Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di zaman modern seperti sekarang, kesehatan manusia semakin rentan

terganggu akibat banyaknya paparan buruk dari luar tubuh. Salah satu paparan yang

sering menganggu kesehatan manusia adalah radikal bebas. Radikal bebas adalah

molekul yang tidak stabil dan sangat reaktif yang menyerang/ merusak sel-sel tubuh

manusia. Contoh sumber radikal bebas antara lain makanan yang berlemak, polusi

udara, sinar ultraviolet, asap rokok, senyawa kimia toksik, dan obat-obatan (Pietta

& Simonetti, 1999).

Paparan terhadap radikal bebas tidak dapat dihindari oleh manusia. Selain dari

luar tubuh, radikal bebas juga diproduksi dalam tubuh sebagai hasil samping dari

metabolisme tubuh. Salah satu radikal bebas yang diproduksi adalah Reactive

Oxidant Species (ROS). ROS secara alami diproduksi oleh tubuh sebagai hasil dari

metabolisme aerobik serta berperan penting dalam signaling sel dan homeostasis

(Devasagayam dkk., 2004).

Radikal bebas dapat dilawan dan dihambat dengan senyawa antioksidan.

Antioksidan dapat diproduksi oleh tubuh manusia seperti enzim-enzim superoksid

dismutase dan katalase. Selain itu, dapat pula diperoleh dari sumber luar seperti dari

tanaman, hewan, atau zat sintetis (Pham dkk., 2008)

1
2

Antioksidan yang dihasilkan dari tubuh manusia mempunyai jumlah yang

terbatas. Pada kondisi tertentu seperti paparan sinar ultraviolet yang tinggi, kadar

ROS dalam tubuh dapat meningkat dan antioksidan tubuh akan menjadi jenuh dan

tidak dapat lagi melawan ROS. Kondisi ini disebut stres oksidatif. Kondisi ini jika

tidak diatasi akan berlanjut pada munculnya kerusakan sel-sel tubuh, kerusakan

DNA, oksidasi asam amino pada protein tubuh, dan oksidasi lipid pada membran

sel. Dampak akhirnya dapat menimbulkan penyakit - penyakit seperti penuaan dini,

gangguan kardiovaskuler, alzheimer, parkinson dan kanker (Abheri dkk., 2010).

Oleh karena itu, tubuh manusia memerlukan antioksidan tambahan yang berasal

dari luar tubuh.

Salah satu sumber antioksidan luar adalah senyawa karotenoid. Karotenoid

dapat diperoleh dari sianobakteria dan rumput laut. Jenis-jenis derivat karotenoid

yang biasa ditemui antara lain allosantin, fukosantin, diadionsantin, violasantin,

lutein, vaucheriasantin, dan siphonasantin (Takaichi, 2011). Fukosantin merupakan

karotenoid yang mudah didapatkan. Fungsi fukosantin dalam kesehatan antara lain

sebagai antioksidan, anti kanker, anti obesitas, anti diabetes, anti penuaan dan

mempunyai efek baik terhadap sistem kardiovaskular (D’Orazio dkk., 2012).

Fukosantin juga terbukti dapat meningkatkan aktivitas reduksi glutation yang

merupakan antioksidan alami tubuh dalam menghambat radikal bebas (Zhang dkk.,

2014).

Fukosantin banyak ditemui pada rumput laut. Rumput laut terbagi menjadi 3

jenis besar yaitu rumput laut hijau (Chlorophyta), rumput laut merah (Rhodophyta),

dan rumput laut coklat (Phaeophyta) (D’Orazio dkk., 2012).


3

Di Indonesia, golongan rumput laut coklat seperti Hormophysa sp., Padina sp.,

Sargassum sp., dan Turbinaria sp. banyak diperdagangkan (Anggadireja dkk.,

2009). Rumput laut yang banyak dibudidayakan adalah Eucheuma cottoni (Kadi,

2004). Rumput laut yang dibudidayakan itu biasanya diolah menjadi produk

makanan, dan eksipien (zat tambahan pada pembuatan obat). Sedangkan rumput

laut coklat Hormophysa cuneiformis belum banyak yang dibudidayakan, dan hanya

digunakan sebagai pupuk tanaman atau campuran insektisida (Kadi, A., 2004).

Penelitian tentang manfaat fukosantin telah banyak dilakukan. Namun,

fukosantin yang diperoleh kebanyakan berasal dari jenis Sargassum sp, Turbinaria

sp, dan Padina sp. Uji aktivitas antioksidan fukosantin yang telah dilakukan

menunjukkan hasil aktivitas yang positif. Metode yang telah dilakukan untuk

menguji aktivitas antioksidan dari fukosantin diantaranya penangkapan radikal

bebas dengan DPPH, ABTS, hidroksil, superoksida (Zhang dkk., 2014). Metode

Ferric Reducing Antioxidant Power (FRAP) merupakan salah satu metode uji

aktivitas antioksidan yang mudah dilakukan. FRAP merupakan salah satu metode

uji aktivitas antioksidan dengan mekanisme menetralkan radikal bebas dengan

mentransfer elektron tidak berpasangan. Metode ini memiliki kelebihan yaitu

mudah, cepat, murah, dan reprodusibilitasnya tinggi (Benzie & Strain, 1996).

