Anda di halaman 1dari 12

BAB 1

PENDAHULUAN

Tak dapat dipungkiri bahwa kehidupan politik di Indonesia saat ini tengah berada
dalam suatu perkembangan yang sangat signifikan. Terdapat angin segar yang telah
membangunkan lelapnya tidur masyarakat Indonesia dari keterpurukan. Betapa tidak,
globalisasi dan medernisasi setidaknya mengafirmasikan bahwa kehidupan politik bangsa
Indonesia tengah memasuki babak baru yakni mulai timbulnya partisipasi politik yang aktif
yang sebagian besarnya berasal dari masyarakat.

Masyarakat kini bukanlah sebuah boneka kaku yang hanya bisa dipermainkan begitu
saja oleh penguasa tetapi masyakat bisa menjadi sebuah bumerang yang mematikan bagi
penguasanya. Ya! sekali lagi hal ini dikarenakan masyarakat mengamini eksistensi dari sebuah
perubahan. Bukan sebuah perubahan yang utopis dengan janji-janji manis yang menggiurkan
saja tetapi masyarakat menuntut adanya sebuah realitas politik, sebuah perubahan ke arah yang
lebih baik lagi, perubahan yang dapat direlisasikan.

Masyarakat Indonesia bertumbuh secara progres bersama dengan perkembangan


kehidupan politik itu sendiri yang penuh dengan intrik dan berbagai macam peristiwa yang
terjadi di dalamnya, entah manis ataupun pahit sekalipun. Bangsa Indonesia masih dalam taraf
perkembangan untuk menemukan bentuk pemerintahan apa yang ideal dan relevan dengan
bangsa Indonesia yang pluralitasnya sangat tinnggi. Itu mengapa politik try and eror tetap
survive dalam ranah kehidupan bangsa Indonesia.

Seperti halnya dengan kekuasaan eksekutif di Indonesia, adalah merupakan bentuk


politik try dan eror yang diterapkan pada bangsa Indonesia. Ada begitu banyak pencapaian
yang patut diacungi jempol hingga penyimpangan yang menjadi sebuah luka yang telah
didalangi oleh kekuasaan ekesekutif kita baik yang terjadi pada saat ini maupun di masa lalu.

Tentunya segala intrik dan skandal yang terjadi pada masa lalu bukanlah hanya sebatas
sejarah politik bagi bangsa kita yang dapat kita hapus dari ingatan kita begitu saja. Apa yang
telah terjadi pada kekuasaan eksekutif kita, entah sebuah pencapaian ataupun skandal
merupakan sebuah pembelajaran politik bagi kita untuk dapat berubah ke arah yang lebih baik.
Untuk itu penulis membuat sebuah makalah kecil dengan judul Kekuasaan Eksekutif di

1
Indonesia Masa Orde lama untuk memahami apa saja hal-hal yang terjadi pada kekuasaan
eksekutif orde lama.

2
BAB II
ISI

KEKUASAAN EKSEKUTIF DALAM AJARAN TRIAS POLITIKA

Biasanya, dalam sistem politik, struktur dibedakan atas kekuasaan


eksekutif,legislatif,dan yudikatif. Ini menurut ajaran trias politika, meskipun tidak banyak
negara yang menerapkan ajaran ini secara murni. Dalam perkembangannya, negara-negara
demokrasi modern cenderung menggunakan asas pembagian kekuasaan dibandingkan dengan
menggunakan asas pemisahan kekuasaan murni sebagaimana diajarkan oleh John Locke,
kekuasaan negara dibagi menjadi tiga yakni kekuasaan legislatif,kekuasaan eksekutif,dan
kekuasaan federatif. Masing-masing kekuasaan ini terpisah satu dengan yang lain.1

Kekuasaan eksekutif merupakan kekuasaan melaksanakan undang-undang dan di


dalamnya termasuk kekuasan mengadili. Miriam Budiardjo mengatakan,”Tugas badan
eksekutif menurut tafsiran tradisional trias politika hanya melaksanakan kebijakan-kebijakan
yang telah ditetapkan oleh badan legislatif serta menyelenggarakan undang-undang yang
dibuat oleh badan legislatif”.2

Eksekutif berasal dari bahasa Latin, execure yang berarti melukakan atau
melaksanakan. Kekuasaan eksekutif biasanya dipegang oleh badan eksekutif. Di negara
demokratis, badan eksekutif biasanya terdiri atas kepala negara seperti raja atau presiden.
Badan eksekutif dalam arti luas juga mencakup para pegawai negeri sipil dan militer.

