Oleh :
Dati Fatimah
Retno Agustin
(Perhimpunan Aksara – Jogjakarta)
PENDAHULUAN...............................................................................i
BAB I. PENDAHULUAN...................................................................1.
BENCANA.........................................................................................30
3
PAHLAWAN DALAM KESENYAPAN :
CATATAN PENGANTAR
Adalah perasaan yang campur aduk ketika harus menuliskan kehidupan para
perempuan pasca gempa, sebagaimana juga pengalaman menceritakan satu kejadian yang
mengubah kehidupan manusia. Bencana, dalam keadaan ketidaksiapan dan minimnya
perhatian terhadapnya, memang harus dibayar sangat mahal. Kehilangan nyawa anggota
keluarga, saudara, teman dan kerabat, hingga kerusakan dan kehilangan harta benda dan juga
infrastruktur komunal. Tetapi, walau pada awalnya diliputi dengan nuansa kesedihan yang
mendalam, wajah‐wajah penuh semangat untuk kembali bangkit adalah pertanda bahwa
kehidupan tidak berhenti karena bencana. Semangat, harapan dan solidaritas inilah yang
terpancar kuat dari wajah‐wajah para penyintas (survivors), yang selamat dalam kejadian
Gempa 27 Mei 2006 yang menghantam Jogja dan Jawa Tengah.
Ketika akhirnya kami menjadi salah satu pemenang Philantrophy Research Award III
Pirac‐Ford Foundation tahun 2007, kami bagaikan menuliskan sepenggal hidup dari perjalanan
keterlibatan kami didalamnya. Walaupun mungkin kami tidak menjadi bagian utama dari
cerita yang dituliskan di sini, pada bagian‐bagian tertentu, cerita ini adalah juga bagian dari
cerita hidup kami. Dan sebagaimana diungkap di muka, rasa yang campur aduk inilah yang
kemudian akan bisa Anda dapatkan dari 5 bab laporan riset yang kami tuliskan. Pada bagian
tertentu, sarat dengan nuansa kesedihan dan rasa yang menyentuh, sementara pada bagian
lain, kamipun harus larut dalam menuliskan semangat para pahlawan yang berjuang untuk
bangkit kembali.
Siapakah para pahlawan tersebut, yang juga akan Anda baca dalam laporan ini? Mereka
ini, adalah para perempuan yang karena situasi, merasa terpanggil untuk melakukan
serangkaian upaya mengkonsolidasi gerakan dan sumber daya, dan berbagi dengan sesama.
Upaya mereka ini sangatlah berarti walaupun seringkali luput dari perhatian dan peliputan.
Mereka inilah, para pahlawan dalam kesenyapan, yang menjadi nafas dan inspirasi utama
buku yang kami tulis.
Laporan ini juga tidak akan bisa kami selesaikan, tanpa dukungan, kritisi dan
bimbingan dari Dr. Rohman Ahwan yang menjadi pembimbing selama proses penelitian.
Walaupun tidak cukup intensif, tetapi masukan dan juga referensi untuk penelitian yang kami
dapatkan dari Beliau, sangatlah berarti bagi kami dalam menyelesaikan laporan ini. Selain itu,
kami juga belajar banyak dari menjalin kerja sama dengan PIRAC dalam menyelesaikan
laporan ini.
Laporan ini juga tidak akan mungkin bisa Anda baca, tanpa kontribusi berarti dari para
narasumber utama penulisan ini. Mulai dari para perempuan di dusun Kadisoro, Nangsri,
Imogiri, Piyungan, juga teman‐teman NGO di Jogja (Wawan, Leny, mas Dedy, Zaki dan Rinto,
Unang, Mbak Yuni, Widyanta, Amin, Mbak Reny, Mbak Endang), juga dari Pemerintah dan
DPRD (Bu Tutik KPP dan Agung Laksmono). Tanpa terkecuali, satu sumbangsih yang sangat
berarti juga kami dapatkan dari Endah dan Titin yang telah menjadi asisten untuk kerja
penelitian ini. Kesediaan mereka bekerja dalam limitasi waktu dan fasilitas, menjadikan kami
mampu melampaui kendala‐kendala teknis dalam pelaksanaan penelitian. And last but not least,
4
untuk teman‐teman Aksara dimana kami bermain dan bekerja, dan juga buat Lien dan Rayya,
terima kasih sekali untuk pertemanan, dan juga dukungan yang membahagiakan.
Salam dan selamat membaca......
Jogjakarta, Juni 2008
Dati Fatimah (datifatimah@gmail.com)
Retno Agustin (retnoagustin@gmail.com).
5
SINOPSIS
Dapur umum, yang segera berdiri dalam hitungan waktu yang pendek setelah terjadi
krisis dan bencana adalah potret yang nyata dalam kehidupan sekitar kita, seiring
meningkatnya kejadian bencana dan krisis. Begitu juga dengan kondisi pasca gempa yang
melanda Jogja dan Jateng, 27 Mei 2006. Segera setelah gempa terjadi, perempuan dengan sigap
dan spontan, mendirikan dapur umum secara darurat. Waktu itu, bersama dengan kelompok
masyarakat yang lain seperti kaum lelaki yang melakukan peran evakuasi korban, peran
perempuan ini sangatlah penting dalam penyelamatan kehidupan dalam situasi krisis.
Sayangnya, walaupun perannya sangat signifikan, namun ini tidak secara otomatis
diikuti dengan penghargaan yang memadai. Adalah menarik untuk mengkaji bahwa sebagian
responden penelitian ini menganggap tidak ada yang istimewa dengan kerelawanan
perempuan seperti nampak dalam kasus dapur umum ini. Hal ini disebabkan peran memasak
dianggap sudah seharusnya dilakukan oleh perempuan. Begitu juga peran‐peran kerelawanan
perempuan yang lain seperti perawatan orang sakit, pengelolaan fasilitas kesehatan masyarakat
bersama bernama posyandu, dan banyak aktivitas lain yang dilakukan perempuan secara
sukarela.
Buku yang Anda baca ini adalah laporan penelitian tentang bagaimana kerelawanan
perempuan dalam situasi bencana tumbuh, terkelola dan direspon oleh pihak yang terkait.
Sebagai sebuah studi kasus yang mengambil setting di kabupaten Bantul, buku ini ingin
menjawab pertanyaan kunci tentang apa sajakah model‐model kerelawanan perempuan yang
muncul, dan bagaimana ini terhubung dengan kerelawanan dan pihak yang lebih luas.
Apakah perempuan menjadi korban ataukah menjadi pahlawan dalam situasi bencana,
diperhitungkan. Dan sayangnya, ini tak selalu didapatkan para perempuan ketika bencana
terjadi di Bantul, sebagaimana nampak dalam kajian yang Anda baca ini.
6
BAB I
PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG MASALAH
Pagi hari di Sabtu 27 Mei 2006, sebuah gempa dangkal berkekuatan 5.9 Skala Richter
mengguncang Jogjakarta dan Jawa Tengah. Jam masih menunjukkan pukul 6 pagi kurang
sedikit, ketika bumi bergoyang dengan sangat kencang. Gempa saat itu, sangatlah mengejutkan
bagi masyarakat yang sebelumnya menganggap daerah tempat tinggalnya adalah kawasan
aman dari bahaya gempa bumi. Gempa yang terjadi di tengah perhatian publik yang justru
berpusat pada ancaman bencana letusan gunung Merapi yang berada di sebelah utara
Jogjakarta ini, membawa banyak kerusakan dan juga kerugian. Data yang dikumpulkan
Bappenas menunjuk angka korban jiwa sebanyak 5.760 orang meninggal dunia, 388.758 rumah
rusak termasuk sebanyak 187.474 rumah yang roboh (Rencana Aksi Nasional, Buku I).
Tabel 1.1. Perbandingan beberapa bencana internasional
Sumber: Asia Disaster Preparednes Centre, Thailand: ECLAC, EM-DAT, World Bank, Juni 2006
7
Tabel di atas menunjukkan, meskipun jumlah korban jiwa sangat jauh dibawah jumlah
terlampau jauh berbeda. Hal ini dikarenakan tingkat kepadatan penduduk di Jogjakarta dan
Jawa Tengah yang mengakibatkan tingginya angka kerusakan pada bangunan baik rumah,
maupun infrastruktur publik dan dunia usaha.
Dalam data yang lebih rinci, menunjukkan DIY mengalami kerusakan sebagai berikut:
Tabel 3.2.
Data Rumah Rusak di DIY karena Gempa 1
1 Sleman 21.056
2 Kulonprogo 3.401
3 Jogjakarta 6.538
4 Gunungkidul 9.235
5 Bantul 119.879
Selain mengakibatkan ratusan ribu rumah rusak dan roboh, gempa juga mengakibatkan
rusaknya sarana dan prasarana umum. Rusaknya puluhan pasar, ratusan sekolah, tempat
ibadah, bangunan perkantoran dan sarana usaha membuat skala kerugian memang sangat
tinggi. Untuk bangunan pendidikan, jumlah bangunan sekolah di DIY dan Jateng mencapai
2.630 unit dengan perkiraan jumlah kerusakan dan kerugian mencapai Rp 1.74 Triliun.
Sementara pada sektor kesehatan, jumlah kerusakan diperkirakan mencapai Rp 1.5 Triliun, dan
1
Pemprop DIY (2007), “Lesson Learnt dalam Rehabilitasi dan Rekonstruksi Rumah Pasca Gempa Bumi”,
disampaikan dalam workshop sehari Lesson Learned Bencana Jogja-Jateng : Masukan Bagi Penyusunan RPP dan
Perpres UU 24/2007 tentang Penanganan Bencana, data per 7 Mei 2007
8
kerugian mencakup Rp 21 Miliar di kedua propinsi. Gempa ini mengakibatkan kehancuran 17
rumah sakit swasta dan rusaknya 41 klinik swasta di kota Jogjakarta. Untuk Puskesmas, dari
total 117 Puskesmas di propinsi DIY, 45 hancur, 22 rusak parah dan 16 rusak ringan. Sementara
di Jawa Tengah, 2 puskesmas di Klaten hancur, 7 rusak berat dan 7 lainnya mengalami rusak
ringan. Dampak gempa bumi pada sektor produktif juga sangat besar, apalagi karena
kontribusi terbesarnya adalah dari kehancuran usaha kecil dan menengah yang menjadi tulang
punggung perekonomian masyarakat di daerah terkena bencana. Juga ditambah dengan
kerusakan struktur irigasi, dan juga kerusakan pada sistem pertanian. Perkiraan jumlah
kerusakan dan kerugian dalam sektor ini mencapai Rp 9.025 Triliun. 2
Selain menghancurkan dan meluluhlantakkan sarana dan prasarana yang ada, gempa
bumi ini juga mengakibatkan dampak psikologis bagi masyarakat. Secara umum, masyarakat
Jogjakarta dikatakan berada dalam situasi beban sosial ekonomi yang berat. 3 Besarnya dampak
gempa ini juga berpengaruh bagi kesehatan mental bagi banyak anggota masyarakat. Kondisi
ini nampak dari penuturan Bu Ponirah, salah satu penyintas dari Gedongan, Kasihan berikut
ini :
....”Kalau mengingat saat itu, rasanya ngeri, ngeri sekali... Juga stress. Bagaimana tidak stress,
wong rumahnya hancur semua. Berteduhnya di bawah pohon, dan kehujanan selama 3 hari dan
barang‐barang hancur semua....”
Gempa sebagai sebuah pengalaman sejarah yang membawa luka bersama bagi
masyarakat, menjadi magnet bagi sejumlah donor, organisasi nasional‐lokal maupun penyintas
untuk bergerak bersama. Gempa mengundang bantuan datang bertubi, tentu saja dengan
ragam cara dan motif.
2
Buku Utama Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Pasca Bencana Gempa Bumi di Propinsi DIY
dan Propinsi Jawa Tengah, Bappenas, Bab III, Juli, 2006
3
Policy Brief Gender Working Group (GWG) untuk respon bencana Jogja-Jateng, Mainstreamingkan
Gender dalam Kebijakan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Gempa : Libatkan Perempuan dalam
Seluruh Proses Rehabilitasi-Rekonstruksi. Naskah, Tidak Diterbitkan, 2006.
9
Penanganan gempa bumi Jogja‐Jateng memberi pembelajaran betapa berharganya
kerelawanan dan solidaritas warga. Hari pertama dan kedua pasca bencana, masyarakat dari
luar daerah bencana telah mulai bergerak, mengirimkan bantuan logistik maupun relawan
untuk membantu warga korban bencana. Dibantu para relawan, tanpa dikomando warga
bekerja bahu membahu, bergotong royong membersihkan puing‐puing dan menata kembali
dusunnya masing‐masing. Di sana‐sini, posko‐posko bantuan pun didirikan dan diorganisir
secara sigap oleh berbagai paguyuban masyarakat sipil. 4
Para perempuan tak kalah sigap, dengan responsifnya mereka bergerak mendirikan
dapur umum. Mereka membagi tugas dengan cepat untuk mengumpulkan bahan pangan yang
masih bisa diselamatkan di setiap rumah kemudian mengaturnya sebagai lumbung pangan
selama beberapa hari. Bencana kelaparan yang mengikuti kejadian bencana direduksi karena
massa itu digerakkan oleh spirit altruisme dan kerelawanan (voluntarism) yang sangat tinggi di
antara warga sendiri. Tiga bulan fase tanggap bencana, kerja‐kerja karitatif sungguh mewarnai
interaksi antara penyintas dengan penyintas1, penyintas dengan relawan luar komunitas
maupun penyintas dengan jejaring masyarakat sipil lainnya. Memasuki fase rehabilitasi dan
lain. Bantuan karitatif sebagai bagian dari filantropi sangat baik untuk kerja‐kerja tanggap
bencana. Namun untuk kerja jangka panjang justru tidak mendidik masyarakat, bahkan
pada fase rehabilitasi dan rekonstruksi, kerja karitatif berusaha untuk diintegrasikan dengan
kerja pemberdayaan komunitas warga korban.
4
Widyanta, AB. Modal Sosial: Partisipasi Warga Yang Selalu Dinisbikan Dalam Governance
Kebencanaan (Belajar Dari Penanganan Gempa Bumi Yogya Dan Jateng), dalam Jurnal RENAI
Governance Bencana tahun ke 7 no 1. 2007.
5
Agustin, Retno. Gender yang Direkonstruksi dalam Bencana Alam(i)? Pengabaian vis a vis
Kebangkitan Perempuan Penyintas dalam Penanganan Gempa dalam Widyanta, AB (ed) Kisrah-Kisruh
di Tanah Gempa. Jogjakarta : CPRC-FS. Mei 2007.
10
Model‐model partisipasi yang sangat spontan, mandiri dan digerakkan oleh spirit
altruitik dan norma informal merupakan ciri modal sosial yang berbasiskan warga.
Sebagaimana ditandaskan oleh Fukuyama, modal sosial yang mewujud dalam jaringan warga
merupakan jalan pintas yang mengatasi masalah koordinasi dalam organisasi yang sangat
terdesentralisasi 6 . Dalam penanganan gempa bumi jogja‐jateng, modal sosial berbasis warga
inilah yang menjadi jaring pengaman bagi korban dan survivor untuk melampaui krisis paska
bencana. 7
Akan tetapi, dalam temuan kami, dalam setiap tahapan bencana kerja perempuan baik
pada sector domestic maupun publik sering tidak diperhitungkan. Padahal, bila melihat situasi
pada detik‐detik awal tanggap bencana, perempuan lah yang dengan sangat cekatan dan sigap
merupakan kerja domestic‐ namun merupakan refleksi sikap assertif dan sukarela yang
dilakukan oleh perempuan ketika menghadapi bencana. Kesedihan dan kepiluan karena
bencana memang dirasakan, tetapi hidup harus terus berjalan : orang perlu makan, perlu
menyambung hidup dan tenaga, dan karenanya, dapur umum adalah jawabannya. Di sini,
perempuan dalam proses rehabilitasi‐rekonstruksi merupakan hal yang tak lazim dalam
masyarakat yang kental nuansa patriarkisnya. Pandangan mata aneh maupun cibiran
merupakan reaksi yang kerap diterima para perempuan. Tantangan balik dari laki‐laki acap
menghadang perempuan yang secara sukarela (volunterisme) hendak terlibat dalam proses
perempuan dalam meyakinkan masyarakat bahwa mereka adalah latent leader yang
berkemampuan untuk mengawal proses pemulihan bencana dengan lebih berkeadilan.
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengangkat sebuah potret realitas yang penting
namun sering terabaikan dalam penanganan kebencanaan, yaitu perempuan penyintas. Realitas
6
Fukuyama, Francis. Guncangan Besar, Kodrat Manusia dan Tata Sosial Baru; Jakarta: Gramedia, 2005,
hlm. 243
7
Widyanta,AB. Op.Cit
11
yang ingin dikuak dalam penelitian ini adalah perempuan tak semata sebagai korban quote en
quote yang tak berdaya, namun juga entitas yang aktif dan berdaya dalam penanganan bencana.
perempuan yang cukup tinggi dalam berpartisipasi dalam penanganan kebencanaan, meskipun
partisipasi mereka juga kerap ditelikung maupun dinisbikan. Dengan kata lain, kontribusi
pembelajaran bagi penanganan kebencanaan di tempat‐tempat lain.
II. PERMASALAHAN PENELITIAN :
pertanyaan‐pertanyaan kunci, antara lain :
dalam penanganan bencana?
perempuan baik di ruang domestik atau publik? Apa sajakah hambatan yang dihadapi
dan strategi yang diambil perempuan untuk merebut ruang partisipasi?
pemerintah) pasca bencana? Bagaimana kelompok‐kelompok lain tersebut memainkan
peran linking social capital sehingga kerelawanan perempuan lokal dapat terhubung
dengan ruang public yang lebih luas.
III. TUJUAN PENELITIAN :
12
Penelitian ini ditujukan untuk:
1. Menemukan bentuk‐bentuk kerelawanan perempuan dan siasat partisipasi perempuan
dalam penanganan bencana
2. Menunjukkan model filantropi perempuan dalam penanganan kebencanaan.
mobilisasi modal sosial untuk penanganan bencana.
4. merumuskan rekomendasi bagi proses penanganan bencana yang berperspektif gender.
IV. KERANGKA TEORI :
a. Bencana
.......”Pada dasarnya, tidak ada yang disebut sebagai bencana alam; yang ada adalah bahaya‐
bahaya alam, seperti misalnya siklon dan gempa bumi. Perbedaan antara sebuah bahaya dan
sebuah bencana merupakan suatu hal yang penting. Sebuah bencana terjadi jika sebuah
komunitas terkena dampak sebuah bahaya (biasanya diartikan sebagai sebuah peristiwa yang
melampaui kapasitas komunitas tersebut untuk menghadapinya). Dengan kata lain, dampak
sebuah bencana ditentukan oleh sejauh mana kerentanan sebuah komunitas terhadap bahaya.
Kerentanan seperti ini tidak bersifat alami. Ia merupakan dimensi manusiawi dalam bencana,
hasil dari keseluruhan faktor‐faktor ekonomi, sosial, budaya, institusi, politik dan bahkan
psikologi yang membentuk hidup manusia dan menciptakan lingkungan di mana mereka
tinggal... 8 ”
Bencana bukan hanya menghancurkan tatanan fisik, namun juga tatanan sosial,
ekonomi dalam masyarakat. Bencana menjadi triger yang memicu peningkatan kerentanan
yang sudah terdapat dalam masyarakat sebelum bencana terjadi. Kerentanan tersebut bukan
hanya reprentasi dari rendahnya kapasitas masyarakat dalam menghadapi tantangan sosial dan
alam, namun juga representasi salah urus oleh negara atas masyarakatnya. 9
8
Twigg, J (2001), sebagaimana dikutip dalam Living with Risk, UNISDR, 2004, chapter 1,
9
Fatimah, Dati. Yang Sering terabaikan: Gender dan Anggaran dalam Bencana dalam Widyanta, AB
(ed) Kisrah-Kisruh di Tanah Gempa. Jogjakarta : CPRC-FS. Mei 2007.
13
Dalam situasi bencana tercipta kondisi chaotic dan kepanikan. Masyarakat harus
beradaptasi dengan ritme alam dan sosial yang berubah. Fokus pada penyelamatan diri dan
keluarga mengakibatkan masyarakat sulit terorganisir. Di sisi lain, negara juga harus
beradaptasi dengan ritme birokrasi darurat bencana. Proses untuk beradaptasi dengan kondisi
bencana ini yang mengakibatkan kegagapan bagi masyarakat maupun negara. Meski
bagaimanapun juga, negaralah yang harus bertanggung jawab atas masyarakatnya.
pandang ekonomi politik. Menurut hoffman: (1) bencana dapat dihindari dan kejadian alam
tidak harus berubah menjadi bencana kalau dampaknya bisa diatasi dengan baik; (2) manusia
tidak dilihat sebagai korban yang tidak tertolong tetapi sebagai aktor yang mampu dengan
menghindarinya. Disini sumber yang dimiliki penduduk berperan penting dalam pemulihan;
(3) isu keadilan menjadi penting. Kelompok kaya jarang menderita separah yang dialami oleh
kelompok miskin dalam setiap bencana, walaupun bencana tetaplah merupakan penderitaan
umum dengan tingkat keparahannya masing‐masing. 10
Salah satu aspek penting dalam kajian tentang bencana adalah kajian tentang
kerentanan. Perspektif kerentanan memandang bahwa situasi yang ditimbulkan dari bencana
tidak hanya berasal dari bencana itu sendiri, seperti gempa, badai dan angina topan, tetapi
sebagai kombinasi dari 3 faktor, yaitu: 11
10
Hoffman, 1999;2002, dalam Irwan Abdullah, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Anthropologi
Universitas Gadjah Mada “Dialektika Nature, Kultur Dan Struktur : Analisis Konteks, Proses dan Ranah
Dalam Konstruksi Bencana”, Halaman 13.
11
Lihat analisis yang melihat kontribusi ketiga actor ini dalam Tierney, K (2007), “Recent Sociological
Contributions to Vulnerability Science”, Department of Sociology and Institute of Behavioral Science,
Natural Hazards Center, University of Colorado. Dalam paper yang sama, Tierney mengutip beberapa
riset yang mengkaji banyak aspek dan contoh dari kerentanan dalam berbagai kondisi, misalnya
perbedaan kerentanan berbasis ras, yaitu antara yang berkulit putih dan hitam sebagaimana diajukan oleh
Robert Bullard.
