Anda di halaman 1dari 26

BAB III

METODE PENELITIAN

III.1. SIFAT PENELITIAN

Penelitian ini bersifat eksperimental yaitu berupa suatu uji klinik

tersamar ganda atau double blind clinical trial.(29)

III.2. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN

Penelitian dilakukan di ruang perawatan Departemen Ilmu

Kesehatan Mata RSUP. H. Adam Malik Medan dan RS Khusus Mata Medan

Baru, mulai Maret 2012 sampai bulan April 2012.

III.3. POPULASI

Penderita katarak senilis yang dirawat di ruang Departemen Ilmu

Kesehatan Mata RSUP. H. Adam Malik Medan dan RS Khusus Mata Medan

Baru, yang dilakukan operasi katarak fakoemulsifikasi dan penanaman lensa

intraokuler pada bilik mata belakang, antara bulan Maret 2012 sampai dengan

bulan April 2012.

Universitas Sumatera Utara


III.4. SAMPEL

III.4.1. Besar Sampel

Besar sampel penelitian ini merupakan total selama rentang waktu

penelitian.

III.4.2. Cara Pengambilan Sampel

Pasien yang memenuhi kriteria sampel diberi nomor urut kemudian

secara acak dengan cara undian diberikan terapi obat A atau obat B.

III.4.3. Kriteria Sampel

a. Pesien katarak senilis yang telah menjalani Fakoemulsifikasi katarak,

dengan penanaman lensa intra okuler yang dilakukan oleh dokter

spesisalis mata dengan tehnik standar di Departemen Ilmu Kesehatan

Mata RSUP. H. Adam Malik Medan dan RS Khusus Mata Medan

Baru, tanpa penyulit intra bedah.

b. Pada pasca bedah hari pertama didapatkan inflamasi dalam bilik mata

depan dengan gradasi flare + 1 atau + 2 dan sel radang +1 atau + 2

c. Tidak menderita/tidak ada riwayat glaucoma, uveitis, kekeluhan

kornea dan kalainan segmen anterior lain, serta diabetes mellitus dan

hipertensi yang belum teragulasi.

d. Tidak sedang dalam terapi menggunakan obat anti-inflamasi

steroid/non steroid secara sistematik/lokal.

e. Bersedia diikutsertakan dalam penelitian

Universitas Sumatera Utara


III.4.4. Kriteria Putus Uji

a. Didapatkan penyulit kekeruhan kornea (descemen fold) yang tebal

yang akan memberiakan kesulitan evaluasi flare dan sel radang dalam

bilik mata depan.

b. Didapatkan reaksi hefersensitifitas atau alergi atau alergi terhadap obat

yang digunakan.

c. Tidak kontrol pada 1 minggu dan /atau 2 minggu pasca bedah

III.5 VARIABEL

III.5.1. Variabel Bebas

Jenis Obat

- tetes mata natrium diklofenak 0,1%

- tetes mata deksametason 0,1%

III.5.2. Variabel Tergantung

a. Flare dalam bilik mata depan

b. Sel radang dalam bilik mata depan

Universitas Sumatera Utara


III.6. DEFENISI OPERASIONAL

III.6.1. Flare dalam BMD

-0 : Tidak didapat flare

+1 : Fain flare (terdeteksi hanya sepintas)

+2 : Moderate flare ( detail iris dan IOL tampak jelas)

+3 : Marked flare ( detail iris dan OIL tampak kabur )

+4 : Intens flare ( terfikasi, terjadi koagulasi humor akuos

dengan fibrin )

III.6.2. Sel Radang Dalam BMD

+0 : Tidak didapatkan sel

+1 : 0 – 10 sel/ lapang pandangan

+2 : 10 – 20 sel/ lapang pandangan

+3 : 20 – 50 sel/ lapang pandangan

+4 : > 50 sel/ lapang pandangan

Pemeriksaan dilakukan dengan lampu celah biomikroskop dalam

ruang gelap. Lebar celah 1 mm, tinggi celah 3 mm, sudut 45º, pembesaran dan

intensitas cahaya pada ukuran maksimal.

