Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Pendidikan adalah senjata yang paling ampuh untuk meningkatkan kualitas hidup
dan penghidupan manusia. Untuk itu, sudah banyak ahli pendidikan yang melakukan riset
tentang bagaimana cara melaksanakan pendidikan dengan baik, terutama dalam
memberikan pengalaman belajar kepada siswa.

Hasil dari riset para pakar pendidikan tersebut, berkembang secara dinamis
seiring perkembangan zaman dan seiring sempurnanya cara yang digunakan sesuai
dengan karakter pendidik. Mulai dari cara klasikal (tradisional) yang memusatkan
pembelajaran hanya pada guru sampai pada cara yang inovatif yang memusatkan
pembelajaran pada siswa dan guru sebagai fasilitator.

Pembelajaran yang inovatif ini di antaranya pembelajaran dengan menggunakan


teori pembelajaran konstruktivis dan sosiokultural. Kedua pendekatan ini sebenarnya satu
kesatuan yang awalnya ditemukan teori konstruktivis dan kemudian berkembang menjadi
teori pembelajaran sosiokultural. Baik, teori pembelajaran konstruktivis maupun teori
pembelajaran sosiokutural sudah memberikan dampak positif bagi kemajuan pendidikan
di kalangan pendidikan Eropa. Hal ini, dikarenakan pelaksanaan kedua teori ini berjalan
dengan baik dan sesuai prosedur yang ada. Untuk itu, penting sekali bagi para pendidik
untuk memahami lebih dalam tentang kedua teori pembelajaran tersebut untuk mencapai
pendidikan yang maju.

A. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Kontruktivisme ?
2. Bagaimana Teori Belajar Kontruktivisme ?
3. Bagaimana Paradigma kontruktivisme dalam pembelajaran ?
4. Apakah Dasar Terbentuknya Teori Sosio-Kultural ?
5. Bagaimana Konsep Teori Sosio-Kultural ?
6. Sebutkan dan Jelaskan Pengaruh Sosio-Kultural Pada Perkembangan Kognisi ?

1
7. Bagaimana Aplikasi Teori Sosio-Kultural ?
8. Apakah Kelebihan Dan Kekurangan Teori Sosio-Kultural ?

B. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui Kontruktivisme, Teori dan Paradigma dalam Pembelajaran
2. Untuk mengetahui Dasar terbentuknya Sosio Kultural, Konsep dan Pengaruh pada
perkembangan Kognisi
3. Untuk mengetahui Aplikasi Sosio-Kultural beserta Kelebihan dan Kekurangan Teori
Sosio-Kultural

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Konstruktivisme
Konstruktivesme adalah sebuah filosofi pembelajaran yang dilandasi premis
bahwa dengan merefleksikan pengalaman, kita membangun, mengkonstruksi
pengetahuan pemahamam kita tentang dunia tempat kita hidup. Setiap kita akan
menciptakan hukum dan model mental kita sendiri, yang kita pergunakan untuk
menafsirkan dan menerjemahkan pengalaman. belajar, dengan demikian, semata-mata
sebagai suatu proses pengaturan model mental seseorang untuk mengakomodasi
pengalaman-pengalaman baru. 1

Istilah konstruktivesme sendiri sebenarnya sudah dapat dilacak dalam karya


Bertlett (1932), kemudian juga Mark Baldwin yang secara lebih rinci diperdalam oleh
Jean piaget, kemudian konsep piaget ini disebar luaskan di Amerika utara (meliputi
Amerika Serikat dan Kanada) oleh Ernest Von Glasersfeld. Namun, konsep terkait
dengan konstruktivesme (walau saat itu belum mempergunakan istilah konstruktivesme
bahkan sudah di ungkap oleh Giambattista vico pada tahun 1710, yang menyatakan
bahwa makna “mengetahui berarti mengetahui bagaimana membuat sesuatu. Ini berarti
bahwa seseorang itu dapat dikatakan mengetahui sesuatu, baru jika ia dapat menjelaskan
unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu. Lebih jelasnya ia pernah mengalami
sesuatu itu, mungkin beberapa kali dan ada penerimaan dalam struktur kognitifnya,
sebagai hasil proses berpikirnya (process of mind), tentang apa sesungguhnya sesuatu itu.
Jadi sesuatu itu telah diketahuinya karena telah di konstruksikan dalam pikiranya.
Sementara itu sejumlah ahli lain berpendapat bahwa konstruktivesme sebagai salah satu
bentuk pragmatisme, oleh sebab itu dapat dimaklumi jika tokoh pragmatisme, John
Dewey yang terkenal dengan konsep belajar dengan melakukan (learning by doing)
dikategorikan sebagai konstruktivesme.

1
Suyono, Belajar dan pengajaran , (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2012), hlm 105.

3
Konstruktivesme melandasi pemikiranya bahwa pengetahuan bukanlah sesuatu
yang given dari alam karena hasil kontak manusia dengan alam, tetapi pengetahuan
merupakan hasil konstruksi (bentukan) aktif manusia itu sendiri pengetahuan bukanlah
suatu tiruan dari kenyataan (realitas). Pengetahuan bukanlah gambaran dari dunia
kenyataan yang ada pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif
kenyataan melalui kegiatan seseorang.

