Anda di halaman 1dari 21

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang terbanyak baik di negara maju
maupun negara yang sedang berkembang. Padahal besi merupakan suatu unsur
terbanyak pada lapisan kulit bumi, akan tetapi defisiensi besi merupakan penyebab
anemia yang tersering. Hal ini disebabkan tubuh manusia mempunyai kemampuan
terbatas untuk menyerap besi dan seringkali tubuh mengalami kehilangan besi yang
berlebihan yang diakibatkan perdarahan.(Hoffbrand.AV, et al, 2005, hal.25-34)
Besi merupakan bagian dari molekul hemoglobin, dengan berkurangnya besi maka
sintesa hemoglobin akan berkurang dan mengakibatkan kadar hemoglobin akan turun.
Hemoglobin merupakan unsur yang sangat vital bagi tubuh manusia, karena kadar
hemoglobin yang rendah mempengaruhi kemampuan menghantarkan O2 yang sangat
dibutuhkan oleh seluruh jaringan tubuh. .(Hoffbrand.AV, et al, 2005, hal.25-34)
Anemia defisiensi besi ini dapat diderita oleh bayi, anak-anak, bahkan orang dewasa
baik pria maupun wanita, dimana banyak hal yang dapat mendasari terjadinya anemia
defisiensi besi. Dampak dari anemia defisiensi besi ini sangat luas, antara lain terjadi
perubahan epitel, gangguan pertumbuhan jika terjadi pada anak-anak, kurangnya
konsentrasi pada anak yang mengakibatkan prestasi disekolahnya menurun, penurunan
kemampuan kerja bagi para pekerja sehingga produktivitasnya menurun. Kebutuhan besi
yang dibutuhkan setiap harinya untuk menggantikan zat besi yang hilang dari tubuh dan
untuk pertumbuhan ini bervariasi, tergantung dari umur, jenis kelamin. Kebutuhan
meningkat pada bayi, remaja, wanita hamil, menyusui serta wanita menstruasi. Oleh
karena itu kelompok tersebut sangat mungkin menderita defisiensi besi jika terdapat
kehilangan besi yang disebabkan hal lain maupun kurangnya intake besi dalam jangka
panjang.(Hoffbrand AV, et al, 2005,hal 25-34).
Oleh karena itu, penting bagi dokter muda untuk mengetahui gejala dari anemia
defisiensi besi dan bagaimana cara untuk mentalaksana pasien dengan anemia defisiensi
besi.

1.2 Rumusan masalah


Rumusan masalah yang dibuat dalam penulisan makalah ini antara lain :
1. Apa definisi Anemia Defisiensi Fe ?
2. Bagaimana patofisiologi terjadinya Anemia Defisiensi Fe ?
3. Bagaimana cara mendiagnosis Anemia Defisiensi Fe ?
1
4. Apa sajakah pemeriksaan penunjang Anemia Defisiensi Fe ?
5. Bagaimana penatalaksanaan Anemia Defisiensi Fe ?
6. Bagaimana prognosis dan komplikasi Anemia Defisiensi Fe ?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui definisi Anemia Defisiensi Fe
2. Mengetahui patofisiologi terjadinya Anemia Defisiensi Fe
3. Mengetahui cara mendiagnosis Anemia Defisisensi Fe
4. Mengetahui pemeriksaan penunjang Anemia Defisisensi Fe
5. Mengetahui penatalaksanaan Anemia Defisisensi Fe
6. Mengetahui prognosis dan komplikasi Anemia Defisiensi Fe

1.4 Manfaat
Tulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada beberapa pihak terutama
untuk sejawat-sejawat dokter muda dalam menambah pengetahuannya mengenai Anemia
Defisisensi Fe baik dalam pemeriksaan, penegakan diagnosis, dan tata laksana awal

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2
2.1. ANEMIA DEFISIENSI BESI

2.1.1. Definisi
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya
penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong (depleted iron store)
yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang (Bakta, 2006).
Anemia defisiensi besi merupakan tahap defisiensi besi yang paling parah, yang
ditandai oleh penurunan cadangan besi, konsentrasi besi serum, dan saturasi transferin
yang rendah, dan konsentrasi hemoglobin atau nilai hematokrit yang menurun
(Abdulmuthalib, 2009).

Gambar 2.1. Diagram Hubungan Antara Defisiensi Besi, Anemia Defisiensi Besi, dan
Anemia (sumber: Adaptasi dari Yip R. Iron Nutritional Status Defined. In: Filer IJ, ed.
Dietary Iron: Birth To Two Years. New York, Raven Press, 1989:19-36; World Health
Organization, 2001).

3
Absorbsi Besi Untuk Pembentukan Hemoglobin
Menurut Bakta (2006) proses absorbsi besi dibagi menjadi tiga fase, yaitu:
a. Fase Luminal
Besi dalam makanan terdapat dalam dua bentuk, yaitu besi heme dan besi non-
heme. Besi heme terdapat dalam daging dan ikan, tingkat absorbsi dan bioavailabilitasnya
tinggi. Besi non-heme berasal dari sumber nabati, tingkat absorbsi dan bioavailabilitasnya
rendah. Besi dalam makanan diolah di lambung (dilepaskan dari ikatannya dengan
senyawa lain) karena pengaruh asam lambung. Kemudian terjadi reduksi dari besi bentuk
feri (Fe3+) ke fero (Fe2+) yang dapat diserap di duodenum.

