Referat Interna Word Fauzi
Referat Interna Word Fauzi
Myelodysplastic Syndrome
Disusun oleh:
142011101101
Dokter Pembimbing:
Halaman
HALAMAN SAMPUL .................................................................................. i
DAFTAR ISI .................................................................................................. ii
BAB 1. PENDAHULUAN ............................................................................. 1
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 4
2.1 Myelodisplastic Syndrome ......................................................... 4
2.1.1 Definisi .................................................................................... 4
2.1.2 Etiologi .................................................................................... 4
2.1.3 Prevalensi ................................................................................. 5
2.1.4 Klasifikasi ................................................................................ 5
2.1.5 Patogenesis .............................................................................. 6
2.1.6 Gejala Klinis ............................................................................ 7
2.1.7 Klasifikasi ................................................................................ 12
2.1.8 Tatalaksana .............................................................................. 15
2.1.9 Prognosis ................................................................................. 17
BAB 3. KESIMPULAN ................................................................................ 18
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 19
1
BAB 1. PENDAHULUAN
2
penggunaan agen hypomethylating (Rami, 2009). Meskipun tersedia beberapa
alternatif pengobatan yang dapat dilakukan, sebagian besar pasien meninggal
karena komplikasi dari penyakit atau bertransformasi menjadi leukemia myeloid
akut (AML).
Laporan kasus ini penting untuk dilaporkan dikarenakan 1 dari 6 pasien dengan
anemia yang tidak diketahui penyebabnya merupakan penderita MDS, hal ini
tentu membuat MDS menjadi diagnosa banding paling dipertimbangkan pada
kasus – kasus anemia tersebut (Foran et al, 2012).
3
BAB. 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2 Etiologi
Etiologi MDS tidak diketahui secara pasti, namun dapat terjadi karena
bertambahnya usia, perubahan genetik yang diwariskan atau disebabkan oleh
paparan zat berbahaya. Faktor risiko meliputi pemaparan terhadap pelarut
benzena atau bahan lainnya, halogenated hydrocarbon, tembakau dan asap
rokok serta penurunan sistem imun. Kemoterapi dan radiasi yang berhubungan
dengan terapi juga dapat terkait dengan MDS (Steensma, 2007).
4
kanker atau kondisi lain dengan kemoterapi, akan meningkatkan risiko
untuk terjadinya MDS sekunder atau terkait pengobatan. Ini mewakili
kurang dari 10 persen dari semua kasus MDS. Sekunder MDS dikaitkan
dengan mutasi yang berbeda yang terjadi pada MDS spontan dan memiliki
prognosis yang lebih buruk. Waktu antara paparan obat dan terjadinya
MDS dapat 2-3 tahun hingga lebih dari 10 tahun.
6. Kelainan Bawaan
Beberapa kelainan bawaan seperti sindrom Bloom, Down Syndrome,
anemia Fanconi dan neurofibromatosis memiliki risiko lebih untuk
terjadinya mutasi yang menyebabkan kanker atau MDS (Leukaemia
Fondation, 2009.
2.1.3 Prevalensi
Perkiraan terbaru dari American Cancer Society (2009), MDS di Amerika
Serikat berkisar 12.000 kasus baru setiap tahun. Jumlah kasus baru
nampaknya akan meningkat karena peningkatan usia rata-rata populasi.
Sekitar 80% sampai 90% dari semua pasien dengan MDS umumnya lebih dari
60 tahun.
Sedangkan insidens MDS dalam data yang baru-baru ini diterbitkan oleh
Surveillance, Epidemiology, and End Results (SEER) meningkat dari kurang
dari 5 per 100.000 pasien di bawah usia 60 menjadi 36,2 per 100.000 pada
pasien lebih dari 80 tahun. Dengan rata-rata usia diagnosis 76 tahun. Secara
umum, pria dan kulit putih memiliki insiden yang lebih tinggi dari penyakit ini
(Rami, 2009).
5
2.1.4 Patogenesis
Penyebab MDS masih belum dikehui dengan pasti, dan sulit dipisahkan
dari penyebab leukemia dan penyakit mieloproliferatif lainnya. Diajukan
sebuah hipotesis bahwa pengaruh faktor lingkungan, kelainan genetik dan
interaksi sel menimbulkan mutasi pada tingkat selinduk sehingga
menimbulkan ketidakseimbangan proses proliferasi dan diferensiasi. Variasi
perubahan prose situ akan menyebabkan transformasi kea rah leukemia akut,
MDS atau penyakit myeloproliferatif (MPD) (Uwe, 2007).
