Anda di halaman 1dari 35

BAB V

OTONOMI DAERAH
BAB V

OTONOMI DAERAH

A. Pendahuluan

Tekad melaksanakan Otonomi Daerah diawali dengan amanat


dalam UUD 45 Pasal 18 dan penjelasannya yang antara lain
mengamanatkan:
a. Daerah Indonesia akan dibagi dalam Daerah Propinsi dan
Daerah Propinsi akan dibagi pula dalam daerah-daerah yang
lebih kecil;
b. Daerah-daerah itu bersifat otonom atau bersifat administrasi
belaka sesuai dengan aturan yang akan ditetapkan dengan
Undang-undang.
c. Daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan Badan
Perwakilan Daerah.

Dengan landasan amanat UUD 45 tersebut ditetapkan


peraturan perundang-undangan pelaksanaannya yaitu UU No. 1
Tahun 1945, UU No. 2 Tahun 1948 yang selanjutnya diperbaharui

V/1
sesuai dengan UUDS RI tahun 1950 melalui UU No. 1 Tahun 1957,
PENPRES No. 6 Tahun 1959, PENPRES No. 5 Tahun 1960, dan
setelah kembali pada UUD 45 diubah lagi dengan UU No. 5 Tahun
1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah.

Implementasi Otonomi Daerah sesuai dengan UU No. 5


Tahun 1974 sangat lambat dan tersendat-sendat sampai dengan
diterbitkannya PP No. 45 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan
Otonomi Daerah dengan Titik Berat pada Dati II. Untuk lebih
mendorong realisasi Otonomi Daerah tersebut, diterbitkan pula PP No.
8 Tahun 1995 tentang Penyerahan Sebahagian Urusan Pemerintahan
kepada 26 Dati II Percontohan.

Rangkaian upaya penyelenggaraan Otonomi Daerah tersebut


masih belum mampu mewujudkan Otonomi Daerah di seluruh
wilayah Indonesia seperti yang diharapkan.

Hambatan dan masalah yang dihadapi dalam upaya


Pelaksanaan Otonomi Daerah antara lain :

a. Materi pokok Undang-undang No. 5 Tahun 1974 cenderung


lebih dititikberatkan pada efisiensi manajemen pemerintah.
Sedangkan aspek yang mendorong demokratisasi masih belum
mampu dikembangkan sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini
antara lain terlihat dari kedudukan DPRD sebagai unsur dari
Pemerintah Daerah.
b. Penyerahan urusan lebih cenderung hanya mengenai hal yang
bersifat administratif tanpa diiringi upaya yang memadai dalam
pemberian insentif yang memungkinkan Pemerintah dan
masyarakat Daerah Otonomi bergairah untuk melakukan upaya-

V/2
upaya peningkatan ekonomi didaerahnya, sehingga Pendapatan
Asli Daerah sulit meningkat.
c. Pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional
serta perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah belum
dilaksanakan secara proposional sesuai dengan prinsip
demokrasi, keadilan, dan pemerataan.
d. Belum lengkap dan rincinya peraturan perundang-undangan
yang mendukung pelaksanaan Otonomi Daerah menimbulkan
perbedaan interprestasi dan persepsi yang mengakibatkan
tumpang tindih kewenangan antara instansi Pusat dan Daerah.

Pada pasca Orde Baru, Otonomi Daerah dipengaruhi oleh


perkembangan lingkungan yang strategis baik nasional maupun
internasional. Perkembangan lingkungan strategis ini bergerak cepat dan
dinamis antara lain tampak :

a. Pada tingkat nasional, krisis moneter dan ekonomi memicu


gerakan reformasi nasional yang menghendaki pembaharuan
dalam berbagai aspek kehidupan yang menuju kehidupan yang
demokratis dan sejahtera.
b. Pada tingkat internasional, gerakan liberalisasi perdagangan dan
investasi terus berkembang dengan komitmen Indonesia
terhadap AFTA, APEC, WTO dan kesepakatan IMF. Indonesia
menghadapi persaingan yang kian tajam dalam pasar
internasional.

Perkembangan lingkungan strategis tersebut membuka


peluang bagi pelaksanaan Otonomi Daerah. Momentum reformasi
adalah saat yang tepat bagi realisasi Otonomi Daerah, dan
merupakan kesempatan menentukan pilihan yang tepat mengenai

V/3
bentuk pemerintahan di Daerah serta mengupayakan pengembangan
potensi sumber daya Daerah agar dapat terangkat dalam era
globalisasi. Namun ada pula kendala yang dihadapi, antara lain:
krisis politik menghadapi Indonesia pada berbagai pilihan bentuk
pemerintahan yang jika tidak hati-hati bisa menjurus kearah
disintegrasi. Krisis ekonomi juga akan memperlemah kemampuan
dalam pembiayaan. Kendala yang lain adalah tersedianya waktu
yang sempit mengingat realisasi AFTA pada tahun 2003.

Searah dengan pengaruh lingkungan strategis beserta peluang


dan kendalanya, MPR melalui ketetapan No. XV/MPR/1998
mengamanatkan perlu diwujudkan penyelenggaraan Otonomi
Daerah, pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya
nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah dalam rangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Selanjutnya ketetapan MPR tersebut di atas
diikuti dengan terbitnya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-undang No. 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah.

Sebagai konsekwensinya dari pelaksanaan Undang-undang


ini, organisasi pemerintah pusat maupun daerah harus disusun lagi
sesuai dengan penyerahan kewenangan yang lebih besar kepada
Daerah, Peraturan Pemerintah sedang dipersiapkan untuk itu.
demikian juga mengenai PNS juga diatur kembali. Dalam hubungan
ini, maka Undang-undang No. 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-pokok
Kepegawaian perlu diubah dan disesuaikan dengan penyeleng-
garaan otonomi daerah. Pembahasan perubahan Undang-undang
Kepegawaian ini telah disetujui DPR pada bulan September 1999.
Hampir semua Departemen akan menjadi lebih ramping sehingga
dapat lebih efisien.

V/4
Agar pemerintah daerah otonomi mampu melaksanakan tugas-
tugasnya yang dibebankan kepadanya, dibutuhkan dukungan
keuangan yang lebih besar. Menurut Undang-undang No. 25 Tahun
1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah,
Daerah Otonomi akan mempunyai 4 sumber pendapatan yaitu
Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, Pinjaman, dan
Penerimaan lainnya yang sah.

