APPENDISITIS AKUT
A. Definisi/Pengertian
a. Peradangan apendiks yang mengenai semua lapisan dinding organ, dimana
patogenis utamanya diduga karena obstruksi pada lumen yang disebabkan
oleh fekalit (feses keras yang terutama disebabkan oleh serat).Patofisiologi
Edisi 4 hal 448.
b. Appendisitis adalah inflamasi akut pada appendisits verniformis dan
merupakan penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat Brunner
& Suddart, 2008.
c. Appendisitis adalah merupakan peradangan pada appendik periformil,
yaitu saluran kecil yang mempunyai diameter sebesar pensil dengan
panjang 2-6 inci. Lokasi appendik pada daerah illiaka kanan, dibawah
katup illiocaecal, tepatnya pada dinding abdomen dibawah titik Mc
burney.
B. Klasifikasi
Klasifikasi apendisitis terbagi atas 2 yakni :
1. Apendisitis akut, dibagi atas:
a. Apendisitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu setelah sembuh akan
timbul striktur lokal.
b. Appendisitis purulenta difusi, yaitu sudah bertumpuk nanah.
2. Apendisitis kronis, dibagi atas:
a. Apendisitis kronis fokalis atau parsial, setelah sembuh akan timbul
striktur lokal.
b. Apendisitis kronis obliteritiva yaitu appendiks miring, biasanya
ditemukan pada usia tua.
F. Pemeriksaan Fisik
1. Inspeksi
Pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling,
sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut.
2. Palpasi
Pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri. Dan bila
tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah
merupakan kunci diagnosis dari apendisitis. Pada penekanan perut kiri bawah
akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah. Ini disebut tanda Rovsing
(Rovsing Sign). Dan apabila tekanan di perut kiri bawah dilepaskan juga akan
terasa nyeri pada perut kanan bawah.Ini disebut tanda Blumberg (Blumberg
Sign).
3. Pemeriksaan colok dubur
pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis, untuk menentukan letak
apendiks, apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini
dan terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks yang meradang terletak
didaerah pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci diagnosis pada apendisitis
pelvika.
4. Pemeriksaan uji psoas
Dilakukan untuk mengetahui letak apendiks yang meradang. Uji psoas
dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat hiperektensi sendi panggul
kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan.
Bila appendiks yang meradang menempel di m. psoas mayor, maka tindakan
tersebut akan menimbulkan nyeri.
5. Pemeriksaan uji obturator
Sedangkan pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan endorotasi
sendi panggul pada posisi terlentang. Bila apendiks yang meradang kontak
dengan m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil, maka
tindakan ini akan menimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan pada
apendisitis pelvika.
6. Pemeriksaan Diagnostik
a. Laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap → Ditemukan jumlah leukosit antara
10.000-20.000/ml (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%. Jika terjadi
peningkatan yang lebih dari itu, maka kemungkinan apendiks sudah
mengalami perforasi (pecah).
Test protein reaktif (CRP). → Ditemukan jumlah serum yang
meningkat.
b. Radiologi
Pemeriksaan ultrasonografi → Ditemukan bagian memanjang pada
tempat yang terjadi inflamasi pada apendiks. Cukup membantu dalam
penegakkan diagnosis apendisitis (71 – 97 %)
CT-scan → Ditemukan bagian yang menyilang dengan apendikalit serta
perluasan dari apendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran
sekum. Tingkat keakuratannya 93 – 98 %.
7. Penatalaksanaan
a. Bila dari hasil diagnosis positif apendisitis akut, maka tindakan yang
paling tepat adalah segera dilakukan apendiktomi.
Apendiktomi dapat dilakukan dalam dua cara, yaitu :
1. Cara terbuka
2. Cara laparoskopi.
b. Apabila apendisitis baru diketahui setelah terbentuk massa
periapendikuler, maka tindakan yang pertama kali harus dilakukan
adalah pemberian/terapi antibiotik kombinasi terhadap penderita.
Antibiotik ini merupakan antibiotik yang aktif terhadap kuman aerob
dan anaerob.
Setelah gejala membaik, yaitu sekitar 6-8 minggu, barulah
apendektomi dapat dilakukan.
Jika gejala berlanjut, yang ditandai dengan terbentuknya abses, maka
dianjurkan melakukan drainase dan sekitar 6-8 minggu kemudian
dilakukan apendisektomi.
