Anda di halaman 1dari 6

TUGAS PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (G)

Alih Fungsi Trotoar Sebagai Area PKL,


Peraturan dan Mengaturnya

OLEH :
 RIZAL BAYU DARMA AJI (111.160.093)
 RYOGA RIZKY RAMADHAN (111.160.097)
 AGATHON AZIS PARENZA (111.160.100)
 LATIEF FAISAL ADITYA (111.160.102)
 IKA PRAMESTI AYUNING P.S. (111.160.103)

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI


FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
YOGYAKARTA
2018
A. Latar Belakang
Keberadaan ruang publik di suatu masyarakat sangatlah penting sebagai suatu
sarana untuk melepas kepenatan atas suatu aktifitas dalam ruang. Keberadaan ruang publik
juga semakin diperlukan seiring dengan perkembangan jumlah penduduk yang meningkat,
sehingga masyarakat semakin membutuhkan ruang terbuka untuk memenuhi kebutuhan
mereka.
Ruang publik adalah suatu media untuk mengkomunikasikan informasi dan
pandangan. Ruang publik juga dijadikan sebagai tempat masyarakat untuk saling bertemu,
ngobrol, dan berdiskusi tenntang segala sesuatu (Jurgen Habermas). Oleh karena itu,
ketersediaan ruang publik sangat diperlukan oleh masyarakat untuk melakukan proses
komunikasi tersebut. Ruang publik yang ideal adalah sebuah area bebas milik bersama
untuk digunakan sebagaimana mestinya.
Akan tetapi, realitanya ruang publik kemudian dimanfaatkan oleh oknum-oknum
tertentu untuk kepentingan mereka pribadi. Ruang publik yang seharusnya terbuka secara
bebas bagi masyarakat, kemudian dikuasai secara sepihak oleh oknum-oknum tersebut
dmanfaatkan sebagai tempat untuk berniaga dengan sistem sewa lahan. Sistem tersebut
kemudian ditawarkan kepada pedagang-pedagang kecil yang baru mulai merintis
usahanya, seperti pedagang kaki lima.
Pedagang kaki lima pada awalnya merupakan sebutan bagi pedagang kecil yang
berjualan dengan jarak lima kaki dari pelataran toko. Saat ini, pedagang kaki lima banyak
ditemukan di beberapa titik ruang publik yang kemudian menimbulkan pro dan kontra atas
keberadaannya.

B. Pembahasan
Pengalihfungsian ruang publik sudah sangat sering terjadi di lingkungan
masyarakat, dan hal tersebut tidak hanya terjadi di kota-kota besar, tetapi juga di pedesaan.
Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sendiri, sebagai salah satu kota besar yang terdapat
di Indonesia, sudah tentu terjadi pengalihfungsian atas ruang publik tersebut, terutama
pengalihfungsian ruang publik sebagai area berjualan bagi para PKL. Hal tersebut
disebabkan karena DIY diposisikan sebagai salah satu daerah yang merupakan tujuan
wisata dan pendidikan yang ada di Indonesia.
Pada satu posisi, keberadaan PKL akan tampak menguntungkan bagi wisatawan
dan pelajar yang merantau ke Yogyakarta. Hal tersebut dikarenakan PKL mempermudah
mereka untuk membeli barang dengan harga yang relatif terjangkau. Tidak hanya itu,
keberadaan PKL sendiri dianggap sebagai pelengkap dari segala unsur kehidupan publik
di kawasan perdagangan dan keberadaan PKL tersebut merupakan daya tarik sendiri yang
dimiliki oleh kota Yogyakarta bagi wisatawan yang berkunjung.
Keberadaan PKL juga dianggap sebagai salah satu unsur pendukung bagi ekonomi
mikro. Akan tetapi hal tersebut bukan berarti tidak memiliki dampak negatif, keberadaan
PKL yang mengabil-alih ruang publik itu membuat aktifitas yang seharusnya terjadi di
ruang publik tersebut menjadi terganggu. Sebagai contoh, PKL yang menggunakan area
trotoar sebagai tempat untuk berjualan. Keberadaan PKL tersebut akan sangat mengganggu
bagi pejalan kaki yang berjalan di area trotoar, pejalan kaki tersebut tidak bisa lewat apabila
ada PKL di sana.
Akibatnya, si pejalan kaki harus turun dulu ke pinggir jalan sebelum naik lagi ke
area trotoar. Mungkin bagi sebagian orang hal tersebut dianggap lumrah dengan alasan
para pejalan kaki tersebut dapat mengalah dengan berjalan di tepian jalan, akan tetapi hal
tersebut merupakan suatu bentuk pelanggaran hak bagi para pejalan kaki. Berjalan di tepi
trotoar memberikan rasa tidak nyaman bagi pejalan kaki, tidak hanya itu, hal tersebut juga
dapat membahayakan pejalan kaki apabila ada kendaraan bermotor yang melintas terlalu
ke tepi, si pejalan kaki bisa saja terserimpit kendaraan bermotor tersebut. Terkadang,
jumlah PKL yang terlalu banyak juga menimbulan kemacetan di area jalan dimana PKL
itu berada.
Selain memberikan rasa tidak nyaman bagi pejalan kaki dan menimbulkan
kemacetan, para PKL juga seringkali lalai dalam menjaga kerbersihan di area sekiter
tempat mereka berjualan. Mereka meninggalkan sampah yang berasal dari barang
dagangan mereka di area tersebut, hal tersebut kemudian akan membuat area tersebut
terliah kotor memberinya kesan, dan lagi-lagi kenyamanan masyarakat terganggu.
Adanya pro dan kontra, keuntungan dan dampak negatif atas keberadaan PKL pada
akhirnya memaksa pemerintah untuk membuat peraturan khusus mengenai PKL karena
keberadaan PKL itu sendiri tidak mungkin untuk dihilangkan. PKL sekiranya perlu ditata
agar dapat terus berjalan tanpa harus melanggar hak-hak milik masyarakat atas suatu ruang
publik.