Konstruktivisme percaya bahwa pembelajaran mengkonstruksi sendiri realitasnya


atau paling tidak menerjemahkannya berlandaskan persepsi tentang pengalaman-nya,
sehingga pengetahuan individu adalah sebuah fungsi dari pengalaman sebelumnya, juga
struktur mentalnya, yang kemudian digunakanya untuk menerjemahkan objek-objek serta
kejadian kejadian baru.

Asumsi asumsi dasar dari konstruktivesme seperti yang di ungkap oleh Merril
(1991) adalah sebagai berikut.2
1. Pengetahuan dikonstruksikan melalui pengalaman
2. Belajar adalah penafsiran personal tentang dunia nyata
3. Belajar adalah sebuah proses aktif dimana makna dikembangan berdasarkan
pengalaman
4. Pertumbuhan konseptual berasal dari negoisasi makna, saling berbagi tentang
persepektif ganda dan pengubahan representasi melalui pembelajaran
kolaboratif
5. Belajar dapat dilakukan dalam setting nyata ujian dapat diintegrasikan dengan
tugas-tugas dan tidak merupakan aktivitas yang terpisah (penilaian autentik).

Driver and Bell dalam Hamzah (2008) mengemukakan karakteristik


pembelajaran konstruktivesme sebagai berikut:
1. Siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki
tujuan

2
Suyono, Belajar dan pengajaran , (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2012), hlm 106.

4
2. Belajar harus mempertimbangkan se-optimal mungkin proses
keterlibatan siswa
3. Pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar, melainkan
dikonstruksi secara personal.
4. Pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan
pengetahuan situsi lingkungan belajar
5. Kurikulum bukanlah sekadar hal yang di pelajari melainkan
seperangkat pembelajaran, materi dan sumber.

Prinsip-prinsip pemandu dalam konstruktivisme, yaitu:3

a. Belajar merupakan pencarian makna. Oleh sebab itu pembelajaran harus


dimulai dengan isu-isu yang mengakomodasi siswa untuk secara aktif
mengkonstruktur makna.
b. Pemaknaan memerlukan pemahaman bahwa keseluruhan (wholes) itu sama
pentingnya seperti bagian-bagiannya. Sedangkan bagian-bagian harus
dipahami dalam konteks keseluruhan. Oleh karenanya proses pembelajaran
berpokus terutama pada konsep-konsep primer dan bukan kepada fakta-fakta
yang terpisah.
c. Supaya dapat mengajar dengan baik, guru harus memahami model-model
mental yang dipergunakan siswa terkait bagaimana cara pandang mereka
tentang dunia serta asumsi-asumsi yang disusun yang menunjang model
mental tersebut.
d. Tujuan pembelajaran adalah bagaimana setiap individu mengkonstruksi
makna, tidak sekedar mengingat jawaban apa yang benar dan menolak makna
milik orang lain. Karena pendidikan pada fitrahnya memang antar disiplin,
satu-satunya cara yang menyakinkan untuk mengukur hasil pembelajaran
adalah melakukan penilaian terhadap bagian-bagian dari proses pembelajaran
menjamin bahwa setiap siswa akan memperoleh informasi tentang kualitas
pembelajaranya.

3
Suyono, Belajar dan pengajaran , (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2012), hlm 107.

5
B. Teori Belajar Konstruktivisme
a. Teori Konstruktivisme Piaget
Teori piaget berlandaskan gagasan bahwa perkembangan anak bermakna
membangun struktur kognitifnya atau peta mentalnya yang di istilahkan
“schema/skema (jamak=skemata)”, konsep jejaring untuk memahami dan
menanggapi pengalaman fisik dalam lingkungan di sekelilingnya. Konsep sekema
sendiri sebenarnya sudah banyak di kembangkan oleh para ahli linguistik, psikologi
kongnitif dan psikolingguistik yang di gunakan untuk menjelaskan dan memahami
adanya interaksi antara sejumlah faktor kunci yang berpengaruh terhadap proses
pemahaman. Secara ringkas dijelaskan bahwa menurut teori skema, diorganisasikan
menjadi unit-unit di dalam unit-unit pengetahuan ini atau skema ini disimpanlah
informasi sehingga skema dapat dimaknai sebagai suatu deskripsi umum atau suatu
sistem konseptual untuk memahami pengetahuan tentang bagaimana pengetahuan itu
dinyatakan atau tentang bagaimana pengetahuan itu diterapkan.4

Lebih lanjut Piaget menyatakan bahwa struktur kognitif anak meningkatkan


sesuai dengan perkembangan usianya, bergerak dari sekadar refleks-refleks awalnya
seperti menangis dan menyusu, menuju aktivitas mental yang kompleks. Dasarnya
tentu saja teori perkembangan kognitif, sehingga beberapa konsep pokok seperti
skema, asimilasi dan akomodasi tetap relevan karena memang teori kognitivisme
piaget memiliki kesinambungan hubungan dengan teori konstruktivisme. Banyak ahli
turut mendukung dan berkecimpung dalam teori konstruktivisme ini.

