Anda di halaman 1dari 20

SWAMEDIKASI FARMASI PRAKTIS

“Rheumatoid Arthritis”

Dosen Pengampu:
Endang Sri Rejeki, M. Si., Apt

Disusun Oleh:
Kelas C Kelompok 1
Kasus 8

Sintya Yunda Amanda (1920374175)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
2019
BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit reumatik adalah penyakit yang menyerang persendian dan struktur di sekitarnya
yang terdiri lebih dari 100 jenis. Salah satu jenis dari penyakit reumatik adalah Rheumatoid
Arthritis (Nainggolan,2009). Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit autoimun progresif
dengan inflamasi kronik yang menyerang sistem muskuloskeletal namun dapat melibatkan organ
dan sistem tubuh secara keseluruhan, yang ditandai dengan pembengkakan, nyeri sendi serta
destruksi jaringan sinovial yang disertai gangguan pergerakan diikuti dengan kematian prematur
(Mclnnes,2011).
Dalam ilmu penyakit dalam Harrison edisi 18, insidensi dan prevalensi RA bervariasi
berdasarkan lokasi geografis dan berbagai grup etnik yang berkaitan dengan susunan genetik.
Prevalensi tertinggi dilaporkan pada masyarakat asli Amerika, Yakima, Pima, dan suku-suku
Chippewa di Amerika Utara sebesar 7%. Namun prevalensi RA di dunia relatif konstan yaitu
berkisar antara 0,5-1% (Suarjana,2009). Estimasi prevalensi RA untuk negara dengan
pendapatan rendah dan menengah berdasarkan meta-analisis adalah di Asia Tenggara sebesar
0,4%, Mediterania Timur sebesar 0,37%, Eropa sebesar 0,62%, dan Amerika sebesar 1,25%.
Prevalensi pada laki-laki lebih rendah yaitu 0,16% dibandingkan wanita yaitu 0,75% dan
dinyatakan signifikan secara statistik. Sekitar 2,6 juta laki-laki dan 12,21 juta wanita menderita
RA pada tahun 2000 kemudian meningkatmenjadi 3,16 juta laki-laki dan 14,87 juta wanita yang
menderita RA pada tahun 2010 (Rudan dkk, 2015).
Data epidemiologi di Indonesia tentang penyakit RA masih terbatas. Data terakhir dari
Poliklinik Reumatologi RSCM Jakarta menunjukkan bahwa jumlah kunjungan penderita RA
selama periode Januari sampai Juni 2007 sebanyak 203 dari jumlah seluruh kunjungan sebanyak
1.346 pasien. Nainggolan (2009) memaparkan bahwa provinsi Bali memiliki prevalensi penyakit
rematik di atas angka nasional yaitu 32,6%, namun tidak diperinci jenis rematik secara detail.
Walaupun penyebab RA masih belum diketahui secara pasti, namun banyak faktor risiko yang
dapat meningkatkan angka kejadian RA. Diantaranya adalah faktor genetik, usia lanjut, jenis
kelamin perempuan, faktor sosial ekonomi, faktor 2 hormonal, etnis, dan faktor lingkungan
seperti merokok, infeksi, faktor diet, polutan, dan urbanisasi (Tobon et al,2009).
Telah diketahui bahwa RA adalah penyakit kronik dan fluktuatif sehingga apabila tidak
dilakukan penanganan yang tepat dan cepat akan menyebabkan kerusakan sendi yang progresif,
deformitas, disabilitas, dan kematian. Menurut Fuch dan Edward, hanya 15% pasien RA yang
memperoleh pengobatan secara medis yang mengalami remisi atau berfungsi normal setelah 10
tahun sejak awal onset dan hanya 17% dengan tanpa disabilitas. Prognosis RA sendiri dievaluasi
dari berbagai parameter seperti level remisi, status fungsional, dan derajat kerusakan sendi
(Sumariyono,2010).
Masyarakat usia dewasa yang berusia diantara 25 hingga 60 tahun masih merupakan
masa-masa produktif di kehidupannya. Tanggung jawab secara fisik, biologis, ekonomi dan
sosial sangat dibutuhkan dan berkaitan erat dengan status kesehatannya saat ini. Banyak penyakit
degeneratif yang onsetnya dimulai sejak usia pertengahan menyebabkan produktifitas
masyarakat menurun dan masa lansia di kemudian hari menjadi kurang berkualitas. Salah satu
penyakit tersebut adalah RA dimana proses patologi imunologinya terjadi beberapa tahun
sebelum muncul gejala klinis. Walaupun angka kejadian RA banyak terjadi pada lansia namun
tidak menutup kemungkinan proses patologi telah terjadi seiring peningkatan usia dan adanya
berbagai faktor risiko yang saling berkaitan.
BAB II

