Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Penyakit infeksi masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang

penting, khususnya di negara berkembang. Salah satu obat andalan untuk mengatasi masalah

tersebut adalah antimikroba antara lain antibakteri/antibiotik, antijamur, antivirus,

antiprotozoa. Antibiotik merupakan obat yang paling banyak digunakan pada infeksi yang

disebabkan oleh bakteri. Berbagai studi menemukan bahwa sekitar 40-62% antibiotik

digunakan secara tidak tepat antara lain untuk penyakit-penyakit yang sebenarnya tidak

memerlukan antibiotik. Pada penelitian kualitas penggunaan antibiotik di berbagai bagian

rumah sakit ditemukan 30% sampai dengan 80% tidak didasarkan pada indikasi.

Intensitas penggunaan antibiotik yang relatif tinggi menimbulkan berbagai

permasalahan dan merupakan ancaman global bagi kesehatan terutama resistensi bakteri

terhadap antibiotik. Selain berdampak pada morbiditas dan mortalitas, juga memberi dampak

negatif terhadap ekonomi dan sosial yang sangat tinggi. Pada awalnya resistensi terjadi di

tingkat rumah sakit, tetapi lambat laun juga berkembang di lingkungan masyarakat,

khususnya Streptococcus pneumoniae (SP), Staphylococcus aureus, dan Escherichia coli.

Persoalan antibiotik tidak hanya terjadi di Indonesia tapi juga secara global yang

menjadi persoalan yang cukup pelik dan harus segera diatasi bersama. Penggunaan antibiotik

yang bijak dan rasional dapat mengurangi beban penyakit, khusunya penyakit infeksi.

Sebaliknya penggunaan antibiotik secara luas pada manusia dan hewan yang tidak sesuai
indikasi mengakibatkan meningkatnya resistensi antibiotik secara signifikan. Hal yang utama

diperlukan adalah surveilans atau penelitian. Sering sekali diagnosis penyakit tidak

menggambarkan resistensi dari obat, khususnya antibiotik. Dan kebanyakan orang

menyadari hal tersebut ketika sudah berada di rumah sakit dan kuman-kuman nosocomial ini

dapat mengancam orang disekitarnya. Data terkait angka kematian akibat AMR di Indonesia

juga masih sangat minim. Angka kematian terselip dari kasus kematian di rumah sakit, seperti

meninggal Karena serangan jantung, struk, pneumoni. Jika dilacak rekam medik ternyata ada

kuman resisten tang tidak dilaporkan, Karena sistem pelaporan belum mengacu kepada

mikroba.

Penjualan antibiotik secara bebas di apotek, kios, warung juga menyimpan antibiotik

cadangan dirumah, hingga memaksa dokter meresepkan antibiotik, merupakan masalah yang

terjadi di masyarakat. Ini dapat mendorong terjadinya resistensi antibiotik pada manusia.

Adanya resistensi antibiotik, menyebabkan penurunan kemampuan antibiotik untuk

mengobati infeksi dan penyakit pada manusia dan hewan. Lebih lanjut hal ini menyebabkan

terjadinya masalah seperti meningkatnya angka kesakitan dan menyebabkan kematian,

meningkatnya biaya dan lama perawatan, meningkatnya efek samping dari penggunaan obat

ganda dan dosis yang tinggi (pusat komunikasi public secretariat jendral kementrian

kesehatan RI : penggunaan antibiotik yang bijak dan rasional mengurangi beban penyakit

infeksi. Diakses pada 27 Agt 2017).

Berdasarkan laporan terakhir badan kesehatan dunia (WHO) dalam Antimicrobial

Resistance: Global Report on Surveilance menunjukkan bahwa Asia Tenggara memiliki

angka tertinggi dalam kasus resistensi antibiotik di dunia, khususnya infeksi yang disebabkan
oleh Staphylococcus aureus yang resistensi terhadap Methicillin, sehingga menurunkan

fungsi antibiotik tersebut.

