Anda di halaman 1dari 48

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Anak

1. Pengertian Anak

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18

tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan

terdapat dalam Undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak. Pasal tersebut menjelaskan bahwa,

anak adalah siapa saja yang belum berusia 18 tahun dan

termasuk anak yang masih didalam kandungan, yang

berarti segala kepentingan akan pengupayaan

perlindungan terhadap anak sudah dimulai sejak anak

tersebut berada didalam kandungan hingga berusia 18

tahun.

2. Paradigma Keperawatan Anak menurut Kemenkes RI 2016

Paradigma keperawatan anak merupakan suatu

landasan berpikir dalam penerapan ilmu keperawatan anak.

Landasan berpikir tersebut terdiri dari empat komponen,

di antaranya manusia dalam hal ini anak, keperawatan,

sehat-sakit dan lingkungan yang dapat digambarkan

berikut ini:

9
10

Manusia (Anak)

Sehat-Sakit Lingkungan

Keperawatan

Gambar 1.1Empat Komponen Landasan Berpikir Paradigma


Keperawatan Anak
a. Manusia (Anak)

Dalam memberikan pelayanan keperawatan anak selalu

diutamakan, mengingat kemampuan dalam mengatasi

masalah masih dalam proses kematangan yang berbeda

dibanding orang dewasa karena struktur fisik anak dan

dewasa berbeda mulai dari besarnya ukuran hingga

aspek kematangan fisik.

b. Sehat-sakit

Rentang sehat-sakit merupakan batasan yang dapat

diberikan bantuan pelayanan keperawatan pada anak

adalah suatu kondisi anak berada dalam status

kesehatan yang meliputi sejahtera, sehat optimal,

sehat, sakit, sakit kronis dan meninggal.


11

c. Lingkungan

Lingkungan dalam paradigma keperawatan anak yang

dimaksud adalah lingkungan eksternal maupun internal

yang berperan dalam perubahan status kesehatan anak.

Lingkungan internal seperti anak lahir dengan

kelainan bawaan maka dikemudian hari akan terjadi

perubahan status kesehatan yang cenderung sakit,

sedang lingkungan eksternal seperti gizi buruk, peran

orang tua, saudara, teman sebaya dan masyarakat akan

mempengaruhi status kesehatan anak.

d. Keperawatan

Komponen ini merupakan bentuk pelayanan

keperawatan yang diberikan kepada anak dalam mencapai

pertumbuhan dan perkembangan secara optimal dengan

melibatkan keluarga (Wong, 2009).

e. Prinsip Keperawatan Anak

Perawat harus memahami dan mengingat beberapa

prinsip yang berbeda dalam penerapan asuhan

keperawatan anak, dimana prinsip tersebut terdiri

dari:

Anak bukan miniatur orang dewasa tetapi sebagai

individu yang unik, artinya bahwa tidak boleh

memandang anak dari segi fisiknya saja melainkan

sebagai individu yang unik yang mempunyai pola


12

pertumbuhan dan perkembangan menuju proses

kematangan.

Anak adalah sebagai individu yang unik dan

mempunyai kebutuhan sesuai tahap perkembangannya.

Sebagai individu yang unik, anak memiliki berbagai

kebutuhan yang berbeda satu dengan yang lain sesuai

tumbuh kembang. Kebutuhan fisiologis seperti nutrisi

dan cairan, aktivitas, eliminasi, tidur dan lain-

lain, sedangkan kebutuhan psikologis, sosial dan

spiritual yang akan terlihat sesuai tumbuh

kembangnya.

Pelayanan keperawatan anak berorientasi pada upaya

pencegahan penyakit dan peningkatan derajat kesehatan

yang bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan

kematian pada anak mengingat anak adalah penerus

generasi bangsa.

f. Peran Perawat Anak

Perawat merupakan salah satu anggota tim kesehatan

yang bekerja dengan anak dan orang tua. Beberapa

peran penting seorang perawat, meliputi:

a. Sebagai pendidik.

Perawat berperan sebagai pendidik, baik

secara langsung dengan memberi

penyuluhan/pendidikan kesehatan pada orang tua


13

maupun secara tidak langsung dengan menolong orang

tua/anak memahami pengobatan dan perawatan

anaknya.

b. Sebagai konselor

Suatu waktu anak dan keluarganya

mempunyai kebutuhan psikologis berupa

dukungan/dorongan mental. Sebagai konselor,

perawat dapat memberikan konseling keperawatan

ketika anak dan keluarganya membutuhkan.

c. Melakukan koordinasi atau kolaborasi.

Dengan pendekatan interdisiplin, perawat

melakukan koordinasi dan kolaborasi dengan

anggota tim kesehatn lain dengan tujuan

terlaksananya asuhan yang holistik dan

komprehensif.

d. Sebagai pembuat keputusan etik.

Perawat dituntut untuk dapat berperan

sebagai pembuat keputusan etik dengan berdasarkan

pada nilai normal yang diyakini dengan penekanan

pada hak pasien untuk mendapat otonomi,

menghindari hal-hal yang merugikan pasien dan

keuntungan asuhan keperawatan yaitu meningkatkan

kesejahteraan pasien.
14

e. Sebagai peneliti.

Sebagai peneliti perawat anak

membutuhkan keterlibatan penuh dalam

upayamenemukan masalah-masalah keperawatan anak

yang harus diteliti, melaksanakan penelitian

langsung dan menggunakan hasil penelitian

kesehatan/keperawatan anak dengan tujuan

meningkatkan kualitas praktik/asuhan keperawatan

pada anak.

3. Tingkat perkembangan anak

Menurut Damaiyanti (2012), karakteristik anak

sesuai tingkat perkembangan :

1) Usia bayi (0-1 tahun)

Pada masa ini bayi belum dapat mengekspresikan

perasaan dan pikirannya dengan kata-kata. Oleh karena

itu, komunikasi dengan bayi lebih banyak menggunakan

jenis komunikasi non verbal. Pada saat lapar, haus,

basah dan perasaan tidak nyaman lainnya, bayi hanya

bisa mengekspresikan perasaannya dengan menangis.

Walaupun demikian, sebenarnya bayi dapat berespon

terhadap tingkah laku orang dewasa yang berkomunikasi

dengannya secara non verbal, misalnya memberikan

sentuhan, dekapan, dan menggendong dan berbicara

lemah lembut.
15

2) Usia pra sekolah (2-5 tahun)

Karakteristik anak pada masa ini terutama pada

anak dibawah 3 tahun adalah sangat egosentris. Selain

itu anak juga mempunyai perasaan takut ada

ketidaktahuan sehingga anak perlu diberi tahu tentang

apa yang akan akan terjadi padanya.

Dari hal bahasa, anak belum mampu berbicara

fasih. Hal ini disebabkan karena anak belum mampu

berkata-kata 900-1200 kata. Oleh karena itu saat

menjelaskan, gunakan kata-kata yang sederhana,

singkat dan gunakan istilah yang dikenalnya. Satu hal

yang akan mendorong anak untuk meningkatkan kemampuan

dalam berkomunikasi adalah dengan memberikan pujian

atas apa yang telah dicapainya.

