Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Jalan tol atau di Indonesia disebut juga sebagai jalan bebas hambatan adalah
suatu jalan yang dikhususkan untuk kendaraan bersumbu dua atau lebih
(mobil, bus, truk) dan bertujuan untuk mempersingkat jarak dan waktu tempuh dari
satu tempat ke tempat lain. (Wikipedia)

Penyelenggaraan jalan tol bertujuan untuk mewujudkan pemerataan


pembangunan, serta keseimbangan, adapun tujuannya adalah untuk meningkatkan
efesiensi pelayanan jasa distribusi, guna menunjang peningkatan pertumbuhan
ekonomi terutama di wilayah yang sudah tinggi tingkat perkembangannya. Jawa
timur merupakan salah satu provinsi yang berpengaruh di Indonesia dan
mempunyai perkembangan perekonomian yang sangat cepat, pesat nya
perkembangan tersebut membuat perkembangan mobilisasi yang terjadi pula.

Proyek pembangunan jalan tol Pandaan-Malang merupakan proyek jalan tol


yang direncanakan untuk meningkatkan konektivitas dikawasan Jawa Timur,
disamping itu jalan tol Pandaan-Malang diharapkan dapat memperlancar
transportasi industri maupun wisata dari Padaan ke Malang yang terkoneksi
langsung ke Surabaya, begitu pula sebaliknya, karena itulah muncul gagasan
pembangunan jalan Tol Pandaan – Malang yang menghubungkan dan mempercepat
transportasi antara Malang dan Surabaya yang memiliki jalur yang melintasi 3 (tiga)
wilayah administratif, yaitu kabupaten Pasuruan, kabupaten Malang, dan kota
Malang, Jalan tol ini direncanakan akan terhubung dengan jalan nasional yang
sudah ada bermula dari Pandaan kemudian mengarah ke selatan, yaitu Purwosari,
Porwodadi, Lawang, Singosari, Karanglo dan Berakhir di Malang.

Pada Jalan Tol Pandaan – Malang Seksi II (STA. 15+475- 23+525)


menggunakan jenis Perkerasan Kaku (Rigid Pavement) dengan tebal 30 cm yang
terletak di atas lapisan pondasi agregat (LPA) setebal 15 cm dan lapisan pondasi
atas (Lean Concrete) setebal 10 cm. Sedangkan struktur Perkerasan Lentur
(Flexible Pavement) hanya digunakan pada pelapis konstruksi Deck Slab pada
setiap Jembatan (Overpass) dengan tebal yang digunakan yaitu 5 cm.

Perkerasan Kaku (Rigid Pavement) yaitu perkerasan yang menggunakan semen


(Portland cement) sebagai bahan pengikat, sedangkan Perkerasan Lentur (Flexible
Pavement) yaitu perkerasan yang menggunakan aspal sebagai bahan pengikat.
Perkerasan lentur mempunyai beberapa kelebihan dibanding dengan perkerasan
kaku, salah satunya Perkerasan lentur mempunyai tingkat kenyamanan lebih baik,
biaya awal konstruksi relatif lebih terjangkau, pelaksanaan pemeliharaan
(pelapisan ulang) lebih mudah serta beberapa kelebihan-kelebihan lainnya.

Penulisan Tugas Akhir ini akan dilakukan perencanaan tebal Perkerasan Lentur
(Flexible Pavement) pada STA. 22+525 – 23+525 menggunakan metode Manual
Desain Pekerasan Jalan 2013, dengan judul “PERENCANAAN TEBAL
PERKERASAN LENTUR (FLEXIBLE PAVEMENT) TOL PANDAAN-
MALANG SEKSI II (STA. 22+525 – 23+525)”

1.2. Rumusan Masalah

Permasalahan pada penulisan tugas akhir ini adalah bagaimana perencanaan


tebal Perkerasan Lentur (Flexible Pavement) pada STA. 22+525 – 23+525 dengan
menggunakan metode Manual Desain Pekerasan Jalan 2013

1.3. Batasan Masalah

Batasan Maslah pada Tugas Akhir ini meliputi :

1. Studi Kasus dilaksanakan pada STA. 22+525 – 23+525 ruas jalan Tol
Pandaan – Malang.
2. Perencanaan tebal perkerasan lentur menggunakan metode Manual Desain
Pekerasan Jalan 2013 yang berpedoman pada Pd T-01-2002-B (Pedoman
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur 2002)
3. Pada Tugas Akhir ini hanya membahas tentang tebal struktur perkerasan
lentur dan tidak membahas tentang rencana anggaran biaya maupun
manjemen proyek pelaksanaan pekerjaan.
4. Tidak menghitung pekerjaan lapisan tanah dasar (Subgrade)

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Bagi Penulis
a. Mengetahui Bagaimana melakukan perencanaan tebal Perkerasan Lentur
(Flexible Pavement) dengan menggunakan Manual Desain Pekerasan
Jalan 2013.
b. Sebagai pengajuan memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana
Teknik program Studi Teknik Spil
2. Bagi Pihak Terkait
Dapat dijadikan sebagai reverensi dan masukan dalam melakukan
perencanaan tebal perkerasan lentur pada proyek pembanguana jalan tol
Pandaan – Malang.
3. Bagi Pihak Lain
Dapat dijadikan reverensi untuk melakukan perencanaan tebal
perkerasan lentur pada proyek pembangunan jalan lainnya, sehingga dapat
memberikan peningkatan tingkat sumber daya manusia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Jalan

Jalan raya merupakan prasarana transportasi darat yang memegang peranan


sangat penting dalam sektor perhubungan terutama untuk kesinambungan
distribusi barang dan jasa, keberadaan jalan raya sangat diperlukan untuk
menunjang laju pertumbuhan ekonomi seiring dengan meningkatnya
kebutuhan sarana transportasi yang dapat menjangkau daerah-daerah terpencil
yang merupakan sentral produksi pertanian.

