Laporan Pendahuluan Cholilitiasis Syafa
Laporan Pendahuluan Cholilitiasis Syafa
CHOLELITIASIS DI RUANG 25
OLEH :
16.100.48
1
Gambar 2.1. Anatomi kandung empedu dan saluran bilier
(sumber: www.pennstatehershey.adam.com)
Kandung empedu adalah sebuah kantung berbentuk seperti buah pir, yang
terletak pada permukaan inferior dari hati pada garis yang memisahkan lobus kanan
dan kiri, yang disebut dengan fossa kandung empedu. Ukuran kandung empedu pada
orang dewasa adalah 7cm hingga 10 cm dengan kapasitas lebih kurang 30mL.
Kandung empedu menempel pada hati oleh jaringan ikat longgar , yang mengandung
vena dan saluran limfatik yang menghubungkan kandung empedu dengan hati.
Kandung empedu dibagi menjadi empat area anatomi: fundus, korpus, infundibulum,
dan kolum (Avunduk, 2017). Saluran biliaris dimulai dari kanalikulus hepatosit, yang
kemudian menuju ke duktus biliaris. Duktus yang besar bergabung dengan duktus
hepatikus kanan dan kiri, yang akan bermuara ke duktus hepatikus komunis di porta
hepatis. Ketika duktus sistika dari kandung empedu bergabung dengan duktus
hepatikus komunis, maka terbentuklah duktus biliaris komunis. Duktus biliaris
komunis secara umum memiliki panjang 8 cm dan diameter 0.5-0.9 cm, melewati
duodenum menuju pangkal pankreas, dan kemudian menuju ampula Vateri
(Avunduk, 2017). Suplai darah ke kandung empedu biasanya berasal dari arteri
sistika yang berasal dari arteri hepatikus kanan. Asal arteri sistika dapat bervariasi
pada tiap tiap orang, namun 95 % berasal dari arteri hepatik kanan (Debas, 2014).
Aliran vena pada kandung empedu biasanya melalui hubungan antara vena
vena kecil. Vena-vena ini melalui permukaan kandung empedu langsung ke hati dan
bergabung dengan vena kolateral dari saluran empedu bersama dan akhirnya menuju
vena portal. Aliran limfatik dari kandung empedu menyerupai aliran venanya. Cairan
limfa mengalir dari kandung empedu ke hati dan menuju duktus sistika dan masuk ke
sebuah nodus atau sekelompok nodus. Dari nodus ini cairan limfa pada akhinya akan
2
masuk ke nodus pada vena portal. Kandung empedu diinervasi oleh cabang dari saraf
simpatetik dan parasimpatetik, yang melewati pleksus seliaka. Saraf preganglionik
simpatetik berasal dari T8 dan T9. Saraf postganglionik simpatetik berasal dari
pleksus seliaka dan berjalan bersama dengan arteri hepatik dan vena portal menuju
kandung empedu. Saraf parasimpatetik berasal dari cabang nervus vagus (Welling &
Simeone, 2009).
Cairan empedu dibentuk oleh hepatosit, sekitar 600 mL per hari, terdiri dari air,
elektrolit, garam empedu, kolesterol, fosfolipid, bilirubin, dan senyawa organik
terlarut lainnya. Kandung empedu bertugas menyimpan dan menkonsentrasikan
empedu pada saat puasa. Kira-kira 90 % air dan elektrolit diresorbsi oleh epitel
kandung empedu, yang menyebabkan empedu kaya akan konstituen organik
(Avunduk, 2012).
Dalam keadaan dimana kandung empedu tidak berfungsi dengan baik, garam
empedu yang telah melalui sirkulasi enterohepatik sebagian besar akan disimpan di
usus halus (Barett, 2016).
3
LAPORAN PENDAHULUAN CHOLELITIASIS
A. Pengertian
Cholelitiasis disebut juga batu empedu, gallstones, biliary calculus. Istilah
kolelitiasis dimaksudkan untuk pembentukan batu di dalam kandung empedu. Batu
kandung empedu merupakan gabungan beberapa unsur yang membentuk suatu
material mirip batu yang terbentuk di dalam kandung empedu. Batu empedu adalah
timbunan kristal di dalam kandung empedu atau di dalam saluran empedu. Batu yang
ditemukan di dalam kandung empedu disebut kolelitiasis, sedangkan batu di dalam
saluran empedu disebut koledokolitiasis (Nucleus Precise Newsletter, edisi 72, 2017).