Namun, apabila ternyata tidak ada keluhan atau gejala apapun dan
pemeriksaan klinis serta pemeriksaan laboratorium tidak
menunjukkan tanda radang atau abses setelah dilakukan terapi
antibiotik, maka dapat dipertimbangkan untuk membatalkan
tindakan bedah.
c. Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah ditegakkan
Antibiotik dan cairan IV diberikan sampai pembedahan dilakukan
Analgetik diberikan setelah diagnosa ditegakkan
Apendektomi dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan resiko
perforasi.(Brunner & Suddart, 1997)
8. Komplikasi yang dapat terjadi
Komplikasi utama adalah perforasi appediks yang dapat berkembang
menjadi peritonitis atau abses apendiks
a. Tromboflebitis supuratif
b. Abses subfrenikus
c. Obstruksi intestinal
9. Pencegahan Appendicitis
a. Pencegahan Primer Pencegahan primer bertujuan untuk menghilangkan
faktor risiko terhadap kejadian appendicitis. Upaya pencegahan primer
dilakukan secara menyeluruh kepada masyarakat. Upaya yang
dilakukan antara lain: a. Diet tinggi serat Berbagai penelitian telah
melaporkan hubungan antara konsumsi serat dan insidens timbulnya
berbagai macam penyakit. Hasil penelitian membuktikan bahwa diet
tinggi serat mempunyai efek proteksi untuk kejadian penyakit saluran
pencernaan.40 Serat dalam makanan mempunyai kemampuan mengikat
air, selulosa, dan pektin yang membantu mempercepat sisi-sisa
makanan untuk diekskresikan keluar sehingga tidak terjadi konstipasi
yang mengakibatkan penekanan pada dinding kolon.45 b. Defekasi
yang teratur Makanan adalah faktor utama yang mempengaruhi
pengeluaran feces. Makanan yang mengandung serat penting untuk
memperbesar volume feces dan makan yang teratur mempengaruhi
defekasi. Individu yang makan pada waktu yang sama setiap hari
mempunyai suatu keteraturan waktu, respon fisiologi pada pemasukan
makanan dan keteraturan pola aktivitas peristaltik di kolon.45
Universitas Sumatera Utara Frekuensi defekasi yang jarang akan
mempengaruhi konsistensi feces yang lebih padat sehingga terjadi
konstipasi. Konstipasi menaikkan tekanan intracaecal sehingga terjadi
sumbatan fungsional appendiks dan meningkatnya pertumbuhan flora
normal kolon. Pengerasan feces memungkinkan adanya bagian yang
terselip masuk ke saluran appendiks dan menjadi media kuman/bakteri
berkembang biak sebagai infeksi yang menimbulkan peradangan pada
appendiks.24 2.9.2. Pencegahan Sekunder Pencegahan sekunder
meliputi diagnosa dini dan pengobatan yang tepat untuk mencegah
timbulnya komplikasi.
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN TEORI
A. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a) Identitas klien, Merupakan biodata klien yang meliputi : nama, umur,
jenis kelamin, agama, suku bangsa/ras, pendidikan, bahasa yang
dipakai, pekerjaan, penghasilan dan alamat. Jenis kelamin dalam hal ini
klien adalah laki - laki berusia lebih dari 50 tahun.
b) Keluhan utama
Keluhan utama nyeri bekas luka operasi.
c) Riwayat penyakit sekarang
Timbul keluhan nyeri perut, nyeri dirasakan seperti tertusuk tusuk,
nyeri dirasakan pada luka bekas operasi dengan skala (0-10) dan nyeri
timbul memberat ketika bergerak.
d) Riwayat penyakit dahulu
Kebiasaan makan makanan rendah serat yang dapat menimbulkan
konstipasi sehingga meningkatkan tekanan intrasekal yang menimbulkan
timbulnya sumbatan fungsi appendiks dan meningkatkan pertumbuhan
kuman folar kolon sehingga menjadi appendisitis akut.
e) Pola – pola fungsi kesehatan
1) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Timbulnya perubahan pemeliharaan kesehatan karena di rawat di
rumah sakit.
2) Pola nutrisi dan metabolisme
Klien yang di lakukan anasthesi tidak boleh makan
danminum sebelum flatus.
3) Pola eliminasi
Setelah menjalani post operasi appendiks, pasien masih
menggunakan dower chateter karena masih dalam pengaruh anastesi,
dan pasien akan dilatih untuk berkemih.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Diagnosa pre-tindakan
1) Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi dan spasme otot polos
sekunder akibat infeksi gastrointestinal.