Gambar 2.2. Absorbsi Besi di Usus Halus (sumber: Andrews, N.C., 2005. Understanding
Heme Transport. N Engl J Med; 23: 2508-9).

b. Fase Mukosal
Penyerapan besi terjadi terutama melalui mukosa duodenum dan jejunum
proksimal. Penyerapan terjadi secara aktif melalui proses yang sangat kompleks dan
terkendali. Besi heme dipertahankan dalam keadaan terlarut oleh pengaruh asam
lambung. Pada brush border dari sel absorptif (teletak pada puncak vili usus, disebut

4
sebagai apical cell), besi feri direduksi menjadi besi fero oleh enzim ferireduktase
(Gambar 2.2), mungkin dimediasi oleh protein duodenal cytochrome b-like (DCYTB).
Transpor melalui membran difasilitasi oleh divalent metal transporter (DMT 1). Setelah
besi masuk dalam sitoplasma, sebagian disimpan dalam bentuk feritin, sebagian
diloloskan melalui basolateral transporter ke dalam kapiler usus. Pada proses ini terjadi
konversi dari feri ke fero oleh enzim ferooksidase (antara lain oleh hephaestin). Kemudian
besi bentuk feri diikat oleh apotransferin dalam kapiler usus.
Sementara besi non-heme di lumen usus akan berikatan dengan apotransferin
membentuk kompleks transferin besi yang kemudian akan masuk ke dalam sel mukosa
dibantu oleh DMT 1. Besi non-heme akan dilepaskan dan apotransferin akan kembali ke
dalam lumen usus (Zulaicha, 2009).
Besar kecilnya besi yang ditahan dalam enterosit atau diloloskan ke basolateral
diatur oleh “set point” yang sudah diatur saat enterosit berada pada dasar kripta (Gambar
2.3). Kemudian pada saat pematangan, enterosit bermigrasi ke arah puncak vili dan siap
menjadi sel absorptif. Adapun mekanisme regulasi set-point dari absorbsi besi ada tiga
yaitu, regulator dietetik, regulator simpanan, dan regulator eritropoetik (Bakta, 2006).

Gambar 2.3. Regulasi Absorbsi Besi (sumber: Andrews, N.C., 1999. Disorders of
Iron Metabolism. N Engl J Med; 26: 1986-95).

5
c. Fase Korporeal
Besi setelah diserap melewati bagian basal epitel usus, memasuki kapiler usus.
Kemudian dalam darah diikat oleh apotransferin menjadi transferin. Satu molekul
transferin dapat mengikat maksimal dua molekul besi. Besi yang terikat pada transferin
(Fe2-Tf) akan berikatan dengan reseptor transferin (transferin receptor = Tfr) yang
terdapat pada permukaan sel, terutama sel normoblas (Gambar 2.4).
Kompleks Fe2-Tf-Tfr akan terlokalisir pada suatu cekungan yang dilapisi oleh
klatrin (clathrin-coated pit). Cekungan ini mengalami invaginasi sehingga membentuk
endosom. Suatu pompa proton menurunkan pH dalam endosom sehingga terjadi
pelepasan besi dengan transferin. Besi dalam endosom akan dikeluarkan ke sitoplasma
dengan bantuan DMT 1, sedangkan ikatan apotransferin dan reseptor transferin
mengalami siklus kembali ke permukaan sel dan dapat dipergunakan kembali.
Besi yang berada dalam sitoplasma sebagian disimpan dalam bentuk feritin dan
sebagian masuk ke mitokondria dan bersama-sama dengan protoporfirin untuk
pembentukan heme. Protoporfirin adalah suatu tetrapirol dimana keempat cincin pirol ini
diikat oleh 4 gugusan metan hingga terbentuk suatu rantai protoporfirin. Empat dari enam
posisi ordinal fero menjadi chelating kepada protoporfirin oleh enzim heme sintetase
ferrocelatase. Sehingga terbentuk heme, yaitu suatu kompleks persenyawaan
protoporfirin yang mengandung satu atom besi fero ditengahnya (Murray, 2003).

Gambar 2.4. Siklus Transferin (sumber: Andrews,NC,1999. Disorder of Iron Metabolism, N


Engl J med;26:1986-95)

6
2.1.2. Etiologi
Menurut Bakta (2006) anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh karena rendahnya
asupan besi, gangguan absorbsi, serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun:
1. Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun dapat berasal dari:

a. Saluran cerna: akibat dari tukak peptik, pemakaian salisilat atau NSAID, kanker
lambung, divertikulosis, hemoroid, dan infeksi cacing tambang.
b. Saluran genitalia (perempuan): menorrhagia.

c. Saluran kemih: hematuria.

d. Saluran nafas: hemoptisis.

2. Faktor nutrisi, yaitu akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan (asupan yang
kurang) atau kualitas besi (bioavailabilitas) besi yang rendah.