Oleh karena itu, dari bahasan di atas, dapat dilakukan penelitian untuk menguji

aktivitas antioksidan terhadap ekstrak etanolik dan fraksi rumput laut coklat

(H.cuneiformis) dengan metode FRAP untuk mengetahui aktivitas antioksidan

fukosantin dari H.cuneiformis dan selanjutnya dapat berpotensi dikembangkan

menjadi alternatif sumber antioksidan yang dapat dikonsumsi manusia.


4

B. Rumusan Masalah

1. Apakah ekstrak etanol dan fraksi rumput laut coklat H.cuneiformis memiliki

aktivitas antioksidan ?

2. Berapa nilai aktivitas antioksidan ekstrak etanol dan fraksi rumput laut coklat

H.cuneiformis apabila diuji menggunakan metode FRAP ?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui adanya aktivitas antioksidan dalam ekstrak etanol dan fraksi

rumput laut coklat H.cuneiformis.

2. Menetapkan nilai aktivitas antioksidan ekstrak etanol dan fraksi rumput laut

coklat H.cuneiformis yang diuji menggunakan metode FRAP.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat membuktikan besarnya potensi rumput

laut coklat H.cuneiformis yang ada di Indonesia sebagai salah satu sumber alternatif

antioksidan yang bermanfaat bagi kesehatan manusia. Selain itu, hasil penelitian ini

dapat menjadi pedoman bagi peneliti selanjutnya dalam pengembangan rumput laut

coklat H.cuneiformis sebagai sumber antioksidan yang dapat dikonsumsi manusia

maupun sebagai bahan berkhasiat untuk menyembuhkan penyakit.


5

E. Tinjauan Pustaka

1. Radikal bebas

Radikal bebas adalah suatu senyawa molekular yang memiliki satu atau lebih

elektron tidak berpasangan di kulit terluar orbital atomnya. Radikal bebas memiliki

karakterisitik tidak stabil dan sangat reaktif (Fessenden & Fesssenden, 1986).

Karakteristik tersebut membuat bentuk asli radikal bebas tidak dapat bertahan

dalam jangka waktu lama. Radikal bebas akan segera mengikat molekul di

sekitarnya seperti lipid, protein, karbohidrat dan DNA (Panjaitan dkk., 2008). Aksi

pengikatan tersebut disebabkan karena radikal bebas memerlukan donor elektron

dari molekul lain untuk menjadi stabil (Nursid dkk., 2013). Radikal bebas

menyerang dan mengikat molekul stabil yang ada di dekatnya dan mengambil

elektron dari molekul tersebut. Molekul yang terambil elektronnya akan menjadi

tidak stabil dan akhirnya menjadi radikal bebas juga (Panjaitan dkk., 2008). Proses

ini terjadi secara terus-menerus hingga membentuk reaksi berantai perpindahan

elektron-elektron (Windono dkk., 2001).

Radikal bebas dapat masuk ke dalam tubuh melalui sistem pernapasan,

makanan berlemak, dan paparan lingkungan yang tidak sehat. Namun, secara umum

sumber radikal bebas dalam tubuh manusia dapat dibedakan menjadi sumber

internal (endogen) maupun eksternal (eksogen). Sumber endogen merupakan

sumber yang didapat dari aktivitas metabolisme di dalam tubuh. Radikal bebas

secara normal ada di dalam tubuh manusia sebagai dampak dari adanya proses

metabolisme tubuh berupa reaksi autooksidasi, reaksi enzimatik, dan non-


6

enzimatik. Proses autooksidasi merupakan proses metabolisme aerobik dimana

molekul-molekul seperti katekolamin, hemoglobin, mioglobin, sitokrom C yang

tereduksi, dan thiol mengalami reaksi dengan oksigen dalam tubuh dan

menghasilkan ROS (Reactive oxygen species) (Droge, 2002). Aktivitas

metabolisme tubuh seperti proses fagositosis, sintesis prostaglandin, siklus

respiratori, dan aktivitas sitokrom P-450 merupakan contoh reaksi-reaksi enzimatik

yang menghasilkan radikal bebas. Radikal bebas juga dapat terbentuk dari reaksi

non-enzimatik seperti reaksi oksigen dengan bahan organik yang diawali dengan

adanya reaksi ionisasi (Lobo dkk., 2010). Sedangkan sumber eksogen adalah

sumber yang didapat dari luar tubuh. Sumber eksogen dapat berupa obat-obatan,

radiasi, dan asap rokok, polusi lingkungan, pestisida, limbah solven industrial, dan

ozone (Lobo dkk., 2010).

Radikal bebas yang paling banyak ada di dalam tubuh adalah radikal bebas dari

oksigen yaitu ROS ( Reactive Oxygen Species). Jenis dari ROS antara lain O2-

(superoksid), HO2- (hidroperoksil), OH (hidroksil), L(R)OO (peroksil) serta NO-

(nitrit oksid), ONOO-(peroksi nitrit), -OCl (hipoklorit), 1O2 (oksigen singlet),

L(R)OOH (hidroperoksida) dan H2O2 (hidrogen peroksida) (Harliansyah, 2005).

Selain dari oksigen, terdapat pula radikal karbon, sulfur, hidrogen, dan nitrogen.

Molekul organik yang mengalami oksidasi dapat menjadi radikal yang mengandung

karbon CCl3-. Radikal yang mengandung hidrogen merupakan hasil dari

penyerangan atom H (H-). Radikal derivat sulfur yang diproduksi pada oksidasi

glutation menghasilkan radikal thiol (R-S-). Radikal yang mengandung nitrogen

juga ditemukan, contohnya fenildiazine (Panjaitan dkk., 2008).