Hasil penelitian Antimicrobial Resistance in Indonesia, pada tahun 2000-2004 di

RSUD Dr. Soetomo Surabaya dan RSUP dr. Kariadi Semarang, membuktikan bahwa sudah

terdapat kuman multi-resisten seperti MRSA (Methicillin Resistance Staphylococcus aureus)

dan bakteri penghasil ESBL (Extended Spectrum Beta Lactamases). Selain itu ditemukan

bahwa 30% sampai 80% penggunaan antibiotik tidak berdasarkan indikasi. Hal ini tidak

hanya merupakan ancaman bagi lingkungan tetapi juga berkaitan dengan masyarakat luas.

Sedangkan menurut data WHO pada tahun 2013 terdapat 48.000 kasus baru multidrug-

resistent tuberculosis (MDR-TB) di dunia. Data menunjukkan bahwa resistensi antimikroba

memamng telah menjadi masalah yang harus segera diselesaikan. Berdasarkan hal diatas

maka dianggap diperlukan pembahasan terkait penggunaan antibiotik yang rasional. Hal ini

bertujuan untuk mencegah penggunaan antibiotik yang tidak bijak. Makalah ini dapat

bertujuan untuk menambah wawasan dan pengetahuan bagi pembacanya.


BAB II

ISI

1. PENGERTIAN ANTIBIOTIK

Antibiotik berasal dari kata Yunani tua, yang merupakan gabungan dari kata anti

(lawan) dan bios (hidup). Kalau diterjemahkan bebas menjadi "melawan sesuatu yang

hidup". Antibiotika di dunia kedokteran digunakan sebagai obat untuk memerangi infeksi

yang disebabkan oleh bakteri atau protozoa. Antibiotika adalah zat yang dihasilkan oleh suatu

mikroba, terutama fungi/jamur, yang dapat menghambat atau dapat membasmi mikroba jenis

lain. Banyak antibiotika saat ini dibuat secara semisintetik atau sintetik penuh. Namun dalam

prakteknya antibiotika sintetik tidak diturunkan dari produk mikroba.

2. PENGGOLONGAN ANTIBIOTIK

Penggolongan Antibiotik berdasarkan mekanisme kerjanya : Inhibitor sintesis

dinding sel bakteri, mencakup golongan Penicillin, Polypeptide dan Cephalosporin Inhibitor

transkripsi dan replikasi, mencakup golongan Quinolone, Inhibitor sintesis protein,

mencakup banyak jenis antibiotik, terutama dari golongan Macrolide, Aminoglycoside, dan

Tetracycline Inhibitor fungsi membran sel, misalnya ionomycin, valinomycin; Inhibitor

fungsi sel lainnya, seperti golongan sulfa atau sulfonamida, Antimetabolit, misalnya

azaserine.

Penggolongan Antibiotik berdasarkan daya kerjanya : Bakterisid: Antibiotika yang

bakterisid secara aktif membasmi kuman. Termasuk dalam golongan ini adalah penisilin,

sefalosporin, aminoglikosida (dosis besar), kotrimoksazol , polipeptida, rifampisin, isoniazid


dll. Bakteriostatik: Antibiotika bakteriostatik bekerja dengan mencegah atau menghambat

pertumbuhan kuman, tidak membunuhnya, sehingga pembasmian kuman sangat tergantung

pada daya tahan tubuh. Termasuk dalam golongan ini adalah sulfonamida, tetrasiklin,

kloramfenikol, eritromisin, trimetropim, linkomisin, makrolida, klindamisin, asam

paraaminosalisilat, dll.