Jalan raya adalah Jalur-jalur tanah di atas permukaan bumi yang sengaja
dibuat oleh manusia dengan bentuk, ukuran-ukuran dan konstruksinya
sehingga dapat digunakan untuk menyalurkan lalu lintas orang, hewan dan
kendaraan yang mengangkut barang-barang dari tempat yang satu ke tempat
yang lainnya dengan cepat dan mudah. (Silvia Sukirman, 1994).

Menurut Undang - Undang No.38 tahun 2004 tentang jalan, pengertian jalan
adalah :

1. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan,
termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan
bagi lalu lintas, yang ada di atas dipermukaan tanah, di bawah permukaan
tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan
lori, dan jalan kabel.
2. Jalan umum adalah jalan yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum.
3. Jalan khusus adalah jalan yang di bangun oleh instansi, badan usaha,
perseorangan, atau kelompok masyarakat untuk kepentingan sendiri.
4. Jalan tol adalah jalan umum yang merupakan bagian sistem jaringan jalan
dan sebagai jalan nasional yang penggunannya diwajibkan membayar biaya
tol.
2.2. Klasfikasi Jalan
Pada umumnya jalan dapat diklasifikasikan menjadi 3 klasifikasi jalan,
yaitu klasifikasi jalan menurut peran dan fungsi, klasifikasi jalan menurut
wewenang, dan klasifikasi jalan berdasarkan muatan sumbu.

2.2.1. Klasifikasi Jalan Menurut Fungsi


Jalan umum menurut fungsinya di Indonesia dikelompokkan ke
dalam jalan arteri, jalan kolektor, jalan lokal, dan jalan lingkungan.
Klasifikasi fungsional seperti ini diangkat dari klasifikasi di Amerika
Serikat dan Canada, sedangkan tingkatan klasifikasi jalan arteri masih
terdapat Freeway dan Highway. Klasifikasi jalan umum menurut peran
dan fungsinya, terdiri atas :
1. Jalan Arteri
Jalan arteri, merupakan jalan umum yang berfungsi melayani
angkutan utama dengan ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-
rata tinggi, dan jumlah jalan masuk (akses) dibatasi secara berdaya
guna. Jika ditinjau dari peranan jalan maka persyaratan yang harus
dipenuhi oleh jalan arteri adalah :
a. Kecepatan rencana > 60 km/jam
b. Lebar badan jalan > 8,0 meter
c. Kapasitas jalan lebih besar dari volume lalu lintas rata-rata
d. Jalan masuk dibatasi secara efisien sehingga kecepatan rencana
dan kapasitas jalan dapat tercapai.
e. Tidak boleh terganggu oleh kegiatan dan lalu lintas lokal
f. Jalan arteri tidak terputus walaupun memasuki kota.
2. Jalan Kolektor
Jalan kolektor, merupakan jalan umum yang berfungsi
melayani angkutan pengumpul atau pembagi dengan ciri perjalanan
jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang, dan jumlah jalan masuk
dibatasi. Jika ditinjau dari peranan jalan maka persyaratan yang
harus dipenuhi oleh jalan kolektor adalah :
a. Kecepatan rencana > 40 km/jam.
b. Lebar badan jalan > 7,0 meter.
c. Kapasitas jalan lebih besar atau sama dengan volume lalu lintas
rata-rata.
d. Jalan masuk dibatasi secara efisien sehingga kecepatan rencana
dan kapasitas jalan tidak terganggu.
e. Tidak boleh terganggu oleh kegiatan lokal, lalu lintas lokal.
f. Jalan kolektor tidak terputus walaupun memasuki daerah kota
3. Jalan Lokal
Jalan lokal, merupakan jalan umum yang berfungsi melayani
angkutan setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan
rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi. Jika ditinjau
dari peranan jalan maka persyaratan yang harus dipenuhi oleh jalan
lokal adalah :
a. Jalan lokal tidak terputus walaupun memasuki desa.
b. Lebar badan jalan > 6,0 meter.
c. Kecepatan rencana > 20 km/jam.
4. Jalan Lingkungan
Jalan lingkungan, merupakan jalan umum yang berfungsi
melayani angkutan lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat,
dan kecepatan rata-rata rendah.

2.2.2. Klasifikasi Jalan Menurut Wewenang


Berdasarkan Undang – Undang No. 38 tahun 2004 mengenai jalan,
klasifikasi jalan menurut wewenang dapat di klasifikasikan
1. Jalan Nasional
Jalan nasional merupakan jalan arteri dan jalan kolektor
dalam sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan
antaribukota provinsi, dan jalan strategis nasional, serta jalan tol
2. Jalan Provinsi
Jalan provinsi merupakan jalan kolektor dalam sistem
jaringan jalan primer yang menghubungkan ibukota provinsi dengan
ibukota kabupaten/kota, atau antaribukota kabupaten/kota, dan jalan
strategis provinsi.
3. Jalan Kabupaten
Jalan kabupaten merupakan jalan lokal dalam sistem
jaringan jalan primer yang menghubungkan ibukota kabupaten
dengan ibukota kecamatan, antaribukota kecamatan, ibukota
kabupaten dengan pusat kegiatan lokal, antarpusat kegiatan lokal,
serta jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder dalam
wilayah kabupaten, dan jalan strategis kabupaten.
4. Jalan Kota
Jalan kota adalah jalan umum dalam sistem jaringan jalan
sekunder yang menghubungkan antarpusat pelayanan dalam kota,
menghubungkan pusat pelayanan dengan persil, menghubungkan
antarpersil, serta menghubungkan antarpusat permukiman yang
berada di dalam kota.
5. Jalan Desa
Jalan desa merupakan jalan umum yang menghubungkan
kawasan dan/atau antarpermukiman di dalam desa, serta jalan
lingkungan.

