Anda di halaman 1dari 96

UNIVERSITAS TADULAKO

Perencanaan Lapangan Terbang

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perkembangan transportasi dewasa ini sudah semakin berkembang.
Perkembangan ini ditandai dengan semakin banyaknya jenis moda transportasi yang
beroprasi untuk melayani perpindahan orang atau barang dari suatu tempat ke tempat
yang lain.
Salah satu moda transportasi yang banyak mengalami perkembangan saat ini
adalah moda transportasi udara. Untuk mendukung oprasional moda transportasi
udara ( Pesawat Terbang ) maka dukungan infrastruktur seperti Bandar Udara
mutlak diperlukan. Komponen - komponen Bandar Udara seperti Runway, Taxiway,
Apron dan Terminal penumpang harus mampu melayani oprasional pesawat terbang
secara aman, nyaman dan ekonomis. Untuk mencapai hal tersebut di atas, diperlukan
suatu bandar udara yang didesain secara baik.
Perencanaan, design dan pengoprasian Bandara merupakan salah satu bidang
kajian di dalam Ilmu Teknik Sipil khususnya bidang rekayasa transportasi. Sehingga,
setiap mahasiswa teknik sipil dituntut untuk bisa mendesain bandar udara sesuai
dengan peraturan / standar yang berlaku.
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka seorang mahasiswa teknik sipil harus
dibekali dengan kemampuan yang memadai untuk dapat merencanakan bandar udara
dan komponen- komponennya berdasarkan spesifikasi yang berlaku saat ini.

1.2 Tujuan
Adapun maksud dan tujuan dari pembuatan Tugas Besar Perencanaan Terbang
adalah:
1. Agar mahasiswa dapat menganalisa dan menentukan arah angin dominan dalam
penetapan arah landasan pacu (runway).
2. Agar mahasiswa dapat mendesain komponen geometrik Bandar udara (runway,
taxiway, apron, terminal dan bangunan pelengkapnya).
3. Agar mahasiswa dapat mendesain tebal perkerasan runway, taxiway, apron.

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

4. Mahasiswa mampu mengestimasi kebutuhan terminal penumpang pada suatu


Bandar Udara.

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

BAB II

STANDAR – STANDAR YANG DIGUNAKAN DAN LANDASAN TEORI

2.1 Standar Yang Digunakan Dalam Perencanaan


1. Menggunakan standar klasifikasi perencanaan ICAO (International Civil Aviation
Organization) Annex 11 ; 14 Fourth Edition Aerodrome Design and Operations
juli 2004.
2. Menggunakan standar Perencanaan FAA (Federal Aviation Administration) AC
150/5300-13 FAA Airport Design; AC 150/5320-6D FAA Airport Pavement
Design and Evaluation Tahun 2012.
3. Aturan-aturan menurut keputusan Direktur Jendral Perhubungan Udara Indonesia
Nomor : SKEP/347/XII/1999 tentang Standar Rancang Bangun dan/atau
Rekayasa Fasilitas dan Peralatan Bandar Udara.; SKEP/77/VI/2005 tentang
Persyaratan Teknis Pengoperasian Fasilitas Teknik Bandar Udara.

2.2 Analisa Angin


Sebuah analisa angin adalah dasar bagi perencanaan lapangan terbang, sebagai
pedoman pokok, landasan pacu sebuah lapangan terbang arahnya harus sedemikian
rupa sehingga searah dengan prevailling wind (arah angin dominan).
Ketika mengadakan pendaratan dan lepas landas, pesawat dapat melakukan
manuver sejauh komponen angin samping (cross wind) tidak berlebihan. Maksimum
cross wind yang diizinkan tergantung pada bukan saja ukuran pesawat, tetapi juga
pada konfigurasi sayap dan kondisi perkerasan landasan.

2.2.1 Arah Runway (Landasan Pacu)


Arah runway dapat ditentukan secara grafis, data angin untuk segala
kondisi penglihatan adalah sebagaimana data yang diberikan, kemudian data
tersebut diplot ke dalam diagram wind rose (mawar angin).
Persentase angin yang bersesuaian dengan arah dan rentang kecepatan
yang diberikan ditandai dalam sektor yang sesuai dengan mawar angin
dengan menggunakan skala koordinat kutub untuk arah dan besar angin.

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

Gambar 2.1. Wind Rose

Sumber : FAA AC 150/5300-13A

Arah landasan pacu optimum dapat ditentukan dari mawar angin


dengan menggunakan suatu lembar bahan yang tembus pandang yang
padanya telah dilukiskan 3 garis sejajar dan berjarak sama. Garis tengah
menyatakan garis tengah landasan pacu dan jarak antara kedua garis yang di
tepi, dengan skala adalah 2 kali komponen angin sisi yang diizinkan.
Lembaran tembus pandang itu diletakkan di atas mawar angin sedemkian
rupa, sehingga garis tengah pada lembaran melalui pusat mawar angin.

Dengan pusat mawar angin sebagai titik pusat, lembaran itu diputar di
atas mawar angin sampai jumlah dari persentase yang tercakup di antara garis
tepi maksimum, apabila salah satu garis tepi pada lembaran itu membagi
suatu segmen arah angin, bagian yang terbagi itu dihitung secara visual
dengan pembulatan 0,1%. Langkah berikutnya adalah membaca arah

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

landasan pacu skala sebelah luar mawar angin, dimana garis tengah pada
lembaran itu memotong skala arah. Sebagai langkah pertama dalam hal ini
adalah memplot data kecepatan dan arah angin ke dalam mawar angin yaitu
lingkaran yang terdiri dari berbagai sektor arah angin dan kecepatan angin.

Kemudian masing-masing arah yang ditinjau dijumlahkan, maka


jumlah yang terbesar dijadikan standar untuk menghitung dan menentukan
arah landasan pacu (runway). Dengan demikian maka diperoleh wind rose
untuk masing-masing arah. Peninjauan arah angin dilakukan pada 4 (empat)
arah yaitu:

a) Arah N – S.

b) Arah NE – SW.

c) Arah W – E.

d) Arah NW – SE.

Persyaratan ICAO Pesawat Landas Pacu Rencana, diambil Panjang Landas


Pacu Pesawat dengan Komponen Cross Wind tidak melebihi :

a) 20 Knots dengan ARFL  1500 m


b) 13 Knots dengan ARFL diantara 1200 m – 1499 m
c) 10 Knots dengan ARFL ≤ 1200 m

2.3 Karakteristik Pesawat


Adalah penting untuk menyadari bahwa karakteristik-karakteristik seperti
berat operasi kosong, kapasitas penumpang dan panjang landasan pacu tidakdapat
dibuat secara tepat dalam pentabelan karena terdapat banyak variabel yang
mempengaruhi besaran-besaran tersebut, baik internal variable yang berhubungan
dengan jenis dan mesin pesawat, maupun external variable yang berhubungan
dengan keadaan lokal seperti arah dan kecepatan angin, temperatur, ketinggian lokasi
dan kemiringan memanjang landasan.

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

2.3.1 Klasifikasi Airport, Desain Group Pesawat dan Jenis Pesawat


Menurut Horonjeff (1994) berat pesawat terbang penting untuk
menentukan tebal perkerasan runway, taxiway dan apron, panjang runway
lepas landas dan pendaratan pada suatu bandara. Bentang sayap dan panjang
badan pesawat mempengaruhi ukuran apron parkir, yang akan
mempengaruhi susunan gedung-gedung terminal. Ukuran pesawat juga
menentukan lebar runway, taxiway dan jarakantara keduanya, serta
mempengaruhi jari-jari putar yang dibutuhkan pada kurva-kurva perkerasan.
Kapasitas penumpang mempunyai pengaruh penting dalam menentukan
fasilitas-fasilitas di dalam dan yang berdekatan dengan gedung-gedung
terminal. Panjang runway mempengaruhi sebagian besar daerah yang
dibutuhkan disuatu bandara. Panjang landas pacu yang terdapat pada Tabel
2.1 adalah pendekatan panajang landasan pacu minimum yang dipakai setelah
beberapa kali tes yang dilakukan oleh pabrik pembuat pesawat terbang yang
bersangkutan.

Gambar 2.2 Dimensi khas Pesawat Besar


Sumber : gambar A1-1 AC 150/5300-13AAirport Design (2012)

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

Gambar 2.3 Dimensi khas Pesawat Kecil


Sumber : gambar A1-2 AC 150/5300-13A Airport Design (2012)

Tabel 2.1 Karakteristik Komersial Layanan Pesawat

Turboprop Aircraft

Runway
MSTOW Avg. #
Aircraft Wingspan Length # Engines required
(lb) Seats
(ft)
Beech
54'06" 57'10" 16600 2 19 3300
1900c
Shorts 360 74'10'' 70'10" 27100 2 35 4300
Dornier 328-
68'10'' 68'08" 27557 2 30 3300
100
SAAB 340
70'04" 64'09" 28500 2 37 4200
B
AT-42-300 80'06" 74'05" 36815 2 45 3600
EMB 120 64'11" 65'7" 26433 2 30 5200

Jet Aircraft Less than 100,000 lb MSTOW (Regional Jets)


Runway
Manufactu MSTOW Avg. #
Aircraft Wingspan Length # Engines required
rer (lb) Seats
(ft)
British
BAe-RJ70 86'00" 78'9" 89999 2 95 4700
Aerospace
British
BAe-RJ85 86'00" 86'11" 92999 2 110 5400
Aerospace
British
BAe-RJ100 86'00" 94'10" 97449 2 110 6000
Aerospace

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

Jet Aircraft Less than 100,000 lb MSTOW (Regional Jets)


Runway
MSTOW Avg. #
Aircraft Manufacturer Wingspan Length # Engines required
(lb) Seats
(ft)
ERJ 135 Embrear 65'9" 86'5" 41887 2 35 5800
ERJ 140 Embrear 65'9" 93'4" 44313 2 40 6100
ERJ 145 Embrear 65'9" 98'0" 46275 2 50 7500
CRJ 200 Bombardier 69'7" 87'10" 51000 2 50 5800
CRJ 700 Bombardier 76'3" 106'8'' 72750 2 70 5500
CRJ 900 Bombardier 81'6" 119'4" 80500 2 90 5800
Jet Aircraft Between 100,00 and 250,000 lb MSTOW (Narrow Body Jets)