Cholelitiasis adalah adanya batu yang terdapat didalam kandung empedu atau
saluran empedu (duktus choledokus) atau keduanya. Batu empedu bisa terdapat pada
kantung empedu, saluran empedu ekstra hepatik, atau saluran empedu intra hepatik.
Bila terletak di dalam kantung empedu saja disebut cholesistolitiasis, dan yang
terletak di dalam saluran empedu ekstra hepatik (duktus choleduktus) disebut
choledokolitiasis, sedang bila terdapat di dalam saluran empedu intra hepatik
disebelah proksimal duktus hepatikus kanan dan kiri disebut hepatolitiasis.
cholesistolitiasis dan choledocholitiasis disebut dengan cholelitiasis. (Muttaqin dan
Sari, 2017)
Cholelitiasis merupakan adanya batu di kandung empedu yang pada umumnya
komposisi utamanya adalah kolesterol (Williams, 2013).
Menurtu gambaran maroskopis dan komposisi kimianya, batu empedu di
golongkan atas 3 golongan:
1) Batu kolesterol
Berbentuk oval, multifocal atau mulberry dan mengandung lebih dari 70%
kolesterol.
2) Batu kalsium biliruinan (pigmen coklat)
Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan mengandung
kalsium-bilirubinat sebagai komponen utama.
3) Batu pigmen hitam
Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, seperti bu-buk dan
kaya akan sisa zat hitam yang tak terekstraksi. (Williams, 2013)
1.
B. Tanda dan Gejala
Tanda gejala menurut Wim de Jong. (2015) pada pasien Cholelitiasis adalah sebagai
berikut :
1. Sebagian bersifat asimtomatik
2. Nyeri tekan kuadran kanan atau atas midepigastrik samar yang menjalar ke
punggung atau region bahu kanan
4
3. Sebagian pasien rasa nyeri bukan bersifat kolik melainkan persisten
4. Mual dan muntah serta demam
5. Ikterus obstruksi pengaliran getah empedi ke dalam duodenum akan
menimbulkan gejala yang khas, yaitu : getah empedu yang tidak lagi dibawa
kedalam duodenum akan diserap oleh darah dan penyerapan empedu ini
membuat kulit dan membrane mukosa berwarna kuning. Keadaan ini sering
disertai dengan gejala gatal-gatal pada kulit
6. Perubahan warna urin dan feses. Ekspresi pigmen empedu oleh ginjal akan
membuat urin berwarna sangat gelap. Feses yang tidak diwarnai lagi oleh
pigmen empedu akan tampak kelabu, dan biasanya pekat yang disebut “Clay
colored”
7. Regurgitasi gas : flatus dan sendawa
8. Defisiensi vitamin obstruksi aliran empedu juga akan mengganggu absorpsi
vitain A, D, E, K yang larut dalam lemak. Karena itu pasien dapat
memperlihatkan gejala defisiensi vitamin-vitamin ini jika obstruksi atau
sumbatan bilier berlangsung lama. Penurunan jumlah vitamin K dapat
mengganggu pembekuan darah yang normal.
C. Pohon Masalah
Ketidakefektifan nutrisi
kurang dari kebutuhan Rasa mual muntah
tubuh
Resiko syok Resiko kekurangan Makanan tertahan di
(hipovolemik) volume cairan lambung
D. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostic menurut Smeltzer dan Bare (2012) pada pasien Cholelitiasis
berupa :
1. Pemeriksaan Laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatis umumnya tidak menunjukkan
kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut,
dapat terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan
kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledukus oleh batu.
Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu didalam
duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar
amilase serum biasanya meningkat sedang setiap kali terjadi serangan akut.
Enzim hati AST (SGOT), ALT (SGPT), LDH agak meningkat. Kadar
protrombin menurun bila obstruksi aliran empedu dalam usus menurunkan
absorbs vitamin K.