ISI

2.1 Definisi Rheumatoid


Arthritis Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit autoimun yang etiologinya
belum diketahui dan ditandai oleh sinovitis erosif yang simetris dan pada beberapa kasus
disertai keterlibatan jaringan ekstraartikular. Perjalanan penyakit RA ada 3 macam yaitu
monosiklik, polisiklik dan progresif. Sebagian besar kasus perjalananya kronik kematian dini
(Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia,2014). Kata arthritis berasal dari bahasa
Yunani, “arthon” yang berarti sendi, dan “itis” yang berarti peradangan. Secara harfiah,
arthritis berarti radang pada sendi. Sedangkan Rheumatoid Arthritis adalah suatu penyakit
autoimun dimana persendian (biasanya tangan dan kaki) mengalami peradangan, sehingga
terjadi pembengkakan, nyeri dan seringkali menyebabkan kerusakan pada bagian dalam
sendi (Febriana,2015). Penyakit ini sering menyebabkan kerusakan sendi, kecacatan dan
banyak mengenai penduduk pada usia produktif sehingga memberi dampak sosial dan
ekonomi yang besar. Diagnosis dini sering menghadapai kendala karena pada masa dini
sering belum didapatkan gambaran karakteristik yang baru akan berkembang sejalan dengan
waktu dimana sering sudah terlambat untuk memulai pengobatan yang adekuat
(Febriana,2015).

2.2 Epidemiologi
Rheumatoid Arthritis Prevalensi dan insiden penyakit ini bervariasi antara populasi
satu dengan lainnya, di Amerika Serikat dan beberapa daerah di Eropa prevalensi RA sekitar
1% pada kaukasia dewasa, Perancis sekitar 0,3%, Inggris dan Finlandia sekitar 0,8% dan
Amerika Serikat 1,1% sedangkan di Cina sekitar 0,28%. Jepang sekitar 1,7% dan India
0,75%. Insiden di Amerika dan Eropa Utara mencapai 20-50/100000 dan Eropa Selatan
hanya 9-24/100000. Di Indonesia dari hasil survei epidemiologi di Bandungan Jawa Tengah
didapatkan prevalensi RA 0,3% sedang di Malang pada penduduk berusia diatas 40 tahun
didapatkan prevalensi RA 0,5% di daerah Kotamadya dan 0,6% di daerah Kabupaten. Di
Poliklinik Reumatologi RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, pada tahun 2000 kasus baru
RA merupakan 4,1% dari seluruh kasus baru. Di poliklinik reumatologi RS Hasan Sadikin
didapatkan 9% dari seluruh kasus reumatik baru pada tahun 2000-2002 (Aletaha et al,2010).

