Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN

CHOLELITIASIS DI RUANG 25

RUMAH SAKIT DR SAIFUL ANWAR MALANG

OLEH :

SYAFA FADILA ILMANINGTYAS

16.100.48

PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KEPANJEN
2018/2019

Anatomi Kandung Empedu

1
Gambar 2.1. Anatomi kandung empedu dan saluran bilier
(sumber: www.pennstatehershey.adam.com)

Kandung empedu adalah sebuah kantung berbentuk seperti buah pir, yang
terletak pada permukaan inferior dari hati pada garis yang memisahkan lobus kanan
dan kiri, yang disebut dengan fossa kandung empedu. Ukuran kandung empedu pada
orang dewasa adalah 7cm hingga 10 cm dengan kapasitas lebih kurang 30mL.
Kandung empedu menempel pada hati oleh jaringan ikat longgar , yang mengandung
vena dan saluran limfatik yang menghubungkan kandung empedu dengan hati.
Kandung empedu dibagi menjadi empat area anatomi: fundus, korpus, infundibulum,
dan kolum (Avunduk, 2017). Saluran biliaris dimulai dari kanalikulus hepatosit, yang
kemudian menuju ke duktus biliaris. Duktus yang besar bergabung dengan duktus
hepatikus kanan dan kiri, yang akan bermuara ke duktus hepatikus komunis di porta
hepatis. Ketika duktus sistika dari kandung empedu bergabung dengan duktus
hepatikus komunis, maka terbentuklah duktus biliaris komunis. Duktus biliaris
komunis secara umum memiliki panjang 8 cm dan diameter 0.5-0.9 cm, melewati
duodenum menuju pangkal pankreas, dan kemudian menuju ampula Vateri
(Avunduk, 2017). Suplai darah ke kandung empedu biasanya berasal dari arteri
sistika yang berasal dari arteri hepatikus kanan. Asal arteri sistika dapat bervariasi
pada tiap tiap orang, namun 95 % berasal dari arteri hepatik kanan (Debas, 2014).

Aliran vena pada kandung empedu biasanya melalui hubungan antara vena
vena kecil. Vena-vena ini melalui permukaan kandung empedu langsung ke hati dan
bergabung dengan vena kolateral dari saluran empedu bersama dan akhirnya menuju
vena portal. Aliran limfatik dari kandung empedu menyerupai aliran venanya. Cairan
limfa mengalir dari kandung empedu ke hati dan menuju duktus sistika dan masuk ke
sebuah nodus atau sekelompok nodus. Dari nodus ini cairan limfa pada akhinya akan

2
masuk ke nodus pada vena portal. Kandung empedu diinervasi oleh cabang dari saraf
simpatetik dan parasimpatetik, yang melewati pleksus seliaka. Saraf preganglionik
simpatetik berasal dari T8 dan T9. Saraf postganglionik simpatetik berasal dari
pleksus seliaka dan berjalan bersama dengan arteri hepatik dan vena portal menuju
kandung empedu. Saraf parasimpatetik berasal dari cabang nervus vagus (Welling &
Simeone, 2009).

Fisiologi Kandung Empedu


Fungsi kandung empedu yaitu sebagai berikut:
1. Menyimpan dan mengkonsentrasikan cairan empedu yang berasal dari hati di
antara dua periode makan.
2. Berkontraksi dan mengalirkan garam empedu yang merupakan turunan kolesterol,
dengan stimulasi oleh kolesistokinin,ke duodenum sehingga membantu proses
pencernaan lemak (Barett, 2016).

Cairan empedu dibentuk oleh hepatosit, sekitar 600 mL per hari, terdiri dari air,
elektrolit, garam empedu, kolesterol, fosfolipid, bilirubin, dan senyawa organik
terlarut lainnya. Kandung empedu bertugas menyimpan dan menkonsentrasikan
empedu pada saat puasa. Kira-kira 90 % air dan elektrolit diresorbsi oleh epitel
kandung empedu, yang menyebabkan empedu kaya akan konstituen organik
(Avunduk, 2012).

Di antara waktu makan, empedu akan disimpan di kandung empedu dan


dipekatkan. Selama makan, ketika kimus mencapai usus halus, keberadaan makanan
terutama produk lemak akan memicu pengeluaran kolesistokinin (CCK). Hormon ini
merangsang kontraksi dari kandung empedu dan relaksasi sfingter Oddi, sehingga
empedu dikeluarkan ke duodenum dan membantu pencernaan dan penyerapan lemak.
Garam empedu secara aktif disekresikan ke dalam empedu dan akhirnya disekresikan
bersama dengan konstituen empedu lainnya ke dalam duodenum. Setelah berperan
serta dalam pencernaan lemak, garam empedu diresorpsi ke dalam darah dengan
mekanisme transport aktif khusus di ileum terminal. Dari sini garam empedu akan
kembali ke sistem porta hepatika lalu ke hati, yang kembali mensekresikan mereka ke
kandung empedu. Proses pendaurulangan antara usus halus dan hati ini disebut
sebagai sirkulasi enterohepatik (Sherwood, 2001).