Flare tampak sebagai efek Tyndall yang terjadi dalam bilik mata depan

sedangkan sel dalam bilik mata depan dapat dibedakan menjadi :

• Limfosit dan sel flasma : bulat, mengiklat, putih keabuan


• Makrofag : labih besar,warna tergantung bahan yang difagositosis
• Sel darah : berwarna merah

Universitas Sumatera Utara


• Pigmen : kecil dan berwarna coklat

III.7. SARANA

1. Lampu cerah Biomikrosop

2. Tetes mata natrium diklofenak 0,1% dan tetes deksametason

0,1% yang diberi label obat A dan obat B

3. Tetes mata neomisin-polimiksin B

III.8. PENCATATAN DATA

Data yang dicatat adalah :

1. Data Umum : nama, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan

2. Hasi pemeriksaan sebelum operasi

- Keadaan kataraknya

- Tajam Penglihatan

- Tekanan Intraokuler

3. Laporan Operasi

- Tidak didapatkan penyulit intra bedah

4. Hasil pemeriksaan flare dan sel dalam bilik mata depan pada hari

pertama, hari ketiga, 1 minggu dan 2 minggu pasca bedah.

III.9. CARA KERJA


1. Penderita yang memenuhi kriteria sampel dicatat mengenai
a. Data umum, nama, jenis kelamin, alamat, pekerjaan
b. Hasil pemeriksaan sebelum operasi:
- Tajam penglihatan
- Tekanan intraokuler
- Keadaan kataraknya

Universitas Sumatera Utara


c. Hasil pemeriksaan pasca bedah hari pertama :
- Flare dalam bilik mata depan
- Sel radang dalam bilik mata depan

2. Penderita diberi nomor urut dan dikelompokkan ke dalam


kelompok perlakuan terapi dengan obat B secara acak dengan
cara undian.

3. Perlakuan pemberian terapi dengan obat tetes mata anti inflamasi

( obat A dan Obat B ) dimulai sejak hari pertama pasca bedah

setelah pemeriksaan flare dan sel radang dalam bilik mata depan.

Pemberian terapi disertai dengan obat tetes mata antibiotic

neomisin-polimuksin B dengan ketentuan :

- Pertama, diberikan tetes mata anti inflamasi (obat A atau obat B)

sebanyak 1 tetes.

- Obat kedua (tetes mata neomisin-polimiksin B ) diberikan setelah

selang waktu 15 menit kemudian sebanyak 1 tetes.

- Kedua macam obat diberikan dengan dosis 4 kali sehari yaitu 6

jam sekali.

4. Pemeriksaan berikutnya dilakukan pada hari ketiga, hari ketujuh

dan hari keempat belas pasca bedah dan dicacat :


- Flare dalam bilik mata depan

- Sel radang dalam bilik mata depan


- Keluhan dan penyulit yang mungkin berhubungan dengan
intoleransi atau efek samping obat

Universitas Sumatera Utara


III.10. ANALISA DATA
Data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan uji statistic Mann
Whitney.

III.11. JADUAL PELAKSANAAN

• Persiapan : Januari 2012


• Pengajuan Usulan Penelitian : Februari 2012
• Pengumpulan Data : Maret-April 2012
• Pengolahan Data : Mei 2012
• Penyusunan Laporan Penelitian : Juni 2012
• Penyajian Laporan Penelitian : Juli 2012

Universitas Sumatera Utara


III.12. PROTOKOL PENELITIAN

Penderita katarak senilis yang akan dilakukan Bedah Katarak


Fakoemullsifikasi + LIO di RSUP. H. Adam Malik dan RS Khusus Mata
Medan Baru

Dicatat : nama, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan, tajam penglihatan tekanan
bola mata, jenis katarak keadaan umum dan riwayat penyakit sistemik

FAKOEMULSIFIKASI + LIO

Tidak didapatkan komplikasi ruptur kapsul posterior dan prolaps karpus vitreous
selama operasi

Pasca bedah hari 1 :


- Flare : gladasi + 1 dan 2
- Sel : gradasi + 1 dan + 2

Terapi pasca bedah Terapi pasca bedah


- tm. Natrium diklofenak 0,% - tm. Deksametason 0,1%
- tm. Neomisin-polimiksin B - tm. Neomisin-polimiksin B
Sehari 4 x 1 tetes Sehari 4 x 1 tetes