2.3 Faktor Risiko Rheumatoid Arthritis


Faktor risiko yang berhubungan dengan peningkatan kasus RA dibedakan menjadi dua yaitu
faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor risiko yang dapat dimodifikasi:
2.3.1 Tidak Dapat Dimodifikasi
1. Faktor Gentetik
Faktor genetik berperan 50% hingga 60% dalam perkembangan RA. Gen yang
berkaitan kuat adalah HLA-DRB1. Selain itu juga ada gen tirosin fosfatase PTPN
22 di kromosom 1. Perbedaan substansial pada faktor genetik RA terdapat diantara
populasi Eropa dan Asia. HLADRB1 terdapat di seluruh populasi penelitian,
sedangkan polimorfisme PTPN22 teridentifikasi di populasi Eropa dan jarang pada
populasi Asia. Selain itu ada kaitannya juga antara riwayat dalam keluarga dengan
kejadian RA pada keturunan selanjutnya.
2. Usia
RA biasanya timbul antara usia 40 tahun sampai 60 tahun. Namun penyakit ini juga
dapat terjadi pada dewasa tua dan anak-anak (Rheumatoid Arthritis Juvenil). Dari
semua faktor risiko untuk timbulnya RA, faktor ketuaan adalah yang terkuat.
Prevalensi dan beratnya RA semakin meningkat dengan bertambahnya usia. RA
hampir tak pernah pada anak-anak, jarang pada usia dibawah 40 tahun dan sering
pada usia diatas 60 tahun.
3. Jenis kelamin
RA jauh lebih sering pada perempuan dibanding laki-laki dengan rasio 3:1.
Meskipun mekanisme yang terkait jenis kelamin masih belum jelas. Perbedaan pada
hormon seks kemungkinan memiliki pengaruh.
2.3.2 Dapat Dimodifikasi
1. Gaya hidup
a. Status sosial ekonomi
Penelitian di Inggris dan Norwegia menyatakan tidak terdapat kaitan antara
faktor sosial ekonomi dengan RA, berbeda dengan penelitian di Swedia yang
menyatakan terdapat kaitan antara tingkat pendidikan dan perbedaan paparan
saat bekerja dengan risiko RA.
b. Merokok
Sejumlah studi cohort dan case-control menunjukkan bahwa rokok tembakau
berhubungan dengan peningkatan risiko RA. Merokok berhubungan dengan
produksi dari rheumatoid factor(RF) yang akan berkembang setelah 10 hingga
20 tahun. Merokok juga berhubungan dengan gen ACPA-positif RA dimana
perokok menjadi 10 hingga 40 kali lebih tinggi dibandingkan bukan perokok.
Penelitian pada perokok pasif masih belum terjawab namun kemungkinan
peningkatan risiko tetap ada.
c. Diet
Banyaknya isu terkait faktor risiko RA salah satunya adalah makanan yang
mempengaruhi perjalanan RA. Dalam penelitian Pattison dkk, isu mengenai
faktor diet ini masih banyak ketidakpastian dan jangkauan yang terlalu lebar
mengenai jenis makanannya. Penelitian tersebut menyebutkan daging merah
dapat meningkatkan risiko RA sedangkan buah-buahan dan minyak ikan
memproteksi kejadian RA. Selain itu penelitian lain menyebutkan konsumsi
kopi juga sebagai faktor risiko namun masih belum jelas bagaimana
hubungannya.
d. Infeksi
Banyaknya penelitian mengaitkan adanya infeksi Epstein Barr virus (EBV)
karena virus tersebut sering ditemukan dalam jaringan synovial pada pasien RA.
Selain itu juga adanya parvovirus B19, Mycoplasma pneumoniae, Proteus,
Bartonella, dan Chlamydia juga memingkatkan risiko RA.
e. Pekerjaan Jenis pekerjaan yang meningkatkan risiko RA adalah petani,
pertambangan, dan yang terpapar dengan banyak zat kimia namun risiko
pekerjaan tertinggi terdapat pada orang yang bekerja dengan paparan silica.
2. Faktor hormonal
Hanya faktor reproduksi yang meningkatkan risiko RA yaitu pada perempuan
dengan sindrom polikistik ovari, siklus menstruasi ireguler, dan menarche usia
sangat muda.
3. Bentuk tubuh
Risiko RA meningkat pada obesitas atau yang memiliki Indeks Massa Tubuh (IMT)
lebih dari 30.