Dalam keadaan dimana kandung empedu tidak berfungsi dengan baik, garam
empedu yang telah melalui sirkulasi enterohepatik sebagian besar akan disimpan di
usus halus (Barett, 2016).

3
LAPORAN PENDAHULUAN CHOLELITIASIS

A. Pengertian
Cholelitiasis disebut juga batu empedu, gallstones, biliary calculus. Istilah
kolelitiasis dimaksudkan untuk pembentukan batu di dalam kandung empedu. Batu
kandung empedu merupakan gabungan beberapa unsur yang membentuk suatu
material mirip batu yang terbentuk di dalam kandung empedu. Batu empedu adalah
timbunan kristal di dalam kandung empedu atau di dalam saluran empedu. Batu yang
ditemukan di dalam kandung empedu disebut kolelitiasis, sedangkan batu di dalam
saluran empedu disebut koledokolitiasis (Nucleus Precise Newsletter, edisi 72, 2017).
Cholelitiasis adalah adanya batu yang terdapat didalam kandung empedu atau
saluran empedu (duktus choledokus) atau keduanya. Batu empedu bisa terdapat pada
kantung empedu, saluran empedu ekstra hepatik, atau saluran empedu intra hepatik.
Bila terletak di dalam kantung empedu saja disebut cholesistolitiasis, dan yang
terletak di dalam saluran empedu ekstra hepatik (duktus choleduktus) disebut
choledokolitiasis, sedang bila terdapat di dalam saluran empedu intra hepatik
disebelah proksimal duktus hepatikus kanan dan kiri disebut hepatolitiasis.
cholesistolitiasis dan choledocholitiasis disebut dengan cholelitiasis. (Muttaqin dan
Sari, 2017)
Cholelitiasis merupakan adanya batu di kandung empedu yang pada umumnya
komposisi utamanya adalah kolesterol (Williams, 2013).
Menurtu gambaran maroskopis dan komposisi kimianya, batu empedu di
golongkan atas 3 golongan:
1) Batu kolesterol
Berbentuk oval, multifocal atau mulberry dan mengandung lebih dari 70%
kolesterol.
2) Batu kalsium biliruinan (pigmen coklat)
Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan mengandung
kalsium-bilirubinat sebagai komponen utama.
3) Batu pigmen hitam
Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, seperti bu-buk dan
kaya akan sisa zat hitam yang tak terekstraksi. (Williams, 2013)
1.
B. Tanda dan Gejala
Tanda gejala menurut Wim de Jong. (2015) pada pasien Cholelitiasis adalah sebagai
berikut :
1. Sebagian bersifat asimtomatik
2. Nyeri tekan kuadran kanan atau atas midepigastrik samar yang menjalar ke
punggung atau region bahu kanan
4
3. Sebagian pasien rasa nyeri bukan bersifat kolik melainkan persisten
4. Mual dan muntah serta demam
5. Ikterus obstruksi pengaliran getah empedi ke dalam duodenum akan
menimbulkan gejala yang khas, yaitu : getah empedu yang tidak lagi dibawa
kedalam duodenum akan diserap oleh darah dan penyerapan empedu ini
membuat kulit dan membrane mukosa berwarna kuning. Keadaan ini sering
disertai dengan gejala gatal-gatal pada kulit
6. Perubahan warna urin dan feses. Ekspresi pigmen empedu oleh ginjal akan
membuat urin berwarna sangat gelap. Feses yang tidak diwarnai lagi oleh
pigmen empedu akan tampak kelabu, dan biasanya pekat yang disebut “Clay
colored”
7. Regurgitasi gas : flatus dan sendawa
8. Defisiensi vitamin obstruksi aliran empedu juga akan mengganggu absorpsi
vitain A, D, E, K yang larut dalam lemak. Karena itu pasien dapat
memperlihatkan gejala defisiensi vitamin-vitamin ini jika obstruksi atau
sumbatan bilier berlangsung lama. Penurunan jumlah vitamin K dapat
mengganggu pembekuan darah yang normal.