7

Radikal bebas yang terbentuk di dalam tubuh akan direduksi oleh antioksidan

endogen dalam tubuh. Namun, pada kondisi tertentu, seperti paparan radiasi ion,

sinar ultraviolet, dan paparan energi tinggi lainnya, jumlah radikal bebas yang

terbentuk melebihi dari jumlah antioksidan endogen dalam tubuh. Kondisi tersebut

disebut dengan stres oksidatif (Droge, 2002). Radikal bebas yang berlebih dan tidak

dapat diatasi oleh antioksidan endogen, akan menyerang jaringan tubuh untuk

mendapatkan elektron dari dalam sel-sel tubuh untuk menstabilkan diri. Akibatnya,

radikal bebas akan berusaha merusak jaringan tubuh.

Mekanisme perusakan jaringan oleh radikal bebas dibagi menjadi 3 macam

yaitu peroksidasi lemak, perusakan protein, dan perusakan DNA. Peroksidasi lemak

terjadi di membran sel yang kaya akan Polyunsaturated Fatty Acid ( PUFA) (Droge,

2002). PUFA akan teroksidasi secara berkelanjutan dan mengakibatkan membran

sel menurun fluiditasnya dan reseptor selular yang berada di permukaan membran

akan berkurang (Harliansyah, 2005). Sedangkan untuk perusakan protein dan DNA

jarang terjadi karena asam amino dan asam nukleat lebih tahan terhadap radikal

bebas daripada lemak. Kerusakan protein terjadi bila radikal bebas berakumulasi

pada daerah tertentu. Protein berupa enzim dan protein thiol akan terinaktivasi oleh

radikal bebas dengan mekanisme denaturasi atau dengan cross-link. Sintesis dan

degradasi protein akan terganggu. Radikal bebas menyerang DNA dan

mengakibatkan fragmentasi DNA. DNA yang terfragmentasi akan mengeluarkan

enzim poli (ADP-ribose) sintetase untuk memperbaiki DNA. Namun jika terjadi

serangan radikal bebas yang terus berulang, kadar enzim tersebut akan menurun
8

dan membuat sel tidak dapat mempertahankan dirinya sehingga sel akan mengalami

kematian (Abheri dkk., 2010)

Radikal bebas yang berlebihan dalam tubuh akan memicu munculnya penyakit

seperti penuaan dini, penyakit jantung koroner, penyakit degeneratif, katarak, dan

kanker (Lobo dkk., 2010). Untuk mencegah penyakit tersebut, diperlukan asupan

antioksidan tambahan untuk membantu mereduksi radikal bebas yang berlebih

tersebut.

2. Antioksidan

Antioksidan adalah substrat/zat yang berperan dalam mencegah proses oksidasi

substrat/bahan lain (Winterbourn, 2009). Antioksidan merupakan molekul yang

stabil. Molekul ini dapat berperan sebagai pendonor elektron bagi radikal bebas

yang tidak stabil dan membutuhkan elektron. Antioksidan memiliki karakeristik

sebagai penangkap radikal bebas (Prakash, 2001). Dengan adanya antioksidan,

maka radikal bebas dapat dinetralkan dan dicegah untuk merusak sel-sel tubuh

(Lobo dkk., 2010).

Jenis antioksidan ada 3 macam menurut sumbernya, yaitu antioksidan dari

tubuh sendiri, antioksidan dari tumbuhan atau hewan dan antioksidan sintetik dari

bahan-bahan kimia. Contoh antioksidan dari dalam tubuh sendiri antara lain enzim-

enzim metabolisme tubuh seperti superoxide dismutase, katalase, dan gluthatione

reduktase, gluthatione s-transferase, dan gluthatione peroxidase. Contoh

antioksidan dari tumbuhan atau hewan antara lain tokoferol, asam askorbat,

karotenoid, flavonoid, senyawa fenolik, senyawa xanthin. Contoh antioksidan


9

sintetik antara lain BHT (Butil Hidroksi Toluen), BHA (Butil Hidroksi Anisol),

propil galat, dan TBHQ (Tert-butil Hidroksi Quinon) (Kumalaningsih, 2006).

Antioksidan di dalam tubuh berperan sebagai penetral radikal, pendonor

hidrogen, pendonor elektron, peroxide decomposer, inhibitor enzim, dan agen

metal-chelating (Lobo dkk., 2010).

Mekanisme antioksidan dibagi berdasarkan struktur dan fungsinya.

Antioksidan primer bekerja mencegah terbentuknya radikal bebas baru dengan cara

mendonorkan elektron ke radikal bebas yang ada di dalam sistem. Antioksidan

sekunder bekerja menangkap radikal bebas yang ada dalam sistem dengan cara

pemadaman reaksi berantai pembentukan radikal bebas. Antioksidan tersier bekerja

memperbaiki DNA pada jaringan yang dirusak oleh radikal bebas.

Selain mekanisme diatas, ada juga mekanisme antioksidan sebagai pengkelat

dan penangkap oksigen. Antioksidan penangkap oksigen bekerja mengikat oksigen

sehingga tidak dapat terlibat reaksi oksidasi. Sedangkan antioksidan pengkelat

bekerja dengan mengikat logam supaya tidak mengkatalisis reaksi oksidasi. Jika

reaksi oksidasi dapat dicegah, maka pembentukan radikal bebas dalam tubuh dapat

dihambat (Kumalaningsih, 2006).