2.2.3. Klasifikasi Jalan Menurut Beban Muatan Sumbu

Klasifikasi jalan menurut beban muatan sumbu diatur berdasarkan


Undang – Undang No. 22 Tahun 2009, klasifikasi tersebut bertujuan
untuk keperluan pengaturan penggunaan dan pemenuhan
kebutuhan angkutan, jalan dibagi dalam beberapa kelas yang
didasarkan pada kebutuhan transportasi, pemilihan moda secara tepat
dengan mempertimbangkan keunggulan karakteristik masing-masing
moda, perkembangan teknologi kendaraan bermotor, muatan sumbu
terberat kendaraan bermotor serta konstruksi jalan. Pengelompokkan
jalan menurut muatan sumbu yang disebut juga kelas jalan, yang terdiri
dari :

1. Jalan kelas I, yaitu jalan arteri dan kolektor yang dapat dilalui
Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 (dua
ribu lima ratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18.000
(delapan belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat
ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 10 (sepuluh)
ton
2. Jalan kelas II, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang
dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak
melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran panjang tidak
melebihi 12.000 (dua belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi
4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat
8 (delapan) ton
3. Jalan kelas III, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan
yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak
melebihi 2.100 (dua ribu seratus) milimeter, ukuran panjang tidak
melebihi 9.000 (sembilan ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 3.500
(tiga ribu lima ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 8
(delapan) ton
4. Jalan kelas khusus, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui Kendaraan
Bermotor dengan ukuran lebar melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus)
milimeter, ukuran panjang melebihi 18.000 (delapan belas ribu)
milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus)
milimeter, dan muatan sumbu terberat lebih dari 10 (sepuluh) ton.

2.3. Tipe Jalan


Tipe jalan ditentukan sebagai jumlah lajur dan arah pada suatu ruas jalan
dimana masing – masing memiliki karakteristik geometrik jalan yang
digunakan untuk menentukan kecepatan arus bebas dan kapasitas jalan.
Perbedaan pengertian lajur dan jalur telah diatur dalam Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas
Jalan. Jalur adalah bagian jalan yang dipergunakan untuk lalu lintas kendaraan,
sedangkan Lajur adalah bagian jalur yang memanjang, dengan atau tanpa
marka jalan, yang memiliki lebar cukup untuk satu kendaraan bermotor sedang
berjalan, selain sepeda motor. Sehingga dapat dikelompokkan tipe jalan
sebagai berikut :
1. Jalan Satu Arah (1 – 3/1)
a. Lebar jalan 7 meter
b. Lebar bahu paling sedikit 2 m pada setiap sisi
c. Tanpa median
d. Hambatan samping rendah
e. Ukuran kota 1 – 3 juta penduduk
f. Digunakan pada alinyemen datar

2. Jalan Dua Lajur – Dua Arah (2/2 UD)


a. Lebar jalan 7 meter
b. Lebar bahu paling sedikit 2 meter pada setiap sisi
c. Tanpa median
d. Pemisah arus lalu lintas adalah 50 – 50
e. Hambatan samping rendah
f. Ukuran kota 1 – 3 juta penduduk
g. Digunakan untuk alinyemen datar

3. Jalan Empat Lajur – Dua Arah (4/2)


a. Tanpa Median (Undevided)
i. Lebar lajur 3,5 meter (lebar lajur lalu lintas total 14 meter)
ii. Jarak antara kerb dan penghalang terdekat pada trotoar adalah 2
meter dari rintangan jalan
iii. Tanpa median
iv. Pemisah arus lalu lintas adalah 50 – 50
v. Hambatan samping rendah
vi. Ukuran kota 1 – 3 juta penduduk
vii. Digunakan pada alinyemen datar
b. Dengan Median (Devided)
i. Lebar lajur 3,5 meter (lebar lajur lalu lintas total 14 meter)
ii. Jarak antara kerb dan penghalang terdekat pada trotoar adlah 2 meter
dari rintangan jalan
iii. Dengan median
iv. Pemisah arus lalu lintas adalah 50 – 50
v. Hambatan samping rendah
vi. Ukuran kota 1 – 3 juta penduduk
vii. Digunakan pada alinyemen datar

4. Jalan Enam Lajur – Dua Arah dengan Median (6/2 D)


a. Lebar lajur 3,5 meter (lebar lajur lalu lintas total 21 meter)
b. Kerb (tanpa bahu)
c. Jarak antar penghalang terdekat pada trotoar = 2 meter
d. Median pemisah arus lalu lintas adalah 50 – 50

2.4. Jalan Tol


2.4.1. Definisi Jalan Tol
Berdasarkan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI Tahun 1997)
dijelaskan mengenai definisi jalan tol sebagai jalan untuk lalu lintas
menerus dengan pengendalian jalan masuk secara penuh, baik
merupakan jalan terbagi ataupun tak-terbagi. Adapun tipe jalan tol yaitu
dua-lajur dua-arah tak terbagi (2/2 UD), empat-lajur dua-arah terbagi
(4/2 D) dan jalan tol terbagi dengan lebih dari empat lajur. Wewenang
penyelenggaraan jalan tol berada pada pemerintah, sebagian wewenang
pemerintah dalam penyelenggaraan jalan tol yang berkaitan dengan
pengaturan, pengusahaan dan pengawasan badan usaha dilaksanakan
oleh Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT).
Penyelenggaraan Jalan Tol bertujuan untuk memperlancar lalu lintas
di daerah yang telah berkembang, meningkatkan pelayanan distribusi
barang dan jasa, meningkatkan pemerataan hasil pembangunan serta
meringankan beban dana Pemerintah melalui partisipasi pengguna
jalan. Sedangkan manfaat penyelengaraan pembangunan Jalan Tol
adalah untuk mempercepat perkembangan wilayah dan peningkatan
ekonomi, meningkatkan mobilitas dan aksesibilitas orang dan barang
serta penghematan biaya operasi kendaraan (BOK) dan
waktu dibanding apabila melewati jalan non tol.

