui dapat terjadi
oleh sebab bertambahnya usia, perubahan genetik yang diwariskan atau
disebabkan oleh paparan zat berbahaya. Gejala yang dapat ditimbulkan adalah
berkaitan dengan kejadian sitopenia seperti anemia, bercak-bercak petechie atau
perdarahan dari akibat rendahnya platelet serta infeksi. Sehingga pasien dengan
kecurigaan gejala sindrom myelodisplasia ini perlu melakukan pemeriksaan darah
tepi serta sitogenik. Penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah dengan
pencangkokan sumsum tulang untuk usia di bawah 30 tahun, kemudian
kemoterapi, serta pemberian GM-CSF atau G-CSF untuk perangsangan
hematopoetic progenitor cells.

19
.

DAFTAR PUSTAKA

Ades, Lionel., Itzykson, Raphael., Fernaux, Pierre. 2014. Myelodysplastic


Syndromes. Lancet Journal.

American Cancer Society. 2018. Myelodisplastic Syndrome Overview. Diunduh


dari : www.cancer.org (diakses pada 27 Agustus 2018).

Asharianti A. 2007. Sindrom Dismielopoetik. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B,


Alwi I, Simadibrata MI (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1. Edisi 4.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Hal: 710-2.

Attilio O and Magdalena B. 2009. MyelodiaplasiaSyndromes. Am J Clin Patho


132:290-305 Barbara B. 2004. The WHO Classification of the Myelodiaplasia
Syndromes. Experimental

Oncology (26) : 166-9.
 Barzi A and Sekkeres MA. 2010.


Myelodiaplasiasyndromes: A practical approach to diagnosis

and treatment. Cleveland Clinical Journal of Medicines 77 (1):37-44.
 Brain BJ.


rd
2003. Leukaemia Diagnosis. 3 edition. Oxford: Blackwell Publishing. P: 117.
Bravo, Guillermo Montalban. 2018. Myelodysplastic Syndromes: 2018 Update on
Diagnosis,

Risk – Statification and Management. Wiley Am J Hematology 2018 (93) : 129 -


147 Brunning RD, Bennet JM, Flandrin G, et al. 2001. Myelodiaplasiasyndromes.
IARC Press : 63-

Epling-Burnette PK and List AF. 2009. Advancements in the molecular pathogen-


esis of

myelodiaplasiasyndrome. Curr Opin Hematol (16):70-76.
 Greenberg, Peter.L, et

20
al. 2012. Revised International Prognostic Scoring System (IPSS-R) for

Myelodysplastic Syndromes. Blood Jurnal Hematology
 Hoffbrand AV. 2001.


Sindrom Myelodisplasia. Dalam : Moss P and Pettit JE (eds). At a

Glance Hematologi. Edisi 2. Jakarta: Erlangga. Hal: 79-81.
 Hoffbrand AV. 2005.
Myelodisplasia Sindrom. Dalam : Pettit JE and Moss P (eds). Kapita

Selekta Hematologi. Edisi 4. Jakarta: EGC. Hal: 139-41.
 Itzykson R, Ades L and
Fenaux P. 2011. Biology and Prognostic Factors of Myelodysplastic

Syndrome. American Society of Clinical Oncology :251-5.

List AF and Doll DC. 2009. The MyelodiaplasiaSyndromes. In : Lee GR, Foerster
J, Lukens J, Parakevas F, Greer JP, Rodgers GM (eds). Wintrobe’s Clinical
Hematology, tenth ed. Vol 2. Philadelphia : Lippincott Williams and Wilkins. Pp :
2320 – 33.

Peter L, Eyal A, John M et al. 2011. MyelodiaplasiaSyndromes : Clinical Practice


Guidelines in Oncology. Journal of the National Comprehensive Cancer Network
(9) 1 : 30-56.

Rami SK and Alan F. 2011. Management of MyelodiaplasiaSyndromes: Starting a


New Decade. American Society of Clinical Oncology : 262-8.

Rami SK and John MB. 2009. What Is “WHO” : MyelodiaplasiaSyndrome


Classification and Prognosis. American Society of Clinical Oncology:413-9.

Steensma DP. 2007. The spectrum of molecular aberrations in


myelodiaplasiasyndromes : in the shadow of acute myeloid leukemia.
Haematologica (92):723-727.

Steensma DP and Tefferi A. 2003. The myelodiaplasiasyndrome(s) : a perspective


and review highlighting current controversies. Leuk Res (27):95–120.

Uwe P, Michelle M and Gerhard E. 2007. The pathogenesis of


myelodiaplasiasyndromes (MDS). Cancer Treatment Reviews (33) : S53– S58.

21

Anda mungkin juga menyukai