Anda di halaman 1dari 5

Positivisme hukum dikenal sebagai suatu teori hukum yang menganggap bahwa pemisahan

antara hukum dan moral, merupakan hal yang teramat penting. Positivisme membedakan secara
tajam antara: “ What it is for a norm to exist as a valid law standard” dengan “what it is for a norm
to exist as a valid moral standard” (baca: Roger A. Shiner, dalam Dennis Petterson, 1999). Jadi
positivismes secara tegas membedakan “Apa yang membuat suatu norma menjadi eksis sebagai
suatu standar hukum yang valid” dan “apa yang membuat suatu norma menjadi eksis sebagai
suatu standar moral yang valid”. 1

Bagi kaum positivis, norma-norma hukum yang tergolong “bengis” pun dapat diterima
sebagai hukum, asalkan memenuhi kriteria formal yang ada tentang hukum. Positivisme menerima
kemungkinan adanya hukum yang tidak adil atau yang dirasakan tidak adil tetapi ia tidak berhenti
menjadi hukum karena ia dirasakan tidak adil. 1

John Austin (1790-1859) sebagai “The founding father of legal positivism” , menurut John
Austin: “Law is a command set, either directly or circuitously, by a sovereign individual or body,
to a member or members of some independent political society in which his authority is supreme”
Jadi, hukum adalah seperangkat perintah, baik langsung ataupun tidak langsung, dari pihak yang
berkuasa kepada warga masyarakatnya yang merupakan masyarakat politik yang independen di
mana otoritasnya ( pihak yang berkuasa) merupakan otoritas tertinggi)1

Command Theory (teori perintah) John Austin pada masa hidupnya (1790-1859), bukunya
berjudul the Province of Jurisprundence determined (1832). Inti teorinya :2

1) Law are general commands lead down by superiors to guide the action of those under them
(Hukum adalah perintah yang bersifat umum ditetapkan oleh yang berdaulat sebagai
pedoman berperilaku bagi masyarakat dibawah penguasa).
2) The general commands lead down by god for human constitute divine law and impossed
moral obligation. Those who act contrary to such rules are liable to punishment of the
hands of god ( Perintah yang bersifat umum yang ditetapkan oleh tuhan bagi manusia
merupakan hukum tuhan dan menentuka kewajiban moral).
3) The general command lead down by political rules constituted positive law and imposed
law obligation. Those who act contrary to such rules are liable to punishment at the hand
1
Prof. DR. Achmad Ali, S.H.,M.H, “ Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial
Prudence), Volume 1.
2.
Prof. DR. I Dewa Gede Atmadja,S.H.,M.S dan Dr. I Nyoamn Putu Budiartha,S.H,M.H, “Teori-Teori
Hukum”, intrans publishing.
of the political rules ( or their desineted agents) (Perintah yang bersifat umum yang
ditetapkan oleh pengusaha politik merupakan hukum positive dan menentukan kewajiban
hukum. Mereka yang berperilaku bertentangan dengan peraturan hukum poistiv dapat
dikenakan hukuman yang ditentukan oleh penguasa politik atau ditangan yang mewakili)
4) Some of the rules found in society are not lead down of inforced by the political rules,
certain of these rules are lead down by superiors in private organitation, (Sementara
peraturan dibentuk masyarakat tidak ditetapkan atau ditegaskan oleh penguasa politik.
Beberapa peraturan-peraturan ini ditetapkan oleh pemimpin perkumpulan organisasi
perdata).
5) Others are not lead down by anyone at all and are enforced by general opinion. They
concist of informal standard of behaviour that society expects individuals to abide.
Eventough the political rules will not punish person for violating these informals standards
(Peraturan lainya yang sama sekali tidak ditetapkan dari siapapun dan ditegakkan oleh
opini public. Peraturan itu terdiri dari norma-norma informal untuk berperilaku yang
diharapkan masyarakat mengikat individu. Meskipun penguasa politik tidak akan
menghukum setiap orang yang melanggar norma-norma informal tersebut).

Eksponen positivism lain, Hans Kelsen mengemukakan bahwa: “Law is coercive order of
huma behaviour, it is the primary norm which stipulates of sanction” (Hukum adalah suatu
perintah memaksa terhadap perilaku manusia. Hukum adalah kaidah primer yang menetapkan
sanksi-sanksi)1

W. Friedmann (1953) menuliskan bahwa esensi ajaran Hans Kelsen adalah sebagai
berikut:1

1) The aim of theory of law, as of any science, is to reduce chaos and multiplicity to unity
(tujuan teori hukum seperti halnya setiap ilmu, adalah untuk mengurangi kekalutan serta
meningkatkan kesatuan)
2) Legal theory is science, not volition. It is knowledge of what the law is, not of what the law
not to be (teori hukum adalah ilmu, dan bukan kehendak. Ia adalah pengetahuan tentang
hukum yang ada, dan bukan tentang hukum yang seharusnya yang ada)
1
Prof. DR. Achmad Ali, S.H.,M.H, “ Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial
Prudence), Volume 1.
2.
Prof. DR. I Dewa Gede Atmadja,S.H.,M.S dan Dr. I Nyoamn Putu Budiartha,S.H,M.H, “Teori-Teori
Hukum”, intrans publishing.
3) The law is normative not a natural science (Ilmu hukum adalah normatif, dan bukan ilmu
alam)
4) Legal theory as a theory of norms is not concerned with the effectiveness of legal norms (
Teori hukum sebagai suatu teori tentang norma-norma, tidaklah berurusan dengan
persoalan efetivitas norma-norma hukum)
5) A theory of law is formal, a theory of the way of ordering changing contents in specific
way ( Suatu teori tentang hukum sifatnya formal, merupakan suatu teori tentang cara
pengaturan da nisi yang berubah-ubah menurut jalan atau pola yang spesifik)
6) d. The relation of legal theory to a particular system of positive law is that or possible to
actual law ( Hubungan antara teori hukum dengan suatu sistem hukum positif tertentu,
adalah sama halnya dengan hubungan antara hukum yang mungkin dan hukum yang ada)