2.4.2. Syarat Teknis Jalan Tol


Persyaratan jalan tol secara umum menyatakan bahwa jalan tol
sebagai jalan lintas alternatif dari ruas jalan umum yang ada (sekurang-
kurangnya mempunyai fungsi arteri atau kolektor). Namun jalan tol
dapat tidak merupakan lintas alternatif jika pada kawasan yang
bersangkutan belum ada jalan umum dan diperlukan untuk
mengembangkan kawasan tertentu. Selain itu diperlukan adanya
persyaratan teknis sebagai berikut sebagaimana diatur dalam PP No. 15
Tahun 2005 :
1. Jalan tol mempunyai tingkat pelayanan keamanan dan kenyamanan
yang lebih tinggi dari jalan umum yang ada dan dapat melayani arus
lalu-lintas jarak jauh dengan mobilitas tinggi.
2. Jalan tol yang digunakan untuk lalu lintas antar kota didesain
berdasarkan kecepatan rencana minimum 80 km/jam dan untuk jalan
tol di wilayah perkotaan didesain dengan kecepatan rencana
minimum 60 km/jam.
3. Jalan tol didesain untuk mampu menahan muatan sumbu terberat
(MST) paling rendah 8 ton.
4. Setiap ruas jalan tol harus dilakukan pemagaran dan dilengkapi
dengan fasilitas penyeberangan jalan dalam bentuk jembatan atau
terowongan.
5. Pada tempat-tempat yang dapat membahayakan pengguna jalan tol,
harus diberi bangunan pengaman yang mempunyai kekuatan dan
struktur yang dapat menyerap energi benturan kendaraan.
6. Setiap jalan tol wajib dilengkapi dengan aturan perintah dan
larangan yang dinyatakan dengan rambu lalu lintas, marka jalan dan
atau alat pemberi isyarat lalu lintas.
7. Pada setiap jalan tol harus tersedia sarana komunikasi, sarana deteksi
pengamanan lain.
8. Pada jalan tol antar kota harus tersedia tempat istirahat dan
pelayanan untuk kepentingan pengguna jalan tol. Disediakan paling
sedikit satu untuk setiap jarak 50 km pada setiap jurusan.

2.4.3. Spesifikasi Jalan Tol


Pada penyelenggaraan jalan Tol atau yang biasa disebut jalan bebas
hambatan harus memenuhi spesifikasi yang sudah diatur dalam PP No.
15 Tahun 2005, spesifikasi tersebut meliputi :
1. Tidak ada persimpangan sebidang dengan ruas jalan lain atau
dengan prasarana transportasi lainnya
2. Jumlah jalan masuk dan jalan keluar ke dan dari jalan tol
3. Dibatasi secara efisien dan semua jalan masuk dan jalan keluar harus
terkendali secara penuh
4. Jarak antarsimpang susun, paling rendah 5 (lima) kilometer untuk
jalan tol luar perkotaan dan paling rendah 2 (dua) kilometer untuk
jalan tol dalam perkotaan
5. Jumlah lajur sekurang-kurangnya dua lajur per arah
6. Menggunakan pemisah tengah atau median
7. Lebar bahu jalan sebelah luar harus dapat dipergunakan sebagai
jalur lalu-lintas sementara dalam keadaan darurat.
2.5. Perkerasan Jalan
2.5.1. Definisi
Menurut Sukirman (2003) menjelaskan bahwa, Perkerasan jalan
merupakan lapisan perkerasan yang terletak di antara lapisan tanah dan
roda kendaraan, yang berfungsi untuk memberikan pelayanan kepada
sarana transportasi. Fungsi perkerasan adalah untuk memikul beban
lalu lintas secara aman dan nyaman, serta sebelum umur rencananya
tidak terjadi kerusakan yang berarti. Supaya perkerasan mempunyai
daya dukung dan keawetan yang memadai, tetapi juga memiliki
ekonomis, maka perkerasan jalan dibuat berlapis-lapis.
Menurut Suprapto (2000) menjelaskan bahwa, perkerasan
merupakan lapis tambahan yang terletak antara tanah dan roda, atau
lapis paling atas dari badan jalan. Karena tanah saja biasanya tidak
cukup kuat dan tahan, tanpa adanya deformasi yang berarti terhadap
beban roda berulang.

2.5.2. Konstruksi Perkerasan


Menurut Sukirman (1999), konstruksi perkerasan jalan pada
dasarnya meupakan perpaduan antara campuran kerikil dan pasir
dengan bahan pengiat semen atau aspal, berdasarkan bahan
pengikatnya, konstruksi perkerasan jalan dapat dibedakan atas
konstruksi perkerasan kaku, konstruksi perkerasan lentur, konstruksi
perlerasan komposit :

1. Konstruksi Perkerasan Kaku (Rigid Pavement)


Perkerasan Kaku (Rigid Pavement) yaitu perkerasan yang
menggunakan semen (Portland cement) sebagai bahan pengikat.
Pelat beton dengan atau tanpa tulangan diletakkan di atas tanah dasar
dengan atau tanpa lapis pondasi bawah, beban lalu lintas sebagian
besar dipikul oleh pelat beton.
Perkerasan kaku atau perkerasan beton semen adalah suatu
konstruksi (perkerasan) dengan bahan baku agregat dan
menggunakan semen sebagai bahan ikatnya, ( Aly,2004 ). Pada saat
ini dikenal ada 5 jenis perkerasan beton semen yaitu :
a. Perkerasan beton semen tanpa tulangan dengan sambungan
(Jointed Plain Concrete Pavement).
b. Perkerasan beton semen bertulang dengan sambungan (Jointed
Reinforced Concrete Pavement).
c. Perkerasan beton semen tanpa tulangan (Continuosly Reinforced
Concrete Pavement).
d. Perkerasan beton semen prategang (Prestressed Concrete
Pavement).
e. Perkerasan beton semen bertulang fiber (Fiber Reinforced
Concrete Pavement).
Perkerasan kaku mempunyai sifat yang berbeda dengan
perkerasan lentur.