10

3. Rumput Laut Coklat (Hormophysa cuneiformis)

Gambar 1. Rumput laut coklat (Hormophysa cuneiformis)

Rumput laut coklat pada gambar 1 merupakan tumbuhan alga yang termasuk

klasifikasi sebagai berikut :

Kingdom : Chromista

Filum : Ochrophyta

Kelas : Phaeophyceace

Subkelas : Fucophycidae

Bangsa : Fucales

Suku : Sargassaceae

Marga : Hormophysa

Jenis : Hormophysa cuneiformis (J.F.Gmelin) P.C. Silva

(Guiry & Guiry, 2017)


11

Di Indonesia, Hormophysa cuneiformis diidentifikasi sebagai Hormophysa

triquetra (Papenfuss, 1967). Di Filipina, spesies ini juga dilaporkan sebagai

Hormophysa triquetra (Tsuda & Tobias, 1977).

Morfologi dari Hormophysa cuneiformis berupa rumput laut tegak, rimbun,

tinggi dapat mencapai 20-40 cm, alat pelekatnya seperti cakram dengan rhizoid

pendek, melekat pada bebatuan, bagian pangkal talus menyerupai tangkai, warna

coklat tua. Cabang-cabangnya berfolikel, cabang dapat terbagi menjadi beberapa

segmen berbentuk seperti sayap, atau cabang tiga (triqueous). Alat reproduksi

generatif berupa oogonia dan antheredia yang menetap di cabang (Tsuda, 2004).

Habitat tumbuh Hormophysa cuneiformis banyak ditemukan di Samudra

Pasifik, Samudra Hindia, Asia Tenggara, Kepulauan Mikronesia ( Tsuda, 2004).

Spesies ini hidup secara berkoloni dan bercampur dengan rumput laut coklat

lainnya seperti Sargassum sp. dan Turbinaria (Tsuda, 2004). Sejauh ini, rumput

laut H. cuneiformis belum banyak dibudidayakan dan dimanfaatkan. Di Filipina,

rumput laut ini dimanfaatkan hanya sebagai pupuk kompos.

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menguji kandungan senyawa apa

saja yang terdapat dalam rumput laut H.cuneiformis. Rumput laut ini memiliki

kandungan asam alginat sebanyak 41,8 %, dan sterol 1,2 % (Lasema dkk., 1982).

Kandungan fenolik total sebesar 13,93 mg/g ekstrak dan protein dalam

Hormophysa cuneiformis dilaporkan sekitar 4,87 % dari berat kering ekstrak

(Sulaiman dkk., 2015). Penelitian yang dilakukan Nursid dkk. (2013),

membuktikan kandungan fukosantin pada H.cuneiformis ternyata cukup tinggi

dibandingkan dengan spesies rumput laut lainnya. Hasil penelitian membuktikan


12

kandungan fukosantin H.cuneiformis atau H.triquetra sebesar 88,5 mg/g,

sedangkan pada T.decurrens sebesar 86,9 mg/g; dan P.australis sebesar 77,8 mg/g.

4. Fukosantin

Rumput laut coklat dikenal kaya akan pigmen karotenoid. Hal itu tampak pada

warna yang kecoklatan. Pigmen karotenoid yang paling banyak adalah jenis

fukosantin. Fukosantin banyak ditemukan dalam biota laut, berkisar 10% dari total

produksi karoten yang ada dalam biota laut (Peng dkk., 2011).

Fukosantin (C42H58O6) yang strukturnya dapat dilihat pada gambar 2,

merupakan karotenoid dengan struktur unik karena mempunyai ikatan allenat (C-

7), 5,6 monoepoksida, 2 gugus hidroksil, 1 gugus karbonil, dan 1 gugus asetil di

ujung rantai fukosantin. Ikatan allenat bertanggung jawab atas aktivitas antioksidan

karena ikatan ini mempunyai elektron bebas yang dapat didonorkan ke radikal

bebas. Ditambah lagi, fukosantin memiliki 6 buah atom O yang membuatnya lebih

sensitif terhadap radikal (Nomura dkk., 1997). Gugus hidroksil (OH) dan ikatan

konjugasi pada rantai karbon senyawa ini juga kemungkinan dapat mendonorkan

elektronnya ke radikal bebas.

Gambar 2. Struktur Fukosantin


13

Biosintesis fukosantin dalam rumput laut coklat mirip dengan biosintesis

karotenoid pada tumbuhan darat. Namun, jalur biosintesis yang pasti dan enzim

pengubah neoxanthin menjadi fukosantin sampai saat ini belum diketahui

(Takaichi, 2011). Biosintesis fukosantin dapat dilihat pada gambar 3. Struktur awal

pembentuk fukosantin berasal dari isopentenyl pyrophospate (IPP). IPP merupakan

karbon C5. Gabungan dari 3 buah IPP membentuk farnesyl pyrophospate. Satu buah

IPP ditambahkan ke ujung struktur farnesyl pyrophospate oleh CrtE

(geranylgeranyl synthase) menjadi geranylgeranyl pyrophospate (C20). Dua buah

geranylgeranyl pyrophospate mengalami kondensasi membentuk phytoene (C40).

Proses ini dibantu oleh enzim CrtB (phytoene synthase). Perubahan phytoene

menjadi lycopene melalui 3 tahapan. Phytoene desaturase (CrtP) mengubah

phytoene menjadi -carotene. Kemudian, -carotene diubah menjadi bentuk

lycopene oleh CrtQ (- carotene desaturase).