Runway
Manufactu Wheel MSTOW Avg. #
Aircraft Wingspan Length Wheel Base # Engines required
rer Track (lb) Seats
(ft)
Airbus
A-319 111'25'' 111'02'' 41'33'' 24'93'' 141095 2 140 5800
Industrie
McDonnell-
MD-87 107'10'' 130'05'' 62'11'' 16'08'' 149500 2 135 7600
Douglas
McDonnell-
MD-90-30 107'10'' 152'07'' 77'02'' 16'08'' 156000 2 165 6800
Douglas
Airbus
A-320-200 111'03" 123'03'' 41'05'' 24'11'' 158730 2 160 5700
Industrie
B-737-800 Boeing 112'06'' 124'11'' 50'09'' 18'8'' 172445 2 175
B-727-200 Boeing 108'00'' 153'03'' 63'03'' 18'09'' 184800 3 165 8600
B-757-200 Boeing 124'10'' 155'03'' 60'00'' 24'00'' 220000 2 210 5800
Jet Aircraft Greater than 250,000 lb MSTOW (Wide Body Jets)
Airbus
A310-300 144'00'' 153'01'' 49'11'' 31'06'' 330690 2 240 7500
Industrie
B-767-300 Boeing 156'01'' 180'03'' 74'08'' 30'06'' 345000 2 275 8000
Airbus
A-300-600 147'01'' 175'06'' 61'01'' 31'06'' 363765 2 310 7600
Industrie
L-1011-500 Lockheed 164'04'' 164'03'' 61'08'' 36'00'' 510000 3 290 9200
B-777-200 Boeing 199'11'' 209'01'' 84'11'' 36'00'' 535000 2 375 8700
McDonnell-
DC-10-40 165'04'' 182'03'' 72'05'' 35'00'' 555000 3 325 9500
Douglas
Airbus
A-340-200 197'10'' 195'00'' 62'11'' 16'09'' 558900 4 320 7600
Industrie
McDonnell-
DC-10-30 165'04'' 182'03'' 72'05'' 35'00'' 572000 3 320 9290
Douglas
McDonnell-
MD-11 170'06'' 201'04'' 80'09'' 35'00'' 602500 3 365 9800
Douglas
B-747-SP Boeing 195'08'' 184'09'' 67'04'' 36'01'' 630000 4 315 7000
B-747-400 Boeing 213'00'' 231'10'' 84'00'' 36'01'' 800000 4 535 8800
Sumber: Planning & Design of Airports (Robert Horonjeff & Francis .S Mckelvey ) 1994

2.3.2. Beban pesawat


Beban pesawat diperlukan untuk menentukan tebal lapis keras landing
movement yang dibutuhkan. Beberapa jenis beban pesawat yang
berhubungan dengan pengoperasian pesawat antara lain (Sartono, 1992):

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

(1) Berat kosong operasi (Operating Weight Empty = OWE) adalah beban
utama pesawat, termasuk awak pesawat dan konfigurasi roda pesawat
tetapi tidak termasuk muatan (payload) dan bahan bakar.
(2) Muatan (Payload) adalah beban pesawat yang diperbolehkan untuk
diangkut oleh pesawat sesuai dengan persyaratan angkut pesawat.
Biasanya beban muatan menghasilkan pendapatan (beban yang dikenai
biaya). Secara teoritis beban maksimum ini merupakan perbedaan antara
berat bahan bakar kosong dan berat operasi kosong.
(3) Berat bahan bakar kosong (Zero Fuel Weight = ZFW) adalah beban
maksimum yang terdiri dari berat operasi kosong, beban penumpang
dan barang.
(4) Berat Ramp maksimum (Maximum Ramp Weight = MRW) adalah beban
maksimum untuk melakukan gerakan, atau berjalan dari parkir pesawat
ke pangkal landasan pacu. Selama melakukan gerakan ini, maka akan
terjadi pembakaran bahan bakar sehingga pesawat akan kehilangan berat.
(5) Berat maksimum lepas landas (Maximum Take Off Weight = MTOW)
adalah beban maksimum pada awal lepas landas sesuai dengan bobot
pesawat dan persyaratan kelayakan penerbangan. Beban ini meliputi
berat operasi kosong, bahan bakar dan cadangan (tidak termasuk bahan
bakar yang digunakan untuk melakukan gerakan awal) dan muatan
(payload).
(6) Berat maksimum pendaratan (Maximum Landing Weight = MLW) adalah
beban maksimum pada saat roda pesawat menyentuh lapis keras
(mendarat) sesuai dengan bobot pesawat dan persyaratan kelayakan
penerbangan.
Untuk lebih jelasnya mengenai pengertian beban pesawat saat
pengoperasian dirangkum dalam Tabel 2.2 berikut:

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

Tabel 2.2 Beban Pesawat Saat Pengoperasian


Komponen Berat Bahan Bakar
Crew Gear Muatan
Pesawat Dasar Man T.o Trav. Ld. Res.
OWE + + + - - - - - -
Payload - - - + - - - - -
Max.payloa
- - - + max. - - - - -
d
ZFW + + + + max. - - - - -
MRW + + + + + + + + +
MTOW + + + + - + + + +
MLW + + + + - - - + +

Sumber: Sartono (1992)

Catatan:

Tanda (+) = diperhitungkan


Tanda (-) = tidak diperhitungkan
Man = Manuver (gerakan)
T.o = Take off (tinggal landas)
Trav = Travelling (Perjalanan)
Ld = Landing (Mendarat)
Res = Reserver (cadangan)

2.3.3 Konfigurasi Roda Pendaratan Utama


Selain berat pesawat, konfigurasi roda pendaratan utama sangat
berpengaru terhadap perancangan tebal lapis perkerasan. Pada umumnya
konfigurasi roda pendaratan utama dirancang untuk menyerap gaya-gaya
yang ditimbulkan selama melakukan pendaratan (semakin besar gaya yang
ditimbulkan semakin kuat roda yang digunakan), dan untuk menahan beban
yang lebih kecil dari beban pesawat lepas landas maksimum. Dan selama
pendaratan berat pesawat akan berkurang akibat terpakainya bahan bakar
yang cukup besar. Konfigurasi roda pendaratan utama, ukuran dan tekanan
pemompaan tipikal untuk beberapa jenis pesawat dirangkum dalam Tabel 2.3
berikut:

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

Tabel 2.3 Konvensi Penamaan Standar untuk Konfigurasi Gear Pesawat Umum

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

Sumber : AC 150/5320-6E Airport Pavement Design and Evaluation (2009)

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

2.4 Desain Landasan Pacu (Runway)


2.4.1 Geometrik Landas Pacu
Untuk menghitung panjang runway akibat pengaruh prestasi pesawat
dipakai suatu peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Amerika Serikat
bekerja sama dengan Industri Pesawat Terbang yang tertuang dalam Federal
Aviation Regulation (FAR). Peraturan-peraturan ini menetapkan bobot kotor
pesawat terbang pada saat lepas landas dan mendarat dengan menentukan
persyaratan prestasi yang harus dipenuhi.
Perhitungan panjang runway dipengaruhi oleh kondisi lokal lingkungan
bandara. Lingkungan bandara yang berpengaruh terhadap panjang runway
adalah: temperatur, angin permukaan (surface wind), kemiringan runway
(effective gradient), elevasi runway dari permukaan laut (altitude) dan kondisi
permukaan runway. Sesuai dengan rekomendasi dari International Civil
Aviation Organization (ICAO) bahwa perhitungan panjang runway harus
disesuaikan dengan kondisi lokal lokasi bandara. Metoda ini dikenal dengan
metode Aeroplane Reference Field Length (ARFL).
Menurut ICAO, ARFL adalah runway minimum yang dibutuhkan untuk
lepas landas pada maximum sertificated take off weight, elevasi muka laut,
kondisi atmosfir standar, keadaan tanpa angin bertiup, runway tanpa
kemiringan (kemiringan = 0). Jadi di dalam perencanaan persyaratan-
persyaratan tersebut harus dipenuhi dengan melakukan koreksi akibat
pengaruh dari keadaan lokal. Adapun uraian dari faktor koreksi tersebut
adalah sebagai berikut:

a) Koreksi elevasi
Menurut ICAO bahwa panjang runway bertambah sebesar 7% setiap
kenaikan 300 m (1000 ft) dihitung dari ketinggian di atas permukaan laut.
Maka rumusnya adalah:

Fe = 1 + 0.07 .(h/300) (Pers. 2.1)

Dengan Fe : Faktor koreksi elevasi


h : Elevasi di atas permukaan laut, m

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

b) Koreksi temperatur
Pada temperatur yang tinggi dibutuhkan runway yang lebih panjang sebab
temperatur tinggi akan menyebabkan density udara yang rendah. Sebagai
temperatur standar adalah 15˚C. Menurut ICAO panjang runway harus
dikoreksi terhadap temperatur sebesar 1% untuk setiap kenaikan 1˚C.
Sedangkan untuk setiap kenaikan 1000 m dari permukaaan laut rata-rata
temperatur turun 6.5˚C.
Dengan dasar ini ICAO menetapkan hitungan koreksi temperatur dengan
rumus:

Ft = 1 + 0.01 (T –(15 - 0.0065h))


( Pers. 2.2)

Dengan Ft : Faktor koreksi temperatur


T : Temperatur di bandara, ˚C

c) Koreksi kemiringan runway


Faktor koreksi kemiringan runway dapat dihitung dengan persamaan
berikut:
Fs = 1 + 0.1 S
( Pers.2.3)
Dengan Fs : Faktor koreksi kemiringan
S : Kemiringan runway, %

d) Koreksi angin permukaan (surface wind)


Panjang runway yang diperlukan lebih pendek bila bertiup angin haluan
(head wind) dan sebaliknya bila bertiup angin buritan (tail wind) maka
runway yang diperlukan lebih panjang. Angin haluan maksimum yang
diizinkan bertiup dengan kekuatan 10 knots, dan menurut Basuki (2014)
kekuatan maksimum angin buritan yang diperhitungkan adalah 5 knots.
Tabel 2.4 berikut memberikan perkiraan pengaruh angin terhadap panjang
runway.

