“Rheumatoid Arthritis”
Dosen Pengampu:
Endang Sri Rejeki, M. Si., Apt
Disusun Oleh:
Kelas C Kelompok 1
Kasus 8
PENDAHULUAN
Penyakit reumatik adalah penyakit yang menyerang persendian dan struktur di sekitarnya
yang terdiri lebih dari 100 jenis. Salah satu jenis dari penyakit reumatik adalah Rheumatoid
Arthritis (Nainggolan,2009). Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit autoimun progresif
dengan inflamasi kronik yang menyerang sistem muskuloskeletal namun dapat melibatkan organ
dan sistem tubuh secara keseluruhan, yang ditandai dengan pembengkakan, nyeri sendi serta
destruksi jaringan sinovial yang disertai gangguan pergerakan diikuti dengan kematian prematur
(Mclnnes,2011).
Dalam ilmu penyakit dalam Harrison edisi 18, insidensi dan prevalensi RA bervariasi
berdasarkan lokasi geografis dan berbagai grup etnik yang berkaitan dengan susunan genetik.
Prevalensi tertinggi dilaporkan pada masyarakat asli Amerika, Yakima, Pima, dan suku-suku
Chippewa di Amerika Utara sebesar 7%. Namun prevalensi RA di dunia relatif konstan yaitu
berkisar antara 0,5-1% (Suarjana,2009). Estimasi prevalensi RA untuk negara dengan
pendapatan rendah dan menengah berdasarkan meta-analisis adalah di Asia Tenggara sebesar
0,4%, Mediterania Timur sebesar 0,37%, Eropa sebesar 0,62%, dan Amerika sebesar 1,25%.
Prevalensi pada laki-laki lebih rendah yaitu 0,16% dibandingkan wanita yaitu 0,75% dan
dinyatakan signifikan secara statistik. Sekitar 2,6 juta laki-laki dan 12,21 juta wanita menderita
RA pada tahun 2000 kemudian meningkatmenjadi 3,16 juta laki-laki dan 14,87 juta wanita yang
menderita RA pada tahun 2010 (Rudan dkk, 2015).
Data epidemiologi di Indonesia tentang penyakit RA masih terbatas. Data terakhir dari
Poliklinik Reumatologi RSCM Jakarta menunjukkan bahwa jumlah kunjungan penderita RA
selama periode Januari sampai Juni 2007 sebanyak 203 dari jumlah seluruh kunjungan sebanyak
1.346 pasien. Nainggolan (2009) memaparkan bahwa provinsi Bali memiliki prevalensi penyakit
rematik di atas angka nasional yaitu 32,6%, namun tidak diperinci jenis rematik secara detail.
Walaupun penyebab RA masih belum diketahui secara pasti, namun banyak faktor risiko yang
dapat meningkatkan angka kejadian RA. Diantaranya adalah faktor genetik, usia lanjut, jenis
kelamin perempuan, faktor sosial ekonomi, faktor 2 hormonal, etnis, dan faktor lingkungan
seperti merokok, infeksi, faktor diet, polutan, dan urbanisasi (Tobon et al,2009).
Telah diketahui bahwa RA adalah penyakit kronik dan fluktuatif sehingga apabila tidak
dilakukan penanganan yang tepat dan cepat akan menyebabkan kerusakan sendi yang progresif,
deformitas, disabilitas, dan kematian. Menurut Fuch dan Edward, hanya 15% pasien RA yang
memperoleh pengobatan secara medis yang mengalami remisi atau berfungsi normal setelah 10
tahun sejak awal onset dan hanya 17% dengan tanpa disabilitas. Prognosis RA sendiri dievaluasi
dari berbagai parameter seperti level remisi, status fungsional, dan derajat kerusakan sendi
(Sumariyono,2010).
Masyarakat usia dewasa yang berusia diantara 25 hingga 60 tahun masih merupakan
masa-masa produktif di kehidupannya. Tanggung jawab secara fisik, biologis, ekonomi dan
sosial sangat dibutuhkan dan berkaitan erat dengan status kesehatannya saat ini. Banyak penyakit
degeneratif yang onsetnya dimulai sejak usia pertengahan menyebabkan produktifitas
masyarakat menurun dan masa lansia di kemudian hari menjadi kurang berkualitas. Salah satu
penyakit tersebut adalah RA dimana proses patologi imunologinya terjadi beberapa tahun
sebelum muncul gejala klinis. Walaupun angka kejadian RA banyak terjadi pada lansia namun
tidak menutup kemungkinan proses patologi telah terjadi seiring peningkatan usia dan adanya
berbagai faktor risiko yang saling berkaitan.