Pada perkerasan kaku daya dukung perkerasan terutama


diperoleh dari pelat beton. Hal ini terkait dengan sifat pelat beton
yang cukup kaku, sehingga dapat menyebarkan beban pada bidang
yang luas dan menghasilkan tegangan yang rendah pada lapisan –
lapisan di bawahnya. Pada konstruksi perkerasan beton semen,
sebagai konstruksi utama adalah berupa satu lapis beton semen mutu
tinggi. Sedangkan lapis pondasi bawah (Subbase berupa Cement
Treated Subbase maupun Granular Subbbase) berfungsi sebagai
konstruksi pendukung atau pelengkap
Gambar 2.x Struktur Perkerasan Kaku pada Tanah Asli (Manual Desain
Perkerasan Jalan, 2/M/BM/2013)

Gambar 2.x Struktur Perkerasan Kaku pada Timbunan (Manual Desain


Perkerasan Jalan, 2/M/BM/2013)

Gambar 2.x Struktur Perkerasan Kaku pada Galian (Manual Desain Perkerasan
Jalan, 2/M/BM/2013)

Adapun Komponen Konstruksi Perkerasan Beton Semen


(Rigid Pavement) adalah sebagai berikut :

a. Tanah Dasar (Subgrade)


Tanah dasar adalah bagian dari permukaan badan jalan yang
dipersiapkan untuk menerima konstruksi di atasnya yaitu
konstruksi perkerasan. Tanah dasar ini berfungsi sebagai
penerima beban lalu lintas yang telah disalurkan / disebarkan oleh
konstruksi perkerasan. Persyaratan yang harus dipenuhi dalam
penyiapan tanah dasar (subgrade) adalah lebar, kerataan,
kemiringan melintang keseragaman daya dukung dan
keseragaman kepadatan.
Pada konstruksi perkerasan kaku fungsi tanah dasar tidak
terlalu menentukan, dalam arti kata bahwa perubahan besarnya
daya dukung tanah dasar tidak berpengaruh terlalu besar pada
nilai konstruksi (tebal) perkerasan kaku.

b. Lapis Pondasi (Subbase)


Lapis pondasi ini terletak di antara tanah dasar dan pelat
beton semen mutu tinggi. Sebagai bahan subbase dapat digunakan
unbound granular (sirtu) atau bound granural (CTSB, cement
treated subbase). Pada umumnya fungsi lapisan ini tidak terlalu
struktural, maksudnya keberadaan dari lapisan ini tidak untuk
menyumbangkan nilai struktur perkerasan beton semen.
Fungsi utama dari lapisan ini adalah sebagai lantai kerja yang
rata dan uniform. Apabila subbase tidak rata, maka pelat beton
juga tidak rata, ketidakrataan ini dapat berpotensi sebagai crack
inducer.

c. Tulangan
Pada perkerasan beton semen terdpat dua jenis tulangan,
yaitu tulangan pada pelat beton untuk memperkuat pelat beton
tersebut dan tulangan sambungan untuk menyambung kembali
bagian – bagian pelat beton yang telah terputus (diputus). Kedua
tulangan tersebut memiliki bentuk, lokasi serta fungsi yang
berbeda satu sama lain. Adapun tulangan tersebut antara lain :
i. Tulangan Pelat
Tulangan pelat pada perkerasan beton semen mempunyai
bentuk, lokasi dan fungsi yang berbeda dengan tulangan pelat
pada konstruksi beton yang lain seperti gedung, balok dan
sebagainya.
ii. Tulangan Sambungan
Tulangan sambungan ada dua macam yaitu tulangan
sambungan arah melintang dan arah memanjang. Sambungan
melintang merupakan sambungan untuk mengakomodir
kembang susut ke arah memanjang pelat. Sedangkan tulangan
sambungan memanjang merupakan sambungan untuk
mengakomodir gerakan lenting pelat beton.
iii. Sambungan atau Joint
Fungsi dari sambungan atau joint adalah mengendalikan
atau mengarahkan retak pelat beton akibat shrinkage (susut)
maupun wrapping (lenting) agar teratur baik bentuk maupun
lokasinya sesuai yang kita kehendaki (sesuai desain). Dengan
terkontrolnya retak tersebut, mka retak akan tepat terjadi pada
lokasi yang teratur dimana pada lokasi tersebut telah kita beri
tulangan sambungan.
Pada sambungan melintang terdapat 2 jenis sambungan
yaitu sambungan susut dan sambungan lenting. Sambungan
susut diadakan dengan cara memasang bekisting melintang
dan dowel antara pelat pengecoran sebelumnya dan
pengecoran berikutnya. Sedangkan sambungan lenting
diadakan dengan cara memasang bekisting memanjang dan tie
bar.
Pada setiap celah sambungan harus diisi dengan joint
sealent dari bahan khusus yang bersifat thermoplastic antara
lain rubber aspalt, coal tars ataupun rubber tars. Sebelum joint
sealent dicor/dituang, maka celah harus dibersihkan terlebih
dahulu dari segala kotoran.
iv. Bound Breaker di atas Subbase
Bound breaker adalah plastik tipis yang diletakan di atas
subbase agar tidak terjadi bounding antara subbase dengan
pelat beton di atasnya. Selain itu, permukaan subbase juga
tidak boleh di - groove atau di - brush.
v. Alur Permukaan atau Grooving/Brushing
Agar permukaan tidak licin maka pada permukaan beton
dibuat alur-alur (tekstur) melalui pengaluran/penyikatan
(grooving/brushing) sebelum beton