Otonomi Daerah memiliki makna yang strategis dalam


kehidupan berbangsa dan bernegara karena akan mampu mendorong
demokratisasi, dalam arti memberi ruang gerak kepada masyarakat
di daerah untuk mengembangkan partisipasi, prakarsa dan
kreativitasnya dalam menata dan membangun daerah, dengan
mengacu pada persatuan dan kesatuan bangsa. Otonomi Daerah
dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas manajemen mengenai
pemerintahan, dalam pemberian kewenangan dan kemandirian
pengambilan keputusan serta pengelolaan urusan pemerintahan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bertolak dari pengalaman masa lalu dan memperhatikan


berbagai ketentuan yang ada serta prospek masa depan, maka telah
ditetapkan bahwa otonomi daerah yang luas pada daerah
kabupaten/kota dengan hanya berasaskan desentralisasi. Sedangkan
di Propinsi dilaksanakan otonomi daerah yang terbatas dengan
berasaskan desentralisasi dan dekonsentrasi. Disamping itu
kebijaksanaan ini akan membuka peluang luas bagi terwujudnya
pemerintahan yang demokratis, sehingga masyarakat bisa lebih
berperan dan berpartisipasi dalam melaksanakan pembangunan
sesuai potensi daerahnya, begitu pula pemerintah akan lebih dekat
dan mudah memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat.

V/5
Pada prinsipnya semua tugas umum pemerintah dan
pembangunan dapat diserahkan kepada Daerah Otonom, kecuali
bidang-bidang pertahanan keamanan, peradilan, luar negeri,
moneter, dan agama serta bidang lainnya yang secara nasional lebih
tepat diurus oleh pemerintah pusat. Oleh karena itu secara mendasar
ada pembagian kewenangan yang tegas antara pemerintah pusat,
pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota.

Kewenangan pemerintah pusat diarahkan pada kebijakan


tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan
nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem
administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan
dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber
daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan
standarisasi nasional. Kewenangan Propinsi sebagai daerah otonom
mencakup kewenangan dalam bidang pemerintah yang bersifat
lintas kabupaten/kota serta kewenangan bidang tertentu lainnya dan
kewenangan propinsi sebagai wilayah administrasi mencakup
kewenangan dalam bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada
gubernur selaku wakil pemerintah. Sedangkan Daerah Otonom
berwenang untuk melaksanakan tugas desentralisasi yang diarahkan
pada fungsi penyelenggaraan urusan rumah tangga daerah,
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan daerah, peningkatan
efisiensi pelayanan kepada masyarakat, pengembangan sumber
pembiayaan daerah dan pemberdayaan masyarakat.

Dengan kewenangan-kewenangan tersebut di atas, maka


pelaksanaan Daerah Otonomi harus memperhatikan kesiapan dan
kelengkapan unsur-unsur penting mengenai kelembagaan, kesediaan,
sumber daya aparatur yang handal, perlengkapan, potensi ekonomi
daerah yang dapat menjadi sumber pendapatan sendiri, pemberian
insentif fiskal dan non fiskal serta hubungan keuangan antara pusat

V/6
dan daerah. Perhatian sungguh-sungguh terhadap kemampuan
ekonomi pada semua Daerah Otonom ini sangat penting. Urusan
keuangan dikelola sesuai APBD dengan memanfaatkan semua
sumber dana dari pendapatan asli daerah, bantuan umum, dan
bantuan khusus dari pemerintah pusat serta dana perolehan sesuai
kontribusi ekonomi daerah, dengan tetap memperhatikan aspek
pemerintah.

Penyelenggaraan Otonomi Daerah diharapkan akan mampu


memberdayakan seluruh wilayah Indonesia baik dalam aspek
politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Dengan kemandirian fungsi
legislasi dan pengawasan yang dilakukan oleh DPRD akan
mendorong terwujudnya pemerintah daerah serta kehidupan
masyarakat yang demokrasi. Partisipasi masyarakat dalam
pembangunan akan meningkat, sehingga dapat diharapkan seluruh
daerah di Indonesia mampu tumbuh dan berkembang dalam wujud
semua daerah maju, dalam kerangka persatuan dan kesatuan bangsa.

B. Langkah-Langkah yang Dilakukan

Tuntutan, dinamika, dan aspirasi masyarakat dalam


menyelesaikan krisis yang dihadapi oleh bangsa dan negara dewasa
ini mengacu kita untuk menyiapkan segenap tatanan Pemerintah dan
bangsa dalam menghadapi masa depan yang penuh tantangan.

Suasana reformasi juga mendesak Majelis Permusyawaratan


Rakyat untuk melakukan serangkaian penyempurnaan terhadap
Pemerintahan Daerah yakni dengan memberikan kewenangan yang
lebih luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah,
sebagaimana tertuang dalam TAP MPR No. XV/MPR/1998.

V/7
Sesuai dengan TAP MPR tersebut, Pemerintah bersama-sama
DPR telah menetapkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun
1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah

1. Hal-hal pokok yang tertuang dalam Undang-undang No. 22


Tahun 1999, adalah :
1) Penyelenggaraan Otonomi Daerah, yang semula dilakukan
dengan pola bertahap, sekarang dilakukan dengan
penyerahan secara total, bulat, utuh dan menyeluruh
terhadap semua kewenangan pemerintahan, kecuali
kewenangan dibidang politik luar negeri, hankam,
peradilan, moneter/fiskal dan agama, serta bidang-bidang
tertentu yang akan ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
2) Penyelenggaraan pemerintahan di propinsi berdasarkan
asas desentralisasi dan dekonsentrasi, sehingga propinsi
berkedudukan sebagai Daerah Otonom sekaligus sebagai
Wilayah Administrasi. Begitu pula Gubernur berstatus
sebagai Kepala Daerah disamping juga sebagai Wakil
Pemerintah Pusat. Sedangkan bagi Daerah Kabupaten/
Kota sepenuhnya menggunakan asas desentralisasi,
sehingga hanya berkedudukan sebagai Daerah Otonom
saja.
3) Wilayah Propinsi ditetapkan pula meliputi wilayah laut
sepanjang 12 mil, sedangkan wilayah Kabupaten/Kota
sepanjang 1/3 wilayah laut Propinsi.
4) Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan
perangkat Daerah lainnya. DPRD bukan sebagai unsur
Pemerintah Daerah yang mempunyai fungsi pengawasan,