14
1. Bencana itu sendiri, seperti topan, badai, gempa dan tsunami.
2. Kondisi fisik dan karakter dari lingkungan yang terbentuk. Sebagai contoh, banyak
struktur bangunan dan infrastruktur yang tidak tanggap terhadap dampak fisik dari
bencana.
faktor seperti ketersediaan sumber daya (seperti pendapatan dan kesejahteraan), ras,
etnis, gender, umur, pengetahuan tentang cara‐cara penyelamatan dalam bencana, dan
factor yang terkait dengan modal social dan budaya. Sebagai gambaran, keterlibatan
dalam aktivitas dan ruang sosial akan membantu menyediakan informasi dan bantuan
berinteraksi secara baik dengan institusi sosial yang ada. Di sisi yang lain, kerentanan
populasi juga bisa meningkat karena langkah‐langkah yang diambil oleh pemerintah
dan institusi lain yang gagal dalam melindungi populasi. Dari perspektif kerentanan
misalnya, bencana badai Katrina menjadi semakin parah karena kegagalan dari system
proteksi sosial dan system manajemen darurat yang tidak memadai dalam melindungi
dan menjaga survivor.
b. Gender dan Bencana
Deklarasi Beijing dan Rencana Aksinya dengan jelas mengakui bahwa degradasi
dampak langsung yang lebih bagi perempuan. Sessi khusus ke‐23 dari General Assembly pada
tahun 2000 juga mengidentifikasi bencana alam sebagai tantangan terkini yang bisa
mempengaruhi implemnetasi menyeluruh dari rencana aksi Beijing ++ ini. Karenanya,
implementasi pencegahan bencana, mitigasi dan strategi recovery.
15
Salah satunya variabel penting yang harus diperhitungkan adalah bahwa bencana yang
sama bisa membawa dampak yang berbeda bagi kelompok gender yang berbeda. Sama‐sama
terjadi bencana banjir atau gempa misalnya, dampak yang ditimbulkan bagi laki‐laki dan
perempuan tidaklah identik, yang salah satunya disebabkan oleh perbedaan kerentanan
terhadap bencana karena relasi gender yang ada. Laporan UN/IASC juga menuliskan bahwa
struktur relasi gender adalah bagian dari konteks budaya dan sosial yang mempengaruhi
kapasitas komunitas untuk mengantisipasi, menyiapkan diri, mempertahankan diri dan juga
melakukan pemulihan karena bencana.
Elaine Enarson dalam papernya yang berjudul “Gender Equality, Work, and Disaster
Reduction: Making the Connection”, menjelaskan bahwa risiko terhadap bencana terdistribusikan
secara berbeda di dalam masyarakat. Menurutnya, sebagai sebuah konsep yang kompleks,
kerentanan dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satunya adalah perbedaan akses dan kontrol
terhadap sumber daya yang yang dibutuhkan baik untuk bertahan hidup maupun menjalani
masa recovery setelah bencana. Namun, ia menggarisbawahi bahwa perempuan dan anak
perempuan adalah merupakan bagian dari kelompok masyarakat yang berada pada daftar
kelompok dengan risiko tinggi terhadap bencana (Enarson, 2000). Menurut Blaikie (2003:300),
perempuan orang tua dan anak‐anak, atau kelompok yang berstatus sosial rendah, minoritas
kelompok dengan akses yang terbatas, kelompok yang tidak memiliki capital sosial, mengalami
nasib yang paling buruk 12
Masih dalam paper yang sama, Enarson memaparkan bagaimana perempuan bekerja
secara tidak dibayar dan seringkali secara sosial tidak diperhitungkan. Kesukarelawanan
12
Blaikie, 2003:300, ibid. dalam Irwan Abdullah, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Anthropologi
Universitas Gadjah Mada “Dialektika Nature, Kultur Dan Struktur : Analisis Konteks, Proses dan Ranah
Dalam Konstruksi Bencana”, Halaman 13.
16
perempuan dalam penanganan bencana sangat multiwajah, sebagaimana tergambar dalam
pengalaman penanganan bencana di Nicaragua berikut ini: 13
After the storm subsided, international aid began entering the area near her village. She saw that
the village leader, a man who lost his farm, was more concerned about his own than other village
members. . .So she traveled to the mayor’s office, where she had never been before. She visited the
Peace Corps volunteer in town, whom she did not know. Through her dedication, persistence, and
patience, she had seven houses built and legally put in the wife/mother’s name. She insisted that
latrines be built for all families. She rallied 10,000 trees to be planted on the deforested hills that
surrounded her village. She learned about water diversion tactics, and found an engineer to teach
her village to build gavion‐walled channels.
Masih dalam tulisan yang sama, Enarson menceritakan bahwa perempuan lebih
Perempuan bukan hanya merawat kesehatan anggota keluarganya, namun juga secara lebih
luas memperhatikan kesehatan masyarakat secara lebih luas. Dicontohkan Enarson, perempuan
turut membersihkan sampah yang dibawa banjir di wilayah tetangga mereka. Kerja
kemanusiaan. Berbeda dengan imaji yang dihadirkan media mengenai perempuan sebagai
korban yang penakut dan aktor yang pasif. Dalam kerja kemanusiaan, perempuan terlibat
secara kuat untuk pencarian bantuan kemanusiaan serta distribusi barang dan pelayanan
tanggap bencana. Meski juga harus diakui bentuk partisipasi dan kerelawanan perempuan
menjadi lebih berat ketika harus berhadapan dengan norma pembagian kerja berbasis seks dan
gender. 14
Pandangan yang menempatkan perempuan sebagai entitas yang tak berdaya justru
13
Lihat Enarson, Contribution by S. Henshaw of the World Food Program to the internet conference on
Gender Equality, Environmental Management and Natural Disaster Mitigation sponsored by Division for
the Advancement of Women, November 2001.
14
Enarson dalam Women’s Voluntary Work Expands : Gender Equality, Work, And Disaster Reduction:
Making The Connections,
17
membawa implikasi terhadap penisbian potensi dan peranan perempuan dalam penanganan
kebencanaan.
Mengambil pendekatan Hoffman di atas, seharusnya perempuan juga dipandang dan
diperlakukan sebaga aktor yang berdaya. Kerja sukarela yang dilakukan perempuan
merupakan bukti keberdayaan perempuan. Kerja‐kerja kerelawanan mereka ini menjadi kian
penting dalam proses rekonstruksi yang panjang. Ketika itu, kepentingan ekonomi laki‐laki dan
perempuan sering bertabrakan. Belajar dari pengalaman kerelawanan perempuan di Bantul,
melakukan kerja‐kerja tak berupah pada masa sebelum bencana, namun kerelawanan
perempuan itu selalu mempunyai makna positif bagi masayarakat baik pada masa sebelum
bencana, terlebih pada masa sesudah bencana. Bagi perempuan relawan, kerelawanannya
solidaritas komunitas dalam rangka mendukung proses rekonstruksi yang lebih berkeadilan
gender. 15
c. Perkembangan Konsep Modal Sosial
Semenjak James Coleman mengenalkan konsep modal sosial hingga sekarang belum
ada formulasi tunggal untuk menjelaskan pengertian konsep ini. 16 Menurut Francis Fukuyama
salah satu kelemahan konsep modal sosial adalah belum ada kesepakatan dalam pengertian
konsep atau teori ini. 17 Titik temu yang hampir tidak berbeda antar berbagai pengertian terletak
15
Enarson, Ibid
16
Banyak yang mengatakan bahwa Coleman mengenalkan konsep ini melalui esai yang berupa suplemen,
Social Capital in the Creation of Human Capital, dalam American Journal of Sociology, 94: Supplement,
1988. Tetapi tidak sedikit yang menyebutkan bahwa Robert Putnam dalam karya-karyanya yang terlebih
dahulu mengenalkan konsep ini.
17
Francis Fukuyama, Social Capital and Development: The Coming Agenda, SAIS Review vol. XXII no.
1, Winter Spring 2002, hal. 5 <http://www.saisreview.org>
18
pada cara memandang modal sosial sebagai kemampuan dari suatu kelompok sosial untuk
bekerja bersama dalam sesuatu yang berguna bagi kelompok tersebut. 18
Konsep modal sosial berbeda dari konsep modal manusia dan modal fisik, namun
terkadang terjadi tumpang‐tindih dalam pemahaman. Karena bentuk‐bentuk modal yang ada
membangun determinasi yang lebih tegas atas konsep modal sosial, Field, Schuller dan Baron
me‐review konsep modal sosial dengan menyebutkan modal sosial ‐secara luas‐ sebagai
jaringan‐jaringan sosial dan hubungan yang terjadi dalam jaringan‐jaringan sosial tersebut,
terutama hubungan resiprositas dalam meraih tujuan bersama. 19
Modal sosial merupakan konsep yang terdiri atas dua dimensi yang berbeda tetapi
saling bertautan antara dimensi struktural dan kognitif. Dimensi struktural lebih menekankan
pada pengorganisasian dan jaringan dari masyarakat, baik yang berbentuk formal maupun
informal. Sedangkan dimensi kognitif lebih menekankan pada aspek nilai‐nilai, sikap‐sikap,
kepercayaan yang terdapat dalam suatu masyarakat yang membimbing sikap hidup
masyarakat tersebut. Secara singkat, dapat dikategorikan bahwa dimensi struktural adalah
sesuatu yang dapat dilihat dengan konkret sedangkan yang kedua lebih abstrak.
Tipologi Modal Sosial secara sederhanal dapat dibagi menjadi tiga tipe, yaitu bonding social
capital, bridging social capital, linking social capital.
Pertama, apa yang disebut dengan Bonding Social Capital dapat kita sebut dengan
perekat sosial, yaitu, nilai budaya, persepsi dan tradisi atau adat‐istiadat (custom). Pengertian
bonding social capital adalah tipe modal sosial dengan karakteristik ikatan yang kuat (adanya
18
Thomas F Carroll Social Capital, Local Capacity Building, and Poverty Reduction , Social
Development Papers No. 3, Office of Environment and Social Development, Asian Development Bank,
May, 2001, hal. 1
19
J. Field, T. Schuller, dan S. Baron, Social Capital: Critical Perspectives. Oxford: Oxford University
Press, 2000, hal 1. seperti yang dikutip oleh David Piachaud, Capital and the Determinants of Poverty
and Social Exclusion, CASE paper 60, Centre for Analysis of Social Exclusion, London School of
Economics, Houghton Street, 2002, hal. 6 <http://sticerd.lse.ac.uk/Case>
19
perekat sosial) dalam suatu sistem kemasyarakatan. Misalnya, kebanyakan anggota keluarga
mempunyai hubungan kekerabatan dengan keluarga yang lain, yang mungkin masih berada
dalam satu etnis. Hubungan kekerabatan ini bisa menyebabkan adanya rasa empati,
kebersamaan. Bisa juga mewujudkan rasa simpati, rasa berkewajiban, rasa percaya, resiprositas,
pengakuan timbal balik nilai kebudayaan yang mereka percaya. Rule of law, aturan main,
merupakan aturan atau kesepakatan bersama dalam masyarakat, bentuk aturan ini bisa formal
melalui sanksi yang jelas seperti aturan Undang‐Undang.
Kedua, Bridging Social Capital bisa berupa Institusi maupun Mekanisme. Bridging social
capital (jembatan sosial) merupakan suatu ikatan sosial yang timbul sebagai reaksi atas berbagai
macam karakteristik kelompoknya. Tipologi ini bisa muncul karena adanya berbagai macam
kelemahan yang ada disekitarnya sehingga mereka memutuskan untuk membangun suatu
kekuatan dari kelemahan yang ada. Stephen Aldidgre menggambarkannya sebagai pelumas
sosial, yaitu pelancar dari roda‐roda penghambat jalannya modal sosial dalam sebuah
komunitas. Wilayah kerjanya lebih luas dari pada bonding social capital. Dia bisa bekerja lintas
berbasis pada kelompok tertentu.
Bridging social capital bisa juga dilihat dengan adanya keterlibatan umum sebagai warga
negara (civic engagement), asosiasi, dan jaringan. Tujuannya adalah mengembangkan potensi
yang ada dalam masyarakat agar masyarakat mampu menggali dan memaksimalkan kekuatan
yang mereka miliki baik SDM (Sumber Daya Manusia) dan SDA (Sumber Daya Alam).
Interaksi sosial merupakan modal utama untuk mewujudkan tujuannya ini. Dengan demikian
institusi sosial tetap eksis sebagai tempat artikulasi kepentingan bagi masyarakat. Interaksi
yang terjalin bisa berwujud kerjasama atau sinergi antar kelompok, yaitu upaya penyesuaian
dan koordinasi tingkah laku yang diperlukan untuk mengatasi konflik ketika tingkah laku
seseorang atau kelompok dianggap menjadi hambatan oleh orang atau kelompok lain, sehingga
akhirnya tingkah laku mereka menjadi cocok satu sama lain.
20
Ketiga, apa yang disebut dengan linking social capital, dalam tipe ini menunjukkan
hubungan yang terjadi antara kelompok‐kelompok sosial yang berbeda. Dalam konteks
penelitian ini, mungkin voluntary group tertentu menjalin kerjasama dengan pihak atau
institusi yang lebih tinggi statusnya, baik secara kekuasaan formal, dan kedudukannya dalam
suatu masyarakat, misalnya voluntary group bekerjasama dengan LSM maupun lembaga
pemerintah untuk meningkatkan kapasitas dan daya tahan dari masyarakatnya.
V. METODE PENGUMPULAN DATA
Penelitian ini dikategorikan penelitian studi kasus. Pendekatan yang digunakan adalah
dari peneliti tersebut.
Kerelawanan dan Perjuangan Perempuan Merebut Ruang Partisipasi (Studi kasus keterlibatan
perempuan dalam penanganan bencana di kabupaten Bantul, DIY, tahun 2006‐2007)
1. Pendekatan, Pengumpulan Data dan Analisis
Studi kasus dilakukan di Kabupaten Bantul untuk mendapatkan data tentang bentuk‐
penanganan bencana. Dari depth interview dan pengamatan langsung di daerah penelitian
diharapkan diperoleh data kualitatif tentang bentuk‐bentuk bentuk kerelawanan dan siasat‐
terhadap data yang terkumpul akan dijadikan pijakan analisis untuk mencari bentuk‐bentuk
partisipasi yang merupakan manifestasi kerelawanan.
21
Permasalahan dan limitasi data kami alami akibat tiadanya kebijakan pemerintah
Namun hal ini kami siasati dengan cara cross‐check dan penggunaan sumber‐sumber data yang
dipunyai oleh sejumlah lembaga lainnya.
2. Daerah Riset
Pelaksanaan penelitian akan dilakukan di Kabupaten Bantul dengan pertimbangan:
a. Kabupaten Bantul merupakan daerah yang menderita kerusakan terbesar akibat gempa
yang menimpa DIY dan jateng.
b. LSM Lokal dan Internasional yang bekerja dalam humanitarian aid terkonsentrasi di
kabupaten Bantul dibandingkan daerah lain. Selain itu ditemukan juga sejumlah LSM
perempuan yang melakukan kerja pengorganisasian komunitas pasca bencana.
dalam menghadapi proses rekonstruksi yang tidak adil gender.
3. Populasi dan sampel
Target yang akan diteliti guna tercapainya pengumpulan data yang diharapkan adalah:
a. Penyintas perempuan
b. LSM Perempuan yang mempunyai program rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana
c. LSM internasional dan Sejumlah lembaga donor yang beroperasi di Jogja
d. Pejabat dan staf Pemerintah Daerah di Kabupaten Bantul.
Penentuan besar sampel akan ditentukan atas dasar tercukupinya informasi dan data
yang dibutuhkan.
VI. SISTEMATIKA PENULISAN LAPORAN
22
Tulisan ini terdiri dari 5 bab. Bab 1 dan bab 5 merupakan bagian pendahuluan dan
kesimpulan. Bab 1, pendahuluan berisi mengenai latar belakang masalah, permasalahan kunci,
tujuan, kerangka teori, serta metode pengumpulan data. Bab 2 secara khusus ditujukan untuk
mengulas mengenai system sosial bantul sebelum bencana. Profil umum Bantul serta system
pemerintahannya ditujukan untuk memberi konteks pemahaman pada pembaca. Bab 2 ditutup
dengan pengerucutan pembahasan mengenai perempuan dalam system sosial bantul sebelum
bencana. Sub bab ini menjelaskan mengenai kerja dan aktivitas perempuan Bantul dalam ruang
dan pembagian kerja yang terdiferensiasi berdasar gender dan seksual.
Bab 3 difokuskan untuk membahas dimensi gender dalam bencana gempa di Bantul.
beradaptasi dalam system sosial yang tengah mengalami guncangan akibat gempa diulas lebih
lanjut dalam bab ini. Bab ini lebih jauh dikerucutkan untuk melihat siasat partisipasi
perempuan untuk menembus kebekuan system sosial. Bab ini ditutup dengan analisa mengenai
kerelawanan perempuan dalam bencana gempa. Bab 4 secara khusus akan membahas
mengenai ragam ruang dimana perempuan berproses sebagai relawan. Bagian selanjutnya akan
mengulas mengenai factor pendrong kerelawanan perempuan. Bagian kunci penelitian ini
berada pada sub bab terakhir yang mengulas mengenai modal sosial dalam bencana. Bab 5
merupakan penutup yang berisi kesimpulan‐kesimpulan dan refleksi dari penelitian ini.
BAB II
23
SISTEM SOSIAL BANTUL SEBELUM BENCANA
Dalam banyak kajian tentang perempuan, perbincangan tentang sistem sosial atau
sebagian lebih sering menyebutnya sebagai konstruk sosial, adalah awal dari serangkaian
kajian tentang kondisi dan persoalan perempuan. Dalam sistem atau konstruksi sosial yang
berbeda, kondisi dan derajat kehidupan perempuan juga menampakkan potret yang berbeda.
Tentang ini, konsep sistem sosial membantu untuk melihat bagaimana interaksi antar banyak
pihak, pandangan dan juga nilai membentuk sebuah masyarakat. Loomis mengatakan bahwa
sistem sosial ini terbentuk dari interaksi yang terpola diantara unsur‐unsur pembentuknya. Hal
ini mengakibatkan interaksi diantara individu yang beragam, dimana relasi diantara satu sama
lain secara bersama‐sama diorientasikan kepada pola yang terstruktur serta simbol dan
harapan yang disepakati. 20
Komunitas sebagai bagian dari sistem sosial, tidak cukup diartikan sebagian kesatuan
wilayah geografis saja namun juga diartikan sebagai kelompok dengan kesamaan kepentingan
atau fungsi yang melintasi batasan gegografis. Mc Neil memberi definisi terhadap organisasi
komunitas sebagai proses dimana orang dari komunitas tertentu, sebagai individu ataupun
kesejahteraan bersama, menyusun rencana untuk meraihnya, dan memobilisasi sumber daya
yang diperlukan. 21 Lebih jauh, Murphy menyimpulkan bahwa organisasi komunitas memiliki
dua pemaknaan, yaitu sebagai proses dan sebagai ruang. Sebagai proses, organisasi komunitas
menginterpretasikan layanan sosial dalam beragam bentuk. Sementara itu, sebagai ruang,
merupakan satu suprastruktur yang dibuat oleh pihak‐pihak yang memiliki tanggung‐jawab
20
Loomis, Charles (1992), “Social Systems : Essays on Their Persistance and Change”, The Van
Nostrand Series in Sociology, New Jersey
21
McNeil, sebagaimana dikutip oleh Murphy, Campbell G. (1995), “Community Organization Practice”,
The Riverside Press Cambridge, Boston
24
untuk mengkoordinasi dan mempromosikan kerja dalam beragam organisasi yang
menyediakan layanan bagi publik 22 .
I. PROFIL UMUM BANTUL
Kabupaten Bantul merupakan salah satu dari 5 Kabupaten/Kota di Provinsi Daerah
semua Kabupaten/Kota lain di Provinsi DIY. Di bagia utara berbatasan dengan Kota
Yogyakarta dan kabupaten Sleman. Bagian timur berbatasan dengan Kabupaten Gunung Kidul.
Bagian barat berbatasan dengan Kabupaten Kulonprogo. Sedang bagian selatan berbatasan
langsung dengan samudera Indonesia. 23
Penduduk Kabupaten Bantul tersebar di 75 desa yang berada di 17 kecamatan.
Kecamatan itu antara lain : Kecamatan Srandakan, Sanden, Kretek, Pundong, Bambanglipuro,
Pandak, Bantul, Jetis, Imogiri, Dlingo, Pleret, Piyungan, Banguntapan, Sewon, Kasihan,
Pajangan dan Sedayu. Bantul, sebelum kejadian gempa di pertengahan tahun 2004 mempunyai
penduduk 799.211 jiwa yang terdiri dari 391.296 laki‐laki dan 407.915 perempuan. Sedangkan
pada tahun 2006 pertambahan penduduknya mencapai angka 820.555 jiwa. Sex ratio dari
penduduk perempuan di banding laki‐laki adalah 96,53. Artinya, di antara 100 laki‐laki
terdapat 96,53 perempuan.
Pendapatan per kapita sebelum bencana mengalami kenaikan yang signifikan dari
tahun ke tahun, dengan beban tanggungan dibawah 50%. Meski pendapatan perkapita
mengalami peningkatan namun jumlah penduduk miskin tidak mengalami penurunan. Pada
tahun 2000 angka penduduk miskin sebesar 18% dari jumlah penduduk, sedangkan tahun 2001
mengalami kenaikan menjadi 26,02%. Sedangkan tahun 2002 agak turun menjadi 25,94%. 24
22
Murphy, op.c it. , p. 29
23
Bantul Dalam Angka 2004, BPS Bantul.
24 Profil Kesehatan Kabupaten Bantul tahun 2003, halaman 20
25
Tingkat pendidikan penduduk sampai akhir tahun 2002 belum mengalami peningkatan
yang berarti. Masih banyak penduduk yang buta huruf dan tidak tamat sekolah dasar.
Akibatnya penyerapan dan pemahaman terhadap informasi cukup rendah. Tingkat pedidikan
perempuan di atas 10 tahun pada kelompok yang tidak/belum pernah sekolah mengalami
ketimpangan yang signifikan dibandingkan laki‐laki yakni 22, 82% sedangkan laki‐laki hanya
9,25%. Sedangkan untuk kelompok pendidikan lainnya seperti tamat SD, SMP, SMA,
akademi/PT, angka perempuan lebih rendah dibandingkan laki‐laki. Padahal kalai dilihat dari
struktur penduduk terlihat bahwa perempuan lebih banyak daripada laki‐laki. Hal ini
pendidikan.
Untuk mengimbangi jumlah penduduk dalam pelayanan kesehatan, Kabupaten Bantul
disangga oleh 6 rumah sakit, 1 diantaranya Rumah Sakit Umum Pemerintah, 5 lainnya
merupakan Rumah Sakit Swasta. Fasilitas kesehatan lain terdiri dari Puskesmas dan Klinik
kesehatan. Puskesmas berjumlah 26 buah, sedang sub puskesmas‐nya berjumlah 67 buah.