3) Usia sekolah (6-12 tahun)

Anak pada usia ini sudah sangat peka terhadap

stimulus yang dirasakan yang mengancam keutuhan

tubuhnya. Oleh karena itu, apabila berkomunikasi dan

berinteraksi sosial dengan anak diusia ini harus

menggunakan bahasa yang mudah dimengerti anak dan

berikan contoh yang jelas sesuai dengan kemampuan

kognitifnya.
16

Anak usia sekolah sudah lebih mampu

berkomunikasi dengan orang dewasa. Perbendaharaan

katanya sudah banyak, sekitar 3000 kata dikuasi dan

anak sudah mampu berpikir secara konkret.

4) Usia remaja (13-18)

Fase remaja merupakan masa transisi atau

peralihan dari akhir masa anak-anak menuju masa

dewasa. Dengan demikian, pola pikir dan tingkah laku

anak merupakan peralihan dari anak-anak menuju orang

dewasa. Anak harus diberi kesempatan untuk belajar

memecahkan masalah secara positif.

4. Tugas Perkembangan Anak

Tugas perkembangan menurut teori Havighurst

(1961) adalah tugas yang harus dilakukan dan dikuasai

individu pada tiap tahap perkembangannya. Tugas

perkembangan bayi 0-2 adalah berjalan, berbicara, makan

makanan padat, kestabilan jasmani. Tugas perkembangan

anak usia 3-6 tahun adalah mendapat kesempatan bermain,

berkesperimen dan berekplorasi, meniru, mengenal jenis

kelamin, membentuk pengertian sederhana mengenai

kenyataan sosial dan alam, belajar mengadakan hubungan

emosional, belajar membedakan salah dan benar serta

mengembangkan kata hati juga proses sosialisasi.


17

Tugas perkembangan usia 6-12 tahun adalah

belajar menguasai keterampilan fisik dan motorik,

membentuk sikap yang sehat mengenai diri sendiri,

belajar bergaul dengan teman sebaya, memainkan peranan

sesuai dengan jenis kelamin, mengembangkan konsep yang

diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, mengembangkan

keterampilan yang fundamental, mengembangkan

pembentukan kata hati, moral dan sekala nilai,

mengembangkan sikap yang sehat terhadap kelompok sosial

dan lembaga. Tugas perkembangan anak usia 13-18 tahun

adalah menerima keadaan fisiknya dan menerima

peranannya sebagai perempuan dan laki-laki, menyadari

hubungan-hubungan baru dengan teman sebaya dan kedua

jenis kelamin, menemukan diri sendiri berkat refleksi

dan kritik terhadap diri sendiri, serta mengembangkan

nilai-nilai hidup.

B. Konsep Anak Usia Pra Sekolah

a. Definisi anak usia pra sekolah

Anak prasekolah adalah anak yang berusia antara

3-6 tahun. Dalam usia ini anak umumnya mengikuti

program anak (3-5 tahun) dan kelompok bermain (Usia 3

Tahun), sedangkan pada usia 4-6 tahun biasanya mereka

mengikuti program Taman Kanak-Kanak, Patmonedowo

(2008:19).
18

Menurut Noorlaila (2010:22), dalam perkembangan

ada beberapa tahapan yaitu: 1) sejak lahir sampai usia

3 tahun, anak memiliki kepekaan sensories dan daya

pikir yang sudah mulai dapat “menyerap” pengalaman-

pengalaman melalui sensorinya, usia setengah tahun

sampai kira-kira tiga tahun, mulai memiliki kepekaan

bahasa dan sangat tepat untuk mengembangkan bahsanya,

2) masa usia 2-4 tahun, gerakan-gerakan otot mulai

dapat dikoordinasikan dengan baik, untuk berjalan

maupun untuk banyakbergerak yang semi rutin dan yang

rutin, berminat pada benda-benda kecil, dan mulai

menyadari adanya urutan waktu (pagi, siang, sore,

malam).

Rentang usia tiga sampai enam tahun, terjadi

kepekaan untuk peneguhan sensoris, semakin memiliki

kepekaan indrawi, khususnya pada usia 4 tahun memiliki

kepekaan menulis dan pada usia 4-6 tahun memiliki

kepekaan yang bagus untuk membaca.

Anak prasekolah adalah anak yang masih dalam

usia 3-6 tahun, mereka biasanya sudah mampu mengikuti

program prasekolah atau Taman Kanak–kanak. Dalam

perkembangan anak prasekolah sudah ada tahapan-

tahapanya, anak sudah siap belajar kususnya pada usia

sekitar 4-6 tahun memiliki kepekaan menulis dan


19

memiliki kepekaan yang bagus untuk membaca.

Perkembangan kognitif anak masa prasekolah berbeda

pada tahap pra operasional.

b. Pendidikan anak usia pra sekolah

Anak usia Taman kanak-kanak termasuk dalam

kelompok umum yaitu prasekolah. Pada usia 2-4 tahun

anak ingin bermain, melakukan latihan berkelompok,

melakukan penjelajahan, bertanya, menirukan, dan

menciptakan sesuatu. Di taman kanak-kanak, anak juga

mengalami kemajuan pesat dalam penguasaan bahasa,

terutama dalam kosakata. Pada usia 5 tahun pada

umumnya anak-anak baik secara fisik maupun kejiwaan

sudah siap hal-hal yang semakin tidak sederhana dan

berada pada waktu yang cukup lama disekolah.

Menurut Montessori (dalam Noorlaila 2010:48),

bahwa pada usia 3-5 tahun anak-anak dapat diajari

menulis membaca, dikte dengan belajar mengetik sambil

belajar mengetik anak-anak belajar mengeja, menulis

dan membaca. Usia taman kanak-kanak merupakan

kehidupan tahun-tahun awal yang kreatif dan produktif

bagi anak-anak. Oleh karena itu sesuai dengan

kemampuan tingkat perkembangan dan kepekaan belajar

mereka kita dapat juga mengajarkan menulis, membaca

dan berhitung pada usia dini.


20

Jadi adanya pendidikan prasekolah dan adanya

tugas perkembangan yang diemban anak-anak, diperlukan

adanya pembelajaran yang menarik dan menyenangkan bagi

anak-anak yang selalu “dibungkus” dengan permainan,

suasana riang, enteng, bernyanyi dan menari. Bukan

pendekatan pembelajaran yang penuh dengan tugas-tugas

berat apalagi dengan tingkat pengetahuan, keterampilan

dan pembiasaan yang tidak sederhana lagi seperti

paksaan untuk membaca, menulis, berhitung yang

melebihi kemampuan anak-anak

c. Ciri-ciri anak usia pra sekolah

Snowman (dalam Patmonodewo 2008: 32),

mengemukakan ciri-ciri anak prasekolah (3-6 tahun)

yang biasanya ada di TK meliputi aspek fisik, emosi,

social dan kognitif anak,yaitu:

1. Ciri fisik anak prasekolah dalam penampilan maupun

gerak gerik prasekolah mudah dibedakan dengan anak

yang berada dalam tahapan sebelumnya yaitu umumnya

anak sangat aktif, mereka telah memiliki

penguasaan (kontrol) terhadap tubuhnya dan sangat

menyukai kegiatan yang dilakukan sendiri seperti

memberikan kesempatan kepada anak untuk lari

memanjat dan melompat.