V/8
anggaran dan legislasi Daerah, Kepala Daerah dipilih dan
bertanggung jawab kepada DPRD, Gubernur selaku Wakil
Pemerintah Pusat yang bertanggung jawab kepada
Presiden.
5) Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan
persetujuan DPRD sesuai dengan pedoman yang
ditetapkan Pemerintah, dan tidak perlu disahkan oleh
pejabat yang berwenang.
6) Daerah diberi kewenangan untuk melakukan
pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan
pensiun, gaji, tunjangan dan kesejahteraan, pendidikan dan
pelatihan pegawai sesuai kebutuhan dan kemampuan
Daerah, berdasarkan norma, standar, prosedur yang
ditetapkan Pemerintah.
7) Keuangan Daerah bersumber dari Pendapatan Asli
Daerah, dana perimbangan keuangan Pusat dan Daerah,
pinjaman Daerah dan lain-lain pendapatan yang sah.
8) Daerah kabupaten/kota diberi Otonomi yang luas, sedang
Propinsi terbatas. Kewenangan pemerintahan pada
Propinsi adalah otonomi yang sifatnya lintas Kabupaten
dan Kota serta kewenangan yang belum mampu ditangani
oleh Kabupaten dan Kota.
9) Kelembagaan Daerah disamping lembaga DPRD, adalah
Kepala Daerah, Sekretariat Daerah, Dinas Daerah, dan
Lembaga Teknis Daerah, seperti perencanaan, penelitian dan
pengembangan, Diklat, pengawasan dan Badan Usaha Milik
Daerah.

V/9
2. Hal-hal pokok yang tertuang dalam Undang-undang No.
25 Tahun 1999, adalah :
1) Penyelenggaraan Otonomi Daerah diperlukan kewenangan
yang luas, nyata dan bertanggung jawab di Daerah secara
proposional yang diwujudkan dengan pengaturan
pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang
berkeadilan, serta perimbangan keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah.
2) Sumber pembiayaan pemerintah Daerah dalam rangka
perimbangan keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah
dilaksanakan atas dasar desentralisasi, dekonsentrasi dan
tugas pembantuan.
3) Pelaksanaan desentralisasi berasal dari Pendapatan Asli
Daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah dan lain-lain
penerimaan yang sah :
a) Pendapatan Asli Daerah terdiri dari pajak daerah,
retribusi Daerah, hasil perusahaan milik daerah dan
pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan
lain-lain
b) Dana Perimbangan berasal dari bagian daerah dari
Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan dan penerimaan dari sumber
daya alam, serta dana alokasi umum dan alokasi
khusus.
4) Penerimaan negara dari Pajak Bumi dan Bangunan dibagi:
10 persen untuk penerimaan Pusat (dibagikan ke seluruh
kabupaten/kota) dan 90 persen untuk daerah.
5) Penerimaan negara dari Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan dibagi: 20 persen untuk Pemerintah Pusat
(dibagikan keseluruh kabupaten/kota) dan 80 persen untuk
daerah.

V/10
6) Penerimaan negara di sektor Kehutanan dan
Pertambangan dibagi: 20 persen untuk pemerintah pusat dan
80 persen untuk daerah.
7) Penerimaan negara dari hasil minyak bumi dibagi: 85
persen untuk pemerintah pusat dan 15 persen untuk daerah.
8) Penerimaan negara dari gas alam dibagi: 70 persen untuk
pemerintah pusat dan 30 persen untuk daerah (setelah
dikurangi komponen pajak).
9) Dana alokasi umum sekurang-kurangnya 25 persen dari
penerimaan dalam negeri dengan komposisi: 10 persen
untuk daerah propinsi dan 90 persen untuk daerah
kabupaten/kota.
10) Dana alokasi khusus untuk membantu kebutuhan khusus
yang disediakan dalam APBN termasuk yang berasal dari
dana reboisasi. Dana reboisasi dibagi 40 persen kepada
daerah penghasil sebagai dana alokasi khusus dan 60
persen untuk pemerintah pusat.
11) Pembiayaan dekonsentrasi disalurkan kepada Gubernur
melalui Departemen/LPND.
12) Pembiayaan tugas pembantuan disalurkan kepada daerah
dan desa Departemen/LPND yang menugaskan.

C. Hasil-Hasil yang Dicapai


Pewujudan otonomi daerah yang semakin luas, diharapkan
masing-masing daerah tidak hanya berorientasi pada daerahnya
masing-masing secara sempit. Hal ini dapat merugikan
perkembangan masing-masing daerah yang bersangkutan, daerah
lain, maupun kepentingan nasional. Untuk memperkecil dampak

V/11
negatif dari semakin luasnya otonomi daerah tersebut, perlu
diciptakan aturan main dan mekanisme kerjasama antar daerah.

Undang-undang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang


Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintahan Pusat dan
Daerah akan membawa banyak perubahan dalam kehidupan
masyarakat Indonesia secara keseluruhan, dalam sistem
pemerintahan pusat maupun daerah.

Tuntutan utama yang perlu dipenuhi untuk memecahkan


berbagai masalah tersebut adalah, pertama, meningkatkan peranan
pemerintah daerah dalam pengambilan keputusan untuk mengatasi
dampak krisis ekonomi dan pemulihan kondisi sosial ekonomi
masyarakat; kedua, mewujudkan otonomi daerah dengan
memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk
berpartisipasi dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan
pembangunan; ketiga, mewujudkan sistem perimbangan keuangan
antara pusat dan daerah; keempat, mengubah orientasi pemecahan
masalah dan pelaksanaan program pembangunan yang semula
bersifat dari atas ke bawah (top-down) menjadi dari bawah ke atas
(bottom-up); kelima, meningkatkan bantuan langsung ke masyarakat
untuk memecahkan masalah yang ada, dan keenam, mewujudkan
pemerintah yang baik (good governance) dan demokratis.

Dalam upaya mewujudkan tuntutan otonomi, desentralisasi


dan partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan
nasional, telah dilakukan berbagai langkah penyempurnaan terhadap
kebijaksanaan perencanaan pembangunan.