Hamzah mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme,


yaitu sebagai berikut :
1. Peran aktip siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna.
2. Pentingnya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara
bermakna.
3. Mengkaitkan atara gagasan dengan informasi baru yang di terima.

4
Suyono, Belajar dan pengajaran , (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2012), hlm 107.

6
Wheatley, pada sumber yang sama mendukung pendapat Tasker tersebut dengan
mengajukan dua prinsip utama dalam pembelajaran sesuai konstruktivisme, yaitu:

1. Pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh
struktur kognitip siswa.
2. Fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian skema
melalui pengalaman nyata anak.5

Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori
belajar konstruktivisme, Hanbury (1996) mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitanya
dengan pembelajaran, yaitu:

1. Siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide yang


mereka miliki
2. Pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti
3. Strategi siswa sendiri lebih bernilai
4. Siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling tukar pengalaman
dan pengetahuan dengan teman-nya.

Dalam upaya implementasi teori belajar konstruktivisme, Tytler (1996)


mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran antara lain:6

1. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasan dalam


bahasanya sendiri
2. Memberi kesempatan kepada siswa untuk berpikir tentang pengalamanya
sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif
3. Memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru
4. Memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki
siswa,
5. Mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka
6. Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif

6
Suyono, Belajar dan pengajaran , (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2012), hlm 109.

7
Dampak teori konstruktivisme piaget terhadap pembelajaran, yaitu:

a. Kurikuum – pendidik harus merencanakan kurikulum yang berkembang


sesuai dengan peningkatan logika anak dan pertumbuhan konseptual anak
b. Pengajaran – guru harus lebih menekankan pentingnya peran pengalaman bagi
anak, atau interaksi anak dengan lingkungan disekelilingnya. Misalnya guru
harus mencermati peran penting konsep-konsep fundamental, seperti
kelestarian objek-objek serta permainan yang menunjang struktur kognitif

b. Teori konstruktivisme sosial dari Vygotsky

Sebagai seseorang yang di anggap pionir dalam filosofi konstruktivisme vygotsky


lebih suka menyatakan teori pembelajaran sebagai pembelajaran kognisi sosial (social
cognition). Pembelajaran kognisi sosial menyakini bahwa kebudayaan merupakan
penentu utama bagi pengembangan individu. Manusia merupakan satu-satunya spesies
di atas dunia ini yang memiliki kebudayaan hasil rekayasa sendiri, dan setiap anak
manusia berkembang dalam konteks kebudayaan sendiri. Oleh karenanya,
perkembangan pembelajaran anak dipengaruhi banyak maupun sedikit oleh
kebudayaanya termasuk budaya dari lingkungan keluarganya, dimana ia berkembang.7

Beberapa kunci pemikiran kognisi sosial dari vygotsky antara itu adalah:
1. Kebudayaan menciptakan dua macam konstribusi terhadap perkembangan
intelektual anak. Pertama, melalui kebudayan anak mendapatkan sebagian besar
kandungan hasil pemikiranya yaitu pengetahuanya. Kedua, Kebudayaan
disekelilingnya menyediakan bagian anak proses-proses atau memberi makna
terhadap hasil pemikiranya, hal ini oleh vygotsky disebut sebagai perangkat-
perangkat yang diperlukan bagi adaptasi intelektual. Pendekatanya menurut teori
pembelajaran model kognisi-kognisi sosial, kebudayaan mengajari siswa tentang
apa berpikir itu dan bagaimana berpikir itu
2. Perkembangan kognitif yang dihasilkan dari sebuah proses dialektika dimana
seorang siswa belajar melalui pengalaman pemecahan masalah akan dipakainya

7
Suyono, Belajar dan pengajaran , (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2012), hlm 109.

8
untuk saling berbagai dengan orang lain, biasanya dengan orang tua atau guru
tetapi kadang-kadang dengan teman sebanyaknya atau dengan anak-anak yang
lebih kecil
3. Pada awalnya sesorang yang berinteraksi dengan anak beranggapan bahwa dia
lebih dibebani tanggung jawab untuk memadu anak-anak dalam menyelesaikan
masalah, tetapi secara bertahap tanggung jawab ini akan lebih dibebankan kepada
anak
4. Bahasa adalah bentuk primer dari interaksi, melalui orang dewasa membagi
kekayaan pengetahuan yang terkandung dalam kebudayaan kepada anak.
5. Sebagai hasil kemajuan belajar, anak-anak memiliki bahasanya sendiri yang
dipergunakanya sebagai perangkat primer bagi adaptasi intelektualnya bahkan
kadang-kadang anak-anak dapat menggunakan bahasanya sendiri untuk
mengarahkan perilakunya
6. Internalisasi mengacu kepada proses pembelajaran, dengan demikian dalam
melakukan internalisasi (internalizing) terhadap kebudayaan. 8