Dalam sistem presidensial mentri-mentri merupakan pembantu presiden dan dipilih


olehnya, sedangkan dalam sistem parlamenter para mentri dipimpin oleh seorang perdana
mentri. 3

Kekuasaan legislatif merupakan kekuasaan membuat peraturan dan undang-undang.


Kekuasaan federatif merupakan kekuasaan yang meliputi segala tindakan yang ditujukan untuk

1
Budi Winarno,Sistem Politik Indonesia Era Reformasi (Yogyakarta:2007), hal. 89-90.
2
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta:2009),hal.295.

3
menjaga keamanan negara dalam hubungannya dengan negara lain, seperti membuat aliansi
dan lain sebagainya.4

Montesquieu menyempurnakan ajaran trias politika ini dengan membagi kekuasaan


pemerintahan menjadi kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Kekuasaan legislatif
merupakan kekuasaan membuat undang-undang, kekuasaan eksekutif melaksanakan undang-
undang, dan kekuasan yudukatif merupakan kekuasaan yang mempunyai kewenangan untuk
mengadili atas pelanggaran undang-undang.

Montesquieu mengemukakan bahwa kemerdekaan hanya dapat dijamin jika masing-


masing kekuasaan ini tidak dipegang oleh satu orang atau dalam satu badan penguasa. Dalam
kaitan ini, ia mengemukakan bahwa jika kekuasaan legislatif disatukan dengan kekuasaan
eksekutif dalam satu tangan individu atau lembaga, maka tidak akan ada kemerdekaan.
Sebaliknya,akan menjadi malapetaka, jika ketiga kekuasaan tadi berada dalam satu tangan,
tidak peduli apakah kekuasaan terseut berada di tangan kaum bangsawan ataukah di tangan
rakyat jelata.5

Apa yang dikatakan Montesquieu setidaknya merupakan gambaran kekuasaan


eksekutif dewasa ini seperti yang dikatakan Austin Ranney dalam Miriam bahwa :

“...jelas dalam perkembangan negara modern bahwa wewenang badan eksekutif


dewasa ini jauh lebih luas daripada hanya melaksanakan Undang-Undang Dasar saja.
Kadang malahan dikatakan bahwa dalam negara modern badan eksekutif sudah
mengganti badan legislatif sebagai pembuat kebijaksanaan yang utama.”6

Perkembangan ini terdorong oleh banyak faktor, seperti perkembangan teknologi, proses
modernisasi yang sudah berjalan jauh,semakin terjalinnya hubungan politik dan ekonomi antar
negara,krisis ekonomi ,dan revolusi sosial. Akan tetapi meluasnya peranan negara terutama
disebabkan karena penyelenggaraan kesejahteraan rakyatnya merupakan tugas pokok dari
setiap negara dewasa ini apalagi jika ia tergolong negara kesejahteraan (welfare nation).

4
Winarno, Op. Cit.,hal.89.

6
Budiardjo,Op.Cit.,hal.296.

4
Negara kesejahteraan menjamin bagi warga negaranya tersedianya aspek-aspek
minimal dari pendidkan, pelayanan kesehatan, perumahan, pekerjaan, dan karena itu
kegiatannya mempengaruhi semua aspek kehidupan masyarakat.7

PERKEMBANGAN KEKUASAAN EKSEKUTIF D INDONESIA MASA ORDE


LAMA

Orde lama adalah sebutan bagi orde pemerintahan sebelum orde baru yang dianggap
tidak melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen yang ditandai
dengan diterapkannya Demokrasi Terpimpin di bawah kepemimpinan Soekarno. Presiden
Soekarno sebagai tokoh sentral orde lama adalah Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan,
bahkan ia bertindak sebagai pemimpin besar revolusi.8

Kekuasaan Eksekutif Masa Demokrasi Kontitusional (1945-1959)

Sistem parlementer yang mulai berlaku sebulan sesudah kemerdekaan diproklamirkan


dan kemudian diperkuat dalam Undang-Undang Dasar 1949 ,dan1950, ternyata kurang cocok
untuk Indonesia meskipun dapat berjalan secara memuaskan dalam beberapa negara Asia lain.
Persatuan yang dapat digalang untuk salalu menghadapi musuh bersama menjadi kendor dan
tidak dapat dibina menjadi kekuatan-kekuatan konstruktif sesudah kemerdekaan tercapai.
Karena lemahnya benih-benih demokrasi sistem parlementer memberi peluang untuk dominasi
partai-partai politik dan Dewan Perwakilan Rakyat.