3. Kebutuhan besi meningkat, seperti pada prematuritas, anak dalam masa pertumbuhan,
dan kehamilan.

4. Gangguan absorbsi besi, seperti pada gastrektomi dan kolitis kronik, atau dikonsumsi
bersama kandungan fosfat (sayuran), tanin (teh dan kopi), polyphenol (coklat, teh, dan
kopi), dan kalsium (susu dan produk susu).

2.1.3. Patogenesis
Perdarahan menahun yang menyebabkan kehilangan besi atau kebutuhan besi
yang meningkat akan dikompensasi tubuh sehingga cadangan besi makin menurun
(Bakta, 2006).
Jika cadangan besi menurun, keadaan ini disebut keseimbangan zat besi yang
negatif, yaitu tahap deplesi besi (iron depleted state). Keadaan ini ditandai oleh
penurunan kadar feritin serum, peningkatan absorbsi besi dalam usus, serta pengecatan
besi dalam sumsum tulang negatif. Apabila kekurangan besi berlanjut terus maka
cadangan besi menjadi kosong sama sekali, penyediaan besi untuk eritropoesis
berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit tetapi anemia secara
klinis belum terjadi. Keadaan ini disebut sebagai iron deficient erythropoiesis. Pada fase
ini kelainan pertama yang dijumpai adalah peningkatan kadar free protophorphyrin atau
zinc protophorphyrin dalam eritrosit. Saturasi transferin menurun dan kapasitas ikat besi
total (total iron binding capacity = TIBC) meningkat, serta peningkatan reseptor transferin
dalam serum. Apabila penurunan jumlah besi terus terjadi maka eritropoesis semakin
terganggu sehingga kadar hemoglobin mulai menurun (Tabel 2.2). Akibatnya timbul
anemia hipokromik mikrositik, disebut sebagai anemia defisiensi besi (iron deficiency
anemia).

7
Gambar 2.5. Distribusi Besi Dalam Tubuh Dewasa (sumber: Andrews, N. C., 1999.
Disorders of iron metabolism. N Engl J Med; 26: 1986-95).

Tabel 2.1. Distribusi normal komponen besi pada pria dan wanita (mg/kg)

Tabel 2.2. Perbandingan tahap keseimbangan zat besi yang negative

Sumber: Centers for Disease Control and Prevention, 1998. Recommendations to Prevent
and Control Iron Deficiency in the United States. Morb Mortal Wkly Rep; 47: 1-36.

8
2.1.4. Manifestasi Klinis
1. Gejala Umum Anemia
Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom anemia (anemic syndrome)
dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila kadar hemoglobin kurang dari 7-8 g/dl.
Gejala ini berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang, serta telinga
mendenging. Pada pemeriksaan fisik dijumpai pasien yang pucat, terutama pada
konjungtiva dan jaringan di bawah kuku (Bakta, 2006). Pada umumnya sudah disepakati
bahwa bila kadar hemoglobin < 7 gr/dl maka gejala-gejala dan tanda-tanda anemia akan
jelas.
2. Gejala Khas Defisiensi Besi
Gejala yang khas dijumpai pada defisiensi besi, tetapi tidak dijumpai pada anemia
jenis lain adalah (Bakta, 2006):
a. Koilonychia, yaitu kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh, bergaris-garis vertikal
dan menjadi cekung sehingga mirip sendok.
b. Atrofi papil lidah, yaitu permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil lidah
menghilang.
c. Stomatitis angularis (cheilosis), yaitu adanya keradangan pada sudut mulut sehingga
tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan.
d. Disfagia, yaitu nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring.

2.1.5. Pemeriksaan
Menurut Guillermo dan Arguelles (Riswan, 2003) pemeriksaan yang dapat
dilakukan antara lain:
A. Pemeriksaan Laboratorium
1. Hemoglobin (Hb)
Hemoglobin adalah parameter status besi yang memberikan suatu ukuran
kuantitatif tentang beratnya kekurangan zat besi setelah anemia berkembang. Pada
pemeriksaan dan pengawasan Hb dapat dilakukan dengan menggunakan alat sederhana
seperti Hb sachli, yang dilakukan minimal 2 kali selama kehamilan, yaitu trimester I dan III.
2. Penentuan Indeks Eritrosit
Penentuan indeks eritrosit secara tidak langsung dengan flowcytometri atau
menggunakan rumus:
a. Mean Corpusculer Volume (MCV)
MCV adalah volume rata-rata eritrosit, MCV akan menurun apabila kekurangan zat
besi semakin parah, dan pada saat anemia mulai berkembang. MCV merupakan indikator
kekurangan zat besi yang spesiflk setelah thalasemia dan anemia penyakit kronis

9
disingkirkan. Dihitung dengan membagi hematokrit dengan angka sel darah merah. Nilai
normal 70-100 fl, mikrositik < 70 fl dan makrositik > 100 fl.
b. Mean Corpuscle Haemoglobin (MCH)
MCH adalah berat hemoglobin rata-rata dalam satu sel darah merah. Dihitung
dengan membagi hemoglobin dengan angka sel darah merah. Nilai normal 27-31 pg,
mikrositik hipokrom < 27 pg dan makrositik > 31 pg.
c. Mean Corpuscular Haemoglobin Concentration (MCHC)
MCHC adalah konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata. Dihitung dengan
membagi hemoglobin dengan hematokrit. Nilai normal 30-35% dan hipokrom < 30%.