C. Paradigma kontruktivisme dalam pembelajaran

1. Memahami paradigma kontruktivisme


Kontrukvisme merupakan respons terhadap berkembangannya harapan-
harapan baru berkaitan dengan proses pembelajaran yang mengiginkan peran aktif
siswa dalam merekayasa dan memprakarsai kegiatan belajarnya sendiri. hampir
semua kalangan yang terlibat di dalam mengkaji masalah-masalah pembelajaran
mengetahui bahwa kontruktivisme merupakan paradigma alternatif pembelajaran
yang muncul sebagai akibat revolusi ilmiah yang terjadi beberapa dasawarsa
belakangan ini.9

Dalam mencermati realitas kehidupan sehari-hari, para kontruktivisis


memercayai bahwa pengetahuan itu ada dalam diri seseorang yang sedang
berusaha mengetahui. Pengetahuan tidak dapat di pindahkan begitu saja dari otak

8
Suyono, Belajar dan pengajaran , (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2012), hlm 110.
9
Suyono, Belajar dan pengajaran , (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2012), hlm 111.

9
seseorang (guru) ke kepala orang lain (siswa). Siswa sendirilah yang mengartikan
apa yang telah di ajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman mereka
(lorsbach & tobin, 1992).
Pengetahuan yang dimiliki seseorang terkait erat dengan pengalaman-
pengalamanya. tanpa pengalaman seseorang tidak dapat membentuk pengetahuan.
Dalam konteks ini, pengalaman tidak, hanya diartikan sebagai pengalaman fisik
seseorang sebagaimana kita pahami dalam kehidupan kita sehari-hari.

Demikian itu terjadi secara terus-menerus, belajar mememukakan ide atau


pikiran serta pengalaman-pengalamanya, semuanya akan menjadi pengalaman
yang sangat penting bagi siswa. kemampuan membandingkan mempuyai arti
penting dalam mendukung kemampuan mengkontruksi pengetahuan, karena
melalui kemampuan tersebut seseorang dapat menarik sifat-sifat yang lebih umum
dari pengalaman-pengalaman khusus serta melihat kesamaan dan perbedaanya
untuk membuat klarifikasi dan membangun suatu pengetahuan.

Dalam sebuah kesimpulannya Glasersfeld dan Kitchener (1987)


memberikan penekanan tentang 3 hal mendasar berkaitan dengan pemahaman
terhadap gagasan kontruktivisme yaitu:10
a. Pengetahuan merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi selalu
merupakan kontruksi kanyataan melalui kegiatan subjek.
b. Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep dan struktur yang perlu
untuk pengetahuan.
c. Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang, struktur konsepsi
membentuk pengetahuan dan konsepsi itu berlaku bila berhadapan dengan
pengalaman-pengalaman seseorang.

2. Implementasi kontruktivisme dalam pembelajaran

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa dalam pandangan


kontruktivisme, belajar merupakan peroses mengkonstruksi pengetahuan melalui

10
Aunurahman, Belajar dan Pembelajaran, (Bandung : ALFABETA, 2014), hlm 18.

10
keterlibatan fisik dan mental siswa secaera aktif belajar merupakan suatu proses
mengasimilasikan dan menghubungkan bahan yang di pelajari dengan
pengalaman-pengalaman yang di miiki seseorang sehinnnga pengetahuanya
tentang objek tertentu menjadi lebih kokoh.11

Karena itu, terdapat beberapa hal prinsip yang berkaitan dengan


pemahaman tentang belajar:

a. belajar berarti membentuk makna. makna dalam hal ini merupakan hasil
bentukan siswa sendiri yang bersumber dari apa yang mereka lihat, dengar,
rasakan dan alami. kantruksi dalam artian ini terkait dengan pengertian yang
telah ia miliki
b. kontruksi berarti merupakan suatu proses yang berlangsung secara dinamis.
setiap kali seseorang berhadapan dengan fenomena atau pengalaman-
pengalaman baru, siswa melakukan rekontruksi
c. secara subtansial belajara bukanlah aktifitas menghimpun tahta atau
informasi, akan tetapi lebih kepada upaya pengembangan pemikiran-
pemikiran baru.
d. proses belajar yang sebenarnya terjadi ketika skema pemikiran seseorang
dalam keraguan yang menstimulir pemikiran–pemikiran lebih lanjut.
e. hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman siswa tentang lingkungannya.
f. hasil belajar siswa tergantung dari apa yang telah ia ketahui, baik berkenaan
dengan pengertian,konsep,pormula dan sebagainya.

Konstruktivesme mengundang kegiatan belajar merupakan kegiatan aktif


siswa dalam upaya menemukan pengetahuan, konsep, kesimpulan, bukan
merupakan kegiatan mekanistik untuk mengumpulkan informasi atau fakta.
Dalam proses pembelajaran siswa bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya
sendiri.

11
Aunurahman, Belajar dan Pembelajaran, (Bandung : ALFABETA, 2014), hlm 18.

11
Karena siswa yang aktif berperan membangun pengetahuan dan
pengetahuan dan pemahamanya sendiri, maka setiap siswa harus mengetahui
kekuatan dan kelemahan yang ia miliki.