C. Pohon Masalah

Ketidakefektifan nutrisi
kurang dari kebutuhan Rasa mual muntah
tubuh
Resiko syok Resiko kekurangan Makanan tertahan di
(hipovolemik) volume cairan lambung

Nyeri akut Cairan shif keperitonium Penurunan peristaltic

Nyeri hebat pada kuadran Permeabilitas kapiler Menekan s. parasimpatis


atas dan nyeri tekan
Merangsang nervus vagal
daerah epigastrium Hipertermi
Serabut saraf eferen Bersifat iriatif disaluran
hipotalamus Peningkatan suhu cerna
5
Hasilkan substansi P Termostrat dihipotalamus Enzyme SGOT dan SGPT
Merangsang ujung saraf Imflamasi
Interfensi pembedahan
eferen simpatis
Bag. Fundus menyentuh Iritasi lumen Port de entrée pasca
bag. Abdomen kartilago bedah
IX, X Aliran balik getah empedu Resiko Infeksi
(duktus kolekditus ke
Distensi kandung empedu
pancreas)
Menyumbat aliran getah
pankreas

Batu empedu Peradangan dalam,


Gambar 1. “Pohon
sekresi Masalah
kolesterol kantongCholelitiasis”
Pengendapan kolesterol
Sumber : Nuararif,empedu
A. H.,Kusuma, H (2016)., NANDA (2015-2017)

D. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostic menurut Smeltzer dan Bare (2012) pada pasien Cholelitiasis
berupa :
1. Pemeriksaan Laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatis umumnya tidak menunjukkan
kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut,
dapat terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan
kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledukus oleh batu.
Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu didalam
duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar
amilase serum biasanya meningkat sedang setiap kali terjadi serangan akut.
Enzim hati AST (SGOT), ALT (SGPT), LDH agak meningkat. Kadar
protrombin menurun bila obstruksi aliran empedu dalam usus menurunkan
absorbs vitamin K.
2. Pemeriksaan sinar-X abdomen
Pemeriksaan sinar-X abdomen bisa dilakukan jika ada kecurigaan akan
penyakit kandung empedu dan untuk menyingkirkan penyebab gejala yang
lain. Namun demikian, hanya 15-20% batu empedu yang mengalami cukup
kalsifikasi untuk dapat tampak melalui pemeriksaan sinar-X.
3. Foto polos abdomen
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena
hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang
kandung empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi

6
dapat dilihat dengan foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung
empedu yang membesar atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat
sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran
udara dalam usus besar di fleksura hepatika. Walaupun teknik ini murah, tetapi
jarang dilakukan pada kolik bilier sebab nilai diagnostiknya rendah.
4. Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan USG telah menggantikan kolesistografi oral sebagai
prosedur diagnostik pilihan karena pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan
cepat dan akurat, dan dapat digunakan pada penderita disfungsi hati dan
ikterus. Disamping itu, pemeriksaan USG tidak membuat pasien terpajan
radiasi inisasi. Prosedur ini akan memberikan hasil yang paling akurat jika
pasien sudah berpuasa pada malam harinya sehingga kandung empedunya
berada dalam keadan distensi. Penggunaan ultra sound berdasarkan pada
gelombang suara yang dipantulkan kembali. Pemeriksan USG dapat
mendeteksi kalkuli dalam kandung empedu atau duktus koleduktus yang
mengalami dilatasi.
5. Radiografi: Kolesistografi
Kolesistografi digunakan bila USG tidak tersedia atau bila hasil USG
meragukan. Kolangiografi oral dapat dilakukan untuk mendeteksi batu
empedu dan mengkaji kemampuan kandung empedu untuk melakukan
pengisian, memekatkan isinya, berkontraksi serta mengosongkan isinya. Oral
kolesistografi tidak digunakan bila pasien jaundice karena liver tidak dapat
menghantarkan media kontras ke kandung empedu yang mengalami obstruksi.
6. Sonogram
Sonogram dapat mendeteksi batu dan menentukan apakah dinding
kandung empedu telah menebal.
7. ERCP (Endoscopic Retrograde Colangiopancreatografi)
Pemeriksaan ini memungkinkan visualisasi struktur secara langsung
yang hanya dapat dilihat pada saat laparatomi. Pemeriksaan ini meliputi
insersi endoskop serat optik yang fleksibel ke dalam esofagus hingga
mencapai duodenum pars desendens. Sebuah kanula dimasukan ke dalam
duktus koleduktus serta duktus pankreatikus, kemudian bahan kontras
disuntikan ke dalam duktus tersebut untuk menentukan keberadaan batu di
duktus dan memungkinkan visualisassi serta evaluasi percabangan bilier.
8. Percutaneous Transhepatic Cholangiography (PTC)
Pemeriksaan kolangiografi ini meliputi penyuntikan kontras secara langsung
ke dalam cabang bilier. Karena konsentrasi bahan kontras yang disuntikan
7
relatif besar maka semua komponen sistem bilier (duktus hepatikus, D.
koledukus, D. sistikus dan kandung empedu) dapat terlihat. Meskipun angka
komplikasi dari kolangiogram rendah namun bisa beresiko peritonitis bilier,
resiko sepsis dan syok septik.
9. Computed Tomografi (CT)
CT scan juga merupakan metode pemeriksaan yang akurat untuk menentukan
adanya batu empedu, pelebaran saluran empedu dan koledokolitiasis.
Walaupun demikian, teknik ini jauh lebih mahal dibanding US.