BAB II
ISI
2.2 Epidemiologi
Rheumatoid Arthritis Prevalensi dan insiden penyakit ini bervariasi antara populasi
satu dengan lainnya, di Amerika Serikat dan beberapa daerah di Eropa prevalensi RA sekitar
1% pada kaukasia dewasa, Perancis sekitar 0,3%, Inggris dan Finlandia sekitar 0,8% dan
Amerika Serikat 1,1% sedangkan di Cina sekitar 0,28%. Jepang sekitar 1,7% dan India
0,75%. Insiden di Amerika dan Eropa Utara mencapai 20-50/100000 dan Eropa Selatan
hanya 9-24/100000. Di Indonesia dari hasil survei epidemiologi di Bandungan Jawa Tengah
didapatkan prevalensi RA 0,3% sedang di Malang pada penduduk berusia diatas 40 tahun
didapatkan prevalensi RA 0,5% di daerah Kotamadya dan 0,6% di daerah Kabupaten. Di
Poliklinik Reumatologi RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, pada tahun 2000 kasus baru
RA merupakan 4,1% dari seluruh kasus baru. Di poliklinik reumatologi RS Hasan Sadikin
didapatkan 9% dari seluruh kasus reumatik baru pada tahun 2000-2002 (Aletaha et al,2010).
2.5.3 Diagnosis
Terdapat beberapa kesulitan dalam mendeteksi dini penyakit RA. Hal ini
disebabkan oleh onset yang tidak bisa diketahui secara pasti dan hasil pemeriksaan fisik
juga dapat berbeda-beda tergantung pada pemeriksa. Meskipun demikian, penelitian
sebelumnya telah menunjukkan bahwa alat ukur diagnosis RA dengan ARA (American
Rheumatism Association) yang direvisi tahun 1987 memiliki sensitivitas 91%. Hasil
laboratorium yang digunakan dalam mendiagnosis RA ditemukan kurang sensitif dan
spesifik. Sebagai contoh, IGM Rheumatoid Factor memiliki spesifisitas 90% dan
sensitivitas hanya 54%. (Bresnihan, 2002)
Berikut adalah kriteria ARA (American Rheumatism Association) yang direvisi tahun
1987 yang masih dapat digunakan dalam mendiagnosis RA:
1. Kaku pagi hari pada sendi dan sekitarnya, sekurang-kurangnya selama 1 jam
sebelum perbaikan maksimal.
2. Pembengkakan jaringan lunak atau persendian (arthritis) pada 3 daerah sendi atau
lebih secara bersamaan.
3. Artritis pada persendian tangan sekurang-kurangnya terjadi satu pembengkakan
persendian tangan yaitu PIP (proximal interphalangeal), MCP
(metacarpophalangeal), atau pergelangan tangan.
4. Artritis simetris, keterlibatan sendi yang sama pada kedua belah sisi misalnya PIP
(proximal interphalangeal), MCP (metacarpophalangeal), atau MTP
(metatarsophalangeal).
5. Nodul rheumatoid, yaitu nodul subkutan pada penonjolan tulang atau permukaan
ekstensor atau daerah juksta artikuler.
6. Rheumatoid Factor serum positif
7. Perubahan gambaran radiologis yang khas pada RA pada sendi tangan atau
pergelangan tangan yaitu erosi atau dekalsifikasi tulang pada sendi yang terlibat.
2.6 Tatalaksana
2.6.1 Pencegahan Etiologi untuk penyakit RA ini belum diketahui secara pasti, namun
berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, ada beberapa hal yang dapat dilakukan
untuk menekan faktor risiko:
1. Membiasakan berjemur di bawah sinar matahari pagi untuk mengurangi risiko
peradangan oleh RA. Oleh penelitian Nurses Health Study AS yang menggunakan
1.314 wanita penderita RA didapatkan mengalami perbaikan klinis setelah rutin
berjemur di bawah sinar UV-B.
2. Melakukan peregangan setiap pagi untuk memperkuat otot sendi. Gerakan-gerakan
yang dapat dilakukan antara lain, jongkok-bangun, menarik kaki ke belakang
pantat, ataupun gerakan untuk melatih otot lainnya. Bila mungkin, aerobik juga
dapat dilakukan atau senam taichi.
3. Menjaga berat badan. Jika orang semakin gemuk, lutut akan bekerja lebih berat
untuk menyangga tubuh. Mengontrol berat badan dengan diet makanan dan
olahraga dapat mengurang risiko terjadinya radang pada sendi.
4. Mengonsumsi makanan kaya kalsium seperti almond, kacang polong, jeruk, bayam,
buncis, sarden, yoghurt, dan susu skim. Selain itu vitamin A,C, D, E juga sebagai
antioksidan yang mampu mencegah inflamasi akibat radikal bebas.