Meskipun menurut pandangan konstuktivis upaya membangun


pengetahuan dilakukan oleh siswa melalui kegiatan belajar yang ia lakukan,
namun peran guru tetap menempati arti penting dalam proses pembelajaran.
Dalam kegiatan pembelajaran fungsi guru sebagai mediator dan fasilitator dapat
dijabarkan dalam beberapa wujud tugas sebagai berikut.12

1. Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan murid bertanggung


jawab dalam membuat rancangan, proses dan penelitian.
2. Memberikan kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa dan membantu
mereka untuk mengekspresikan gagasan-gagasanya serta ide-ide ilmiahnya.
3. Memonitor, mengevaluasi dan menunjukkan apakah pemikiran-pemikiran
siswa dapat didorong secara aktif
Beberapa tindakan spesifik yang perlu dilakukan guru untuk mengoptimalisasi
peranya dalam proses pembelajaran;
a. Untuk meningkatkan kecermatan guru dalam mengerti apa yang sudah
siswa ketahui, maka diperlukan peningkatan intensitas interaksi antara
guru dan siswa.
b. Tujuan pembelajaran dan aktivitas-aktivitas di kelas sebaiknya
dibicarakan bersama dengan siswa agar mereka dapat berperan aktif dalam
kegiatan-kegiatan tersebut dan mendapat pengalaman belajar melalui
keterlibatan langsung di kelas.
c. Guru berupaya secara insentif untuk mengetahui pengalaman-pengalaman
belajar yang sesuai dengan kebutuhan siswa.
d. Guru perlu berupaya mendorong tumbuhnya rasa percaya diri siswa.
e. Guru perlu bersikap fleksibel, membina keakraban dengan siswa sehingga
semakin dapat memahami pemikiran-pemikiran siswa serta kebutuhan-
kebutuhan mereka.

12
Aunurahman, Belajar dan Pembelajaran, (Bandung : ALFABETA, 2014), hlm 22.

12
D. Dasar Terbentuknya Teori Sosio-Kultural

Ada 2 tokoh yang mendasari terbentuknya teori belajar sosio-kultural:

1. Piaget

Piaget berpendapat bahwa belajar ditentukan karena adanya karsa individu artinya
pengetahuan berasal dari individu. Siswa berinteraksi dengan lingkungan sosial yaitu
teman sebayanya dibanding orang-orang yang lebih dewasa. Penentu utama terjadinya
belajar adalah individu yang bersangkutan (siswa) sedangkan lingkungan sosial menjadi
faktor sekunder.13

Keaktifan siswa menjadi penentu utama dan jaminan kesuksesan belajar,


sedangkan penataan kondisi hanya sekedar memudahkan belajar. Perkembangan kognitif
merupakan proses genetik yang diikuti adaptasi biologis dengan lingkungan sehingga
terjadi ekuilibrasi. Untuk mencapai ekuilibrasi dibutuhkan proses adaptasi (asimilasi dan
akomodasi).

Pendekatan kognitif dalam belajar dan pembelajaran yang ditokohi oleh Piaget
yang kemudian berkembang dalam aliran kontruktivistik juga masih dirasakan
kelemahannya. Teori ini bila dicermati ada beberapa aspek yang dipandang dapat
menimbulkan implikasi kotraproduktif dalam kegiatan pembelajaran, karena lebih
mencerminkan idiologi individualisme dan gaya belajar sokratik yang lazim dikaitkan
dengan budaya barat. pendekatan ini kurang sesuai denga tuntutan revolusi-sosiokultural
yang berkembang akhir-akhir ini.

2. Vygotsky

Jalan pikiran seseorang dapat dimengerti dengan cara menelusuri asal usul
tindakan sadarnya dari interaksi sosial (aktivitas dan bahasa yang digunakan) yang
dilatari sejarah hidupnya. Peningkatan fungsi-fungsi mental bukan berasal dari individu
itu sendiri melainkan berasal dari kehidupan sosial atau kelompoknya.

13
Renataliaa, “Teori Belajar Sosio-Kultural”, https://renataliaa.wordpress.com/2011/05/23/teori-belajar-sosio-
kultural/ (diakses pada 25 Maret 2019, pukul 20.40)

13
Kondisi sosial sebagai tempat penyebaran dan pertukaran pengetahuan,
keterampilan dan nilai-nilai sosial budaya. Anak-anak memperoleh berbagai pengetahuan
dan keterampilan melalui interaksi sehari-hari baik lingkungan sekolah maupun
keluarganya secara aktif. Perolehan pengetahuan dan perkembangan kognitif sesuai
dengan teori sosiogenesis yaitu kesadaran berinteraksi dengan lingkungan dimensi sosial
yang bersifat primer dan demensi individual bersifat derivatif atau turunan dan sekunder,
sehingga teori belajar Vygotsky disebut dengan pendekatan Co-Konstruktivisme artinya
perkembangan kognitif seseorang disamping ditentukan oleh individu sendiri secara aktif,
juga ditentukan oleh lingkungan sosial yang aktif pula.

Menurut Vygotsky perkembangan kognisi seorang anak dapat terjadi melalui


kolaborasi antar anggota dari satu generasi keluarga dengan yang lainnya. Perkembangan
anak terjadi dalam budaya dan terus berkembang sepanjang hidupnya dengan
berkolaborasi dengan yang lain. Dari perspektif ini para penganut aliran sosiokultural
berpendapat bahwa sangatlah tidak mungkin menilai seseorang tanpa mempertimbangkan
orang-orang penting di lingkungannya.