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

Tabel 2.4 Pengaruh Angin Permukaan Terhadap Panjang Runway

Persentase Pertambahan
Kekuatan angin
Pengurangan Runway

+5 -3
+10 -5
-5 +7
Sumber: Merancang, merencana lapangan terbang (Basuki, Heru 1986)

e) Kondisi permukaan runway


Untuk kondisi permukaan runway hal sangat dihindari adalah adanya
genangan tipis air (standing water) karena membahayakan operasi pesawat.
Genangan air mengakibatkan permukaan yang sangat licin bagi roda
pesawat yang membuat daya pengereman menjadi jelek dan yang paling
berbahaya lagi adalah terhadap kemampuan kecepatan pesawat untuk
lepas landas. Menurut hasil penelitian NASA dan FAA tinggi maksimum
genangan air adalah 1.27 cm. Oleh karena itu drainase bandara harus baik
untuk membuang air permukaan secepat mungkin.

Jadi panjang runway minimum dengan metoda ARFL dihitung dengan


persamaan berikut:

Lro = ARFL x ( Ft x Fe x Fs x (1+ % pengaruh angin permukaan)


(Pers.2.4)

Dengan, Lro : Panjang runway rencana, m


Ft : Faktor koreksi temperatur
Fe : Faktor koreksi elevasi
Fs : Faktor koreksi kemiringan
Setelah panjang runway menurut ARFL diketahui dikontrol lagi dengan
Aerodrome Reference Code (ARC) dengan tujuan untuk mempermudah
membaca hubungan antara beberapa spesifikasi pesawat terbang dengan
berbagai karakteristik bandara. Kontrol dengan ARC dapat dilakukan
berdasarkan pada Tabel 2.5 berikut:

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

Tabel 2.5 Airplane Desain Group (ADG)


Tail Height Wingspan
Group #
[ft (m) ] [ft (m) ]
I <20'(<6 m) < 49'(<15 m)
II 20' - < 30' (6 m - < 9 m) 49' - < 79' (15 m - < 24 m)
III 30' - < 45' (9 m - < 13,5 m) 79' - < 118' (24 m - < 36 m)
IV 45' - < 60' (13,5 m - < 18,5 m) 118' - < 171' (36 m - < 52 m)
V 60' - < 66' (18,5 m - < 20 m) 171'- < 214' (52 m - < 65 m)
VI 66' - < 80' (20 m - < 24,5 m) 214'- < 262' (65 m - < 80 m)

Sumber : AC 150/5300-13 Airport Design 2012

Dari data karakteristik pesawat diketahui panjang bentang sayap pesawat


yang paling lebar diantara pesawat rencana, sesuai dengan tabel 2.5
pesawat tersebut masuk kategori yang telah ditetapkan, Selanjutnya data
yang diperlukan telah ditetapkan dalam tabel berikut :

Tabel 2.6 Karakteristik Database Pesawat - Diurutkan Oleh Produsen Pesawat / Model

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

Sumber: AC/150/5300-13, Airport Design 2012

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

Tabel 2.7 Kategori Pendekatan Pesawat (AAC )

Tabel 2.8 Airplane Design Group ( ADG )

Tabel 2.9 Visibility minimums

Sumber: AC/150/5300-13, Airport Design 2012

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

Tabel 2.10 Runway standar desain matrix, C/D/E - I

Sumber: AC/150/5300-13, Airport Design 2012

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

Tabel 2.11 Runway design standards matrix, C/D/E - II

Sumber: AC/150/5300-13, Airport Design 2012

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

Tabel 2.12 Runway design standards matrix, C/D/E - III

Sumber: AC/150/5300-13, Airport Design 2012

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

Tabel 2.13 Runway design standards matrix, C/D/E - IV

Sumber: AC/150/5300-13, Airport Design 2012

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

Tabel 2.14 Runway design standards matrix, C/D/E - V

Sumber: AC/150/5300-13, Airport Design 2012

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

Tabel 2.15 Runway design standards matrix, C/D/E - VI

Sumber: AC/150/5300-13, Airport Design 2012

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

Catatan:

Jarak Standar runway centerline ke parallel taxiway centerline jarak batasnya adalah 400
feet (122 m) untuk bandara di bawah elevasi 1345 feet (410,2 m), 450 feet (137,3 m)
,untuk bandara diantara elevasi 1345 feet sampai 6560 feet, dan 500 feet untuk bandara di
atas elevasi 6,560 feet.

Gambar 2.4 Typical airport layout


Sumber : gambar 3 -26 AC 150/53000-13A Airport Design 2012

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

Tabel 2.16 Desain standar taxiway berdasarkan Airplane Design Group (ADG)

Sumber: AC/150/5300-13, Airport Design 2012

Tabel 2.17 Standar desain berdasarkan Taxiway Design Group (TDG)

Sumber: AC/150/5300-13, Airport Design 2012

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

Gambar 2.5 Desain Taxiway yang tidak disarankan


Sumber: gambar 4-6 AC/150/5300-13, Airport Design 2012

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

Gambar 2.6 Garis Aman Tepi Taxiway pada Segmen lurus


Sumber: gambar 4-7 AC/150/5300-13, Airport Design 2012

Tabel 2.18 Standar desain berdasarkan Taxiway Design Group (TDG)

Sumber: tabel 4 - 14 AC/150/5300-13, Airport Design 2012

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

Gambar 2.7 Crossover Taxiway berdasarkan TDG


Sumber: gambar 4-24 AC/150/5300-13, Airport Design 2012

Gambar 2.8 Crossover Taxiway berdasarkan TDG


Sumber: gambar 4-25 AC/150/5300-13, Airport Design 2012

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

Gambar 2.9 Belokan Taxiway


Sumber: gambar 4 -14 AC/150/5300-13, Airport Design 2012

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

Gambar 2.10 Belokan Taxiway - Sudut kurang dari 90o


Sumber: gambar 4 – 15 AC/150/5300-13, Airport Design 2012

Gambar 2.11 Belokan Taxiway – Sudut lebih besar dari 90o


Sumber: gambar 4 – 15 AC/150/5300-13, Airport Design 2012

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

Tabel 2.19 Detail persimpangan standar untuk TDG 1A

Sumber: AC/150/5300-13, Airport Design 2012

Tabel 2.20 Detail persimpangan standar untuk TDG 1B

Sumber: AC/150/5300-13, Airport Design 2012

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

Tabel 2.21 Detail persimpangan standar untuk TDG 2

Sumber: AC/150/5300-13, Airport Design 2012

Tabel 2.22 Detail persimpangan standar untuk TDG 3

Sumber: AC/150/5300-13, Airport Design 2012

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

Tabel 2.23 Detail persimpangan standar untuk TDG 4

Sumber: AC/150/5300-13, Airport Design 2012

Tabel 2.24 Detail persimpangan standar untuk TDG 5

Sumber: AC/150/5300-13, Airport Design 2012

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

Tabel 2.25 Detail persimpangan standar untuk TDG 6

Sumber: AC/150/5300-13, Airport Design 2012

Tabel 2.26 Detail persimpangan standar untuk TDG 7

Sumber: AC/150/5300-13, Airport Design 2012

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

Gambar 2.12 Taxiway Design Groups ( TDGs)


Sumber: gambar 4 -1 AC/150/5300-13, Airport Design 2012

Gambar 2.13 Parallel Taxiway


Sumber: gambar 4 -13 AC/150/5300-13, Airport Design 2012

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

Perencanaan geometrik lapangan terbang sangat bergantung terhadap


dimensi pesawat yang dilayani. Untuk dimensi yang berhubungan dengan
taxiway, maka pesawat dibagi dalam beberapa kelompok/group.

Pembagian kelas ini berdasarkan dimana wingspan (lebar sayap), under


width (lebar bagian bawah) dan wheel head dan wheel base (jarak antara kepala
roda dengan roda badan). Masing-masing group terdapat beberapa jenis:

 Perlambatan diambil 1,5 m/dtk2 dan jarak harus ditambahkan 3% per 300 m
(1000 ft) setiap kenaikan dari muka air laut dan 1% setiap kenaikan 56 °C
(10°F) dari temperatur 15°C - 50°C.
 Kecepatan touch down diambil sesuai tipe pesawat untuk perencanaan
taxiway

Tabel 2.27 Jarak touchdown pesawat berdasakan design group


Kecepatan towchdown Jarak towchdown
Design Group Tipe Pesawat
(Km/Jam) (m)
Bristul Freighter 170, < 167 Km/Jam
I 300 m ( 1000 ft )
DC-3, DC-4, F-27 (90 knots)

Bristul Freighter,
169 – 122 Km/Jam
DC-6, F-28, MK- 400 m ( 1500 ft )
II ( 90 – 120 knots )
100, Viscount 800

B-707, B-727,B-
737,B-
> 244 Km/Jam
III 747,B-777 air Bus, 450 m ( 1500 ft )
( < 121 knots )
DC-8,DC-9, DC-
10,L-1011,Trident
Sumber: FAA AC 150/5320-6D

Jarak dari Threshold ke lokasi exit taxiway = jarak touch down + D dari
threshold

𝑆12 − 𝑆22
D= (Pers.2.5)
2𝑎

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

Dimana :

D = jarak dari touch down ke titik perpotongan antara runway dan taxiway

S1 = kecepatan touchdown (m/s)

S2 = kecepatan awal ketika meninggalkan landasan (m/s)

a = perlambatan

2.5 HOLDING BAY


Pada lapangan terbang yang mempunyai lalu lintas pesawat padat, sudah
perlu dibangun Holding Bay. Dengan disediakannya holding bay, maka pesawat dari
apron dapat menuju ke ujung landasan dengan cepat, dan memungkinkan sebuah
pesawat lain untuk menyalip masuk ujung landasan tanpa harus menunggu pesawat
di depannya yang sedang, menyelesaikan persiapan teknis, macam-macam tipe
holding bay seperti yang terlihat pada gambar 2.6. Keuntungan dari holding bay
antara lain:

 Keberangkatan sebuah pesawat tertentu yang harus ditunda karena suatu hal
padahal sudah masuk taxiway menjelang sampai ujung landasan, tidak
menyebabkan tertundanya pesawat lain yang ada dibelakangnya.
 Pemeriksaan altimeter (alat pengukur tinggi) sebelum terbang, memprogram
alat bantu Navigasi Udara, apabila tidak bisa dilaksanakan di apron.
 Pemanasan mesin sesaat sebelum lepas landas. Sebagai titik pemeriksaan
aerodrome untuk VOR (Very High Omny Range), karena untuk pemeriksaan itu
pesawat harus berhenti untuk menerima sinyal yang benar.

a. Bentuk Holding Bay


Apron tunggu (holding apron), lantai pemanasan (run-up pad) atau kadang-
kadang disebut holding bay, ditempatkan di ujung landasan pacu. Apron-apron
tersebut digunakan sebagai tempat pesawat sebelum lepas landas, apron-apron
tersebut harus cukup luas sehingga apabila sebuah pesawat tidak dapat lepas

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

landas karena ada kerusakan mesin, pesawat lainnya yang siap untuk lepas
landas dapat melewatinya (Gambar 2.7).