Lycopene dapat mengalami perubahan struktur menjadi all-trans atau cis apabila

dibantu oleh enzim carotene isomerase (CrtH dan CrtISO). Lycopene mengalami

siklisasi menjadi -carotene oleh bantuan enzim CrtL-b (lycopene -cyclase). -

carotene mengalami reaksi hidroksilasi oleh CrtR-b (-carotene hydroxylase)

menjadi zeaxanthin. Zeaxanthin mendapat penambahan gugus epoksi oleh enzim

Zep (Zeaxanthin epoxidase) menjadi bentuk violaxanthin melalui antheraxanthin.

Rantai ujung violaxanthin akan diubah menjadi gugus allene oleh Nsy (Neoxanthin

synthase) sehingga menjadi senyawa neoxanthin. Bentuk neoxanthin akan berbeda-

beda tiap kelas alga. Pada kelas Phaeopyceace, neoxanthin akan diubah menjadi
14

bentuk fucoxanthin. Namun enzim pengubah neoxanthin menjadi fucoxanthin

belum diketahui hingga sekarang (Takaichi, 2011).

Gambar 3. Jalur biosintesis fukosantin (Takaichi, 2011)

Ketika masuk ke dalam tubuh, fukosantin akan diubah menjadi metabolitnya

yaitu fukoxanthinol, amarousiaxanthin A, dan neoxanthin seperti yang terlihat pada

gambar 4. Ketiga metabolit ini merupakan metabolit aktif dan memiliki ikatan

alenik. Neoxanthin hasil dari metabolisme fukosantin dilaporkan dapat menekan

akumulasi lemak tubuh, aktivitas gycerol-3-phospate dehydrogenase (GDPH), dan

ekspresi adipocyte protein 2 (aP2) sehingga dapat menekan proses diferensiasi sel

adiposa (Miyashita dkk., 2011). Penekanan diferensiasi sel adiposa dapat menekan
15

juga proses penimbunan lemak pada jaringan tubuh sehingga senyawa ini dapat

digunakan sebagai antiobesitas.

Gambar 4. Fukosantin dan metabolitnya (Miyashita dkk., 2011)

Rumput laut coklat yang mengandung fukosantin bermanfaat sebagai

antioksidan (Nomura dkk., 1997), antikanker (Yoshiko & Hoyuku, 2007), dan anti

sinar ultra violet (Urikura dkk., 2011). Fukosantin terbukti dapat melindungi proses

pembentukan keratinosit dari gangguan stress oksidatif dengan cara menghalangi

radikal bebas dan mengurangi terjadinya apoptosis sel keratinosit sehingga

fukosantin dapat berperan sebagai anti penuaan (Zheng dkk., 2013). Penggunaan

fukosantin juga terbukti aman, dan tidak ada efek samping, serta dapat memberikan

manfaat bagi kesehatan kardiovaskuler, menjaga level trigliserida tubuh, menjaga

level gula darah, dan menjaga fungsi hati (D’Orazio dkk., 2012).

5. Ekstraksi

Ekstraksi adalah penyarian zat-zat berkhasiat atau zat-zat aktif dari bagian

tanaman obat, hewan dan beberapa jenis ikan termasuk biota laut. Zat-zat aktif
16

terdapat di dalam sel, namun sel tanaman dan hewan berbeda demikian pula

ketebalannya, sehingga diperlukan metode ekstraksi dengan pelarut tertentu dalam

mengekstraksinya. Dengan melalui ekstraksi, zat-zat aktif yang ada dalam simplisia

akan terlepas.

Tujuan ekstraksi bahan alam adalah untuk menarik komponen kimia yang

terdapat pada bahan alam. Ekstraksi ini didasarkan pada prinsip perpindahan massa

komponen zat ke dalam pelarut, dimana perpindahan mulai terjadi pada lapisan

antar muka kemudian berdifusi masuk ke dalam pelarut (Harbone, 1987).

Dalam proses ekstraksi, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain

jumlah simplisia yang akan diesktrak, derajat kehalusan simplisia, dan jenis pelarut

yang digunakan. Semakin banyak jumlah simplisia maka akan didapatkan ekstrak

dalam jumlah banyak pula. Semakin halus simplisia, luas kontak permukaan akan

semakin besar sehingga proses ekstraksi akan lebih optimal. Sedangkan untuk jenis

pelarut berhubungan dengan polaritas dari pelarut tersebut. Hal yang perlu

diperhatikan dalam proses ekstraksi adalah senyawa yang memiliki kepolaran yang

sama akan lebih mudah tertarik/ terlarut dengan pelarut yang memiliki tingkat

kepolaran yang sama. Prinsip ini dinamakan like dissolve like (Harbone, 1987).

Pelarut polar cocok untuk mengekstrak senyawa-senyawa yang polar dari

tanaman. Pelarut polar cenderung universal digunakan karena biasanya walaupun

polar, tetap dapat menyari senyawa-senyawa dengan tingkat kepolaran lebih

rendah. Contoh pelarut polar adalah air, metanol, etanol, asam asetat. Pelarut

semipolar memiliki tingkat kepolaran yang lebih rendah dibandingkan dengan

pelarut polar. Pelarut ini baik untuk mendapatkan senyawa-senyawa semipolar dari
17

tumbuhan. Contoh pelarut ini adalah aseton, etil asetat, kloroform. Pelarut terakhir

adalah pelarut nonpolar, yang hampir sama sekali tidak memiliki kepolaran. Pelarut

ini baik untuk mengekstrak senyawa-senyawa yang sama sekali tidak larut dalam

pelarut polar. Senyawa ini baik untuk mengekstrak berbagai jenis minyak. Contoh

pelarut non polar adalah heksana dan eter (Harbone, 1987).