Banyak ahli psikologi perkembangan yang sepaham denga konsep yang diajukan
Vygotsky. Teorinya yang menjelaskan tentang potret perkembangan manusia sebagai
sesuatu yang tidak terpisahkan dari kegiatan-kegiatan sosial dan budaya. Ia menekankan
bahwa proses-proses perkembangan mental seperti ingatan, perhatian, dan penalaran
melibatkan pembelajaran dengan orang–orang yang ada di lingkungan sosialnya. Selain
itu ia juga menekankan bagaimana anak-anak dibantu berkembang dengan bimbingan
dari orang-orang yang sudah terampil di dalam bidang-bidang tersebut.

E. Konsep Teori Sosio-Kultural

Ada 3 konsep penting dalam teori sosiogenesis Vygotsky tentang perkembangan


kognitif sesuai dengan revolusi sosiokoltural dalam teori belajar dan pembelajaran yaitu
genetic law of development, zona of proximal development dan mediasi.14

14
Renataliaa, “Teori Belajar Sosio-Kultural”, https://renataliaa.wordpress.com/2011/05/23/teori-belajar-sosio-
kultural/ (diakses pada 25 Maret 2019, pukul 20.40)

14
a. Hukum genetik tentang perkembangan (genetic law of development)

Menurut Vygotsky, setiap kemampuan seseorang akan tumbuh dan berkembang


melewati dua tataran, yaitu interpsikologis atau intermental dan intrapsikologis atau
intramental. Pandangan teori ini menempatkan intermental atau lingkungan sosial sebagai
faktor primer dan konstitutif terhadap pembentukan pengetahuan serta perkembangan
kognitif seseorang. Sedangkan fungsi intramental dipandang sebagai derivasi atau
keturunan yang tumbuh atau terbentuk melalui penguasaan dan internalisasi terhadap
proses-proses sosial tersebut.

b. Zona perkembangan proksimal (zone of proximal development)

Vygotsky membagi perkembangan proksimal (zone of proximal development) ke


dalam dua tingkat:15

(1) Tingkat perkembangan aktual yang tampak dari kemampuan seseorang untuk
menyelesaikan tugas-tugas atau memecahkan berbagai masalah secara
mandiri (intramental).

(2) Tingkat perkembangan potensial tampak dari kemampuan seseorang untuk


menyelesaikan tugas-tugas dan memecahkan masalah ketika dibawah
bimbingan orang dewasa atau ketika berkolaborasi dengan teman sebaya yang
lebih kompeten (intermental).

Jarak antara keduanya, yaitu tingkat perkembangan aktual dan tingkat


perkembangan potensial ini disebut zona perkembangan proksimal. Zona perkembangan
proksimal diartikan sebagai fungsi-fungsi atau kemampuan-kemampuan yang belum
matang yang masih berada dalam proses pematangan.

15
Renataliaa, “Teori Belajar Sosio-Kultural”, https://renataliaa.wordpress.com/2011/05/23/teori-belajar-sosio-
kultural/ (diakses pada 25 Maret 2019, pukul 20.40)

15
c. Mediasi

Menurut Vygotsky, semua perbuatan atau proses psikologis yang khas manusiawi
dimediasikan dengan psychologis tools atau alat-alat psikologis berupa bahasa, tanda dan
lambang, atau semiotika.16

Ada dua jenis mediasi, yaitu:

(1) Mediasi metakognitif adalah penggunaan alat-alat semiotik yang bertujuan


untuk melakukan self- regulation yang meliputi: self planning, self
monitoring, self checking, dan self evaluating. Mediasi metakognitif ini
berkembang dalam komunikasi antar pribadi.

(2) Mediasi kognitif adalah penggunaan alat-alat kognitif untuk memecahkan


masalah yang berkaitan dengan pengetahuan tertentu atau subject-domain
problem. Mediasi kognitif bisa berkaitan dengan konsep spontan (yang bisa
salah) dan konsep ilmiah (yang lebih terjamin kebenarannya).

F. Pengaruh Sosio-Kultural Pada Perkembangan Kognisi

a. Pengaruh sosial pada perkembangan kognisi

Menurut Vygotsky, anak adalah seorang eksplorer yang mempunyai rasa ingin
tahu tinggi, sangat aktif dalam pembelajaran, selalu ingin menemukan sendiri, dan
mengembangkan pemahaman baru. Namun demikian Vygostky lebih menekankan pada
kontribusi sosial dalam proses perkembangan dan tidak melihat peranan besar dalam
penemuan sendiri. Perkembangan pertama dalam lingkup sosial muncul dalam individu
sebagai kategori interpsikological dan kemudian pada anak sebagai kategori
intrapsikologikal. Contohnya adalah voluntary attention (perhatian otomatis), logical

16
Renataliaa, “Teori Belajar Sosio-Kultural”, https://renataliaa.wordpress.com/2011/05/23/teori-belajar-sosio-
kultural/ (diakses pada 25 Maret 2019, pukul 20.40)