Pasca beda hari ke – 3 Pasca beda hari ke - 7 Pasca beda hari ke - 14

Diperiksa : Flare dan sel radang dalam bilik mata depan

Pengumpulan data

Analisa Data
\

Hasil Penelitian

Universitas Sumatera Utara


BAB IV

HASIL PENELITIAN

Penelitian dilakukan secara eksperimental dengan cara uji klinik

tersamar ganda di ruang Departemen Ilmu Kesehatan Mata RSUP. H. Adam

Malik Medan dan RS Khusus Mata Medan Baru mulai bulan Maret sampai

dengan April 2012. Sampel penelitian merupakan total sampling dari semua

penderita yang memenuhi kriteria inklusi selama rentang waktu penelitian.

Dalam penelitian ini diperoleh sampel sebesar 62 orang penderita (62

mata) yang menjalani operasi katarak fakoemulsifikasi disertai penanaman lensa

intraokuler seluruh sampel dibagi ke dalam dua kelompok yaitu kelompok

deksametason (31 orang) dan kelompok Natrium diklofenak (31 orang)

Gambar distribusi penderita berdasakan kelompok umur, jenis kelamin,

serta mata yang dioperasi dapat dilihat pada tabel berikut ini.:

Tabel 1 : distribusi penderita berdasarkan kelompok umur, jenis kelamin, serta

mata yang dioperasi

UMUR LAKI – LAKI PEREMPUAN JUMLAH


(Tahun)
OD OS OD OS
≤ 40 1 (1,62%) 2 (3,23%) 1 (1,62%) 4 (6,46%)
41 – 50 5 (8,07% ) 3 (4,84%) 1 (1,62%) 9 (14,52%)

51 – 60 7 (11,29%) 4 (6,45%) 4 (6,46%) 2 (3,23%0 17 (27,42%)


61 – 70 10 (16,13%) 4 (6,45%) 4 (6,46%) 5 (8,07%) 23 (37,10%)
≥ 71 4 (6,46%) 2 (3,23%) 2 (3,23%) 1 (1,62%) 9 (14,52%)

JUMLAH 27 (43,55%) 15 (28,85%) 15 (24,20%) 8 (15,39%) 62 (100,00%)

Universitas Sumatera Utara


Usia penderita yang termuda adalah 40 tahun dan yang tertua

adalah 90 tahun, rata-rata umur penderita adalah 59,25 + 11,14 tahun. Sedangkan

kelompok umur yang terbanyak adalah kelompok umur 61 – 71 tahun yaitu

sebesar 23 penderita (37,10%) Jumlah penderita laki-laki lebih banyak daripada

pederita perempuan. Penderita laki-laki sejumlah 42 orang (67,75%) sedangkan

penderita perempuan sebanyak 20 orang (32,26%). Dalam hampir semua

kelompok umur penderita laki-laki lebih banyak dari pada penderita

perempuan.Gambaran distribusi penderita menurut jenis kelamin dan mata yang

dioperasi dapat dilihat pada diagram berikut :

Diagram I : Distribusi Penderita Menurut Jenis Kelamin dan Mata yang dioperasi

32,26%
37,10%

67,75% 62,91%

Universitas Sumatera Utara


Gambaran distribusi penderita menurut kelompok umur dan jenis

kelamin dapat dilihat diagram dibawah ini :

Diagram 2 : Distribusi Penderita Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin

Distribusi penderita menurut kelompok umur dan jenis kelamin

untuk masing-masing kelompok perlakuan dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 2 : Distribusi Penderita Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Untuk

kelompok Deksametason dan Kelompok Diklofenak

UMUR KEL. DEKSAMETASON KEL. DIKLOFENAK


LAKI-LAKI PEREMPUAN LAKI-LAKI PEREMPUAN
JUMLAH
(tahun)
< 40 1 (1,62%) 1 (1,62%) 2 (3,23%) 4 (6,46%)
41 – 50 3 (4,84%) 1 (1,62%) 5 (8,07%) 9 (14,52%)
51 – 60 7 (11,29%) 3 (4,84%) 4 (6,46%) 3 (4,84%) 17 (27,42%)
61 – 70 6 (9,68%) 6 (9,68%) 8 (12,91%) 3 (4,84%) 23 (37,10%)
> 71 2 (3,23%) 1 (1,62%) 4 (6,46%) 2 (3,23%) 9 (14,52%)
JUMLAH 19 (30,65% 12 (19,36%) 23 (37,10%) 8 (12,91%) 62 (100,00%