3. Pemeriksaan Hapusan Darah Perifer


Pemeriksaan hapusan darah perifer dilakukan secara manual. Pemeriksaan
menggunakan pembesaran 100 kali dengan memperhatikan ukuran, bentuk inti,
sitoplasma sel darah merah. Dengan menggunakan flowcytometry hapusan darah dapat
dilihat pada kolom morfology flag.

4. Luas Distribusi Sel Darah Merah (Red Distribution Wide = RDW)


Luas distribusi sel darah merah adalah parameter sel darah merah yang masih
relatif baru, dipakai secara kombinasi dengan parameter lainnya untuk membuat
klasifikasi anemia. RDW merupakan variasi dalam ukuran sel merah untuk mendeteksi
tingkat anisositosis yang tidak kentara. Kenaikan nilai RDW merupakan manifestasi
hematologi paling awal dari kekurangan zat besi, serta lebih peka dari besi serum, jenuh
transferin, ataupun serum feritin. MCV rendah bersama dengan naiknya RDW adalah
pertanda meyakinkan dari kekurangan zat besi, dan apabila disertai dengan eritrosit
protoporphirin dianggap menjadi diagnostik. Nilai normal 15 %.

5. Eritrosit Protoporfirin (EP)


EP diukur dengan memakai haematofluorometer yang hanya membutuhkan
beberapa tetes darah dan pengalaman tekniknya tidak terlalu dibutuhkan. EP naik pada
tahap lanjut kekurangan besi eritropoesis, naik secara perlahan setelah serangan
kekurangan besi terjadi. Keuntungan EP adalah stabilitasnya dalam individu, sedangkan
besi serum dan jenuh transferin rentan terhadap variasi individu yang luas. EP secara luas
dipakai dalam survei populasi walaupun dalam praktik klinis masih jarang.

6. Besi Serum (Serum Iron = SI)


Besi serum peka terhadap kekurangan zat besi ringan, serta menurun setelah
cadangan besi habis sebelum tingkat hemoglobin jatuh. Keterbatasan besi serum karena
10
variasi diurnal yang luas dan spesitifitasnya yang kurang. Besi serum yang rendah
ditemukan setelah kehilangan darah maupun donor, pada kehamilan, infeksi kronis, syok,
pireksia, rhematoid artritis, dan malignansi. Besi serum dipakai kombinasi dengan
parameter lain, dan bukan ukuran mutlak status besi yang spesifik.

7. Serum Transferin (Tf)


Transferin adalah protein tranport besi dan diukur bersama -sama dengan besi
serum. Serum transferin dapat meningkat pada kekurangan besi dan dapat menurun
secara keliru pada peradangan akut, infeksi kronis, penyakit ginjal dan keganasan.

8. Transferrin Saturation (Jenuh Transferin)


Jenuh transferin adalah rasio besi serum dengan kemampuan mengikat besi,
merupakan indikator yang paling akurat dari suplai besi ke sumsum tulang. Penurunan
jenuh transferin dibawah 10% merupakan indeks kekurangan suplai besi yang
meyakinkan terhadap perkembangan eritrosit. Jenuh transferin dapat menurun pada
penyakit peradangan. Jenuh transferin umumnya dipakai pada studi populasi yang disertai
dengan indikator status besi lainnya. Tingkat jenuh transferin yang menurun dan serum
feritin sering dipakai untuk mengartikan kekurangan zat besi. Jenuh transferin dapat
diukur dengan perhitungan rasio besi serum dengan kemampuan mengikat besi total
(TIBC), yaitu jumlah besi yang bisa diikat secara khusus oleh plasma.

9. Serum Feritin
Serum feritin adalah suatu parameter yang terpercaya dan sensitif untuk
menentukan cadangan besi orang sehat. Serum feritin secara luas dipakai dalam praktek
klinik dan pengamatan populasi. Serum feritin < 12 ug/l sangat spesifik untuk kekurangan
zat besi, yang berarti kehabisan semua cadangan besi, sehingga dapat dianggap sebagai
diagnostik untuk kekurangan zat besi.
Rendahnya serum feritin menunjukan serangan awal kekurangan zat besi, tetapi
tidak menunjukkan beratnya kekurangan zat besi karena variabilitasnya sangat tinggi.
Penafsiran yang benar dari serum feritin terletak pada pemakaian range referensi yang
tepat dan spesifik untuk usia dan jenis kelamin. Konsentrasi serum feritin cenderung lebih
rendah pada wanita dari pria, yang menunjukan cadangan besi lebih rendah pada wanita.
Serum feritin pria meningkat pada dekade kedua, dan tetap stabil atau naik secara lambat
sampai usia 65 tahun. Pada wanita tetap saja rendah sampai usia 45 tahun, dan mulai
meningkat sampai sama seperti pria yang berusia 60-70 tahun, keadaan ini
mencerminkan penghentian mensturasi dan melahirkan anak. Pada wanita hamil serum
feritin jatuh secara dramatis dibawah 20 ug/l selama trimester II dan III bahkan pada
11
wanita yang mendapatkan suplemen zat besi. Serum feritin adalah reaktan fase akut,
dapat juga meningkat pada inflamasi kronis, infeksi, keganasan, penyakit hati, alkohol.
Serum feritin diukur dengan mudah memakai Essay immunoradiometris (IRMA),
Radioimmunoassay (RIA), atau Essay immunoabsorben (Elisa).