Gambar 2.14 Tipikal Konfigurasi Holding Bay

Sumber : Gambar 4-28. AC/150/5300-13, Airport Design 2012

b. Ukuran Holding Bay


Ukuran yang diperlukan untuk sebuah holding bay tergantung kepada:

1. Jumlah dan posisi pesawat yang akan dilayani ditentukan oleh frekwensi
pemakaiannya.
2. Tipe-tipe pesawat yang akan dilayani.
3. Cara-cara/kelakuan pesawat masuk dan meninggalkan holding bay.
Pada umumnya, kebebasan ujung sayap pesawat (Wing Tip Clerance) antara
pesawat yang sedang parkir, dan pesawat yang berjalan melewatinya tak boleh
kurang dari 15 m (50 feet) apabila pesawat yang bergerak adalah tipe Turbo Jet,
dan 10 m (33 feet) bila pesawat yang bergerak adalah tipe Propeler.

c. Lokasi Holding Bay


Holding Bay harus ditempatkan di luar area kritis yaitu sekitar instalasi ILS
(Instrument Landing System) agar terhindar gangguan pada peralatan bantu
pendataran. Agar tercapai operasi penerbangan yang aman dan selamat di
lapangan terbang, diperlukan jarak minimum dari sumbu landasan terbang,
diperlukan jarak minimum dari sumbu landasan ke Holding Bay atau posisi taxi
holding, tidak boleh kurang dari persyaratan.

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

2.6 Desain Apron

2.6.1 Geometrik Apron


Apron ialah suatu areal parkir pesawat untuk memuat dan menurunkan
barang. Tempat naik dan turunnya penumpang pesawat. Perencanaan apron
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

 Karakteristik pesawat yang terdiri dari:


 Panjang pesawat.
 Lebar sayap pesawat
 Jari-jari putar pesawat.
 Jarak keamanan antar pesawat.
 Volume penerbangan.
 Kapasitas rencana lapangan terbang.

2.6.1.1 Tipe Parkir Pesawat Terbang


Dalam perencanaan lapangan terbang ada beberapa tipe parkir
pesawat terbang yang dapat digunakan, yaitu:

 Noise In
Pesawat diparkir tegak lurus gedung terminal, hidung pesawat
menghadap terminal.

 Angied Noise In
Pesawat diparkir menyudut dan hidung pesawat menghadap ke
gedung terminal.

 Paralel
Konfigurasi parkir dengan badan pesawat/sayap pesawat
menghadap gedung terminal dengan sudt 90o

 Angied Noise Out


Konfigurasi parkir sama dengan tipe Angied Noise In tetapi
hidung pesawat membelakangi gedung terminal.

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

Macam-macam tipe parkir tersebut dapat dilihat seperti yang tercantum pada
gambar Berikut:

NOISE IN ANGIED NOISE IN

TERMINAL

BAGIAN DEPAN
PARAREL ANGIED NOISE OUT

TERMINAL

BAGIAN DEPAN
Gambar 2.15 Macam – macam tipe parkir pesawat

Sumber: Robert horonjeff & Francis. S Mckelvey. Hal. 509

2.6.1.2 Menentukan Gate Type


Area Terminal (Apron) secara khas dirancang untuk menangani
spesifikasi pesawat terbang yang cock dengan dimensi ukuran-
ukuran tertentu. Pada Bab 4 dari AC 150/5360 – 13 menguraikan
metodologi untuk menentukan tipe-tipe gate yang berbeda. Airport
Reference Code (ARC) adalah system yang digunakan untuk
menentukan ukuran desain, dan tipe-tipe gate dengan cara mudah.

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

Berikut adalah tipe-tipe gate yang dikategorikan pada Bab 4


150/5630 -13;

1. Tipe Gate A. Pesawat tipe golongan III dengan panjang sayap


(wingspan) antara 79-118 ft
2. Tipe Gate B. Pesawat tipe golongan IV dengan panjang sayap
(wingspan) antara 118 - 171 ft
3. Tipe Gate C. Pesawat tipe golongan III dengan panjang sayap
(wingspan) antara lebih besar 160 ft
4. Tipe Gate D. Pesawat tipe golongan V dengan panjang sayap
(wingspan) antara 171 - 213 ft

2.6.1.3 Menentukan Jumlah Gate Position


Menentukan jumlah gate position untuk tiap jenis pesawat
digunakan rumus:

c .T
G=

Pers. 2.6

Dimana:

G = Jumlah gate position.

c = Volume rencana opesawat tiba/berangkat perjam

T = Rata–rata gate occupancy time

 = Faktor keamanan (0,65 – 0,85 T)

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

Tabel 2.27 Typical Gate Occupancy Time (in minutes)


Domestic International
Aircraft Through Turnaround Turnaround
Flight Flight Flight

B-737, DC-9, F-28


25 45 -
B-707, B-757
45 50 60
A300, DC-10, L-
45-60 60 120
1011
- 60 120-180
B-747

Sumber: ICAO Airport Planning Manual, Master Planning 1987

2.6.1.4 Menghitung kapasitas gate yang direncanakan dengan rumus :


𝐺𝑖
C = 𝑇𝑖.𝑀𝑖

Pers. 2.7
Dimana :
Gi = jumlah gate
Ti = gate accupancy time
Mi = mix pesawat

2.6.1.5 Turning Radius


Ukuran gate position tergantung dari jenis pesawat dan tipe parkir
pesawat yang digunakan, yaitu sebesar 2 x Turning Rasius +
Clearance.

a. Turning Radius (R) dihitung sebagai berikut:


R = ½ (wing span + wheel track) + forward roll
Pers. 2.8

Ukuran gate position = 2.R + Clearance


Pers. 2.9

b. Menghitung Ukuran Gate Position

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

2.6.1.6 Menentukan Lebar Dan Panjang Apron


Dihitung dengan mengambil gate position yang paling besar
ditambah wing span yang terpanjang. Dari jenis pesawat yang akan
dilayani oleh lapangan ditambah clearance. Panjang apron
diperoleh dengan menjumlahkan gate position dari ujung apron.
Bisa juga dengan penentuan berdasarkan FAA, yaitu :

Gambar 2.16. Desain standar untuk apron metode FAA

Sumber: Merancang, merencana lapangan terbang (Basuki, Heru 1986)

2.7 Perencanaan Perkerasan


Perkerasan didefenisikan sebagai struktur yang terdiri dari satu atau lebih
lapisan perkerasan yang dibuat dari bahan terpilih. Perkerasan dapat berupa aggregat
bermutu tinggi yang diikat dengan aspal yang disebut perkerasan lentur, atau dapat
juga plat beton yang disebut perkerasan kaku. Perkerasan dimaksudkan untuk
memberikan permukaan yang halus dan aman pada segala kondisi cuaca, serta tebal
dari setap lapisan harus cukup aman untuk menjamin bahwa beban pesawat yang
bekerja tidak merusak lapisan dibawahnya.
Perkerasan lentur dapat terdiri dari satu lapisan atau lebih yang digolongkan
sebagai permukaan (surface course), lapisan pondasi atas (base course), dan lapisan
pondasi bawah (subbase course) yang terletak di antara pondasi atas dan lapisan

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

tanah dasar (subgrade) yang telah dipersiapkan. Lapisan permukaan terdiri dari
campuran bahan berbitumen (biasanya aspal) dan agregat, yang tebalnya bervariasi
tergantung dari kebutuhan. Fungsi utamanya adalah untuk memberikan permukaan
yang rata agar lalu-lintas menjadi aman dan nyaman dan juga untuk memikul beban
yang bekerja diatasnya dan meneruskannya kelapisan yang ada dibawahnya. Lapisan
pondasi atas dapat terdiri dari material berbutir kasar dengan bahan pengikat
(misalnya dengan aspal atau semen) atau tanpa bahan pengikat tetapi menggunakan
bahan penguat (misalnya kapur). Lapisan pondasi harus dapat memikul beban-beban
yang bekerja dan meneruskan dan menyebarkannya ke lapisan yang ada
dibawahnya.
Lapisan pondasi bawah dapat terdiri dari batu alam yang dipecahkan terlebih
dahulu atau yang alami. Seringkali digunakan bahan sirtu (batu-pasir) yang diproses
terlebih dahulu atau bahan yang dipilih dari hasil galian di tempat pekerjaan. Tetapi
perlu diketahui bahwa tidak setiap perkerasan lentur memerlukan lapisan pondasi
bawah. Sebaliknya perkerasan yang tebal dapat terdiri dari beberapa lapisan pondasi
bawah.