Klinik bersalin swasta hanya berjumlah 1, dengan klinik KB/Balai pengobatan berjumlah 21.
dokter dan 34 dokter gigi.
II. SISTEM PEMERINTAHAN
negara mulai dari pemerintah di tingkat nasional, hingga jajaran aparatur hingga tingkat dusun
dan juga RT/RW, menjadi bagian dari institusi yang berpengaruh bagi kehidupan masyarakat
dan juga perempuan. Pengaruh ini nampak sangat nyata misalnya, karena pendekatan
penyeragaman model institusi –yang semula adalah bagian dari alur administrasi dan
birokrasi‐ merambah hingga ke tataran sosial, politik dan juga budaya. Desa pada masa Orde
26
Baru misalnya, mengalami perubahan setelah keluarnya UU No. 5 tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa. Tak hanya itu, karena perubahan ini seringkali juga diikuti dengan
penggabungan beberapa kampung atau desa menjadi satu kesatuan wilayah administratif,
bahkan terkadang tanpa melihat kesesuaian nilai dan pengikat yang sebelumnya sudah ada.
Dengan keluarnya regulasi ini, semua bentuk kepemerintahan lokal yang ada haruslah
berbentuk desa, sehingga nagari di Sumatera Barat, atau kampung di Kalimantan Barat dan
Lembang di Tana Toraja misalnya, diubah bentuknya menjadi desa. 25 Contohnya, di Kabupaten
Bantul paska keluarnya UU tentang Pemerintahan Desa dilakukan penghilangan konsep Rukun
Warga (RW) yang sebelumnya terdiri dari sejumlah Rukun Tetangga (RT). Beberapa RT
kemudian dilebur dalam kesatuan Kring/Sub Dusun dengan batasan area dan kesatuan
anggota yang berbeda. Proses adaptasi sebagai kesatuan sosial yang baru itu memunculkan
sejumlah konflik manifes maupun laten diantara warga masyarakat dusun. Mengacu kepada
konsepsi McNeil di atas, intervensi negara yang menghasilkan ketegangan di dalam desa
menjadi tak terelakkan.
dipimpin oleh seorang bupati. Drs. Idham Samawi berhasil menduduki puncak pemerintahan
Bantul untuk masa dua periode. Dalam pandangan banyak pihak, beliau dipandang
mempunyai kedekatan emosional dan politis dengan keraton Jogjakarta. Dalam pemilihan
kepala daerah tahun 2005, kemenangan Idham Samawi untuk kedua kalinya ditengarai karena
kuatnya dukungan politik dari Sri Sultan HB X yang selain sebagai Gubernur DIY juga
berposisi sebagai raja. Sehingga meskipun Idham Samawi harus berhadapan dengan salah satu
keluarga kerajaan dalam persaingan menuju Bantul satu, Idham Samawi tetap berhasil
mempertahankan tahta sebagai Incumbent.
Sebagai sosok pemimpin, Idham dikenal sebagai pemimpin yang mengembangkan gaya
kultural. Dia tidak segan untuk pergi mengunjungi warganya yang meminta kehadirannya
25
Lebih lanjut baca R. Yando Zakaria (2004), “Merebut Negara : Beberapa Catatan Reflektif tentang
Upaya-Upaya Pengakuan, Pengembalian dan Pemulihan Otonomi Desa”, KARSA-Lappera Pustaka
Utama, Desember
27
dalam acara‐acara warga, terlebih apabila di dusun tersebut di dampingi oleh LSM.
Implikasinya, dia dikenal sebagai pemimpin yang dekat dengan rakyat meski juga secara tak
langsung menuntut kepatuhan dan kontrol ketat atas rakyatnya. Sebagaimana dikuatkan oleh
Unang Shio Peking, Ketua Forum LSM DIY.
”Dari sisi akomodasi terhadap aspirasi masyarakat banyak tebang pilih, tidak semua bisa
diakomodasi kepentingannya dengan baik. Kalau mau ketemu dengan bupati kalau bukan tokoh
LSM ya yang antri lama. Selain itu asal pertemuannya gegap gempita, disambut warga dengan
luar biasa ya dia pasti datang.”
Pemerintahan Bantul terkenal dengan kebijakan populis sekaligus penuh nuansa
popularitas. Kebijakan itu antara lain program beasiswa paska sarjana bagi guru dan program
pemerintah Bantul, namun juga menunjukkan minimnya kontrol masyarakat atas pelaksanaan
program. Program babonisasi dilaksanakan di seluruh SD di kabupaten Bantul, sejak pertama
kali direalisasikan sambutan dari masyarakat sangat antusias. Partisipasi dari warga
masyarakat yang begitu besar, dengan adanya 17 Kecamatan di kabupaten Bantul, 13
diantaranya setuju dengan adanya program babonisasi. Akan tetapi wujud dari program
babonisasi masih bersifat semu, masyarakat tidak dilibatkan secara penuh terhadap proses
implementasi program ini. Masyarakat tidak mempunyai kontrol terhadap program, salah satu
yang saat itu bersamaan dengan wabah penyakit flu burung 26 .
Kebijakan mengenai perempuan merupakan kebijakan yang selalu kontroversial. Yakni,
kebijakan anggaran PKK yang mencapai 4 Milyar pada masa menjelang pemilihan kepala
daerah secara langsung. Dari sisi anggaran sekilas tampak sebagai kebijakan yang berpihak
pada perempuan, namun dari sisi implementasinya banyak pihak yang meragukan. Menurut
26
Dwi Setiawan, Rio (2005), “Implementasi Program Peningkatan gizi anak (Babonisasi) di Kecamatan
Kasihan”, kabupaten bantul, Skripsi. Universitas Gadjah Mada. 2005. hlm. 85
28
penuturan Wasingatu Zakiyah, pengurus IDEA, tidak ada daerah selain Bantul yang memiliki
anggaran PKK hingga 4 Milyar. Karena meskipun kepala pemeritahannya akan berganti,
namun ketua PKK masih tetap ibu Bupati Idham Samawi. Sehingga kebijakan ini menjadi
rentan nuansa politisnya sebagai sarana mobilisasi dukungan pemilih perempuan melalui PKK.
Selain itu perempuan masih mengalami pengandangan melalui perda inkonstitusional,
yakni perda pelarangan pelacuran. Sekilas tampaknya perda tersebut mempunyai maksud
baik, namun secara substansial bermaksud untuk mendisiplinkan tubuh perempuan sekaligus
partisipasi perempuan di ruang publik. Meski perda ini baru disahkan secara mendadak pada
tahun 2007, namun sudah sejak lama adagium Bantul yang beragama dan religios selalu
digunakan sebagai klaim yang melegitimasi pemerintah untuk menundukkan masyarakat.
III. PEREMPUAN DALAM SISTEM SOSIAL BANTUL
Posisi perempuan dalam sistem sosial Bantul berada dalam ruang dan pembagian kerja
yang terdiferensiasi secara seksual/gender. Ruang perempuan di Bantul terkategorisasi dalam 3
kategori kerja perempuan yang terdiri dari: 27 Pertama, kerja produktif yang menjelaskan
aktivitas untuk memproduksi barang dan jasa untuk konsumsi dan perdagangan. Petani,
pengrajin, buruh pabrik ataupun pedagang, baik menjadi pekerja atau menjadi wirausaha,
adalah contoh dari aktivitas produktif. Biasanya, bila orang ditanya apa pekerjaannya, jawaban
atas pertanyaan tersebut lah yang menjelaskan kerja produktif. Walaupun saat ini laki‐laki dan
perempuan sama‐sama terlibat dalam kerja produktif, fungsi dan tanggung‐jawab akan
berbeda mengacu kepada pembagian kerja berbasis gender. Dalam banyak kasus, kerja
produktif perempuan sering dianggap bernilai lebih rendah dan sekaligus sering tidak tampak.
Kedua, adalah kerja reproduktif yang terkait dengan perawatan dan menjaga rumah tangga dan
seluruh anggotanya. Menjaga anak, membersihkan rumah, menyediakan air bersih hingga
27
“Two Halves Make a Whole : balancing Gender Relations in Development”, CCIC/MATCH/AQOCI,
sebagaimana dikutip dalam Williams, S., et.al. (1994), “The Oxfam Gender Training Manual”, Oxfam
(UK & Ireland), Oxford, UK., p. 189.
29
menjaga kesehatan keluarga adalah deretan aktivitas reproduktif yang sebetulnya sangatlah
sebagai ’kerja’ dalam pengertian ekonomi. Padahal, sebetulnya kerja ini sangat bernilai dan
sekaligus memakan waktu yang tidak sedikit, dan kebanyakan menjadi tanggung‐jawab
perempuan. Ketiga, adalah kerja komunitas. Kerja ini melibatkan organisasi kolektif dalam
kegiatan sosial maupun juga pelayanan dan politik. Upacara, musyawarah, aktivitas
pengembangan msyarakat, keikutsertaan dalam kelompok, dan aktivitas politik lokal adalah
bagian dari kerja ini. Biasanya, kerja ini merupakan aktivitas yang bersifat sukarela, dan sangat
berperan penting dalam menjaga pengembangan budaya dan spiritual komunitas dan juga
menjadi mesin penting dalam organisasi dan pertahanan komunitas. Laki‐laki dan perempuan
biasanya sama‐sama terlibat, walaupun pembagian kerja dan peran berbasis gender sangat
nampak di sini. Bagian berikut menunjukkan bagaimana pembagian kerja berbasis gender
dalam konteks Jawa:
d.1. Aktivitas Domestik
Satu studi berikut, yang dilakukan di empat komunitas, baik di desa dan di kota di Jawa
Tengah dan Jawa Timur menunjukkan pola pembagian peran di dalam rumah tangga.
Tabel
Persen Perempuan yang Mengaku Bertanggung‐jawab terhadap Kerja Domestik 28
Tugas Jumlah (Persen)
Memasak 78.4
Membersihkan rumah 49.9
28
Family Planning, Family Welfare and women’s Activities in Indonesia”, Population Studies Center,
Gadjah Mada University, Nov, 1997
30
Membersihkan halaman 47.1
Merawat anak 53.4
Mencuci pakaian 56.8
Mereparasi rumah 1.4
Mengelola keuangan rumah tangga 71.3
Nampak bahwa selain tugas perbaikan rumah, hampir semua tanggung‐jawab kerja di level
rumah adalah di pundak perempuan, baik dilakukan sendiri ataupun dengan mempekerjakan
PRT. Walau begitu, untuk konteks perempuan pedesaan di Bantul, walaupun ada satu dua
keluarga yang mempekerjakan PRT, secara umum hampir semua kerja di atas dilakukan
sendiri oleh perempuan.
Dan panjangnya deret pekerjaan reproduktif yang dikerjakan dan menjadi tanggung‐
jawab perempuan ini juga terjadi di banyak tempat dan juga negara. Dan ini berkorelasi dengan
banyaknya waktu yang dihabiskan oleh perempuan untuk mengerjakannya. Selain itu secara
umum, perempuan menjadi pihak yang bertanggung‐jawab terhadap pekerjaan rumah, bahkan
biarpun mereka bekerja di luar rumah 29 . Dalam kajian feminis, double burden ini menjadi salah
satu persoalan perempuan yang utama dan membuat rendahnya kesejahteraan hidup
perempuan.
Tetapi, besarnya tenaga, pikiran dan sekaligus waktu yang dicurahkan perempuan bagi
kerja reproduktif seringkali menjadi tidak nampak, tidak dihitung dan sekaligus tidak
dianggap penting. Tentang ini, Pigou mengatakan :
29
Survey Research Center of the university of Michigan 1975-1976, sebagaimana dikutip oleh O’Neill
(1985), op.cit.
31
...”Sebagai ibu rumah tangga, mereka tidak akan didaftarkan sebagai penghasil upah dan
demikian tidak akan diperhitungkan dalam statistik nasional. Mereka menjadi perempuan yang
tidak nampak. Mereka tidak dianggap sebagai orang yang bekerja atau sebagai penghasil nafkah
dan dengan demikian dianggap tak produktif. Ini justru disebabkan kerja rumah tangga bukan
merupakan kerja upahan, dengan demikian tidak diakui sebagai kerja 30 .
Dan sebagai implikasinya, ketiadaan penghargaan bagi kerja reproduktif yang
dilakukan perempuan, membuat mereka menjadi kelas yang terpinggir dan sekaligus tidak
berdaya. Hal ini juga sekaligus membuat perempuan tidak memiliki mekanisme untuk
memperjuangkan kebutuhan dan kepentingannya. 31
d.2. Aktivitas Ekonomi
Berbeda dengan profil perempuan priyayi pada masa kolonial, perempuan‐perempuan
di kelas bawah yang hidup di perkotaan, justru menunjukkan kondisi yang lebih berdaya dan
lebih independen. 32 Ini nampak dari profil perempuan kelas bawah (kawula) yang sejak dahulu
juga memainkan peran penting bagi perekonomian keluarga, bahkan walaupun dalam kultur
Jawa, laki‐laki adalah pencari nafkah utama. Bagaimana dengan kondisi saat ini? Potretnya tak
jauh berbeda. Namun di sini, muncul pertanyaan tentang apakah korelasi antara kontribusi
dengan relasi yang terbangun di tingkat keluarga. Sangat dimungkinkan, biarpun mereka
sangatlah berkontribusi untuk pendapatan dan ekonomi keluarga, peran mereka sering tidak
terlihat. Bentuk yang lain adalah bahwa besarnya kontribusi ini tidak selalu diiringi dengan
terkait dengan aktivitas bisnis – bahkan di tingkat sekecil rumah tangga sekalipun.
Sebagaimana studi yang dilakukan oleh Molo di salah satu desa di Jatinom, Klaten, 33
penelitian ini menunjukkan bahwa salah satu faktor yang terkait dengan pengambilan
30
AC Pigou, dalam Hong, 1984 : 6, sebagaimana ditulis dalam Saptari, Ratna & Holzner, Brigitte (1997),
”Perempuan, Kerja dan Perubahan Sosial : Sebuah Pengantar Studi Perempuan”, Grafiti - Kalyanamitra.
, h. 15
31
Fatimah, Dati (2007), “Kalkulasi Ekonomi Kerja Domestik”, Kompas, 9 April.
32
Lihat Dzuhayatin (2002), op.cit.
33
Molo, Marcelinus (1992), “Women’s Role, Resources dan Decision Making in Rural Java : A Case
study”, a doctoral dissertation, Flinders University of South Australia
32
keputusan di level keluarga terkait dengan kepemilikan asset, utamanya adalah rumah dan
tanah pertanian. Walau begitu, ada banyak hal yang mempengaruhi relasi dan pengambilan
keputusan di tingkat rumah tangga. Penelitian ini menunjukkan bahwa interaksi yang egaliter
lebih nampak dalam keputusan di level domestik, daripada di level pertanian. Keterlibatan
perempuan dalam level pertanian nampak ketika terkait dengan pengendalian pendapatan dari
sektor ini. Relasi ini juga dipengaruhi oleh status, dimana dalam kelas menengah dan bawah,
perempuan secara umum lebih berdaya daripada perempuan di kelas atas. Pada perempuan di
level bawah dan menengah, pendapatan yang dihasilkan perempuan sangatlah berkontribusi
bagi pendapatan keluarga, dan ini meningkatkan power perempuan. Secara umum, studi ini
menunjukkan bahwa kuasa perempuan dalam proses pengambilan keputusan sangatlah terkait
sumber kuasa tersebut.
Jenis pekerjaan di Bantul yang didominasi perempuan adalah bidang penjualan dan
produksi. Kedua bidang tersebut merupakan bidang yang bisa dikerjakan secara fleksibel oleh
perempuan karena tidak terikat oleh hubungan kerja. Faktor‐faktor yang menjadi penimbang
dalam pemilihan pekerjaan ternyata sangatlah terkait dengan peran gender yang ada. Pilihan‐
pilihan pekerjaan bagi perempuan, biasanya dipengaruhi oleh beberapa hal, dan salah satu
yang utama adalah persoalan pengasuhan dan perawatan anak. 34 Perawatan anak merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi sehingga banyak perempuan memilih bekerja di rumah,
walaupun waktu perempuan untuk mengurus anak sudah jauh lebih berkurang karena
menurunnya jumlah rerata anak dalam keluarga sebagai salah satu faktornya.
d.3. Aktivitas Sosial
segala aktivitas yang dijalankannya baik dalam aktivitas domestic, ekonomi maupun sosial.
Dalam kegiatan pembangunan yang dicanangkan pemerintah‐secara eksplisit maupun implisit‐
34
O’Neill, op.cit.
33
menguatkan asumsi pemisahan peranan (dus, ruang) laki‐laki dan perempuan. 35 Perkumpulan
formil yang sarat dengan kepemimpinan ditetapkan sebagai urusan laki‐laki. Sedangkan
urusan perempuan dibatasi pada kegiatan yang menjurus pada bidang “reproduksi,”semisal
keluarga berencana, pendidikan gizi dan kesehatan, PKK dan lain sebagainya sebagaimana
tampak dalam tabel di bawah ini.
Women’s Participation in Community Activities, 1997
Aktivitas komunitas Total (persen)
Dasawisma 23.2
PKK 64.2
Apsari/PKB 1.8
UPGK/Posyandu 26.2
Arisan 78.1
Religious activities 50.2
Other 3.3
Number of cases 931
Tabel aktivitas perempuan di atas secara umum masih sesuai dengan aktivitas perempuan di
Bantul, meski memang tidak diperoleh data resmi yang lebih detil untuk menjelaskan aktivitas
perempuan. Dalam buku Profil Kesehatan Bantul ditunjukkan bahwa program perbaikan gizi
merupakan program yang secara kuat digerakkan melalui sinergi Dinas Kesehatan dengan
35
Baca Benjamin White dan Endang Lestari Hastuti “Subordinasi Tersembunyi, Pengaruh Pria dan
Wanita dalam kegiatan Rumah tangga dan masayarakat di 2 desa di Jawa Barat”. Laporan Agro
Ekonomi Survay. IPB. November 1980.
34
perempuan kader kesehatan, Yandu dan PKK di kabupaten Bantul. Program perbaikan gizi
tersebut antara lain: 1. Upaya perbaikan gizi keluarga (UPKG), 2. Penanggulangan kurang
energi protein, 3. Penanggulangan anemia gizi, 4. Penanggulangan kurang vitamin A, 5.
Penaggulangan GAKY, 6. Upaya perbaikan gizi intitusi (UPGI), 7. Penyuluhan gizi
masyarakat, 8. Sistem kewaspadaan pangan dan gizi (SPKG).
35
BAB III
UJIAN KETANGGUHAN PEREMPUAN DALAM BENCANA
I. MEMBACA GENDER DALAM BENCANA GEMPA DI BANTUL
..”Waktu gempa, saya sedang sakit. Tapi saya beruntung karena masih sempat lari walau
terhuyung‐huyung. Waktu sampai pintu, gerendel pintu tak bisa dibuka padahal rumah sudah
hampir roboh.. Saya melihat sekeliling, dan akhirnya saya melompat keluar melalui jendela.
Walau saya tidak bisa bangun karena tertimpa reruntuhan bangunan, tetapi saya baru dibawa ke
rumah sakit pada hari berikutnya, karena tak ada mobil yang tersedia.....”
Dalam situasi kepanikan ketika gempa mengguncang, tak sedikit orang yang tidak
sempat menyelamatkan diri dari reruntuhan bangunan. Bu Warsinah beruntung, karena
walaupun ia sakit tertimpa reruntuhan bangunan, ia dengan sigap segera berlari
menyelamatkan diri keluar dari rumah. Lain misalnya dengan pengalaman Mbak Tari, seorang
diffabel yang tinggal di kawasan Ganjuran ‐ Bambanglipuro, yang bahkan dibangunkan oleh
gempa dan tak sempat menyelamatkan diri. Ia yang biasanya berjalan dengan alat bantu kruk,
tak kuasa lagi mencari kruk dan menyelamatkan diri keluar dari bangunan, dan akhirnya
pasrah dikubur oleh reruntuhan bangunan rumah. Tapi walau begitu, ia masih jauh lebih
beruntung daripada ribuan orang yang lain yang meninggal ketika gempa terjadi.
Diantara ribuan orang ini, banyak diantaranya yang tidak sempat mendapatkan
pertolongan kesehatan, dan akhirnya meninggal. Sebagaimana Bu warsinah di atas, banyak
orang yang terpaksa tak bisa dibawa ke rumah sakit karena ketiadaan sarana mobilitas dan
akhirnya meninggal dunia. Begitu juga, banyak korban yang lain yang walaupun sempat
dibawa ke rumah sakit, karena begitu kacaunya suasana dan pelayanan di rumah sakit,
akhirnya tidak mendapat pertolongan medis dan jiwanya juga tidak tertolong. Hal ini antara
36
lain dibenarkan oleh Bu Riwanti yang sempat membawa tetangganya ke rumah sakit, yaitu
seorang perempuan paruh baya yang akhirnya tidak tertolong jiwanya.
Sayangnya, sebagaimana juga dalam sistem informasi kebencanaan di Indonesia secara
umum, dalam kasus gempa kali ini juga tidak terdapat data pilah korban berdasar jenis kelamin
dan kelompok usia. Ketiadaan ini mengindikasikan masih kuatnya pemahaman yang dipegang
kalangan hazard‐centered yang memandang bahwa bencana menimpa siapa saja dan tanpa
pandang bulu. Walau begitu, ilustrasi di beberapa sudut Bantul memberikan gambaran yang
kuat tentang dimensi gender dalam kerentanan dan juga jumlah korban gempa. Di Kadisoro,
sebagaimana juga di Nangsri, mayoritas korban adalah lansia, anak dan sebagian besar
menjadi korban karena gempa bersamaan waktunya dengan aktivitas reproduktif memasak
yang dilakukan perempuan.
Tak hanya aspek kerentanan secara fisik yang menguatkan dimensi gender dalam
bencana. Sebagaimana fokus kajian para feminis terhadap kerentanan sosial dalam situasi
bencana, gambaran yang ada menunjukkan penanda yang jelas akan kuatnya persoalan ini. Isu
perempuan lansia seperti jarik‐kain dengan fungsi sejenis rok yang dikenakan perempuan
lansia, minyak angin, kutang jawa yang luput dari bantuan dan digantikan dengan BH, adalah
beberapa contoh pengabaian kebutuhan perempuan lansia dalam situasi bencana. Begitu juga
dengan kebutuhan pernak‐pernik dapur seperti bawang merah dan bawang putih, garam,
minyak goreng dan peralatan memasak yang terlupakan dalam daftar bantuan juga
menguatkan dampak gempa bagi perempuan 36 . Ilustrasi yang lain nampak dari penuturan
Mbak Rus, seorang diffabel berikut ini :
36
Fatimah (2007a), op.cit.