Peraturan mengenai PKL, terutama penjual makanan dan minuman, yang berlaku di
Daerah Istimewa Yogyakarta diatur oleh Peraturan Walikota Yogyakarta

No. 45 tahun 2007 dan peraturan Walikota Yogyakarta No. 62 tahun 2009 yaitu:
1. Ukuran lokasi usaha
a. Untuk lebar trotoar 1,5 m -3 m.
b. Untuk lebar trotoar >3 m, lebar tempat usaha maksimal 2 m.
2. Persyaratan untuk PKL makanan dan minuman:
a. Memasang daftar harga.
b. Melampirkan surat keterangan laik sehat dari Dinas Kesehatan Yogyakarta,
kecuali makanan dan minuman kemasan yang terdaftar di BPOM.
c. PKL yang berlokasi di depan perguruan tinggi harus mendapatkan persetujuan
dari pimpinan perguruan tinggi menjalankan waktu usaha di malam hari dan
mendukung sebagai wisata kuliner.
3. Waktu kegiatan usaha:
a. Aktifitas PKL dibagi 2 katagori waktu, yakni antara pukul 06.00-18.00 dan
pukul 18.00-04.00. setiap PKL menjalankan usaha pada salah satu waktu
tersebut.
b. PKL yang berlokasi di depan toko, khususnya lesehan, hanya dapat
menjalankan usaha pada pukul 21.00-04.00.

Petunjuk dalam Peraturan Daerah Kota Yogyakarta NO. 45 tahun 2002 tentang
penataan pedagang kaki lima, menyebutkan bahwa tidak semua ruas jalan yang
trotoarnya dapat di izinkan untuk lokasi usaha. Selain itu, PKL juga harus memenuhi
syarat dengan membuat surat pernyataan kesanggupan untuk mengembalikan lokasi usaha
apabila Pemerintah Daerah akan mempergunakan area tersebut untuk kepentingan umum
yang lebih luas tanpa syarat apapun.
Akan tetapi, pada kenyataannya mengatur PKL tidak semudah membalik telapak
tangan. Banyak PKL yang kemudian menganggap area diamana ia berjualan seolah-olah
menjadi miliknya pribadi. Terkadang bahkan ada pula PKL yang menyewakan area tempat
ia berjualan kepada orang lain agar mendapatkan keuntungan, dan ketika pemerintah
hendak menggunakan area tersebut, PKL menolak untuk direlokasi. Ekonomi kemudian
menjadi dalih bagi mereka untuk merampas hak masyarakat, spesifiknya pejalan kaki, atas
ruang publik.

Hal tersebut sejalan dengan pendapat Hannah Arendt dalam buku Politik Otentik
oleh Agus Sudibyo menjelaskan bahwa mereka (masyarakat) memanfaatkan ruang publik
untuk memproteksi properti mereka sendiri, untuk menjamin kebebasan mengakumulasi
kekayaan yang lebih banyak lagi, ruang publik disini bukan lagi ruang solidaritas atau
kebersamaan, melainkan ruang untuk melindungi kepemilikan pribadi dan proses
akumulasi modal (Sudibyo, 2012:49).

Sejauh ini, PKL yang sudah terkelola dengan cukup baik hanya terdapat di kawasan
Malioboro dan Alun-alun Kidul, selebihnya keberadan PKL masih belum tertata dengan
baik dan masih banyak PKL yang tidak menaati peraturan.

C. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat ditarik keimpulan bahwa keberadaan PKL di
Yogyakarta sendiri memberikan cukup banyak keuntungan sebagai salah satu daya tarik
wisata, selain itu keberadaan PKL juga memudahkan masyarakat untuk membeli suatu
barang. Akan tetapi, pengalihfungsian ruang publik, dalam hal ini trotoar, yang dilakukan
PKL memiliki dampak dengan memberikan rasa tidak nyaman kepada pejalan kaki.
Oleh sebab itu, peran pemerintah serta kesadaran masyarakat sangat diperlukan
demi mengelola keberadaan para PKL tersebut karena PKL sendiri tidak mungkin untuk
dihilangkan. Peraturan yang jelas mengenai PKL perlu ditegakkan agar dapat
mengembalikan fungsi ruang publik sebagaimana mestinya.
Selain itu, perlu adanya pengawasan bagi para PKL terkait dengan sewa lahan yang
dilakukan oleh mereka, dikarenakan hal tersebut merupakan penyalahgunaan ruang publik
dan jelas-jelas merampas hak milik masyarakat atas ruang publik tersebut.
Daftar Pustaka

Abdullah, Irwan. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

Rahma, Lulu F. 2016. Pengalihan Fungsi Trotoar di Yogyakarta Sebagai Area Berniaga PKL
dan Peraturan yang Mengaturnya. www.kompasiana.com

Puspitasari, Dirjani Eka. 2010. Mimbar Hukum: Penataan Pedagang Kaki Lima Kuliner Untuk
Mewujudkan FungsiTata Ruang Kota Di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman,
Yogyakarta

Ridwan, Juniarso dan Achmad Sodik. 2008. Hukum Tata Ruang dalam Konsep Kebijakan
Otonomi Daerah, Bandung: Nuansa.

Sudibyo, Agus. 2012. Politik Otentik, Tangerang: Marjin Kiri.

Anda mungkin juga menyukai