Universitas Sumatera Utara


Adapun distribusi penderita menurut jenis kataraknya pada

masing-masing kelompok perlakuan dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 3 : Distribusi Penderita Menurut Jenis Katarak Untuk Kelompok

Deksametason dan Kelompok Diklofenak

JENIS KEL. DEKSAMETASON KEL. DIKLOFENAK


LAKI-LAKI PEREMPUAN LAKI-LAKI PEREMPUAN
JUMLAH
KATARAK
Matur 11 (17,75%) 12 (19,36%) 14 (26,92%) 8 (12,91%)
45 (72,58%)
Imatur 5 (8,07%) 3 (4,84%) 7 (11,24%) 2 (3,23%)17 (27,42%)
Jumlah 16 (25,81%) 15 (24,20) 21 (33,87%) 10 (16,13%) 62 (100,00%)

Diagram 3 : Distribusi Penderita Menurut Jenis Katarak Untuk Kelompok

Deksametason dan Kelompok Diklofenak

DEKSAMETASON DIKLOFENAK

Pengamatan dari tanda-tanda reaksi inflamasi pasca bedah katarak

fakoemulsifikasi dan pemasangan lensa intraokuler serta responnya terhadap

pemberitaan obat anti inflamasi untuk masing-masing kelompok dilakukan

terhadap setiap

Universitas Sumatera Utara


Penderita pada hari pertama, hari ketiga, hari ketujuh dan hari keempat belas

pasca bedah, sedangkan yang diamati adalah flare dan sel radang dalam bilik mata

depan. Hasil pengamatan seperti yang tercantum adalah lampiran dianalisis

dengan uji statistik Mann-Whitney. Tingkat kemaknaan (alfa) ditetapkan sebesar

0,05 (5%), sehingga dikatakan signifikan atau bermakna (B) bila P< 0,05 dan

tidak signifikan atau tidak bermanfaat (TB) bila p ≥ 0,05.

Hasil pengamatan yang menunjukkan perbandingan penurunan

flare dalam bilik mata depan pada kedua kelompok perlakuan dapat dilihat pada

tabel diagram berikut :

Tabel 4 : Perbandingan Penurunan Jumlah Penderita Dengan Flare Pada

Kelompok Deksametason dan Kelompok Diklofenak

Hari DEKSAMETASON DIKLOFENAK


Ke Jumlah Px Dengan Flare Jumlah Px Dengan Flare P Ket
+2 +1 0 +2 +1 0
1 19 9 0 25 2 0 0.0713 TB
(61,29%) (29,03%) (80,64%) (6,45%)
3 15 12 0 24 2 1 0.0530 TB
(48,38%) (38,70%) (77,41%) (6,45%) (3,22%)
7 4 14 9 5 20 2 0.0713 TB
(12,90%) (45,16%) (29,03%) (16,12%) (64,51%) (6,45%)
14 0 5 21 0 6 20 0.7367 TB
(16,12%) (67,74%) (19,35%) (64,51%)
TB : Tidak Bermakna

Universitas Sumatera Utara


Diagram 4 : Perbandingan Penurunan Jumlah Penderita Dengan Flare +2 Pada

Kelompok Deksametason dan kelompok Diklofenak

—•— DIKLOFENAK —— DEKSAMETASON

Hasil pengamatan untuk membandingkan penurunan gradasi sel

radang dalam bilik mata depan pada kedua kelompok uji dapat dilihat pada tabel

dan diagram berikut :