37
.....Sejak gempa, saya mengungsi ke rumah orang tua di kota Jogjakarta. Saya sendiri
sebetulnya merupakan warga kota jogja meski warung saya ada di Bantul. Maka, walaupun
warung saya ikut rusak karena terkena gempa, saya tidak mendapat bantuan apapun dari
pemerintah. Mungkin karena saya luput dari pendataan di Bantul, dan begitu juga di kota,
saya juga tidak pernah tahu prosesnya dan tidak mendapat bantuan. Dagangan saya yang
tersisapun ikut habis untuk membiayai hidup selama mengungsi di rumah orang tua....
Terlewatnya kelompok rentan dalam pendataan dan distribusi bantuan bisa terjadi
dimanapun, dan begitu juga di Bantul ketika gempa terjadi. Dalam situasi kerentanan secara
fisik yang dihadapi perempuan dan juga kelompok rentan yang lain, peminggiran dalam arena
sosial dan juga politik sebagaimana nampak dalam penuturan di atas, menjadi semakin
menguatkan beban derita yang mereka rasakan. Pada 27 Mei 2006 pagi, gempa yang melanda
memang sama‐sama dirasakan dan juga sama‐sama sebesar 5.9 SR. Tetapi, perbedaan posisi,
akses dan juga ruang membuat dampaknya tidak dirasakan secara sama dan identik oleh
kelompok gender yang berbeda.
II. SISTEM SOSIAL BANTUL DALAM GUNCANGAN GEMPA
Bencana, sebagaimana juga tekanan dari pihak eksternal, adalah ujian ketangguhan bagi
sistem sosial di dalam masyarakat. Mengacu kepada Murphy, dari aspek proses, bencana
menjadi konteks yang melatarbelakangi dan mempengaruhi proses koordinasi, promosi dan
interpretasi layanan sosial dalam beragam bentuk. Apakah ketika bencana, layanan sosial bisa
terkoordinasi dan dipahami dengan baik oleh banyak pihak atau tidak, akan sangat
menentukan ketangguhan sistem sosial yang ada. Sementara itu, dari aspek ruang, bencana
menguji apakah suprastruktur yang dibentuk bisa bekerja dalam mengkoordinasikan kerja
layanan bagi publik 37 . Jawaban atas ini akan menjadi penanda apakah ujian berupa situasi
abnormal yang bernama bencana bisa terlewati oleh sistem sosial yang ada. Dalam studi ini,
37
Murphy, op.cit., p. 29
38
bagian terpenting dari sistem sosial yang hendak diuji adalah yang terkait dengan posisi dan
pengaruh dari kelompok perempuan dalam masyarakat di Bantul.
Lantas, bagaimana dengan wajah sistem sosial di Bantul ketika bencana terjadi dan juga
pada masa sesudahnya? Salah satunya adalah suprastruktur bernama negara, yang
sebagaimana dalam banyak kejadian bencana, ternyata juga mengalami kemandegan. Ini
nampak dalam situasi ketika muncul isu tsunami dan juga gempa susulan yang beredar di
masyarakat. Ketika isu tsunami hanya berselang beberapa saat setelah gempa terjadi,
kepanikan yang luar biasa melanda masyarakat. Bahkan dalam situasi kepanikan ini, nalar dan
rasionalitas juga tak bisa bekerja karena perangkat dan jalur komunikasi dan informasi juga
terputus dan begitu juga komunikasi antara perangkat negara dengan rakyatnya. Tari, seorang
diffabel menuturkan pengalamnnya :
..........Saya terbangun ketika rumah roboh diguncang gempa dan badan saya terbenam di antara
puing‐puing rumah. Tak sempat melarikan diri, karena kruk tak terjangkau. Setelah gempa
selesai, kakak saya datang dan menolong saya dengan menarik saya dari reruntuhan bangunan.
Tetapi, tak lama kemudian, isu tsunami membuat semua orang lari terbirit‐birit. Kali ini, tak ada
yang mempedulikan saya karena semua orang berpikir untuk menyelamatkan dirinya sendiri 38
.(Tari, seorang diffabel korban gempa)
Kepanikan ini luar biasa besarnya, karena sekitar jam 8 pagi Sabtu itu, hampir semua ruas jalan
tidak adanya informasi resmi yang beredar, dan begitu besarnya kepanikan ini, rasionalitas
tentang besarnya cakupan tsunami pun tidak lagi menjadi dasar pijakan tindakan kebanyakan
warga. Isu bahwa air laut sudah sampai di Jogjakarta sebetulnya sangat tidak masuk akal,
mengingat ketinggian kota Jogja dan jaraknya dari laut yang lumayan jauh, yaitu sekitar 40 km.
Begitu juga bila melihat hampir semua orang berlari menuju ke utara atau ke pegunungan,
sebetulnya juga tidak nalar mengingat saat itu, Merapi juga dalam status awas dan setiap saat
bisa meletus. Walau tak ada laporan resmi, kepanikan ini juga berbuah pada meninggalnya
39
beberapa orang ketika dalam kepanikan isu tsunami ini, menjadi korban dari serangkaian
kecelakaan lalu lintas. Dan begitulan, dalam ketiadaan informasi dan macetnya perangkat
negara yang ada, rasionalitas tertinggal jauh dibelakang.
Di Wukirsari, Siti –bukan nama sebenarnya‐ juga mengatakan bahwa kepanikan
terhadap berita akan munculnya gempa susulan yang lebih besar dan tidak bisa terkonfirmasi
ke aparat yang berwenang, menjadikan hampir semua orang didusunnya memilih
meninggalkan kampung dan bermalam di pegunungan di timur kampungnya. Akibatnya,
kampungnya kosong melompong, dan sekaligus juga muncul kerawanan baru dari segi
keamanan aset yang ditinggalkan.
responden penelitian ini. Menurut Bu Ponirah di Gedongan, Kasihan, pemerintah relatif kurang
perhatian terhadap kondisi masyarakat setelah gempa mengguncang. Ia mengatakan :
....”Bukannya menuduh siapa‐siapa, tetapi dari pemerintah, bahkan yang paling bawah
sekalipun, harusnya kan perhatian terhadap warganya... Tapi di sini tidak begitu..”
Di Kadisoro, Bu Wiranti membandingkan cepat dan banyaknya dukungan berupa logistik dari
saudara, teman, kenalan di gereja dan masjid, hingga teman anaknya di kampus. Dukungan
yang sudah datang hanya pada hitungan jam setelah gempa ini menjadi skema pengaman bagi
kehidupan masyarakat pasca bencana. Namun menurutnya, hingga 1 minggu pasca bencana,
bantuan logistik dari pemerintah belum masuk dikampungnya.
Kondisi yang senada juga dilontarkan oleh Pak Jawadi, yang menjadi kepala dukuh
Nangsri, Srihardono, Pundong, Bantul. Ia mengatakan bahwa banyak pelayanan pemerintah
yang mandeg dalam waktu yang cukup lama. Ia mencontohkan, pelayanan kesehatan bagi
masyarakat di Puskesmas yang terhenti ketika bencana terjadi. Penuturan ini juga dibenarkan
oleh Agung Laksmono, anggota DPRD Bantul yang juga mantan sekretaris Pansus Monitoring
Bencana, yang mengatakan bahwa dalam situasi kemandegan struktur negara ketika bencana,
masyarakat sendirilah yang justru berperan dalam mengatasi masa kritis. Ia mengatakan :
40
...”Saya kira, rakyat Bantul yang nota bene orang Jawa dan memiliki kebiasaan kerjasama dan
gotong‐royong memiliki peran yang cukup besar dalam situasi bencana. Ini terjadi pada saat
pemerintah daerah tidak dapat berfungsi dan berperan secara maksimal ketika itu..”.
Bahkan, Pemerintah propinsi DIY pun mengakui bahwa walaupun saat itu pemerintah daerah
menyiapkan diri terhadap kemungkinan erupsi Merapi, tetapi aparatus dan pranata yang ada
tidak mengantisipasi kejadian yang jauh lebih besar sebagaimana dalam kondisi gempa. Hal
bencana gempa, sehingga menjadikan dampak gempa bagi kehidupan masyarakat sangatlah
besar 39 .
Begitulah, dalam situasi ketika kemandegan negara dan perangkatnya terjadi dalam
situasi bencana, inisiatif dan proses komunitaslah yang justru menjadi penyelamat kehidupan.
Hanya dalam hitungan hari, ditengah perasaan yang hancur karena tertimpa bencana, geliat
kebangkitan kehidupan warga nampak dalam beragam bentuk. Menepis keraguan tentang
terulangnya kemandegan semangat dan kehidupan masyarakat seperti dalam banyak bencana
yang lain, masyarakat Bantul segera melakukan langkah‐langkah penting dalam penyelamatan
kehidupan dan memastikan roda kehidupan tak berhenti ketika gempa mengguncang dan
meluluhlantakkan banyak sendi kehidupan. Proses evakuasi korban dilakukan oleh masyarakat
pada hari yang sama ketika gempa terjadi. Dan kehidupan yang diliputi rasa kebersamaan dan
perasaan senasib menjadi suasana yang nampak di wilayah yang terkena bencana.Bu Wiranti
dan Bu Sartini dari Kadisoro menuturkan semangat inilah yang dirasakan pada periode awal
pasca bencana :
....”Sesaat setelah terjadi gempa, suasananya sangat guyub. Mungkin merasa senasib
sepenanggungan, karena sama‐sama terkena bencana dan sama‐sama tidak punya. Jadi kalau ada
yang punya, ya dibagi untuk semua...”
39
Lihat makalah Pemerintah Propinsi DIY berjudul, “Bijak dari Belajar : Mewujudkan Tata
Pemerintahan DIY yang Tangguh Membangun dan Siaga terhadap Bencana”. Makalah disampaikan
pada seminar Menjajagi Prospek Yogyakarta sebagai Pusat Keunggulan Penanggulangan Bencana,
Yogyakarta, 26 Mei 2007
41
Tentang ini, AB Widyanta yang mantan koordinator OC Suara –jaringan NGO untuk bencana
di Jogja dan Jateng mengatakan bahwa dalam suasana bencana yang mencekam, mental
perkawanan dan sisi manusia menjadi sikap yang muncul dan mengatasi batas dan sekat yang
ada. Suasana yang mencekam inilah yang menjadi stimulus pencairan konflik dan mencairnya
batas‐batas yang ada.
III. PEREMPUAN TANGGAP DI TAHAP DARURAT
Adalah menarik untuk melihat bahwa ketika gempa terjadi, peran‐peran reproduktif
setelah bencana. Penting untuk melihat bahwa hanya dalam hitungan beberapa jam setelah
gempa menghantam, perempuan‐perempuan di berbagai wilayah yang terkena gempa justru
menunjukkan ketangguhan dan kegesitan untuk menjaga hidup bisa tetap berjalan.
Penyelamatan dan pengobatan darurat bagi korban yang terluka, dengan keterbatasan sarana
dan juga pengobatan, adalah hal penting yang banyak dilakukan oleh perempuan. Sesaat
setelah gempa, perempuan bersama‐sama dengan laki‐laki juga segera melakukan tindakan
evakuasi korban, dengan merawat, memandikan dan menguburkan jenazah pada hari yang
sama. Ini adalah bagian dari tugas‐tugas yang penting dan tak bisa dianggap sepele.
III.1. Dapur Umum dalam Beragam Pola
Peran yang juga penting adalah menjaga suplai makan dan minum, tak hanya bagi
keluarganya sendiri, tetapi bagi komunitas yang sama‐sama terkena bencana. Hidup di
pengungsian seadanya, beberapa berlindung di kandang sapi yang tak roboh terkena gempa
ataupun dibangunan darurat dengan atap seadanya, justru memicu energi kolektif kaum
42
ketangguhan perempuan tersebut 40 . Dapur umum ini sekaligus juga menjadi bukti nyata
makanan (sesuatu yang tadinya bersifat privat dan individual) menjadi aktivitas dan sekaligus
barang komunal dan kolektif. Yang utama dari pergeseran ini adalah semangat untuk berbagi
dalam keterbatasan, karena semua sedang sama‐sama dirundung duka dan kehilangan.
Bagaimana proses berdirinya dapur umum di masyarakat Bantul pasca gempa? Bu
Warsinah dan Pak Asy’ari dari dusun Nangsri, Srihardono, Pundong menuturkan, bahwa
hanya dalam hitungan jam setelah terjadi gempa, tanpa dikomando, orang datang berduyun‐
duyun ke halaman rumah mereka yang memang merupakan pekarangan yang cukup luas.
Selain proses evakuasi korban karena ada 10 orang yang meninggal di kampungnya, proses
mengumpulkan bahan makanan juga menjadi aktivitas utama. Warga cukup beruntung saat
itu, karena kebetulan, ada warga yang hampir punya hajat nyewu (peringatan 1000 hari setelah
meninggalnya seorang kerabat), dan juga karena mau ada acara pelepasan mahasiswa KKN
dari sebuah universitas di kampung tersebut. Selain dari dua sumber utama ini, beberapa
warga yang lain juga memberanikan diri menerobos rumahnya yang rusak untuk mengambil
bahan makanan yang masih ada seperti beras walaupun jumlahnya tidak banyak. Dari sumber‐
sumber inilah terkumpul beras, bumbu, minyak goreng, dan juga lauk yang cukup memadai
untuk hari‐hari awal pasca gempa.
Bagaimana di tempat lain? Di Kadisoro, pengalaman perempuan di dua dapur umum
yang berbeda menunjukkan benang merah yang sama, yaitu munculnya solidaritas masyarakat
dan tanggapnya perempuan. Dapur umum sebagai mekanisme penyediaan makanan bagi
semua warga ketika bencana memang menjadi penyangga kehidupan di saat krisis. Dalam
durasi yang cukup lama, yaitu sekitar 3 minggu sebelum akhirnya semua keluarga kembali
berkumpul di tenda keluarga yang didistribusikan, dapur umum inilah yang berperan penting.
Bagaimana perempuan mengorganisir dapur umum ini? Bu Wiranti dan Bu Sartini menuturkan
pengalaman dapur umum di RT mereka :
40
Agustin, R (2007), op.cit.
43
....Setiap pagi kami memasak bersama. Juga ada yang kebagian belanja di pasar, misal untuk tahu
dan tempe. Kalau sudah masak dikentongin, dan semua warga berkumpul untuk makan bersama.
Memang ada ibu‐ibu yang tidak ikut memasak, ada yang karena tidak biasa bergaul, ada juga
yang karena repot punya anak kecil. Akhirnya yang memasak ya tidak semua, tapi kami
ikhlas.....”
Di Wukirsari, Siti yang di desanya pernah menjadi satu‐satunya koordinator posko
dusun yang perempuan menuturkan bahwa macetnya perangkat negara dalam situasi pasca
bencana membuatnya berpikir dan mengambil tindakan untuk mengorganisir posko darurat.
Menurutnya, reputasi kepala dukuh dikampungnya yang terkenal korup juga kembali terulang
setelah gempa dengan banyaknya bantuan yang tidak jelas status dan keberadaannya.
....”Semua barang bantuan tidak jelas keberadaannya, mulai dari tikar hingga barang berharga
seperti diesel. Juga kalau ada bantuan lewat jalur pemerintah, hanya dipergunakan untuk dirinya
dan tetangga dekatnya, dan tidak berpikir untuk kepentingan warganya......”
Di dusunnya, kepanikan terhadap datangnya gempa susulan membuat hampir semua
orang mengungsi ke gunung. Namun Siti dan keluarganya tetap bertahan karena masih ada
kakek yang sudah tua dan tidak bisa diajak bepergian. Dalam situasi kevakuman
kepemimpinan tersebut, ia tampil ke muka dengan mulai mengorganisir pemuda untuk
menjaga keamanan kampung di malam hari. Selain itu, berbekal akses informasi dari
pergaulannya di organisasi kepemudaan, ia juga berinisiatif melakukan pendataan kerusakan
kampung pada dua hari setelah gempa. Ia mengatakan, karena ia merupakan warga kampung
maka ia mengenal betul seluk beluk kampung dan penduduknya dan ini memungkinkannya
data dan keluwesannya untuk berkontak dengan banyak jejaring inilah yang membuatnya
menjadi diterima sebagai pemimpin nyata di masyarakat dalam situasi darurat bencana, dan
pada masa darurat.
44
Lantas, bagaimana pengelolaan bantuan dan bahan makanan dalam mekanisme posko?
Bu Wiranti dan Bu Sartini di RT 03 Kadisoro menuturkan bahwa aktivitas memasak dan
distribusi sembako dilakukan secara terpusat di posko.
...Bantuan sembako yang masuk kami kumpulkan dalam satu tempat, dan kemudian oleh panitia
logistik RT, dikelola dan didistribusikan bila jumlahnya sudah cukup banyak dan cukup untuk
dibagi rata. Karena bantuan yang masuk RT kami relatif banyak, kami juga membagi bantuan ini
ke RT atau dusun lain, misalnya susu dan sayur‐mayur....
Ketika akhirnya tenda posko dibongkar dan semua keluarga kembali ke tenda keluarga
yang sudah dibagikan, bekal logisstik dari hasil pengelolaan bantuan inilah yang menjadi
sumber penghidupan pada bulan awal ketika dapur umum ditutup dan sumber pendapatan
juga belum pulih. Dari hasil distribusi inilah, setiap keluarga mendapatkan bahan makanan
yang memadai untuk hidup selama 1.5 bulan.
Selain aktivitas memasak dan distribusi bantuan, menurut penuturan mereka pula,
posko juga sekaligus menjadi tempat untuk penyelenggaraan rapat setiap seminggu sekali.
Rapat yang diselenggarakan atas inisiatif warga dan dilakukan di tenda posko yang cukup
besar ini memungkinkan semua warga, laki‐laki maupun perempuan, dewasa maupun anak‐
anak terlibat dalam rapat. Keterlibatan ini juga nampak dari isu‐isu yang dibahas dalam rapat
ini, misalnya masalah kesulitan belajar bagi anak‐anak ketika di tenda.
Tapi, pola pengelolaan yang berbeda nampak dari penuturan warga di Gedongan,
Kasihan. Di tempat ini, dapur umum sebagai kepanjangan dapur domestik memang nampak
nyata karena hanya berisi aktivitas memasak saja. Pengelolaan yang lebih baik, termasuk dalam
distribusi bantuan juga tidak ditemukan dalam kasus ini.
45
III.2. Perawatan : dari Merawat Korban hingga Trauma Healing
Peran reproduktif lain yang juga penting adalah terkait dengan perawatan kesehatan
dan juga trauma healing pasca gempa. Yang terakhir ini misalnya, sedemikian pentingnya,
karena selain mengakibatkan kerusakan fisik, persoalan guncangan kejiwaan dan spiritual juga
banyak ditemukan. Bu Riwanti menuturkan bahwa ketika bencana terjadi, terdapat ada
pembagian peran diantara laki‐laki dan perempuan. Ia mengatakan bahwa laki‐laki melakukan
pencarian korban, sementara perempuan termasuk dirinya merawat korban yang sakit ataupun
berikut :
.......Sesaat setelah guncangan gempa berhenti, saya segera berlari menolong tetangga yang
terjebak di dalam runtuhan rumah. Kami segera membawa tetangganya ke rumah sakit terdekat
walau karena buruknya pelayanan kesehatan, nyawanya tidak tertolong. Dan karena saat itu,
semua lembaga pemerintah tak berfungsi dan juga ditengah kepanikan masyarakat, kami segera
bertindak dengan cepat untuk mengorganisir masyarakat.
Begitu juga menurut penuturan Pak Jawadi, yang mengatakan bahwa dikampungnya, para
perempuan sibuk di keluarga dan RT masing‐masing, antara lain karena mengurusi anggota
keluarga yang sakit dan cedera.
Kebutuhan akan perawatan ini juga menjadi sebegitu penting dalam kasus masyarakat
yang karena bencana dan akhirnya menjadi diffabel –istilah yang sering digunakan untuk
menggantikan penyandang cacat. Bagi diffabel baru karena gempa, bukanlah hal yang mudah
untuk menerima ’kenyataan’ perubahan fisik dengan menjadi diffabel. Begitu pula bagi
mereka, proses penyesuaian kehidupan bukan hal yang terjadi semudah membalik telapak
tangan. Dalam hal ini, upaya berbagi perhatian dan perkawanan adalah hal penting dalam
mendorong pulihnya kembali kehidupan yang bermartabat bagi penyintas. Salah seorang
perempuan diffabel, Mbak Tari mengaku bahwa peran ini memang sederhana dan tidak terlalu
46
sulit untuk dilakukan, asalkan ada niat dan hati untuk berbagi. Ia yang terkena polio dan harus
menggunakan alat bantu di kakinya mengatakan :
......”Saya senang bisa bergabung dengan sesama teman diffabel, dan bisa membantu sesama.
Saya nggak ngerti teori untuk mengatasi trauma pasca bencana. Tetapi, saya merasa perhatian
itu penting dan yang ini bukan urusan sekolah apa bukan. Saya bisa berbagi, dan itu
membahagiakan saya, dan mungkin juga orang lain..”
kerusakan, ia mencoba melihat sisi lain dari bencana yang membuat hidup harus terus berjalan.
Salah satunya, menurutnya adalah bahwa bencana adalah kesempatan untuk berbagi ke
sesama. Ia mengatakan, dari pengalamannya sendiri, betapa dukungan dari sesama adalah hal
penting dalam membuat kehidupan diffabel harus terus berjalan. Karena itu, ia memilih untuk
berbagi perhatian dan empati untuk sesama yang menjadi diffabel karena gempa. Hal penting
pertama dalam proses trauma healing ini adalah mendorong semangat bagi diffabel, bahwa
hidup tak berhenti hanya karena menjadi diffabel. Ini bukan proses yang mudah, tetapi karena
yang memberi semangat juga diffabel, tingkat penerimaan biasanya lebih tinggi. Pernyataan
seperti ,”Saya juga cacat, tetapi saya menjalani hidup dengan yakin dan bersyukur”, adalah
contoh upaya membangun sikap yang lebih arif dan mendorong semangat bagi diffabel. Fase
selanjutnya adalah konseling seputar hal‐hal praktis dalam mengelola dan menjalani
kehidupan. Beberapa lontaran berikut ini menunjukkan pertanyaan dan keluhan yang sering
diutarakan oleh diffabel : .....”Bagaimana tho mbak caranya pakai tongkat tetapi bisa
mengangkat barang?” Atau dalam kasus paraplegia –penderita patah tulang belakang dan
lumpuh, beberapa hal ini sering diutarakan, ”Bagaimana sih caranya pakai pampers?”, atau ada
juga yang bertanya, ”Kalau kayak begini, sama suami/istri bagaimana ya?” Dan menariknya,
menurut penuturan Mbak Tari, beberapa pertanyaan ini, lebih mudah dan lebih sering
ditanyakan kepadanya dan teman‐teman sesama relawan diffabel, dibandingkan kepada tenaga
medis yang merawatnya.