2. Pemeriksaan sinar-X abdomen
Pemeriksaan sinar-X abdomen bisa dilakukan jika ada kecurigaan akan
penyakit kandung empedu dan untuk menyingkirkan penyebab gejala yang
lain. Namun demikian, hanya 15-20% batu empedu yang mengalami cukup
kalsifikasi untuk dapat tampak melalui pemeriksaan sinar-X.
3. Foto polos abdomen
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena
hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang
kandung empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi
6
dapat dilihat dengan foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung
empedu yang membesar atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat
sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran
udara dalam usus besar di fleksura hepatika. Walaupun teknik ini murah, tetapi
jarang dilakukan pada kolik bilier sebab nilai diagnostiknya rendah.
4. Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan USG telah menggantikan kolesistografi oral sebagai
prosedur diagnostik pilihan karena pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan
cepat dan akurat, dan dapat digunakan pada penderita disfungsi hati dan
ikterus. Disamping itu, pemeriksaan USG tidak membuat pasien terpajan
radiasi inisasi. Prosedur ini akan memberikan hasil yang paling akurat jika
pasien sudah berpuasa pada malam harinya sehingga kandung empedunya
berada dalam keadan distensi. Penggunaan ultra sound berdasarkan pada
gelombang suara yang dipantulkan kembali. Pemeriksan USG dapat
mendeteksi kalkuli dalam kandung empedu atau duktus koleduktus yang
mengalami dilatasi.
5. Radiografi: Kolesistografi
Kolesistografi digunakan bila USG tidak tersedia atau bila hasil USG
meragukan. Kolangiografi oral dapat dilakukan untuk mendeteksi batu
empedu dan mengkaji kemampuan kandung empedu untuk melakukan
pengisian, memekatkan isinya, berkontraksi serta mengosongkan isinya. Oral
kolesistografi tidak digunakan bila pasien jaundice karena liver tidak dapat
menghantarkan media kontras ke kandung empedu yang mengalami obstruksi.
6. Sonogram
Sonogram dapat mendeteksi batu dan menentukan apakah dinding
kandung empedu telah menebal.
7. ERCP (Endoscopic Retrograde Colangiopancreatografi)
Pemeriksaan ini memungkinkan visualisasi struktur secara langsung
yang hanya dapat dilihat pada saat laparatomi. Pemeriksaan ini meliputi
insersi endoskop serat optik yang fleksibel ke dalam esofagus hingga
mencapai duodenum pars desendens. Sebuah kanula dimasukan ke dalam
duktus koleduktus serta duktus pankreatikus, kemudian bahan kontras
disuntikan ke dalam duktus tersebut untuk menentukan keberadaan batu di
duktus dan memungkinkan visualisassi serta evaluasi percabangan bilier.
8. Percutaneous Transhepatic Cholangiography (PTC)
Pemeriksaan kolangiografi ini meliputi penyuntikan kontras secara langsung
ke dalam cabang bilier. Karena konsentrasi bahan kontras yang disuntikan
7
relatif besar maka semua komponen sistem bilier (duktus hepatikus, D.
koledukus, D. sistikus dan kandung empedu) dapat terlihat. Meskipun angka
komplikasi dari kolangiogram rendah namun bisa beresiko peritonitis bilier,
resiko sepsis dan syok septik.
9. Computed Tomografi (CT)
CT scan juga merupakan metode pemeriksaan yang akurat untuk menentukan
adanya batu empedu, pelebaran saluran empedu dan koledokolitiasis.
Walaupun demikian, teknik ini jauh lebih mahal dibanding US.
E. Penatalaksanaan Medis
Menurut Reenbergen. (2018), penanganan cholelitiasis dibedakan menjadi dua
yaitu penanganan non bedah dan bedah.
a) Penanganan Nonbedah
a. Penanganan pendukung dan diet
Kurang lebih 80% dari pasien-pasien inflamasi akut kandung
empedu sembuh dengan istirahat, cairan infus, penghisapan
nasogastrik, analgesik dan antibiotik. Intervensi bedah harus ditunda
sampai gejala akut mereda dan evalusi yang lengkap dapat
dilaksanakan, kecuali jika kondisi pasien memburuk Manajemen
terapi :
i. Diet rendah lemak, tinggi kalori, tinggi protein
ii. Pemasangan pipa lambung bila terjadi distensi perut.