Tabel 5 : Perbandingan Penurunan Jumlah Penderita Dengan Gradasi Sel Radang

Pada Kelompok Deksametason dan Kelompok Diklofenak

Hari DEKSAMETASON DIKLOFENAK


Ke Jumlah Px Dengan Gradasi Sel Jumlah Px Dengan Gradasi Sel P Ket
+2 +1 0 +2 +1 0
1 16 8 0 23 1 0 0.0502 TB
(51,61%) (25,81%) (74,19%) (3,22%)
3 16 8 0 23 1 0 0.0502 TB
(51,61%) (25,81%) (74,19%) (3,22%)
7 3 17 4 6 18 1 0.2055 TB
(9,68%) (54,84%) (12,90%) (19,35%) (58,81%) (3,22%)
14 0 12 12 0 16 8 0.2662 TB
(38,71%) (38,71%) (51,61%) (25,81%)
+2 : 10 – 20 sel/1.p +1 : 5 – 10 sel/1.p. 0 : tidak ada sel TB : Tidak Bermakna

Universitas Sumatera Utara


Diagram 5 : Perbandingan Penurunan Jumlah Penderita Dengan Gradasi Sel +2

Pada Kelompok Deksametason dan Kelompok Diklofenak

—•— DIKLOFENAK —— DEKSAMETASON

Universitas Sumatera Utara


BAB V
PEMBAHASAN

Penelitian ini merupakan suatu penelitian yang bersifat

eksperimental dengan cara uji klinik tersamar ganda dengan tujuan untuk

mengetahui apakah ada perbedaan efektifitas tetes mata deksametason 0,1% dan

tetes mata natrium diklofenak 0,1% dalam menekan inflamasi pasca bedah katarak

metode fakoemulsifikasi dengan penanaman lensa intraokuler antara

Alat ukur dari penelitan ini adalah adanya flare dan sel radang di

dalam bilik mata depan yang merupakan salah satu penanda adanya inflamasi

pada bilik mata depan. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan lampu celah

biomikroskop dengan lebar celah 1 mm, sudut 45º, pembesaran serta intensitas

cahaya maksimal. Area pengamatan adalah bilik mata depan di depan pupil.

Pengamatan dilakukan pada hari pertama , ketiga, ketujuh dan keempat belas

pasca bedah. Diharapkan terjadi penurunan jumlah Flare dan sel radang sebagai

efek dari pengobatan sejalan dengan waktu.

Dalam rentang waktu penelitian selama 2 bulan mulai Maret 2012

sampai dengan April 2012 didapatkan 62 orang penderita yang memenuhi kriteria

sampel, terdiri dari 42 orang penderita laki-laki (67,75%) dan 20 orang perempuan

(32,26%). Dari tabel 1 tampak bahwa pada hampir semua kelompok umur,

penderita laki-laki lebih banyak dari pada penderita perempuan. Hal ini sesuai

dengan penelitian yang dilakukan oleh wisnujono tahun 1985 – 1992 yang

mendapatkan penderita operasi katarak laki-laki sebanyak 61,00% dan perempuan

sebanyak 39,00% Sedangkan Aminoe pada tahun 1994 – 1995 melaporkan bahwa

Universitas Sumatera Utara


penderita operasi katarak laki-laki sebesar 65,21% dan perempuan sebesar 34,79%

. Dari penelitian di atas didapatkan kenyataan bahwa penderita

operasi katarak laki-laki lebih banyak dari pada perempuan, kemungkinan

mempunyai hubungan dengan kenyataan di dalam masyarakat bahwa laki-laki

adalah kepala keluarga dan tulang punggung ekonomi keluarga, sehingga

kepentingannya dalam kesehatan dan fungsi penglihatan yang baik lebih di

utamakan.

Pada penelitian ini didapatkan usia penderita yang termuda adalah

40 tahun sedangkan yang tertua adalah 90 tahun. Rata-rata usia penderita adalah

59,25 tahun sedangkan standar deviasi 11,14 tahun. Dari tabel 1 tampak bahwa

penderita katarak yang dioperasi yang terbanyak adalah dari kelompok umur 61 –

70 tahu yaitu sebesar 36,54%. Duke Elder (1968) menyatakan bahwa terjadinya

katarak senilis mulai didapatkan pada usia 40 tahun dan terbanyak pada umur 60 –

70 tahun, sehingga opersi katarak banyak dilakukan pada umur sekitar 60 tahun.