47
IV. FASE REHABILITASI – REKONSTRUKSI : KEMBALI KE ASAL??
IV. 1. Kerja Produktif : Yang Kecil Namun Subtil
Dampak langsung dari bencana juga menunjukkan kecenderungan terkait dengan peran
gender dalam kerja produktif. Di Nicaragua, data di Social Audit yang dilakukan pada Februari
1999 menunjukkan bahwa sebagai dampak dari badai Mitch, sebanyak 24% rumah tangga
kehilangan sumber pendapatannya, dimana mayoritas diantara mereka adalah rumah tangga
dengan kepala rumah tangga perempuan. Datanya juga menunjuk 32% keluarga petani yang
kepala rumah tangganya perempuan tidak bisa bertanam pada tahun berikutnya, sementara
rumah tangga dengan kepala rumah tangga laki‐laki hanya 23%. Riset yang dilakukannya
tahun 2000 juga menunjukkan perubahan dalam aktivitas produktif perempuan sebelum dan
dalam pertanian setelah Mitch, sementara hanya 20% perempuan dalam keluarga dengan
kepala rumah tangga laki‐laki yang meneruskan menjadi petani. Dengan kata lain, badai Mitch
mengurangi ringkat partisipasi perempuan dalam kerja di area pedesaan 41 .
Begitu juga dengan gempa, yang membuat banyak kerusakan dan kerugian. Bagi petani,
sawah tidak bisa digarap karena saluran irigasinya rusak terkena gempa. Akibatnya, petani
menganggur. Begitu juga dengan pengrajin aci seperti Bu warsinah dan banyak perempuan
dusun Nangsri, Srihardono, Pundong, peralatan gerabah yang dipergunakan untuk membuat
tepung aci hancur karena terkena reruntuhan rumah. Akibatnya, selama setengah tahun setelah
gempa, praktis mereka tidak bekerja dan tidak memperoleh pendapatan. Lantas, bagaimana
mereka menyambung hidup? Selain dari bantuan yang saat itu masih banyak mereka terima,
mereka juga menjual asset yang dimiliki. Menurut Bu War :
...”Selama setengah tahun pasca gempa, kami menjual 6 ekor kambing, satu demi satu, kalau
sedang membutuhkan uang. Kambing ini memang sengaja kami sisihkan dari penghasilan
48
menjadi pengrajin aci, dan kami gunakan sebagai tabungan dan cadangan untuk keperluan yang
tidak rutin. Dari inilah kami bisa hidup walaupun praktis kami tidak bekerja selama setengah
tahun tersebut..”
Selama waktu tersebut, waktu dan tenaga yang mereka miliki tercurah untuk membersihkan
rumah dari puing‐puing, menyelamatkan bagian dan material bangunan rumah yang bisa
dipergunakan kembali, dan membangun rumah sementara selain tetap terlibat dalam aktivitas
kemasyarakatan.
Lantas, apa saja bentuk‐bentuk kerelawanan dalam kerja di sektor produktif? Salah satu
bentuk kerelawanan dalam kerja produktif adalah memulihkan kembali usaha sambil
menghidupkan organisasi pengrajin, seperti yang dilakukan pengrajin tepung aci di
Srihardono. Gempa memang sempat membuat usaha mereka terhenti, karena sarana produksi
banyak yang hancur bersama dengan keruntuhan rumah mereka. Sambil menghidupkan
kembali usaha, mereka merumuskan masalah dan solusinya, serta berbagi sumber daya dan
informasi melalui organisasi, sebagaimana yang dilakukan perempuan pengrajin tepung aci ini.
Buat perempuan yang sebelumnya hanya terlibat dalam urusan kerja domestik dan kegiatan
seputar pembuatan tepung aci dan produk turunannya, kegiatan berorganisasi sebelum
bencana belum banyak dilakukan.
justru beranggotakan laki‐laki yang istrinya menjadi pengrajin aci. Hal ini juga dibenarkan oleh
Pak Asy’ari yang merupakan suami Bu warsinah, yang mengatakan inilah salah satu penyebab
mandegnya kelompok pengrajin aci. Kebetulan pada waktu itu, beberapa saat sebelum gempa
terjadi, ada mahasiswa KKN sebuah universitas dikampungnya yang memfasilitasi transfer
organisasi pegrajin ke ibu‐ibu yang sebetulnya memang menjadi pengrajin. Bagaimana
perasaan ibu‐ibu waktu itu? Bu Warsinah mengatakan :
...’Wah ya pada awalnya banyak yang takut, ya pesimis lah. Wong kami nggak pernah punya
pengalaman berorganisasi, ya masak bisa tho, ngopeni kelompok? Tapi ya walaupun ada rasa
sedikit takut dan bingung karena tak punya bayangan, ya tetap kami terima....”
49
Sayangnya, belum sempat berjalan, gempa kemudian terjadi, dan denyut organisasi
beranggotakan kaum perempuan ini kembali mati suri dan digantikan kesibukan menata
kehidupan pasca bencana.
Tetapi, dibalik bencana, tak selamanya kerugian dan kemunduran yang terjadi, karena
bisa jadi terdapat hikmah di sebaliknya. Begitu juga dengan kelompok perempuan pengrajin aci
yang kemudian berhubungan dengan IHAP –sebuah NGO perempuan‐ dalam program
pemulihan ekonomi. Dalam hal ini, Bu War kembali menuturkan bahwa walaupun ia menjadi
menjadi ketua kelompok, tetapi keputusan penting selalu diambil secara musyawarah. Sebagai
pengurus bersama dengan anggota pengurus yang lain, menurutnya ia hanya menjalankan
keputusan anggota, apalagi karena dalam kelompok juga ada aturan mainnya.
Yang juga penting adalah kegiatan pengadaan kembali faktor produksi dengan
dukungan program ekonomi, yang bersama dengan dorongan ke arah mekanisme kolektif
dengan menghidupkan kembali kelompok pengrajin menguatkan proses dan kerja produktif
yang dilakukan oleh masyarakat. Bu Warsinah mengatakan :
...”Program dari LSM memungkinkan kami membeli kembali peralatan untuk membuat aci yang
rusak kena gempa. Selain itu, dengan proses kelompok yang sebelumnya macet dan didorong oleh
mereka, usaha kami menjadi lebih cepat bangkit. Memang kalau keahlian seperti membuat tepung
aci sudah kami miliki, tetapi ketrampilan seperti manajemen dan administrasi, dan bagaimana
menyiasati bahan baku dan pemasaran yang mereka ajarkan, membawa banyak manfaat untuk
kami..”
antar dusun. Dalam pemetaan masalah, teridentifikasi isu ketergantungan modal dan bahan
baku kepada tengkulak yang menjadikan pengrajin tak ubahnya buruh dengan catatan hutang
yang tidak sedikit. Masalah ini adalah salah satu masalah kunci yang diidentifikasi kelompok
Caranya?
50
...”Ketika stimulan dana turun, kami menyisihkan separuh lebih diantaranya untuk membeli
bahan baku dalam jumlah banyak. Ini membuat kami tidak tergantung lagi kepada suplai bahan
baku dari tengkulak. Begitu juga ketika menjual produknya, kami jadi lebih bisa menentukan
harga dan ini jauh lebih menguntungkan....”
Bagaimana awal mula persoalan ketergantungan bahan baku untuk usaha ini terjadi?
begitu mereka menyebut‐ yang juga warga dusun sebelah mereka. Dahulunya, mereka
mengambil bahan baku berupa ketela pohon mentah dari pasar Telo, di daerah Karangkajen
yang berjarak sekitar 25 km dengan naik sepeda. Tetapi sekarang, mereka mengandalkan
supply dari juragan karena lebih dekat dan lebih murah. Dari pasar Telo, bilamana barang
dagangan tidak laku, barulah dilempar ke pengrajin dan itupun hanya ketela sisa yang tidak
laku dijual untuk keperluan gorengan dan bahan baku makanan.
Apa perbedaan akses bahan baku sebelum dan sesudah ada kelompok? Mereka
mengatakan bahwa dengan kelompok, harga bahan baku menjadi lebih murah karena volume
pembelian yang lebih banyak dan dibayar secara cash. Keuntungan selisih harga inilah yang
kemudian dimasukkan sebagai kas kelompok. Selain itu, ketika masuk program pemulihan
ekonomi yang dibawa oleh LSM, kelompok ini menyepakati untuk mengalokasikan 70% dari
modal kelompok untuk pengadaan bahan baku, sementara sisanya sebanyak 30% yang diputar
untuk simpan pinjam. Pilihan ini didasarkan pengalaman di masa yang lalu, bahwa simpan
pinjam berisiko tinggi macet sehingga hanya sedikit yang diputar. Juga karena kebutuhan akan
bahan baku menjadi kebutuhan bersama yang dianggap penting. Walaupun begitu, mereka
tidak serta merta memutus hubungan dengan jurangan ketela di dusun mereka, melainkan
membeli langsung dari supplier sebagian dan sebagian yang lain tetap membeli ke juragan,
walaupun membeli langsung dari supplier sebetulnya lebih murah. Ketika hal ini ditanyakan,
mereka mengatakan bahwa ini justru untuk meminimalkan risiko, bila suatu waktu tak lagi
bisa membeli dalam jumlah banyak ke supplier, maka juragan masih bisa menjadi pemasok
bahan baku. Bila langsung diputus, mereka khawatir juragan akan marah, tidak mau memberi
ketela atau memberi dengan harga yang tinggi, dan akibatnya akan merugikan usaha mereka.
51
Salah satu kendala yang dihadapi dalam pengelolaan usaha berbasis kelompok adalah
tidak semua pengrajin menyambut baik berdirinya kelompok. Dari 27 pengrajin yang
diundang, 4 orang diantaranya tidak memenuhi undangan dan kemudian tidak menjadi
anggota kelompok, dan ini sudah diperkirakan sebelumnya. Hal ini karena dalam kegiatan
kemasyarakatan yang lain, mereka juga relatif enggan untuk menyisihkan waktu dan perhatian
untuk aktivitas komunal. Satu diantara mereka ini justru pengrajin besar, dengan omset sehari
sekitar 1 ton ketela mentah sebagai bahan baku, dan yang lain adalah tetangga dekat yang
terpengaruh oleh mereka. Sebagai pembanding, Bu War saja hanya mampu mengolah sekitar 2
ke bahan baku dan sarana penunjang usaha yang lain.
Kendala yang lain, selain warga yang sehari‐harinya bekerja sebagai pengrajin, mereka
juga menghadapi kondisi di mana hampir semua pengrajin aci musiman, yang hanya membuat
aci dimusim kemarau, tidak menjadi anggota kelompok.
Menurut Bu war, keberadaan pengrajin musiman di luar kelompok dengan ’kelakukan’
membanting harga inilah yang menjadi salah satu masalah utama yang dihadapi pengrajin saat
ini.
kembali usaha dan basis ekonomi produktifnya. Dengan cara yang khas perempuan, yang
komunal dan berbasis sumber daya kolektif, mereka tak hanya membuat usahanya yang
sempat ambruk karena gempa bisa bangkit kembali. Lebih jauh, mereka bahkan menjadikan
bencana sebagai momentum untuk perbaikan kehidupan dengan memutus rantai eksploitasi
oleh tengkulak terhadap usaha mereka.
52
IV.2. Yang Tercecer dari Pembangunan Kembali Rumah
Di sini, catatan penting yang muncul adalah terkait dengan keterlibatan kelompok
rentan dalam program pembangunan kembali rumah pasca gempa, yang menunjukkan masih
adanya lubang dalam hal partisipasi publik. Salah satunya adalah ketiadaan aturan secara
eksplisit tentang keterlibatan perempuan dalam kelompok masyarakat (Pokmas) sebagai organ
inti pelaksanaan pembangunan rumah yang menurut pemerintah adalah model yang
partisipatif. Aturan yang dimaksud disini adalah Pergub No 23 tahun 2006 tentang Petunjuk
Operasional (PO) Rehab Rekons Pasca Gempa di DIY. Ketiadaan aturan ini, membuat
banyak dusun. Sebagai catatan, setelah gempa, pemerintah pusat mengucurkan dana
pembangunan kembali rumah yang hancur melalui mekanisme pokmas untuk pengelolaan
dana dari APBN ini.
potensi peminggiran suara dan sekaligus juga kebutuhan perempuan memang terjadi. Di
Imogiri, kondisi ini nampak dari penuturan Mbak Siti, yang menuturkan praktek pelaksanaan
pembangunan kembali rumah didusunnya.
....Walau rumah kami rusak, nama kami dicoret dari daftar nama penerima dana pembangunan
rumah 42 yang diajukan dusun, bersama dengan tujuh nama lain di RT saya. Beberapa orang
yang rumahnya tidak rusak tetapi merupakan tokoh atau orang berada justru masuk daftar.
Setelah itu, dalam pencairan dana tahap ketiga, penerima dana yang dibagikan ternyata berbeda
dengan yang tertera dalam daftar. Beberapa nama lagi‐lagi dicoret, bahkan yang janda dan
rumahnya benar‐benar rusak. Yang menerima juga dipotong, katanya shodaqoh, sebesar Rp 5
juta per keluarga dari total dana Rp 15 juta yang seharusnya mereka terima...”
memang sangat mungkin terjadi, terlebih dalam program tanpa design khusus. Hal ini juga
53
keluarga perempuan adalah pihak yang dalam pemulihan menjadi yang paling akhir
mendapatkan giliran. Data dalam komposisi hunian sementara di 4 negara menunjukkan bahwa
seiring dengan penurunan jumlah populasi yang hidup di shelter, proporsi perempuan justru
meningkat secara tajam dan begitu juga dengan proporsi keluarga dengan kepala keluarga
perempuan, yang paling akhir pergi dari shelter. Dalam durasi dua minggu setelah badai Mitch,
proporsi keluarga dengan kepala keluarga perempuan yang menghuni shelter di Tegucigalpa
adalah sebanyak 41%. Setelah jumlah penghuni shelter menurun, proporsi mereka justru
meningkat menjadi 57%. Pada akhir tahun, jumlah orang Nicaragua yang hidup di shelter
menurun dari 65.000 menjadi 17.000 orang. Tetapi, proporsi perempuan justru meningkat tajam,
dari 48% menjadi 49.8%, dan begitu juga dengan keluarga dengan kepala keluarganya
perempuan 43 .
Di Bantul, apakah hanya keluarga dengan kepala keluarga perempuan yang menerima
dampaknya? Tampaknya tak hanya itu, karena peminggiran suara perempuan secara umum
bisa terjadi dalam banyak keluarga, bahkan ketika mereka mendapatkan dana dalam program
pembangunan kembali rumah. Bentuk‐bentuk seperti pengabaian terhadap area servis yang
menjadi ruang perempuan, dalam bentuk design yang tidak ramah atau tanpa dilengkapi akses
memadai bilamana terjadi bencana, bisa menjadi bentuk lain bencana gender dalam hal ini.
Dapur misalnya, karena seringkali dipinggirkan dan dianggap tidak terlalu penting, seringkali
diikuti dengan persoalan kualitas bangunan yang didapat. Karena tidak menjadi prioritas,
maka bahan yang digunakan lebih rendah kualitasnya, dan ini bisa meningkatkan
keterpaparan terhadap risiko ketika terjadi bencana 44 .
Tetapi, tak semua perempuan memilih bersikap diam dalam situasi seperti itu. Siti, yang
masih lajang dan berasal dari kalangan biasa menceritakan serangkaian upaya yang
termasuk hak keluarganya di dalamnya.
43
Gomariz, 1999, sebagaimana dikutip oleh Buvinic, op.cit.
44
Fatimah, 2007a, op.cit
54
.......” Saya mengirimkan surat protes ke DPRD dan Bupati dan melaporkan kejadian
pemotongan dana dan pencoretan nama dari daftar. Surat kami mendapat respon dan dusun
kami didatangi tim dari pemerintah kabupaten. Tapi hingga hari ini, prosesnya belum
selesai........”.
Langkah yang lebih jauh bahkan dilakukan oleh Mbak Endang yang tinggal di
Piyungan. Merasa gerah dengan kelakukan beberapa perangkat lokal di tempatnya, ia juga
melaporkan kasus pemotongan dan pencoretan nama kepada pemerintah kabupaten. Ketika
petugas kabupaten datang, nama‐nama yang dicoret dimunculkan kembali dan dana
pembangunan kembali rumah dicairkan sesuai dengan ketentuan. Tetapi setelah itu, masing‐
masing orang didatangi dan diminta potongan dengan beragam alasan.
........”Macem‐macem lah alasannya. Katanya potongan Rp 1 juta dengan kerelaan untuk
membangun jalan. Ada juga potongan untuk materai, untuk infaq. Mereka juga menekan warga
supaya tidak membocorkan informasi kepada petugas pengawas yang datang. Tetapi akhirnya
beberapa orang mengaku dan kemudian kepala desa ditegur oleh Bupati...”
tetapi menurut warga ini hanyalah siasat untuk mengelabuhi pemerintah kabupaten. Beberapa
saat setelah itu, perangkat yang nakal kembali bergerilya dan menagih ‘potongan’ dana.
Melihat itu, maka kemudian ia melaporkan kasus ini ke Kjaksaan Negeri Bantul.
Tapi rupanya, upaya‐upaya yang dilakukan para perempuan tangguh di atas dalam
melakukan pengawasan dan memperjuangkan hak masyarakat memang bukan jalan yang
mulus dan mudah. Tindakan Mbak Endang dibalas perangkat yang melakukan pemotongan
dengan memaksa warga untuk menandatangani surat pengusiran Endang dari dusun tempat
dimana ia tinggal. Tetapi warga tak mau mengikuti ini sehingga ia masih tetap tinggal di dusun
tersebut. Selain itu, bentuk tekanan yang lain adalah setiap malam, rumahnya selalu disatroni
oleh orang tak dikenal. Sementara itu, Siti mengaku bahwa teror demi teror ia terima dalam
beragam bentuk.
......” Saya diteror lewat sms, juga diancam kalau sampai pelakunya masuk penjara, kepala saya
taruhannya. Orang tua saya tidak siap dengan kondisi itu, apalagi karena pelaku pemotongan
55
masih saudara dan saya anak perempuan satu‐satunya. Saya sebetulnya mau diam saja, tetapi
kok nggak selesai‐selesai.....”
Belakangan, tekanan demi tekanan yang diterima membuatnya lebih banyak diam.
Dalam kultur masyarakat yang patriarkhis, perempuan yang diam adalah dianggap sebagai
kelaziman, sementara perempuan yang sering mengajukan protes dihadapkan pada tekanan
sistematis yang begitu kuat. Walau beberapa upaya ini belum menunjukkan hasil yang
banyak tekanan, adalah bukti‐bukti tak terbantahkan akan kekuatan dan kerelawanan
perempuan.
V. GENDER DALAM KERELAWANAN PEREMPUAN
Dari beberapa ilustrasi model‐model kerelawanan perempuan di atas, beberapa hal
menjadi pertanyaan yang penting untuk dijawab dalam riset ini. Beberapa pertanyaan tersebut
adalah :
Salah satu isu penting dalam analisa kerelawanan perempuan adalah melihat
pembagian peran antara laki‐laki dan perempuan di dalam suatu komunitas. Bagaimana
pembagian peran dalam pengelolaan dapur umum dan aktivitas masyarakat pada masa
darurat? Pak Dukuh Nangsri mengatakan :
....”Setelah satu minggu, dibentuk posko per RT dan disinilah ibu‐ibu memasak di dapur umum
secara berkelompok dengan pembagian jadwal yang disepakati bersama. Secara umum,
perempuan sibuk di keluarga dan RT masing‐masing karena juga harus mengurusi anggota
keluarga yang sakit atau cedera. Kalau bapak‐bapak tugasnya ya bersih‐bersih rumah...”
Begitu juga halnya dapur umum di Kadisoro, seperti yang diceritakan di atas, adalah ruang
dimana kaum perempuan beraktivitas.
56
Nampak dalam banyak situasi, pembagian kerja berbasis gender, juga nampak dalam
posyandu di Nangsri, pembagian peran secara tradisional di antara laki‐laki dan perempuan
masih tetap berjalan setelah bencana. Secara lengkap, pembagian ini nampak dalam tabel
berikut ini :
Tabel 3.3
Kerelawanan dan Pembagian Peran Pasca Gempa
57
menengah
Munculnya inisiatif pelibatan laki‐laki dalam kerja reproduktif dan juga mendorong
keterlibatan perempuan dalam area komunitas yang bukan hanya ruang untuk perempuan
seperti posyandu dan PKK, ternyata banyak dipengaruhi oleh interaksi komunitas dengan
lembaga kemanusiaan yang bekerja untuk kondisi pasca bencana. Keharusan pelibatan
perempuan atau program khusus untuk perempuan dalam program mereka menjadi faktor
pendorong mulai munculnya perempuan di area publik. Hal ini juga dikonfirmasi dalam FGD
tentang Perempuan dan Kerelawanan yang diikuti baik oleh perwakilan masyarakat,
pemerintah, ormas maupun NGO yang diselenggarakan pada tanggal 6 Februari 2008.
Sayangnya, inisiatif ini tidak nampak dalam program‐program pemerintah, baik di tahap
tanggap darurat maupun tahap rehabilitasi‐rekonstruksi. Dalam program ini, asumsi netral
gender yang dipakai, menganggap bahwa tak ada masalah gender yang harus diintervensi,
sehingga pendekatan ini mengasumsikan akan membawa manfaat yang sama baik bagi laki‐
58
laki maupun bagi perempuan. Dalam kenyataannya, pendekatan netral gender ini, ketika
diterapkan ternyata membawa dampak yang tidak netral, karena menjadikan peminggiran
perempuan dalam banyak area yang berhubungan dengan kehidupan mereka. Contoh kasus
yang nyata untuk ini adalah peminggiran perempuan dalam pembangunan rumah, sebetulnya
juga menjadi kebutuhan perempuan seperti halnya laki‐laki.
Namun, dari ilustrasi dimuka, juga nampak bahwa upaya menerobos sekat dan
pembagian peran gender yang tegas tidak selalu berjalan mulus. Dalam kasus kontrol dana
pokmas, sebagaimana pengalaman Mbak Siti yang diurai dimuka, tantangan yang dihadapinya
menunjukkan betapa perempuan biasa seperti dirinya dianggap tidak pantas melakukan upaya
kontrol perilaku korup yang dilakukan oleh (laki‐laki) penguasa. Aspek gender dalam
ketakutan terbongkarnya kasus korupsi dana, tetapi juga ditambah kegeraman bahwa hal ini
dilakukan oleh seorang perempuan biasa seperti Mbak Siti. Resistensi terhadap gugatan
konsep perempuan yang baik, pasrah dan nrimo dari kacamata male‐dominated society, ini begitu
kuat dan mewujud dalam serangkaian tekanan, ancaman dan intimidasi yang muncul.