Penggolongan antibiotik berdasarkan spektrum kerjanya : Spektrum luas (aktivitas

luas) : Antibiotik yang bersifat aktif bekerja terhadap banyak jenis mikroba yaitu bakteri

gram positif dan gram negative. Contoh antibiotik dalam kelompok ini adalah sulfonamid,

ampisilin, sefalosforin, kloramfenikol, tetrasiklin, dan rifampisin. Spektrum sempit (aktivitas

sempit) : Antibiotik yang bersifat aktif bekerja hanya terhadap beberapa jenis mikroba saja,

bakteri gram positif atau gram negative saja. Contohnya eritromisin, klindamisin, kanamisin,

hanya bekerja terhadap mikroba gram-positif. Sedang streptomisin, gentamisin, hanya

bekerja terhadap kuman gram-negatif.

3. PRINSIP PENGGUNAAN ANTIBIOTIK

a. Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan pada penggunaan antibiotik

- Resistensi mikroorganisme terhadap antibiotik

Resistensi adalah kemampuan bakteri untuk menetralisir dan melemahkan

daya kerja antibiotik. Hal ini dapat terjadi dengan beberapa cara, yaitu (Drlica

& Perlin, 2011): 1) Merusak antibiotik dengan enzim yang diproduksi. 2)

Mengubah reseptor titik tangkap antibiotik. 3) Mengubah fisiko-kimiawi

target sasaran antibiotik pada sel bakteri. 4) Antibiotik tidak dapat menembus

dinding sel, akibat perubahan sifat dinding sel bakteri. 5) Antibiotik masuk ke
dalam sel bakteri, namun segera dikeluarkan dari dalam sel melalui

mekanisme transport aktif ke luar sel

- Faktor farmakokinetik dan farmakodinamik

Pemahaman mengenai sifat farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotik

sangat diperlukan untuk menetapkan jenis dan dosis antibiotik secara tepat.

Agar dapat menunjukkan aktivitasnya sebagai bakterisida ataupun

bakteriostatik, antibiotik harus memiliki beberapa sifat berikut ini: a.

Aktivitas mikrobiologi. Antibiotik harus terikat pada tempat ikatan

spesifiknya (misalnya ribosom atau ikatan penisilin pada protein). b. Kadar

antibiotik pada tempat infeksi harus cukup tinggi. Semakin tinggi kadar

antibiotik semakin banyak tempat ikatannya pada sel bakteri. c. Antibiotik

harus tetap berada pada tempat ikatannya untuk waktu yang cukup memadai

agar diperoleh efek yang adekuat. d. Kadar hambat minimal. Kadar ini

menggambarkan jumlah minimal obat yang diperlukan untuk menghambat

pertumbuhan bakteri.

- Faktor interaksi dan efek samping obat

Pemberian antibiotik secara bersamaan dengan antibiotik lain, obat lain atau

makanan dapat menimbulkan efek yang tidak diharapkan. Efek dari interaksi

yang dapat terjadi cukup beragam mulai dari yang ringan seperti penurunan

absorpsi obat atau penundaan absorpsi hingga meningkatkan efek toksik obat

lainnya. Sebagai contoh pemberian siprofloksasin bersama dengan teofilin

dapat meningkatkan kadar teofilin dan dapat berisiko terjadinya henti jantung

atau kerusakan otak permanen. Demikian juga pemberian doksisiklin bersama


dengan digoksin akan meningkatkan efek toksik dari digoksin yang bisa fatal

bagi pasien.

Data interaksi obat-antibiotik

Obat Interaksi

Antasida Absorbs sefaklor dan sefpodoksim

dikurangi oleh antasida

Vaksin Antibakteri menginaktivasi vaksin

tifoid oral

Allopurinol Peningkatan resiko rash bila

amoksisilin atau ampisilin diberikan

bersama allopurinol

(Aminoglikosida) Analgetik Kadar plasma amikasin dan

gentamisin pada neonates mungkin

ditingkatkan oleh indometasin

- Faktor biaya

Antibiotik yang tersedia di Indonesia bisa dalam bentuk obat generik, obat

merek dagang, obat originator atau obat yang masih dalam lindungan hak

paten (obat paten). Harga antibiotik pun sangat beragam. Harga antibiotik

dengan kandungan yang sama bisa berbeda hingga 100 kali lebih mahal

dibanding generiknya. Apalagi untuk sediaan parenteral yang bisa 1000 kali

lebih mahal dari sediaan oral dengan kandungan yang sama. Peresepan
antibiotik yang mahal, dengan harga di luar batas kemampuan keuangan

pasien akan berdampak pada tidak terbelinya antibiotik oleh pasien, sehingga

mengakibatkan terjadinya kegagalan terapi. Setepat apa pun antibiotik yang

diresepkan apabila jauh dari tingkat kemampuan keuangan pasien tentu tidak

akan bermanfaat.