16
memory (memori logis), pembentukan konsep, dan perkembangan kemampuan
memilih.17

Vygostky berpendapat bahwa, pembelajaran pada anak terjadi melalui interaksi


sosial dengan tutor yang lebih berpengalaman, Tutor ini menjadi model dalam
berperilaku atau menyediakan instruksi verbal untuk anak. Model inilah yang disebut
dengan dialog kooperatif atau kolaboratif. Anak mencari pemahaman perilaku atau
instruksi dari tutor, menginternalisasi informasi dan menggunakannya untuk
memformulasikan perilaku mereka.

b. Pengaruh budaya pada perkembangan kognisi

Vygotsky berpendapat bahwa perkembangan harus dilihat dari perspektif 4 tahap


yang saling berhubungan dalam interaksi anak dengan lingkungan:

1) Perkembangan Ontogenic, adalah perkembangan individu sepanjang hayat,


digunakan oleh hampir semua ahli psikologi dalam menganalisa
perkembangan manusia.

2) Perkembangan Microgenic, mengacu pada perubahan yang terjadi pada waktu


yang relatif singkat, misalnya perubahan yang dapat dilihat pada saat anak
memecahkan masalah penjumlahan pada setiap minggunya selama 11 minggu
(Siegler & Jenkins, 1989).

3) Perkembangan Phylogenic adalah perubahan yang berskala evolusi, diukur


dalam ribuan dan bahkan jutaan tahun. Vygostsky sendiri berpendapat bahwa
untuk pemahaman sejarah spesies dapat memberikan masukan pada
perkembangan anak.

4) Perkembangan Sociohistorical, mengacu pada perubahan yang terjadi pada


budaya, kepercayaan, norma, dan teknologi.

17
Renataliaa, “Teori Belajar Sosio-Kultural”, https://renataliaa.wordpress.com/2011/05/23/teori-belajar-sosio-
kultural/ (diakses pada 25 Maret 2019, pukul 20.40)

17
Disini Vygotsky menekankan bagaimana seseorang berkembang dalam
lingkungan yang berubah. Dengan berfokus pada individu atau pun pada lingkungan
tidak cukup untuk menjelaskan mengenai perkembangan seseorang. Untuk itu
perkembangan sebaiknya dipelajari dari konteks sosial dan budaya.

G. Aplikasi Teori Sosio-Kultural

Aplikasi teori sosio-kultural dalam pendidikan. Penerapan teori sosio-kultural


dalam pendidikan dapat terjadi pada 3 jenis pendidikan yaitu:18

a. Pendidikan informal (keluarga)


Pendidikan anak dimulai dari lingkungan keluarga, dimana anak pertama kali
melihat, memahami, mendapatkan pengetahuan, sikap dari lingkungan keluarganya. Oleh
karena itu perkembangan prilaku masing-masing anak akan berbeda manakala berasal
dari keluarga yang berbeda, karena faktor yang mempengaruhi perkembangan anak
dalam keluarga beragam, misalnya: tingkat pendidikan orang tua, faktor ekonomi
keluarga, keharmonisan dalam keluarga dan sebagainya.

b. Pendidikan nonformal

Pendidikan nonformal yang berbasis budaya banyak bermunculan untuk


memberikan pengetahuan, ketrampilan, dan perilaku pada anak, misalnya kursus
membatik. Pendidikan ini diberikan untuk membekali anak hal-hal tradisi yang
berkembang di lingkungan sosial masyarakatnya.

c. Pendidikan formal

Aplikasi teori sosio-kultural pada pendidikan formal dapat dilihat dari beberapa
segi antara lain:

1) Kurikulum

18
Renataliaa, “Teori Belajar Sosio-Kultural”, https://renataliaa.wordpress.com/2011/05/23/teori-belajar-sosio-
kultural/ (diakses pada 25 Maret 2019, pukul 20.40)

18
Khususnya untuk pendidikan di Indonesia pemberlakuan kurikulum pendidikan
sesuai Peraturan Menteri nomor 24 tahun 2006 tentang pelaksanaan KTSP, Peraturan
Menteri nomor 23 tahun 2006 tentang standar kompetensi, dan Peraturan Menteri nomor
22 tahun 2006 tentang standar kompetensi dan kompetensi dasar, jelas bahwa pendidikan
di Indonesia memberikan pengetahuan, ketrampilan, nilai dan sikap kepada anak untuk
mempelajari sosio-kultural masyarakat Indonesia maupun masyarakat internasional
melalui beberapa mata pelajaran yang telah ditetapkan, di antaranya: pendidikan
kewarganegaraan, pengetahuan sosial, muatan lokal, kesenian, dan olah raga.19

2) Siswa

Dalam pembelajaran KTSP anak mengalami pembelajaran secara langsung


ataupun melalui rekaman. Oleh sebab itu pengetahuan, ketrampilan, nilai dan sikap bukan
sesuatu yang verbal tetapi anak mengalami pembelajaran secara langsung. Selain itu
pembelajaran memberikan kebebasan anak untuk berkembang sesuai bakat, minat, dan
lingkungannya pencapaiannya sesuai standar kompetensi yang telah ditetapkan.

