Anda di halaman 1dari 3

MENGAJAR ANAK-ANAK DI KAMPUNG PAPANGGO

Oleh
Dien Dinu Prana
Jakarta

Salah satu kewajiban WNI adalah bersekolah. Bahkan, pemerintah sudah


menetapkan ‘wajar’ (wajib belajar 9 tahun), yaitu 6 tahun Sekolah Dasar dan 3
tahun Sekolah Menengah Pertama. Setelah 2 tingkat tersebut, masih ada beberapa
tingkat lagi yang harus dilalui seorang siswa sebelum mereka siap keluar ke dunia
lepas atau bekerja. Namun kebijakan tersebut tidak dapat dirasakan oleh semua
kalangan masyarakat Indonesia, banyak sekali anak-anak dipelosok kota besar
seperti di kampung papanggo, Jakarta Utara. Sebagian besar anak-anak disana
tidak dapat mengecap bangku pendidikan. Mereka sejak kecil diajarkan oleh
kedua orang tuanya untuk mencari uang dengan berbagai cara, seperti menjadi
pencopet, penjambret, pengemis, pemulung, pengamen dan lainnya. Sehingga
menimbulkan krisis moral dan buta teknologi yang saat ini melanda generasi
muda, acapkali menjadi apologi bagi sebagian orang untuk memberikan kritik
pedasnya terhadap institusi pendidikan. Berbagai fenomena yang
mengkhawatirkan saat ini banyak bermunculan di media masa baik televisi, koran,
dan lain-lain. Fenomena tersebut diantaranya bisa kita simak melalui berbagai
media massa yang seringkali membuat kita miris mendengarnya yaitu perkelahian
antar warga, pergaulan bebas, kasus narkoba di kalangan remaja, remaja usia
sekolah yang melakukan perbuatan amoral, kebut-kebutan di jalanan yang
dilakukan remaja usia sekolah, serta menjamurnya geng motor yang
beranggotakan remaja usia sekolah.

Lalu dimanakah letak “human error” yang sebenarnya? Tak dapat


dipungkiri memang, para penguasa birokrat dan elite politik yang menjabat diri
sebagai wakil rakyat, seyogianya teladan bagi rakyat kecil, pun menunjukkan
etika dan moralitas yang kurang. Perilaku yang mereka pertunjukkan di depan
mata anak-anak bangsa banyak menerabas nilai-nilai moral. Tak ayal, hal itu
berpengaruh pada anak, untuk bertindak tidak sesuai tuntunan moral. Dahulu,
bangsa kita dikenal oleh bangsa lain sebagai bangsa yang ramah, santun, arif, dan
menghargai sesama manusia/suku/perbedaan agama, akan tetapi sekarang
sebaliknya. Banyak kita saksikan konflik horizontal dan kekerasan di mana-mana,
baik yang mengatas-namakan agama, suku, maupun perbedaan kepentingan.
Belum lagi masalah korupsi, mafia pajak, mafia hukum telah mewarnai berita-
berita di media massa kita.

Pendidikan karakter di era semakin maju ini dirasakan menjadi kebutuhan


mendesak. Penyebanya, karena demoralisasi dan degradasi pengetahuan sudah
sedemikian akut menjangkit warga di negeri ini. Kita memiliki falsafah Pancasila
sebagai falsafah bangsa. Namun demikian, selama ini penghayatan dan refleksi
akan falsafah Pancasila dapat dikatakan kurang sungguh-sungguh, karenanya kita
seringkali dinyatakan “hilang karakter”. Realita tersebut nampaknya
mengisyaratkan bahwa perlu adanya suatu upaya untuk membangkitkan kembali
keagungan nilai-nilai falsafah Pancasila ditengah-tengah masyarakat. Masyarakat
hendaknya sadar dengan nilai absolut yang terpancar dalam ideologi dasar negara
Indonesia. Dengan terbentuknya karakter Pancasila, maka kehidupan berbangsa
dan bernegara yang memiliki iklim majemuk dapat menemukan titik
harmonisnya. Pendidikan karakter yang berhasil dan dilakukan secara efektif,
bahkan berpeluang mengangkat martabat bangsa dalam dunia internasional.
Dalam rangka upaya tersebut, Saya dan tim CFC (Computer For Change)
merupakan sebuah komunitas yang terbentuk dari perusahaan start up bernama
Tedi House membentuk sebuah kegiatan yang bertemakan “Membuat anak-anak
menjadi melek teknologi dan memberikan edukasi-edukasi lainnya”.

Kami menerapkan kurikulum dalam mengajarkan anak-anak, dimana dalam


kurikulum itu untuk proses pembelajaran dibagi menjadi dua kelas yaitu untuk
anak-anak berumur 12 tahun kebawah dan 12 tahun keatas. Materi yang kami
berikan kepada anak-anak berbeda disetiap kelas dan pertemuan. Untuk 12 tahun
kebawah kita memberikan materi mengajarkan mengetik, berhitung, membaca,
dan menghidupkan laptop. Sedangkan 12 tahun keatas kami mengajarkan cara
bagaimana membuat CV, membuat cerita, membuat surat dan menggunakan
microsoft excel. Jika ada anak yang sudah bisa melewati kurikulum yang sudah
terapkan maka kelasnya akan dinaikan walaupun anak tersebut masih dibawah 12
tahun kebawah menjadi dikelas 12 tahun keatas. Saat mengajar mereka banyak
sekali bakat-bakat yang terpendam namun tidak dapat disalurkan dikarenakan
tidak adanya fasilitasnya disana, dari mata anak-anak tersebut terpancarkan
kebahagiaan tersendiri karena dapat merasakannya “pendidikan”. Mereka sangat
antusias dalam proses pembelajaran. Mereka dapat mengerti apa yang kami
ajarkan dengan cepat, serta kemampuan anak-anak lainnya yang tidak kalah hebat.
Kami bersama tim tidak hanya memberikan pendidikan komputer dan moral, kami
juga melakukan pembelajaran budaya asing. Pada tanggal 18-21 desember kami
memberikan pembelajaran budaya jepang dikampung papanggo, ditemani para
siswa yang berasal dari jepang.

Setelah proses belajar mengajar selesai pada saat jam 12:00 wib, kami
istirahat untuk melakukan sholat dan makan bersama, setelah itu kami bertanya
kepada anak-anak tersebut “Apakah ada yang memiliki menjadi dokter?” tanpa
disangka, yang memiliki cita-cita sebagai dokter cukup banyak di minati. Karna
banyak yang meminati kami bermain games seru untuk membuat replika paru-
paru dari botol aqua, sedotan, karet, dan lilin. Setelah replika paru-paru tersebut
terbuat. Salah satu dari kami yang mengambil jurusan kedokteran menjelaskan
proses kerja paru-paru dan apa kegunaannya. Dari ada yang saya lihat mereka
sangat senang dan sangat antusias saat mengikuti kegiatan tersebut berlangsung.

Tawa yang keluar dari mereka sangat polos sekali tapi mengapa
pemerintah tidak mengulurkan tangannya kepada anak-anak seperti mereka?

Anda mungkin juga menyukai