Gatut Suhendro pada penelitiannya tahun 1985 – 1987 mendapatkan bahwa

sebagian besar penderita yang dioperasi katarak berusia 60 – 70 tahun. (25,30)

Tabel 2 menunjukkan distribusi penderita menurut kelompok umur

dan jenis kelamin untuk masing-masing kelompok perlakuan. Dalam kolompok

deksametason, penderita laki-laki berjumlah 19 orang (61.29%) dan perempuan

12 orang (38,71%).

Sedangkan dalam kelompok diklofenak jumlah penderita laki-laki 23 orang

(74,19%) dan perempuan 8 orang (25,81) dengan uji statistik Chi-square

didapatkan nilai p = 0,25826 yang menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang

Universitas Sumatera Utara


bermakna untuk distribusi penderita menurut jenis kelamin dalam kedua

kelompok.

Dari tabel 3 didapatkan bahwa berdasarkan jenis kataraknya,

penderita dengan katarak matur jauh lebih banyak dari katarak inmatur, baik

secara total maupun untuk masing-masing kelompok. Secara total, katarak matur

sebanyak 72,58% sedangkan katarak inmatur 27,42%. Hal ini menunjukkan masih

rendahnya kesadaran masyarakat dalam pentingnya pemeriksaan kesehatan mata

maupun rendahnya kesadaran untuk bersedia menjalani operasi. Penyebab dari

keadaan tersebut kemungkinan oleh karena bagi sebagian masyarakat, operasi

masih merupakan masih yang menakutkan atau merupakan suatu hal yang belum

bisa dijangkau dalam hal pembiayaan, sehingga penderita baru memeriksakan diri

atau menjalani operasi apabila tajam penglihatannya sudah sangat terganggu.

Dalam penelitian ini kami mengambil sampel penderita pasca

bedah fakoemulsifikasi + LIO yang pada hari pertama pasca bedah menunjukkan

reaksi inflamasi bilik mata depan dengan gradasi flare dan sel + 2 dan + 1. Kami

tidak mengambil sampel penderita dengan tingkat inflamasi yang lebih berat

mengingat pada keadaan tersebut diperlukan terapi dan perawatan yang lebih

intensif.

Wiwaswata dalam penelitiannya mendapatkan bahwa pada pasca

bedah EKEK + LIO penderita yang menunjukkan adanya rekasi inflamasi pada

hari pertama bedah besar 23,33%, pada hari ketiga terjadi penurunan menjadi

sebesar 13,33%, sedangkan pada hari ketujuh didapatkan sebanyak 8,33%.

Universitas Sumatera Utara


Dari tabel 4, terlihat bahwa hari pertama pasca bedah tidak terdapat

perbedaan yang bermakna dari penderita dengan gradasi flare + 2 maupun + 1

antara kelompok deksametason dan kelompok diklofenak (p = 0,0713). Sebagian

besar penderita menunjukkkan gradasi flare + 2 dimana pada kelompok

deksametason sebesar 61,29% dan pada kelompok diklofenak sebesar 80,64%.

Pada hari ketiga, relatif tidak ada perubahan dibandingkan pada

hari pertama. Hanya terjadi sedikit penurunan jumlah penderita dengan flare + 2

pada kelompok deksametason yaitu dari 61,29% menjadi 48,39%. Perbedaan

antara kelompok deksametason dan kelompok diklofenak tetap tidak bermakna

( p = 0,0530).

Pada hari ketujuh, terjadi banyak penurunan jumlah penderita

dengan flare + 2 pada kedua kelompok, sehingga terjadi peningkatan jumlah

penderita dengan flare + 1. Sementara itu terdapat beberapa penderita yang telah

mencapai flare 0 atau tidak didapatkan adanya flare dalam bilik mata depan yaitu

sebesar 29,03% pada kelompok deksametason dan 6,45% pada kelompok

diklofenak. Tidak perbedaan bermakna antara kelompok deksametason dan

diklofenak pada hari ketujuh (p= 0,0713).