3). Guru

Guru bukanlah narasumber segala-galanya, tetapi dalam pembelajaran lebih


berperanan sebagai fasilitator, mediator, motivator, evaluator, desainer pembelajaran dan
tutor. Masih banyak peran yang lain, oleh karenanya dalam pembelajaran ini peran aktif
siswa sangat diharapkan, sedangkan guru membantu perilaku siswa yang belum muncul
secara mandiri dalam bentuk pengayaan, remedial pembelajaran.

H. Kelebihan Dan Kekurangan Teori Sosio-Kultural

Berdasarkan teori Vygotsky akan diperoleh beberapa keuntungan:20

19
Renataliaa, “Teori Belajar Sosio-Kultural”, https://renataliaa.wordpress.com/2011/05/23/teori-belajar-sosio-
kultural/ (diakses pada 25 Maret 2019, pukul 20.40)

19
1. Anak memperoleh kesempatan yang luas untuk mengembangkan zona
perkembangan proximalnya atau potensinya melalui belajar dan berkembang;
2. Pembelajaran perlu lebih dikaitkan dengan tingkat perkembangan potensialnya
daripada tingkat perkembangan aktualnya;
3. Pembelajaran lebih diarahkan pada penggunaan strategi untuk mengembangkan
kemampuan intermentalnya daripada kemampuan intramental;
4. Anak diberi kesempatan yang luas untuk mengintegrasikan pengetahuan
deklaratif yang telah dipelajarinya dengan pengetahuan prosedural yang dapat
dilakukan untuk tugas-tugas atau pemecahan masalah;
5. Proses belajar dan pembelajaran tidak bersifat transferal tetapi lebih merupakan
kokonstruksi, yaitu proses mengkonstruksi pengetahuan atau makna baru secara
bersama-sama antara semua pihak yang terlibat di dalamnya.

Kelemahan dari teori sosio-kultural yaitu terbatas pada perilaku yang tampak,
proses-proses belajar yang kurang tampak seperti pembentukan konsep, belajar dari
berbagai sumber belajar, pemecahan masalah dan kemampuan berpikir sukar diamati
secara langsung oleh karena itu diteliti oleh para teoriwan perilaku.21

21
Renataliaa, “Teori Belajar Sosio-Kultural”, https://renataliaa.wordpress.com/2011/05/23/teori-belajar-sosio-
kultural/ (diakses pada 25 Maret 2019, pukul 20.40)

20
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Pada penerapan pembelajaran dengan teori belajar Konstruktivistik dan
Sosiokultur, guru berfungsi sebagai motivator yang memberikan rangsangan agar siswa
aktif dan memiliki gairah untuk berfikir, fasilitator, yang membantu menunjukkan jalan
keluar bila siswa menemukan hambatan dalam proses berfikir, menejer yang mengelola
sumber belajar, serta sebagai rewarder yang memberikan penghargaan pada prestasi yang
dicapai siswa, sehingga mampu meningkatkan motivasi yang lebih tinggi dari dalam diri
siswa. Pada intinya, siswalah yang dapat menyelesaikan permasalahannya sendiri untuk
membangun ilmu pengetahuan.
Dapat disimpulkan bahwa dalam teori belajar Konstruktik dan Sosiokultur, proses
belajar tidak dapat dipisahkan dari aksi (aktivitas) dan interaksi, karena persepsi dan
aktivitas berjalan seiring secara dialogis. Belajar merupakan proses penciptaan makna
sebagai hasil dari pemikiran individu melalui interaksi dalam suatu konteks sosial. Dalam
hal ini, tidak ada perwujudan dari suatu kenyataan yang dapat dianggap lebih baik atau
benar. Vygotsky percaya bahwa beragam perwujudan dari kenyataan digunakan untuk
beragam tujuan dalam konteks yang berbeda-beda. Pengetahuan tidak dapat dipisahkan
dari aktivitas di mana pengetahuan itu dikonstruksikan, dan di mana makna diciptakan,
serta dari komunitas budaya di mana pengetahuan didiseminasikan dan diterapkan.
Melalui aktivitas, interaksi sosial, tersebut penciptaan makna terjadi.

B. SARAN

Sebagai manusia penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, nampaknya masih banyak yang perlu diperbaiki. Oleh karena itu, penulis
berharap adanya saran dan kritikan para pembaca makalah ini yang sifatnya membangun,
demi perbaikan dimasa yang akan datang. Walaupun demikian, penulis sudah berusaha
untuk mempersembahkan makalah ini dengan sebaik-baiknya. Penulis mengucapkan

21
terima kasih banyak kepada pihak-pihak yang turut serta mendorong dan membantu
penulis untuk menyelesaikan makalah ini

Akhirnya, hanya kepada Allah jualah penulis berharap agar makalah ini benar-
benar bermanfa'at. Semoga amal ibadah dan kerja keras kita senantiasa mendapatkan
ridha, ampunan dan pahala dari Allah SWT. Amiin.

22

Anda mungkin juga menyukai