V/12
1. Penyiapan Perangkat Hukum Untuk Pelaksanaan
Otonomi Daerah
Sebagai dasar hukum dari pelaksanaan otonomi daerah
pemerintahan bersama dengan DPR telah mengundangkan UU No.
22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun
1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah. Kedua undang-undang tersebut selanjutnya akan ditindak-
lanjuti dengan peraturan pelaksanaan lainnya. Peraturan pelaksanaan
yang diperlukan antara lain :

a. Peraturan pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1999 :


1) Undang-undang, tentang:
a) Pajak dan Retribusi Daerah.
b) Ibukota Negara RI. (Telah ditetapkan dengan UU no. 34
tahun 1999).
c) Pokok-pokok Kepegawaian (telah disetujui DPR).
2) Peraturan Pemerintah, tentang :
a) Syarat-syarat Pembentukan Daerah.

b) Kriteria Penghapusan, Penggabungan dan Pemekaran


Daerah.
c) Kewenangan Daerah Propinsi, Kabupaten dan Kota di
Wilayah Laut.
d) Kewenangan Pemerintah (Pusat) dan Daerah Propinsi
dibidang lainnya.
e) Pemberian Insentif Fiskal dan Non fiskal kepada Daerah.

f) Pengaturan Kawasan Pertokoan di Kabupaten.

V/13
3) Keputusan Presiden, tentang :

a) Pembentukan, Susunan Organisasi, Formasi dan


Tatalaksana Instansi Vertikal,
b) Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah.
c) Pedoman Penyusunan Organisasi Perangkat Pemerintah
Daerah.

b. Peraturan pelaksanaan UU No. 25 Tahun 1999 :


1) Peraturan Pemerintah, tentang :

a) Tatacara Penghitungan dan Penyaluran Atas Bagian


Daerah dari Penerimaan negara.
b) Pengaturan Dana Alokasi Khusus.
c) Pelaksanaan Pinjaman Daerah.
d) Pembiayaan Pelaksanaan Dekonsentrasi.
e) Pembiayaan Pelaksanaan Tugas Pembantuan.
f) Pengelolaan Sistem Informasi Keuangan Daerah.
2) Keputusan Presiden, tentang :

Sekretariat Bidang Perimbangan Keuangan Pusat dan


Daerah.

Selanjutnya dalam rangka tindak lanjut pelaksanaan Otonomi


Daerah sesuai dengan Undang-undang Pemerintahan Daerah, telah
ditetapkan Keputusan Presiden No. 67 Tahun 1999 tentang Tim
Koordinasi Tindak Lanjut Pelaksanaan Undang-undang No. 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang No.
25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah, yang menugaskan kepada Menko Wasbangpan

V/14
untuk melakukan langkah-langkah koordinasi dengan para menteri
terkait, meliputi antara lain:

a. menetapkan pentahapan dan prioritas penyusunan tindak lanjut


pelaksanaan kedua undang-undang tersebut;
b. merumuskan konsep kebijaksanaan sebagai dasar untuk
menyusun peraturan pelaksanaan, termasuk saran dan acuan
tentang struktur kelembagaan Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah;
c. menetapkan instansi penyusun setiap peraturan pelaksanaan.

Sebagai pelaksanaan dari Keppres Nomor 67 Tahun 1999


tersebut maka Menko Wasbangpan telah mengeluarkan dua buah
keputusan yaitu :

a. Keputusan Nomor 35/KEP/MK.WASPAN/8/1999 tentang


Unsur Pendukung Pelaksanaan Tugas Tim Koordinasi Tindak
Lanjut Pelaksanaan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25
Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah
Pusat dan Daerah.
Pokok-pokok penting dalam keputusan tersebut adalah:

1) Membentuk Kelompok Kerja Perumus Kebijaksanaan dan


Penyelerasi Peraturan Pelaksanaan Otonomi Daerah yang
terdiri dari :
a) Kelompok Kerja Kewenangan dan Kelembagaan
Pemerintah Pusat;

V/15
b) Kelompok Kerja Kewenangan dan Kelembagaan
Pemerintah Daerah;
c) Kelompok Kerja Sumberdaya Aparatur.;

d) Kelompok Kerja Perimbangan Keuangan Antara


Pemerintah Pusat dan Daerah;
e) Kelompok Kerja Sistim dan Prosedur Manajemen
Keuangan.

2) Tugas Kelompok Kerja di atas adalah, untuk :


a) menyusun daftar peraturan atau keputusan pelaksanaan
yang diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-
undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah;
b) merumuskan strategi pelaksanaan Otonomi Daerah,
khususnya dalam periode peralihan selama 2 (dua)
tahun pertama;
c) merancang prioritas dan tatacara penyelesaian, serta
instansi penyusun peraturan atau keputusan
sebagaimana dimaksud butir (a);
d) merumuskan konsep kebijaksanaan sebagai dasar untuk
menyusun rancangan peraturan atau keputusan
sebagaimana dimaksud butir (a);
e) menyusun inventarisasi kewenangan yang berada pada
Pemerintah Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota serta
rancangan struktur kelembagaan Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah;
f) merumuskan rancangan norma dan standar teknis
organisasi kepegawaian, dan pelayanan umum;

V/16
g) menyusun rancangan realokasi Pegawai Negeri Sipil
diantara instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah;
h) menyusun daftar seluruh kekayaan negara berupa
tanah/gedung, perlengkapan dan peralatan yang ada di
daerah untuk dialihkan kepada Pemerintah Propinsi dan
Pemerintah Kabupaten/Kota, mengikuti pembagian
kewenangan.

b. Keputusan Nomor 39/KEP/MK.WASPAN/8/1999 tentang Rincian


Tugas Dan Tatakerja Tim Koordinasi Pelaksanaan UU
Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999.

Seluruh kegiatan penyusunan peraturan pelaksanaan undang-


undang tersebut harus diselesaikan selambat-lambatnya 7 Mei 2000
dan proses transformasi kewenangan, pembentukan kelembagaan,
realokasi pegawai, keuangan dan perlengkapan harus sudah selesai
selambat-lambatnya 7 Mei 2001, yang berarti Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1999 sudah mulai berlaku efektif.

2. Jadwal Waktu Persiapan Pelaksanaan Otonomi Daerah.


Pemerintah dalam upaya yang sistematis melakukan persiapan
implementasi Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah. Persiapan dimaksud meliputi : penyiapan produk hukum
peraturan perundang-undangan yang merupakan derivat kedua
undang-undang tersebut, sebagai petunjuk pelaksanaan,
pengembangan organisasi, realokasi Pegawai Negeri Sipil serta

V/17
pengembangan disain proses pembangunan dan kegiatan
masyarakat.