2.3.3 Tidak Dapat Dimodifikasi


1. Faktor genetic
Faktor genetik berperan 50% hingga 60% dalam perkembangan RA. Gen yang
berkaitan kuat adalah HLA-DRB1. Selain itu juga ada gen tirosin fosfatase PTPN 22 di
kromosom 1. Perbedaan substansial pada faktor genetik RA terdapat diantara populasi
Eropa dan Asia. HLADRB1 terdapat di seluruh populasi penelitian, sedangkan
polimorfisme PTPN22 teridentifikasi di populasi Eropa dan jarang pada populasi Asia.
Selain itu ada kaitannya juga antara riwayat dalam keluarga dengan kejadian RA pada
keturunan selanjutnya.
2. Usia
RA biasanya timbul antara usia 40 tahun sampai 60 tahun. Namun penyakit ini
juga dapat terjadi pada dewasa tua dan anak-anak (Rheumatoid Arthritis Juvenil). Dari
semua faktor risiko untuk timbulnya RA, faktor ketuaan adalah yang terkuat. Prevalensi
dan beratnya RA semakin meningkat dengan bertambahnya usia. RA hampir tak pernah
pada anak-anak, jarang pada usia dibawah 40 tahun dan sering pada usia diatas 60
tahun.
3. Jenis kelamin
RA jauh lebih sering pada perempuan dibanding laki-laki dengan rasio 3:1.
Meskipun mekanisme yang terkait jenis kelamin masih belum jelas. Perbedaan pada
hormon seks kemungkinan memiliki pengaruh.
2.4 Etiopatogenesis dan Patofisiologi Rheumatoid Arthritis
Penyebab pasti masih belum diketahui secara pasti dimana merupakan penyakit
autoimun yang dicetuskan faktor luar (infeksi, cuaca) dan faktor dalam (usia, jenis kelamin,
keturunan, dan psikologis). Diperkirakan infeksi virus dan bakteri sebagai pencetus awal RA.
Sering faktor cuaca yang lembab dan daerah dingin diperkirakan ikut sebagai faktor
pencetus. Patogenesis terjadinya proses autoimun, yang melalui reaksi imun komplek dan
reaksi imunitas selular. Tidak jelas antigen apa sebagai pencetus awal, mungkin infeksi virus.
Terjadi pembentukan faktor rematoid, suatu antibodi terhadap antibodi abnormal, sehingga
terjadi reaksi imun komplek (autoimun).
Proses autoimun dalam patogenesis RA masih belum tuntas diketahui, dan teorinya
masih berkembang terus. Dikatakan terjadi berbagai peran yang saling terkait, antara lain
peran genetik, infeksi, autoantibodi serta peran imunitas selular, humoral, peran sitokin, dan
berbagai mediator keradangan. Semua peran ini, satu sam lainnya saling terkait dan pada
akhirmya menyebabkan keradangan pada sinovium dan kerusakan sendi disekitarnya atau
mungkin organ lainnya. Sitokin merupakan local protein mediator yang dapat menyebabkan
pertumbuhan, diferensiasi dan aktivitas sel, dalam proses keradangan. Berbagai sitokin
berperan dalam proses keradangan yaitu TNF α, IL-1, yang terutama dihasilkan oleh monosit
atau makrofag menyebabkan stimulasi dari sel mesenzim seperti sel fibroblast sinovium,
osteoklas, kondrosit serta merangsang pengeluaran enzim penghancur jaringan, enzim matrix
metalloproteases (MMPs) (Putra dkk,2013).

Gambar 1. Peranan Imun Adaptif dan Innate dalam Patogenesis RA


Proses keradangan karena proses autoimun pada RA, ditunjukkan dari pemeriksaan
laboratorium dengan adanya RF (Rheumatoid Factor) dan anti-CCP dalam darah. RF adalah
antibodi terhadap komponen Fc dari IgG. Jadi terdapat pembentukan antibodi terhadap antibodi
dirinya sendiri, akibat paparan antigen luar, kemungkinan virus atau bakteri. RF didapatkan pada
75 sampai 80% penderita RA, yang dikatakan sebagai seropositive. Anti-CCP didapatkan pada
hampir 2/3 kasus dengan spesifisitasnya yang tinggi (95%) dan terutama terdapat pada stadium
awal penyakit. Pada saat ini RF dan anti-CCP merupakan sarana diagnostik penting RA dan
mencerminkan progresifitas penyakit (Putra dkk,2013).
Sel B, sel T, dan sitokin pro inflamasi berperan penting dalam patofisiologi RA. Hal ini
terjadi karena hasil diferensiasi dari sel T merangsang pembentukan IL-17, yaitu sitokin yang
merangsang terjadinya sinovitis. Sinovitis adalah peradangan pada membran sinovial, jaringan
yang melapisi dan melindungi sendi. Sedangkan sel B berperan melalui pembentukan antibodi,
mengikat patogen, kemudian menghancurkannya. Kerusakan sendi diawali dengan reaksi
inflamasi dan pembentukan pembuluh darah baru pada membran sinovial. Kejadian tersebut
menyebabkan terbentuknya pannus, yaitu jaringan granulasi yang terdiri dari sel fibroblas yang
berproliferasi, mikrovaskular dan berbagai jenis sel radang. Pannus tersebut dapat mendestruksi
tulang, melalui enzim yang dibentuk oleh sinoviosit dan kondrosit yang menyerang kartilago. Di
samping proses lokal tersebut, dapat juga terjadi proses sistemik. Salah satu reaksi sistemik yang
terjadi ialah pembentukan protein fase akut (CRP), anemia akibat penyakit kronis, penyakit
jantung, osteoporosis serta mampu mempengaruhi hypothalamic-pituitaryadrenalaxis, sehingga
menyebabkan kelelahan dan depresi (Choy, 2012).