21

2. Ciri sosial anak prasekolah biasanya

bersosialisasi dengan orang di sekitarnya. Umumnya

anak pada tahapan ini memiliki satu atau dua

sahabat, tetapi sahabat ini cepat berganti, mereka

mau bermain dengan teman. Sahabat yang dipilih

biasanya sama jenis kelaminnya. Tetapi kemudian

berkembang sahabat yang terdiri dari jenis kelamin

yang berbeda.

3. Ciri emosional anak prasekolah yaitu cenderung

mengekspresikan emosinya dengan bebas dan terbuka.

Sikap marah sering diperlihatkan oleh anak pada

usia tersebut, dan iri hati sering terjadi, mereka

sering kali mempeributkan perhatian guru.

4. Ciri kognitif anak prasekolah umumnya telah

terampil dalam bahasa. Sebagai besar dari mereka

senang bicara, khususnya dalam kelompoknya.

Sebaiknya anak diberi kesempatan untuk bicara.

Sebagian mereka perlu dilatih untuk menjadi

pendengar yang baik.

C. Konsep Hospitalisasi

1. Pengertian

Hospitalisasi adalah pengalaman penuh cemas baik

bagi anak maupun keluarganya. Kecemasan utama yang

dialami dapat berupa perpisahan dengan keluarga,


22

kehilangan kontrol, lingkungan yang asing, kehilangan

kemandirian dan kebebasan. Reaksi anak dapat dipengaruhi

oleh perkembangan usia anak, pengalaman terhadap sakit,

diagnosa penyakit, sistem dukungan dan koping terhadap

cemas (Nursalam, 2013).

Hospitalisasi adalah suatu keadaan krisis pada

anak, saat anak sakit dan dirawat di rumah sakit.

Keadaan ini terjadi karena anak mengalami perubahan dari

keadaan sehat dan rutinitas lingkungan serta mekanisme

koping yang terbatas dalam menghadapi stresor. Stresor

utama dalam hospitalisasi adalah perpisahan, kehilangan

kendali dan nyeri (Wong, 2009).

Hospitalisasi merupakan suatu proses karena

alasan berencana atau darurat yang mengharuskan anak

untuk tinggal di rumah sakit untuk menjalani terapi dan

perawatan. Meskipun demikian dirawat di rumah sakit

tetap merupakan masalah besar dan menimbulkan ketakutan

dan cemas bagi anak (Supartini, 2009).

Berdasarkan beberapa penelitian di atas maka

dapat disimpulkan bahwa hospitalisasi merupakan

pengalaman penuh cemas baik bagi anak maupun keluarganya

karena alasan berencana atau darurat yang mengharuskan

anak untuk tinggal di rumah sakit untuk menjalani terapi

dan perawatan.
23

2. Reaksi terhadap hospitalisasi

Reaksi yang timbul akibat hospitalisasi meliputi:

a) Reaksi anak

Secara umum, anak lebih rentan terhadap efek

penyakit dan hospitalisasi karena kondisi ini

merupakan perubahan dari status kesehatan dan

rutinitas umum pada anak. Hospitalisasi menciptakan

serangkaian peristiwa traumatik dan penuh kecemasan

dalam iklim ketidakpastian bagi anak dan

keluarganya, baik itu merupakan prosedur elektif

yang telah direncanakan sebelumnya ataupun akan

situasi darurat yang terjadi akibat trauma. Selain

efek fisiologis masalah kesehatan terdapat juga efek

psikologis penyakit dan hospitalisasi pada anak

(Kyle & Carman, 2015), yaitu sebagai berikut:

a. Ansietas dan kekuatan

Bagi banyak anak memasuki rumah sakit

adalah seperti memasuki dunia asing, sehingga

akibatnya terhadap ansietas dan kekuatan.

Ansietas seringkali berasal dari cepatnya awalan

penyakit dan cedera, terutama anak memiliki

pengalaman terbatas terkait dengan penyakit dan

cidera.

b. Ansietas perpisahan
24

Ansietas terhadap perpisahan merupakan

kecemasan utama anak di usia tertentu. Kondisi

ini terjadi pada usia sekitar 8 bulan dan

berakhir pada usia 3 tahun (American Academy of

Pediatrics, 2010).

c. Kehilangan kontrol

Ketika dihospitalisasi, anak mengalami

kehilangan kontrol secara signifikan.

b) Reaksi orangtua

Hampir semua orang tua berespon terhadap

penyakit dan hospitalisasi anak dengan reaksi yang

luar biasa. Pada awalnya orang tua dapat bereaksi

dengan tidak percaya, terutama jika penyakit

tersebut muncul tiba-tiba dan serius, takut, cemas

dan frustasi merupakan perasaan yang banyak

diungkapkan oleh orang tua. Takut dan cemas dapat

berkaitan dengan keseriusan penyakit dan jenis

prosedur medis yang digunakan. Sering kali kecemasan

yang paling besar berkaitan dengan trauma dan nyeri

yang terjadi pada anak (Wong, 2009).

c) Reaksi saudara kandung (sibling)

Reaksi saudara kandung terhadap anak yang

sakit dan dirawat di rumah sakit adalah kesiapan,

ketakutan, khawatiran, marah, cemburu, benci, iri


25

dan merasa bersalah. Orang tua sering kali

memberikan perhatian yang lebih pada anak yang sakit

dibandingkan dengan anak yang sehat. Hal tersebut

menimbulkan perasaan cemburu pada anak yang sehat

dan merasa ditolak (Nursalam, 2013).

d) Perubahan peran keluarga

Selain dampak perpisahan terhadap peran

keluarga, kehilangan peran orang tua dan sibling.

Hal ini dapat mempengaruhi setiap anggota keluarga

dengan cara yang berbeda. Salah satu reaksi orang

tua yang paling banyak adalah perhatian khusus dan

intensif terhadap anak yang sedang sakit (Wong,

2009).

3. Dampak hospitalisasi

Menurut Cooke & Rudolph (2009), hospitalisasi

dalam waktu lama dengan lingkungan yang tidak efisien

teridentifikasi dapat mengakibatkan perubahan

perkembangan emosional dan intelektual anak. Anak yang

biasanya mendapatkan perawatan yang kurang baik selama

dirawat, tidak hanya memiliki perkembangan dan

pertumbuhan fisik yang kurang optimal, melainkan pula

mengalami gangguan hebat terhadap status psikologis.

Anak masih punya keterbatasan kemampuan untuk

mengungkapkan suatu keinginan. Gangguan tersebut dapat


26

diminimalkan dengan peran orang tua melalui pemberian

rasa kasih sayang.

Depresi dan menarik diri sering kali terjadi

setelah anak manjalani hospitalisasi dalam waktu lama.