2. Konstruksi Perkerasan Lentur (Flexible Pavement)


Perkerasan Lentur (Flexible Pavement) yaitu perkerasan
yang menggunakan aspal sebagai bahan pengikat. Lapisan-lapisan
perkerasannya bersifat memikul dan menyebarkan beban lalu lintas
ke tanah dasar.
Menurut Sukirman (1999), konstruksi perkerasan lentur
terdiri dari lapisanlapisan Yang diletakkan di atas tanah dasar yang
telah dipadatkan. Bahan yang umum digunakan dalam perkerasan
lentur adalah agregat dan aspal yang berfungsi untuk menyebarkan
beban lalu lintas ke lapisan bawahnya. Secara umum susunan
konstruksi perkerasan lentur terdiri dari :

a. Tanah Dasar (Sub Grade)


Tanah Dasar adalah permukaan tanah semula atau
permukaan galian atau permukaan tanah timbunan, yang
dipadatkan dan merupakan permukaan dasar untuk perletakan
bagian-bagian perkerasan lainnya.
Kekuatan dan keawetan konstruksi perkerasan jalan sangat
tergantung dari sifat- sifat dan daya dukung tanah dasar. Lapisan
tanah dasar dapat berupa tanah asli yang dipadatkan jika tanah
aslinya baik, tanah yang didatangkan dari tempat lain dan
dipadatkan atau tanah yang distabilisasi dengan kapur atau bahan
lainnya. Jika ditinjau dari tanah asli maka lapisan tanah dasar
dibedakan atas :
i. Lapisan tanah dasar, tanah galian.
ii. Lapisan tanah dasar, tanah timbunan.
iii. Lapisan tanah dasar, tanah asli.

b. Lapisan Pondasi Bawah (Sub Base Course)


Lapis pondasi bawah adalah lapisan yang terletak antara
lapis pondasi atas dan tanah dasar. Adapun fungsi dari lapis
pondasi bawah sebagai berikut :
i. Bagian dari konstruksi perkerasan menyebarkan beban roda
ketanah dasar. Lapisan ini harus cukup kuat, mempunyai CBR
20% dan plastisitas indeks (PI) = 10%.
ii. Efisiensi dalam penggunaan material, material bawah relative
lebih murah dibandingkan dengan lapisan perkerasan di
atasnya.
iii. Lapisan peresapan agar air tanah tidak berkumpul di pondasi.
iv. Lapisan pertama agar pekerjaan pondasi dapat berjalan lancer,
hal ini sehubungan dengan kondisi lapangan yang memaksa
harus segera menutup tanah dasar dari pengaruh cuaca, atau
lemahnya daya dukung tanah dasar menahan roda-roda alat
berat.
v. Lapisan ini mencegah partikel-partikel halus dari tanah dasar
naik ke lapis pondasi atas.

c. Lapisan Pondasi Atas (Base Course)


Lapis pondasi atas adalah lapisan perkerasan yang terletak di
antara pondasi bawah dan lapis permukaan. Fungsi lapisan
pondasi atas ini antara lain :
i. Bagian perkerasan yang menahan gaya lintang dari beban roda
dan menyebarkan beban kelapisan di bawahnya.
ii. Lapisan peresapan untuk lapisan pondasi bawah.
iii. Bantalan terhadap lapisan permukaan.

Material yang digunakan untuk lapisan pondasi atas adalah


material yang cukup kuat dengan CBR > 50% dan plastisitas
indeks (PI) < 4%. Bahan-bahan alam seperti batu pecah, kerikil
pecah, stabilitas tanah dengan semen dan kapur dapat digunakan
sebagai lapis pondasi atas

d. Lapisan permukaan (Surface Course )


Lapis permukaan adalah bagian yang terletak paling atas.
Adapun fungsi dari lapis permukaan sebagai berikut :
i. Lapis perkerasan penahan beban roda, lapisan yang
mempunyai stabilitas tinggi untuk menahan beban roda
selama masa pelayanan.
ii. Lapis kedap air, sehingga air hujan yang jatuh di atasnya tidak
meresap kelapisan bawahnya dan melemahkan lapisan-
lapisan tersebut.
iii. Lapisan aus (wearing course), lapisan yang langsung
menderita gesekan akibat rem kendaraan sehingga menjadi
aus.
iv. Lapis yang menyebabkan beban ke lapisan bawah, sehingga
dapat dipukul oleh lapisan lain yang mempunyai daya dukung
yang lebih jelek.

Bahan untuk lapis permukaan umumnya adalah sama dengan


bahan untuk lapis pondasi, dengan persyaratan yang lebih tinggi.
Penggunaan bahan aspal diperlukan agar lapisan dapat bersifat
kedap air, disamping itu bahan aspal sendiri memberikan bantuan
tegangan tarik, yang berarti mempertinggi daya dukung lapisan
terhadap beban roda lalu lintas. Pemilihan bahan untuk lapis
permukaan perlu dipertimbangkan kegunaan, umur rencana serta
pentahapan konstruksi, agar dicapai manfaat yang sebesar-
besarnya dari biaya yang dikeluarkan.

Salah satu jenis Lapis Permukaan (Surface Course) produk


campuran yang digunakan oleh Departemen Pekerjaan Umum
dan Prasarana Wilayah adalah Laston (Lapisan Aspal Beton).
Menurut Bina Marga (2007), Aspal beton merupakan campuran
yang homogen antara agregat (agregat kasar, agregat halus dan
bahan pengisi atau filler) dan aspal sebagai bahan pengikat yang
mempunyai gradasi tertentu, dicampur, dihamparkan dan
dipadatkan pada suhu tertentu untuk menerima beban lalu lintas
yang tinggi.