Pada MDS terjasi ketidakserasian antara proliferasi dengan diferensiasi,
dimana daya proliferadi masih cukup tetapi terjadi gangguan diferensiasi atau
maturasi sehingga terjasi hemopoesis inefektif, dengan kematian premature sel
(eritroid, myeloid, megakariosit) dalam sumsum tulang sebelum sempat
dilepaskan ke darah tepi. Hal ini berakibat terjadinya sumsum tulang
hiperseluler, tetapi terjadi sitopenia pada darah tepi (Uwe, 2007).
6
2.1.5 Gejala Klinis
Gejala MDS sering tidak jelas dan spesifik, dan diagnosis sering dibuat
selama pemeriksaan untuk anemia, trombositopenia, atau neutropenia pada
pemeriksaan darah rutin. Jika tampak tanda-tanda dan gejala, biasanya tergantung
pada jenis sel yang terpengaruh.
Ketika eritrosit terpengaruh (situasi yang paling umum), pasien datang dengan
tanda-tanda anemia, termasuk pucat, konjungtiva anemis, takikardi, hipotensi,
kelelahan, sakit kepala, dan intoleransi latihan, atau dengan tanda dan gejala
memburuknya kondisi atau penyakit yang mendasari seperti angina pectoris, gagal
jantung, atau emfisema.
Ketika trombosit yang terpengaruh, kurang dari 20% dari pasien datang
dengan gejala trombositopenia terisolasi sebagai perdarahan kecil (misalnya,
perdarahan mukosa, petechie, mudah memar, epistaksis) atau perdarahan besar
(misalnya, perdarahan gastrointestinal, perdarahan intrakranial).
Ketika neutrofil yang terpengaruh, terjadi neutropenia terisolasi misalnya
infeksi bakteri yang sering terjadi pada sistem organ yang berbeda. Infeksi
merupakan keluhan utama dari 10% kasus dan penyebab kematian dari 21% kasus.
Splenomegali dan limfadenopati jarang terjadi pada MDS. Jika terdeteksi,
maka harus curiga terhadap adanya neoplasma myeloproliferatif atau
limfoproliferatif (Barzi, 2010).
2.1.6 Diagnosis
Untuk mendiagnosis terdapat beberapa langkah, langkah diagnosis MDS adalah
sebagai berikut :
1.Diagnosis MDS sangat dicurigai apabila dijumpai gejala klinik yang sesuai,
terutama pada orang tua, yang disertai sitopenia (anemia, leukopenia,
trombositopenia) persisten atau monositosis yang tidak dapat diterangkan.
7
2. Kemudian dilakukan pemeriksaan teliti terhadap apusan darah tepi dan sumsum
tulang untuk mencari tanda-tanda displastik. Abnormalitas morfologi pada
3. Jika dijumpai tanda displastik pada satu alau lebih jenis sel, penyebab
displasia di luar MDS harus disingkirkan (dengan anamnesis, pemeriksaan
8
klinik, laboratorium atau pemeriksaan lain). Penyebab dysplasia diluar
MDS antara lain: defisiensi vitamin B12, defisiensi folat, infeksi virus
seperti HIV, pemakaian antibiotika tertentu, agen kemoterapi, etanol,
benzene, atau timah hitam. Apabila penyebab-penyebab ini telah dapat
WHO.
9
10
Bagan 3. Algoritma Diagnosis MDS menurut kriteria WHO (Barbara, 2004).
11
2.1.7 KLASIFIKASI
FAB membuat klasifikasi khusus untuk MDS yang diterima secara luas
sampai saat ini. FAB membagi MDS menjadi 5 kategori berdasarkan jumlah blast
dalam darah tepid an sumsum tulang, jumlah monosit dalam darah tepi, serta
jumlah ringed sideroblast dalam sumsum tulang.
satu turunan sel (cell lineage), pada umumnya pada seri eritroid. Sumsum
tulang hiperseluler atau normoseluler dengan perubahan displastik terutama
pada sistem eritroid, system granulosit dan megakariosit mengalami
perubahan displastik dalam derajad yang lebih ringan. Blast dalam darah
sitopenia dari dua atau lebih turunan sel pada darah tepi. Perubahan
displastik pada ketiga lineage dalam sumsum tulang lebih nyata. Blast
darah tepi < 5%, dan dalam sumsum tulang antara 5-20 %.
hematologi sama dengan RAEB, tetapi blast darah tepi > 5% atau blast
dalam sumsum tulang 21-30% atau adanya auer rod pada sel blast.