Banyak anak akan mengalami penurunan emosional setelah

menjalani hospitalisasi. Beberapa penelitian menunjukkan

bahwa anak yang dihospitalisasi dapat mengalami gangguan

untuk tidur dan makan, perilaku regresif seperti kencing

di atas tempat tidur, hiperaktif, perilaku agresif,

mudah tersinggung, terteror pada saat malam hari dan

negativisme (Herliana, 2010). Berikut ini adalah dampak

hospitalisasi terhadap anak usia prasekolah menurut

Nursalam (2013), sebagai berikut:

a) Cemas disebabkan perpisahan

Sebagian besar kecemasan yang terjadi pada

anak pertengahan sampai anak periode prasekolah

khususnya anak berumur 6-30 bulan adalah cemas

karena perpisahan. Hubungan anak dengan ibu sangat

dekat sehingga perpisahan dengan ibu akan

menimbulkan rasa kehilangan terhadap orang yang

terdekat bagi diri anak. Selain itu, lingkungan

yang belum dikenal akan mengakibatkan perasaan

tidak aman dan rasa cemas.

b) Kehilangan kontrol
27

Anak yang mengalami hospitalisasi biasanya

kehilangan kontrol. Hal ini terihat jelas dalam

perilaku anak dalam hal kemampuan motorik, bermain,

melakukan hubungan interpersonal, melakukan

aktivitas hidup sehari-hari activity daily living

(ADL), dan komunikasi. Akibat sakit dan dirawat di

rumah sakit, anak akan kehilangan kebebasan

pandangan ego dalam mengembangkan otonominya.

Ketergantungan merupakan karakteristik anak dari

peran terhadap sakit. Anak akan bereaksi terhadap

ketergantungan dengan cara negatif, anak akan

menjadi cepat marah dan agresif. Jika terjadi

ketergantungan dalam jangka waktu lama (karena

penyakit kronis), maka anak akan kehilangan

otonominya dan pada akhirnya akan menarik diri dari

hubungan interpersonal.

c) Luka pada tubuh dan rasa sakit (rasa nyeri)

Konsep tentang citra tubuh, khususnya

pengertian body boundaries (perlindungan tubuh),

pada kanak-kanak sedikit sekali berkembang.

Berdasarkan hasil pengamatan, bila dilakukan

pemeriksaan telinga, mulut atau suhu pada rektal

akan membuat anak sangat cemas. Reaksi anak

terhadap tindakan yang tidak menyakitkan sama


28

seperti tindakan yang sangat menyakitkan. Anak akan

bereaksi terhadap rasa nyeri dengan menangis,

mengatupkan gigi, menggigit bibir, menendang,

memukul atau berlari keluar.

Dampak negatif dari hospitalisasi lainya pada

usia anak prasekolah adalah gangguan fisik, psikis,

sosial dan adaptasi terhadap lingkungan.

D. Konsep Kecemasan

1. Definisi Kecemasan

Kecemasan merupakan reaktivitas emosional

berlebihan, depresi yang tumpul, atau konteks sensitif,

respon emosional (Clift, 2011).Pendapat lain menyatakan

bahwa kecemasan merupakan perwujudan dari berbagai emosi

yang terjadi karena seseorang mengalami tekanan perasaan

dan tekanan batin. Kondisi tersebut membutuhkan

penyelesaian yang tepat sehingga individu akan merasa

aman. Namun, pada kenyataannya tidak semua masalah dapat

diselesaikan dengan baik oleh individu bahkan ada yang

cenderung di hindari. Situasi ini menimbulkan perasaan

yang tidak menyenangkan dalam bentuk perasaan gelisah,

takut atau bersalah (Supriyantini, 2010).

Menurut Rachmad (2009), kecemasan timbul karena

adanya sesuatu yang tidak jelas atau tidak diketahui

sehingga muncul perasaan yang tidak tenang, rasa


29

khawatir, atau ketakutan. Ratih (2012) menyatakan

kecemasan merupakan perwujudan tingkah laku psikologis

dan berbagai pola perilakuyang timbul dari perasaan

kekhawatiran subjektif dan ketegangan.

2. Klasifikasi Tingkat Kecemasan

Kecemasan sangat berkaitan dengan perasaan tidak

pasti dan tidak berdaya. Menurut Peplau (1952) dalam

Suliswati (2014) ada empat tingkatan yaitu :

1) Kecemasan Ringan

Dihubungkan dengan ketegangan yang dialami

sehari-hari. Individu masih waspada serta lapang

persepsinya meluas, menajamkan indera.

2) Kecemasan Sedang

Individu terfokus hanya pada pikiran yang menjadi

perhatiannya, terjadi penyempitan lapangan persepsi,

masih dapat melakukan sesuatu dengan arahan orang

lain.

3) Kecemasan Berat

Lapang persepsi individu sangat sempit. Pusat

perhatiannya pada detil yang kecil dan spesifik dan

tidak dapat berfikir hal-hal lain. Seluruh perilaku

dimaksudkan untuk mengurangi kecemasan dan perlu

banyak perintah/arahan untuk terfokus pada area lain.

4) Panik
30

Individu kehilangan kendali diri dan detil

perhatian hilang. Karena hilangnya kontrol, maka tidak

mampu melakukan apapun meskipun dengan perintah.

Terjadi peningkatan aktivitas motorik, berkurangnya

kemampuan berhubungan dengan orang lain, penyimpangan

persepsi dan hilangnya pikiran rasional, tidak mampu

berfungsi secara efektif.Biasanya disertai dengan

disorganisasi kepribadian.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan

Menurut Stuart (2013), faktor yang mempengaruhi

kecemasan dibedakan menjadi dua yaitu:

1) Faktor prediposisi yang menyangkut tentang teori

kecemasan:

a. Teori Psikoanalitik

Teori Psikoanalitik menjelaskan tentang

konflik emosional yang terjadi antara dua elemen

kepribadian diantaranya Id dan Ego. Id mempunyai

dorongan naluri dan impulsprimitive seseorang,

sedangkan Ego mencerminkan hatinurani seseorang dan

dikendalikan oleh norma-norma budaya seseorang.

Fungsi kecemasan dalam ego adalah mengingatkan ego

bahwa adanya bahaya yang akan datang (Stuart,

2013).

b. Teori Interpersonal
31

Stuart (2013) menyatakan, kecemasan

merupakan perwujudan penolakan dari individu yang

menimbulkan perasaan takut. Kecemasan juga

berhubungan dengan perkembangan trauma, seperti

perpisahan dan kehilangan yang menimbulkan

kecemasan. Individu dengan harga diri yang rendah

akan mudah mengalami kecemasan.

c. Teori perilaku

Pada teori ini, kecemasan timbul karena

adanya stimulus lingkungan spesifik, pola berpikir

yang salah, atau tidak produktif dapat menyebabkan

perilaku maladaptif. Menurut Stuart (2013),

penilaian yang berlebihan terhadap adanya bahaya

dalam situasi tertentu dan menilai rendah kemampuan

dirinya untuk mengatasi ancaman merupakan penyebab

kecemasan pada seseorang.

d. Teori biologis

Teori biologis menunjukan bahwa otak

mengandung reseptor khusus yang dapat meningkatkan

neuroregulatorinhibisi (GABA) yang berperan penting

dalam mekanisme biologis yang berkaitan dengan

kecemasan. Gangguan fisik dan penurunan kemampuan

individu untuk mengatasi stressor merupakan

penyerta dari kecemasan.


32

2) Faktor presipitasi

a. Faktor Eksternal

a) Ancaman Integritas Fisik

Meliputi ketidakmampuan fisiologis terhadap

kebutuhan dasar sehari-hari yang bisa disebabkan

karena sakit, trauma fisik, kecelakaan.