Undang-Undang Dasar 1950 menetapkan berlakunya sistem parlementer di mana

badan eksekutif yang terdiri atas presiden sebagai kepala negara konstitusional dan mentri-

mentrinya mempunyai tanggung jawab politik. Karena fragmentasi partai-partai politik setiap
kabinet berdasarkan koalisi yang berkisar pada pada satu atau dua partai besar dengan beberapa
partai kecil.

8
Hassan Saleh, Pendidikan Kewarganegaraan (Jakarta:2009),hal.149.

5
Koalisi ternyata kurang mantap dan partai-partai dalam koalisi sewaktu-waktu tidak
segan menarik dukungannya. Di lain phak partai oposisi, tidak mampu berperan sebagai oposisi
yang kontruktif, tetapi hanya menonjolkan segi-segi negatif dari tugas oposisi.

Umumnya kabinet dalam masa pra pemilu yang diadakan pada tahun 1955 tidak dapat
bertahan lebih lama dari rata-rata delapan bulan, dan hal ini menghambat perkembangan
ekonomi dan politik oleh karena pemerintah tidak mendapat kesempatan untuk menjalankan
programnya. Pun pemilu tahun 1955 tidak membawa stabilitas yang diharapakan, bahkan tidak
dapat menghindarkan perpecahan yang paling gawat antara pemerintah pusat dan beberapa
daerah.

Faktor-faktor semacam ini, ditambah dengan tidak adanya anggota-anggota partai-


partai yang tidak tergabung dalam konstituante untuk mencapai konsensus mengenai dasar
negara untuk Undang-undang Dasar baru, mendorong Ir. Soekarno untuk mengeluarkan Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 yang menentukan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945.9 Hal
ini menjadi awal dari masa demokrasi terpimpin yang menggantikan masa demokrasi
kontitusional.

Kekuasaan Eksekutif Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965)

Dengan dalih deadlock dan oleh sebab itu kembali ke UUD 1945 yang yang dianggap
satu-satunya jalan keluar, maka kepemimpinan soekarno sebagai kepala negara tidak terbatas,
apalagi MPRS tidak berfungsi, kecuali dalam melegalisasi "kebijakan" yang diambil presiden,
bahkan telah mengangkat Soekarno sebagai presiden seumur hidup, sedangkan DPR produk
Pemilu I dibubarkan melalui Dekrit presiden 5 Juli 1959.10 Dekrit presiden 5 Juli 1959 dapat
dipandang sebagai suatu usaha untuk mencari jalan keluar dari kemacetan politik melalui
pembentukan kepemimpinan yang kuat.11

Mulai Juni 1959 UUD 1945, berlaku kembali dan menurut ketentuan UUD 1945 itu
badan eksekutif terdiri atas seorang presiden,wakil presiden beserta mentri-mentri. Kekuasaan
eksekutif diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Bab III pasal 4 samapai dengan 15.12

9
Budiardjo,Op.Cit.,hal.128-129.
10
Saleh,Op.Cit.,hal.149.
11
Isi dari dekrit ini adalah pembubaran Badan Konstituante hasil pemilu 1955 dan penggantian UUD
sementara 1950 ke UUD 1945.
12
C.S.T. Kansil, Sistem Pemerintahan Indonesia (Jakarta:1981),hal.98.

6
Mentri-mentri membantu presiden dan diangkat serta dihentikan olehnya. Presiden dan
wakil presiden dipilih oleh MPR dan presiden merupakan “Mandataris” MPR. Ia bertanggung
jawab kepada MPR dan kedudukannya untergeordnet kepada MPR.

Presiden memegang kekuasaan pemerintah selama lima tahun yang hanya dibatasi oleh
peraturan-peraturan dalam UUD 1945 dimana sesuatu hal diperlukan adanya suatu undang-
undang. Selama masa itu presiden tidak boleh dijatuhkan oleh DPR, sebaliknya presiden tidak
mempunyai wewenang untuk membubarkan DPR.

Presiden memerlukan persetujuan dari DPR untuk membentuk Undang-Undang dan


utuk menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian-perjanjian dengan negara lain.
Dalam keadaan memaksa presiden menetapakan Peraturan Pemerintah sebagai pengganti
Undang-undang, maka peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujauan DPR.

