Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Secara harifah kata mu’tazilah barasal dari I’tazilah yang berarti berpisah atau
memisahkan diri, yang berarti juga menjauh dan menjauhkan diri. Aliran mu’tazilah merupakan
aliran teologi islam yang terbesar dan tertua, yang telah memainkan peranan penting dalam sejarah
pemikiran dunia islam. Aliran mu’tazilah lahir kurang lebih pada permulaan abad pertama hijrah di
kota Basrah (Irak).
Akan tetapi tidak semuanya memeluk aliran ini dengan segala keikhlasan. Ketidak ikhlasan
ini terutama dimulai sejak permulaan masa pemerintahan khilafat Umawi, disebabkan karena
khilafah-khilafah Umawi memonopoli segala kekuasaan negara kepada orang-orang Islam dan
bangsa Arab sendiri. Dalam hal ini maka akan dibahas mengenai mu’tazilah lebih luas lagi.
1.2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang ada, bisa dirumuskan masalah yakni bagaimana aliran mu’tazilah itu?
1.3. Tujuan
Mengetahui tentang aliran mu’tazilah.
1.4. Manfaat
Bisa mengetahui tentang aliran mu’tazilah.
BAB I
PEMBAHASAN

2.1. SEJARAH KEMUNCULAN MU’TAZILAH


Aliran ini muncul di Bashrah pada abad ke 8 (2 H), berawal dari sikap Washil bin Atha’
(700-750 M / 80-131 H) memisahkan diri dari majlis ta’lim gurunya, Hasan al Bashri di sebuah
masjid Raya Bashrah. Hal ini disebabkan karena Washil bin Atha’ mempunyai pendapat berbeda
dengan gurunya, yang berkaitan dengan masalah orang mukmin yang melakukan dosa besar. Menurut
Washil bin Atha’, mukmin yang melakukan dosa besar jika tidak bertaubat, statusnya tidak mukmin
lagi, (sedang menurut gurunya : statusnya mukmin), tetapi jatuh kepada fasik, namun tidak jatuh
kepada status kafir (yang menurut Khawarij : statusnya kafir). Fasik menurut Washil bin Atha’,
adalah : al Manzilah bain al manzilatain(suatu posisi / status diantara dua posisi). Fasik berada
dibawah mukmin tapi diatas kafir. Setelah memisahkan diri, Washil bin Atha’ membentuk halaqoh
sendiri di masjid yang sama. Jama’ah yang dipimpin oleh Washil bin Atha’ itulah yang mendapat
nama Mu’tazilah.
Menurut Ahmad Amin, sebutan Mu’tazilah sudah ada sebelum masa Hasan al Bashri,
kurang lebih 100 tahun. Penyebutan Mu’tazilah untuk Washil bin Atha’, ‘Amr bin Ubaid dan kawan-
kawannya hanya menghidupkan kembali sebutan lama.
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berisah atau memisahkan
diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri. Secara etimologis, kata Mu’tazilah berarti
golongan yang mengasingkan atau memisahkan diri. Secara teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk pada
dua golongan.
Golongan pertama, (disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik murni. Golongan ini
tumbuh sebagai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani
pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Muawiyah, Aisyah, dan
Abdullah bin Zubair. Menurut penulis, golongan inilah yang mula-mula disebut kaum Mu’tazilah
karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah khilafah. Kelompok ini bersifat netral politik
tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh dikemudian hari.
Golongan kedua, (disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis
yang berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini
muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang pemberian
status kafir kepada yang berbuat dosa besar. Mu’tazilah II inilah yang akan dikaji dalam bab ini yang
sejarah kemunculannya memiliki banyak versi.
2.2.ASAL-USUL SEBUTAN MU‘TAZILAH
Untuk mengetahui asal-usul nama Mu’tazilah itu dengan sebenarnya memang sulit.
Berbagai pendapat diajukan ahli-ahli, tetapi belum ada kata sepakat di antara mereka. Yang jelas
ialah, bahwa nama Mu’tazilah sebagai designatie bagi aliran teologi rasional dan liberal dalam Islam
timbul sesudah peristiwa Washil dengan Hasan al Bashri dan bahwa lama sebelum terjadinya
peristiwa di Masjid Bashrah itu telah pula terdapat kata-kata I’tazala, al Mu’tazilah. Tetapi apa