2.7.1 Stuktur Perkerasan Lentur (Flexible Pavement)


Menurut Basuki, (1986) dalam buku ”Merancang Merencanakan
Lapangan Terbang”, perkerasan flexible adalah suatu perkerasan yang
mempunyai sifat elastis, maksudnya adalah perkerasan akan melendut saat
diberi pembebanan. Adapun struktur lapisan perkerasan lentur sebagai berikut:
a) Tanah dasar (Sub Grade)
Tanah dasar (sub grade) pada perencanaan tebal perkerasan
akan menentukan kualitas konstruksi perkerasan sehingga sifat–sifat
tanah dasar menentukan kekuatan dan keawetan konstruksi landasan
pacu. Banyak metode yang dipergunakan untuk menentukan daya
dukung tanah dasar, dari cara yang sederhana sampai kepada cara yang
rumit seperti CBR (California Bearing Ratio), MR (Resilient Modulus),
dan K (Modulus Reaksi Tanah Dasar). Di Indonesia daya dukung tanah
dasar untuk kebutuhan perencanaaan tebal lapisan perkerasan

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

ditentukan dengan menggunakan pemeriksaan CBR. Penentuan daya


dukung tanah dasar berdasarkan evaluasi hasil pemeriksaan
laboratorium tidak dapat mencakup secara detail (tempat demi tempat),
sifat – sifat daya dukung tanah dasar sepanjang suatu bagian jalan.
Koreksi–koreksi perlu dilakukan baik dalam tahap perencanaan detail
maupun tahap pelaksanaan, disesuaikan dengan kondisi tempat.
Koreksi–koreksi semacam ini akan di berikan pada gambar rencana
atau dalam spesifikasi pelaksanaan.
b) Lapisan Pondasi Bawah (Sub Base Course)
Lapisan pondasi bawah (Sub Base Course) adalah bagian dari
konstruksi perkerasan landasan pacu yang terletak di antara tanah dasar
(Sub Grade) dan lapisan pondasi atas (Base Course)
c) Lapisan Pondasi Atas (Base Coarse)
Lapisan pondasi atas (Base Coarse) adalah bagian dari perkerasan
landasan pacu yang terletak diantara lapisan pondasi bawah dan lapisan
permukaan. Fungsi lapisan pondasi atas adalah sebagai berikut:
 Bagian perkerasan yang menahan gaya lintang dari beban roda dan
menyebarkan beban lapisan dibawahnya.
 Lapisan peresapan untuk lapisan pondasi bawah.
 Bantalan terhadap lapisan pondasi bawah.
d) Lapisan Permukaan (Surface Course)
Lapisan permukaan (Surface Course) adalah lapisan yang terletak
paling atas. Lapisan ini berfungsi sebagai berikut:
 Lapisan perkerasan penahan beban roda, lapisan yang mempunyai
stabilitas yang tinggi untuk menahan beban roda selama masa
pelayanan.
 Lapisan kedap air, sehingga air hujan yang jatuh diatasnya tidak
meresap ke lapisan dibawahnya.
 Lapisan aus (wearing Course), lapisan yang langsung menderita
gesekan akibat rem kendaraan sehingga mudah nenjadi aus.

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

 Lapisan yang menyebarkan beban kelapisan bawah, sehingga


lapisan bawah yang memikul daya dukung lebih kecil akan
menerima beban yang kecil juga.
Penggunaan lapisan aspal diperlukan agar lapisan dapat bersifat
kedap air, di samping itu bahan aspal sendiri memberikan tegangan
tarik, yang berarti mempertinggi daya dukung lapisan terhadap beban
roda lalu lintas. Pemilihan bahan untuk lapisan permukaan perlu
dipertimbangkan kegunaanya, umur rencana serta pentahapan
konstruksi agar tercapai manfaat yang sebesar – besarnya dari biaya
yang dikeluarkan.

Karena perencanaan perkerasan merupakan suatu masalah


rekayasa yang kompleks sehingga perencanaan ini melibatkan banyak
pertimbangan dari banyak variabel. Parameter-parameter yang
dibutuhkan untuk merencanakan perkerasan meliputi berat kotor lepas
landas pesawat (MSTOW), konfigurasi dan ukuran roda pendaratan
utama dan volume lalu-lintas. Kurva-kurva perencanaan terpisah
disajikan untuk roda pendaratan tunggal, roda tandem, roda tandem
ganda, dan pesawat berbadan lebar.

Langkah pertama prosedur adalah menentukan ramalan


keberangkatan pesawat tahunan dari setiap type pesawat dan
mengelompokkannya ke dalam pesawat menurut konfigurasi roda
pendaratan. Berat landas maksimum dari setiap pesawat digunakan dan
95% dari berat pasawat ini dipikul oleh roda pendaratan utama.

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

Tabel 2.28 Faktor konversi roda pendaratan


Konversi dari Ke Faktor penggali
Single wheel Dual wheel 0.8
Single wheel Dual Tandem 0.5
Dual wheel Dual Tandem 0.6
Double Dual Tandem Dual Tandem 1.00
Dual Tandem Single wheel 2.00
Dual Tandem Dual wheel 1.70
Dual wheel Single wheel 1.30
Double Dual Tandem Dual wheel 1.70
Sumber: Merancang, merencana lapangan terbang (Basuki, Heru 1986)

2.7.2 Menentukan Tipe Roda Pendaratan Utama


a) Sumbu Tunggal Roda Tunggal (Single)

Gambar 2.17 Konfigurasi roda pendaratan untuk pesawat roda


tunggal
Sumber: Yang, (1984)
b) Sumbu Tunggal Roda Ganda (Dual wheel)

Gambar 2.18 Konfigurasi roda pendaratan untuk pesawat roda


ganda
Sumber: Yang, (1984)

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

c) Sumbu Tandem Roda Ganda (Dual Tandem)

Gambar 2.19 Konfigurasi roda pendaratan pesawat roda tandem


ganda
Sumber: Yang, (1984)

d) Sumbu Tandem Roda Ganda Dobel (DDT)

Gambar 2.20 Konfigurasi roda pendaratan pesawat roda ganda


dobel
Sumber : Yang, (1984)
2.7.3 Menentukan Pesawat Rencana
Pesawat rencana dapat ditentukan dengan melihat jenis pesawat
yang beroperasi dan besar MSTOW (Maksimum Structural Take Off
Weight) dan data jumlah keberangkatan tiap jenis pesawat yang berangkat
tersebut. Lalu dipilih jenis pesawat yang menghasilkan tebal perkerasan
yang paling besar. Pemilihan pesawat rencana ini pada dasarnya bukanlah

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

berasumsi harus berbobot paling besar, tetapi jumlah keberangkatan yang


paling banyak melalui landasan pacu yang direncanakan.
Pesawat rencana kemudian ditetapkan sebagai pesawat yang
membutuhkan tebal perkerasan yang paling besar dan tidak perlu pesawat
yang paling besar yang beroperasi di dalam bandara. Karena pesawat yang
beroperasi di bandara memiliki angka keberangkatan tahunan yang
berbeda-beda, maka harus ditentukan keberangkatan tahunan ekivalen dari
setiap pesawat dengan konfigurasi roda pendaratan dari pesawat rencana.

2.7.4 Menentukan Beban Roda Pendaratan Utama Pesawat (W2)


Untuk pesawat yang berbadan lebar yang dianggap mempunyai
MTOW cukup tinggi dengan roda pendaratan utama tunggal dalam
perhitungan Equivalent Annual Departure (R1) ditentukan beban roda tiap
pesawat, 95% berat total dari pesawat ditopang oleh roda pendaratan
utama, dalam perhitungannya dengan menggunakan rumus:

1 1
W2 = P x MSTOW x 𝐴 𝑥 𝐵 (Pers 2.10)

Dimana:

W2 = Beban roda pendaratan dari masing-masing jenis pesawat

MSTOW = Berat kotor pesawat saat lepas landas

A = Jumlah konfigurasi roda

B = Jumlah roda per satu konfigurasi

P = Persentase beban yang diterima roda pendaratan utama

Tipe roda pendaratan utama sangatlah menentukan dalam perhitungan


tebal perkerasan. Hal ini dikarenakan penyaluran beban pesawat melalui
roda-roda ke perkerasan.

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

2.7.5 Menentukan Nilai Ekivalen Keberangkatan Tahunan Pesawat


Rencana
Pada lalu-lintas pesawat, struktur perkerasan harus mampu melayani
berbagai macam jenis pesawat, yang mempunyai tipe roda pendaratan
yang berbeda-beda dan berfariasi beratnya. Pengaruh dari beban yang
diakibatkan oleh semua jenis model lalu-lintas itu harus dikonversikan ke
dalam pesawat rencana dengan equivalent annual departure dari pesawat-
pesawat campuran tadi, sehingga dapat disimpulkan bahwa perhitungan ini
berguna untuk mengetahui total keberangkatan keseluruhan dari bermacam
pesawat yang telah dikonversikan ke dalam pesawat rencana. Untuk
menentukan R1 dapat dihitung dengan menggunakan persamaan:

W2
Log R1 = Log R2 [W1]1/2 (Pers 2.11)

Dimana:

R1 = Keberangkatan tahunan ekivalen oleh pesawat rencana (pound)

R2 = Jumlah keberangkatan tahunan oleh pesawat berkenaan dengan


konfigurasi roda pendaratan rencana

Beban roda pesawat rencana (pound)


W1 =
W2 = Beban roda pesawat yang harus diubah
W2 =

Karena pesawat berbadan lebar mempunyai konfigurasi roda


pendaratan utama yang berbeda dengan pesawat lainnya, maka
pengaruhnya terhadap perkerasan diperhitungkan dengan menggunakan
berat lepas landas kotor dengan susunan roda pendaratan utama adalah
roda tunggal yang dikonversikan dengan nilai yang ada, Dengan anggapan
demikian maka dapat dihitung keberangkatan tahunan ekivalen
(Equivalent Annual Departure, R1).

