Defenisi
Persalinan adalah suatu proses pengeluaran hasil konsepsi (janin+uri) yang dapat hidup ke dunia luar
dari dalam rahim melalui jalan lahir dengan LBK atau dengan tenaga ibu sendiri, tanpa bantuan alat-alat,
serta tidak melukai ibu dan bayi, yang umumnya berlangsung kurang dari 24 jam. (Mochtar, 2013)
Persalinan normal Depkes RI (2004), mengatakan bahwa persalinan normal yaitu proses pengeluaran
janin yang terjadi pada kelahiran cukup bulan (37-40 minggu), lahir melalui jalan lahir spontan dengan
presentasi belakang kepala yang berlangsung dalam 18-24 jam,persalinan dikatakan normal apabila
tidak ada komplikasi dan persalinan dilakukan dengan tenaga ibu sendiri dan Lama persalinan tidak
boleh lebih dari 24 jam (Oxom, 2010).
3.patofisiologi
Serviks yang akan mengalami persalinan normal secara bertahap akan melunak, menipis, mudah
berdilatasi, dan bergerak ke arah anterior mendekati waktu persalinan. Serviks pada wanita multipara
lebih cepat matang dibandingkan nulipara, dan pemahaman mengenai paritas penting dalam
menentukan saat yang tepat untuk melakukan pemeriksaan serviks pada kehamilan lanjut (Varney,
2007).
Kehamilan lewat waktu yang disebabkan karena faktor hormonal, kurangnya produksi oksitosin akan
menghambat kontraksi otot uterus secara alami dan adekuat, sehingga mengurangi respons serviks
untuk menipis dan membuka. Akibatnya kehamilan bertahan lebih lama dan tidak ada kecenderungan
untuk persalinan pervaginam (Varney, 2007).
Dibawah ini adalah bagan patofisiologi kehamilan postterm menurut Varney (2007), dimana tidak
terjadinya his karena pengaruh hormon progesteron yang tidak menurun diakhir kehamilan
Kehamilan
Atterm(normal) Patterm(patologis)
Adapun tanda-tanda persalinan adalah : Ibu merasakan ingin mengedan bersamaan dengan terjadinya
kontraksi, ibu merasakan makin meningkatnya tekanan pada rektum atau vagina, perineum terlihat
menonjol, vulva vagina dan sfingter ani terlihat membuka dan peningkatan pengeluaran lendir dan
darah (Depkes RI, 2004).
1. Timbul rasa sakit oleh adanya his yang datang lebih kuat, sering, dan teratur.
2. Keluar lendir bercampur darah (bloody show) yang lebih banyak karena robekan kecil pada serviks.
Sumbatan mukus yang berasal dari sekresi servikal dari proliferasi kelenjar mukosa servikal pada awal
kehamilan, berperan sebagai barier protektif dan menutup servikal selama kehamilan. Bloody show
adalah pengeluaran dari mukus.
3. Kadang-kadang ketuban pecah dengan sendirinya. Pemecahan membran yang normal terjadi pada
kala I persalinan. Hal ini terjadi pada 12% wanita, dan lebih dari 80% wanita akan memulai persalinan
secara spontan dalam 24 jam.
4. Pada pemeriksaan dalam : serviks mendatar dan pembukaan telah ada. Berikut ini adalah perbedaan
penipisan dan dilatasi serviks antara nulipara dan multipara.
a. Nulipara Biasanya sebelum persalinan, serviks menipis sekitar 50-60% dan pembukaan sampai 1 cm;
dan dengan dimulainya persalinan, biasanya ibu nulipara mengalami penipisan serviks 50-100%,
kemudian terjadi pembukaan.
b. Multipara Pada multipara sering kali serviks tidak menipis pada awal persalinan, tetapi hanya
membuka 1-2 cm. Biasanya pada multipara serviks akan membuka, kemudian diteruskan dengan
penipisan.
5. Kontraksi uterus mengakibatkan perubahan pada serviks (frekuensi minimal 2 kali dalam 10 menit)
7.Penataklasanaan
Penentuan kala II :
Ditentukan berdasarkan hasil pemeriksaan vaginal toucher yang acapkali dilakukan atas indikasi :
1. Kontraksi uterus sangat kuat dan disertai ibu yang merasa sangat ingin meneran.
2. Pecahnya ketuban secara tiba-tiba.
Pada kala II sangat diperlukan kerjasama yang baik antara parturien dengan penolong persalinan.
1. Persiapan :
1. Persiapan set “pertolongan persalinan” lengkap.
2. Meminta pasien untuk mengosongkan kandung kemih bila teraba kandung kemih diatas
simfisis pubis.
3. Membersihkan perineum, rambut pubis dan paha dengan larutan disinfektan.
4. Meletakkan kain bersih dibagian bawah bokong parturien.
5. Penolong persalinan mengenakan peralatan untuk pengamanan diri ( sepatu boot, apron,
kacamata pelindung dan penutup hidung & mulut).
2. Pertolongan persalinan :
1. Posisi pasien sebaiknya dalam keadaan datar diatas tempat tidur persalinan.
2. Untuk pemaparan yang baik, digunakan penahan regio poplitea yang tidak terlampau
renggang dengan kedudukan yang sama tinggi.