Diantaranya ancaman terhadap identitas diri,

harga diri, kehilangan, dan perubahan status dan

peran, tekanan kelompok, sosial budaya.

b) Faktor Internal

1. Usia

Gangguan kecemasan lebih mudah dialami

oleh seseorang yang mempunyai usia lebih muda

dibandingkan individu dengan usia yang lebih

tua (Kaplan & Sadock, 2010).

2. Stressor

Kaplan dan Sadock (2010) mendefinikan

stressor merupakan tuntutan adaptasi terhadap

individu yang disebabkan oleh perubahan

keadaan dalam kehidupan. Sifat stresor dapat


33

berubah secara tiba-tiba dan dapat

mempengaruhi seseorang dalam menghadapi

kecemasan, tergantung mekanisme koping

seseorang. Semakin banyak stresor yang

dialami mahasiswa, semakin besar dampaknya

bagi fungsi tubuh sehingga jika terjadi

stressor yang kecil dapat mengakibatkan

reaksi berlebihan.

3. Lingkungan

Individu yang berada di lingkungan

asing lebih mudah mengalami kecemasan

dibanding bila dia berada di lingkungan yang

biasa dia tempati (Stuart, 2013).

4. Jenis kelamin

Wanita lebih sering mengalami kecemasan

daripada pria. Wanita memiliki tingkat

kecemasan yang lebih tinggi dibandingkan

pria. Hal ini dikarenakan bahwa wanita lebih

peka dengan emosinya, yang pada akhirnya

mempengaruhi perasaan cemasnya (Kaplan &

Sadock, 2010).

5. Pendidikan

Dalam Kaplan dan Sadock (2010),

kemampuan berpikir individu dipengaruhi oleh


34

tingkat pendidikan. Semakin tinggi tingkat

pendidikan maka individu semakin mudah

berpikir rasional dan menangkap informasi

baru.

4. Mekanisme dan strategi Koping

Koping adalah mekanisme untuk mengatasi perubahan

yang dihadapi atau beban yang diterima tubuh dan beban

tersebut menimbulkan respon tubuh yang sifatnya non

spesifik yaitu stres. Apabila mekanisme koping ini

berhasil seseorang akan dapat beradaptasi terhadap

perubahan atau beban tersebut (Ahyar, 2010).

1) Mekanisme Koping

Ketika mengalami ansietas, seseorang menggunakan

berbagai mekanisme koping untuk mencoba menghilangkan

ansietas. Menurut Keliat (1999, dalam Suliswati 2014),

mekanisme koping adalah cara yang dilakukan individu

dalam menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan

perubahan serta respon terhadap situasi yang

mengancam. Berdasarkan tingkatan ansietas membutuhkan

lebih banyak energi untuk mengatasi ancaman tersebut.

Mekanisme koping dapat dikategorikan sebagai

berfokus pada masalah atau tugas dan berfokus pada


35

emosi atau ego (Suliswati, 2014). Mekanisme koping

yang berorientasi pada tugas digunakan untuk

menyelesaikan masalah, menyelesaikan konflik dan

memenuhi kebutuhan dasar.

Mekanisme koping yang berfokus emosi atau ego,

dikenal sebagai mekanisme pertahanan, melindungi orang

dari perasaan tidak mampu dan tidak berharga serta

mencegah kesadaran ansietas. Koping ini dapat

digunakan pada tingkat ansietas yang lebih tinggi

sehingga dapat mendistorsi realitas, mengganggu

hubungan interpersonal dan membatasi kemampuan dalam

bekerja secara produktif (Suliswati, 2014).

Menurut Stuart dan Sundeen (2013) mekanisme

koping juga dibedakan menjadi dua yaitu mekanisme

koping adaptif dan maladaptif. Mekanisme koping

adaptif merupakan mekanisme yang mendukung fungsi

integrasi, pertumbuhan belajar dan mencapai tujuan.

Kategorinya adalah berbicara dengan orang lain,

memecahkan masalah secara efektif, tehnik relaksasi,

latihan seimbang dan aktivitas konstruktif. Mekanisme

koping maladaptif adalah mekanisme yang menghambat

fungsi integrasi, menurunkan otonomi dan cenderung

menguasai lingkungan. Kategorinya adalah makan


36

berlebihan/tidak makan, bekerja berlebihan, menghindar

dan aktivitas destruktif.

2) Strategi Koping

Strategi koping adalah cara yang dilakukan

untuk mengubah lingkungan atau situasi atau

menyelesaikan masalah yang sedang dirasakan atau

dihadapi (Rasmun, 2009).

Para ahli membagi menjadi dua strategi koping

yang biasanya digunakan oleh individu yaitu problem

solving focussed coping dimana individu secara aktif

mencari penyelesaian terhadap masalah untuk

menghilangkan kondisi atau situasi yang menimbulkan

stres dan emotion focussedcoping, dimana individu

melibatkan usaha-usaha untuk mengatur emosinya dalam

rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan

ditimbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang penuh

tekanan.

Ahyar (2010) menyebutkan faktor–faktor yang

mempengaruhi strategi koping yaitu kesehatan fisik,

keyakinan atau pandangan positif, keterampilan

memecahkan masalah, ketrampilan sosial, dukungan

sosial dan materi.

5. Konsep TMAS (Taylor Manifest Anxiety Scale)

a. Definisi TMAS
37

TMAS merupakan salah satu bentuk tes inventori

psikologis yang digunakan untuk mengetahui taraf

kecemasan. Skala ini sering digunakan pada penelitian

untuk mengetahui tingkat kecemasan subjek sebagai

reaksi umum dari ketidakmampuannya mengatasi masalah

ataupun reaksi dari tidak adanya rasa aman (Subandi,

1998).

TMAS (Taylor Manifest Anxiety Scale) digunakan

untuk mendeteksi gambaran reaksi-reaksi kronik

terhadap kecemasan, antara lain adanya ketegangan

yang terus menerus baik pada jaringan otot-otot

bagian luar maupun jaringan organ visceral (system

pernafasan, sirkulasi). Banyak pula dari butir-butir

yang menunjukkan gejala kecemasan yang mencolok

seperti berkeringat, muka kemerahan, keguncangan,

gemetaran, dan lain-lain. Sebagian mengandung

keluhan-keluhan somatic seperti mual, pusing, diare,

gangguan lambung, dan lain-lain. Butir-butir lainnya

menunjukkan konsentrasi, perasaan eksitasi atau tida

bias istirahat, menurunnya kepercayaan diri,

sensivitas ekstra terhadap orang lain, perasaan akan

bahaya dan tidak berguna. TMAS juga dapat mengungkap

:
38

a) Variasi tingkat dorongan yang dimiliki seseorang,

yang berhubungan dengan internal anxiety atau

emotionality.

b) Intensitas kecemasan, yang diketahui dari tingkah

laku yang tampak keluar atau yang

dimanifestasikan melalui gejala-gejala reaksi

kecemasan (Subandi, 1998).

b. Petunjuk

1. Bacalah baik-baik setiap pernyataan dibawah ini.

2. Pilihlah alternatif jawaban yang sudah tersedia

sesuai dengan kata hati anda kemudian berilah

tanda silang (X) pada kolom yang sudah disediakan.