E. Penatalaksanaan Medis
Menurut Reenbergen. (2018), penanganan cholelitiasis dibedakan menjadi dua
yaitu penanganan non bedah dan bedah.
a) Penanganan Nonbedah
a. Penanganan pendukung dan diet
Kurang lebih 80% dari pasien-pasien inflamasi akut kandung
empedu sembuh dengan istirahat, cairan infus, penghisapan
nasogastrik, analgesik dan antibiotik. Intervensi bedah harus ditunda
sampai gejala akut mereda dan evalusi yang lengkap dapat
dilaksanakan, kecuali jika kondisi pasien memburuk Manajemen
terapi :
i. Diet rendah lemak, tinggi kalori, tinggi protein
ii. Pemasangan pipa lambung bila terjadi distensi perut.
iii. Observasi keadaan umum dan pemeriksaan vital sign
iv. Dipasang infus program cairan elektrolit dan glukosa untuk
mengatasi syok.
v. Pemberian antibiotik sistemik dan vitamin K (anti koagulopati)
b. Disolusi medis
Oral Dissolution Therapy adalah cara penghancuran batu
dengan pemberian obat-obatan oral. Ursodeoxycholic acid lebih dipilih
dalam pengobatan daripada chenodeoxycholic karena efek samping
yang lebih banyak pada penggunaan chenodeoxycholic seperti
terjadinya diare, peningkatan aminotransfrase dan hiperkolesterolemia
sedang. Harus memenuhi criteria terapi non operatif, seperti batu
kolesterol diameternya <20 mm dan batu < 4 batu, fungsi kandung
empedu baik, dan duktus sistik paten.
c. Disolusi kontak
Terapi contact dissolution adalah suatu cara untuk
menghancurkan batu kolesterol dengan memasukan suatu cairan
pelarut ke dalam kandung empedu melalui kateter perkutaneus melalui

8
hepar atau alternatif lain melalui kateter nasobilier. Larutan yang
dipakai adalah methyl terbutyl eter. Larutan ini dimasukkan dengan
suatu alat khusus ke dalam kandung empedu dan biasanya mampu
menghancurkan batu kandung empedu dalam 24 jam.
Kelemahan teknik ini hanya mampu digunakan untuk kasus
dengan batu yang kolesterol yang radiolusen. Larutan yang digunakan
dapat menyebabkan iritasi mukosa, sedasi ringan dan adanya
kekambuhan terbentuknya kembali batu kandung empedu.
d. Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL)
Prosedur non invasive ini menggunakan gelombang kejut
berulang (Repeated Shock Wave) yang diarahkan pada batu empedu
didalam kandung empedu atau duktus koledokus dengan maksud
memecah batu tersebut menjadi beberapa sejumlah fragmen. (Smeltzer
& Bare, 2012).
ESWL sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu.
Analisis biaya-manfaat pada saat ini memperlihatkan bahwa prosedur
ini hanya terbatas pada pasien yang telah benar-benar dipertimbangkan
untuk menjalani terapi ini.
e. Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)
Pada ERCP, suatu endoskop dimasukkan melalui mulut,
kerongkongan, lambung dan ke dalam usus halus sehingga batu dapat
keluar bersama tinja. Zat kontras radioopak masuk ke dalam saluran
empedu melalui sebuah selang di dalam sfingter oddi. Pada
sfingterotomi, otot sfingter dibuka agak lebar sehingga batu empedu
yang menyumbat saluran akan berpindah ke usus halus. Untuk batu
besar, batu yang terjepit di saluran empedu atau batu yang terletak di
atas saluran empedu yang sempit diperlukan prosedur endoskopik
tambahan sesudah sfingterotomi seperti pemecahan batu dengan
litotripsi mekanik dan litotripsi laser.
ERCP dan sfingterotomi telah berhasil dilakukan pada 90%
kasus. Kurang dari 4 dari setiap 1.000 penderita yang meninggal dan 3-
7% mengalami komplikasi, sehingga prosedur ini lebih aman
dibandingkan pembedahan perut. ERCP saja biasanya efektif
dilakukan pada penderita batu saluran empedu yang lebih tua, yang
kandung empedunya telah diangkat