V.2. Akses dan Kontrol : Sebagian Tetap Tak Terjamah
Walaupun banyak contoh yang menunjukkan kerelawanan perempuan dalam bencana,
otomatis diikuti dengan pelibatan perempuan dalam proses pengambilan keputusan. Kondisi
yang sama juga ditemukan di El Salvador, dimana perempuan mencatat perbedaan dalam
tugas yang dilakukan oleh mereka dengan yang dilakukan oleh laki‐laki. Perempuan
mendistribusikan bantuan darurat, tetapi keputusan tentang distribusi tetap saja di tangan laki‐
59
laki. Dengan kata lain, perempuan terlibat dalam distribusi secara fisik, tetapi tidak dalam
proses pengambilan keputusan 45 .
Bagaimana dengan kondisi di Bantul? Ada banyak pengalaman yang sedikit berbeda,
karena dalam situasi macetnya pranata negara dalam situasi darurat, banyak perempuan yang
justru mengambil posisi dan mencuri start dengan tampil kemuka dalam mengatasi masa
krisis. Pengalaman Bu Wanti dan teman‐teman di Kadisoro, sebagaimana pengalaman Mbak
Siti yang menjadi satu‐satunya koordinator posko dusun yang perempuan, menunjukkan
tampilnya latent leader perempuan yang tangguh dan tanggap mengatasi situasi darurat.
Walau begitu, ini tidak terjadi di semua tempat, sebagaimana menurut penuturan Pak
Dukuh Nangsri, kepengurusan posko yang mengatur jalur masuk dan distribusi bantuan,
hampir semuanya laki‐laki. Dan pola ini terulang kembali dalam fase rehabilitasi dan
rekonstruksi, dimana peminggiran perempuan dari akses dan apalagi kontrol terhadap
pengambilan keputusan dan pengelolaan sumber daya khususnya di area publik nampak
dengan kuat. Dan ini terjadi di banyak tempat, bahkan tempat dimana pada masa tanggap
darurat, perempuan telah maju ke muka. Hal ini terjadi secara sistematis karena kebijakan
pemerintah yang mengatur pembangunan kembali rumah dalam fase ini justru membawa
dampak berupa pengabaian sistematis perempuan dari area publik. Walau begitu, sebagaimana
diungkap dalam sub bab dimuka, inisiatif yang dilakukan perempuan disini, juga perlu dilihat
dan diukur kontribusinya untuk akses, kontrol dan manfaat yang adil dan setara.
komunitas/publik? Adagium lain yang juga banyak dipakai adalah bahwa penguatan ekonomi
perempuan secara otomatis akan memperkuat posisi tawar perempuan. Dalam banyak ilustrasi
dimuka, mulai meningkatnya posisi tawar perempuan yang secara ekonomi dan sekaligus juga
publik mulai nampak seperti kasus pengrajin tepung aci, ternyata masih dihadapkan pada
akses dan terlebih lagi kontrol yang terbatas, untuk area strategis berupa pengambilan
45
Bradshaw, ibid.
60
keputusan. Tentang ini, Wawan dari IHAP yang mendampingi ibu‐ibu pengrajin aci ini
mengatakan bahwa walau sudah mulai menunjukkan bukti, tetapi masih banyak keputusan
strategis yang tereksklusi dari jangkauan perempuan. Ia mengatakan :
Tampaknya, kesetaraan tak hanya dalam akses tetapi juga dalam kontrol sumber daya
masih menjadi catatan bahkan bagi perempuan yang menghasilkan pendapatan bagi keluarga.
Secara singkat, peta akses dan kontrol serta manfaat dalam pengelolaan bencana di
Bantul nampak dalam tabel berikut ini :
Tabel 3.4.
Peta Akses dan Kontrol
61
nampak dalam situasi pasca perempuan. Kepemilikan asset
bencana. kebanyakan masih ditangan
laki‐laki.
Peta diatas menunjukkan bahwa kesetaraan dalam kontrol sumber daya memang bukan hal
yang mudah dan cepat bisa diraih. Proses negosiasi dan dialog tanpa henti dalam jangka yang
tidak pendek, tampaknya tetap perlu dilakukan di sini.
62
BAB IV
MODAL SOSIAL PEREMPUAN DALAM BENCANA
Di bab‐bab awal dari tulisan ini sudah dipaparkan mengenai kondisi perempuan Bantul
pada waktu bencana dan apa yang mereka lakukan untuk menghadapi situasi bencana.
Kerelawanan perempuan muncul dalam ragam bentuk di ranah yang beragam. Kerelawanan
perempuan merupakan kisah sukses usaha perempuan untuk membawa komunitasnya keluar
dari situasi krisis paska bencana. Peneliti menemukan fakta‐fakta lapangan bahwa sebagian
besar perempuan relawan dalam penanganan paska bencana merupakan perempuan yang
telah terbiasa menjadi relawan di komunitasnya. Karenanya, dalam bab IV ini peneliti merasa
penting untuk menyajikan ragam ruang dimana perempuan berproses sebagai relawan. Bagian
tersebut sebagai pengantar untuk mengulas lebih lanjut untuk mengenai modal social
perempuan dalam bencana.
I. RUANG PRODUKSI PEREMPUAN RELAWAN
diproduksi dalam mesin sosial dengan dimensi waktu yang panjang dan ruang yang beragam.
Perempuan relawan diproduksi dalam beragam ruang‐ruang bias gender yang mana secara
social, politik dan budaya dikonstruksi bagi perempuan (socially, culturally and politically
constructed).
Oleh karena itu, menganalisis kerelawanan tak bisa dilepaskan dari analisis atas relasi
kuasa antara negara dengan masyarakat, dalam hal ini perempuan. Dalam kasus Indonesia,
salah satu kritik yang muncul adalah kuatnya pandangan dan juga kebijakan yang
46
Suryakusuma, Julia, “ State-ibuism : the Social Costruction of Womanhood in New Order Indonesia”,
the Hague, thesis MA, Institute of Social Studies (ISS).
63
sebagai ibu rumah tangga adalah perpaduan dari unsur‐unsur terburuk dari paham golongan
petit‐bourgeois Barat dan masyarakat feodal Jawa. Gabungan ini menghasilkan potret
perempuan dibawah dominasi laki‐laki.
orde baru menjadikan ruang perempuan sebagai sesuatu yang bisa dengan mudah diciptakan,
dan sekaligus pula bisa dibatasi dan bahkan diberangus sesuai dengan kepentingan negara.
Tentu saja yang dimaksud di sini bukan hanya ruang dalam pengertian fisik, karena juga
mengacu kepada batasan ruang gerak, ide dan juga pola pikir. Ruang bagi perempuan, menjadi
sesuatu yang tidak natural, tidak kodrati karena ia adalah hasil dari proses pembentukan yang
panjang. Sementara itu, peran dalam perspektif sosiologi menunjukkan pola yang
komperhensif terhadap perilaku dan sikap, yang terdiri dari strategi untuk menyesuaikan diri
dengan kondisi dan karenanya bersifat socially identified 47 . Karenanya, pola peran ini berbeda‐
beda antar komunitas. Dalam banyak hal, peran menjadi dasar yang penting dalam
mengidentifikasi dan menempatkan seseorang dalam masyarakat.
a. PKK‐DASA WISMA
dalam skala nasional, memiliki cakupan lebih luas dengan menyasar secara spesifik ibu atau
perempuan yang sudah menikah. Walaupun keanggotaannya bersifat sukarela, tetapi pola
kepemimpinannya biasanya melekat dengan jabatan publik di semua level. PKK juga menjadi
bagian tak terpisahkan dari program pemerintah, terutama melalui posyandu dan program KB.
Relasi yang menjadikan perempuan sebagai pendamping suami juga nampak dari konsep
Panca Darma PKK yang berisi 5 konsep, yaitu perempuan sebagai istri pendamping suami,
pengelola rumah tangga, penerus keturunan dan pendidik, pencari nafkah tambahan dan
sebagai warga masyarakat. Salah satu studi yang dilakukan oleh Sullivan di salah satu
47
Turner, RH, “Role, Sociological Aspects”, dalam Sills, Davis L. (International Encyclopedia of the
Social Sciences”, New York, MacMillan, 1968-1979, (italics in the original), sebagaimana dikutip oleh
Dzuhayatin (2002), op.cit. .
64
kampung di perkotaan Jogjakarta menunjukkan, bahwa melalui PKK, tokoh perempuan
menjadi penghubung yang efektif antara wilayah teori dan pendekatan pembangunan yang
didominasi laki‐laki, dengan perempuan pada level praksis. Dalam PKK pula, tempat
perempuan tetaplah di rumah, walaupun konsep rumah mengalami perubahan sehingga
rumah dianggap sebagai area penting dalam pembangunan nasional. Sebagaimana tujuan
besarnya untuk pengendalian kehidupan politik, peran PKK sebagai jalur instruksi dari atas,
jauh lebih kentara daripada sebagai wadah dan ruang bagi perempuan di level terbawah.
Sullivan juga mengatakan, karena pendekatan ini cenderung tidak menaruh perhatian pada
struktur sosial yang ada 48 .
Dalam perjalanannya, peran penting yang diemban oleh PKK adalah sebagai jembatan
antara tujuan pembangunan dengan aktivitas organisasi perempuan. Begitupun PKK yang
terdapat di Kabupaten Bantul, Istri Bupati secara langsung diposisikan sebagai Ketua PKK
Kabupaten, begitupun dengan istri Camat dan istri Lurah di tingkat Kecamatan dan Desa.
Dengan struktur yang mengedepankan kekuasaan elite, PKK hanya menjadi ajang bagi
perempuan yang benar‐benar kuat yang bisa mengambil peran dalam pengambilan keputusan
politik. Akibatnya, perempuan biasa yang lain tereksklusi dari perdebatan seputar kebijakan
negara. Gambaran PKK yang bias elite dan kekuasaan ini terderivasi hingga level yang paling
lokal, seperti dusun maupun RT. Dalam substruktur pemerintahan dusun/RT masih
dimungkinkan bagi sejumlah individu perempuan yang berkapasitas untuk muncul sebagai
kader, meski ketika masuk dalam struktur PKK yang lebih tinggi kapasitas mereka tidak lebih
dihargai dibandingkan jabatan istri dari kepala pemerintahan.
Norma Sullivan, “Indonesian Women in Development : State Theory & Urban Kampung
48
Practice”, tanpa tahun.
65
b. Posyandu : Kerelawanan Dari Zaman ke Zaman
Selain PKK, ruang lain yang tersedia yakni ruang bagi kader kesehatan yang muncul
pada dekade 70‐an. Hal ini erat dengan peran dan pandangan yang menjadikan urusan
perawatan dan pengurusan kesehatan sebagai sangat berwajah perempuan. Pada tahun 1986,
setelah melalui proses pengkaderan dan pembinaan yang relatif luas, akhirnya disederhanakan
menjadi program pelayanan terpadu keluarga berencana dan kesehatan yang dinamakan Pos
Pelayanan Terpadu (Posyandu) yang bersifat sukarela. Posyandu ini secara struktural berada di
bawah PKK namun secara fungsional di bawah pembinaan puskesmas dan dinas kesehatan.
Tetapi, dalam studi yang dilakukan oleh Suratiyah menunjukkan bahwa terdapat
dilema dalam kerelawanan perempuan dalam posisi mereka sebagai kader. Ia
mempertanyakan, dengan beban ganda yang disandang perempuan, apakah kerelaan ataukah
justru yang terjadi adalah kondisi memaksakan diri? Dalam penelitiannya, ia menemukan
bahwa cukup banyak keluhan yang diutarakan oleh perempuan dengan keterlibatan mereka
dalam kader kesehatan. Ada beberapa cerita yang muncul dari kader kesehatan, organisasi
Kondisinya tidak jauh berbeda dengan yang ditunjukkan oleh penelitian Suratiyah mengenai
kader kesehatan di Kulon Progo, yang menunjuk ketangguhan perempuan kader
menampakkan buktinya dengan kerelawanan yang mengatasi banyak hambatan.
Di Bantul secara keseluruhan jumlah posyandu sebanyak 1902. Di Kecamatan Pleret
saja, jumlah kader kesehatan‐nya sebanyak 55 orang, diantaranya terdapat 1 orang laki‐laki
kader. Untuk mengerjakan tantangan kesehatan masyarakat yang besar, termasuk di antaranya
gizi buruk sebanyak 36 orang, kader kesehatan ini bekerja dengan 10 meja. Pola perekrutan
kader kesehatan melalui 2 metode, yakni penunjukan dan ditawarkan. Kegiatan posyandu
dilakuan rutin 1 bulan sekali, kegiatan diantaranya penimbangan balita, pemberian makanan
tambaan, penyuluhan kesehatan. Namun disamping kegiatan periodic tersebut, kader yandu
66
juga diberi beban untuk melakukan pemantauan kesehatan masyarakat yang dilakukan
dengan intensif, serta pendataan gizi buruk 49 . Dengan beban kerja yang besar, praktis para
kader yandu bekerja tanpa batasan waktu yang jelas serta tanpa kompensasi yang memadai.
c. “Sambatan” dan “Rewang”
Di luar kegiatan pembangunan sebagaimana tersebut di atas, perempuan‐perempuan di
jawa terikat pada peran pelayanan ritual kemasyarakatan. Dalam setiap siklus hidup
masyarakat jawa biasanya dilakukan upacara selamatan. Masyarakat Bantul hingga sekarang
rata‐rata masih menjalankan ritual ini. Mulai dari seorang bayi lahir, sunatan, menikah hingga
makanan dalam jumlah besar. Secara masal dan kolektif perempuan yang bertempat tinggal di
sekitar rumah pemilik hajatan memasak makanan untuk disediakan kepada tamu yang datang.
Aktivitas yang disebut sambatan ini bisa berlangsung mulai dari 3 sampai 7 hari berturut‐turut.
Perempuan yang datang disebut nyambat/rewang (menolong). Untuk aktifitas sosial yang
dilakukannya itu dia tidak mendapat imbalan berupa uang karena bila nanti dia mempunyai
hajat, tetangganya akan melakukan hal yang sama padanya. Sambatan dan Rewang merupakan
kegiatan yang secara wajar diterima sebagai kerja perempuan terkait dengan aktivitas dapur
sebagai tanggung jawab perempuan. Kegiatan ini terpola melalui ideologi pembagian kerja
di ruang publik tersebut.
II. FAKTOR‐FAKTOR YANG PENDORONG KERELAWANAN PEREMPUAN
dan sifatnya sangat personal. Pencapaian atas rasa nyaman dan aman bagi diri sendiri,
pemenuhan eksistensi sebagai perempuan sekaligus ibu bagi sosial merupakan bagian dari
faktor‐faktor personal tersebut. Kebutuhan atas rasa nyaman dan aman bagi diri sendiri di
tengah situasi bencana merupakan bagi setiap orang yang berada di tengah krisis bencana.
Namun tidak banyak yang memilih keluar dari situasi ini. Pengalaman Gempa di Bantul juga
menunjukkan bagaimana relawan komunitas memilih untuk bergerak menolong sesamanya di
tengah kepanikan, tangis dan putus asa yang melanda sebagian besar warga masyarakatnya.
Dengan melakukan sesuatu yang bermakna bagi sesama sesungguhnya relawan komunitas
tengah mencari makna dirinya ditengah situasi bencana yang memposisikan manusia kembali
ke ”titik nol”.
Dengan menjadi relawan di komunitasnya, perempuan menjadi subyek yang aktif untuk
mengetahui informasi mengenai situasi sosial dan alam yang tengah berubah. Perempuan yang
menjadi relawan komunitas lebih mudah untuk mengadaptasikan dirinya sehingga dia
terkurangi kerentanannya atas dampak bencana. Potret kerelawanan perempuan di komunitas
kepasrahan manusia atas dampak bencana merupakan kisah yang umum terjadi di setiap
bencana. Banyak perempuan mauun laki‐laki yang masih terus menangis, meratapi
adalah ketika perempuan‐perempuan memulai lagi usaha‐nya dan inilah cerita yang banyak
lagi geliat ekonominya. Sedikit atau banyak usahanya tersebut menjadi inspirasi bagi banyak
perempuan lain untuk bangkit memandirikan dirinya. Sementara itu, dalam jumlah yang lebih
perempuan yang tidak butuh makan, namun panggilan hati mereka untuk mengurangi
68
dampak lebih lanjut dari bencana membuat mereka terpanggil untuk berbuat sesuatu. Itulah
potret sesungguhnya dari ”tidak pasrah”.
Faktor lain yang mendorong perempuan untuk bergerak acapkali berada di luar kesadaran
mereka. Mereka menyatakan dengan bahasa sederhana ”kalau tidak perempuan ya siapa lagi,”
itulah sebagaimana dinyatakan oleh Ketua Kantor Pemberdayaan Perempuan Propinsi DIY.
biasa di ”timpa”kan kepada perempuan. Cara pandang ini sebenarnya berakar dari ideologi
perempuan sebagai ibu rumah tangga yang selalu di sosialisasikan dalam program‐program
pokok PKK. Perempuan dibiasakan untuk tidak bisa tutup mata atas realitas sosial, untuk tidak
berhitung dengan besaran energi yang harus mereka keluarkan, untuk tidak menuntut
penghargaan apapun atas keberhasilan kerja sukarela mereka.
perempuan relawan menjadi tidak gugup ketika harus melakukan kerja kerelawanan pada
masa bencana. Meski secara umum situasinya berbeda dengan kondisi keseharian, namun para
perempuan ini tidak mengalami banyak kendala. Akar alasannya adalah karena para
perempuan ini terbiasa untuk bekerja dalam situasi dimana tidak ada support dan dorongan
yang memadai baik dari negara mapun pejabat pemerintahan terkecil. Mereka terbiasa
mengembangkan mekanisme spontanitas dan berinivasi dalam keterbatasan fasilitas. Sehingga
tidak mengherankan, ditengah kemacetan birokrasi pemerintahan dari pusat sampai dusun,
para perempuan dusun ini telah siap untuk memulai lagi kegiatan Posyandu. Di Bantul,
aktivitas pembangunan yang paling cepat bangkit adalah Posyandu yang digerakkan oleh
kader‐kader kesehatan yang notabene adalah perempuan‐perempuan relawan.
69
C. MODAL SOSIAL KERELAWANAN PEREMPUAN
Menurut Putnam, modal sosial merujuk kepada ciri‐ciri organisasi sosial sepeti jaringan,
norma dan kepercayaan yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama untuk kepentingan
bersama (Putnam 1995,67). Merujuk pada penelitian mengenai modal sosial dan gender di
Afrika tahun 1993‐1998 (John A. Maluccio, lawrence Haddad and Julian May 2003 hal 147),
penelitian ini menemukan hasil yang serupa. Jaringan sosial dapat diklasifikasi dalam dua tipe :
the individual’s bound network, di dalamnya terdapat saudara yang terhubung dengan kewajiban
yang kuat berdasarkan peran kekerabatan, dan the achieved network termasuk seluruh kontak
personal yang diperoleh bukan melalui kelahiran dan jaring kekerabatan melainkan melalui
pengalaman. Di dalamnya terdapat jaring personal yang berbasiskan pengalaman lama,
keanggotaan dalam lembaga dan organisasi berbasis komunitas. Jaring personal tipe kedua ini
sering menjadi dasar dari saling tolong menolong yang berbasis kesukarelawanan antar
individu.
Dua tipe jaringan di atas memenuhi fungsi yang berbeda. Bound network berguna untuk
mengurangi mobilitas sosial ke bawah ketika terjadi kondisi yang mengguncang, sedangkan
achieved network berguna untuk mobilitas sosial ke atas. bound network secara khusus sangat
bermanfaat bagi perempuan, yang mana seringkali memikul beban atas situasi krisis lebih
daripada laki‐laki, terutama untuk krisis konsumsi. Namun fenomena achieved network
meluas kepada perempuan, terutama perempuan yang mempunyai pekerjaan di luar
komunitasnya dan terlibat pada organisasi‐organisasi di luar komunitas. Hasil penelitian ini
masih menunjukkan karakter khas dimana perempuan cenderung membangun kontak sosial
kepada sesama perempuan, baik dalam komunitasnya maupun di luar komunitasnya. Kontak
sosial itu bisa diiniasi dari dalam komunitas perempuan maupun dari kelompok perempuan di
luar komunitas yang memiliki kontak di dalam komunitas penyintas. Sebagai contoh: PKK
Provinsi DIY melakukan kerja paska bencana dengan membantu komunitas perempuan di 3
70
Kecamatan di Kabupaten Bantul 50 , perempuan anggota ormas KPI di Dusun Kadisoro meminta
dukungan dari rekan‐rekannya di Kabupaten lain di Propinsi DIY untuk membantu
komunitasnya.
Di bawah ini adalah ilustrasi bagaimana perempuan membangun modal sosial. Selain itu
ditunjukkan juga bagaimana eksternalitas berperan dalam memupuk suburkan modal sosial
perempuan. Pengambilan kisah sukses untuk tulisan ini berbasis pada inisiatif yang
menunjukkan modal sosial sebagai element utama.
a. Kerjasama Internal Komunitas
lekat dengan masyarakat Jawa, terutama pedesaan. Kerjasama internal komunitas ini pun
terdiferensiasi secara gender. Perempuan biasanya bekerjasama untuk urusan domestik seperti
memasak untuk publik (sambatan/rewang dalam hajatan), kerjasama dalam pertukaran tenaga
kerja pertanian, serta urusan afeksi yang sifatnya resiprositas (menjenguk orang sakit,
menengok orang sakit atau hajatan). Sekalipun kerjasama itu merupakan tradisi, namun negara
telah melakukan kooptasi dengan dalih partisipasi 51 , semisal laki‐laki membangun gardu ronda
dan perempuan memasak untuk logistik laki‐laki yang bekerja. Pola yang tersosialisasi secara
kultural maupun secara struktural itu begitu membekas menjadi pagar konstruksi perempuan.
Dengan dalih partisipasi pula perempuan dibiasakan untuk terlibat dalam kegiatan sosial
kolektif tanpa mendapat imbalan material, kegiatan ini antara lain posyandu, kader kesehatan,
PKK. Buah baiknya memang perempuan memiliki akses untuk bertemu dengan kawan
sejawatnya, namun ini adalah benih dari kontrol sosial negara terhadap perempuan.