Pemilihan pelarut sangat berpengaruh pada keberhasilan ekstraksi. Beberapa

syarat-syarat pelarut yang ideal untuk ekstraksi antara lain tidak toksik, mampu

mengekstrak semua senyawa dalam simplisia, mudah untuk dihilangkan dari

ekstrak, tidak bereaksi dengan senyawa-senyawa dalam simplisia yang diekstrak

dan murah/ ekonomis.

Jenis-jenis ekstraksi antara lain :

a. Soxhletasi

Ekstraksi dengan cara ini pada dasarnya ekstraksi secara berkesinambungan.

Cairan penyari dipanaskan sampai mendidih. Uap penyari akan naik melalui pipa

samping, kemudian diembunkan lagi oleh pendingin tegak. Cairan penyari turun

untuk menyari zat aktif dalam simplisia. Selanjutnya bila cairan penyari mencapai

sifon, maka seluruh cairan akan turun ke labu alas bulat dan terjadi proses sirkulasi.

Demikian seterusnya sampai zat aktif yang terdapat dalam simplisia tersari

seluruhnya yang ditandai jernihnya cairan yang lewat pada tabung sifon (Harbone,

1987).

b. Perkolasi

Perkolasi dilakukan dengan cara dibasahkan 10 bagian simplisia dengan derajat

halus yang cocok, menggunakan 2,5 bagian sampai 5 bagian cairan penyari
18

dimasukkan dalam bejana tertutup sekurang-kurangnya 3 jam. Massa dipindahkan

sedikit demi sedikit ke dalam perkolator, ditambahkan cairan penyari. Perkolator

ditutup dibiarkan selama 24 jam, kemudian kran dibuka dengan kecepatan 1 ml per

menit, sehingga simplisia tetap terendam. Filtrat dipindahkan ke dalam bejana,

ditutup dan dibiarkan selama 2 hari pada tempat terlindung dari cahaya (Harbone,

1987).

c. Maserasi

Maserasi dilakukan dengan cara memasukkan 10 bagian simplisia ke dalam

bejana, kemudian dituangi dengan penyari 75 bagian, ditutup dan dibiarkan selama

5 hari, terlindung dari cahaya sambil diaduk sekali-kali setiap hari lalu diperas dan

ampasnya dimaserasi kembali dengan cairan penyari. Penyarian diakhiri setelah

pelarut tidak berwarna lagi, lalu dipindahkan ke dalam bejana tertutup, dibiarkan

pada tempat yang tidak bercahaya, setelah dua hari lalu endapan dipisahkan

(Harbone, 1987). Metode ini dapat digunakan untuk bahan yang tahan dan tidak

tahan dengan pemanasan. Selain itu, metode ini mudah dan murah (Depkes RI,

2000).

d. Refluks

Ekstraksi dengan cara ini pada dasarnya adalah ekstraksi berkesinambungan.

Bahan yang akan diekstraksi direndam dengan cairan penyari dalam labu alas bulat

yang dilengkapi dengan alat pendingin tegak, lalu dipanaskan sampai mendidih.

Cairan penyari akan menguap, uap tersebut akan diembunkan dengan pendingin

tegak dan akan kembali menyari zat aktif dalam simplisia tersebut, demikian
19

seterusnya. Ekstraksi ini biasanya dilakukan 3 kali dan setiap kali diekstraksi

selama 4 jam (Harbone, 1987).

e. Penyulingan

Penyulingan dapat dipertimbangkan untuk menyari serbuk simplisia yang

mengandung komponen kimia yang mempunyai titik didih yang tinggi pada

tekanan udara normal, yang pada pemanasan biasanya terjadi kerusakan zat

aktifnya. Untuk mencegah hal tersebut, maka penyari dilakukan dengan

penyulingan (Harbone, 1987).

Hasil dari proses ektraksi adalah ekstrak. Ekstrak adalah sediaan kental yang

diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia

hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua

pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang terisi diperlakukan sedemikian

sehingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Depkes RI, 1995). Macam-macam

ekstrak antara lain :

a. Ekstrak encer adalah sediaan yang memiliki konsistensi cair dan dapat dituang.

b. Ekstrak kental adalah sediaan yang dilihat dalam keadaan dingin dan tidak

dapat dituang. Kandungan airnya berjumlah sampai 30%.

c. Ekstrak kering adalah sediaan yang memiliki konsistensi kering dan mudah

dituang, sebaiknya memiliki kelembapan tidak lebih dari 5%.

d. Ekstrak cair, ekstrak yang dibuat sedemikiannya sehingga 1 bagian simplisia

sesuai dengan 2 bagian ekstrak cair.

(Voight, 1995).
20

6. Metode Uji Antioksidan In Vitro

Berikut ini adalah beberapa metode pengujian aktivitas antioksidan yang dapat

dilakukan, antara lain :

a. Penangkapan radikal bebas DPPH

Metode DPPH merupakan metode yang pertama kali dikembangkan oleh

Brand Williams untuk analisis kemampuan antioksidan dalam makanan. DPPH

merupakan senyawa radikal organik berwarna ungu yang stabil. Prinsip dari uji

DPPH adalah elektron yang tidak berpasangan pada molekul DPPH akan

mendapatkan elektron dari atom hidrogen yang disumbangkan oleh

antioksidan. Akibatnya, intensitas warna DPPH akan berubah dari ungu

menjadi kuning lemah (Prakash, 2001).