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

2.7.6 Menentukan Tebal Perkerasan Total


Perencanaan perkerasan yang dikembangkan oleh FAA ini adalah
perencanaan untuk masa umur rencana, dimana selama masa layan
tersebut harus tetap dilakukan pemeliharaan secara berkala. Grafik-grafik
pada perencanaan perkerasan FAA menunjukkan ketebalan perkerasan
total yang dibutuhkan (tebal pondasi bawah + tebal pondasi atas + tebal
lapisan permukaan). Nilai CBR tanah dasar digunakan bersama-sama
dengan berat lepas landas kotor dan keberangkatan tahunan ekivalen dari
pesawat rencana.
Grafik-grafik perencanaan digunakan dengan memulai menarik
garis lurus dari sumbu CBR, ditentukan secara vertikal ke kurva berat
lepas landas kotor (MSTOW), kemudian diteruskan kearah horizontal ke
kurva keberangkatan tahunan ekivalen dan akhirnya diteruskan vertikal ke
sumbu tebal perkerasan dan tebal total perkerasan didapat.
Beban lalu-lintas pesawat pada umumnya akan disebarkan pada
daerah lateral dari permukaan perkerasan selama operasional. Demikian
juga, pada sebagian landasan pacu, pesawat akan meneruskan beban ke
perkerasan. Oleh karena itu, FAA memperbolehkan perubahan tebal
perkerasan pada pemukaan yang berbeda-beda:
a) Tebal penuh T pada seluruh daerah kritis, yang digunakan untuk
tempat pesawat yang akan berangkat, seperti apron daerah tunggu
(Holding Apron), bagian tengah landasan hubung dan landasan pacu
(Runway).
b) Tebal perkerasan 0.9 T diperlukan untuk jalur pesawat yang akan
datang, seperti belokan landasan pacu berkecepatan tinggi.
c) Tebal perkerasan 0.7 T diperlukan untuk tempat yang jarang dilalui
pesawat, seperti tepi luar landasan hubung dan tepi luar landasan
pacu.

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

2.7.7 Kurva-kurva Perencanaan Tebal Perkerasan


a) Kurva Perencanaan Tebal Perkerasan Total Untuk Pesawat
Rencana Beroda Tunggal

Gambar 2.21 Kurva Perencanaan Tebal Perkerasan Pesawat Roda


Tunggal
Sumber: Merancang, merencana lapangan terbang (Basuki, Heru 1986)

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

b) Kurva Perencanaan Tebal Perkerasan Total Untuk Pesawat


Rencana Beroda Ganda

Gambar 2.22 Kurva Perencanaan Tebal Perkerasan Pesawat Roda


Ganda

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

Sumber: Merancang, merencana lapangan terbang (Basuki, Heru 2014)

c) Kurva Perencanaan Tebal Perkerasan Total Untuk Pesawat


Rencana Beroda Dual Tandem

Gambar 2.23 Kurva Perencanaan Tebal Perkerasan Pesawat Roda


tandem ganda

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

Sumber: Merancang, merencana lapangan terbang (Basuki, Heru 2014)

d) Kurva Perencanaan Tebal Perkerasan Total Untuk Pesawat


Rencana Beroda Dual Tandem

Gambar 2.24 Kurva Perencanaa Tebal Perkerasan Untuk Pesawat Dual


Tandem

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

Sumber: Merancang, merencana lapangan terbang (Basuki, Heru 2014)

Langkah -langkah Perhitunga tebal Perkerasan:


1. Memplot nilai CBR subgrade dam MSTOW didapat tebal perkerasan
total dari Grafik 2.1, 2.2 dan 2.3 di atas:
2. Dari grafik yang sama dengan CBR 20, diperoleh Tebalnya, maka
subbase = Tebel total perkerasan – tebal yang diperoleh dengan nilai
CBR 20.
3. Annual depature melebihi annual depature yang ada dalam grafik maka
tebal surface aspal ditambah 1 inchi.
Tebal surface untuk daerah kritis = 4 inchi.
Tebal surface untuk daerah non kritis = 3 inchi
4. Tebal Base Coarse = Tebal pada CBR 20 – Tebal Surface
5. Chek tebal minimum base course dengan CBR tanah dasar dari Tabel
2.17 berikut:

Tabel 2.29 Minimum base course thickness


Minimum Base
Design Design Load Range Course Thickness
Aircraft
lbs. (Kg) In. (mm)

Single Wheel 30.000 – 50.000 (13.600 – 22.700) 4 (100)


50.000 – 75.000 (22.700 – 34.000) 6 (150)

Dual Wheel 50.000 – 100.000 (22.700 – 45.000) 6 (150)


100.000 – 200.000 (45.000 – 90.700) 8 (200)

Dual Tandem 100.000 – 250.000 (45.000 – 113.400) 6 (150)


250.000 – 400.000 (113.400 – 181.000) 8 (200)

757 (150)
200.000 – 400.000 (90.700 – 181.000) 6
767
DC-10 (200)
400.000 – 600.000 (181.000 – 272.000) 8
L1011
B-747 400.000 – 600.000 (181.000 – 272.000) 6 (150)
600.000 – 850.000 (272.000 – 385.700) 8 (200)

C-130 75.000 – 125.000 (34.000 – 56.700) 4 (100)


125.000 – 175.000 (56.700 – 79.400) 6 (150)

Sumber: AC 150/5320-6E

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

2.7.8 Perkerasan Apron


Rigid pavement (perkerasan kaku) terdiri dari slab-slab beton yang
digelar di atas tanah granular atau sub base course yang telah dipadatkan,
ditunjang oleh lapisan tanah asli dipadatkan yang disebut dengan sub grade.
Pada kondisi tertentu kadang-kadang sub base tidak diperlukan.
Rigid pavement biasanya dipilih untuk ujung landasan. Pertemuan
antara landasan pacu dengan taxiway, apron, dan daerah-daerah lain yang
dipakai untuk parkir pesawat atau daerah-daerah yang mendapat pengaruh
panas blass jet dan limpasan minyak. Dalam merencanakan tebal slab beton
digunakan metode PCA (Portland Cement Asphalt) yang didasarkan pada
faktor keamanan.
a. Menentukan Pesawat RencanaPesawat rencana yang digunakan
haruslah sesuai dengan pesawat rencana yang digunakan pada saat
menghitung tebal perkerasan lentur.
b. Menentukan Flextural Strengh/Mutu Baja(WS).
c. Menentukan Harga K (Modulus of Sub Grade Reaction)Harga K
subgrade ditentukan di lapangan dengan Test Planning Booring,
dimana harga pendekatan dari nilai K berbagai jenis dapat dilihat
pada tabel berikut.
Tabel 2.30 Harga Modulus Reaksi Tanah Dasar ( K)

Harga K
Bahan subgrade

MN/m3 Psi

Sangat jelek < 40 < 150


Baik 55 – 68 200 – 250
Sangat baik > 82 > 300

Sumber : Merancang, merencana lapangan terbang (Basuki, Heru 1986)

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

1. Tebal Perkerasan Kaku (Rigid Pavement).


Menghitung Tebak perkerasan kaku dengan memasukkan parameter-
parameter diatas ke dalam grafik-grafik rencana yang sesuai.

Gambar 2.24 Kurve Evaluasi – perkerasan Rigid Single Wheel Gear


Sumber: Merancang, merencana lapangan terbang (Basuki, Heru 1986)

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

Gambar 2.25 Kurva Evaluasi – perkerasan Rigid Dual Wheel Gear


Sumber : Merancang, merencana lapangan terbang (Basuki, Heru 1986)

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

2. Perhitungan Jumlah Tulangan.

Perbandingan panjang dan lebar slab beton paling baik berkisar 1 s/d
1,25. Ada 2 macam construction joint, yaitu arah memanjang dan
melintang.

Tabel 2.31 Jarak Joint


Tebal slab beton Melintang Memanjang
< 9 inch (25 cm ) 15 ft (4,6 m) 12,5 ft (3,8 m)

9 – 12 inch (25 – 31 cm) 20 ft (6,1 m)


20 ft (6,1 m)
> 12 inch (31 cm) 25 ft (7,6 m)
25 ft (7,6 m)

Sumber: Merancang, merencana lapangan terbang (Basuki, Heru 1986)

3. Perhitungan Penulangan Arah Memanjang = Arah Melintang.


3,7  L . L . H
1. As =  imperialunit Pers.
FS

2.12
0,64  L . L . H
2. As = metrikunit Pers.
FS

2.13
Dimana:

As = Luas penampang melintang besi untuk setiap ft atau meter


lebar atau panjang slab beton dalam inch atau cm2.

Lebar slab (ft atau meter).


L =
Lebar slab (ft atau meter).
H =
Tegangan tarik baja (Psi atau MN/m2)
Fs =

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

4. Dowel (Besi Pemindah Beban).


Dowel ini dipasang pada joint tulangan yang berfungsi sebagai besi
pemindah beban, apabila beban melintasi sambungan, dowel ini
digunakan untuk mengatasi penurunan vertikal relatif pada slab beton
ujung.
Tabel 2.32. Ukuran dan Jarak Dowel
Tebal slab beton Diameter Panjang Jarak
6 – 7 inch (15 – 18 cm) ¾ inch (20 mm) 18 inch (46 cm) 12 inch (31 cm)
8 – 12 inch (21 – 31 cm) 1 inch (25 mm) 19 inch (46 cm) 12 inch (31 cm)
13 – 16 inch (33 – 41 cm) 1 ¼ inch (30 mm) 20 inch (51 cm) 15 inch (38 cm)
17 – 20 inch (43 – 51 cm) 1 ½ inch (40 mm) 20 inch (51 cm) 18 inch (46 cm)
21 – 24 inch (54 – 61 cm) 2 inch (50 mm) 24 inch (61 cm) 18 inch (46 cm)
Sumber : Merancang, merencana lapangan terbang (Basuki, Heru 1986) .hal 392

2.8 Analisa Kebutuhan Ruang Terminal


2.8.1 Kebutuhan Luas Terminal
Kebutuhan ruang bagi masing-masing fasilitas idealnya proses penentuan
kebutuhan ruang fasilitas:

a. Penentuan demand desain jam puncak


b. Menentukan type lalu-lintas penumpang
c. Mengidentifikasi volume setiap fasilitas
d. Kalkulasi kebutuhan ruang

Tabel 2.33. Perhitungan TPHP rekomendasi FAA


Total Penumpang THP sebagai suatu
Tahunan Persentase Arus Tahunan
> 30.000.000 0,035
20.000.000 - 29.999.999 0,040
10.000.000 - 19.999.999 0,045
1.000.000 – 9.999.999 0,050
500.000 - 999.999 0,080
100.000 - 499.999 0,130
< 100.000 0,200
Sumber: AC 150/5360 FAA