Aspal beton (Asphalt Concrete) di Indonesia dikenal dengan


Laston (Lapisan Aspal Beton) yaitu lapis permukaan struktural
atau lapis pondasi atas. Aspal beton terdiri atas 3 (tiga) macam
lapisan, yaitu Laston Lapis Aus ( Asphalt Concrete- Wearing
Course atau AC-WC), Laston Lapis Permukaan Antara ( Asphalt
Concrete- Binder Course atau AC-BC) dan Laston Lapis Pondasi
( Asphalt Concrete- Base atau AC-Base). Ketebalan nominal
minimum masing-masing 4 Cm, 5 Cm, dan 6 Cm.

i. Asphalt Concrete – Wearing Course


Asphalt Concrete -Wearing Course merupakan lapisan
perkerasan yang terletak paling atas dan berfungsi sebagai
lapisan aus. Walaupun bersifat non struktural, AC-WC dapat
menambah daya tahan perkerasan terhadap penurunan mutu
sehingga secara keseluruhan menambah masa pelayanan dari
konstruksi perkerasan .
ii. Asphalt Concrete – Binder Course
Lapisan ini merupakan lapisan perkerasan yang terletak
dibawah lapisan aus (Wearing Course) dan di atas lapisan
pondasi (Base Course). Lapisan ini tidak berhubungan
langsung dengan cuaca, tetapi harus mempunyai ketebalan dan
kekauan yang cukup untuk mengurangi tegangan/regangan
akibat beban lalu lintas yang akan diteruskan ke lapisan di
bawahnya yaitu Base dan Sub Grade (Tanah Dasar).
Karakteristik yang terpenting pada campuran ini adalah
stabilitas.
iii. Asphalt Concrete – Base
Lapisan ini merupakan perkerasan yang terletak di bawah
lapis pengikat (AC- BC), perkerasan tersebut tidak
berhubungan langsung dengan cuaca, tetapi perlu memiliki
stabilitas untuk menahan beban lalu lintas yang disebarkan
melalui roda kendaraan. Perbedaan terletak pada jenis gradasi
agregat dan kadar aspal yang digunakan. Menurut Departemen
Pekerjaan Umum (1983) Laston Atas atau lapisan pondasi
atas ( AC- Base) merupakan pondasi perkerasan yang terdiri
dari campuran agregat dan aspal dengan perbandingan tertentu
dicampur dan dipadatkan dalam keadaan panas. Lapis Pondasi
(AC- Base ) mempunyai fungsi memberi dukungan lapis
permukaan; mengurangi regangan dan tegangan;
menyebarkan dan meneruskan beban konstruksi jalan di
bawahnya (Sub Grade)
Gambar 2.x Struktur Perkerasan Lentur (Lalu Lintas Berat) pada Permukaan

Tanah Asli (Manual Desain Perkerasan Jalan, 2/M/BM/2013)

Gambar 2.x Struktur Perkerasan Lentur (Lalu Lintas Berat) pada Timbunan

(Manual Desain Perkerasan Jalan, 2/M/BM/2013)

Perkerasan Lentur dan perkerasan kaku mempunyai beberapa


perbedaan, antara lain :

Tabel 2.x Perbedaan Antara Perkerasan Lentur dan Perkerasan Kaku


No Perbedaan Perkerasan Lentur Perkerasan Kaku
Bahan
1 Pengikat Aspal Semen
Repetisi Timbul Rutting (Lendutan Bersifat sebagai balok di
2 Beban pada jalur roda) atas perletakan
Penurunan Jalan Bergelombang Bersifat sebagai balok di
3 Tanah Dasar (Mengikuti tanah dasar) atas perletakan
Modulus kekakuan Modulus kekakuan tidak
Perubahan berubah dan timbul berubah dan timbul
4 Temperatur tegangan dalam yang kecil tegangan dalam yang kecil
Sumber: Sukirman (1999)

2.6. Manual Desain Perkerasan Jalan (MDP) 2013

Metode Manual Desain Perkerasan Jalan (MDP) 2013 adalah salah satu
metode terbaru yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Bina Marga.
Metode ini digunakan sebagai perencanaan perkerasan pada jalan baru,
pelebaran jalan, dan rekonstruksi perkerasan lentur dan kaku. Pada metode
ini dijelaskan pula faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam
pemilihan struktur perkerasan.

Metode ini digunakan untuk menghasilkan desain awal yang nantinya


hasil tersebut dapat diperiksa dan dijadikan desain perkerasan lentur dan
kaku.

Langkah-langkah yang dilakukan untuk perencanaan menggunalan


Metode Manual Desain Perkerasan Jalan 2013 adalah

1. Umur rencana (UR)


Umur rencana (UR) menurut Bina Marga, 2013, adalah jumlah
waktu dalam tahun dihitung sejak jalan tersebut mulai dibuka sampai saat
diperlukan perbaikan berat atau dianggap perlu untuk diberi lapis
permukaan yang baru. Untuk menentukan umur rencana perkerasan dapat
dilihat dengan Tabel 3.x.

Tabel 3.x Umur Rencana Perkerasan Jalan Baru


Sumber:Manual Desain Perkerasan Jalan No.02/M/BM/2013

2. Analisis volume lalu lintas untuk penentuan LHRT (Lalu Lintas Harian
Rata-Rata Tahunan)
Untuk menentukan LHRT (Lalu Lintas Harian Rata-Rata Tahunan)
dapat didasarkan pada survei faktual. Untuk keperluan desain volume lalu
lintas dapat diperoleh dari :
a. Survei lalu lintas aktual dengan durasi 7x24 jam. Pelaksanaan survei
mengacu pada Pedoman Survei Pencacahan Lalu Lintas dengan Cara
Manual Pd T-19-2004-B atau dapat menggunakan peralatan dengan
pendekatan yang sama.
b. Hasil-hasil survei sebelumnya
c. Untuk jalan dengan lalu lintas rendah dapat menggunakan nilai
perkiraan
Untuk penentuan volume lalu lintas pada jam sibuk dan Lintas
Harian Rata-rata (LHRT) mengacu pada Manual Kapasitas Jalan
Indonesia (MKJI). LHRT yang dihitung adalah untuk semua jenis
kendaraan kecuali sepeda motor, ditambah 30% jumlah sepeda motor.

3. Menentukan Faktor Pertumbuhan Lalu Lintas


Faktor pertumbuhan lalu lintas didasarkan pada data-data
pertumbuhan historis atau formulasi korelasi dengan pertumbuhan lain
yang valid, bila tidak ada maka dapat dengan tabel berikut.

