Anda di halaman 1dari 2

Kedudukan Alat Bukti Elektronik Saat Ini Dalam Hukum Di Indonesia

Sebelum terbitnya UU ITE, eksistensi alat bukti elektronik sebenarnya telah tersebar dalam beberapa
peraturan perundang-undangan, yaitu (i) UU No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan; (ii) UU
No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun
2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme; (iii) UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dalam UU No. 15 Tahun 2003; (iv) UU No. 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001; (v)
UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Namun, eksistensi alat bukti elektronik
diakui sebagai alat bukti yang sah, semakin diperkuat dengan terbitnya UU ITE, yaitu dalam Pasal 5 ayat
(1) dan ayat (2) UU ITE, yang menyebutkan:

(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti
hukum yang sah.

(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di
Indonesia.

Dengan berlakunya ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE, maka alat bukti yang sah dalam
hukum acara perdata maupun pidana menjadi tidak saja terbatas pada alat bukti yang ada dalam
HIR/RBg, KUHPerdata maupun KUHAP, tetapi juga termasuk alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 5
ayat (1) dan ayat (2) UU ITE, yaitu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil
cetaknya. Perluasan mengenai alat bukti tersebut, membawa perubahan dalam hukum pembuktian yang
berlaku dalam hukum acara di Indonesia, sehingga bukti elektronik berupa informasi elektronik dan/atau
dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya diakui secara sah sebagai alat bukti yang dapat diajukan di
Pengadilan. Lebih lanjut, Pasal 5 ayat (4) jo. Pasal 6 jo. Pasal 15 jo. Pasal 16 UU ITE mengatur mengenai
syarat keabsahan alat bukti elektronik, baik syarat secara formil maupun materil yaitu:

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di
dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga
menerangkan suatu keadaan;

1. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik berasal dari Sistem Elektronik yang andal, aman
dan bertanggung jawab;
2. Dapat menampilkan kembali Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik secara utuh;

3. Dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan dan keteraksesan Informasi


Elektronik;

4. Dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang dapat dipahami.;

5. Memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan, kejelasan dan kebertanggung
jawaban prosedur atau petunjuk;

6. Bukan surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan

7. Bukan surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta
notaris atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.

Dengan terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016 menimbulkan konsekuensi


bahwa suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dapat dijadikan suatu alat bukti yang sah
di persidangan, dalam hal alat bukti yang dimaksud telah memenuhi syarat formil dan materil di atas,
serta informasi elekrtronik dan/atau dokumen elektronik tersebut harus merupakan permintaan dari
kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya dalam rangka penegakan hukum.

Anda mungkin juga menyukai