12
9
monositosis pada darah tepi (monosit > 1.10 per liter). Dalam darah tepi
< 5%, sedangkan dalam sumsum tulang sampai dengan 20% (Brunning et
al, 2001).
Tabel 2. Kelainan Darah Tepi dan Sumsum Tulang pada MDS Menurut
Klasifikasi FAB (Brain, 2003).
Pada tahun 2016 WHO membuat klasifikasi yang lebih detail yang
memunyai hubungan yang lebih baik dengan prognosis. Penggolongan yang
diusulkan WHO untuk MDS adalah :
13
3. MDS with ring sideroblasts (MDS-RS)
Tabel 3. Kelainan Darah Tepi dan Sumsum Tulang pada MDS Menurut
Klasifikasi WHO 2016 (American Cancer Society, 2018)
<5% blas
14
marrow
Beberapa regimen terapi telah digunakan pada pasien MDS, tetapi sebagian
besar tidak efektif di dalam merubah perjalanan penyakitnya. Karena itu
pengobatan pasien MDS tergantung dari usia, berat ringannya penyakit dan
progresivitas penyakitnya. Berbagai macam regimen terapi telah dan sedang
dicobakan pada penderita MDS namun sampai saat ini transplantasi sumsum
tulang masil merupakan satu-satunya terapi yang memberikan kepastian hingga
terapi simtomatik masih memegang peranan yang penting bagi pasien MDS.
Kemoterapi
15
terapi sitostatika dosis rendah. Penggunaan kemoterapi pada MDS biasanya
diberikan pada tipe RAEB, RAEB-t dan CMML. Sejak tahun 1968 pengobatan
ARA-C dosis rendah yang diberikan pada pasien SDM dapat memberikan
response rate antara 50 – 75 % dan respons ini tetap bertahan 2 – 14 bulan setelah
2
pengobatan. Dosis ARA-C yang direkomendasikan adalah 20 mg/m /hari secara
2
drip atau 10 mg/m /hari secara subkutan setiap 12 jam selama 21 hari.
Komplikasi akibat terapi ditemukan sangat tinggi 13-30% pada beberapa studi
yang berbeda, bahkan pada studi lainnya survival didapatkan lebih pendek
Lain-lain
Strategi Terapi
16
Hoffbrand (2005) mengkategorikan MDS menjadi dua kelompok, terdiri
atas :
1. Low Risk MDS, yaitu penderita dengan blast <5% dalam sumsum tulang. Low
Risk MDS dapat dikelola secata konservatif, dengan transfusi sel darah merah
atau trombosit dan pemberian antibiotika bila terjadi infeksi. Dapat juga
diberikan eritropoetin atau growth factor seperti G-CSF untuk mengatasi
leukopenia. Pemberian obat imunosupresif, seperti siklosporin dan ATG dapat
dipertimbangkan
2. High Risk MDS, yaitu penderita dengan blast sumsum tulang 5% atau lebih.
2.1.9 Prognosis
18
BAB III KESIMPULAN
19
.
DAFTAR PUSTAKA
20
al. 2012. Revised International Prognostic Scoring System (IPSS-R) for
Glance Hematologi. Edisi 2. Jakarta: Erlangga. Hal: 79-81.
Hoffbrand AV. 2005.
Myelodisplasia Sindrom. Dalam : Pettit JE and Moss P (eds). Kapita
Selekta Hematologi. Edisi 4. Jakarta: EGC. Hal: 139-41.
Itzykson R, Ades L and
Fenaux P. 2011. Biology and Prognostic Factors of Myelodysplastic
List AF and Doll DC. 2009. The MyelodiaplasiaSyndromes. In : Lee GR, Foerster
J, Lukens J, Parakevas F, Greer JP, Rodgers GM (eds). Wintrobe’s Clinical
Hematology, tenth ed. Vol 2. Philadelphia : Lippincott Williams and Wilkins. Pp :
2320 – 33.
21