9
b) Penanganan Bedah
a. Kolesistektomi terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan
pasien denga kolelitiasis simtomatik. Komplikasi yang paling
bermakna yang dapat terjadi adalah cedera duktus biliaris yang terjadi
pada 0,2% pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur
ini kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi
adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.
b. Kolesistektomi laparoskopik
Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun
1990 dan sekarang ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara
laparoskopi. 80-90% batu empedu di Inggris dibuang dengan cara ini
karena memperkecil resiko kematian dibanding operasi normal (0,1-
0,5% untuk operasi normal) dengan mengurangi komplikasi pada
jantung dan paru. Kandung empedu diangkat melalui selang yang
dimasukkan lewat sayatan kecil di dinding perut.
Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik
tanpa adanya kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya
pengalaman, banyak ahli bedah mulai melakukan prosedur ini pada
pasien dengan kolesistitis akut dan pasien dengan batu duktus
koledokus. Indikasi pembedahan karena menandakan stadium lanjut,
atau kandung empedu dengan batu besar, berdiameter lebih dari 2 cm.
kelebihan yang diperoleh pasien luka operasi kecil (2-10 mm) sehingga
nyeri pasca bedah minimal. Masalah yang belum terpecahkan adalah
keamanan dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden komplikasi
seperti cedera duktus biliaris yang mungkin dapat terjadi lebih sering
selama kolesistektomi laparoskopi.

.
F. Diagnosa Keperawatan
Menurut NANDA, (2015-2017). Diagnosa yang muncul pada cholelitiasis
adalah sebagai berikut :
1) Nyeri akut b.d agen cedera biologis: obstruksi atau spasme duktus, proses
inflamasi, iskemia jaringan atau nekrosis (kematian jaringan).
2) Hipertermia b.d peningkatan laju metabolism, proses penyakit (inflamasi).

10
3) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d tidak adekuatnya
intake nutrisi (tonus otot/peristaltic menurun)
4) Resiko kekurangan volume cairan dibuktikan dengan kehilangan cairan aktif
5) Resiko syok dibuktikan dengan hipovolemi
6) Resiko infeksi dibuktikan dengan ketidakadekuatan pertahanan sekunder :
supresi respon inflamasi

G. Rencana Keperawatan

Tujuan dan
Diagnosa
No. Kriteria Hasil Intervensi (NIC) Rasional
Keperawatan
(NOC)

1. Nyeri akut b.d Setelah dilakukan Pain Management Pain Management


agen cedera asuhan keperawatan 1. Lakukan 1. Agar
biologis: selama 2x24 jam, pengkajian mengetahui
obstruksi atau diharapkan nyeri
nyeri secara derajat nyeri
spasme duktus, pada pasien dapat
proses inflamasi, teratasi dengan komprehensif dan tindakan
iskemia jaringan criteria hasil sebagai termasuk lanjutan yang
atau nekrosis berikut :
lokasi, diberikan
(kematian NOC
jaringan).  Pain Level karakteristik,
 Pain Control
durasi,
 Comfort Level
Kriteria Hasil : frekuensi,
2. Agar
1. Mampu
kualitas dan
menngetahui
mengontrol
factor
respon non
nyeri (tahu
presipitasi
verbal
penyebab nyeri, 2. Observasi
terhadap nyeri
mampu reaksi non
3. Agar pasien
menggunakan verbal dari
nyaman dan
teknik ketidaknyama
dapat
nonfarmakologi nan
memberikan
3. Gunakan
untuk
informasi
teknik
mengurangi
mengenai
komunikasi
nyeri, mencari
nyerinya dulu
terapeutik
bantuan)
2. Melaporkan untuk 4. Agar
bahwa nyeri mengetahui mengetahui

11
berkurang pengalaman sumber nyeri
dengan nyeri pasien
5. Agar
4. Kaji kultur
menggunakan
mengetahui
yang
manajemen
hasil akhir
mempengaruhi
nyeri
terhadap
3. Mampu respon nyeri
5. Evaluasi control nyeri
mengenali
bersama yang
nyeri (skala,
pasien dan tim dilakukan
intensitas,
kesehatan lain masa dulu
frekuensi dan
6. Mengurangi
tentang
tanda nyeri)
sumber-
4. Meyatakan rasa ketidakefektifa
sumber yang
nyaman setelah n control nyeri
menyebabkan
nyeri berkurang masa lampau
6. Control nyeri timbul
lingkungan
7. Agar
yang
mengurangi
mempengaruhi
nyeri yang
nyeri seperti
terjadi dengan
ruang suhu
teknik terapi
ruangan,
pencahayaan
dan kebisingan 8. Agar
7. Pilih dan
mengurangi
lakukan
nyeri dan
penanganan
tanpa obat-
nyeri
obat kimia
(farmakologi, 9. Bekerja sama
non dengan dokter
farmakologi jika tindakan
dan inter nyeri tidak
personal) berhasil
8. Ajarkan teknik
Analgesic
non
Administration
farmakologi
1. Agar
12
mengetahui
9. Kolaborasikan
derajat nyeri
dengan dokter
dan obat yang
jika ada
diberikan
keluhan dan
2. Agar tidak
tindakan nyeri
salah dalam
tidak berhasil
Analgesic pemberian
Administration obat
1. Tentukan
3. Agar
lokasi,
mengurangi
karakteristik,
komplikasi
kualitas dan
pemberian
derajat nyeri
obat
sebelum
4. Agar obat
pemberian
yang diberikan
obat
sesuai dengan
2. Cek instruksi
derajat nyeri
dokter tentang
pasien
jenis obat,
dosis dan
5. Agar
frekuensi
3. Cek riwayat mengetahui
alergi pengaruh obat
terhadap tanda
4. Pilih analgesic vital
6. Agar
yang
mengetahui
diperlukan
keberhasilan
atau
obat dan tidak
kombinasi
ditemukannya
analgesic
tanda gejala
ketika
lain
pemberian
lebih dari satu
5. Monitor vital

