Salah satu persoalan pendidikan yang sedang dihadapi bangsa kita adalah persoalan mutu
pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan. Dari berbagai pengamat dan analisis, ada
berbagai faktor yang menyebabkan mutu pendidikan kita mengalami peningkatan secara merata.
1) Pertama, kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan
educational production function atau input-output analisis yang tidak dilaksanakan secara
konsekuen. Kedua, penyelenggaraan pendidikan nasional dilakukan secara birokratissentralistik,
sehingga meningkat sekolah sebagai penyelenggaraan pendidikan yang tergantung pada
keputusan birokrasi-birokrasi. Ketiga, minimnya peranan masyarakat khususnya orang tua
sisiwa dalam penyelenggaraan pendidikan, pratisipasi orang tua selama ini dengan sebatas
pendukung dana, tapi tidak dilibatkan dalam proses pendidikan seperti mengambil keputusan,
monitoring, evaluasi dan akuntabilitas, sehingga sekolah tidak memiliki beban dan tanggung
jawab hasil pelaksanaan pendidikan kepada masyarakat/orang tua sebagai stake holder yang
berkepentingan dengan pendidikan. Keempat, krisis kepemimpinan, dimana kepala sekolah yang
cenderung tidak demokratis, sistem top down policy baik dari kepala sekolah terhadap guru atau
birokrasi diatas kepala sekolah terhadap sekolah.
2) Munculnya paradigma guru tentang manajemen berbasis sekolah yang bertumpu pada
penciptaan iklim yang demokratisasi dan pemberian kepercayaan yang lebih luas kepada sekolah
untuk menyelenggarakan pendidikan secara efisien dan berkualitas. 3) Kepemimpinan adalah
cara seseorang pemimpin mempengaruhi perilakubawahan agar mau bekerja sama dan bekerja
secara produktif untuk mencapai tujuanorganisasi. Gaya kepemimpinan yang kurang melibatkan
bawahan dalam mengambil kepurusan maka akan mengakibatkan adanya disharmonisasi
hubungan anatara pemimpin dan yang dipimpin. Salah satu solusinya adalah dengan
dikeluarkannya UU no.32 tahun 2004 yaitu undang-undang otonomi daerah yang kemudian
diatur oleh PP no. 33 tahun 2004 yaitu adanya penggeseran kewenangan dan pemerintah pusat
ke pemda dalam berbagai bidang termasuk bidang pendidikan kecuali agama, politik luar negeri,
pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal. Pemberian otonomi tersebut
dimaksudkan agar lembaga sekolah memiliki kebebasan dan kemandirian mengelola
lembaganya agar mampu berkembang sesuai dengan potensi dan kekhususan-kekhususan yang
dimiliki daerah serta memiliki relevansi yang tinggi dan kemanfaatan optimal bagi pembangunan
di daerah. Pemberian otonomi demikian dengan segala implikasinya dianggap merupakan
langkah maju yang bertujuan untuk menciptakan efektifitas penyelenggaraan pendidikan di
daerah dengan bersumber kepada pemanfaatan potensi, kekhasan, dan kreativitas dari para
penyelenggara pendidikan di daerah. Implementsi otonomi sekolah ini juga salah satunya
tercermin dengan diberlakukannya UU No. 20/2005 yang memberikan kebebasan kepada
sekolah untuk menyusun kurikulumnya sendiri yang dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) sebagai ganti dari Kurikulum 2004. Dengan adanya amanat otonomi dari
undang- undang tersebut perangkat manajemen di sekolah bukan lagi sekedar sebagai pelaksana
dari birokrasi pusat sebagaimana era sebelumnya, melainkan berposisi sebagai agen yang
mandiri yang bertanggung jawab atas pengelolaan sekolah sesuai dengan tugas dan fungsi
manajemen (planning, organizing, actuating, controlling) dengan memperhatikan potensi dan
kekhasan yang dimiliki. Namun, pada pembahasan kali ini peneliti hanya membahas mengenai
actuating (penggerakan).