Gambar 2. Patofisiologi Rheumatoid Arthritis


Pada keadaan awal terjadi kerusakan mikrovaskular, edema pada jaringan di bawah
sinovium, poliferasi ringan dari sinovial, infiltrasi PMN, dan penyumbatan pembuluh darah oleh
sel radang dan trombus. Pada RA yang secara klinis sudah jelas, secara makros akan terlihat
sinovium sangat edema dan menonjol ke ruang sendi dengan pembentukan vili. Secara mikros
terlihat hiperplasia dan hipertropi sel sinovia dan terlihat kumpulan residual bodies. Terlihat
perubahan pembuluh darah fokal atau segmental berupa distensi vena, penyumbatan kapiler,
daerah trombosis dan pendarahan perivaskuler. Pada RA kronis terjadi kerusakan menyeluruh
dari tulang rawan, ligamen, tendon dan tulang. Kerusakan ini akibat dua efek yaitu kehancuran
oleh cairan sendi yang mengandung zat penghancur dan akibat jaringan granulasi serta
dipercepat karena adanya Pannus (Putra dkk,2013).
2.5 Manifestasi Klinis, Pemeriksaan Penunjang dan Diagnosis Rheumatoid Arthritis
2.5.1 Manifestasi Klinis
Keluhan biasanya mulai secara perlahan dalam beberapa minggu atau bulan. Sering
pada keadan awal tidak menunjukkan tanda yang jelas. Keluhan tersebut dapat berupa
keluhan umum, keluhan pada sendi dan keluhan diluar sendi (Putra dkk,2013).
1. Keluhan umum Keluhan umum dapat berupa perasaan badan lemah, nafsu makan
menurun, peningkatan panas badan yang ringan atau penurunan berat badan.
2. Kelainan sendi Terutama mengenai sendi kecil dan simetris yaitu sendi pergelangan
tangan, lutut dan kaki (sendi diartrosis). Sendi lainnya juga dapat terkena seperti
sendi siku, bahu sterno-klavikula, panggul, pergelangan kaki. Kelainan tulang
belakang terbatas pada leher. Keluhan sering berupa kaku sendi di pagi hari,
pembengkakan dan nyeri sendi.
3. Kelainan diluar sendi
a. Kulit : nodul subukutan (nodul rematoid)
b. Jantung : kelainan jantung yang simtomatis jarang didapatkan, namun 40%
pada autopsi RA didapatkan kelainan perikard
c. Paru : kelainan yang sering ditemukan berupa paru obstruktif dan kelainan
pleura (efusi pleura, nodul subpleura)
d. Saraf : berupa sindrom multiple neuritis akibat vaskulitis yang sering terjadi
berupa keluhan kehilangan rasa sensoris di ekstremitas dengan gejala foot or
wrist drop
e. Mata : terjadi sindrom sjogren (keratokonjungtivitis sika) berupa kekeringan
mata, skleritis atau eriskleritis dan skleromalase perforans f. Kelenjar limfe:
sindrom Felty adalah RA dengan spleenomegali, limpadenopati, anemia,
trombositopeni, dan neutropeni
2.5.2 Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
a. Penanda inflamasi : Laju Endap Darah (LED) dan C-Reactive Protein
(CRP) meningkat
b. Rheumatoid Factor (RF) : 80% pasien memiliki RF positif namun RF
negatif tidak menyingkirkan diagnosis
c. Anti Cyclic Citrullinated Peptide (anti CCP) : Biasanya digunakan
dalam diagnosis dini dan penanganan RA dengan spesifisitas 95-98%
dan sensitivitas 70% namun hubungan antara anti CCP terhadap
beratnya penyakit tidak konsisten
2. Radiologis Dapat terlihat berupa pembengkakan jaringan lunak, penyempitan ruang
sendi, demineralisasi “juxta articular”, osteoporosis, erosi tulang, atau subluksasi
sendi.