13
sign sebelum
dan sesudah
pemberian
analgesic
6. Evaluasi
efektivitas
analgesic,
tanda dan
gejala

2. Hipertermia b.d Setelah dilakukan Fever Treatment Fever Treatment


1. Monitor vital 1. Agar
peningkatan laju asuhan keperawatan
sign mengetahui
metabolism, selama 2x24 jam,
perubahan
proses penyakit diharapkan
2. Monitor warna tanda vital
(inflamasi) hipertermia pada
dan suhu kulit pasien
pasien dapat teratasi
2. Agar
dengan criteria hasil
mengetahui
sebagai berikut :
3. Monitor WBC, perubahan
NOC
 Thermoregulasi Hb, dan Kct warna dan
Kriteria Hasil :
suhu tubuh
1. Suhu tubuh 4. Monitor intak
pasien
dalam rentang dan output
3. Agar
normal
mengetahui
2. Nadi dan RR
perubahan
dalam rentang 5. Berikan
WBC, Hb dan
normal pengobatan
3. Tidak ada Kct
untuk
4. Keseimbangan
perubahan
mengatasi
intake dan
warna kulit dan
penyebab
output
tidak ada pusing
demam
mempengaruhi
6. Selimuti
perubahan
pasien
suhu
7. Berikan anti 5. Pemberian
piretik obat untuk
menurunkan

14
demam
8. Lakukan tapid
sponge
6. Menjaga suhu
9. Kolaborasi tubuh agar
pemberian tetap hangat
7. Pemberian
cairan IV
10. Kompres obat penurun
pasien pada panas untuk
lipat paha dan mengurangi
aksila demam
8. Pemberian
kompres untuk
menurunkan
demam
9. Agar cairan
dan nutrisi
tetap terpenuhi
10. Pemberian
kompres pada
titik panas
tubuh

3. Ketidakseimbang Setelah dilakukan Nutrition Nutrition


an nutrisi kurang asuhan keperawatan Management Management
1. Kaji adanya 1. Alergi
dari kebutuhan selama 2x24 jam,
alergi makanan
tubuh b.d tidak diharapkan nutrisi
makanan mengganggu
adekuatnya pada pasien dapat
intake output
intake nutrisi teratasi dengan 2. Kolaborasi
nutrisi
(tonus criteria hasil sebagai dengan ahli
2. Agar
otot/peristaltic berikut : gizi untuk
menentukan
NOC
menurun) menentukan
 Nutritional jumlah asupan
jumlah kalori
Status yang
 Nutritional dan nutrisi
dibutuhkan
Status : food yang
pasien untuk
and fluid intake dibutuhkan
memenuhi
 Nutritional
15
Status : nutrient pasien kebutuhan
 Intake 3. Anjurkan
tubuh
 Weight control
pasien untuk 3. Agar
Kriteria Hasil :
1. Adanya meningkatkan kebutuhan zat
peningkatan intake Fe besi dalam
berat badan darah
4. Anjurkan
sesuai dengan terpenuhi
pasien untuk
4. Agar tidak
tujuan
meningkatkan
2. BB ideal sesuai mengalami
protein dan
dengan tinggi sariawan
vitamin C
badan akibat
5. Berikan
3. Tidak ada
kekurangan
substansi gula
tanda-tanda
vitamin C
malnutrisi 5. Agar
4. Menunjukkan
membantu
6. Yakinkan diet
peningkatan
memenuhi
yang dimakan
fungsi
kebutuhan
mengandung
pengecapan dari
nutrisi dalam
tinggi serat
menelan
tubuh
5. Tidak terjadi untuk
6. Agar
penurunan berat mencegah
mengurangi
badan yang konstipasi
komplikasi
7. Berikan
berarti
akibat
makanan yang
kekurangan
tepilih (sudah
serat
dikonsultasika
n dengan ahli 7. Agar asupan
gizi) nutrisi sesuai
Nutrition
dengan yang
Monitoring
dibutuhkan
1. Monitor
pasien selama
adanya
sakit
penurunan
Nutrition
berat badan
Monitoring
2. Monitor
1. Agar
lingkungan
mengatahui