Ada tiga ajaran utama Hans Kelsen, yaitu:1

a. Ajaran hukum murni


b. Ajaran tentang Grundnorm
c. Ajaran tentang Stufenbautheorie

Eksponen terkemuka lain positivism adalah Herbert Lionel Adolphus Hart. Hart (1961)
memandang hukum terdiri dari aturan-aturan yang dibedakan dalam dua jenis, yaitu aturan primer
dan aturan sekunder. 1

Dikemukakan oleh Deryck Beylevald dan Roger Brownsword (1986) bahwa Hart
menginterventarisasi esensi ajaran positivisme hukum, yaitu:2

1) The contention of that laws are commands of human beings (Pendirian bahwa hokum
perintah bagi umat manusia)
2) The contention that there is no necessary connection between law and morals, or law as it
and ought to be ( Pendirian bahwa tidak perlu mengaitkan antara hokum dan moral atau
antara hokum positif dengan hukum yang seharusnya)
3) The contention that the analysis (or the study of meaning) of legal concept is (a) worth
pursuing and (b) to be distinguished from historical inquaries into the causes of origin of
law, from sociological inquaries into the relation of law and other social phenomena and
1
Prof. DR. Achmad Ali, S.H.,M.H, “ Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial
Prudence), Volume 1.
2.
Prof. DR. I Dewa Gede Atmadja,S.H.,M.S dan Dr. I Nyoamn Putu Budiartha,S.H,M.H, “Teori-Teori
Hukum”, intrans publishing.
from criticism or appraisal of wether in term of morals social aims, functions, or otherwise;
(pendirian bahwa analisis peroleh manfaat, dan (b) dibedakan dari penelitian sejarah dalam
hal sebab atau asal usul hukum, dari penelitian sosiologi dalam hal hubungan hukum dan
gejala social lainnya, dan dari kritisisme atau penilain pada hukum apakah dalam arti
moral, tujuan social, fungsi, atau tujuan yang lainya.
4) The contention that a legal system is ‘closed logical system’ in which correct legal decision
can be deduced by logical means from predetermined legal rules without references to
social aims, polices, and morals standard, (Pendirian bahwa system hukum adalah system
logika tertutup dalam mana putusna hukum yang benar dapat disimpulkan dengan sarana
logika dalam mengantisipasi aturan hukum tanpa merujuk tujuan social, kebijakan, dan
tolak ukur moral.
5) The contention that moral judgement cannot be established or divended, as statement of
fact can, by rational argument, evidence, or proof ( non congnitivism in ethics) (Pendirian
bahwa pertimbangan moral tidak mapan atau tidak dapat dipertahankan atau tidak
tergantung sebagai pernyataan yang didapatkan dari fakta, argument rasional, petunjuk
atau bukti ( bukan aliran pengetahuan dalam hal etika)

Menurut Coleman, “tesis pemisahan” (separation thesis) hukum dan moral adalah sifat esensial
dari doktrin postivisme hukum. Dikemukakan oleh Coleman, sebagai berikut:

“Legal positivist claim that there is no necessary connection between the conceptual and
normative element of the theory of law. Above all else, positivist have incisted on distinguishing
between law as it is and as it ought to be ( Penganut positivis menyatakan tidak perlu mengaitkan
antara unsur konseptual dan unsur normative pada teori hukum. Diatas semuanya itu, kaum
positivis telah dengan tegas membedakan antara hukum positive (ius constitutum) dan hukum yang
seharusnya (ius constituendum)”.2

Menutut Charles Sampord (1989) , positivisme hukum menyiapkan suatu titik tolak alami
untuk membahas teori-teori sistem hukum. Orang-orang yang menamakan dirinya sebagai kaum
positivis tidak hanya menggunakan istilah sistem secara lebih bebas (liberal) ketimbang sebagian
besar teoritisi lain, tetapi sebagian besar dari kalangan positivis menganggap bahwa karakteristik
sistematik hukum juga merupakan ciri paling sentral dari gambaran mereka tentang hukum.1
1
Prof. DR. Achmad Ali, S.H.,M.H, “ Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial
Prudence), Volume 1.
2.
Prof. DR. I Dewa Gede Atmadja,S.H.,M.S dan Dr. I Nyoamn Putu Budiartha,S.H,M.H, “Teori-Teori
Hukum”, intrans publishing.
Positivisme hukum lahir dari teori-teori hukum alam dengan menekankan peran pranata-
pranata manusia dalam menentukan hukum. Ketika penekanan ini berkembang, sejalan dengan
peningkatan actual dalam kekuasaan yang dimiliki oleh pranata-pranata tersebut, kaum positivis
mulai menganggap diri mereka sendiri sebagai berbeda dari para lawyer hukum alam dalam hal
bahwa mereka melihat hukum sebagai suatu fenomena manusiawi dan social ketimbang sebagai
fenomena ilahiah, metafisik, atau alami.1

1
Prof. DR. Achmad Ali, S.H.,M.H, “ Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial
Prudence), Volume 1.
2.
Prof. DR. I Dewa Gede Atmadja,S.H.,M.S dan Dr. I Nyoamn Putu Budiartha,S.H,M.H, “Teori-Teori
Hukum”, intrans publishing.

Anda mungkin juga menyukai