2.5.3 Diagnosis
Terdapat beberapa kesulitan dalam mendeteksi dini penyakit RA. Hal ini
disebabkan oleh onset yang tidak bisa diketahui secara pasti dan hasil pemeriksaan fisik
juga dapat berbeda-beda tergantung pada pemeriksa. Meskipun demikian, penelitian
sebelumnya telah menunjukkan bahwa alat ukur diagnosis RA dengan ARA (American
Rheumatism Association) yang direvisi tahun 1987 memiliki sensitivitas 91%. Hasil
laboratorium yang digunakan dalam mendiagnosis RA ditemukan kurang sensitif dan
spesifik. Sebagai contoh, IGM Rheumatoid Factor memiliki spesifisitas 90% dan
sensitivitas hanya 54%. (Bresnihan, 2002)
Berikut adalah kriteria ARA (American Rheumatism Association) yang direvisi tahun
1987 yang masih dapat digunakan dalam mendiagnosis RA:
1. Kaku pagi hari pada sendi dan sekitarnya, sekurang-kurangnya selama 1 jam
sebelum perbaikan maksimal.
2. Pembengkakan jaringan lunak atau persendian (arthritis) pada 3 daerah sendi atau
lebih secara bersamaan.
3. Artritis pada persendian tangan sekurang-kurangnya terjadi satu pembengkakan
persendian tangan yaitu PIP (proximal interphalangeal), MCP
(metacarpophalangeal), atau pergelangan tangan.
4. Artritis simetris, keterlibatan sendi yang sama pada kedua belah sisi misalnya PIP
(proximal interphalangeal), MCP (metacarpophalangeal), atau MTP
(metatarsophalangeal).
5. Nodul rheumatoid, yaitu nodul subkutan pada penonjolan tulang atau permukaan
ekstensor atau daerah juksta artikuler.
6. Rheumatoid Factor serum positif
7. Perubahan gambaran radiologis yang khas pada RA pada sendi tangan atau
pergelangan tangan yaitu erosi atau dekalsifikasi tulang pada sendi yang terlibat.

Diagnosa RA, jika sekurang-kurangnya memenuhi 4 dari 7 kriteria di atas dan


kriteria 1 sampai 4 harus ditemukan minimal 6 minggu. Selain kriteria diatas, dapat
pula digunakan kriteria diagnosis RA berdasarkan skor dari American College of
Rheumatology (ACR/Eular) 2010. Jika skor ≥6, maka pasien pasti menderita RA.
Sebaliknya jika skor >6, maka pasien pasti menderita RA.Sebaliknya jika skor <6
pasien mungkin memenuhi kriteria RA secara prosfektif maupun retrospektif (Putra
dkk, 2013).

Distribusi Sendi (0-5) Skor


1 sendi besar 0
2-10 sendi besar 1
1-3 sendi kecil (sendi besar tidak 2
diperhitungkan)
4-10 sendi kecil (sendi besar tidak 3
diperhitungkan)
>10 sendi kecil 5
Serologi 0-3
RF negatif dan ACPA negatif 0
Positif rendah RF atau positif rendah 2
ACPA Positif tinggi RF atau positif tinggi 3
ACPA
Durasi Gejala (0-1)
<6 minggu 0
>6 minggu 1
Acute Phase Reactant (0-1)
CRP normal dan LED normal 0
CRP abnormal atau LED abnormal 1

2.6 Tatalaksana
2.6.1 Pencegahan Etiologi untuk penyakit RA ini belum diketahui secara pasti, namun
berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, ada beberapa hal yang dapat dilakukan
untuk menekan faktor risiko:
1. Membiasakan berjemur di bawah sinar matahari pagi untuk mengurangi risiko
peradangan oleh RA. Oleh penelitian Nurses Health Study AS yang menggunakan
1.314 wanita penderita RA didapatkan mengalami perbaikan klinis setelah rutin
berjemur di bawah sinar UV-B.
2. Melakukan peregangan setiap pagi untuk memperkuat otot sendi. Gerakan-gerakan
yang dapat dilakukan antara lain, jongkok-bangun, menarik kaki ke belakang
pantat, ataupun gerakan untuk melatih otot lainnya. Bila mungkin, aerobik juga
dapat dilakukan atau senam taichi.
3. Menjaga berat badan. Jika orang semakin gemuk, lutut akan bekerja lebih berat
untuk menyangga tubuh. Mengontrol berat badan dengan diet makanan dan
olahraga dapat mengurang risiko terjadinya radang pada sendi.
4. Mengonsumsi makanan kaya kalsium seperti almond, kacang polong, jeruk, bayam,
buncis, sarden, yoghurt, dan susu skim. Selain itu vitamin A,C, D, E juga sebagai
antioksidan yang mampu mencegah inflamasi akibat radikal bebas.
5. Memenuhi kebutuhan air tubuh. Cairan synovial atau cairan pelumas pada sendi
juga terdiri dari air. Dengan demikian diharapkan mengkonsumsi air dalam jumlah
yang cukup dapat memaksimalkan sisem bantalan sendi yang melumasi antar sendi,
sehingga gesekan bisa terhindarkan. Konsumsi air yang disrankan adalah 8 gelas
setiap hari. (Candra, 2013)
6. Berdasarkan sejumlah penelitian sebelumnya, ditemukan bahwa merokok
merupakan faktor risiko terjadinya RA. Sehingga salah satu upaya pencegahan RA
yang bisa dilakukan masyarakat ialah tidak menjadi perokok akif maupun pasif.
(Febriana, 2015).