Selain itu presiden berwenang menetapakan Peraturan Pemerintah untuk menalankan


Undang-Undang sebagaiman mestinya dan presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas
angkata darat, angaktan laut, dan udara.

Pada masa demokrasi terpimpin terjadi dominasi dari presiden, terbatasnya peranan
partai politik, berkembangnya pengaruh komunis dan meluasnya peranan ABRI sebagai unsur
sosial politik. Dalam masa demokrasi terpimpin tidak ada wakil presiden. Sesuai dengan
keinginannya untuk memperkuat kedudukannya oleh MPRS ditetapkan sebagai presiden
seumur hidup. Begitu pula dengan pejabat teras dari Legislatif (yaitu pimpinan MPRS dan DPR
Gotong Royong) dan dari badan Yudikatif (yaitu ketua Mahkamah Agung) diberi status mentri.
Dengan demikian jumlah mentri lebih dari seratus.

Saleh mengatakan, “Pancasila dan UUD 1945 merupakan landasan hidup kenegaraan,
tetapi pancasila dan UUD 1945 tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen.” Hal itu itu
ditandai dengan adanya berbagai penyimpangan dalam Demokrsi terpimpin13 :

 Pancasila diidentikkan dengan Nasakom


 Produk hukum yang setingkat dengan undang-undang (UU) ditetapkan dalam
bentuk penetapan presiden (penpres) daripada persetujuan
 MPRS mengangkat Soekarno sebagai presiden seumur hidup
 Presiden membubarkan DPR hasil pemilu 1955

7
 Presiden menyatakan perang dengan Malasya
 Presiden menyatakan Indonesia keluar dari PBB
 Hak Budget tidak jalan14

Penyimpangan-penyimpangan ini juga dijelaskan lebih lanjut oleh Miriam Budiardjo


bahwasannya:

“Undang-undang Dasar 1945 membuka kesempatan bagi presiden untuk bertahan


sekurang-kurangnya lima tahun. Akan tetapi ketetapan MPRS No.III/1963 yang
mengangkat Ir.Soekarno sebagai presiden seumur hidup telah membatalakan
pembatasan waktu lima tahun ini (Undang-undang Dasar memungkinkan seorang
presiden untuk dipilih kembali) yang ditentukan oleh Undang-Undang Dasar. Pada
tahun 1960 Ir.Soekarno membubarkan DPR hasil pemilu padahak dalam penjelasan
UUD 1945 secara eksplisit dijelaskan presiden tidak mempunyai wewenang untuk
berbuat demikian”.15

Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong yang mengganti Dewan Perwakilan Rakyat pilihan
rakyat ditonjolkan peranannya sebagai pembantu pemerintah, sedangkan fungsi kontrol
ditiadakan. Bahkan pemimpin DPR dijadikan mentri dan dengan demikian ditekankan fungsi
pembantu presiden, di samping fungsi sebagai wakil rakyat. Hal terakhir ini mencerminkan
telah ditinggalkannya doktrin Trias Politika.16

Penyimpangan lain dalam demokrasi terpimpin adalah campur tangan presiden dalamm
bidang Yudikatif seperti presiden diberi wewenang untuk melakukan intervensi di bidang
yudikatif berdasarkan UUD No.19 tahun 1964 yang jelas bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar 1945 dan di bidang Legislatif berdasarkan Peraturan Presiden No.14 tahun 1960
dalam hal anggota DPR tidak mencapai mufakat mengenai suatu hal atau sesuatu rancangan
Undang-Undang.

Selain itu terjadi penyelewengan di bidang perundang-undangan di mana pelbagai


tindakan pemerintah dilaksanakan melalui Penetapan Presiden (Panpres) yang memakai Dekrit

14
Hak Budget adalah badan legislatif untuk menentukan besarnya pembelajaan dan pengeluaran (semasa
pemerintahan) seperti pembelian alat-alat negara, biaya rekonstruksi suatu proyek negara yang dapat
mendukung badan legislatif agar semua program yang telah direncanakan dapat terlaksana dengan baik.
15
Budiardjo, Op. Cit.,hal.130.
16
Doktrin ini menjelaskan adanya pembagian kekuasaan antara kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif
sehingga tidak terjadi perebutan kekuasaan dan setiap kekuasaan dapat menjalankan fungsi dan perannya
dengan baik.