50
Wawancara dengan Sudjati Sunarto, pengurus PKK Propinsi DIY, sekarang menjadi anggota DPRD
Proponsi DIY, Maret 2008
51
Mengenai kooptasi negara atas komunitas lebih lanjut lihat Bowen, John R (1986), “On the Political
Construction of Tradition: Gotong Royong in Indonesia, The Journal of Asian Studies vol 45, no 3, (May
1986), pp. 545-561. Bisa diakses melalui: www.jstor.org/stable/2056530
71
Penelitian kami menunjukkan bahwa perempuan yang terbiasa dengan kerja sosial kolektif,
perempuan yang terorganisir dalam kegiatan keperempuanan cenderung lebih peka dan
tanggap untuk merespon kondisi bencana. Namun kami merasa harus berhati‐hati untuk tidak
mengambil kesimpulan tergesa bahwa kepekaan perempuan itu adalah berkat konstruksi
kultur dan struktur yang tidak adil. Bagaimanapun juga, kami lebih melihat faktor blessing in
disguise dalam kebetulan itu, karena sesungguhnya gempa juga menunjukkan tanpa kendala
kultur dan struktur, secara natural perempuan lebih bisa menunjukkan partisipasi dalam
tataran yang lebih luas.
Produksi modal sosial dalam komunitas difasilitasi oleh struktur sosial dalam bentuk
perkumpulan‐perkumpulan sukarela, kegiatan sosial kolektif. Perempuan yang terbiasa terlibat
bertemu lebih banyak orang dan membangun relasi sosial yang lebih dalam dan menjadi lebih
terlibat dalam kehidupan publik. Dalam relasi sosial semacam ini perempuan memupuk
pengetahuan mereka tentang sistem sosial komunitasnya. Pengetahuan ini berguna sebagai
dasar untuk merespon kondisi sosial yang berubah karena bencana. Perempuan‐perempuan
yang terlibat dalam respon tanggap darurat gempa menyatakan bahwa mereka dengan cepat
tanggap bahwa keadaan berubah. Bencana yang mengacaukan rutinitas sosial butuh disikapi
dengan peka tanggap sekaligus tidak panik. Argumen yang dimunculkan perempuan‐
perempuan ini adalah ketika mereka panik maka siapa yang akan menolong kawan mereka
yang telanjur panik. Sejumlah perempuan yang terlibat dalam distribusi bantuan bencana
menunjukkan mereka lebih tahu kelompok mana yang lebih rentan dan memerlukan bantuan
khusus, misal kelompok lansia, kelompok termiskin, dan anak‐anak.
Dapur umum merupakan contoh kerjasama internal komunitas yang paling tampak dan
masif hampir di seluruh komunitas. Penelitian kami menemukan dapur umum
yang tengah berubah. Dapur umum merupakan representasi atas solidaritas pada sesama
72
anggota komunitas serta meningginya kebutuhan atas rasa aman. Dalam dapur umum terdapat
pembagian peran antar individu pembentuknya, struktur sosial dalam bentuk yang paling
sederhana terbangun dengan keberadaan pemimpin informal dan anggota‐anggota.
informal di dapur umum adalah perempuan yang terbiasa dengan perkumpulan sukarela dan
kegiatan sosial kolektif. Pemimpin informal ini lah yang biasanya melakukan inisiasi
bantuan serta melakukan pembagian peran.
Dapur umum secara struktural berkait dengan keberadaan posko tanggap gempa. Secara
umum posko ini tersegregasi dalam satuan wilayah yakni: dusun, RT, dasawisma. Posko
menjadi ruang kolektif dimana aktivitas keseharian baik istirahat, rapat, belajar,
mengumpulkan dan mendistribusikan bantuan, merawat orang sakit termasuk di dalamnya
aktivitas memasak dalam dapur umum. Tidak terpisahnya posko tanggap gempa dan dapur
umum melumernya ruang segregasi antara ruang laki‐laki dan ruang perempuan. Konstruksi
ruang ini memungkinkan perempuan, anak‐anak dan kelompok marginal lain yang tak pernah
terlibat dalam pembuatan kebijakan untuk terlibat dan didengar suaranya.
Dapur umum sebagai siasat partisipasi perempuan menemukan peran vitalnya ketika
perempuan bisa terlibat dalam pembuatan kebijakan kolektif dan memastikan suaranya
didengar. Sejumlah perempuan yang mengikuti rapat di posko tanggap gempa menceritakan
bahwa mereka menemukan suasana hangat di mana bapak‐bapak mendengarkan suara
mereka, serta menghitung peran vital ibu‐ibu dalam menjaga keberdayaan komunitas melalui
keberadaan dapur umum.
Secara umum dapur umum menunjukkan menguatnya dimensi bonding social capital.
Kebutuhan yang membesar atas rasa aman mendorong solidaritas internal komunitas. Mereka
yang berkumpul bersama dalam dapur umum mengaku tak lagi ada batas satu sama lain,
mereka berbagi sumber daya yang masih dipunya di rumah tangganya untuk kebutuhan
73
bersama. Tipologi modal sosial Putnam yang menekankan pada pembangunan jaringan
internal menunjukkan ditengah menguatnya bonding social capital, bridging social capital tidak
berkembang secara sama. Solidaritas internal sekaligus menjadi pembatas bagi solidaritas
ekstenal. Kasus ini ditunjukkan dengan minimnya kapasitas kelompok yang tersatukan dalam
dapur umum ataupun posko tanggap gempa untuk berbagi sumber daya yang dimilikinya
memastikan keamanan hajat hidup kelompoknya dalam jangka panjang. Meski demikian
fenomena ini tidaklah rata, penelitian kami juga menemukan perempuan‐perempuan yang
bersedia membagikan bantuan yang banyak ke RT atau dusun lain.
b. Potret Kerjasama Komunitas Perempuan Dengan Eksternalitas
Ketika gempa, penyintas merasa kehilangan kapasitas untuk mengatasi keadaan abnormal.
Meski demikian inovasi untuk beradaptasi maupun siasat untuk keluar dari situasi krisis sering
tidak tersolusikan oleh pemimpin formal. Banyak dari pemimpin formal yang justru patah
menghadapi kondisi yang di luar hukum kebiasaan. Dalam situasi seperti ini, eksternalitas
dengan lebih mudah masuk ke dalam komunitas. Agent‐agent pembangunan, baik pemerintah
maupun organisasi non pemerintah lebih mudah diterima. Namun sayang, dalam penanganan
gempa bumi Jogja, pemerintah tidak sigap dalam membuat kebijakan yang memudahkan
rakyatnya untuk mengambil pilihan tindakan keluar dari situasi krisis. Bahkan aparat sebagai
sebuah sistem birokrasi tidak bekerja dengan peka dan tanggap.
Potret umum kerjasama kelompok perempuan dengan eksternalitas
Catatan menarik justru ditorehkan masyarakat sipil baik sebagai kumpulan individu dan
pada khususnya NGO (termasuk didalamnya LSM lokal maupun International NGO). Mereka
dengan cepat memobilisasi sumber daya. Mereka tak jarang memainkan jaringan non formal
untuk menembus sungkut sengkarut birokrasi yang turut diterpa gempa. Pernyataan ini
dikuatkan oleh Johannes De Massinus Arus manager Genassist CRWCC, bahwa jalur informal
melalui masyarakat cenderung lebih efektif selain juga mematahkan rantai korupsi oleh aparat
74
formal. Pernyataan ini dikuatkan oleh Rommy Heryanto, Staff Yayasan Ranissa Jogjakarta
bahwa membangun kontak dengan komunitas perempuan di desa, terutama yang
terkonsolidasi dalam kader kesehatan dan POSYANDU lebih efektif dibandingkan membangun
kontak dengan aparat birokrasi setempat. Menurut Rommy, para kader kesehatan tersebut
memiliki data penduduk yang ter‐up date secara rutin dan mereka juga mengetahui dengan
lebih detil kondisi masing‐masing rumah tangga.
Memang kondisi sinergi antara NGO dengan masyarakat, terutama perempuan dikuatkan
juga dengan melonggarnya norma pembagian peran berbasis gender dalam situasi paska
bencana. Pelonggaran itu dibuktikan dengan banyaknya perempuan yang muncul ke
permukaan dan terlibat dalam pengambilan kebijakan publik. Namun pelonggaran itu bukan
fenomena yang rata. Dalam beberapa kasus advokasi, justru sejumlah perempuan menuai
badai ketika berusaha menembus ruang pengambilan kebijakan publik yang misoginis. Semisal
pengalaman advokasi hak dana rekonstruksi yang diperjuangkan oleh Siti dan Endang 52 .
Ketika mereka berdua berusaha untuk terlibat dalam rapat‐rapat kelompok paksa, akses
informasi kepada mereka bahkan ditutup dan mereka menerima hujatan, kecaman dan
ancaman. Upaya mereka berdua yang tidak secara penuh berhasil melakukan advokasi
kebijakan justru merupakan potret patriarki yang masih sangat kuat melampaui kapasitas
perempuan untuk bergerak secara individual.
Dalam temuan kami partisipasi perempuan di dalam ruang pengambilan kebijakan formal
tidak terjadi dengan otomatis. Bahkan tidak mudah terjadi bila hanya diserahkan kepada
komunitas lokal. Ruang pengambilan kebijakan formal identik dengan ruang ”organisasi laki‐
PKK, Dasawisma, pengajian ibu‐ibu, kader Yandu, kader kesehatan dan tidak diberi ruang
yang sama untuk masuk ke ruang organisasi ”laki‐laki.” kalaupun ada sejumlah perempuan
yang terlibat dalam pengambilan kebijakan formal, mereka tidak diberi hak yang sama untuk
52
Penjelasan yang lebih mendatail tentang Siti dan Endang telah dituliskan dalam bab III, sub bab “Yang
Tercecer dari Pembangunan Kembali Rumah” halaman 47. Profil Endang Maryani diakses melalui
wawancara serta Profil dalam Buletin Independen halaman 4, edisi III tahun 2007.
75
bersuara. Disitulah peran NGO menjadi penting dalam mendorong meningkatnya partisipasi
perempuan sekaligus membuka celah bagi partisipasi perempuan. Siasat inilah yang tidak
selalu dimainkan oleh NGO. Menurut Deddy Purwadi, Koordinator Lapangan Jejaring Ford
Foundation (JFF) untuk penanganan gempa Jogja –sebuah jaringan yang bekerja di lima dusun
pasca gempa dan beranggotakan 12 NGO‐, LSM yang tidak secara khusus menegaskan diri
sebagai LSM perempuan masih lemah dalam memainsteaming‐kan gender ke dalam
program juga dipengaruhi oleh sosok individu pemegang program maupun community
organizer. Biasanya pemegang program dan community organizer perempuan relatif lebih
peka terhadap permasalahan perempuan yang mereka temui di lapangan dibandingkan laki‐
laki.
Tekanan dari luar, petunjuk maupun intervensi seringkali diperlukan dan tentu saja
dukungan sumber daya finansial, teknis serta dukungan kebijakan/peraturan juga sangat
penting. Dalam situasi ketika perempuan terkendala secara legal maupun kultural dalam
berpartisipsi, NGO memainkan peran sebagai pembuka katup, meski kunci dari terbukanya
katub terdapat dalam komunitas itu sendiri. NGO bisa melakukan lobby‐lobby kepada elite
kelompok merupakan kunci untuk meningkatkan kontrol perempuan terhadap sumber daya,
sekaligus memastikan mendapatkan manfaat dari partisipasinya.
Perempuan dimungkinkan juga untuk membuat jaringan formal dan informal untuk
menanggulangi kondisi yang mengguncang dan juga untuk memastikan bahwa pandangan
mereka diakomodasi terutama apabila tata aturan formal membatasi partisipasi mereka.
Keluarga dan jaringan perkawanan mempunyai catatan sejarah sebagia penyedia jaminan
sosial, namun memang tidak selalu memadai untuk golongan yang terlampau miskin, dalam
kondisi alam yang mengguncang maupun terdapat perubahan luas yang meluluhlantakkan
lembaga penyedia perlindungan tersebut. Perempuan yang tidak menjadi anggota formal
dalam organisasi bisa jadi menggunakan cara informal untuk memastikan terpenuhinya
76
kebutuhan mereka, misal dengan jalan menyalurkan pandangan mereka melalui suaminya
maupun saudara lelakinya, sebagaimana juga memastikan mendapat informasi dari mereka.
Pengalaman JFF mencatat sebuah pengalaman menarik dimana sebagian besar organisasi
yang masuk dalam dusun mengambil perempuan sebagai beneficiaries, kader, anggota. Rifka
Annissa sebagai LSM yang menaruh perhatian pada masalah perempuan mengambil
perempuan sebagai kader, isu pokok yang mereka tangani adalah kekerasan berbasis gender
dan kesehatan reproduksi. Begitupun ASPPUK sebagai asosiasi perempuan pengusaha kecil
mengambil kelompok perempuan usaha kecil, mikro sebagai anggotanya. Perhimpunan IDEA
meski tidak secara khusus menempatkan perempuan sebagai anggota kelompok namun
mereka berusaha mengambil komposisi gender yang rata dalam kelompok belajar anggaran.
KPI Wilayah DIY di satu dusun yang menjadi area programnya menegaskan affirmative action
kepada perempuan sebagai beneficiaries program kredit rumah. Sementara LSM lain yang
bergerak di program kredit rumah tidak menegaskan mengambil perempuan sebagai
benefiaries.
Ketika LSM secara masif dan terkoordinasi masuk dalam dusun dengan mengambil
peran gender. Siasat yang mereka lakukan untuk mendapatkan hak berkumpul biasanya
dengan meminta tolong peer groupnya untuk menjemput sebelum berkumpul atau meminta
yang terlibat dalam kelompok mengalami penambahan kapasitas dalam sejumlah isu
perempuan. Bahkan sejumlah perempuan yang menjadi beneficiaries program rumah mengaku
mendapatkan affirmasi dari suaminya. Suami mereka bersedia untuk berganti menjaga anak di
rumah. Ketika kami melakukan FGD, mereka bercerita dengan penuh canda bahwa suami
mereka sekarang jauh lebih pengertian dalam pembagian kerja rumah tangga karena sekarang
mereka melihat perempuan juga bisa mencari hutangan untuk membangun rumah. Tentu saja
77
bukan sekadar hutang/kredit rumah, namun semenjak perempuan terlibat dalam aktivitas
sosial mereka memiliki akses informasi atas sejumlah kebijakan lebih daripada suaminya.
Dari Guncangan Ekonomi Menuju Lembaga Keuangan Perempuan
Ketika perempuan secara sosial maupun legal terkendala dalam kepemilikan aset,
semisal tanah, rumah. Maka perempuan terpaksa mengumpulkan aset jenis yang lain dan
menginvestasikan bentuk lain dari modal. Salah satu bentuknya adalah modal sosial, termasuk
di dalamnya adalah jaringan yang meningkatkan kepercayaan, kapasitas untuk bekerja
bersama, akses pada peluang dan pertukaran, jaringan keselamatan informal, dan keanggotaan
dalam organisasi (Chambers and Conway 1992, Scoones 1998, Devereux 2001; Adato and
Meinzen –Dick 2002 dalam Quisumbing, 2003 hal 139). Mekanisme utama yang sering
digunakan oleh perempuan untuk meningkatkan statusnya adalah bekerja dalam kelompok
melalui program dari luar komunitas. Jaringan dan aksi kolektif yang dihasilkan oleh kelompok
dikenali sebagai sebagai aset itu sendiri. Modal sosial merupakan aset dimana perempuan
tidak terugikan atau malah mendapatkan manfaat. Microfinance bisa jadi merupakan tipe
program yang paling dikenali dijalankan oleh kelompok perempuan. Tidak jauh berbeda
perempuan penyintas gempa.
Lembaga keuangan perempuan (LKP) yang dimaksud disini adalah lembaga keuangan
yang diinisiasi di 5 dusun di Bantul. LKP merupakan sebuah kerjabersama antara kelompok
perempuan di 5 pedusunan dengan ASPPUK. Akses terhadap modal dan akses terhadap
perbankan merupakan problem mendasar yang dikeluhkan oleh perempuan yang ingin
bangkit dari keterpurukan ekonomi akibat gempa. Problem tersebut bukan hanya problem
yang terjadi paska bencana namun merupakan problem mendasar perempuan usaha mikro dan
kecil yang berpangkal dari kebijakan peminjaman modal dengan agunan yang tak terjangkau
78
perempuan usaha kecil menengah. Solusi yang dibangun oleh ASPPUK adalah membangun
yang berbeda dibandingkan lembaga keuangan lain seperti bank maupun lembaga perkreditan
bukanlah alternatif atas modal namun dalam rangka membangun ekonomi perempuan agar
bisa menjadi amunisi bagi gerakan perempuan.
Sebagaimana konsep Gramien Bank yang dikembangkan melalui peer group lending 53 ,
LKP juga dikembangkan melalui kelompok perempuan sebaya yang tinggal bersama dalam
satu dusun. LKP dibangun dengan berpondasikan relasi sosial dan jaringan yang telah
terbangun diantara para perempuan dalam satu dusun. Perempuan dalam satu dusun biasanya
telah mengenal baik siapa yang menjadi kawan sebaya mereka serta bagaimana karakter
personal serta karakter sosial ekonominya. LKP dijalankan dengan menggunakan sistem
tanggung renteng, sebuah model risiko yang ditanggung secara kolektif dan telah banyak
kelompok dalam membangun ’trust’ sebagai modal dasarnya. Karenanya trust diantara
anggotanya berperan penting sebagai pelumas kinerja LKP. Dalam kondisi minim modal
ekonomi, maka siasat yang bisa ditempuh perempuan adalah dengan berjejaring dalam sistem
tanggung renteng, dimana mereka dapat menjaminkan modal sosial sebagai pengganti jaminan
keuangan.
perempuan yang terorganisir baik secara fisik maupun solidaritas serta uang kolektif yang
dikumpulkan dari setiap anggotanya. Setiap kelompok terdiri dari sekitar sepuluh perempuan
yang saling mengenal satu sama lain, mereka rata‐rata memiliki latar belakang usaha yang
tidak berbeda. Setelah membentuk struktur kepengurusan sederhana dengan pembagian peran
diantara mereka. Selain itu juga menetapkan waktu pertemuan serta code of conduct organisasi.
53 Yunus, Muhammad, dalam http;//www.grameen.com
79
Dengan adanya code of conduct, maka terdapat sistem carrot and stick yang diterapkan. Bagi
anggota yang menetapi kesepakatan dia mendapat keuntungan, sedangkan bagi yang tidak
akan mendapat hukuman.
bunga saja, namun juga membekali dengan pelatihan‐pelatihan, pembukaan akses jaringan
serta akses pasar. Komunitas yang termobilisasi dengan modal sosial yang mewujud dalam
LKP dengan LSM sebagai influential intermediary lebih efektif dalam menghadirkan layanan
daripada komunitas itu sendiri. Kerjasama dengan lembaga lain menghilangkan kemacetan
komunitas dalam menggerakkan sistem sosial mereka, namun bukan berarti semua kendala
teratasi dengan kerjasama antara komunitas dengan LSM. Secara umum, kesulitan yang
dialami dalam membangun LKP yakni : 54
1. Tidak mudah untuk mengajak masyarakat untuk berkelompok karena terdapat asumsi
pragmatis bahwa berkelompok adalah identik dengan pinjaman. Problem ini identik
dengan ketidaksabaran dalam pemetikan hasil usaha berkelompok yang membutuhkan
proses.
mengumpulkan uang secara swadaya
terus menerus memompa motivasi bersama.
untuk menemukan perempuan yang jujur dan dapat dipercaya untui dilatih
keterampilan pengelolaan LKP.
Selama satu tahun bekerja bersama dengan kelompok perempuan penyintas gempa,
ASPPUK menemukan catatan keberhasilan dengan terbentuknya 5 buah LKP di 5 dusun.
dengan aktivitas kelompok dalam LKP. Indikator keberhasilan pengorganisasian kelompok
perempuan ini antara lain dengan munculnya:
wujud kesediaan tanggung renteng.
2. Kesedian untuk meluangkan waktu. Dengan bersedia untuk datang dalam pertemuan
kelompok, hadir dalam pelatihan,
pembuatan produk
4. Kesediaan untuk berbagi materi dalam wujud iuran, terutama untuk iuran pokok.
Argumen yang ingin dibangun dalam tulisan ini adalah agen‐agen eksternal berperan
sebagai pembuka keran modal sosial melalui mobilisasi dan pengorganisasian. Konstruksi peer
group (rekan sebaya) ataupun organisasi sosial yang dikawal oleh external agency
memungkinkan terjadinya pembesaran ”trust”, interaksi positif dan jejaring di dalam
komunitas. Pengawalan yang dilakukan oleh eksternal agency mendorong bonding social
capital untuk bekerja menuju tujuan bersama dalam wujud aksi kolektif. Dimensi linking social
capital juga terfasilitasi dengan keberadaan masyarakat pasca bencana yang cenderung terbuka
pada hal baru dan agen‐agen eksternal. Namun memang dimensi bridging social capital
cenderung tidak mengalami pembesaran yang berarti. Hal ini dimungkinkan karena secara
umum kerja tanggap bencana tersegregasi dalam area geografis pedusunan atau mengambil
kelompok dengan karakter yang sama misal perempuan, kelompok usaha, kelompok kesenian.
Akibatnya tidak muncul aksi kolektif ataupun pembangunan jaringan diantara kelompok yang
secara geografis berdekatan maupun kelompok yang berbeda karakteristik.
81
BAB V
CATATAN DAN KESIMPULAN
1. Penghargaan Itu Barang Yang Mahal
Dalam uraian di bab‐bab sebelumnya, bentuk dan model kerelawanan perempuan
setelah bencana. Ada banyak motif yang nampak, mulai dari kebutuhan untuk
mempertahankan kehidupan dalam jangka pendek seperti pada kasus dapur umum, hingga
berbagi dukungan untuk kehidupan yang lebih baik seperti dalam model trauma healing.
Begitu juga dalam cara yang dikembangkan, mulai dari cara yang personal dan sarat dengan
menggunakan cara yang frontal dan konfliktual seperti dalam advokasi korupsi dana
pembangunan kembali rumah.
Terhadap keragaman pola ini, persoalan pengakuan dan penghargaan terhadap kerja
kerelawanan perempuan adalah salah satu isu kunci dalam kajian feminis tentang bencana.
Bradshaw mengatakan, bahwa walaupun perempuan juga terlibat dalam kerja darurat dan
penghargaan yang lebih terbatas 55 . Sebagai contoh, di Nicaragua, hanya sebagian kecil laki‐laki
yang mengaku bahwa perempuan tidak terlibat dalam aktivitas pada masa darurat, sementara
beberapa menilai bahwa perempuan tidak terlibat dalam seluruh tahapan pasca bencana.