2.6.2 Penanganan Penatalaksanaan pada RA mencakup terapi farmakologi, rehabilitasi dan


pembedahan bila diperlukan, serta edukasi kepada pasien dan keluarga. Tujuan
pengobatan adalah menghilangkan inflamasi, mencegah deformitas, mengembalikan
fungsi sendi, dan mencegah destruksi jaringan lebih lanjut (Kapita Selekta,2014).
1. NSAID (Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drug)
Diberikan sejak awal untuk menangani nyeri sendi akibat inflamasi. NSAID yang
dapat diberikan atara lain: aspirin, ibuprofen, naproksen, piroksikam, dikofenak,
dan sebagainya. Namun NSAID tidak melindungi kerusakan tulang rawan sendi
dan tulang dari proses destruksi.
2. DMARD (Disease-Modifying Antirheumatic Drug)
Digunakan untuk melindungi sendi (tulang dan kartilago) dari proses destruksi
oleh Rheumatoid Arthritis. Contoh obat DMARD yaitu: hidroksiklorokuin,
metotreksat, sulfasalazine, garam emas, penisilamin, dan asatioprin. DMARD
dapat diberikan tunggal maupun kombinasi (Putra dkk,2013).
3. Kortikosteroid
Diberikan kortikosteroid dosis rendah setara prednison 5-7,5mg/hari sebagai
“bridge” terapi untuk mengurangi keluhan pasien sambil menunggu efek
DMARDs yang baru muncul setelah 4-16 minggu.
4. Rehabilitasi
Terapi ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Caranya dapat
dengan mengistirahatkan sendi yang terlibat melalui pemakaian tongkat,
pemasangan bidai, latihan, dan sebagainya. Setelah nyeri berkurang, dapat mulai
dilakukan fisioterapi.
5. Pembedahan
Jika segala pengobatan di atas tidak memberikan hasil yang diharapkan, maka
dapat dipertimbangkan pembedahan yang bersifat ortopedi, contohnya
sinovektomi, arthrodesis, total hip replacement, dan sebagainya. (Kapita Selekta,
2014).

Tabel 1. DMARD untuk terapi RA

OBAT ONSET DOSIS KETERANGAN


Sulfasalazin 1-2 bulan 1x500mg/hari/io Digunakan sebagai
ditingkatkan setiap lini pertama
minggu hingga
4x500mg/hari
Metotreksat 1-2 bulan Dosis awal 7,5-10 mg/ Diberikan pada kasus
minggu/IV atau lanjut dan berat. Efek
peroral 12,5- samping: rentan
17,5mg/minggu dalam infeksi, intoleransi
8-12 minggu GIT, gangguan fungsi
hati dan hematologik
Hidroksiklorokuin 2-4 bulan 400 mg/hari Efek samping:
penurunan tajam
penglihatan, mual,
diare, anemia
hemolitik
Asatioprin 2-3 bulan 50-150 mg/hari Efek samping:
gangguan hati, gejala
GIT, peningkatan
TFH
D-penisilamin 3-6 bulan 250-750mg/hari Efek samping:
stomatitis, proteinuria,
rash
BAB III

KASUS

Seorang ibu yang berumur 38 tahun, hamil 4 bulan datang ke apotik dengan keluhan
nyeri dan kaku bagian punggung dan kaki, terutama pada bagian pergelangan kaki bengkak
kemerahan, apabila disentuh terasa sakit. Sebelumnya pernah mengalami penyakit ini, tidak
memiliki penyakit lain, memiliki berat badan berlebih, tidak memiliki alergi.
DOKUMENTASI SWAMEDIKASI

Nama Pasien Shintha


Jenis Kelamin Perempuan
Usia 48 tahun
Alamat Jl. mojosongo
Tanggal pasien datang 18 maret 2019
Keluhan pasien nyeri dan kaku bagian punggung dan kaki, terutama pada bagian
pergelangan kaki bengkak kemerahan, apabila disentuh terasa sakit
Riwayat alergi Tidak ada
Pasen pernah datang Ya/tidak*) *coret salah satu
sebelumnya :
Obat yang diberikan :
Nama Obat Dosis Cara No Batch Tanggal ED
pemakaian
Sulfasalazine 500 mg 1 x sehari NJ110714 12 april 2022
sesudah
makan
SWAMEDIKASI