B. Pemeriksaan Sumsum Tulang


Masih dianggap sebagai standar emas untuk penilaian cadangan besi, walaupun
mempunyai beberapa keterbatasan. Pemeriksaan histologis sumsum tulang dilakukan
untuk menilai jumlah hemosiderin dalam sel-sel retikulum. Tanda karakteristik dari
kekurangan zat besi adalah tidak ada besi retikuler.
Keterbatasan metode ini seperti sifat subjektifnya sehingga tergantung keahlian
pemeriksa, jumlah struma sumsum yang memadai dan teknik yang dipergunakan.
Pengujian sumsum tulang adalah suatu teknik invasif, sehingga sedikit dipakai untuk
mengevaluasi cadangan besi dalam populasi umum.

2.2. ANEMIA DEFISIENSI BESI DAN KEHAMILAN


Anemia dalam kehamilan adalah suatu kondisi ibu dengan kadar nilai hemoglobin
di bawah 11 gr% pada trimester satu dan tiga, atau kadar nilai hemoglobin kurang dari
10,5 gr% pada trimester dua (Centers for Disease Control, 1998). Perbedaan nilai batas
diatas dihubungkan dengan kejadian hemodilusi (Cunningham, 2007).
Menurut Tarumingkeng (2003) dalam Kusumah (2009), anemia adalah salah satu
dari empat masalah gizi utama di Indonesia yang dialami oleh sekitar 51 % ibu hamil.
Sebagian besar anemia pada ibu hamil adalah anemia defisiensi besi. WHO (1992) dalam
Abel (1998) melaporkan bahwa prevalensi ibu-ibu hamil yang mengalami defisiensi besi
sekitar 35-75% serta semakin meningkat seiring dengan pertambahan usia kehamilan.

2.2.1. Fisiologi Kehamilan


Pada kehamilan kebutuhan oksigen lebih tinggi sehingga memicu peningkatan
produksi eritropoetin. Akibatnya, volume plasma bertambah dan sel darah merah
meningkat. Namun, peningkatan volume plasma terjadi dalam proporsi yang lebih besar
jika dibandingkan dengan peningkatan eritrosit sehingga terjadi penurunan konsentrasi
hemoglobin akibat hemodilusi (Abdulmuthalib, 2009).
Peningkatan produksi sel darah merah ini terjadi sesuai dengan proses
perkembangan dan pertumbuhan masa janin yang ditandai dengan pertumbuhan tubuh
yang cepat dan penyempurnaan susunan organ tubuh (Sadler, 1988). Pada trimester
pertama kehamilan, zat besi yang dibutuhkan sedikit karena peningkatan produksi
eritropoetin sedikit, oleh karena tidak terjadi menstruasi dan pertumbuhan janin masih
12
lambat. Sedangkan pada awal trimester kedua pertumbuhan janin sangat cepat dan janin
bergerak aktif, yaitu menghisap dan menelan air ketuban sehingga lebih banyak
kebutuhan oksigen yang diperlukan (Wiknjosastro, 2009). Akibatnya kebutuhan zat besi
semakin meningkat untuk mengimbangi peningkatan produksi eritrosit dan rentan untuk
terjadinya anemia, terutama anemia defisiensi besi.

2.2.2. Konsentrasi Hemoglobin Pada kehamilan


Konsentrasi hemoglobin normal pada wanita hamil berbeda dengan wanita yang
tidak hamil. Hal ini disebabkan karena pada kehamilan terjadi proses hemodilusi atau
pengenceran darah, yaitu terjadi peningkatan volume plasma dalam proporsi yang lebih
besar jika dibandingkan dengan peningkatan eritrosit. Ekspansi volume plasma di mulai
pada minggu ke-6 kehamilan dan mencapai maksimum pada minggu ke-24 kehamilan,
tetapi dapat terus meningkat sampai minggu ke-37. Hemodilusi berfungsi agar suplai
darah untuk pembesaran uterus terpenuhi, melindungi ibu dan janin dari efek negatif
penurunan venous return saat posisi terlentang (supine), dan melindungi ibu dari efek
negatif kehilangan darah saat proses melahirkan (Cunningham, 2007).