hubungan yang terdapat antara Mu’tazilah I dan II, fakta-fakta yang ada belum dapat memberikan
kepastian. Selanjutnya siapa sebenarnya yang memberikan nama Mu’tazilah kepada Washil bin
Atha‘ dan pengikut-pengikutnya tidak pula jelas.
Golongan ini juga dinamakan golongan qadariyah, karena mereka menganut faham free
will and free act, yakni bahwa manusia itu bebas berkehendak dan bebas berbuat. Jadi segala gerak
gerik manusia tidak dicampuri oleh iradat danqudrat Allah. Adapun sebutan Mu’tazilah yang lain
adalah:
1. Ahlul ‘Adl Wa at-Tauhid (golongan yang mempertahankan keadilan dan keesaan Allah).
2. Ahlul Haq (golongan yang benar).
3. Ats-Tsanawiyah dan Al-Majusiyah (kaum Dualis dan Majusi). Sebutan ini ditolak oleh
Mu’tazilah.
4. Al-Khawarij, karena sejalan dengan pendapat Khawarij tentang dosa besar, apabila tidak
bertaubat akan kekal di neraka, walaupun mereka mengatakan bahwa orang itu tidak kafir.
5. Al-Wa’idiyah, karena mereka berpendapat bahwa ancaman Allah pasti akan menimpa manusia
yang tidak taat hukum. Nama ini berasal dari golongan Murjiah.
6. Al-Mu’aththilah, yaitu bahwa kaum Mu’tazilah menolak adanya sifat-sifat Allah yang azali,
juga menolak untuk mengambil pengertian makna lahiriah dari ayat-ayat Al-Quran dan as-
Sunnah jika tidak sesuai dengan pendirian mereka.
2.3.TOKOH-TOKOH ALIRAN MU’TAZILAH
Dari segi geografis Mu’tazilah dibagi menjadi 2 yaitu aliran mu’tazilah Bashrah dan
aliran mu’tazila Baghdad .Aliran Bashrah lebih dahulu munculnya, lebih banyak mempunyai
kepribadian sendiri dan yang pertama- tama mendirikan aliran mu’tazilah. perbedaan antara kedua
aliran mu’tazilah tersebut pada umumnya disebabkan karena situasi geografis dan kulturil.
Tokoh- tokoh aliran Bashrah antara lain:
1. Washil bin ‘Atha’ ( 80-131 H/ 699-748 M)
Terkenal sebagai pendiri aliran mu’tazilah dan kepalanya yang pertama. Ia pula yang terkenal
sebagai orang yang meletakkan lima prinsip dasar.
2. Al-‘Allaf ( 135-226 H/ 752-840 M)
Nama lengkapnya adalah Abdul Huzail Muhammad bin Al-Huzail Al-‘allaf. puncak kebesarannya
dicapainya pada masa khalifah Al-Ma’mun, karena khalifah ini pernah menjadi muridnya dalam
perdebatan mengenai soal agama. Menurut riwayat pada tiga ribu orang yang masuk islam di
tangannya. Ia banyak berhubungan dengan filosof- filosof dan buku- buku filsafat.
3. An-Nazham ( wafat 231 H/ 845 M)
Nama lengkapnya adalah Ibrahim bin Sayyar bin Hani An-Nazham. Ia merupakan tokoh mu’tazilah
yang terkemuka, lancar bicara, dan banyak mendalami filsafat. Ia sangat bebas berpikir dan berani
menyerang ahli hadis karena tidak banyak percaya pada kesahihan hadis-hadis. Karena ia sangat
menjunjung Al-Qur’an.
4. Al-Jubbai (wafat 303 H/ 915 M)
Nama lengkapnya adalah Abu Ali Muhammad bin Ali Al-Jubbai, tokoh mu’tazilah basrah dan murid
as-Syahham. Al-Jubbai dan anaknya yaitu Abu Hasim Al-Jubbai mencerminkan akhir masa kejayaan
aliran mu’tazilah.
Tokoh- tokoh aliran Baghdad antara lain:
1. Bisjr bin Al-Mu’tamir (wafat 226 H/ 840 M)
Ia memiliki pandangan mengenai kesusastraan. Ia adalah orang yang pertama kali mengemukakan
soal “tawallud” (reproduction) yang boleh jadi dimaksudkan untuk mencari batas-batas
pertanggungan jawab manusia atas perbuatannya.
2. Al-Chayyat (wafat 300 H/ 912 M)
Nama lengkapnya adalah Abu al-Husein Al-Khayyat. ia adalah pengarang buku “al-Intisar” yang
dimaksudkan untuk membela aliran mu’tazilah.
3. Al-Qadhi Abdul Jabbar (wafat 1024 M)
Ia mengulas tentang pokok-pokok ajaran aliran mu’tazilah, terdiri dari beberapa jilid dan banyak
dikutip oleh as-Syarif al Murtadha.
4. Az-Zamaihsyari (467-538 H/ 1075-1144M)
Nama lengkapnya adalah Jar Allah Abul Qasim Muhammad bin Umar. Selama hidupnya ia banyak
mengadakan perlawatan dari negeri kelahirannya menuju Baghdad, kemudian ke Makkah untuk
bertempat di sana beberapa tahun dan akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya di Jurjan (Persi-
Iran). Ia menjadi tokoh dalam ilmu tafsir, nahwu, dan paramasastera (lexicology).