16
selama makan perubahan BB
yang terajadi
2. Lingkungan
3. Monitor turgor
yang kurang
kulit
bersih dapat
mempengaruhi
4. Monitor mual
nafsu makan
dan muntah
pasien
5. Monitor kadar 3. Turgor kulit
albumin, total lentur
protein, Hb, menandakan
dan kadar Ht kebutuhan
cairan cukup
6. Monitor pucat,
4. Mual muntah
kemerahan
mengganggu
dan
keseimbangan
kekerangan
nutrisi tubuh
jaringan 5. Asupan cairan
konjungtiva tercukupi jika
Ht dalam
darah tidak
kental
6. Pucat dan
kekeringan
konjungtiva
menandai
seseorang
kurang asupan
cairan

4. Resiko Setelah dilakukan Fluid Fluid


kekurangan asuhan keperawatan Management Management
1. Monitor status 1. Agar
volume cairan selama 2x24 jam,
hidrasi mengetahui
dibuktikan diharapkan resiko
(kelembaban tanda hidrasi
dengan kekurangan cairan
membrane pasien dan
kehilangan cairan pada pasien dapat
17
aktif dicegah dengan mukosa, nadi pemberian
criteria hasil sebagai adekuat, TD) tindakan
berikut : jika diperlukan lanjutan
NOC 2. Monitor vital 2. Agar
 Fluid Balance
sign mengetahui
 Hydration
 Nutritional perubahan
Status : food 3. Monitor intake tanda vital
and fluid intake dan output pada pasien
Kriteria Hasil : 3. Agar tetap
cairan
1. Mempertahanka
menjaga
n urine output 4. Kolaborasi
keseimbangan
sesuai dengan pemberian
cairan dalam
usia dan BB cairan IV
tubuh pasien
2. Vital sign dalam
4. Agar nutrisi
batas normal
5. Dorong dan cairan
3. Tidak ada
masukan oral dalam tubuh
tanda-tanda
pasien
dehidrasi,
terpenuhi
elastisitas turgor
6. Tawarkan
kulit baik, 5. Asupan
snack (jus
membrane makanan
buah, buah
mukosa lembab, membantu
segar)
tidak ada rasa memenuhi
7. Kolaborasi
haus yang kebutuhan
dengan dokter
berlebihan nutrisi pasien
6. Membantu
Hypovolemia menambah
Management asupan nutrisi
1. Pelihara IV
dalam tubuh
line
pasien
7. Kolaborasi
2. Monitor dengan dokter
tingkat Hb dan dalam
Hematokrit memenuhi
nutrisi pasien
3. Dorong pasien
Hypovolemia

18
untuk Management
1. Mengurangi
menambah
terjadinya
intake oral
infeksi pada
4. Pemberian
pasien
cairan IV
2. Agar
monitor
mengetahui
adanya tanda
kekentalan
dan gejala
darah pasien
kelebihan
3. Agar
volume cairan
membantu
memenuhi
kebutuhan
nutrisi pasien
4. Agar
membantu
dalam
memenuhi
nutrisi tubuh
dan
mengetahui
tanda
kelebihan
cairan

5. Resiko syok Setelah dilakukan Syok prevention Syok prevention


1. Monitor warna 1. Agar
dibuktikan asuhan keperawatan
kulit, suhu mengetahui
dengan selama 2x24 jam,
kulit, denyut perubahan
hipovolemi diharapkan resiko
jantung, nadi warna kulit,
syok pada pasien
perifer. suhu, denyut
dapat dicegah
jantung pasien
dengan criteria hasil 2. Monitor input
2. Keseimbangan
sebagai berikut : dan output
asupan dan
NOC
 Syok prevention pengeluaran
 Syok
untuk
19
management mencegah
Kriteria Hasil :
terjadinya
1. Nadi dalam 3. Monitor tanda
komplikasi
batas yang dan gejala
dalam tubuh
diharapkan asites
3. Penumpukan
2. Irama jantung
cairan dalam
dalam batas
abdomen dapat
yang diharapkan 4. Lihat dan
3. Frekuensi nafas mengganggu
pelihara
dalam batas keseimbangan
kepatenan
yang diharapkan cairan tubuh
jalan nafas
4. Irama 4. Jalan nafas
pernafasan yang baik akan
5. Berikan cairan
dalam batas mengurangi
IV dan atau
yang diharapkan terjadinya
Hidrasi oral yang tepat
kekurangan
Indikator :
1. Mata cekung oksigen
Syok 5. Asupan cairan
tidak ditemukan
2. Demam tidak Management dan oral yang
1. Monitor
ditemukan tepat untuk
3. TD dalam batas tekanan nadi
menjaga
normal
keseimbangan
4. Hematokrit
2. Monitor status
asupan dalam
dalam batas
cairan, input
tubuh
normal
output Syok
Management
1. Agar
3. Monitor gejala mengetahui
gagal perubahan
pernapasan nadi yang
4. Masukkan dan
terjadi.
memelihara 2. Keseimbangan
akses IV asupan dan
pengeluaran
cairan dapat
mempengaruhi