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

Penentuan tipe lalu-lintas penumpang

 Tipe pergerakan dan demand penumpang menentukan kebutuhan ruang


suatu fasilitas di terminal
 Tipe dan demand juga mempengaruhi jam-jam puncak pergerakan
penumpang seperti: jenis penerbangan, tujuan perjalanan, jenis
pergerakan dan moda akses
 Idealnya, mengestimasi volume penumpang dikategorikan ke dalam
jadwal penerbangan domestik, internasional, carter, transfer atau transit,
bisnis atau perjalanan santai

Identifikasi masing-masing perhitungan volume dan luasan fasilitas

a. Di sini akan dihitung banyaknya penumpang pada masing-masing


fasilitas pada jam-jam puncak (volume desain)
b. dan volume desain ini digunakan untuk menghitung luasan fasilitas pada
tingkat pelayanan tertentu
Standar desain ruang terminal menurut FAA sebagai berikut :
Tabel 2.34. Fasilitas Ruang Terminal Domestik
Kebutuhan Ruang per 100
Fasilitas Ruang Terminal TPHP
Domestik 1000 ft2 100 m2
Ticket Lobby 1,0 0,95
Operational Airline 4,8 4,57
Penanganan bagasi (Baggage Claim) 1,0 0,95
Ruang Tunggu 1,8 1,70
Fasilitas Makanan / Kantin 1,6 1,52
Dapur dan Gudang 1,6 1,52
Ruang Pengusahaan lainnya 0,5 0,48
Toilet 0,3 0,28
Ruang Sirkulasi, Mekanikal,
Pemeliharaan 11,6 11,05
dan Dinding
Total 24,2 23,02
Sumber : SKEP/77/VI/2005 tentang Persyaratan Teknis
Pengoperasian Fasilitas Teknik Bandar Udara.

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

Tabel 2.35. Fasilitas Ruang Terminal Internasional


Tambahan Kebutuhan Ruang per 100
Fasilitas Ruang Terminal TPHP
Internasional 1000 ft2 100 m2
Kesehatan Publik 1,5 1,42
Bagian Keimigrasian 1,0 0,95
Kepabeanan 3,3 3,14
Tanaman – tanaman 0,2 0,19
Ruang Tunggu Pengunjung 1,5 1,42
Total 7,5 7,12
Ruang Sirkulasi, Perakitan
Bagasi, Utilitas, Dinding- 7,5 7,12
dinding partisi
Total 15,0 14,24
Sumber : SKEP/77/VI/2005 tentang Persyaratan Teknis
Pengoperasian Fasilitas Teknik Bandar Udara.

No Jenis Fasilitas
1 Terminal Penumpang
2 Terminal Kargo
3 Pelataran Parkir
4 Bangunan Administrasi B.U
5 Pelataran Parkir
6 Sentra Medika
7 Pelataran Parkir
8 Stasiun Tenaga Parkir
9 Pelataran Parkir
10 Dapur Katering Penerbangan
11 Pelataran Parkir
12 Stasiun PP - PPK
13 Pelataran Parkir
14 Fasilitas Pangisian Bahan Bakar Pesawat
15 Pelataran Parkir
16 Pelataran Parkir
17 Kantin Pegawai

Keterangan :
= HUBUNGAN FUNGSIONAL LEMAH
= HUBUNGAN FUNGSIONAL ERAT

Gambar 2.26 Hubungan antara fasilitas di terminal

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

No Jenis Fasilitas

1 Runway

2 Taxiway

3 Apron

4 Apron Service Road

5 Airside Service Road

6 Drainage System and Facilities

Keterangan :
= HUBUNGAN FUNGSIONAL LEMAH
= HUBUNGAN FUNGSIONAL ERAT

Gambar 2.27 Hubungan antara fasilitas bandara

2.8.2 Marking (tanda-tanda visual)


Tanda-tanda garis dan nomor dibuat pada perkerasan landasan dan
taxiway agar pilot mendapat alat bantu dalam mengemudikan pesawatnya
mendarat ke landasan serta menuju apron melalui taxiway. Marking ini hanya
berguna pada siang hari saja, sedangkan malam hari fungsi marking
digantikan dengan sistem perlampuan.
Warna yang dipakai biasanya putih pada landasan yang mempunyai
perkerasan aspal, sedangkan warna kuning untuk taxiway dan apron. Pada
dasarnya warnanya harus mencolok terhadap sekitarnya. Jadi, kalau landasan
berwarna putih (landasan beton) harus diberi warna lain untuk markingnya.
Kedua organisasi penerbangan telah membuat standar marking. FAA
dalam Advisory Circular 150/6340 1E kita pakai edisi tanggal 11-4-1980.
ICAO dalam Annex 14 Chapter 5, 6. 7 dipakai edisi kedelapan Maret 1983.
Ada 4 macam tipe marking:

a. Marking landasan.
b. Marking taxiway.
c. Marking untuk area yang dibatasi.
d. Marking untuk objek tetap.

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

ICAO membagi marking landasan menjadi tiga:

a. Landasan approach presisi.


b. Landasan approach non presisi.
c. Landasan non instrument.

Yang ketiga menurut FAA adalah basic runway, memang antara


keduanya (FAA dan ICAO) mengatur marking sama, hanya istilah yang
kadang berbeda.

Landasan non presisi dioperasikan di bawah kondisi VFR (Visual


Flight Rule). Landasan approach non presisi, adalah landasan yang
dibantu dengan peralatan VOR (Very High Frequency Omny Radio
Range) bagi pesawat yang mendarat ke landasan dengan VOR sebagai
pedoman. Landasan instrument presisi adalah landasan yang dilengkapi
dengan ILS (Instrument Landing System).

1. Marking Landasan
a. Marking Landasan (runway marking)
Ditempatkan di ujung landasan sebagai nomor pengenal
landasan itu, terdiri dari dua angka. Pada landasan sejajar harus
dilengkapi dengan huruf L (Left), R (Right), atau C (Central).

Dua angka tadi merupakan angka persepuluhan terdekat dari


utara magnetis dipandang dari arah approach, ketika pesawat akan
mendarat.

b. Marking sumbu (runway center line marking).


Ditempatkan sepanjang sumbu landasan berawal dan berakhir pada
nomor landasan, kecuali pada landasan yang bersilangan, landasan
yang lebih dominan, sumbunya terus, yang kurang dominan
sumbunya diputus.
Merupakan garis putus-putus, panjang garis dan panjang
pemutusan sama. Panjang strip bersama gapnya tidak boleh kurang
dari 50 m, tidak boleh lebih dari 75 m. Panjang strip = panjang gap

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

atau 30 m mana yang terbesar, lebar strip antara 0,30 m sampai 0,90
m tergantung kelas landasannya

Gambar 2.28. Ukuran – ukuran dan bentuk angka untuk marking nomor landasan
Sumber : Merancang, merencana lapangan terbang (Basuki, Heru 1986). Hal 231

c. Marking threshold.
Ditempatkan di ujung landasan, sejauh 6 m dari tepi ujung
landasan membujur landasan, panjang paling kurang 30 m, lebar 1,8
m. Banyaknya strip tergantung lebar landasan.
Tabel 2.36. Jumlah strip landasan
Lebar Landasan Banyaknya Strip
18 m 4
23 m 6
30 m 8
45 m 12
60 m 16
Sumber: Merancang, merencana lapangan terbang (Basuki,
Heru 1986)

d. Marking untuk jarak-jarak tetap (fixed distance marking).


Berbentuk empat persegi panjang, berwarna menyolok. Biasanya
orange. Ukuran panjangnya 45 m – 60 m, lebar 6 m – 10 m terletak
simetris kanan kiri sumbu landasan. Marking ini yang terujung
berjarak 300 m dari threshold.

e. Markingtouchdown zone.
Dipasang pada landasan dengan approach presisi, tapi bisa juga
dipasang pada landasan non presisi atau landasan non instrument,

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

yang lebar landasannya lebih dari 23 m. Terdiri dari pasangan-


pasangan berbentuk segi empat di kanan kiri sumbu landasan lebar 3
m dan panjang 22,5 m untuk strip-strip tunggal. Untuk strip ganda
ukuran 22,5 x 1,8 dengan jarak 1,5 m (Lihat gambar 5.2). Jarak satu
sama lain 150 m diawali dari threshold, banyaknya pasangan
tergantung panjang landasan.
Tabel 2.37. Marking Touchdown
Panjang Landasan Banyaknya Pasangan

< 90 m 1
900 – 1200 m 2
1200 – 1500 m 3
1500 – 2100 m 4
> 2100 m 6

Sumber: Merancang, merencana lapangan terbang (Basuki,


Heru 1986)

Gambar 2.29. Marking touchdown zone dilukiskan untuk landasan


yang panjangnya 2.100 atau lebih
Sumber : Merancang, merencana lapangan terbang (Basuki, Heru 1986)

f. Marking tepi landasan (runway side stripe marking).


Merupakan garis lurus di tepi landasan, memanjang sepanjang
landasan dengan lebar strip 0,9 m. Bagi landasan yang lebarnya

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

lebih dari 30 m atau lebar strip 0,45 m bagi landasan kurang dari 30
m. Berfungsi sebagai batas landasan terutama apabila warna
landasan hampir sama dengan warna shouldernya.

g. Marking Taxiway
Marking sumbu taxiway adalah sebagai garis pedoman dari sumbu
landasan untuk masuk ke taxiway, berbentuk garis selebar 15 cm
berwarna kuning, Untuk lebih mendetail lihat gambar 2.23 Berikut.

Gambar 2.30. Marking posisi holding menurut Menurut FAA

Sumber : Merancang, merencana lapangan terbang (Basuki, Heru 1986).Hal 241

Marking posisi taxi holding (Taxi Holding Position Marking)


sebagai tanda bahwa taxiwayakan berpotongan dengan landasan
pesawat harus berhenti disini sebelum mendapat perintah masuk
kelandasan.

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

h. Marking area yang dibatasi


Landasan atau taxiway yang tidak digunakan, dan ditutup untuk
kegiatan lalu lintas pesawat, diberi tanda silang berwarna kuning,
dengan ukuran sebagai gambar berikut ini.