3. Diharapkan semua item pernyataan diisi.

No Apakah akhir-akhir ini, Anak Ya Tidak


1. Merasa tidak cepat lelah.
2. Seringkali mengalami perasaan mual.
3. Merasa jarang sakit kepala.
Tidak mudah tersipu-sipu seperti kebanyakan
4.
orang lain.
Merasa diare satu kali atau lebih dalam
5.
sebulan.
Tidak pernah tersipu-sipu bila terjadi sesuatu
6.
pada diri anda.
Merasa takut muka anda menjadi merah karena
7.
malu.
8. Merasa tangan dan kaki anak biasanya cukup
39

hangat.
9. Mudah sekali berkeringat meskipun tidak panas.
Hampir tidak pernah berdebar-debar dan jarang
10.
bernafas tersenggal-senggal.
11. Sering merasa lapar terus-menerus.
Jarang terganggu oleh rasa sembelit (sakit
12.
perut) karena sukar buang air.
13. Jarang terganggu oleh sakit perut.
Tidak bisa tidur, ketika mengkhawatirkan
14.
sesuatu.
Merasa tidur anak sering terganggu dan tidak
15.
nyenyak.
16. Mudah merasa segar.
Seringkali mengkhawatirkan diri anda jika
17.
terjadi suatu hal.
Selalu tenang-tenang dan tidak mudah kecewa
18.
atau putus asa.
19. Mudah menangis.
20. Merasa gembira setiap waktu.
21. Merasa gelisah ketika menunggu.
Seringkali merasa takut pada benda atau
22. manusia yang anda tahu tidak akan menyakiti
anda.
23. Biasanya penakut.
24. Seringkali dalam keadaan tenang.

Ket : Tidak cemas : 0

cemas Ringan : 1-8

cemas Sedang : 9-16


40

cemas Berat : 17-24

E. Konsep Terapi Bermain

a) Definisi Bermain

Bermain adalah kegiatan yang anak-anak lakukan

sepanjang hari karena bagi anak bermain adalah hidup,

dan hidup adalah permainan (Nurani Y. S, 2009 :144).

Piaget dalam Nurani YS (2009:144) menyatakan bahwa

bermain adalah sesuatu kegiatan yang dilakukan

berulang-ulang dan menimbulkan kesenangan/kepuasan

bagi seseorang.

Bermain merupakan suatu aktivitas yang khas dan

sangat berbeda dengan aktivitas lain seperti belajar

dan bekerja yang selalu dilakukan dalam rangka

mencapai suatu hasil akhir.

Bermain merupakan belajar yang aktif yang

melibatkan seluruh pikiran, tubuh, dan spirit. Sampai

usia 9 tahun, anak-anak belajar secara optimal ketika

mereka terlibat secara total didalam kegiatan. Bermain

mengekspresikan dan mengeluarkan aspek-aspek emosional

dari pengalaman sehari-hari, (Thompson dalam Musfiroh

(2005:58). Oleh karena itu kegiatan bermain anak

sangat bervariasi, dan setiap kegiatan bermain itu

menstimulasi sebagai bagian otak, maka tidak

berlebihan jika permainan yang bervariasi dapat


41

dijadikan materi dan cara yang tepat untuk

menstimulasi kecerdasan anak Amstrong dalam musfiroh

(2005:58).

b) Tahapan Perkembangan Bermain

Menurut Jean Piaget (1962) dalam Mayke S

Tedjasaputra (2001 :24) tahapan perkembangan bermain

anak usia dini adalah sebagai berikut :

1. Sensory Motor Play (± ¾ bulan 1/2 tahun)

Bermain dimulai pada periode perkembangan

kognitif sensori motor, sebelum usia 3-4 bulan,

gerakan atau kegiatan anak belum dapat dikategorikan

sebagai bermain. Kegiatan bayi hanya merupakan

pengulangan dari hal-hal yang dilakukan sebelumnya,

dan Piaget menamakannya reproductive assimilation.

Pada usia 7-11 bulan kegiatan yang dilakukan anak

bukan semata-mata berupa pengulangan, namun sudah

disertai dengan variasi. Misalnya anak melihat wajah

di balik bantal yang disingkapkan, anak melakukan

terus dengan berbagai variasinya. Pada usia 18 bulan

tampak adanya percobaan-percobaan aktif pada

kegiatan bermain anak. Contohnya anak yang bermain

dengan kaleng bekas dan sepotong kayu, secara tidak


42

sengaja memukul kaleng dari sisi yang berbeda.

Ternyata menimbulkan suara berbeda, sehingga dari

pengalaman ini ia mendapat pengetahuan baru.

2. Symbolic atau Make Belive Play (±2-7 tahun)

Symbolic atau Make Belive Play merupakan ciri

periode praoperasional yang terjadi antara usia 2-7

tahun yang ditandai dengan bermain khayal dan

bermain pura - pura. Misalnya menggunakan sapu

sebagai kuda - kudaan, menganggap sobekan kertas

sebagai uang, bermain simbolik juga berfungsi untuk

mengasimilasikan dan mengkonsilidasikan

(menggabungkan) pengalaman emosional anak.

3. Social Play Games with Rules (± 8 tahun-11 tahun)

Dalam bermain tahap yang tertinggi,

penggunaan simbol lebih banyak diwarnai oleh nalar,

logika yang bersifat obyektif, sejak usia 8-11 tahun

anak lebih banyak terlibat dalam kegiatan games with

rulers. Kegiatan anak lebih banyak dikendalikan

olehaturan permainan.

4. Games With Rules & Sports (11 tahun keatas)

Olah raga adalah kegiatan bermain yang

menyenangkan dan dinikmati anak-anak, walaupun

aturannya jauh lebih ketat dan diberlakukan secara

kaku dibandingkan dengan permainan yang tergolong


43

games seperti kartu. Karena bukan hanya rasa senang

saja yang menjadi tujuan, tetapi ada suatu hasil

akhir tertentu seperti ingin menang, memperoleh

hasil kerja yang Fungsi Bermain. Sigmund Freud sudah

mengemukakan bahwa kegiatanbermain memungkinkan

tersalurnya dorongan-dorongan instingtual anak dalm

meringankan snak pada beban mental. Kegiatan bermain

merupakan sarana yang aman yang dapat digunakan

untuk mengulang-ulang pelaksanan dorongan-dorongan

itu dan juga reaksi-reaksi mental yang mendasarinya.

Wolfgang dan wolfgang (1999:32-37)

berpendapat bahwa terdapat sejumlah nilai-nilai

dalam bermain (the value of play) yaitu bermain

dapat mengembangkan keterampilan sosial, emosional,

kognitif. Dalam pembelajaran terdapat berbagai

kegiatan yang memiliki dampak dalam perkembangan

anak, sehingga dapat di identifikasikan bahwa fungsi

bermain antara lain:

a. Berfungsi untuk mencerdaskan otot pikiran.

b. Berfungsi untuk mengasah panca indra.

c. Berfungsi sebagai media terapi.

d. Berfungsi untuk memacu kreatifitas.

e. Berfungsi untuk melatih intelektual.

f. Berfungsi utuk menemukan sesuatu yang baru.