2.4. AJARAN-AJARAN POKOK ALIRAN MU’TAZILAH


Aliran mu’tazilah berdiri atas lima prinsip utama:
1. Keesaan (at-Tauhid)
At-Tauhid merupakan prinsip utama dan intisari ajaran mu’tazilah. Tauhid memiliki arti yang
spesifik. Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang menyamai-Nya. Untuk memurnikan keesaan
Tuhan, mu’tazilah menolak konsep Tuhan memiliki sifat-sifat, penggambaran fisik Tuhan, dan
Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala. Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan itu Esa, tak ada satu
pun yang menyerupai-Nya.
2. Keadilan Tuhan (Al-Adlu)
Ajaran ini bertujuan ingin menempatkan Tuhan benar-benar adil menurut sudut pandang manusia,
karena alam semesta ini sesungguhnya diciptrakan untuk kepentingan manusia.
3. Janji dan ancaman (al-Wa’du wal Wa’idu)
Ajaran ini tidak memberi peluang kepada Tuhan selain menunaikan janji-Nya, yaitu memberi pahala
orang yang taat dan menyiksa orang yang berbuat maksiat, kecuali orang yang sudah bertaubat
nasuha. Ajaran ini tampaknya bertujuan mendorong manusia untuk berbuat baik dan tidak melakukan
perbuatan dosa.
4. Tempat di antara dua tempat (Al manzilatu bainal manzilatain)
Karena prinsip ini Washil bin ‘Atha memisahkan diri dari majlis Hasan Basri, seperti yang disebutkan
di atas. Menurut pendapatnya, seorang muslim yang mengerjakan dosa besar selain syirik, bukan lagi
menjadi orang mu’min, tetapi tidak menjadi kafir, melainkan menjadi orang fasik. Jadi, kefasikan
merupakan tempat tersendiri antara “kufur” dan “iman”.
5. Menyuruh kebaikan dan melarang keburukan (‘amar ma’ruf nahi munkar)
Ajaran ini menekankan keberpihakan pada kebenaran dan kebaikan. Ini merupakan konsekuensi
logis dari keimanan seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan baik,
diantaranya dengan menyuruh orang berbuat baik dan mencegahnya dari kejahatan.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Aliran mu’tazilah merupakan aliran teologi islam yang terbesar dan tertua. Kaum
mu’tazilah secara teknis terdiri dari dua golongan dan masing-masing golongan mempunyai
pandangan yang berbeda. Golongan tersebut ialah Golongan pertama, (disebut Mu’tazilah I)muncul
sebagai respon politik murni dan golongan kedua, (disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai respon
persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa
tahkim. Banyak sebutan mengenai kaum mu’tazilah salah satunyaAhlul ‘Adl Wa at-Tauhid (golongan
yang mempertahankan keadilan dan keesaan Allah). Sedangkan ajaran pokok mu’tazilah yakni
tentang : Keesaan (at-Tauhid), Keadilan Tuhan (Al-Adlu), Janji dan ancaman (al-Wa’du wal
Wa’idu), Tempat di antara dua tempat (Al manzilatu bainal manzilatain), Menyuruh kebaikan dan
melarang keburukan (‘amar ma’ruf nahi munkar). Dan yang paling penting yakni kegiatan orang-
orang mu’tazilah baru hilang sama sekali setelah terjadi serangan orang-orang mongolia atas dunia
islam. Meskipun demikian, paham dan ajaran aliran mu’tazilah yang penting masih hidup sampai
sekarang dikalangan syiah zaidiah.

Anda mungkin juga menyukai