b. Prinsip penggunaan antibiotik bijak (Prudent)

1. Penggunaan antibiotik bijak yaitu penggunaan antibiotik dengan spektrum

sempit, pada indikasi yang ketat dengan dosis yang adekuat, interval dan lama

pemberian yang tepat.

2. Kebijakan penggunaan antibiotik (antibiotic policy) ditandai dengan

pembatasan penggunaan antibiotik dan mengutamakan penggunaan antibiotik

lini pertama.

3. Pembatasan penggunaan antibiotik dapat dilakukan dengan menerapkan

pedoman penggunaan antibiotik, penerapan penggunaan antibiotik secara

terbatas (restricted), dan penerapan kewenangan dalam penggunaan antibiotik

tertentu (reserved antibiotics).

4. Indikasi ketat penggunaan antibiotik dimulai dengan menegakkan diagnosis

penyakit infeksi, menggunakan informasi klinis dan hasil pemeriksaan

laboratorium seperti mikrobiologi, serologi, dan penunjang lainnya.

Antibiotik tidak diberikan pada penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus

atau penyakit yang dapat sembuh sendiri (self-limited).

5. Pemilihan jenis antibiotik harus berdasar pada: a. Informasi tentang spektrum

kuman penyebab infeksi dan pola kepekaan kuman terhadap antibiotik. b.


Hasil pemeriksaan mikrobiologi atau perkiraan kuman penyebab infeksi. c.

Profil farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotik. d. Melakukan de-

eskalasi setelah mempertimbangkan hasil mikrobiologi dan keadaan klinis

pasien serta ketersediaan obat. e. Cost effective: obat dipilih atas dasar yang

paling cost effective dan aman.

6. Penerapan penggunaan antibiotik secara bijak dilakukan dengan beberapa

langkah sebagai berikut:

o Meningkatkan pemahaman tenaga kesehatan terhadap penggunaan

antibiotik secara bijak.

o Meningkatkan ketersediaan dan mutu fasilitas penunjang, dengan

penguatan pada laboratorium hematologi, imunologi, dan mikrobiologi

atau laboratorium lain yang berkaitan dengan penyakit infeksi.

o Menjamin ketersediaan tenaga kesehatan yang kompeten di bidang

infeksi.

o Mengembangkan sistem penanganan penyakit infeksi secara tim (team

work).

o Membentuk tim pengendali dan pemantau penggunaan antibiotik secara

bijak yang bersifat multi disiplin.

o Memantau penggunaan antibiotik secara intensif dan berkesinambungan.

o Menetapkan kebijakan dan pedoman penggunaan antibiotik secara lebih

rinci di tingkat nasional, rumah sakit, fasilitas pelayanan kesehatan

lainnya dan masyarakat.


c. Prinsip penggunaan antibiotik untuk terapi empiris dan definitive

1. Antibiotik terapi empiris

a. Penggunaan antibiotik untuk terapi empiris adalah penggunaan

antibiotik pada kasus infeksi yang belum diketahui jenis bakteri

penyebabnya.

b. Tujuan pemberian antibiotik untuk terapi empiris adalah eradikasi atau

penghambatan pertumbuhan bakteri yang diduga menjadi penyebab

infeksi, sebelum diperoleh hasil pemeriksaan mikrobiologi.