2.2.3. Patogenesis Perubahan Nilai Hemoglobin Pada Kehamilan


Perubahan hematologi sehubungan dengan kehamilan, antara lain adalah oleh
karena peningkatan oksigen, perubahan sirkulasi yang makin meningkat terhadap
plasenta dan janin, serta kebutuhan suplai darah untuk pembesaran uterus, sehingga
terjadi peningkatan volume darah yaitu peningkatan volume plasma dan sel darah merah.
Namun, peningkatan volume plasma terjadi dalam proporsi yang lebih besar jika
dibandingkan dengan peningkatan eritrosit sehingga terjadi penurunan konsentrasi
hemoglobin akibat hemodilusi (Abdulmuthalib, 2009). Volume plasma meningkat 45-65 %
dimulai pada trimester II kehamilan, dan maksimum terjadi pada bulan ke-9 yaitu
meningkat sekitar 1000 ml, menurun sedikit menjelang aterem serta kembali normal tiga
bulan setelah partus. Stimulasi yang meningkatkan volume plasma seperti laktogen
plasenta, yang menyebabkan peningkatan sekresi aldosteron.
Volume plasma yang terekspansi menurunkan hematokrit, konsentrasi hemoglobin
darah, dan hitung eritrosit, tetapi tidak menurunkan jumlah absolut Hb atau eritrosit dalam
sirkulasi. Penurunan hematokrit, konsentrasi hemoglobin, dan hitung eritrosit biasanya
tampak pada minggu ke-7 sampai ke-8 kehamilan, dan terus menurun sampai minggu ke-
16 sampai ke-22 ketika titik keseimbangan tercapai. Sebab itu, apabila ekspansi volume
plasma yang terus-menerus tidak diimbangi dengan peningkatan produksi eritropoetin
sehingga menurunkan kadar Ht, konsentrasi Hb, atau hitung eritrosit di bawah batas

13
“normal”, timbullah anemia. Umumnya ibu hamil dianggap anemia jika kadar hemoglobin
di bawah 11 g/dl atau hematokrit kurang dari 33 % (Abdulmuthalib, 2009).
Tabel 2.3. Konsentrasi hemoglobin dan nilai hematokrit untuk anemia*

Sumber: Centers for Disease Control and Prevention. 1998. Recommendations to Prevent
and Control Iron Deficiency in the United States. Morb Mortal Wkly Rep; 47: 1-36.

Adapun perubahan pertama yang terjadi selama perkembangan kekurangan besi


adalah deplesi cadangan zat besi. Cadangan besi wanita dewasa mengandung 2 gram,
sekitar 60-70 % berada dalam sel darah merah yang bersirkulasi, dan 10-30 % adalah
besi cadangan yang terutama terletak didalam hati, empedu, dan sumsum tulang. Deplesi
cadangan besi kemudian diikuti dengan menurunnya besi serum dan peningkatan TIBC,
sehingga anemia berkembang (Bakta, 2006).

14
Kehamilan membutuhkan tambahan zat besi sekitar 800-1000 mg untuk
mencukupi kebutuhan yang terdiri dari :
1. Terjadinya peningkatan sel darah merah membutuhkan 300-400 mg zat besi dan
mencapai puncak pada 32 minggu kehamilan.
2. Janin membutuhkan zat besi 100-200 mg.
3. Pertumbuhan plasenta membutuhkan zat besi 100-200 mg.
4. Sekitar 190 mg hilang selama melahirkan.
Selama periode setelah melahirkan 0,5-1 mg besi perhari dibutuhkan untuk laktasi,
dengan demikian jika cadangan pada awalnya direduksi, maka pasien hamil dengan
mudah bisa mengalami kekurangan besi (Riswan, 2003).

2.2.4. Kelainan Akibat Anemia Defisiensi Pada Kehamilan


Anemia defisiensi besi pada wanita hamil mempunyai dampak buruk, baik pada
ibunya maupun terhadap janinnya. Ibu hamil dengan anemia berat lebih memungkinkan
terjadinya partus prematur dan memiliki bayi dengan berat badan lahir rendah serta dapat
meningkatkan kematian perinatal. Menurut WHO 40% kematian ibu-ibu di negara
berkembang berkaitan dengan anemia pada kehamilan. Menurut Allen (2000) kematian
ibu terkait anemia lebih dikarenakan perdarahan dan diagnosa yang terlambat daripada
efek dari kondisi prenatal yang anemia. Menurut Hidayat (1994) dalam Riswan (2003)
disamping pengaruhnya kepada kematian, anemia pada saat hamil akan mempengaruhi
pertumbuhan janin, berat bayi lahir rendah dan peningkatan kematian perinatal. Merchan
dan Agarwal (1991) dalam Riswan (2003) melaporkan bahwa hasil persalinan pada wanita
hamil yang menderita anemia defisiensi besi adalah 12-28 % angka kematian janin, 30 %
kematian perinatal, dan 7-10 % angka kematian neonatal.
Mengingat besarnya dampak buruk dari anemia defisiensi zat besi pada wanita
hamil dan janin, oleh karena itu perlu kiranya perhatian yang cukup, dan dengan diagnosa
yang cepat serta penatalaksanaan yang tepat komplikasi dapat diatasi serta akan
mendapatkan prognosa yang lebih baik.