Pada hari keempat belas, pada kedua kelompok sudah didapatkan

lagi penderita dengan flare + 2, sementara sebagian besar penderita telah

mencapai gradasi flare 0, yaitu sebesar 67,74% pada kelompok deksametason,

sedangkan pada kelompok diklofenak sebesar 64,51% Pada hari keempat belas ini

juga tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok deksametason dan

diklofenak ( p = 0,7367).

Universitas Sumatera Utara


Dari tabel 5, dapat dilihat bahwa pada kedua kelompok sebagian

besar penderita mengalami reaksi inflamasi dengan gradasi sel bilik mata depan +

2, yaitu sebesar 51,61% pada kelompok deksametason dan sebesar 74,19% pada

kelompok diklofenak. Tidak ada perbedaan bermakna antara kedua kelompok ( p

= 0,0502). Pada hari ketiga tidak perubahan jumlah penderita dengan gradasi sel

radang + 2 maupun + 1 pada kedua kelompok. Perubahan tampak pengamatan

hari ketujuh dimana pada kedua kelompok terjadi penurunan jumlah penderita

dengan gradasi sel radang 2, yaitu menjadi 9,68% pada kelompok deksametason

dan 19,35, 1% pada kelompok diklofenak. Sementara itu beberapa penderita telah

mencapai gradasi sel 0 yaitu sebesar 12,50% pada kelompok deksametason dan

3,22% pada kelompok diklofenak. Tidak ada perbedaan bermakna antara kedua

kelompok (p = 0,2662).

Pada hari keempat belas sudah tidak didapatkan lagi adanya

penderita dengan gradasi sel + 2 pada kedua kelompok. Sementara itu jumlah

penderita yang mencapai gradasi sel 0 semakin banyak yaitu sebesar 38,71% pada

kelompok deksametason dan 25,85% pada kelompok diklofenak. Dari kedua

kelompok ini tidak ada perbedaan yang bermakna ( p = 0,2662).

Dari penelitian ini, tampak bahwa pada setiap hari pengamatan,

pada tiap tingkat reaksi inflamasi yang terjadi terdapat kesetaraan gradasi flare

dan gradasi sel radang sejalan dengan waktu terapi penurunan tingkat inflamasi

ditandai dengan penurunan sebanding antara gradasi flare maupun gradasi sel

radang. Smith dan Nozik (1983) mengemukakan bahwa tingkat inflamasi bilik

mata depan ditentukan oleh gradasi flare dan gradasi sel radang dalam bilik mata

Universitas Sumatera Utara


depan. Penurunan gradasi flare dan sel radang menunjukkan penurunan tingkat

inflamasi menuju prose penyembuhan sejalan dengan waktu terapi.

Dalam penelitian ini kami mendapatkan bahwa tidak ada

perubahan yang berati antara tingkatan imflamasi pada hari pertama dan hari

ketiga pasca bedah, pada kedua kelompok perlakuan. Perubahan berarti baru

tampak pada pengamatan hari ketujuh dimana pada kedua kelompok terjadi

penurunan jumlah penderita dengan flare dan gradasi sell +2 dan semakin banyak

penderita yang mengalami penurunan tingkatan inflamasi. Pada hari keempat

belas tidak didapatkan lagi penderita dengan flare dan sel radang +2 dan semakin

banyak penderita yang mencappa gradasi flare dan sel = 0. Hal ini berarti bahwa

pada kedua kelompok terjadi proses penyembuhan yang berarti setelah

pengobatan selama 14 hari.

Avci (1993), Othenin – Girard (1994) dan Robert & Bennan (1995)

mengemukakan hasil penelitian mereka yang mendapatkan bahwa hanya terdapat

sedikit penurunan inflamasi pasca bedah katarak + LIO antara hari pertama dan

hari ketiga pasca bedah. Perubahan kearah penyembuhan baru tampak berarti pada

hari ke 5 – 7. Sedangkan proses penyembuhan kebanyakan tercapai setelah 2

minggu sampai 1 bulan pasca bedah.