iii. Observasi keadaan umum dan pemeriksaan vital sign
iv. Dipasang infus program cairan elektrolit dan glukosa untuk
mengatasi syok.
v. Pemberian antibiotik sistemik dan vitamin K (anti koagulopati)
b. Disolusi medis
Oral Dissolution Therapy adalah cara penghancuran batu
dengan pemberian obat-obatan oral. Ursodeoxycholic acid lebih dipilih
dalam pengobatan daripada chenodeoxycholic karena efek samping
yang lebih banyak pada penggunaan chenodeoxycholic seperti
terjadinya diare, peningkatan aminotransfrase dan hiperkolesterolemia
sedang. Harus memenuhi criteria terapi non operatif, seperti batu
kolesterol diameternya <20 mm dan batu < 4 batu, fungsi kandung
empedu baik, dan duktus sistik paten.
c. Disolusi kontak
Terapi contact dissolution adalah suatu cara untuk
menghancurkan batu kolesterol dengan memasukan suatu cairan
pelarut ke dalam kandung empedu melalui kateter perkutaneus melalui
8
hepar atau alternatif lain melalui kateter nasobilier. Larutan yang
dipakai adalah methyl terbutyl eter. Larutan ini dimasukkan dengan
suatu alat khusus ke dalam kandung empedu dan biasanya mampu
menghancurkan batu kandung empedu dalam 24 jam.
Kelemahan teknik ini hanya mampu digunakan untuk kasus
dengan batu yang kolesterol yang radiolusen. Larutan yang digunakan
dapat menyebabkan iritasi mukosa, sedasi ringan dan adanya
kekambuhan terbentuknya kembali batu kandung empedu.
d. Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL)
Prosedur non invasive ini menggunakan gelombang kejut
berulang (Repeated Shock Wave) yang diarahkan pada batu empedu
didalam kandung empedu atau duktus koledokus dengan maksud
memecah batu tersebut menjadi beberapa sejumlah fragmen. (Smeltzer
& Bare, 2012).
ESWL sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu.
Analisis biaya-manfaat pada saat ini memperlihatkan bahwa prosedur
ini hanya terbatas pada pasien yang telah benar-benar dipertimbangkan
untuk menjalani terapi ini.
e. Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)
Pada ERCP, suatu endoskop dimasukkan melalui mulut,
kerongkongan, lambung dan ke dalam usus halus sehingga batu dapat
keluar bersama tinja. Zat kontras radioopak masuk ke dalam saluran
empedu melalui sebuah selang di dalam sfingter oddi. Pada
sfingterotomi, otot sfingter dibuka agak lebar sehingga batu empedu
yang menyumbat saluran akan berpindah ke usus halus. Untuk batu
besar, batu yang terjepit di saluran empedu atau batu yang terletak di
atas saluran empedu yang sempit diperlukan prosedur endoskopik
tambahan sesudah sfingterotomi seperti pemecahan batu dengan
litotripsi mekanik dan litotripsi laser.
ERCP dan sfingterotomi telah berhasil dilakukan pada 90%
kasus. Kurang dari 4 dari setiap 1.000 penderita yang meninggal dan 3-
7% mengalami komplikasi, sehingga prosedur ini lebih aman
dibandingkan pembedahan perut. ERCP saja biasanya efektif
dilakukan pada penderita batu saluran empedu yang lebih tua, yang
kandung empedunya telah diangkat
9
b) Penanganan Bedah
a. Kolesistektomi terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan
pasien denga kolelitiasis simtomatik. Komplikasi yang paling
bermakna yang dapat terjadi adalah cedera duktus biliaris yang terjadi
pada 0,2% pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur
ini kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi
adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.
b. Kolesistektomi laparoskopik
Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun
1990 dan sekarang ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara
laparoskopi. 80-90% batu empedu di Inggris dibuang dengan cara ini
karena memperkecil resiko kematian dibanding operasi normal (0,1-
0,5% untuk operasi normal) dengan mengurangi komplikasi pada
jantung dan paru. Kandung empedu diangkat melalui selang yang
dimasukkan lewat sayatan kecil di dinding perut.
Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik
tanpa adanya kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya
pengalaman, banyak ahli bedah mulai melakukan prosedur ini pada
pasien dengan kolesistitis akut dan pasien dengan batu duktus
koledokus. Indikasi pembedahan karena menandakan stadium lanjut,
atau kandung empedu dengan batu besar, berdiameter lebih dari 2 cm.
kelebihan yang diperoleh pasien luka operasi kecil (2-10 mm) sehingga
nyeri pasca bedah minimal. Masalah yang belum terpecahkan adalah
keamanan dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden komplikasi
seperti cedera duktus biliaris yang mungkin dapat terjadi lebih sering
selama kolesistektomi laparoskopi.
.
F. Diagnosa Keperawatan
Menurut NANDA, (2015-2017). Diagnosa yang muncul pada cholelitiasis
adalah sebagai berikut :
1) Nyeri akut b.d agen cedera biologis: obstruksi atau spasme duktus, proses
inflamasi, iskemia jaringan atau nekrosis (kematian jaringan).
2) Hipertermia b.d peningkatan laju metabolism, proses penyakit (inflamasi).
10
3) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d tidak adekuatnya
intake nutrisi (tonus otot/peristaltic menurun)
4) Resiko kekurangan volume cairan dibuktikan dengan kehilangan cairan aktif
5) Resiko syok dibuktikan dengan hipovolemi
6) Resiko infeksi dibuktikan dengan ketidakadekuatan pertahanan sekunder :
supresi respon inflamasi
G. Rencana Keperawatan
Tujuan dan
Diagnosa
No. Kriteria Hasil Intervensi (NIC) Rasional
Keperawatan
(NOC)
11
berkurang pengalaman sumber nyeri
dengan nyeri pasien
5. Agar
4. Kaji kultur
menggunakan
mengetahui
yang
manajemen
hasil akhir
mempengaruhi
nyeri
terhadap
3. Mampu respon nyeri
5. Evaluasi control nyeri
mengenali
bersama yang
nyeri (skala,
pasien dan tim dilakukan
intensitas,
kesehatan lain masa dulu
frekuensi dan
6. Mengurangi
tentang
tanda nyeri)
sumber-
4. Meyatakan rasa ketidakefektifa
sumber yang
nyaman setelah n control nyeri
menyebabkan
nyeri berkurang masa lampau
6. Control nyeri timbul
lingkungan
7. Agar
yang
mengurangi
mempengaruhi
nyeri yang
nyeri seperti
terjadi dengan
ruang suhu
teknik terapi
ruangan,
pencahayaan
dan kebisingan 8. Agar
7. Pilih dan
mengurangi
lakukan
nyeri dan
penanganan
tanpa obat-
nyeri
obat kimia
(farmakologi, 9. Bekerja sama
non dengan dokter
farmakologi jika tindakan
dan inter nyeri tidak
personal) berhasil
8. Ajarkan teknik
Analgesic
non
Administration
farmakologi
1. Agar
12
mengetahui
9. Kolaborasikan
derajat nyeri
dengan dokter
dan obat yang
jika ada
diberikan
keluhan dan
2. Agar tidak
tindakan nyeri
salah dalam
tidak berhasil
Analgesic pemberian
Administration obat
1. Tentukan
3. Agar
lokasi,
mengurangi
karakteristik,
komplikasi
kualitas dan
pemberian
derajat nyeri
obat
sebelum
4. Agar obat
pemberian
yang diberikan
obat
sesuai dengan
2. Cek instruksi
derajat nyeri
dokter tentang
pasien
jenis obat,
dosis dan
5. Agar
frekuensi
3. Cek riwayat mengetahui
alergi pengaruh obat
terhadap tanda
4. Pilih analgesic vital
6. Agar
yang
mengetahui
diperlukan
keberhasilan
atau
obat dan tidak
kombinasi
ditemukannya
analgesic
tanda gejala
ketika
lain
pemberian
lebih dari satu
5. Monitor vital
13
sign sebelum
dan sesudah
pemberian
analgesic
6. Evaluasi
efektivitas