Langkah kerja yang diproyeksikan dalam horison waktu dua


tahun sejak 7 Mei 1999, dirangkum dalam kegiatan-kegiatan sebagai
berikut :
1. Sosialisasi materi undang-undang,

2. Pemantapan hasil pemilu dan capacity building legislatif,


khususnya didaerah,
3. Penyelesaian peraturan perundangan-undangan untuk pelaksanaan
kedua undang-undang,
4. Pengembangan disain dan capacity building pemerintah daerah
sesuai dengan semangat undang-undang,
5. Penataan kewenangan dan penyesuaian organisasi pemerintah
(Pusat),
6. Penataan dan penyesuaian kewenangan dan struktur organisasi
Pemerintah Daerah,
7. Pengembangan disain mekanisme pembangunan daerah dan
interaksi kemasyarakatan,
8. Peningkatan efisiensi penyelenggaraan pemerintah daerah.

Secara proposional bobot kegiatan menurut semester adalah


sebagai berikut :

V/18
1) Penyelesaian Kebijaksanaan dan Perundang-undangan:
a. Melakukan penyesuaian kebijaksanaan dengan
pertimbangan UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun
1999, menurut pasal-pasal;
b. Menyusun prioritas produk hukum dari kedua undang-
undang tersebut sesuai dengan periode sasaran;
c. Menyelesaikan semua produk hukum yang prinsip harus
diselesaikan menurut periode sasaran;
d. Melakukan pembinaan pengaturan antara produk hukum
Pusat dan produk hukum Daerah.

V/19
2) Reorganisasi Pusat dan Pemerintah Daerah:
a. Melakukan inventarisasi kebijaksanaan strategis nasional;
b. Menyiapkan naskah akademik/peraturan dan draft;
c. Melakukan pengembangan substansi kewenangan pusat;

d. Melakukan pengembangan alternatif penataan struktur


organisasi tingkat Pusat;
e. Melakukan inventarisasi kewenangan Propinsi dan
Kabupaten/Kota;
f. Melaksanakan pengelompokan substansi kewenangan
Propinsi dan Kabupaten/Kota;
g. Melakukan pengembangan alternatif penataan struktur
organisasi pemerintahan daerah;
h. Melakukan pengembangan perencanaan mekanisme
kegiatan (pemerintahan/pembangunan);
i. Melaksanakan uji coba lapangan (field test);
j.
Membuat pedoman-pedoman hubungan kerja dan
ketatalaksanaan Pusat dan Daerah serta petunjuk teknis
(guidelines) yang diperlukan.

3) Analisis dan Proses Realokasi Personil:

a. Melakukan inventarisasi kebutuhan menurut kriteria


kewenangan Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota;
b. Menyusun kebijaksanaan penempatan pegawai;
c. Melakukan pengembangan/penyesuaian kebutuhan pegawai;
d. Memberdayakan aspek kepegawaian pada kewenangan
Pemerintah Daerah;

V/20
e. Melaksanakan koordinasi dengan instansi Pusat dan Daerah;
f. Memberikan petunjuk kepada Daerah;
g. Inventarisasi dan pengkajian berbagai Peraturan Perundang-
undangan yang terkait dengan kepegawaian dan kediklatan;
h. Penyusunan berbagai naskah akademis, sebagai masukan
penyempurnaan dan perubahan berbagai peraturan
perundang-undangan dibidang kepegawaian termasuk Diktat
Aparatur;
i. Penyusunan Pedoman dan Instrumen Pendataan
Pegawai per unit organisasi;
j. Penyusunan draft Rencana Induk Penataan dan
Pendayagunaan pegawai;
k. Penyusunan draft Rencana Relokasi Pegawai Kantor
Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota;
1. Pendalaman materi Rancangan Undang-Undang dibidang
Kepegawaian;
m. Penjajagan, pembentukan Tim/Pokja Rencana Relokasi
Aparatur yang terintegrasi antara Pusat, Propinsi dan
Kabupaten/Kota serta Penyusunan draft Mekanisme Kerja.

4) Analisis dan Proses Asset dan Keuangan:


a. Melaksanakan inventarisasi barang milik negara (instansi
vertikal) yang ada di Daerah;
b. Melakukan kebijaksanaan penataan barang;

c. Mengembangkan kebijaksanaan dan desain penataan sistem


keuangan dan anggaran;
d. Menyusun pedoman kerja;

V/21
e. Melakukan bimbingan dan asistensi ke Daerah;

f. Menyiapkan produk hukum sebagai dasar pengaturan


pelaksanaan pengalihan hak atas barang milik negara
(instansi vertikal) yang ada di Daerah.
g.
Penyesuaian struktur dan mekanisme anggaran daerah,
meliputi:
1) Perubahan struktur anggaran (budget structure reform)

2) Perubahan proses penyusunan APBD (budget process


reform)
3) Perubahan format dan administrasi pelaksanaan
4) Perubahan prinsip akuntansi (accounting reform);

5) Perubahan prinsip pengelolaan anggaran kas dan


cadangan anggaran;
6) Perubahan strategi pembiayaan melalui prinsip
kemitraan;
7) Perubahan proses penyiapan anggaran;
8) Perubahan proses pelaksanaan anggaran;

9) Perubahan proses pelaksanaan tender dan kerjasama


dengan swasta.

5) Analisis Umpan Balik dan Pengembangan Sistem Pembangunan


dan Kemasyarakatan:
a. Mengikuti dan melakukan analisis terhadap respons
masyarakat atas substansi UU.
b. Mengembangkan kegiatan dalam upaya penyesuaian
mekanisme menurut respons secara luas (masyarakat,
Perguruan Tinggi, LSM, dll).

V/22
c. Melakukan inventarisasi kebutuhan penyesuaian dalam
mekanisme perencanaan, pelaksanaan dan monitoring
Pembangunan Daerah;
d. Menyusun kebijaksanaan, dukungan peraturan pemerintah
tentang perencanaan, pelaksanaan dan monitoring
pembangunan daerah;
e. Mengembangkan desain mekanisme dan sistem
pengambilan keputusan dan sistem keterlibatan masyarakat
dalam pembangunan dan pelayanan masyarakat;
f. Monitoring dan evaluasi kegiatan sistem manajemen
pembangunan dan kemasyarakatan, serta melakukan
penyempurnaan yang diperlukan.