3. Persalinan kepala:
1. Setelah dilatasi servik lengkap, pada setiap his vulva semakin terbuka akibat dorongan
kepala dan terjadi “crowning”.
2. Anus menjadi teregang dan menonjol. Dinding anterior rektum biasanya menjadi lebih
mudah dilihat.
3. Bila tidak dilakukan episiotomi, terutama pada nulipara akan terjadi penipisan perineum
dan selanjutnya terjadi laserasi perineum secara spontan.
4. Episotomi tidak perlu dilakukan secara rutin dan hendaknya dilakukan secara individual
atas sepengetahuan dan seijin parturien.
Gambar 6 – 2 : Rangkaian persalinan kepala
Episiotomi terutama dari jenis episiotomi mediana mudah menyebabkan terjadinya ruptura perinei totalis
(mengenai rektum) ; sebaliknya bila tidak dilakukan episiotomi dapat menyebabkan robekan didaerah
depan yang mengenai urethrae.
Manuver Ritgen :
Saat kepala janin meregang vulva dan perineum (“crowning”) dengan diameter 5 cm, dengan dialasi oleh
kain basah tangan kanan penolong melakukan dorongan pada perineum dekat dengan dagu janin kearah
depan atas. Tangan kiri melakukan tekanan ringan pada daerah oksiput. Maneuver ini dilakukan untuk
mengatur defleksi kepala agar tidak terjadi cedera berlebihan pada perineum.
Persalinan bahu:
Setelah lahir, kepala janin terkulai keposterior sehingga muka janin mendekat pada anus ibu. Selanjutnya
oksiput berputar (putaran restitusi) yang menunjukkan bahwa diameter bis-acromial (diameter tranversal
thorax) berada pada posisi anteroposterior Pintu Atas Panggul (gambar 2d) dan pada saat itu muka dan
hidung anak hendaknya dibersihkan (gambar 5)
Untuk mencegah terjadinya distosia bahu, sejumlah ahli obstetri menyarankan agar terlebih dulu
melahirkan bahu depan sebelum melakukan pembersihan hidung dan mulut janin atau memeriksa
adanya lilitan talipusat ( gambar 8)
Gambar 8 Memeriksa adanya lilitan talipusat
Persalinan sisa tubuh janin biasanya akan mengikuti persalinan bahu tanpa kesulitan, bila agak sedikit
lama maka persalinan sisa tubuh janin tersebut dapat dilakukan dengan traksi kepala sesuai dengan
aksis tubuh janin dan disertai dengan tekanan ringan pada fundus uteri.
Jangan melakukan kaitan pada ketiak janin untuk menghindari terjadinya cedera saraf ekstrimitas atas
5. Membersihkan nasopharynx:
Perlu dilakukan tindakan pembersihan muka , hidung dan mulut anak setelah dada lahir dan anak mulai
mengadakan inspirasi, seperti yang terlihat pada gambar 5 untuk memperkecil kemungkinan terjadinya
aspirasi cairan amnion, bahan tertentu didalam cairan amnion serta darah.
6. Lilitan talipusat
Setelah bahu depan lahir, dilakukan pemeriksaan adanya lilitan talipusat dileher anak dengan
menggunakan jari telunjuk seperti terlihat pada gambar 8
Lilitan talipusat terjadi pada 25% persalinan dan bukan merupakan keadaan yang berbahaya.
Bila terdapat lilitan talipusat, maka lilitan tersebut dapat dikendorkanmelewati bagian atas kepala dan bila
lilitan terlampau erat atau berganda maka dapat dilakukan pemotongan talipusat terlebih dulu setelah
dilakukan pemasangan dua buah klem penjepit talipusat.
7. Menjepit talipusat:
Klem penjepit talipusat dipasang 4–5 cm didepan abdomen anak dan penjepit talipusat (plastik) dipasang
dengan jarak 2–3 cm dari klem penjepit. Pemotongan dilakukan diantara klem dan penjepit talipusat.
Bila setelah persalinan, neonatus diletakkan pada ketinggian dibawah introitus vaginae selama 3 menit
dan sirkulasi uteroplasenta tidak segera dihentikan dengan memasang penjepit talipusat, maka akan
terdapat pengaliran darah sebanyak 80 ml dari plasenta ke tubuh neonatus dan hal tersebut dapat
mencegah defisiensi zat besi pada masa neonatus.
Pemasangan penjepit talipusat sebaiknya dilakukan segera setelah pembersihan jalan nafas yang
biasanya berlangsung sekitar 30 detik dan sebaiknya neonatus tidak ditempatkan lebih tinggi dari
introitus vaginae atau abdomen (saat sectio caesar )
Persalinan Kala III adalah periode setelah lahirnya anak sampai plasenta lahir.
Segera setelah anak lahir dilakukan penilaian atas ukuran besar dan konsistensi uterus dan ditentukan
apakah ini aalah persalinan pada kehamilan tunggal atau kembar.