analgesic,
tanda dan
gejala
14
demam
8. Lakukan tapid
sponge
6. Menjaga suhu
9. Kolaborasi tubuh agar
pemberian tetap hangat
7. Pemberian
cairan IV
10. Kompres obat penurun
pasien pada panas untuk
lipat paha dan mengurangi
aksila demam
8. Pemberian
kompres untuk
menurunkan
demam
9. Agar cairan
dan nutrisi
tetap terpenuhi
10. Pemberian
kompres pada
titik panas
tubuh
16
selama makan perubahan BB
yang terajadi
2. Lingkungan
3. Monitor turgor
yang kurang
kulit
bersih dapat
mempengaruhi
4. Monitor mual
nafsu makan
dan muntah
pasien
5. Monitor kadar 3. Turgor kulit
albumin, total lentur
protein, Hb, menandakan
dan kadar Ht kebutuhan
cairan cukup
6. Monitor pucat,
4. Mual muntah
kemerahan
mengganggu
dan
keseimbangan
kekerangan
nutrisi tubuh
jaringan 5. Asupan cairan
konjungtiva tercukupi jika
Ht dalam
darah tidak
kental
6. Pucat dan
kekeringan
konjungtiva
menandai
seseorang
kurang asupan
cairan
18
untuk Management
1. Mengurangi
menambah
terjadinya
intake oral
infeksi pada
4. Pemberian
pasien
cairan IV
2. Agar
monitor
mengetahui
adanya tanda
kekentalan
dan gejala
darah pasien
kelebihan
3. Agar
volume cairan
membantu
memenuhi
kebutuhan
nutrisi pasien
4. Agar
membantu
dalam
memenuhi
nutrisi tubuh
dan
mengetahui
tanda
kelebihan
cairan
20
kondisi tubuh
3. Mencegah
terjadinya
gagal nafas
pada pasien
4. Asupan cairan
melalui IV dan
pemeliharaan
akses IV untuk
mencegah
terjadinya
infeksi
21
penatalaksanaan infeksi
6. Dorong 5. Membantu
nya
3. Menunjukkan masukan memenuhi
kemampuan cairan kebutuhan
7. Monitor
untuk mencegah tubuh yang
hitung
timbulnya hilang
granulosit dan 6. Menghindari
infeksi
4. Jumlah leukosit WBC terjadinya
dalam batas dehidrasi
8. Instruksikan
7. Peningkatan
normal
pasien untuk
5. Menunjukkan sel darah putih
minum
perilaku hidup sebagai
antibiotic
sehat indicator
sesuai resep
terjadinya
infeksi
8. Antibiotic
yang sesuai
dapat menekan
proses
terjadinya
infeksi
H. Implementasi
Dilakukan berdasarkan intervensi.
I. Evaluasi
Menurut Poer. (2012), proses evaluasi dibagi menjadi 2 tahap yaitu:
a. Evaluasi Formatif (Merefleksikan observasi perawat dan analisis terhadap
klien terhadap respon langsung pada intervensi keperawatan)
b. Evaluasi Sumatif (Merefleksikan rekapitulasi dan sinopsis analisis mengenai
status kesehatan klien terhadap waktu)
22
DAFTAR PUSTAKA
Bulechek, G.M. Butcher, H.K. Dochterman, J.M. Wagner, C.M. 2016. Nursing
Interventions Classification (NIC). Singapore : Elsevier Global Rights.
Muttaqin, Arif dan Sari, Kumala. 2017. Gangguan Gastrointestinal: Aplikasi Asuhan
Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika
Nurarif, A. H., Kusuma, H. 2016. Asuhan Keperawatan Praktis Ed. Revisi Jilid 2.
Yogyakarta: Medi Action
Reenbergen NJ, Isselbacher KJ. 2018. Diseases of the Gallbladder and Bile Ducts.
Dalam: Harrison’s Principles Of Internal Medicine, Edisi ke 14. Editor Fauci
dkk. McGraw Hill
Smeltzer, suzanna C. 2012. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner &
Suddart edisi 8 volume 1,2,3. EGC: Jakarta
23
Williams, L.S., Hopper, P.D. 2013. Understanding Medical Surgical Nursing, Second
edition, F.A. Davis Company: Philadelphia
Wim de Jong et al. 2015. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC: Jakarta.
24