20
kondisi tubuh
3. Mencegah
terjadinya
gagal nafas
pada pasien
4. Asupan cairan
melalui IV dan
pemeliharaan
akses IV untuk
mencegah
terjadinya
infeksi

6. Resiko infeksi Setelah dilakukan Infection Control Infection Control


1. Bersihkan 1. Agar
dibuktikan asuhan keperawatan
lingkungan mengurangi
dengan selama 2x24 jam,
setelah dipakai terinfeksi
ketidakadekuatan diharapkan resiko
pasien lain penyakit lain
pertahanan infeksi pada pasien
2. Pertahankan 2. Agar
sekunder : supresi dapat dicegah
lingkungan mengurangi
respon inflamasi dengan criteria hasil
aseptic selama masuknya
sebagai berikut :
pemasangan virus ke dalam
NOC
 Immune status alat tubuh yang
 Knowledge:
terinfeksi
3. Tingkatkan
infection control 3. Agar
 Risk control intake nutrisi
membantu
Kriteria Hasil :
1. Klien bebas dari memenuhi
tanda dan gejala cairan dalam
infeksi 4. Berikan terapi tubuh untuk
2. Mendeskripsika
antibiotic mengurangi
n proses
bilaperlu terjadinya
penularan
dehidrasi
5. Dorong
penyakit, factor 4. Membantu
masukan
yang menekan
nutrisi yang
mempengaruhi proses yang
cukup
penularan serta menyebabkan

21
penatalaksanaan infeksi
6. Dorong 5. Membantu
nya
3. Menunjukkan masukan memenuhi
kemampuan cairan kebutuhan
7. Monitor
untuk mencegah tubuh yang
hitung
timbulnya hilang
granulosit dan 6. Menghindari
infeksi
4. Jumlah leukosit WBC terjadinya
dalam batas dehidrasi
8. Instruksikan
7. Peningkatan
normal
pasien untuk
5. Menunjukkan sel darah putih
minum
perilaku hidup sebagai
antibiotic
sehat indicator
sesuai resep
terjadinya
infeksi
8. Antibiotic
yang sesuai
dapat menekan
proses
terjadinya
infeksi

NANDA International. (2015). Nursing Outcomes Classification.(2015). Nursing


Interventions Classification. (2016)

H. Implementasi
Dilakukan berdasarkan intervensi.

I. Evaluasi
Menurut Poer. (2012), proses evaluasi dibagi menjadi 2 tahap yaitu:
a. Evaluasi Formatif (Merefleksikan observasi perawat dan analisis terhadap
klien terhadap respon langsung pada intervensi keperawatan)
b. Evaluasi Sumatif (Merefleksikan rekapitulasi dan sinopsis analisis mengenai
status kesehatan klien terhadap waktu)

22
DAFTAR PUSTAKA
Bulechek, G.M. Butcher, H.K. Dochterman, J.M. Wagner, C.M. 2016. Nursing
Interventions Classification (NIC). Singapore : Elsevier Global Rights.

Herman, T.H. 2015-2017. NANDA Internasional Inc. Diagnosis Keperawatan:


definisi & klasifikasi 2015-2017. Jakarta : EGC

Moorhead, S. Johnson, M. Maas, M.L. Swanson, E. 2016. Nursing Outcomes


Classification (NOC). Singapore: Elsevier Global Rights

Muttaqin, Arif dan Sari, Kumala. 2017. Gangguan Gastrointestinal: Aplikasi Asuhan
Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika

Nucleus Precise Newsletter. 2017. Batu Empedu. Jakarta : PT.Nucleus Precise

Nurarif, A. H., Kusuma, H. 2016. Asuhan Keperawatan Praktis Ed. Revisi Jilid 2.
Yogyakarta: Medi Action

Potter, P.A. 2016. Pengkajian Kesehatan Ed. 3. Jakarta:EGC

Reenbergen NJ, Isselbacher KJ. 2018. Diseases of the Gallbladder and Bile Ducts.
Dalam: Harrison’s Principles Of Internal Medicine, Edisi ke 14. Editor Fauci
dkk. McGraw Hill

Smeltzer, suzanna C. 2012. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner &
Suddart edisi 8 volume 1,2,3. EGC: Jakarta
23
Williams, L.S., Hopper, P.D. 2013. Understanding Medical Surgical Nursing, Second
edition, F.A. Davis Company: Philadelphia

Wim de Jong et al. 2015. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC: Jakarta.

24

Anda mungkin juga menyukai