2.3. DIAGNOSIS ANEMIA DEFISIENSI BESI DALAM KEHAMILAN


Untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi diperlukan metode
pemeriksaan yang akurat dan kriteria diagnosis yang tegas. Para peneliti telah menyetujui
bahwa diagnosis anemia defisiensi besi ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan
pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan darah dan sumsum tulang. Nasution (1985)
dalam Riswan (2003) mengutip kriteria WHO untuk memudahkan dan keseragaman
diagnosis anemia defisiensi besi (Tabel 2.4).
15
Tabel 2.4. Diagnosa Anemia Defisiensi Besi Normal
Anemia Defisiensi Besi
Pemeriksaan
Hemoglobin < 13 gr/dl 15 gr/dl
Laki-laki dewasa < 12 gr/dl 13 – 14 gr/dl
Wanita dewasa (tidak < 11 gr/dl 12 gr/dl
hamil)
Wanita dewasa (hamil)
MCHC < 31 % 32 – 35 %
Serum Iron (SI) < 50 ugr% 80 – 160 ugr%
TIBC > 400 ugr% 250 – 400 ugr%
Jenuh Transferin < 15 % 30 – 35 %
Serum Feritin < 12 ugr/l 12 – 200 ugr/l
Sumber: Riswan, M., 2003. Anemia Defisiensi Besi Pada Wanita Hamil Di Beberapa
Praktek Bidan Swasta Dalam Kota Madya Medan, Universitas Sumatera Utara.

16
Thanglela (1994) dalam Riswan (2003) menyebutkan bahwa WHO juga
menggolongkan hasil pemeriksaan hemoglobin menurut derajat keparahan
anemia pada kehamilan (Tabel 2.5).
Tabel 2.5. Kriteria Anemia Kadar Hemoglobin
Berdasarkan Kadar Hemoglobin
Kriteria Anemia
Anemia ringan 10 – 11 gr/dl
Anemia sedang 7 – 10 gr/dl
Anemia berat < 7 gr/dl
Sumber: Riswan, M., 2003. Anemia Defisiensi Besi Pada Wanita Hamil Di
Beberapa Praktek Bidan Swasta Dalam Kota Madya Medan, Universitas
Sumatera Utara.

Centers for Disease Control and Prevention (CDC) sedikit berbeda


dengan WHO. Menurut CDC (1998) kriteria anemia pada kehamilan adalah Hb
kurang dari 11 gr/dl untuk trimester I dan III, serta Hb kurang dari 10,5 gr/dl untuk
trimester II.
NHANES II dan III (National Health And Nutrition Examination Survey)
membuat definisi “defisiensi zat besi” adalah bila didapati 2 dari 3 pemeriksaan
laboratorium tidak normal, meliputi (U.S. Centers for Disease Control and
Prevention, 2008):
1. Eritrosit Protoporfirin.
2. Jenuh Transferin.
3. Serum Feritin.
Anemia defisiensi besi disebut bila ditemukan adanya defisiensi besi disertai
dengan penurunan kadar haemoglobin darah (anemia).

BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Anemia Defisiensi Besi merupakan jenis anemia yang paling banyak dijumpai d
imasyarakat. Banyak penyebab yang mendasari terjadinya anemia ini, tetapi
perdarahanmerupakan penyebab terbanyak terjadinya anemia defisiensi besi ini. Anemia
Defisiensi Besi ini memberikan dampak buruk bagi kesehatan masyarakat baik anak-
anak, para wanita baik yang hamil maupunyang tidak, juga pada pria dewasa. Dengan
dilakukan pencegahan , masyarakat dapat terhindar dari anemia ini, sehingga pada anak-
anak usia sekolah tidak terjadi penurunan prestasi belajarnya dan pada orang dewasa
tidak terjadi penurunan kemampuan fisiknya yang berakibat pada produktivitas kerja
yang menurun. Apabila sudah terjadi Anemia Defisiensi Besi maka segera obati dengan
menggunakan preparat
besi dan dicari kausanya serta pengobatan terhadap kausa ini harus juga dilakukan.
Dengan pengobatan yang tepat dan adekuat maka Anemia Defisiensi Besi ini dapat
disembuhkan.

DAFTAR PUSTAKA
Abdulmuthalib, 2009. Kelainan Hematologik. Dalam: Saifuddin, A. B.,
Rachimhadhi, T., Wiknjosastro, G.H., penyunting. Ilmu Kebidanan
Sarwono Prawirohardjo --- Ed. 4, Cet. 2 --- Jakarta : PT Bina Pustaka,
774-780.

Abel, R., Rajaratnam, J., Sampathkumar, V., 1998. Anemia in Pregnancy: Impact
of Iron Supplementation, Deworming, and IEC. Diunduh dari:
http://www.idpas.org/pdf/532AnemiaInPregnancy.pdf. [Diakses desember
2013].

1Allen, L. H., 2000. Anemia and Iron Deficiency: Effects on Pregnancy Outcome.
Am J Clin Nutr; 71 (suppl): 1280S–4S. Diunduh dari:
http://www.ajcn.org/cgi/reprint/71/5/1280S.pdf. [Diakses november 2013].

Andrews, N. C., 1999. Disorders of Iron Metabolism. N Engl J Med. 26: 1986-95.