Paramater aktivitas antioksidan dari uji DPPH diukur dengan Inhibitory

Concentration (IC 50) yaitu konsentrasi antioksidan yang menyebabkan 50 %

DPPH kehilangan sifat radikalnya. Semakin rendah IC 50 semakin baik aktivitas

antioksidannya (Molyneux, 2004). Metode ini sangat sensitif terhadap cahaya

dan penggunaan radikal DPPH harus diperlakukan secara hati hati.

b. -caroten bleaching assay

Prinsip metode ini adalah pemucatan warna -caroten oleh radikal yang

berasal dari peristiwa oksidasi spontan asam lemak pada suhu 50C. Metode ini

sangat sensitif terhadap oksigen dan suhu udara (Prieto dkk., 2012)

c. Ferric Reducing Antioxidant Power ( FRAP)

Mekanisme reaksi dari FRAP adalah transfer elektron. Reaksi yang terjadi

adalah reduksi dari reagen ferric 2,4,6-tripyridyl-s-triazine (Fe3+-TPTZ)


21

menjadi produk berwarna oleh reduktan. Reduktan yang dimaksud adalah

komponen yang dapat mendonorkan elektronnya. Salah satu contoh reduktan

adalah antioksidan. Ion Fe3+ (ion ferii) dari pereaksi akan mengalami reaksi

reduksi, dimana adanya antioksidan akan mendonasikan satu elektronnya ke

Fe3+ sehingga tereduksi menjadi ion Fe2+ (ion ferro). Proses ini berlangsung

pada pH rendah dan akan memunculkan produk ferrous 2,4,6-tripyridyl-s-

triazine (Fe2+-TPTZ) berwarna biru yang dapat dibaca intensitasnya pada

panjang gelombang 593 nm (Benzie & Strain, 1996).

d. Sistem linoleat-tiosianat

Asam linoleat adalah asam lemak tidak jenuh yang memiliki dua ikatan

rangkap. Ikatan rangkap ini mudah teroksidasi membentuk peroksida dan dapat

mengoksidasi ion ferro menjadi ion ferii. Ion ferri yang terbentuk akan bereaksi

dengan amonium tiosianat membentuk kompleks feritiosianat berwarna merah

muda. Kompleks ini dapat diukur intesintasnya pada panjang gelombang 490

nm. Semakin banyak peroksida yang terbentuk, makin tinggi intensitas warna

yang terbentuk (Pokorny dkk., 2001).

e. Total Reducing-trapping Antioxidant Parameter (TRAP)

Metode ini didasarkan pada kemampuan antioksidan dalam

mempertahankan flouresensi dari R-phycoerytrin (R-PE) selama reaksi

peroksidasi berlangsung. Flouresensi dari R-phycoerytrin (R-PE) dapat

dipadamkan oleh ABP (2,20-azo–bis(2-amidino-propane)hydrochloride)

sebagai pembangkit radikal. Potensial aktivitas antioksidan akan di evaluasi

oleh pemadaman flouresensi berdasarkan hilangnya warna dari R-phycoerytrin.


22

Proses ini akan diukur selama 45 menit oleh spektrofotometri luminescence.

Nilai TRAP dihitung berdasarkan panjang lag – fase karena sampel akan

dibandingkan dengan standar (Alam dkk., 2012).

7. Metode Uji Antioksidan FRAP

Ferric Reducing Antioxidant Power (FRAP) merupakan metode mengukur

Aktivitas antioksidan yang terkandung dalam makanan, bahan-bahan alam,

nutrasetikal maupun suplemen. Metode awalnya dikembangkan oleh Benzie dan

Stain pada tahun 1996 untuk mengukur kekuatan reduksi plasma tubuh. Namun

dalam perkembangan selanjutnya, metode ini mulai digunakan untuk mengukur

kekuatan antioksidan yang ada di bahan-bahan alam (Prior dkk., 2005).

Mekanisme reaksi FRAP dalam mendeteksi kemampuan antioksidan suatu

senyawa adalah dengan reaksi reduksi, yaitu reaksi pengikatan/penarikan elektron.

Senyawa yang dapat melakukan reduksi adalah senyawa yang dapat menerima

elektron dan membuat dirinya tereduksi, atau disebut dengan oksidator. Di dalam

uji FRAP ini, reagen reagen ferric 2,4,6-tripyridyl-s-triazine (Fe3+-TPTZ) berperan

sebagai oksidator (penerima elektron) dan senyawa antioksidan berperan sebagai

pendonor elektron. Ion Fe3+ (ion ferii) dari pereaksi akan mengalami reaksi reduksi,

dimana adanya antioksidan akan mendonorkan satu elektronnya ke Fe3+ sehingga

tereduksi menjadi ion Fe2+ (ion ferro). Proses ini berlangsung pada pH rendah dan

akan memunculkan produk ferrous 2,4,6-tripyridyl-s-triazine (Fe2+-TPTZ)

berwarna biru yang dapat dibaca intensitasnya pada panjang gelombang 593 nm

(Benzie & Strain, 1996). Reaksi dapat dilihat pada gambar 5.