3. Desentralisasi Penyiapan Dokumen Anggaran


Pembangunan
Langkah mendasar yang ditempuh untuk mewujudkan
tuntutan otonomi dan desentralisasi adalah meningkatkan anggaran
pembangunan yang diberikan kepada daerah dan mengupayakan
keterpaduan antara perencanaan pembangunan sektoral dan
pembangunan daerah. Langkah ini dilakukan dengan memberikan
kewenangan kepada daerah untuk mempersiapkan proses
penyusunan dokumen anggaran pembangunan (Daftar Isian Proyek).
Hal ini dimaksudkan agar pelaksanaan dan hasil pembangunan
benar-benar sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masing-masing
daerah.

Dalam tahun anggaran 1999/2000, anggaran pembangunan


yang semula dikelola secara terpusat kemudian dialihkan ke daerah
mencapai 55,6 persen dari total pengeluaran di luar pembiayaan
l a i n- l a i n . P e n i n g k a t a n a n g ga r a n y a n g di d a e r a h ka n t e r s e b ut

V/23
diharapkan dapat mempercepat pemulihan kegiatan ekonomi
masyarakat sekaligus mengatasi dampak krisis ekonomi di daerah.

4. Perubahan Bantuan Inpres menjadi Dana Pembangunan


Daerah
Langkah penting lainnya yang dilakukan untuk mendukung
kebijaksanaan reformasi pembangunan daerah adalah
penyempurnaan mekanisme transfer dana dari pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah sebagai sarana untuk mendorong
perimbangan keuangan daerah. Langkah penyempurnaan tersebut
adalah perubahan nama Bantuan Inpres menjadi Dana Pembangunan
Daerah (DPD). Perubahan nama ini dimaksudkan untuk memberikan
kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah daerah dan
masyarakat dalam mengelola dan memanfaatkan dana bantuan
pembangunan.

5. Pengalihan Dana Khusus menjadi Dana Umum

Dalam upaya memberikan kewenangan yang lebih besar


kepada daerah untuk mengelola dana pembangunan daerah, maka
berbagai bantuan daerah yang semula bersifat bantuan khusus
(sektoral) dikelola langsung oleh instansi pemerintah pusat
kemudian secara bertahap dialihkan menjadi dana umum yang
dikelola sepenuhnya oleh pemerintah daerah.

6. Penyederhanaan Mekanisme Pengelolaan Dana


Pembangunan Daerah
Langkah penting yang dilakukan adalah penertiban Pedoman
Umum untuk menyederhanakan mekanisme pengelolaan dana
pembangunan daerah. Pedoman Umum ini menjadi acuan bagi
berbagai instansi pemerintah dalam mengelola dana pembangunan

V/24
daerah agar dapat dicapai kinerja pembangunan daerah yang
semakin baik. Pedoman umum tersebut memuat tujuan prinsip dasar
pengelolaan dana pembangunan daerah yang mengarah pada
pemberdayaan masyarakat dan kesinambungan hasil-hasil program,
yaitu; keterbukaan, partisipasi, pendanaan tepat waktu dan langsung,
pertanggungjawaban, berkelanjutan, sederhana dalam pelaksanaan
dan pengembangan potensi lokal.

7. Pengelolaan Dana Pembangunan Daerah

Dalam tahun anggaran 1999/2000 Pemerintah sepakat untuk


menyatukan dan mereformasi seluruh Bantuan Pembangunan
Daerah (Inpres) yang ada menjadi dana pembangunan daerah
(DPD) yang terdiri dari (1) dana pembangunan propinsi, (2) dana
pembangunan kabupaten/kota, (3) dana pembangunan desa, dan (4)
dana perluasan jaring pengaman sosial (JPS) dan pemberdayaan
masyarakat (PJPS-PM). Pengelolaan dana-dana pembangunan
daerah ini sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah daerah dan
masyarakat.

Dana pembangunan daerah propinsi terdiri dari dana umum


(block grant) dan dana khusus (specific grant). Dana umum
pembangunan propinsi dimaksudkan untuk meningkatkan
kemampuan keuangan pemerintah daerah propinsi dalam membiayai
program pembangunan sesuai dengan kebutuhan dan prioritas
daerah. Sedangkan dana khusus pembangunan propinsi
dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan pemerintah daerah
dalam membiayai program pembangunan tertentu di daerah sebagai
satu kesatuan dari tujuan dan sasaran pembangunan nasional. Dana
khusus terdiri dari 6 (enam) komponen, yaitu: Pengembangan
Prasarana dan Sarana Ekonomi, Pemeliharaan Lingkungan Hidup,
Pengembangan Sosial Budaya dan Pelayanan Pemerintah,

V/25
Peningkatan Pendidikan Dasar di SD dan MI, Pembangunan Sarana
Kesehatan, dan Pengembangan Wilayah.

Dalam upaya meningkatkan kemampuan perencanaan dan


proses desentralisasi di daerah, langkah penyempurnaan yang
dilakukan adalah mengalihkan kewenangan dan pola penanganan
Dana Pembangunan Propinsi secara langsung kepada pemerintah
daerah. Hal tersebut ditunjukan bahwa dalam perencanaannya
pemerintah pusat (Tim Pembina Pusat) dalam tahun anggaran
1999/2000 hanya memberikan Pedoman Umum sebagai acuan
pelaksanaan Dana Pembangunan Propinsi yang bersifat umum,
sedangkan Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis sudah
diserahkan kewenangannya kepada daerah untuk menyusunnya
sendiri. Petunjuk Pelaksanaan hanya diberikan untuk komponen-
komponen yang baru seperti Peningkatan Pendidikan Dasar di SD
dan MI, Pembangunan Sarana Kesehatan, dan Pengembangan
Wilayah, mengingat komponen-komponen tersebut masih baru bagi
daerah dalam pengadministrasiannya.