5. Memenuhi kebutuhan air tubuh. Cairan synovial atau cairan pelumas pada sendi
juga terdiri dari air. Dengan demikian diharapkan mengkonsumsi air dalam jumlah
yang cukup dapat memaksimalkan sisem bantalan sendi yang melumasi antar sendi,
sehingga gesekan bisa terhindarkan. Konsumsi air yang disrankan adalah 8 gelas
setiap hari. (Candra, 2013)
6. Berdasarkan sejumlah penelitian sebelumnya, ditemukan bahwa merokok
merupakan faktor risiko terjadinya RA. Sehingga salah satu upaya pencegahan RA
yang bisa dilakukan masyarakat ialah tidak menjadi perokok akif maupun pasif.
(Febriana, 2015).
KASUS
Seorang ibu yang berumur 38 tahun, hamil 4 bulan datang ke apotik dengan keluhan
nyeri dan kaku bagian punggung dan kaki, terutama pada bagian pergelangan kaki bengkak
kemerahan, apabila disentuh terasa sakit. Sebelumnya pernah mengalami penyakit ini, tidak
memiliki penyakit lain, memiliki berat badan berlebih, tidak memiliki alergi.
DOKUMENTASI SWAMEDIKASI
Pada suatu hari datang seorang ibu hamil ke apotek untuk membeli obat dengan keluhan
nyeri dan kaku bagian punggung dan kaki, terutama pada bagian pergelangan kaki bengkak kemerahan,
apabila disentuh terasa sakit.
Pasien : Gini mba, saya mau beli obat buat nyeri punggung dan kaki.
apoteker : saya sintya apoteker disini, ibu shintha punggung dan kaki nya kenapa?
pasien : belakangan ini saya merasa nyeri dan kaku bagian punggung dan kaki, terutama pada
bagian pergelangan kaki bengkak kemerahan, apabila disentuh terasa sakit, sebelumnya
saya pernah sakit ini juga.
pasien : belum pernah mbak, biasanya cuma saya kasih balsam aja kalo lagi nyeri
apoteker : ibu, ini obatnya sulfasalazine , diminum 1 kali sehari 1 tablet, sesudah makan
ya bu.
pasien : iya mba, obatnya ini diminum 1 kali sehari sesudah makan
apoteker : iya bu, ibu kalau bisa pagi berjemur di bawah sinar matahari untuk mengurangi
resiko peradangan, olahraga ringan untuk menguatkan otot-otot sendi ibu,
makan makanan yang mengandung banyak kalsium. misalnya nyeri pinggan
dan kakinya ibu belum sembuh juga setelah minum obat ini, segera periksa
kedokter ya bu.
1. Aletaha D, Neogi T, Silman AJ, Funovits, Felson T, Bingham III CO et al. (2010).
Rematoid Arthritis Classification Criteria An American College of
Rheumatology/European League Against Rheumatism Collaborative Initiative. Arthritis
Rheum, vol.62, pp.2569 – 81
2. Bresnihan B. (2002). Rheumatoid Arthritis: Principles of Early Treatment. The Journal of
Rheumatology, vol.29, no.66, pp.9-12
3. Candra K. (2013). Teknik Pemeriksaan Genu Pada Kasus Osteoarthritis Dengan Pasien
Non Koperatif. Academia Edu
4. Choy E. (2012). Understanding The Dynamics: Pathway Involved In The Pathogenesis
Of Rheumatoid Arthritis. Oxford University Press on behalf of the British Society for
Rheumatology, vol. 51, pp.3-11
5. Febriana (2015). Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Rheumatoid Arthritis Ankle
Billateral Di RSUD Saras Husada Purworejo. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Surakarta
6. Kapita Selekta Kedokteran/editor. Chris Tanto, et al. Ed.4.(2014). Jakarta: Media
Aesculapius, pp 835-839
7. McInnes, I.B., Schett, G. (2011). The Pathogenesis of Rheumatoid Arthritis. N Engl J
Med, vol. 365, pp. 2205-19
8. Nainggolan,Olwin. (2009). Prevalensi dan Determinan Penyakit Rematik di Indonesia.
Maj Kedokt Indon, vol.59, no.12, pp.588-594
9. Pradana,S.Y. (2012). Sensitifitas Dan Spesifisitas Kriteria ACR 1987 dan ACR/EULAR
2010 pada Penderita Artritis Reumatoid di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro
10. Putra,T.R., Suega,K., Artana,I.G.N.B. (2013). Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Penyakit Dalam. Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana/RSUP Sanglah
11. Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia. (2014). Diagnosis dan Pengelolaan
Artritis Reumatoid. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. ISBN