Bila kontraksi uterus berlangsung dengan baik dan tidak terdapat perdarahan maka dapat dilakukan
pengamatan atas lancarnya proses persalinan kala III.
Tanda-tanda diatas kadang-kadang dapat terjadi dalam waktu sekitar 1 menit setelah anak lahir dan
umumnya berlangsung dalam waktu 5 menit.
Bila plasenta sudah lepas, harus ditentukan apakah terdapat kontraksi uterus yang baik. Parturien
diminta untuk meneran dan kekuatan tekanan intrabdominal tersebut biasanya sudah cukup untuk
melahirkan plasenta.
Bila dengan cara diatas plasenta belum dapat dilahirkan, maka pada saat terdapat kontraksi uterus
dilakukan tekanan ringan pada fundus uteri dan talipusat sedikit ditarik keluar untuk mengeluarkan
plasenta (gambar 9)
Gambar 9. Ekspresi plasenta. Perhatikan bahwa tangan tidak melakukan tekanan pada fundus
uteri. Tangan kiri melakukan elevasi uterus (seperti tanda panah) dengan tangan kanan
mempertahankan posisi tangan )
1. Tangan kiri melakukan elevasi uterus (seperti tanda panah) dengan tangan kanan
mempertahankan posisi talipusat.
2. Parturien dapat diminta untuk membantu lahirnya plasenta dengan meneran.
3. Setelah plasenta sampai di perineum, angkat keluar plasenta dengan menarik talipusat keatas.
4. Plasenta dilahirkan dengan gerakan “memelintir” plasenta sampai selaput ketuban agar selaput
ketuban tidak robek dan lahir secara lengkap oleh karena sisa selaput ketuban dalam uterus
dapat menyebabkan terjadinya perdarahan pasca persalinan.
Kanan : selaput ketuban jangan sampai tersisa dengan menarik selaput ketuban menggunakan cunam
Penatalaksanaan aktif kala III ( pengeluaran plasenta secara aktif ) dapat menurunkan angka kejadian
perdarahan pasca persalinan.
Tehnik :
1. Setelah anak lahir, ditentukan apakah tidak terdapat kemungkinan adanya janin kembar.
2. Bila ini adalah persalinan janin tunggal, segera berikan oksitosin 10 U i.m (atau methergin 0.2 mg
i.m bila tidak ada kontra indikasi)
3. Regangkan talipusat secara terkendali (“controlled cord traction”):
o Telapak tangan kanan diletakkan diatas simfisis pubis. Bila sudah terdapat kontraksi,
lakukan dorongan bagian bawah uterus kearah dorsokranial (gambar 11 )
Gambar 11. Melakukan dorongan uterus kearah dorsokranial sambil melakukan traksi talipusat terkendali
PERHATIAN : Jika uterus bergerak kebawah waktu saudara menarik talipusat, HENTIKAN !!
Plasenta mungkin belum lepas dari insersinya dan kemungkinan dapat menyebabkan terjadinya
inversio uteri.
Jika ibu merasa nyeri atau jika uterus tidak mengalami kontraksi (lembek) , HENTIKAN USAHA
MENARIK TALIPUSAT
2 jam pertama pasca persalinan merupakan waktu kritis bagi ibu dan neonatus. Keduanya baru saja
mengalami perubahan fisik luar biasa dimana ibu baru melahirkan bayi dari dalam perutnya dan neonatus
sedang menyesuaikan kehidupan dirinya dengan dunia luar.
Petugas medis harus tinggal bersama ibu dan neonatus untuk memastikan bahwa keduanya berada
dalam kondisi stabil dan dapat mengambil tindakan yang tepat dan cepat untuk mengadakan stabilisasi.
1. Periksa fundus uteri tiap 15 menit pada jam pertama dan setiap 30 menit pada jam kedua.
2. Periksa tekanan darah – nadi – kandung kemih dan perdarahan setiap 15 menit pada jam
pertama dan 30 menit pada jam kedua.
3. Anjurkan ibu untuk minum dan tawarkan makanan yang dia inginkan.
4. Bersihkan perineum dan kenakan pakaian ibu yang bersih dan kering.
5. Biarkan ibu beristirahat.
6. Biarkan ibu berada didekat neonatus.
7. Berikan kesempatan agar ibu mulai memberikan ASI, hal ini juga dapat membantu kontraksi
uterus .
8. Bila ingin, ibu diperkenankan untuk ke kamar mandi untuk buang air kecil. Pastikan bahwa ibu
sudah dapat buang air kecil dalam waktu 3 jam pasca persalinan.
9. Berikan petunjuk kepada ibu atau anggauta keluarga mengenai:
Ibu yang baru bersalin sebaiknya berada di kamar bersalin selama 2 jam dan sebelum dipindahkan ke
ruang nifas petugas medis harus yakin bahwa:
Saifuddin, AB, Adriaanz, G, Wiknjosastro, GH, Waspodo, D, 2006, Buku Acuan Nasional Pelayanan
Kesehatan Maternal dan Neonatal, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo-POGI-IDAI-PERINASIA-
IBI-Depkes RI-ADB-WHO-JHPIEGO, Edisi 1 Cetakan 4, Jakarta.