Bantuan dana pembangunan kabupaten/kota dimaksudkan


untuk memperkuat kemampuan kabupaten/kota dalam mewujudkan
kesejahteraan rakyat melalui kegiatan pemerintah, pelayanan umum
dan pembangunan di daerah yang dilakukan atas dasar prinsip
otonomi daerah dan pemberian wewenang yang luas, nyata dan
bertanggung jawab. Sasaran utama pemberian bantuan dana
kabupaten/kota adalah mengurangi jumlah penduduk miskin dan
pengangguran, meningkatkan produksi dan produktivitas dunia
usaha/masyarakat, meningkatkan pelayanan prasarana dan sarana
umum dan meningkatkan ketertiban umum dan ketentraman
masyarakat.

V/26
Pengelolaan dana pembangunan Kabupaten/Kota dibagi dalam
dua jenis, yaitu dana umum dan dana khusus. Dana Umum adalah
dana yang diberikan kepada seluruh Pemerintahan Daerah Tingkat II
untuk membiayai berbagai program/proyek prioritas pembangunan
dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan Pemerintah Daerah
Tingkat II dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat,
meningkatkan pendapatan masyarakat dan kualitas hidup
masyarakat. Dalam rangka mendukung pelaksanaan reformasi, maka
pengelolaan bantuan dana umum dalam tahun 1998/1999 dan
1999/2000 dilakukan dengan memperhatikan aspirasi masyarakat,
kebutuhan nyata, kondisi dan potensi daerah, penataan ruang daerah
serta selaras dengan kebijakan pembangunan nasional. Pengelolaan
dana umum juga memperhatikan proyek/kegiatan yang memberikan
nilai tambah secara ekonomis dan memberikan manfaat secara sosial
dalam pemenuhan kebutuhan sosial dasar masyarakat. Sedangkan
Dana Khusus merupakan dana yang diberikan kepada Dati II
merupakan bantuan program untuk mendukung pencapaian sasaran
dan tujuan program pembangunan secara nasional yang menjadi
prioritas dan harus dilaksanakan oleh daerah.

Seiring dengan perubahan kondisi sosial ekonomi masyarakat,


maka dilakukan penambahan komponen baru untuk mengatasi
dampak krisis yang diderita masyarakat dengan melakukan
pengalihan sebagian dana sektoral ke dalam Dana Pembangunan,
seperti Pengembangan Industri Kecil dan Industri Rumah Tangga,
Kesehatan dan Pendidikan.

Langkah ini diikuti pula dengan perubahan peranan


pemerintah di tingkat Pusat dan Propinsi untuk memusatkan hanya
pada aspek perencanaan umum, pengalokasian, pemantauan dan
evaluasi serta pengawasan. Sesuai dengan tuntutan reformasi pula,
maka dalam setiap perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan
pemantauan sejauh mungkin melihatkan masyarakat secara luas

V/27
melalui lembaga dan forum musyawarah masyarakat setempat
seperti kelompok pengajian, masjid, gereja, ormas, dan badan
pengelola penyelenggara pendidikan (BP3). Begitu pula halnya
dalam penyaluran dana dilakukan secara sederhana, lebih cepat dan
terbuka sehingga dapat diketahui semua unsur masyarakat luas.

Bantuan Dana Pembangunan Desa/Kelurahan adalah bantuan


block grant yang diberikan kepada setiap desa/kelurahan
dimasukkan untuk: (i) meningkatkan sarana pelayanan masyarakat
dalam pengelolaan pembangunan di desa/kelurahan, yang didukung
oleh struktur organisasi, manajemen administrasi dan sarana
kelembagaan desa secara memadai, (ii) meningkatkan kemampuan
kelembagaan di tingkat desa untuk menampung, menyalurkan aspirasi,
mengkoordinasikan dan memberdayakan masyarakat dalam
melaksanakan program pembangunan serta mampu mengelola
pembangunan secara mandiri, dan (iii) meningkatkan kemampuan
lembaga pengelolaan keuangan dan usaha milik masyarakat dalam
rangka meningkatkan produksi, pendapatan, dan kesempatan kerja.
Perubahan kebijakan yang dilakukan dalam pengelolaan Dana
Pembangunan Desa/Kelurahan adalah pengalihan sasaran
pengelolaan dana yang semula masyarakat desa menjadi aparat desa.
Perubahan. kebijaksanaan ini dilakukan dengan tujuan untuk
meningkatkan sarana pelayanan umum masyarakat dengan
komponen kegiatan sebagai berikut; (i) menunjang kegiatan
administrasi, dan biaya operasional pemerintah desa dan lembaga
kemasyarakatan lainnya, (ii) menyelenggarakan pelatihan dan
penyuluhan dalam rangka pengembangan kelembagaan masyarakat,
dan (iii) menunjang kegiatan PKK, anak dan remaja. Jumlah dana
pembangunan desa ditingkatkan dari Rp. 6,5 juta per desa pada
tahun anggaran 1998/1999 menjadi Rp. 10 juta per desa pada tahun
anggaran 1999/2000.

V/28
Sedangkan dana perluasan jaring pengaman sosial dan
pemberdayaan masyarakat lebih ditujukan kepada masyarakat
sebagai perencana sekaligus pelaksana dan pengawas. Dalam upaya
untuk mencapai sasaran yang lebih efektif, pemerintah
meningkatkan upaya-upaya diseminasi informasi program-program
yang disampaikan, dan membuka mekanisme pengaduan masyarakat
atas setiap penyelewengan atau penyimpangan yang terjadi dalam
kegiatan-kegiatan program pembangunan di daerah, dimulai dari
program-program jaring pengaman sosial.

D. Tindak Lanjut yang Diperlukan

Disadari bahwa otonomi daerah yang berpihak kepada


kepentingan rakyat daerah tidak akan pernah dapat dibangun
semata-mata oleh UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Namun demikian harus
didukung oleh sumberdaya manusia dan perangkat institusi yang
cukup mampu. Dua UU ini telah melandasi beberapa perubahan
mendasar kepada kehidupan bernegara dengan memberikan otonomi
yang jauh lebih besar kepada daerah.