44

g. Berfungsi untuk melatih empati.

c) Syarat Alat Permainan

Alat permainan adalah sumber belajar yang

digunakan anak untuk memenuhi nalurinya. Ketersediaan

alat permainan tersebut sangat menunjang

terselenggaranya pembelajaran anak secara efektif dan

menyenangkan sehingga anak-anak dapat mengembangkan

berbagai potensi yang dimilikinya secara optimal.

Dalam pemilihan alat permainan bagi anak usia

dini harus mempertimbangkan beberapa persyaratan

sebagai berikut:

1) Mudah di bongkar pasang

Alat permainan yang mudah di bongkar dan

dipasang serta dapat diperbaiki sendiri lebih ideal

dan lebih menarik perhatian anak dibandingkan

dengan mainan mobil-mobilan yang dapat bergerak

sendiri.

2) Mengembangkan daya fantasi

Alat permainan yang sifatnya mudah dibentuk

dan dapat diubah-ubah sangat sesuai untuk

mengembangkan daya fantasi anak, yang memberikan

kesempatan pada anak untuk mengembangkan dan

melatih daya fantasi.


45

3) Tidak berbahaya

Alat permainan dan perlengkapan belajar bagi

anak harus aman dari segi bahan, bentuk dan pewarna

yang digunakan tidak membahayakan.

4) Alat permainan

Alat-alat permainan yang dikembangkan

memiliki berbagai fungsi dalam mendukung

penyelenggaraan proses belajar anak sehingga

kegiatan dapat berlangsung dengan baik dan bermakna

serta menyenangkan bagi anak. Untuk dapat melihat

dan memahami secara lebih mendalam mengenai apakah

suatu alat permainan dapat dikategorikan sebagai

alat permainan edukatif untuk anak TK atau tidak,

terdapat beberapa ciri yang harus dipenuhinya

yaitu:

1) Alat permainan tersebut ditujukan untuk anak

TK.

2) Difungsikan untuk mengembangkan berbagai

perkembangan anak usia Dini.

3) Dapat digunakan dengan berbagai cara, bentuk,

dan untuk bermacam tujuan aspek pengembangan

atau bermanfaat multiguna.

4) Aman atau tidak berbahaya bagi anak


46

5) Dirancang untuk mendorong aktifitas dan

kreatifitas anak.

6) Bersifat konstruktif atau ada sesuatu yang

dihasilkan.

7) Mengandung nilai pendidikan.

d) Jenis-jenis permainan

Mildred Parten dalan NS Yuliani (2012:147)

adalah ahli yang mempopulerkan teori perilaku bermain

sosial. Dalam studinya, Parten mengidentifikasikan 6

tahapan perkembangan bermain anak atau yang lebih

dikenal sebagai Parten’s Classic Studyof Play, yaitu :

1. Unoccupied play

Pada tahapan ini, anak terlihat tidak

bermain seperti yang umumnya dipahami sebagai

kegiatan bermain. Anak hanya mengamati kejadian di

sekitarnya yang menarik perhatiannya. Apabila tidak

ada hal yang menarik, maka anak akan menyibukkan

dirinya sendiri. Ia mungkin hanya berdiri di suatu

sudut, melihat ke sekeliling ruangan, atau

melakukan beberapa gerakan tanpa tujuan tertentu.

Jenis bermain semacam ini hanya dilakukan oleh

bayi. Jenis bermain ini belum menunjukkan minat

anak pada aktivitas atau objek lainnya. Tahapan

bermain ini biasanya hanya dilakukan oleh bayi.


47

2. Solitary play (Bermain Sendiri)

Pada tahapan ini, anak bermain sendiri

dan tidak berhubungan dengan permainan teman-

temannya. Ia tidak memperhatikan hal lain yang

terjadi untuk anak-anak, bermain tidak selalu

seperti aktivitas bermain yang dipahami oleh orang

dewasa. Ketika ia merasa antusias dan tertarik akan

sesuatu, saat itulah anak disebut bermain, walaupun

mungkin anak hanya sekedar menggoyangkan badan,

menggerakkan jari-jarinya, dll. Pada tahapan ini,

anak belum menunjukkan antusiasmenya kepada

lingkungan sekitar, khususnya orang lain.

3. Onlooker Play (Pengamat)

Pada Tahapan ini, anak melihat atau

memperhatikan anak lain yang sedang bermain. Anak-

anak mulai memeprhatikan lingkunganya, disinilah

anak mulai mengembangkan kemampuannya untuk

memahami bahwa dirinya adalah bagan dari

lingkungan. walaupun anak sudah mulai tertarik

dengan aktivitas lain yang diamatinya, anak belum

memutuskan untuk bergabung. dalam tahapan ini anak

biasanya cenderung mempertimbangkan apakah ia akan

bergabung atau tidak.


48

4. Pararalel Play (Bermain Paralel)

Pada tahap ini, anak bermain terpisah dengan

teman-temannya namun menggunakan jenis mainan yang

sama ataupun melakukan perilaku yang sama dengan

temannya. anak bahkan sudah berada dalam suatu

kelompok walaupun memang tidak ada interaksi

diantara mereka. biasanya mereka mulai tertarik

satu sama lain, namun belum merasa nyaman untuk

bermain bersama sehingga belum ada satu tujuan yang

ingin dicapai bersama. tahapan bermain ini biasanya

dilakukan oleh anak-anak dimasa awal sekolah.

5. Associative Play (Bermain Asosiatif)

Pada tahapan ini, anak terlibat dalam

interaksi sosial dengan sedikit atau bahkan tanpa

peraturan. Anak sudah mulai melakukan interaksi

yang intens dan bekerja sama. sudah ada kesamaan

tujuan yang ingin dicapai bersama namun biasanya

belum ada peraturan. Misalnya anak melakukan kejar-

kejaran, namun seringkali tidak tampak jelas siapa

yang mengejar. tahapan bermain ini biasanya

dilakukan oleh sebagian besar masa anak-anak pra

sekolah.
49

6. Cooperative Play (bermain Bersama)

Pada tahapan ini, anak memiliki interaksi

sosial yang teratur. Kerjasama atau pembagian

tugas/peran dalam permainan sudah mulai diterapkan

untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Misalnya

bermain sekolah-sekolahan, membangun rumah-rumahan.

Tipe permainan ini yang mendorong timbulnya

kompetisi dan kerjasama anak. Tahapan bermain ini

biasanya dilakukan oleh anak-anak pada masa sekolah

dasar, namun dapat sudah dimainkan oleh anak-anak

usia dini bentuk sederhana.

e) Terapi Bermain Playdough

1. Pengertian Playdough

Playdough adalah salah satu alat

permainan edukatif dalam pembelajaran yang

termasuk kriteria alat permainan murah dan memiliki

nilai fleksibilitas dalam merancang pola-pola

yang hendak dibentuk sesuai dengan rencana dan

daya imajinasi.

Anggraini (2013:27) menyatakan Permainan

playdough adalah salah satu aktifitas yang

bermanfaat untuk perkembangan otak anak. Dengan

bermain playdough, anak tak hanya memperoleh

kesenangan, tapi juga bermanfaat untuk meningkatkan


50

perkembangan otak nya. Dengan playdough, anak-anak

bisa membuat bentuk apa pun dengan cetakan atau

dengan kreativitasnya masing-masing.

Permainan matematika yang bisa dilakukan

dengan mainan playdough ini, antara lain:

a. Anak memilih playdough menjadi bentuk ular-

ularan panjang lalu anak diajak membuat simbol

bilangan (bentuk angka 0 samapai 9).

b. Anak membuat bentuk bebas kemudian menghitung

jumlah benda yang di buat.

c. Membuat berbagai bentuk geometris sederhana dan

mengenalkan namanya pada anak, dan meghitung dan

mengelompokkan benda yang sudah di bentuk.

d. Anak mencocokan angka yang dibuat dari playdough

ke papan yang telah disediakan sesuai dengan

urutan angkanya.

2. Manfaat Bermain dengan Media Playdough

Menurut Immanuella F. Rachmani, dkk. manfaat

bermain dengan media playdough yakni :

1) Berkreasi dengan playdough dapat mencerdaskan

anak, selain mengasah imajinasi, keterampilan

motorik halus, berfikir logis dan sitematis,

juga dapat merangsang indera perabanya.


51

2) Kelenturan dan kelembutan bahan playdough

melatih anak mengatur kekuatan otot jari.

3) Anak belajar memperlakukan media ini yaitu hanya

perlu menekan lembut dan hati-hati.

3. Cara Bermain dengan Media Playdough

Cara bermain dengan media Playdough dalam

meningkatkan kemampuan mengenal konsep bilangan dan

lambang bilangan :

1) Pilihlah sebuah tema yang akan dimainkan.

2) Buatlah rencana/sekenario.

3) Sediakan media, alat yang diperlukan.

4) Memberikan instruksi pada anak untuk membuat

angka 0-9.

5) Memberikan kebebasan kepada anak untuk membuat

bentuk lain

6) Memberikan kesempatan pada anak untuk

mengurutkan angka yang dibuat.

7) Memberikan kesempatan kepada anak menghitung

bentuk benda yang dibuat.

8) Memberikan kesempatan kepada anak untuk

mengelompokan benda, dan mencocokan bilangan

pada papan bilangan.

Anik Pamilu (2007:127) menyatakan dengan

menggunakan permainan sejenis tanah liat, anak


52

dapat membuat berbagai macam bentuk yang disukai

anak. Anak dapat membentuknya menjadi ikan, mobil-

mobilan, rumah, pesawat, geometri. Dengan membuat

aneka bentuk yang mereka sukai, anak tidak hanya

dapat mengekspresikan perasaannya saja, namun juga

membebaskan dirinya dari berbagai tekanan yang

mengganggunya serta dapat mengekspresikan apa yang

telah dipahami.

Menstimulasi kognisi anak dengan media

playdough bisa dilakukan dengan berbagai cara,

salah satunya dengan mengklasifikasikan bentuk,

warna dan ukuran yang benda-benda yang dibuat

dengan media playdough. Bunda juga bisa mengenalkan

angka, mengajari berhitung, bahkan mengajari anak

menakar, mengelompokan. Playdough juga dapat di

buat sendiri agar lebih aman untuk anak-anak.

4. Kelebihan dan Kekurangan dari Playdough

Menurut Moedjiono 1992 dalam

Dwijunianto.wordpress.com (23 Juni 2012) mengatakan

bahwa media sederhana tiga dimensi memiliki

kelebihan–kelebihan : memberikan pengalaman secara

langsung, dan konkrit, tidak adanya verbalisme,

obyek dapat ditunjukkan secara utuh baik

konstruksinya atau cara kerjanya dari segi struktur


53

organisasi dan alur proses secara jelas. Menurut

Dwi Rachmawati (2013) bahwa bermain playdough

sangat menyenangkan. Balita bisa meremas,

menggulung, atau mencetak berbagai bentuk sesuai

dengan imajinasi mereka. Sedangkan kelemahannya

tidak dapat membuat obyek yang besar karena

membutuhkan ruang besar dan perawatannya rumit.

5. Cara Membuat Playdough

Cara membuat playdough

Bahan :

a) 2 cup tepung terigu

b) 1 cup garam

c) 2 sdm minyak goreng

d) 1 cup air

e) pewarna makanan berbagai macam

Alat :

1. Berbagai cetakan

2. Pisau plastic

3. Baskom

4. cotton buds

Cara membbuat :

a. Campurkan terigu dan garam dapur dalam sebuah

baskom yang cukup besar, Aduk dengan tangan atau


54

menggunakan centong kayu/plastik sampai

tercampur rata.

b. Beri air pada campuran bahan sedikit demi

sedikit sambil terus diaduk sampai menjadi

adonan yang lembut dengan tekstur halus dan

tidak lengket.

c. Beri minyak goreng, lalu adonan diolah lagi

sehingga didapatkan adonan yang benar-benar

lembut.

d. Bagi adonan menjadi enam bagian (atau sesuai

jumlah warna yang inginkan).

e. Ambil satu bagian diberi beberapa tetes pewarna

lalu diaduk lagi sampai warna merata. Lakukan

hal yang sama terhadap lima bagian lainnya

dengan warna yang berbeda.

f. Bila semua adonan dengan warna yang berbeda

telah selesai dibuat. Playdough siap digunakan

untuk membuat berbagai kreasi.


55

F. Kerangka Konsep

Anak

Anak Usia Pra


sekolah
Faktor-faktor yang mempengaruhi
kecemasan
Sehat Sakit 1. Faktor Predisposisi
a. Teori Psikoanalitik
Hospitalisasi b. Teori interpersonal
c. Teori Perilaku
Kecemasan d. Teori biologis
2. Faktor Presipitasi
a. Faktor eksternal :
Tindakan Keperawatan Terapi bermain : Ancaman integritas fisik
b. Faktor internal : Usia,
 Pemberian obat  Menggambar dan stressor, Lingkungan,
intravena mewarnai jenis kelamin,
 Pengkajian  Mendongeng dan pendidikan
kesehatan (vital bercerita
sign)  Menyusun puzzle
 Pasang infus dan 
 Palydough
Playdough
transfusi

Tidak Cemas

cemas Ringan

cemas Sedang

cemas Berat
Keterangan : : Diteliti

: Tidak diteliti
Bagan 2.1 : Kerangka Konsep Pengaruh Terapi Bermain
Playdough Terhadap Tingkat Kecemasan Pada Anak usia Pra
Sekolah Selama Tindakan Keperawatan di RSUD Patut Patuh
Patju Lombok Barat.
56

G. Hipotesis

Hipotesis adalah penjelasan sementara yang diajukan

untuk menerangkan fenomena problematik atau persoalan

penelitian yang dihadapi (Arif Sumantri, 2011). Adapun

hipotesis dalam penelitian ini adalah :

Ha: Ada Pengaruh Terapi Bermain Playdough Terhadap Tingkat

Kecemasan Pada Anak usia Pra Sekolah Selama Tindakan

Keperawatan di RSUD Patut Patuh Patju Lombok Barat

H0: Tidak Ada Pengaruh Terapi Bermain Playdough Terhadap

Tingkat Kecemasan Pada Anak usia Pra Sekolah Selama

Tindakan Keperawatan di RSUD Patut Patuh Patju Lombok

Barat

Anda mungkin juga menyukai