c. Indikasi: ditemukan sindrom klinis yang mengarah pada keterlibatan

bakteri tertentu yang paling sering menjadi penyebab infeksi. 1) Dasar

pemilihan jenis dan dosis antibiotik data epidemiologi dan pola

resistensi bakteri yang tersedia di komunitas atau di rumah sakit

setempat. 2) Kondisi klinis pasien. 3) Ketersediaan antibiotik. 4)

Kemampuan antibiotik untuk menembus ke dalam jaringan/organ

yang terinfeksi. 5) Untuk infeksi berat yang diduga disebabkan oleh

polimikroba dapat digunakan antibiotik kombinasi.

d. Rute pemberian: antibiotik oral seharusnya menjadi pilihan pertama

untuk terapi infeksi. Pada infeksi sedang sampai berat dapat

dipertimbangkan menggunakan antibiotik parenteral (Cunha, BA.,

2010).

e. Lama pemberian: antibiotik empiris diberikan untuk jangka waktu

4872 jam. Selanjutnya harus dilakukan evaluasi berdasarkan data


mikrobiologis dan kondisi klinis pasien serta data penunjang lainnya

(IFIC., 2010; Tim PPRA Kemenkes RI., 2010).

2. Antibiotik definitif

a. Penggunaan antibiotik untuk terapi definitif adalah penggunaan antibiotik

pada kasus infeksi yang sudah diketahui jenis bakteri penyebab dan pola

resistensinya (Lloyd W., 2010).

b. Tujuan pemberian antibiotik untuk terapi definitif adalah eradikasi atau

penghambatan pertumbuhan bakteri yang menjadi penyebab infeksi,

berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologi.

c. Indikasi: sesuai dengan hasil mikrobiologi yang menjadi penyebab

infeksi.

d. Dasar pemilihan jenis dan dosis antibiotik: 1) Efikasi klinik dan keamanan

berdasarkan hasil uji klinik. 2) Sensitivitas. 3) Biaya. 4) Kondisi klinis

pasien. 5) Diutamakan antibiotik lini pertama/spektrum sempit. 6)

Ketersediaan antibiotik (sesuai formularium rumah sakit). 7) Sesuai

dengan Pedoman Diagnosis dan Terapi (PDT) setempat yang terkini. 8)

Paling kecil memunculkan risiko terjadi bakteri resisten.

e. Rute pemberian: antibiotik oral seharusnya menjadi pilihan pertama untuk

terapi infeksi. Pada infeksi sedang sampai berat dapat dipertimbangkan

menggunakan antibiotik parenteral (Cunha, BA., 2010). Jika kondisi

pasien memungkinkan, pemberian antibiotik parenteral harus segera

diganti dengan antibiotik per oral.


f. Lama pemberian antibiotik definitif berdasarkan pada efikasi klinis untuk

eradikasi bakteri sesuai diagnosis awal yang telah dikonfirmasi.

Selanjutnya harus dilakukan evaluasi berdasarkan data mikrobiologis dan

kondisi klinis pasien serta data penunjang lainnya (IFIC., 2010; Tim

PPRA Kemenkes RI., 2010).


BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penggunaan antibiotik

yang rasional dan bijak dapat mencegah resistensi antibiotik tersebut dan merupakan

suatu kunci penting dalam pengobatan kasus infeksi. Dengan penggunaan yang

optimal dan memperoleh hasil yang maksimal. Penggunaan antibiotik seharusnya

tepat diagnose, pasien, indikasi dll.


DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015 tentang Program

Pengendalian Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit.

Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2406/ Menkes/Per/XII/2011

Tentang Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik

World Health Organization. Antibiotic Resistance : Synthesis of Recommendation by Expert

Policy Groups Alliance for the Prudent Use of Antibiotics. WHO 2011

www.depkes.go.id/article/print/15081100001/penggunaan-antibiotik-bijak-dan-rasional-

kurangi-beban-penyakit-infeksi.html (diakses pada minggu 27 Agustus 2017).

Anda mungkin juga menyukai