2) Hipertermia berhubungan dengan penyakit atau trauma.
3) Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual dan
muntah.
4)Ansietas berhubungan dengan krisis situasional.
b. Diagnosa post-tindakan
1) Nyeri akut berhubungan trauma jaringan dan refleks spasme otot
sekunder akibat operasi
2) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tempat masuknya
organisme sekunder akibat pembedahan
3) Defisit pengetahuan (perawatan luka post operasi) berhubungan
dengan kurangnya paparan informasi mengenai perawatan luka post
operasi.
3. Rencana Tindakan
a. Diagnosa pre-tindakan
1. Dx 1 : Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi dan spasme
otot polos sekunder akibat infeksi gastrointestinal.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ....x 24 jam
diharapkan pasien dapat melakukan manajemen nyeri dengan kriteria
hasil :
Pasien tampak lebih tenang.
Pasien dapat melakukan aktivitas ringan, seperti bermain dengan
orang tua.
Pasien tidak meringis kesakitan lagi.
Intervensi :
1. Observasi skala nyeri pasien.
R/ : Untuk mengetahui tingkat nyeri pasien dan membandingkan
sebelum dansesudah dilakukan intervensi.
2. Beri lingkungan yang nyaman.
R/ : Lingkungan berpengaruh terhadap keadaan nyeri pasien.
3. Lakukan tehnik distraksi.
R/ : Dengan mengalihkan perhatian pasien diharapkan perhatian
pasien tidak terfokus pada nyeri sehingga pasien dapat memanajemen
nyeri.
4. Pantau perkembangan nyeri pasien.
R/ : Untuk segera mengambil tindakan rujukan apabila nyeri yang
dialami pasien sudah tidak dapat ditoleransi lagi.
b. Diagnosa post-tindakan
1. Dx 1 : Nyeri akut berhubungan trauma jaringan dan refleks
spasme otot sekunder akibat operasi
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ..x 24 jam,
diharapkan nyeri yang dialami pasien berkurang dengan kriteria hasil :
Pasien tidak meringis.
Pasien tampak tenang.
Pasien dapat melakukan aktivitas ringan, seperti bermain dengan
orang tua.
Intervensi :
1. Observasi skala nyeri pasien.
R/ : Untuk mengetahui tingkat nyeri pasien dan membandingkan
sebelum dan sesudah dilakukan intervensi.
2. Beri lingkungan yang nyaman.
R/ : Lingkungan berpengaruh terhadap keadaan nyeri pasien.
3. Lakukan tehnik distraksi.
R/ : Dengan mengalihkan perhatian pasien diharapkan perhatian
pasien tidak terfokus pada nyeri sehingga pasien dapat memanajemen
nyeri.
4. Beri analgetik
R/ : Untuk mengurangi nyeri pasien.
2. Dx 2 : Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tempat
masuknya organisme sekunder akibat pembedahan
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ....x 24 jam
diharapkan luka pasien tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi (kalor,
dolor, lubor, tumor, perubahan fungsi)
Intervensi :
1. Kaji tanda-tanda infeksi pada pasien.
R/ : Untuk melihat apakah ada tanda-tanda infeksi (kalor, dolor,
lubor, tumor, dan perubahan fungsi), pus, jaringan nekrotik.
2. Lakukan perawatan luka.
R/ : Ganti balutan agar luka post-op tetap kering.
3. Jaga luka agar tetap steril.
R/ : Untuk menghindari perkembangan bakteri pada luka.
4. Informasikan kepada keluagra pasien untuk tidak membuka balutan
luka, menjaga luka agar tetap kering.
R/ : Luka yang lembab menyebabkan infeksi karena bakteri dapat
berkembang.
5. Berikan salep betadine di atas luka pasien.
R/ : Untuk mencegah infeksi pada luka.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2008. Keperawatan Medikal Bedah Vol. 2. Jakarta: EGC
Carpenito, Lynda Juall- Moyet. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi
10. Jakarta : EGC
Doenges, E. Marilynn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta:
EGC
Guyton & Hall. 2003. Fisiologi Tubuh Manusia. Jakarta : EGC
Mansjoer A,. dkk. 2012. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius
Price, A. Sylvia. 2006. Patofisiologi Edisi 4. Jakarta: EGC