Gambar 2.31. Landasan yang ditutup dan marking taxiway


Sumber : Merancang, merencana lapangan terbang (Basuki,
Heru 1986).Hal 243
a. Permukaan yang mampu menahan beban pesawat dan yang tidak
mampu menahan berat pesawat (taxiway dan bahunya) dipisahkan
oleh taxiwayslide strip marking. Pembuatan strip taxiway
sepenuhnya diserahkan kepada pengelola lapangan terbang.
b. Di landasan yang threshold-nya dpindahkan (displaced) secara
permanen atau perkerasan diluar threshold panjangnya lebih dari 60
m dibuat marking yang disebut “Prethreshold” Marking yang
bentuknya serupa kepala anak panah(Chevron).

Gambar 2.32. Pre Threshold Marking


Sumber : Merancang, merencana lapangan terbang (Basuki, Heru
1986)

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

j. Marking untuk objek tetap


Yang dimaksud dengan misalnya menara air, antena,
gedung/bangunan yang diperkirakan menjadi halangan pada flight
path harus diberi tanda yang menyolok, misalnya diberi warna putih
oranye bergant–ganti atau kotak-kotak.

Gambar 2.33. Contoh Marking dan Perlampuan Bangunan Tinggi


Sumber : Merancang, merencana lapangan terbang (Basuki, Heru
1986)

2.8.3 Bangunan Pelengkap


2.8.3.1 Hanggar
Hanggar ialah tempat reparasi pesawat yang terlindung.
 Menghitung panjang Hanggar (P)
P= (2xTurning Radius) + (clearancex4) Pers. 2.14
 Lebar hangar
L = (2 x Turning radius) + (2 x clearance) Pers. 2.15
2.8.3.2 Control Tower
Ditempatkan pada lokasi yang strategis, yang tugasnya mengatur
lalu lintas udara.

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

2.8.3.3 Fasilitas Air Dan Listrik


Kebutuhan air bersih untuk Bandar udara pada sat ini dipenuhi dari
sumber sumur alam yang terdapat di daerah perumahan Bandar
udara yang operasionalnya menggunakan sub mersible pump.
2.8.3.4 Fasilitas Drainase
Sistem drainase yang baik akan menghindarkan kawasan Bandar
udara tergenang air, juga menjaga stabilitas tanah tidak terganggu,
terutama pada fasilitas pojok Bandar udara seperti landasan pacu
dan sebagainya. Konstruksi drainase pada umumnya di bandar
udara adalah bentuk saluran terbuka baik karena biaya pembuatan
dan pemeliharaannya yang relatif murah jika dibandingkan dengan
konstruksi bawah permukaan tanah.
2.8.3.5 Fuel Deput
2.8.3.6 Fasilitas Pemadam Kebakaran

2.9 ACN (Aircraft Classification Number) dan PCN ( Pavement Classification


Number)

Setelah tebal perkerasan diketahui, maka dapat dicari nilai PCN (Pavement
Classification Number) dan ACN (Aircraft Classification Number).

 PCN (Pavement Classification Number)


Adalah harga yang menyatakan daya dukung perkerasan untuk operasi
yang tidak terbatas. Faktor yang digunakan untuk menghitung nilai PCN
adalah :

Tabel 2.37 Pengkodean berdasarkan Tipe Perkerasan

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

Tabel 2.38 Pengkodean Berdasarkan Daya Dukung Subgrade

Tabel 2.39 Pengkodean Berdasarkan Tekanan Ban Maksimum

Tabel 2.40 Pengkodean Berdasarkan Metode Evaluasi

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

 ACN (Aircraft Classification Number)


Adalah suatu angka yang menyatakan batasan dari pesawat tertentu diatas
perkerasan dengan spesifikasi standard subgrade. Nilai ACN dikeluarkan
oleh pabrik pembuat pesawat.
Nilai PCN maupun ACN sangat penting untuk mengetahui kinerja
perkerasan terhadap pesawat yang beroperasi, metode ini disebut Metode
PCN-ACN. ICAO telah merekomendasikan metode ini untuk dalam
mengevaluasi kekuatan landas pacu terhadap pesawat yang beroperasi
(Aerodrome Manual Design Part I, ICAO). Dalam perancangan
perkerasan landasan pacu, baik flexible pavement maupun rigid pavement,
nilai ACN tidak boleh melebihi nilai PCN yang ada, atau dengan kata lain
PCN ≥ ACN.

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

2.10 Langkah Kerja


2.10.1 Desain Runway
2.10.1.1 Penentuan Geometrik Runway

Mulai

Pengumpulan Data

Tempera Elevas Kemiring Karakteristik Angin


tur i an
Pesawat
Runway Rencana

Tentukan Arah
Panjang Angin
Faktor Domina
Runway n
Koreksi
Rencana
Hitung Panjang Runway Berdasarkan
■ Elevasi
■ Temperat ARFL
ur
■ Kemiring
an
Tentukan Kode
Runway
■ Angin Perencanaan Menurut
Permukaa ARC
n
Lebar Runway

Konfigurasi Runway

Selesai

Gambar 2.27. Flowchart Penentuan Geometrik Runway

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

2.10.1.2 Perhitungan Tebal Perkerasan Lentur (Runway)

Tentukan pesawat rencana

Hitung R2

R2 = Forecast annual depart x f.konversi

Hitung W2
1
W2 = MTOW x 0,95 x 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑟𝑜𝑑𝑎 𝑝𝑒𝑛𝑑𝑎𝑟𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑢𝑡𝑎𝑚𝑎

Hitung W1
0,95 𝑥 𝑀𝑇𝑂𝑊 𝑝𝑒𝑠𝑎𝑤𝑎𝑡 𝑟𝑒𝑛𝑐𝑎𝑛𝑎
W1 =
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑟𝑜𝑑𝑎 𝑝𝑒𝑛𝑑𝑎𝑟𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑢𝑡𝑎𝑚𝑎

Hitung R1

𝑊2 1/2
Log R1 = Log R2 ( )
𝑊1

Hitung ∑ 𝑅1

Hitung tebal total (T)

Berdasarkan Grafik Tipe


CBR Tanah Dasar Roda Pesawat Rencana

Hitung tebal subbase (tsb)

CBR Subbase Berdasarkan grafik tipe roda


pesawat rencana

Aaa
A

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

A
A

Tetapkan Tebal Lapis Permukaan


Hitung Tebal Lapis Base Untuk Daerah Ktiris dan Non
Course (Tbc) Kritis

Kontrol

Tbc min < Tbc Ya

Tidak

Pakai Tbc Minimal

Hasil Desain Tebal Perkerasan Gunakan Tbc


Runway

Gambar 2.28. Flowchart Perhitungan tebal perkerasan Runway

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

2.10.2 Desain Taxiway


2.10.2.1 Penentuan Geometrik Taxiway

Perencanaan
Geometrik Taxiway

Tentukan Grup Jarak Threshold


Pesawat
𝑆12 − 𝑆22
𝐷=
Menentukan Tabel Airplane 2𝑎
Dimensi Taxiway Design Group (ADG)

Tabel Kecepatan dan


Jarak Touchdown

Exit Taxiway 900

Exit Taxiway 600

Koreksi Terhadap Suhu

T − Tstandar
𝐽𝑇𝑆 = 𝐷 . [1 + 1% ( )]
5,6

Koreksi Elevasi


𝐽𝑇𝐸 = 𝐷 . (1 + 0,03 . 〈 〉)
300

Jarak Threshold
Terkoreki

Dimensi Taxiway

Gambar 2.29. Flowchart Perencanaan Geometrik Taxiway

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

2.10.2.2 Perhitungan Tebal Perkerasan Lentur (Taxiway)


Perhitungan Tebal Perkerasan Lentur pada taxiway sama dengan
runway

2.10.3 Desain Apron


2.10.3.1 Perencanaan Geometrik Apron

Hitung Lalu Lintas Pesawat


Rencana Pada Jam Sibuk

Hitung Mix Design Kelas


Pesawat Dan Jumlah Gate
Setiap Kelas / Grup Pesawat

Ri = 0,5 x (w+z+d)

W = Jenis Clear Untuk Setiap


Kelas Pesawat Hitung jumlah gate (G)

d = Wheel Track 𝑉. 𝑇
𝐺=
µ
z = Wirstips Clear

Hitung Luas Gate yang dibutuhkan Untuk


Setiap Pesawat (Li)

Li = 0,5 . π . R2

Tentukan Panjang dan Lebar Apron

Dimensi Apron

Gambar 2.30. Flowchart Perencanaan Dimensi Apron

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

2.10.3.2 Perhitungan Tebal Perkerasan Kaku /Rigid (Apron)

 Menentukan Pesawat Rencana


 MSTOW Pesawat
 Type Roda Pesawat

Menentukan Mutu Baja


(Flexural Strengh)
Grafik Hubungan CBR vs
Modolus of Subgrade

Grafik Subbase on Modulus of Menentukan Harga ‘K’


Subgrade Reaction

Grafik Design Perkerasan Rigid Tebal Perkerasan Kaku

Tabel Tebal Slab Beton Menghitung Jumlah


Tulangan
 Luas Tulangan Pakai
0,64 𝐿 √𝐿 . 𝐻
𝐴𝑠 =
𝐹𝑆 Penulangan Arah Memanjang
 Luas tulangan Minimum
dan Melintang
As min = 0,05% x P x L
 Luas Tulangan AsØ20-250
1 1000
= 𝜋𝑑 2 .
4 𝑠
Dowel (Besi Pemindah
Tabel Ukuran dan Jarak Dowel Beban)

Desain Tebal Plat,


Tulangan, dan Subbase

Gambar 2.31. Flowchart Perhitungan Tebal Perkerasan Rigid

Atik Verawati – F 111 14 153


UNIVERSITAS TADULAKO
Perencanaan Lapangan Terbang

2.10.4 Perencanaan Terminal

Total Penumpang Dalam 1 Tahun

Menentukan Rencana Penumpang Tabel TPHP Standar


Pada Jam Puncak FAA

Hitung Luas Run Terminal


Tabel Standar Design FAA
Domestik dan Internasional

Total Kebutuhan Standar


Minimum Terminal

Perhitungan Kebutuhan Terminal untuk


Standar Minimum

Gambar 2.32. Flowchart Kebutuhan Terminal Minimum

Atik Verawati – F 111 14 153

Anda mungkin juga menyukai