Beberapa perubahan mendasar yang patut diperhatikan dari


kedua undang-undang tersebut adalah:

1. Dari Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan


Daerah:
a. Semangat otonomi daerah yang lebih besar, dimulai dengan
per uba ha n s e but a n pa da na ma da er a h ot onom. Is ti l a h

V/29
tingkatan Dati I dan Dati II diganti dengan Propinsi dan
Kabupaten/Kota.
b. UU ini memperpendek jangkauan asas dekonsentrasi yang
dibatasi hanya sampai pemerintahan propinsi. Pemerintahan
Kabupaten dan Kota telah terbebas dari intervensi kuat
melalui perangkapan jabatan Kepala Daerah Otonom dan
Kepala Wilayah Administratif. Bupati dan Walikota adalah
Kepala Daerah Otonom saja. Sementara itu jabatan Kepala
Wilayah pada Kabupaten dan Kota sudah tidak di kenal lagi.
c. Bupati dan Walikota dipilih secara mandiri oleh DPRD
Kabupaten/Kota tanpa melibatkan pemerintah propinsi
maupun pemerintah Pusat. Oleh karena itu, Bupati dan
Walikota harus bertanggungjawab kepada dan bisa
diberhentikan oleh DPRD sebelum masa jabatannya selesai.
Sementara itu, pemerintah Pusat (Presiden) hanya diberi
kekuasaan untuk "memberhentikan sementara" seorang
Bupati/Walikota jika dianggap membahayakan integrasi
nasional.
d. UU ini menghapuskan posisi wilayah administratif pada
level daerah Kabupaten dan daerah Kota. Integrated
Prefectoral System yang sentralistis yang digunakan UU
No. 5 Tahun 1974 diubah menjadi Functional System, bukan
sekedar Unintegrated Prefectoral System sebagaimana
dikenal dalam UU No. 1 Tahun 1957.
e. UU ini menetapkan pemerintahan kecamatan dan kelurahan
sebagai perangkat daerah otonom, yaitu daerah kabupaten
dan daerah kota. Dengan kata lain, pemerintahan kecamatan
menempati posisi sebagai kepanjangan Langan pemerintah
daerah otonom, dan bukan sebagai aparat dekonsentrasi.
f. UU ini mengenal Badan Perwakilan Desa yang menjadi
lembaga perwakilan rakyat di tingkat desa. Hal ini

V30
merupakan perkembangan baru bagi kehidupan demokrasi di
tingkat desa.
g.
UU ini memberikan kewenangan yang lebih luas kepada
daerah otonom yang meliputi seluruh bidang pemerintahan
kecuali politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan
fiskal, agama serta 'kewenangan bidang lain'. Hanya raja
definisi 'kewenangan bidang lain' itu ternyata masih sangat
luas, sebab mencakup perencanaan dan pengendalian
pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan
keuangan, sistem administrasi negara dan perekonomian
negara, pembinaan dan pemberdayaan SDM, pendayagunaan
SDA serta teknologi tinggi strategis, konservasi dan
standarisasi nasional.

2. Dari UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan


Antara Pemerintah Pusat dan Daerah:
a. Sumber-sumber keuangan daerah diperbesar, sejalan dengan
dikembangkannya prinsip perimbangan. Sebagai contoh,
penerimaan negara dari SDA sektor kehutanan, pertambangan
umum dan perikanan dibagi dengan imbangan 20 persen untuk
pemerintah pusat dan 80 persen untuk pemerintah daerah.
Sementara itu pemerintah pusat memperoleh alokasi yang lebih
besar untuk sektor pertambangan minyak bumi (85 persen) dan
gas alam (70 persen).
b. Ada kewajiban minimal bagi pemerintah pusat untuk
memberikan alokasi kepada daerah. Pasal 7 ayat 1 menyebutkan
bahwa Dana alokasi Umum ditetapkan sekurang-kurangnya 25
persen dari penerimaan dalam negeri yang ditetapkan APBN.
c. Semangat pemerataan antar daerah bisa dilihat dari adanya dana
alokasi umum, dana alokasi khusus, dan dana darurat. Namun

V/31
transparansi dan kontrol daerah terhadap pemerintah pusat
mengenai penggunaan dana-dana ini sangat diperlukan.

Pembaharuan-pembaharuan yang dimungkinkan dengan


adanya kedua undang-undang tersebut perlu segera diwujudkan
melalui peraturan pelaksanaan yang merupakan penjabaran dan
pedoman pelaksanaannya, sehingga upaya desentralisasi akan
terwujud dengan baik sesuai dengan tenggang waktu yang
diamanatkan oleh undang-undang.

Selain itu, upaya-upaya yang perlu dipercepat adalah


meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia daerah terutama di
lingkungan pemerintahan daerah, dan penyempurnaan organisasi
pemerintahan melalui pelatihan-pelatihan, maupun pengisian
jabatan-jabatan dan fungsi yang dibutuhkan dengan tenaga-tenaga
terdidik/terlatih pemerintah dari tempat-tempat lain yang kurang
berfungsi. Upaya lain yang dapat dilakukan adalah perpindahan
penduduk antar daerah baik secara spontan maupun melalui program
transmigrasi.

Dengan otonomi daerah yang seluas-luasnya ini maka


pemberdayaan masyarakat dapat lebih ditingkatkan lagi dengan
semangat kesetaraan jender, artinya tidak ada pembedaan antar
jender dalam pembangunan. Sehubungan dengan peningkatan
peranan wanita didalam pembangunan dilakukan pembentukan Biro
Peranan Wanita. Pembentukannya sudah dilakukan dibeberapa
daerah dan akan terus diwujudkan pada daerah lainnya yang belum
membentuknya.

Mengingat kewenangan dalam penyelenggaraan pemerintahan


sebagian besar akan berada ditangan daerah, ditambah lagi dengan

V/32
kemampuan daerah yang cukup beragam, maka perlu diwaspadai
dan dicermati akan terjadinya berbagai dampak buruk dari
"
kecongkakan daerah", misalnya: hambatan arus barang dan jasa
antar daerah, hambatan arus perpindahan penduduk antar daerah,
dan perbedaan kapasitas dan kemampuan serta pertumbuhan antar
daerah. Dampak-dampak seperti ini seyogyanya dapat diselesaikan
didalam suatu forum koordinasi pembangunan antar daerah dan
antar daerah dengan pusat.

Lebih jauh lagi, dengan diundangkannya UU No. 22 Tahun


1999 dan UU No. 25 Tahun 1999, ditambah dengan UU No. 24
Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, maka daerah telah memiliki
dasar hukum untuk menyelenggarakan pemerintah dari segi
kewenangan, keuangan dan alokasi sumber daya alam. Ketiga UU
ini satu sama lain saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan
sebagai dasar dalam upaya mewujudkan otonomi daerah,
melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan dan usaha
pemanfaatan dan pelestarian sumber daya alam.

V/33

Anda mungkin juga menyukai