8
5 Juli 1959 sebagai sumber hukum. Tambahan pula didirikan badan-badan ektra kontitusional
seperti front nasional yang ternyata dipakai oleh pihak komunis sebagai arena kegiatan, sesuai
denga taktik komunisme internasional yang menggariskan pembentukan front nasional sebagai
persiapan ke arah terbentuknya demokrasi rakyat.

Partai politik dan pers dianggap menyimpang dari rel revolusi ditutup, tidak
dibenarkan, dan ditutup, sedangkan politik mercusuar di bidang hubungan luar negeri dan
ekonomi dalam negeri telah menyebabkan keadaan ekonomi menjadi bertambah suram. Pada
masa orde lama terjadi persaingan antara Angkatan Darat, Presiden, dan PKI17. Persaingan ini
mencapai klimaks dengan meletusnya perisiwa Gerakan 30 September 1965 yang dilakukan
oleh PKI. Ketika itu bangsa Indonesia didominasi oleh partai komunis yang sangat kuat.

Awal Orde Baru

Peristiwa Gerakan 30 September PKI18 mengakhiri masa Demorasi Tepimpin yang


dengan demikian masa orde lama pun berakhir. Malalui ketetapan MPRS No.II tahun 1667,
jabatan Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan negara dicabut dari tangan Bung
Karno. Dengan ketetapan MPRS No.XXXXIV tahun 1968, Jendral Soeharto dipilih MPRS
sebagai presiden19. Dengan demikian, masa orde lama berganti dengan masa orde baru dengan
Soeharto sebagai aktor utamanya.

17
Saleh,Op.Cit.,hal.150.
18
Ketika Indonesia merasakan dominasi partai komunis, PKI di bawah pimpinan DN Aidit melakukan
pemberontakan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah yang menyebabkan malapetakan nasional,
sehingga bangsa Indonesia harus mengalami penderitaan yang sangat tragis , baik di bidang ekonomi, politik,
sosial, budaya, dan Hankam.
19
Budiardjo,Op.Cit.,hal.311.

9
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Kekuasaan eksekutif di Indonesia mengalami perkembangan dari masa ke masa. Sistem


pemerintahn presidensial yang diberlakukan pada sistem pemerintahan negara Indonesia serta
demokrasi sebagai alatnya, di mana esensinya adalah kedaulatan di tangan rakyat, toh masih
terdapat banyak intrik dan skandal di dalamnya. Ada begitu banyak defiasi dan keboborokan
yang terjadi dalam kekuasaan eksekutif pada negara Indonesia dari waktu ke waktu.

Tetapi hal ini bukanlah sebatas renungan belaka ataupun sebuah sejarah yang pernah
kita lewati. Segala hal yang telah terjadi pada kekuasaan eksekutif pada masa orde lama
hendaknya menjadi pembelajaran politik bagi kekuasaan eksekutif pada era reformasi sekarang
ini.

Masyarakat Indonesia membutuhkan kekuasaan eksekutif yang menjalankan tugas


fungsi, dan perannya dengan baik, bukan kekuasaan eksekutif yang penuh dengan korupsi,
kolusi, dan nepotisme. Oleh karena itu, dituntut adanya atensi pada setiap kekuasaan dalam
ajaran trias politika untuk dapat menjalankan checks and balances sebagaimana mestinya,
sehingga dari waktu ke waktu kekuasaan eksekutif di Indonesia dapat beradaptasi dengan
perubahan zaman yang semakin modern, menjaga relevansinnya dengan kehidupan modern,
sertra mengadakan transformasi politik ke arah yang lebih baik.

Selain itu juga dituntut kerja sama yang baik antara para stake holder termasuk di
dalamnya adalah masyarakat, untuk dapat memberikan kritik konstruktif yang dapat
membangun kekuasaan eksekutif di negara Indonesia sehingga menjadi lebih efisien, efektif,

10
responsif,dan berkredibelitas. Bukan kritik destruktif yang malah matikan kinerja kekuasaan
eksekutif di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Budiardjo, Miriam.2009.Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama

Kansil, C.S.T.1981.Sitem Pemerintahan Indonesia. Jakarta: Aksara Baru

Saleh, Hassan.2009. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Audi Grafika

Tamin, Azian dan Azran Jalal, et. al.2005. Profil Politik Indonesia Pasca Orde Baru. Jakarta:
Pusat Studi Politik Madani Institute

11
12

Anda mungkin juga menyukai