Pada suatu hari datang seorang ibu hamil ke apotek untuk membeli obat dengan keluhan
nyeri dan kaku bagian punggung dan kaki, terutama pada bagian pergelangan kaki bengkak kemerahan,
apabila disentuh terasa sakit.

apoteker : Selamat siang bu ada yang bisa saya bantu

Pasien : Gini mba, saya mau beli obat buat nyeri punggung dan kaki.

apoteker : oh iya bu, maaf sebelumnya nama ibu siapa

pasien : Shintha Mbak

apoteker : saya sintya apoteker disini, ibu shintha punggung dan kaki nya kenapa?

pasien : belakangan ini saya merasa nyeri dan kaku bagian punggung dan kaki, terutama pada
bagian pergelangan kaki bengkak kemerahan, apabila disentuh terasa sakit, sebelumnya
saya pernah sakit ini juga.

apoteker : ibu ada alergi, atau ada riwayat penyakit lain

pasien : tidak ada mba

apoteker : maaf apa ibu dalam kondisi hamil sekarang?

pasien : iya mba, saya sedang hamil 4 bulan

apoteker : ibu sudah pernah minum obat apa sebelumnya?

pasien : belum pernah mbak, biasanya cuma saya kasih balsam aja kalo lagi nyeri

apoteker : baik mbak, sebentar ya mbak, saya pilihkan obatnya

(apoteker pun mengambil sulfasalazine tablet)

apoteker : ibu, ini obatnya sulfasalazine , diminum 1 kali sehari 1 tablet, sesudah makan
ya bu.

pasien : oh iya mba


apoteker : apa ibu sudah mengerti, bisa diulangi bu?

pasien : iya mba, obatnya ini diminum 1 kali sehari sesudah makan

apoteker : iya bu, ibu kalau bisa pagi berjemur di bawah sinar matahari untuk mengurangi
resiko peradangan, olahraga ringan untuk menguatkan otot-otot sendi ibu,
makan makanan yang mengandung banyak kalsium. misalnya nyeri pinggan
dan kakinya ibu belum sembuh juga setelah minum obat ini, segera periksa
kedokter ya bu.

pasien : iya mba

apoteker : adalagi yang bisa saya bantu bu

pasien : gak ada mba

apoteker : ini obatnya ya bu harganya 9.500

pasien : ini uangnya mba

apoteker : terimakasih bu, semoga lekas sembuh


DAFTAR PUSTAKA

1. Aletaha D, Neogi T, Silman AJ, Funovits, Felson T, Bingham III CO et al. (2010).
Rematoid Arthritis Classification Criteria An American College of
Rheumatology/European League Against Rheumatism Collaborative Initiative. Arthritis
Rheum, vol.62, pp.2569 – 81
2. Bresnihan B. (2002). Rheumatoid Arthritis: Principles of Early Treatment. The Journal of
Rheumatology, vol.29, no.66, pp.9-12
3. Candra K. (2013). Teknik Pemeriksaan Genu Pada Kasus Osteoarthritis Dengan Pasien
Non Koperatif. Academia Edu
4. Choy E. (2012). Understanding The Dynamics: Pathway Involved In The Pathogenesis
Of Rheumatoid Arthritis. Oxford University Press on behalf of the British Society for
Rheumatology, vol. 51, pp.3-11
5. Febriana (2015). Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Rheumatoid Arthritis Ankle
Billateral Di RSUD Saras Husada Purworejo. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Surakarta
6. Kapita Selekta Kedokteran/editor. Chris Tanto, et al. Ed.4.(2014). Jakarta: Media
Aesculapius, pp 835-839
7. McInnes, I.B., Schett, G. (2011). The Pathogenesis of Rheumatoid Arthritis. N Engl J
Med, vol. 365, pp. 2205-19
8. Nainggolan,Olwin. (2009). Prevalensi dan Determinan Penyakit Rematik di Indonesia.
Maj Kedokt Indon, vol.59, no.12, pp.588-594
9. Pradana,S.Y. (2012). Sensitifitas Dan Spesifisitas Kriteria ACR 1987 dan ACR/EULAR
2010 pada Penderita Artritis Reumatoid di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro
10. Putra,T.R., Suega,K., Artana,I.G.N.B. (2013). Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Penyakit Dalam. Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana/RSUP Sanglah
11. Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia. (2014). Diagnosis dan Pengelolaan
Artritis Reumatoid. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. ISBN

Anda mungkin juga menyukai