Tabel 3.x Perkiraan Faktor Pertumbuhan Lalu Lintas (i)

Sumber:Manual Desain Perkerasan Jalan No.02/M/BM/2013

Untuk menghitung pertumbuhan lalu lintas selama unur rencana (R),


(1+𝑖)UR −1
R==
𝒊

Dimana :

R = Faktor pengali pertumbuhan lalu lintas

i = Tingkat pertumbuhan tahunan (%)

UR = Umur rencana (tahun)

4. Menentukan Faktor Distribusi Dan Kapasitas Lajur


Kapasitas pada lajur desain tidak boleh melampaui kapasitas lajur
selama umur rencana. Kapasitas lajur mengacu pada Peraturan Menteri PU
N0.19/PRT/M/2011 mengenai Persyaratan Teknis Jalan dan Kriteria
Perencanaan Teknis Jalan berkaitan Rasio Volume Kapasitas (RVK) yang
harus dipenuhi.

Tabel 3.x Faktor Distribusi Lajur (DL)

Sumber : Manual Desain Perkerasan Jalan No. 02/M/BM/2013

5. Menentukan VDF (Vehicle Damage Factor)


VDF adalah perkiraan faktor ekivalen beban. Perhitungan beban lalu
lintas yang akurat sangatlah penting.
Beban lalu lintas tersebut diperoleh dari :
a. Studi jembatan timbang/timbangan statis lainnya khusus untuk ruas
jalan yang didesain.
b. Studi jembatan timbang yang permah dilakukan sebelumnya dan
dianggap cukup representatif untuk ruas jalan yang didesain.
c. Data WIM regional yang dikeluarkan oleh Direktorat Bina Marga
Teknik.
d. Klasifikasi kendaraan dan nilai VDF standar Tabel 3.x

Tabel 3.x Ketentuan Cara Pengumpulan Data Beban Lalu Lintas

Sumber : Manual Desain Perkerasan Jalan No. 02/M/BM/2013


Tabel 3.x Klasifikasi Kendaraan dan Nilai VDF Standar

Sumber : Manual Desain Perkerasan Jalan No. 02/M/BM/2013


6. Menghitung Beban Sumbu Standar Kumulatif / Cumulative Equivalent
Single Axle Load (CESA)
Beban Sumbu Standar Kumulatif / Cumulative Equivalent Single
Axle Load (CESA) adalah jumlah kumulatif beban sumbu lalu lintas
rencana pada lajur rencana selama umur rencana (Bina Marga 2013), yang
ditentukan sebagai berikut :

ESA =( ∑ LHRT jenis kendaraan x VDF ) x DL

CESA = ESA x 365 x R

Dimana :

ESA = Lintas sumbu standra ekivalen (Equivalent Standard Axle)

untuk 1 hari.

LHRT = Lintas harian rata-rata tahunan untuk jenis kendaraan

tertentu.

CESA = Kumulatif beban standar ekivalen selama umur rencana.

R = Faktor pengali pertumbuhan lalu lintas.

7. Menghitung Traffic Multiper (TM)


Traffic Multiper (TM) pada perkerasan lentur dinyatakan dalam
ekivalen sumbu standar 80kN. Traffic Multiper (TM) lapisan aspal untuk
kondisi pembebanan yang berlebih di Inonesia berkisar 1,8 – 2. Nilai
CESA tertentu (pangkat 4) untuk perencanaan perkerasan lentur harus
dikalikan dengan nilai Traffic Multiper (TM) untuk menapatkan CESA5
Kerusakan perkerasan secara umum,

𝐿𝑖𝑗 4
ESA4 = ( )
𝑆𝐿

Dimana :
Lij = Beban pada sumbu atau kelompok sumbu

SL = Beban standar untuk sumbu atau kelompok sumbu (nilai SL

mengiktui ketentuan dalam pedoman desain Pd T-05-2005)

8. Menghitung CESA5
CESA5 = TM x CESA4

9. Menentukan Daya Dukung Subgrade


Nilai Daya Dukung tanah dasar (Subgrade) atau CBR subgrade yang
umum di Indonesia adalah 4% - 6%.

Penentuan segmen seragam

CBR karakteristik = CBR rata-rata – 1,3 x standar deviasi

CBR ekivalen = {∑hCBR0,333} / ∑h}3

Dimana :

h = Tinggi lapisan
Tabel 3.x Tabel desain perkiraan nilai CBR tanah dasar.

Sumber : Manual Desain Perkerasan Jalan No. 02/M/BM/2013


10. Menentukan struktur pondasi jalan

Tabel 3.x Tabel Desain Solusi Pondasi Jalan Minimum

Sumber : Manual Desain Perkerasan Jalan No. 02/M/BM/2013


11. Menentukan struktur perkerasan dengan chart desain.

Tabel 3.x Pemilihan Jenis Perkerasan

Sumber : Manual Desain Perkerasan Jalan No. 02/M/BM/2013


Tabel 3.x Chart Desain Lapis Perkerasan Lentur

Sumber : Manual Desain Perkerasan Jalan No. 02/M/BM/2013


Tabel 3.x Desain Perkerasan Lentur Alternatif

Sumber : Manual Desain Perkerasan Jalan No. 02/M/BM/2013

Tabel 3.x Desain Perkerasan Lentur – Aspal dengan Lapis Pondasi Berbutir

Sumber : Manual Desain Perkerasan Jalan No. 02/M/BM/2013


Tabel 3.x Karakteristik modulus bahan berbutir lepas yang digunakan untuk
pengembangan chart desain

Sumber : Manual Desain Perkerasan Jalan No. 02/M/BM/2013

Tabel 3.x Parameter kelelehan (fatigue) K yang digunakan untuk pengembangan

chart desain dan untuk analisis mekanistik

Sumber : Manual Desain Perkerasan Jalan No. 02/M/BM/2013

Anda mungkin juga menyukai