23

Gambar 5. Reaksi FRAP (Prior dkk., 2005)

Reagen lain yang dapat memberikan warna spesifik pada ion ferri adalah 1,10-

fenantrolin (Terry dkk., 2011). Ion ferro bereaksi dengan 1,10-fenantrolin

membentuk kompleks berwarna jingga merah [(C12H8N2)3.Fe]2+. Perbedaan dengan

reagen ferric 2,4,6-tripyridyl-s-triazine (Fe3+-TPTZ), produk kompleks dari 1,10-

fenantrolin ini intensitas warnanya tidak bergantung pada pH rendah dan lebih

stabil dalam waktu yang lama (Medham dkk., 1994). Senyawa kompleks ini dibaca

intesitasnya pada panjang gelombang 510 nm (Terry dkk., 2011).

Persamaan reaksi FRAP :

Fe3+ + antioksidan  Fe2+ + antioksidan + (1)

(C12H8N2)3 + Fe2+  [(C12H8N2)3.Fe]2+ (2)

(Prior dkk., 2005)

Metode FRAP ini memiliki kelebihan dibanding metode pengukuran

antioksidan lainnya yaitu murah, mudah, cepat, tidak membutuhkan peralatan

khusus (Prior dkk., 2005). Selain itu, hasil analisis dengan menggunakan metode

FRAP juga reprodusibel (Benzie & Strain, 1996). Metode ini dapat dilakukan secara

otomatis, semiotomatis, maupun manual. Namun, metode ini juga memiliki

kelemahan berupa hasil analisis sangat bervariasi tergantung pada lama waktu
24

analisis. FRAP juga tidak bisa untuk mengukur antioksidan tiol seperti glutation

karena FRAP pada dasarnya mengukur kemampuan reduksi terhadap ion ferric dan

tidak berhubungan dengan aktivitas antioksidan secara fisiologis (Prior dkk., 2005).

Sehingga, metode FRAP hanya dapat digunakan secara in vitro.

F. Landasan Teori

Radikal bebas yang berlebihan dalam tubuh dapat memicu penyakit seperti

penuaan dini, jantung koroner, degeneratif, katarak, dan kanker (Lobo dkk., 2010).

Radikal bebas dapat dilawan oleh senyawa yang memiliki aktivitas antioksidan.

Antioksidan yang dihasilkan dari tubuh manusia mempunyai jumlah yang terbatas.

Pada kondisi tertentu seperti paparan sinar ultraviolet yang tinggi, membuat kadar

ROS dalam tubuh dapat meningkat dan antioksidan tubuh akan menjadi jenuh

sehingga tidak dapat melawan ROS. Kondisi ini jika tidak diatasi akan berlanjut

pada munculnya kerusakan sel-sel tubuh, kerusakan DNA, oksidasi asam amino

pada protein tubuh, dan oksidasi lipid pada membran sel, yang dampak akhirnya

akan menimbulkan berbagai macam penyakit dalam tubuh (Abheri dkk., 2010).

Untuk mencegah penyakit tersebut, diperlukan asupan antioksidan tambahan untuk

membantu melawan radikal bebas tersebut.

Salah satu senyawa yang berpotensi sebagai antioksidan yaitu fukosantin.

Fukosantin paling banyak ditemukan pada produk biota laut yaitu rumput laut

coklat. Senyawa fukosantin telah terbukti bermanfaat sebagai antioksidan (Nomura

dkk., 1997), anti kanker (Yoshiko & Hoyuku, 2007), dan anti sinar ultra violet

(Urikura dkk., 2011), anti penuaan dini (Zheng dkk., 2013) dan anti obesitas
25

(D’Orazio dkk., 2012). Hal ini menunjukan bahwa fukosantin sangat bermanfaat

dan dapat menjadi salah satu sumber antioksidan yang baik. Penggunaan fukosantin

juga terbukti aman, dan tidak ada efek samping (D’Orazio dkk., 2012).

H. cuneiformis banyak ditemukan di Samudra Pasifik, Samudra Hindia, Asia

Tenggara, Kepulauan Mikronesia (Tsuda, 2004). H.cuneiformis terbukti memiliki

kandungan fukosantin lebih banyak dari jenis rumput laut coklat lainnya. Penelitian

dari Nursid dkk (2013) menyebutkan bahwa H.cuneiformis atau H.triquetra

memiliki kandungan fukosantin paling tinggi dibandingakan rumput laut coklat

Turbinaria decurrens, Padina australis, Sargassum binderi, dan Sargassum

ilicifolium.

Uji potensi antioksidan dengan metode FRAP telah dilakukan oleh Wirasti

(2016) dan Dirman (2016) terhadap fukosantin dalam rumput laut coklat Turbinaria

decurrens dan Padina australis. Hasil uji menunjukan bahwa fukosantin di dalam

kedua jenis rumput laut coklat tersebut memiliki aktivitas antioksidan. Metode

FRAP ini memiliki kelebihan dibanding metode pengukuran antioksidan lainnya

yaitu murah, mudah, cepat, dan tidak membutuhkan peralatan khusus (Prior dkk.,

2005). Selain itu, hasil analisis dengan menggunakan metode FRAP juga

reprodusibel (Benzie & Strain, 1996).

Oleh karena itu, melihat dari besarnya potensi antioksidan dari fukosantin

dalam H.cuneiformis, maka dilakukan penelitian ini untuk mengetahui aktivitas

antioksidan dari rumput laut coklat H.cuneiformis dengan menggunakan metode

FRAP.
26

G. Hipotesis

Ekstrak etanol dan fraksi rumput laut coklat (Hormophysa cuneiformis)

mengandung senyawa fukosantin yang memiliki aktivitas antioksidan dan dapat

ditetapkan nilai aktivitas antioksidannya dengan menggunakan metode Ferric

Reducing Antioxidant Power (FRAP).


27

Anda mungkin juga menyukai