Andrews, N. C., 2005. Understanding Heme Transport. N Engl J Med. 23: 2508-
9.

Bakta, I. M., Suega, K., Dharmayuda, T. G., 2006. Anemia Defisiensi Besi.
Dalam: Sudoyo, A. W., penyunting. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi
ke-4 Jilid II. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 644-659.

Centers for Disease Control and Prevention, 1998. Recommendations to Prevent


and Control Iron Deficiency in the United States. Morb Mortal Wkly Rep;
47: 1-36.

Cunningham, F.G., Leveno, K.J., Bloom, S. L., Hauth, J. C., Gilstrap, L. C.,
Wenstrom, K. D., 2007. Hematological Disorders. Dalam: William’s
Obstetrics. edisi ke-22. New York: MacGraw-Hill Companies.

Cunningham, F. G., Leveno, K. J., Bloom, S. L., Hauth, J. C., Gilstrap, L. C.,
Wenstrom, K. D., 2007. Maternal Physiology. Dalam: William’s Obstetrics.
edisi ke-22. New York: MacGraw-Hill Companies.
Kittel M., Metzger D., 2004. Stay Fertile Longer: Everything You Need to Know to
Get Pregnant Now -- Or Whenever You're Ready. California: Rodale Inc.
Diunduh dari: http://pregnancyandbabysheknows.com/pregnancy/baby/
Your-real-reproductive-age-4454.htm. [Diakses 20 Desember 2013].

Kusumah, U. W., 2009. Kadar Hemoglobin Ibu Hamil Trimester II-III dan Faktor-
Faktor yang Mempengaruhinya di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun
2009. Diunduh dari: http://repository.usu.ac.id/xmlui/handle/123456
789/6456. [Diakses november 2013].

Madiyano, B., Mz, S. M., Sastroasmoro, S., Budiman, I., Purwanto, S. H., 2008.
Perkiraan Besar Sampel. Dalam: Sastroasmoro, S., Ismael, S., Dasar-
Dasar Metodologi Penelitian Klinis. edisi ke-3. Jakarta: CV Sagung Seto,
302-332.

Murray, R. K., Daryl, K. G., Peter, A. M. , Victor, W. R., 2003. Biokimia Harper ---
Ed 25 ---Jakarta : EGC.

Riswan, M., 2003. Anemia Defisiensi Besi Pada Wanita Hamil Di Beberapa
Praktek Bidan Swasta Dalam Kota Madya Medan, Universitas Sumatera
Utara. Diunduh dari: http://library.usu.ac.id/download/fk/penydalam-
muhammad%20riswan.pdf. [Diakses desember 2013].

Rosline, H., Ainul, S. A. Z., Hazlina, N., Zaidah, W., 2005. Anemia and Iron Status
of Malay Women Attending An Antenatal Clinic in Kubang Kerian,
Kelantan, Malaysia. Southeast Asian J Trop Med Public 36 (5): 1304-
1307.

Sadler, T. W., 1988. Masa Janin (Bulan Ketiga Hingga Lahir). Dalam: Susanto, I.,
alih bahasa, Embriologi Kedokteran. edisi ke-5. Jakarta: EGC, 79-88.

Scholl, T. O., 2005. Iron Status During Pregnancy: Setting The Stage For Mother
and Infant. Am J Clin Nutr; 81 (suppl): 1218S–22S. Diunduh dari:
http://www.ajcn.org/cgi/reprint/81/5/1218S.pdf . [Diakses januari 2014].
Stephansson, O., Dickman, P. W., Johansson, A., Cnattingius, S., 2000. Maternal
Haemoglobin Concentration During Pregnance and Risk of Stillbirth..
JAMA 284: 2611-7.

U.S. Centers for Disease Control and Prevention. 2008. National Report on
Biochemical Indicators of Diet and Nutrition in the U.S. Population 1999-
2002: Iron-Status Indicators. National Center for Environmental Health,
Atlanta (GA): 73-88. Diunduh dari: http://www.cdc.gov/nutritionreport/ pdf/
nr_ch3.pdf. [Diakses November 2013].

World Health Organization. 2001. Iron deficiency anaemia: assessment,


prevention, and control. A guide for programme managers. Geneva:
WHO/NHD/01.3. Diunduh dari: http://www.who.int/nutrition/publications/
en/ida_assessment_prevention_control.pdf. [Diakses desember 2013].

Wiknjosastro, G. H., 2009. Fisiologi Janin. Dalam: Saifuddin, A. B., Rachimhadhi,


T., Wiknjosastro, G. H., penyunting. Ilmu Kebidanan Sarwono
Prawirohardjo --- Ed. 4, Cet. 2 --- Jakarta : PT Bina Pustaka, 157-164

Zulaicha, T. M., 2009. Pengaruh Suplementasi Besi Sekali Seminggu Dan Sekali
Sehari Terhadap Status Gizi Pada Anak Sekolah Dasar, Universitas
Sumatera Utara. Diunduh dari:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/1234567 89/6261/1/09E00122.pdf.
[Diakses desember 2013].

Anda mungkin juga menyukai