Sebagian yang lain mengakui bahwa perempuan melakukan sesuatu, tetapi mereka tidak
peran tradisional peremuan bisa dimaknai bahwa pengakuan ini masih menganggap bahwa
perempuan hanya sekedar membantu laki‐laki, daripada sebagai bentuk kontribusi perempuan
55
Bradshaw (2004), “Socio-Economic Impacts of natural Disasters : A Gender Analysis”,
Manuales, Serie 32, GTZ-Cooperation Italiana-Naciones Unidas-CEPAL-Sustainable
Development and Human Settlements Division, Women and Development Unit, Santiago-Chile,
May
82
ketika berhadapan dengan krisis. Padahal, kebanyakan perempuan yang diwawancarai
mengatakan bahwa mereka memainkan peran penting dalam bersih‐bersih dan dalam
menyediakan makanan, sesegera setelah bencana terjadi. Tetapi menurut mereka, kebanyakan
laki‐laki tidak menghargai kerja dan kontribusi ini.
Ia juga menulis bahwa kebanyakan laki‐laki mengakui bahwa peran utama yang
dimainkan perempuan hanyalah ketika mereka melakukan peran non tradisional. Sementara
itu, Garcia mengatakan, bahwa persepsi kultural terhadap peran gender seringkali membuat
kerja perempuan menjadi tidak nampak, dan bahkan menjadi sering didiskriminasi dalam
program pasca bencana. Dalam banyak hal, ia mengutip yang dikatakan Fothergill, bahwa
biarpun kontribusi perempuan sangatlah berarti, mereka tetap dianggap tidak sah dan tidak
resmi.
pasca bencana di Bantul. Beberapa responden, yang terdiri dari perwakilan perangkat
pemerintah di tingkat lokal, anggota legislatif hingga beberapa aktivis LSM yang ditemui
dalam riset ini mengatakan bahwa kerelawanan perempuan ini memang nampak dengan jelas.
Hampir semuanya juga mengakui bahwa beberapa kerelawanan ini, dan terutama nampak jelas
dalam kasus dapur umum, sangatlah berarti dalam menyelamatkan kehidupan komunitas.
Namun, pada tingkat penghargaan, adalah menarik untuk mengkaji bahwa sebagian
responden mengatakan bahwa ini adalah bentuk kerelawanan yang lumrah, natural dan sudah
seharusnya dilakukan oleh perempuan. Lontaran seperti ’perempuan sudah seharusnya memasak’,
atau ’memang apa istimewanya dengan dapur umum?’, beberapa kali ditemui peneliti dalam proses
wawancara. Kesimpulan ini juga diperkuat dalam FGD yang melibatkan perwakilan
komunitas, NGO dan pemerintah daerah.
Ini menunjukkan bahwa peran dan sekaligus juga kerelawanan perempuan yang
dengan jelas menampakkan bentuknya, ternyata tak selalu diiringi dengan pengakuan yang
setimpal sebagai balasannya. Padahal, urgensi sekaligus nilai dari kerelawanan perempuan
untuk kerja reproduktif ini sungguh besar dan sangat berarti, sebagaimana diurai dalam bab 3
83
laporan ini. Dan dalam situasi kerusakan dan kehancuran infrastruktur seperti sumber air
bersih dan tempat penyimpanan makanan setelah bencana, dapatlah diasumsikan bahwa tugas
rumah tangga yang dilakukan perempuan menjadi lebih sulit. Ini juga sekaligus
mengakibatkan jumlah jam yang dihabiskan perempuan juga menjadi jauh lebih panjang.
seperti rusaknya jalan ke sumber air 56 . Dan sebagaimana kondisi sebelum bencana dimana kerja
reproduktif ini seringkali tidak dihargai, demikian pula halnya yang terjadi dalam situasi
setelah bencana. Pandangan yang melihat bahwa tugas ini memang sudah seharusnya
dilakukan perempuan, sebagai bagian dari peran gender yang diemban, membuat penghargaan
akan kontribusi perempuan dalam aktivitas reproduktif menjadi tidak nampak. Padahal tanpa
itu, keberlanjutan kehidupan komunitas akan menjadi taruhannya.
Pemahaman bahwa perempuan hidup dalam situasi yang tidak aman dan secara
otomatis juga menjadi lebih rentan terhadap bencana, seringkali juga diikuti oleh stereotype
atau anggapan yang minor dalam memandang perempuan ketika menghadapi bencana. Tetapi
komunitas terkena bencana, kerja kerelawanan perempuan yang tidak tampak, justru banyak
membantu dalam mengorganisir masyarakat untuk perubahan sosial. Kontribusi yang mereka
berikan pada pendapatan keluarga adalah sangat berarti ketika keluarga dihantam oleh
bencana dan harus memulai segala sesuatunya dari awal. Di tingkat domestik, kerja perempuan
mulai dari memasak, mencuci, menjahit, mengurus kebun dan mengurus rumah adalah kerja
yang sangat penting. Tetapi, apakah perempuan menjadi korban ataukah menjadi pahlawan
dalam situasi bencana, akan ditentukan ketika ketrampilan, pengetahuan, kapasitas dan
jaringan perempuan diperhitungkan. Dan sayangnya, ini tak selalu didapatkan para
perempuan ketika bencana terjadi di Bantul.
56 Bradshaw (2004), op.cit.
84
Dan begitu juga di ranah komunitas, minimnya penghargaan di beberapa tempat
bahkan nampak lebih jauh dalam resistensi terhadap bentuk‐bentuk kerelawanan perempuan
di ranah ini. Alih‐alih berharap akan adanya akses berupa keterlibatan dalam ruang‐ruang
komunitas pasca bencana, kondisi di beberapa tempat justru menunjukkan kuatnya dominasi
kultur dan kuasa patriarkhi dalam ruang‐ruang publik yang formal. Pengacuhan,
ketidakterlibatan dan bahkan intimidasi menjadi respon yang diterima beberapa perempuan
yang mencoba menerobos kebuntuan dan sekat gender dalam ruang‐ruang publik, seperti
nampak dengan kuat dalam kasus Pokmas.
kerelawanan. Spirit altruisme untuk berbagi dan saling dukung dalam situasi krisis terlontar
dari banyak perempuan yang menjadi responden riset ini. Dan lebih dari yang diperkirakan
pandangan kaum misoginis, jaringan, ruang dan pola hubungan yang dimiliki perempuan
ternyata bekerja dengan cepat dan efektif ketika gempa terjadi. Dalam situasi kemandegan
sistem sosial yang ada, jaringan informal dan tidak nampak ini justru bekerja dengan sangat
cepat dan juga terhubung dengan pihak yang cukup luas. Jaringan ini bekerja dan melengkapi
ruang‐ruang formal perempuan yang sudah ada sebelumnya, seperti PKK dan posyandu.
Sebagaimana nampak dalam bab 4, ruang‐ruang produksi kerelawanan perempuan
menunjukkan beragamnya tipe modal sosial yang terbangun dan bekerja dalam situasi
bencana. Walaupun ada beberapa perkecualian seperti nampak dalam kasus dapur umum yang
hanya menjadi kepanjangan dapur domestik, modal sosial baik dari tipologi bonding, bridging
dan linking bekerja dengan baik di beberapa dapur umum sekaligus posko yang dibangun
masyarakat.
85
Begitu juga dalam kerelawanan ketika fase rehabilitasi‐rekonstruksi. Di tengah
guncangan gempa bagi sektor produktif, dukungan dan keterikatan sesama perempuan usaha
kecil menunjukkan dimensi bonding yang kuat, dan begitu juga aspek linking dengan aktor luar
bernama LSM yang bekerja untuk pemulihan ekonomi. Namun, dimensi bridging dalam kasus
ini tidak nampak dengan kuat, karena tarikan berupa keengganan dan ketiadan dukungan dari
warga lain yang bukan pengrajin dan bahkan sebagian pengrajin dengan karakter usaha yang
berbeda, ditemui dalam riset ini.
Dalam fase yang sama, kerelawanan perempuan dalam program pembangunan kembali
rumah juga menunjukkan aspek linking yang mulai terbangun. Peran ini sebetulnya krusial di
tengah tekanan yang diterima perempuan, tetapi pengelolaan dukungan yang tidak cukup
terkelola membuat masalah kunci yang dihadapi tidak terselesaikan.
Beberapa ilustrasi dan analisis yang diurai dalam bab sebelumnya menunjukkan
beberapa keberhasilan intervensi dan pengelolaan modal sosial, dan sekaligus juga beberapa
kegagalan yang masih nampak. Ke depan, pihak‐pihak yang bekerja dalam situasi bencana
tampaknya perlu menggali lebih dalam kajian tentang dimensi modal sosial dalam merespon
kerelawanan perempuan adalah modal berharga untuk penyelamatan komunitas dalam situasi
krisis. Tetapi pelajaran dari kegagalan pengelolaan menunjukkan bahwa tantangan dan kendala
bukanlah alasan untuk mematikan kerelawanan perempuan. Di sini, strategi dan taktik yang
lebih jitu diperlukan, sebagaimana upaya mempengaruhi dan menggalang dukungan banyak
pihak juga tak boleh dilupakan. Proses memperjuangkan inilah yang tampaknya masih perlu
dilakukan, dan yang pasti, ini bukan proses yang mudah untuk dilakukan walaupun tentu saja
tak mustahil untuk diwujudkan.
86
DAFTAR PUSTAKA
_________(2006), “Policy Brief Gender Working Group (GWG) untuk respon bencana Jogja-
Jateng, Mainstreamingkan Gender dalam Kebijakan Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Pasca Gempa : Libatkan Perempuan dalam Seluruh Proses Rehabilitasi-Rekonstruksi.
Naskah, Tidak Diterbitkan
_________(2006), ”Rencana Aksi Nasional Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Gempa Bumi
di Propinsi DIY dan Propinsi Jawa Tengah”, Buku I, Bappenas, Jakarta, Juli
__________(1997), “Family Planning, Family Welfare and women’s Activities in Indonesia”,
Population Studies Center, Gadjah Mada University, Nov
__________(2005), ”Bantul Dalam Angka 2004” BPS , Bantul DIY
__________(2003), “Profil Kesehatan Kabupaten bantul tahun 2003”, Pemerintah Kabupaten
Bantul Dinas Kesehatan.
___________(2004), Living with Risk, UNISDR, 2004, sebagaimana dimuat dalam
http://www.unisdr.org/eng/about_isdr/bd-lwr-2004-eng.htm.
____________ (2007a), “Lesson Learnt dalam Rehabilitasi dan Rekonstruksi Rumah Pasca
Gempa Bumi”, Pemprop DIY, makalah disampaikan dalam workshop sehari Lesson
Learned Bencana Jogja-Jateng : Masukan Bagi Penyusunan RPP dan Perpres UU
24/2007 tentang Penanganan Bencana, data per 7 Mei 2007
_____________(2006), “Buku Utama Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah
Pasca Bencana Gempa Bumi di Propinsi DIY dan Propinsi Jawa Tengah, Bappenas, Bab
III, Jakarta, Juli, 2006
__________________(2007b), “Bijak dari Belajar : Mewujudkan Tata Pemerintahan DIY yang
Tangguh Membangun dan Siaga terhadap Bencana”. makalah Pemprop DIY,
disampaikan pada seminar Menjajagi Prospek Yogyakarta sebagai Pusat Keunggulan
Penanggulangan Bencana, Yogyakarta, Mei
AC Pigou, dalam Hong, 1984 : 6, sebagaimana ditulis dalam Saptari, Ratna & Holzner, Brigitte
(1997), ”Perempuan, Kerja dan Perubahan Sosial : Sebuah Pengantar Studi
Perempuan”, Grafiti - Kalyanamitra. , h. 15
Agustin, Retno (2007), “Gender yang Direkonstruksi dalam Bencana Alam(i)? Pengabaian vis a
vis Kebangkitan Perempuan Penyintas dalam Penanganan Gempa, dalam Widyanta, AB
(ed) Kisrah-Kisruh di Tanah Gempa, Jogjakarta : CPRC-FS, Mei
Bowen, John R (1986), “On the Political Construction of Tradition: Gotong Royong in Indonesia, The
Journal of Asian Studies vol 45, no 3, (May 1986), pp. 545-561, sebagaimana dimuat dalam
www.jstor.org/stable/2056530.
Bradshaw, S (2004), “Socio-Economic Impacts of natural Disasters : A Gender Analysis”,
Manuales, Serie 32, GTZ-Cooperation Italiana-Naciones Unidas-CEPAL-Sustainable
Development and Human Settlements Division, Women and Development Unit,
Santiago-Chile, May
Disaster Risk Reduction as Development Concern, DFID, Policy Brief, 2004, sebagaimana
dimuat dalam http://www.dfid.gov.uk/pubs/files/disaster-risk-reduction.pdf
Dwi Setiawan, Rio (2005), “Implementasi Program Peningkatan gizi anak (Babonisasi) di
Kecamatan Kasihan”, kabupaten bantul, Skripsi. Universitas Gadjah Mada. 2005. hlm.
85
Enarson, ”Gender Equality, Work and Disaster Reduction : Making the Connection, tanpa
tahun,. Paper ini merupakan edisi revisi dari Gender and Natural Disasters, Working
87
Paper # 1 (September, 2000) yang dipersiapkan untuk ILO InFocus Programme on Crisis
Response and Reconstruction. Di sini, ia mengutip salah satu studi yang dilakukan oleh
Agarwal pada tahun 1990 yang mengkaji tentang mekanisme penyesuaian terhadap iklim
dalam keluarga pedesaan di India dan dampaknya pada keamanan sosial. Lihat dalam
http://www.gdnonline.org/resources/Gender%20Equality,%20Work%20and%20Disaster
%20Reduction.revised%20ILO.doc
Enarson, E & Meyreles, L, “International Perspectives on Gender and Disaster : Differences and
Possibilities”, tanpa tahun, sebagaimana dimuat dalam
http://www.erc.gr/English/d&scrn/murcia-
papers/session2/Enarson_Meyreles_II_Original.pdf
Enarson, et.al, (2003), “Working with Women at Risk : Practical Guidelines for Assessing Local
Disaster Risk”, International Hurricane Center, Florida International University, June,
sebagaimana dimuat dalam
http://www.gdnonline.org/resources/WorkingwithWomenEnglish.pdf
Eskawanto, S & Anggoro (2007), “Srihardono : Emas Yang Terkubur Puing Gempa diantara
Perempuan-Perempuan Perkasa”, dalam Widyanta (ed) (2007), op.cit
Fatimah, Dati (2007a), “Gender Mainstreaming dalam Pengurangan Risiko Bencana”, HIVOS-
Circle, sebagaimana dimuat dalam www.bencana.net
Fatimah, Dati (2007b), “Kalkulasi Ekonomi Kerja Domestik”, Kompas, 9 April
Fatimah, Dati (2007c), ”Yang Sering terabaikan: Gender dan Anggaran dalam Bencana”,
dalam Widyanta, AB (ed) Kisrah-Kisruh di Tanah Gempa. Jogjakarta : CPRC-FS. Mei
Francis Fukuyama, Social Capital and Development: The Coming Agenda, SAIS Review vol.
XXII no. 1, Winter Spring 2002, hal. 5 <http://www.saisreview.org>
Fukuyama, Francis (2005), ”Guncangan Besar, Kodrat Manusia dan Tata Sosial Baru”, Jakarta:
Gramedia
Hilhorst, D, “Unlocking Disaster Paradigms : An Actor-oriented Focus on Disaster Response”,
abstract submitted for session 3 of The Disaster Research and Social Crisis, Network
Panels of the 6th European Sociological Conference, tanpa tahun, sebagaimana dimuat
dalam http://www.erc.gr/English/d&scrn/murcia-
papers/session3/Hilhorst_III_Original.pdf
Hoffman, 1999;2002, dalam Irwan Abdullah, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar
Anthropologi Universitas Gadjah Mada “Dialektika Nature, Kultur Dan Struktur :
Analisis Konteks, Proses dan Ranah Dalam Konstruksi Bencana”
J. Field, T. Schuller, dan S. Baron, Social Capital: Critical Perspectives. Oxford: Oxford
University Press, 2000, hal 1. seperti yang dikutip oleh David Piachaud, Capital and the
Determinants of Poverty and Social Exclusion, CASE paper 60, Centre for Analysis of
Social Exclusion, London School of Economics, Houghton Street, 2002, hal. 6
<http://sticerd.lse.ac.uk/Case>
Loomis, Charles P. (1992), Social System : Essays on Their Persistance and Change”, New
Jersey - USA
Molo, Marcelinus (1992), “Women’s Role, Resources dan Decision Making in Rural Java : A Case
study”, a doctoral dissertation, Flinders University of South Australia
Norma Sullivan, “Indonesian Women in Development : State Theory & Urban Kampung Practice”,
tanpa tahun.
88
Quisumbing, Agnes R. (2007), “Household Decisions, Gendee, and Development: A Synthesis
of Recent Research.” International Food Policy Research Institute Washington DC. The
John Hopkins University Press
R. Yando Zakaria (2004), “Merebut Negara : Beberapa Catatan Reflektif tentang Upaya-Upaya
Pengakuan, Pengembalian dan Pemulihan Otonomi Desa”, KARSA-Lappera Pustaka
Utama.
Survey Research Center of the university of Michigan 1975-1976, sebagaimana dikutip oleh
O’Neill (1985), op.cit.
Suryakusuma, Julia (...), “ State-ibuism : the Social Costruction of Womanhood in New Order
Indonesia”, the Hague, thesis MA, Institute of Social Studies (ISS).
Thomas F Carroll Social Capital, Local Capacity Building, and Poverty Reduction , Social
Development Papers No. 3, Office of Enfironment and Social Development, Asian
Development Bank, May, 2001, hal. 1
Tierney, K (2007), “Recent Sociological Contributions to Vulnerability Science”, Department of
Sociology and Institute of Behavioral Science, Natural Hazards Center, University of
Colorado
Turner, RH (2002), “Role, Sociological Aspects”, dalam Sills, Davis L. (International Encyclopedia of the
Social Sciences”, New York, MacMillan, 1968-1979, (italics in the original), sebagaimana
dikutip oleh Dzuhayatin (2002).
White, Benjamin & Hastuti , Endang Lestari (1980), “Subordinasi Tersembunyi, Pengaruh Pria
dan Wanita dalam kegiatan Rumah tangga dan masayarakat di 2 desa di Jawa Barat”,
Laporan Agro Ekonomi Survay, IPB, November
Widyanta, AB (2007), “Modal Sosial: Partisipasi Warga Yang Selalu Dinisbikan Dalam
Governance Kebencanaan (Belajar Dari Penanganan Gempa Bumi Yogya Dan Jateng),
dalam Jurnal RENAI Governance Bencana tahun ke 7 no 1
Williams, S., et.al. (1994), “The Oxfam Gender Training Manual”, Oxfam (UK & Ireland),
Oxford, UK., p. 189.
89
Lampiran 1.
Interview Guide
1. Bagaimana karakter umum masyarakat bantul ?
2. Bagaimana modal social yang dimiliki masyarakat bantul, khusunya komunitas
perempuan sebelum bencana terjadi?
3. Bagaimana kegiatan perempuan sebelum terjadinya bencana? Missal bagaimana
posyandu, yandu lansia, PKK, karang taruna, pengajian dan kelompok ekonomi
perempuan?
4. Bagaimana dapur umum dalam setiap komunitas beroperasi?
5. Bagaimana cara bekerja jarring‐jaring bantuan?
6. Selain dapur umum apa saja bentuk‐bentuk kerelawanan yang dilakukan perempuan
dalam masa tanggap darurat?
7. Bagaimana cara dan strategi komunitas perempuan keluar dari masa emergency respon
menuju tahap rehabilitasi?
8. Apa saja dan bagaimana kerja kerelawanan yang dilakukan oleh komunitas perempuan
dalam tahap rehabilitasi?
9. Bagaimana proses dan pelaksanaan pembagian dana rekonstruksi rumah bagi
masyarakat korban? Bagaimana posisi serta peran komunitas perempuan dalam proses
dan pelaksanaan pembagian dana rekonstruksi rumah?
10. Bagaimana program rekonstruksi dijalankan? Kegiatan apa saja kah yang diambil oleh
komunitas perempuan?
11. Bagaimana program livelihood bagi perempuan dijalankan? Bagaimana pelaksanaan
secara individual dan bagaimana yang dilakukan secara berkelompok?
12. Kondisi apakah yang memunculkan tokoh‐tokoh perempuan yang sebelum bencana
tidak muncul atau tidak dihitung dalam ruang public?
13. Bagaimana respon pihak luar terhadap kerelawanan perempuan dalam bencana?
14. Bagaimana pihak luar tersebut memainkan peran pengbung modal social sehingga
kerelawanan perempuan local terhubung dengan ruang publik yang lebih luas?
90
Tentang Penulis
Dati Fatimah adalah ibu dari dua orang anak. Menjadi penekun isu gender, korupsi dan
anggaran semenjak tahun 1998, dengan menjadi fasilitator pendidikan publik, menulis artikel
di jurnal dan media massa seperti kompas, serta menerbitkan sejumlah buku untuk isu ini.
Semenjak keterlibatannya dalam kerja kemanusiaan pasca gempa Jogja‐Jateng Mei 2006,
melakukan beberapa kajian dan konsultasi, serta menerbitkan sejumlah artikel dan buku untuk
isu gender dalam bencana. Diantaranya adalah mendokumentasikan inisiatif pengurangan
risiko bencana di Indonesia, menulis buku pengalaman perempuan usaha mikro dan kecil di
Klaten dalam recovery ekonomi pasca gempa, mengkaji isu gender dalam pengelolaan Merapi
dan menjadi konsultan untuk beberapa program perempuan, anak dan bencana. Tahun 2008,
alumnus Fakultas Ekonomi UGM ini menjadi penerima beasiswa NOMA untuk menempuh
studi di MA Human Rights and Democracy Studies, UGM. Saat ini, menjadi direktur eksekutif
Perhimpunan Aksara, Yogyakarta. Kontak : datifatimah@gmail.com.
Retno Agustin adalah Koordinator Divisi Gender and Local Governance Perhimpunan Aksara
Jogjakarta. Saat ini tengah menyelesaikan tesis S2 di Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata
Dharma Jogjakarta. Alumnus FISIPOL UGM ini baru saja menjadi ASEAN Graduate Fellow
Student, Asia Research Institute, National University of Singapore dengan hasil sebuah paper
tentang sejarah intelektual dan beasiswa pada masa orde baru Indonesia. Pernah mengikuti
Intercultural Course on Women and Society tahun 2005 di Manila. Sampai saat ini masih
menjadi Presidium Perempuan kelompok kepentingan pemuda, pelajar dan mahasiswa di
Koalisi Perempuan Indonesia Wilayah DIY. Tahun 2007 menjadi SC Forum Suara Korban
Bencana, sebuah jaringan NGO untuk penanganan bencana DIY‐Jateng. Keterlibatan dalam
penanganan bencana membawanya untuk menulis sejumlah artikel tentang perempuan dan
bencana serta mendokumentasikan pengalaman rekonstruksi bencana Jateng‐DIY dalam 4 buah
film documenter kerjasama Tim Kerja Mediatik dengan RHK dan Ausaid. Kontak :
retnoagustin@gmail.com.
91