Pada penelitian ini kami dapatkan bahwa hari pertama, ketiga,

ketujuh dan keempat belas, tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara

kelompok deksametason dan kelompok diklofenak dalam menurunkan reaksi

inflamasi pada bilik mata depan penderita pasca bedah fakoemulsifikasi + LIO

yang ditandai dengan penurunan gradasi flare dan sel radang sejalan dengan

Universitas Sumatera Utara


lamanya waktu pengobatan. Hal yang sama juga telah dilaporkan oleh avci (1993)

dan Othenin Girard (1994) yang menyatakan bahwa tidak terdapat efektifitas yang

bermakna antara obat tetes mata diklofenak 0,1% dan obat tetes mata

deksametason 0,1 % dalam menekan reaksi inflamasi pasca bedah katarak + LIO.

Universitas Sumatera Utara


BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

VI.1. KESIMPULAN

Dari penelitian ini dapat kami simpulkan bahwa tidak terdapat

perbedaan yang bermakna antara tetes mata Deksametason 0,1% dan tetes mata

Natrium diklofenak 0,1% dalam menurunkan reaksi inflamasi bilik mata depan

penderita pasca bedah katarak metode fakoemulsifikasi dengan penanaman lensa

intraokuler di RSUP H. Adam Malik Medan dan Rumah Sakit Khusus Mata

Medan Baru.

VI.2. SARAN

1. Masih diperlukan penelitian lanjutan untuk mengetahui dan

membandingkan keunggulan maupun kerugian dari obat topikal anti

inflamasi non steroid dalam hal ini natrium diklofenak dibandingkan

dengan obat topikal anti inflamasi steroid, khususnya dalam menekan

reaksi inflamasi pasca bedah katarak dengan penanaman lensa

intraokuler.

2. Berdasarkan hasil penelitian ini mungkin dapat dipertimbangkan

pemberian tetes mata natrium diklofenak 0.1% sebagai alternatif pilihan

untuk menekan inflamasi pasca bedah katarak, untuk menghindari

efek samping dari pemberian tetes mata anti inflamasi steroid.

Universitas Sumatera Utara


BAB VII

RINGKASAN

Telah dilakukan penelitian terhadap penderita katarak senelis yang

menjalani operasi katarak fakoemulsifikasi dengan penanaman lensa intraokuler

di ruangan departemen Ilmu Penyakit Mata RSUP H. Adam Malik Medan dan

Rumah Sakit Khusu Mata Medan Baru. Didapatkan 62 orang penderita yang

memenuhi kriteria sampel. Penderita laki-laki sebanyak 42 orang (67,75%) dan

perempuan sebanyak 20 orang (32,26%). Usia termuda 40 tahun dan tertua 90

tahun, dengan rata-rata usia 59,25 ± 11,14 tahun. Kelompok umur terbanyak

adalah 61-70 tahun yaitu sebanyak 23 orang (72,58%). Menurut jenis kataraknya,

didapatkan katarak matur sebanyak 45 orang (72,58%) dan katarak imatur 17

orang (27,42%). Seluruh penderita dibagi ke dalam dua kelompok perlakuan

secara acak. Kelompok pertama diberikan terapi tetes mata deksametason 0,1%

dan kelompok kedua diberi terapi tetes mata diklofenak 0,1%. Dilakukan

pengamatan terhadap flare dan sel radang dalam bilik mata depan pada hari

pertama, ketiga, ketujuh dan keempat belas pasca bedah.

Dari hasil pengamatan didapatkan tidak ada perbedaan yang ber

makna antara kelompok deksametason dengan kelompok diklofenak pada tiap hari

pengamatan, baik pengamatan terhadap flare maupun terhadap sel radang bilik

mata depan.

Universitas Sumatera Utara


Didapatkan pula bahwa penurunan tingkat inflamasi bilik mata

depan pada kelompok baru tampak jelas pada hari ke tujuh dan hari keempat

belas.

Universitas Sumatera Utara


BAB VIII

PENUTUP

Demikian telah dilaporkan hasil penelitian kami yang berjudul

Perbandingan Efektifitas Tetas Mata Natrium Diklofenak 0,1% dan Dexsametason

0,1% dalam menekan inflamasi pasca bedah katarak. Semoga bermanfaat.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai