Anda di halaman 1dari 27

BAB II

DASAR TEORI

2.1 Karakteristik Fluida dan Batuan Reservoir


Keberhasilan upaya peningkatan perolehan migas sangat dipengaruhi oleh
pemahaman terhadap karakteristik batuan dan sifat fluida reservoir. Peningkatan
produksi minyak dapat dilakukan dengan berbagai cara optimasi sumur yang telah
ada serta dengan melakukan kerja ulang (work over). Beberapa sifat batuan yang
harus diperhatikan ketika melakukan upaya peningkatan perolehan minyak adalah
Permeabilitas, Porositas, Wettabilitas, Tekanan Kapiler, Saturasi dan
Kompresibilitas batuan. Sedangkan sifat-sifat fluida diantaranya Viskositas dan
Berat jenis.

2.1.1 Sifat Fisik Batuan


Reservoir minyak adalah suatu lapisan geologi di bawah permukaan bumi
yang mempunyai struktur sehingga hidrokarbon dapat terakumulasi. Biasanya
lapisan tersebut tertutup oleh suatu lapisan batuan yang tidak permeabel (cap
rock) dan berbentuk perangkap. Reservoir minyak pada umumnya memiliki
karakteristik yang berbeda-beda, dipengaruhi oleh komposisi, temperatur dan
tekanan pada tempat terjadinya akumulasi fluida hidrokarbon di dalam reservoir.

2.1.1.1 Porositas
Porositas merupakan ukuran ruang-ruang kosong dalam suatu batuan.
Secara definisi porositas merupakan perbandingan antara volume ruang yang
terdapat dalam batuan yang berupa pori-pori terhadap volume batuan secara
keseluruhan, biasanya dinyatakan dalam fraksi. Besar-kecilnya porositas suatu
batuan akan menetukan kapasitas penyimpanan fluida reservoir. Secara matematis
porositas dapat dinyatakan sebagai berikut :

4
5

𝑉𝑏−𝑉𝑚 𝑉𝑝
𝜙= = ................................................................................... (2.1)
𝑉𝑏 𝑉𝑏

keterangan : Vb = Volume batuan total (bulk volume)


Vm = Volume padatan batuan total (grain volume)
Vp = Volume ruang pori-pori batuan (pore volume)

Tabel 2.1 Klasifikasi porositas


Porositas (%) Kualitas

0–5 Jelek Sekali

5 – 10 Jelek

10 – 15 Sedang

15 – 20 Baik

> 20 Sangat Bagus

2.1.1.2 Permeabilitas
Permeabilitas didefinisikan sebagai suatu bilangan yang menunjukkan
kemampuan dari suatu batuan untuk mengalirkan fluida. Permeabilitas merupakan
fungsi tingkat hubungan ruang antar pori-pori batuan. Henry Darcy (1856),
membuat hubungan empiris dengan bentuk diferensial sebagai berikut :

𝑘 𝑑𝑃
𝑄= − .......................................................................................... (2.2)
𝜇 𝑑𝐿

keterangan : V = Kecepatan aliran, cc/sec


μ = Viskositas fluida yang mengalir, cp
dP / dL = Gradien tekanan dalam arah aliran, atm/cm
k = Permeabilitas media berpori, Darcy
6

Tabel 2.2 Klasifikasi permeabilitas


Permeabilitas
Keterangan
(mD)

0 -5 Ketat (tight)

5 – 10 Cukup (fair)

10 – 100 Baik (good)

100 – 1000 Baik sekali (very good)

2.1.1.3 Saturasi
Batuan reservoir minyak umumnya terdapat lebih dari satu macam fluida.
Dari sejarah terjadinya minyak menunjukkan bahwa, pori-pori batuan mula-mula
diisi oleh air. Minyak dan gas kemudian bergerak menuju reservoir, mendorong
air sampai hanya tinggal sedikit, air yang tertinggal dinamakan connate water atau
initial water. Bila reservoir didapatkan, kemungkinan terdapat minyak, gas dan air
yang telah terdistribusikan keseluruh bagian reservoir.
Saturasi didefinisikan sebagai perbandingan antara volume pori-pori
batuan yang ditempati oleh suatu fluida tertentu dengan volume pori - pori total
pada suatu batuan berpori.

𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑃𝑜𝑟𝑖 𝑌𝑎𝑛𝑔 𝑇𝑒𝑟𝑖𝑠𝑖 𝑂𝑙𝑒ℎ 𝐴𝑖𝑟


𝑆𝑤 = 𝑥 100% ......................................(2.3)
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑃𝑜𝑟𝑖−𝑃𝑜𝑟𝑖 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙

𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑃𝑜𝑟𝑖 𝑌𝑎𝑛𝑔 𝑇𝑒𝑟𝑖𝑠𝑖 𝑂𝑙𝑒ℎ 𝑂𝑖𝑙


𝑆𝑜 = 𝑥 100% ........................................(2.4)
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑃𝑜𝑟𝑖−𝑃𝑜𝑟𝑖 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙

𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒
𝑃𝑜𝑟𝑖 𝑌𝑎𝑛𝑔 𝑇𝑒𝑟𝑖𝑠𝑖 𝑂𝑙𝑒ℎ 𝐺𝑎𝑠
𝑆𝑔 = 𝑥 100% .................................................. (2.5)
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑃𝑜𝑟𝑖−𝑃𝑜𝑟𝑖 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙

Hubungan dari ketiganya adalah sebagai berikut : Sw + So + Sg = 1


7

2.1.1.4 Wettabilitas
Wettabilitas didefinisikan sebagai suatu kecendrungan dari adanya fluida
lain yang tidak saling mencampur. Apabila dua fluida bersinggungan dengan
benda padat, maka salah satu fluida akan bersifat membasahi permukaan benda
padat tersebut. Pada umumnya indikator untuk mengenal Wettabilitas, adalah dari
sudut kontak, yaitu :
1) θ < 90o (mengindikasikan kecenderungan kondisi batuan Water Wet)
2) θ > 90o (mengindikasikan kecenderungan kondisi batuan Oil Wet)

Gambar 2.1. Wettability sistem Minyak, Air dan Batuan

2.1.1.5 Tekanan Kapiler (Pc)


Tekanan kapiler (Pc) didefinisikan sebagai perbedaan tekanan terjadi
antara permukaan dua fluida yang tidak tercampur (cairan-cairan atau cairan-gas)
sebagai akibat dari terjadinya pertemuan permukaan yang memisahkan mereka.

Pc = Pnw − Pw ................................................................................... (2.6)


keterangan : Pnw = non wetting phase (minyak dan gas)
Pw = wetting phase (air)
8

2.1.1.6 Kompresibilitas
Kompresibilitas batuan adalah perubahan volume batuan akibat perubahan
tekanan yang mempengaruhinya, yaitu tekanan hidrostatik dan tekanan
overburden. Menurut Geerstma (1957) terdapat tiga konsep kompresibilitas
batuan yaitu :
1) Kompresibilitas matriks batuan, yaitu fraksi perubahan volume
material padatan (grains) terhadap satuan perubahan tekanan.
2) Kompresibilitas bulk batuan, yaitu fraksi perubahan volume bulk
batuan terhadap satuan perubahan tekanan.
3) Kompresibilitas pori-pori batuan, yaitu fraksi perubahan volume pori-
pori batuan perubahan tekanan.

Gambar 2.2 Kompresibilitas Batuan

2.1.2 Sifat Fisik Fluida Reservoir


Fluida yang umumnya terdapat dalam reservoir terbagi tiga fasa yaitu gas,
minyak dan air, dan secara normal dari material-material yang terkandung dalam
fluida dapat diperkirakan bentuk suatu fasa fluida apakah minyak, gas atau cairan.
Minyak bumi terbentuk dari berbagai macam sifat-sifat gabungan senyawa
hidrokarbon yang rumit, serta gas-gas yang terlarut di dalamnya. Minyak bumi
yang diperoleh dari tiap-tiap lapangan mempunyai karakteristik yang berbeda, ini
9

menunjukkan hidrakorban yang menyusun minyak bumi tersebut berlainan satu


terhadap lainnya. Sifat-sifat fluida dalam hal ini minyak yang dapat dianalisa
diantaranya adalah Densitas (ρ), Specific Gravity (SG), Viskositas (), Faktor
Volume Formasi Air Formasi (Bw) dan Compressibility (C).

2.1.2.1 Densitas
Massa jenis adalah pengukuran massa setiap satuan volume benda.
Semakin tinggi massa jenis suatu benda, maka semakin besar pula massa setiap
volumenya. Massa jenis rata-rata setiap benda merupakan total massa dibagi
dengan total volumenya. Satuan SI massa jenis adalah kilogram per meter kubik
(kg/m-3) Massa jenis berfungsi untuk menentukan zat. Setiap zat memiliki massa
jenis yang berbeda. Rumus untuk menentukan massa jenis adalah :

𝑚
ρ= ..................................................................................................... (2.7)
𝑣

keterangan : v = volume (𝑚3 )


M = massa (kg)
ρ = Densitas (kg/𝑚3 )

2.1.2.2 Specific Gravity


Specific gravity minyak adalah perbandingan anatara berat jenis minyak
pada temperatur standar dengan berat jenis air dengan temperatur yang sama dapat
ditulis seperti persamaan berikut :

𝜌𝑜𝑖𝑙
𝑆𝐺 = ........................................................................................... (2.9)
𝜌𝑤𝑎𝑡𝑒𝑟

keterangan : SG = Spesific Gravity


𝜌𝑤𝑎𝑡𝑒𝑟 = Densitas air ( kg/𝑚3 )
𝜌𝑜𝑖𝑙 = Densitas minyak (kg/𝑚3 )
10

2.1.2.3 Bw (Faktor Volume Formasi Air)


Faktor volume formasi Air (Bw) didefinisikan sebagai volume air
dalam barrel pada kondisi standar yang ditempati oleh satu stock tank
barrel air termasuk gas yang terlarut, Satuan yang digunakan adalah
bbl/stb. Perhitungan Bw dengan persamaan Gould dinyatakan dengan
persamaan :

𝐵𝑤 = 1,0 + 1,2 x 104 𝑇𝑥 + 1,0𝑥106 𝑇𝑥 2 − 3,3𝑥106 𝑃 ..................... (2.8)

keterangan : Tx = Temperatur,ºF
P = Tekanan, psi

2.1.2.4 Viskositas Air (w)


Viskositas Air (w) didefinisikan sebagai ukuran ketahanan air terhadap
aliran, dengan satuan centi poise (cp). Viskositas air akan naik terhadap turunnya
temperatur dan terhadap kenaikan tekanan. Kegunaan mengetahui perilaku
kekentalan air pada kondisi reservoir terutama untuk mengontrol gerakan air
formasi di dalam reservoir.

2.1.2.5 Rs (Kelarutan Gas Dalam Miyak)


Kelarutan gas (Rs) adalah banyaknya SCF gas yang terlarut dalam satu
STB minyak pada kondisi standar 14,7 psi dan 60 F, ketika minyak dan gas
masih berada dalam tekanan dan temperatur reservoir. Kelarutan gas dalam
minyak (Rs) dipengaruhi oleh tekanan, temperatur dan komposisi minyak dan gas.
Dapat dilihat pada grafik gambar 2.3. dibawah ini :
11

sumber : Ahmed, Tarek. Reservoir engineering handbook second edition


Gambar 2.3 Kelarutan Gas Dalam Minyak (Rs)

Pada temperatur minyak yang tetap, kelarutan gas tertentu akan bertambah
pada setiap penambahan tekanan. Pada tekanan yang tetap kelarutan gas akan
berkurang terhadap kenaikan temperatur. Persamaan yang digunakan yaitu :

𝑃
𝑅𝑠 = 𝑔 (( 18.2 + 1.4 ) 𝑥 100.0125 𝐴𝑃𝐼−0.00091 (𝑇−460) )1.2048 ............... (2.9)

keterangan : Rs = Kelarutan gas dalam minyak, SCF/STB

T = Suhu, ºF

eg = specific gravity gas, lb/cuft

P = Tekanan, Psi

2.2 Tahapan Perolehan Minyak


Dalam memproduksi fluida hidrokarbon dari reservoir biasanya melalui
tahap-tahap yang dilakukan untuk dapat memperoleh produksi yang maksimal.
Produksi tersebut biasanya memiliki dua tahap yang sangat bergantung pada
12

energi pendorong alamiah (drive mechanism) yang dominan terjadi secara


gabungan di dalam reservoir, yaitu Conventional Oil Recovery (COR) dan
Enhanced Oil Recovery (EOR). Conventional Recovery kemudian disebut sebagai
Primary Recovery. Tahap-tahap EOR meliputi Secondary Recovery dan Tertiary
Recovery. Seperti terlihat pada skema Gambar 2.4.

Gambar 2.4 Tahapan Produksi Minyak dari Reservoir

2.2.1 Primary Recovery


Pada tahap ini, tenaga pendorong alamiah yang ada di dalam reservoir itu
sendiri yang menyebabkan fluida bergerak kedalam lubang sumur, bahkan
langsung kepermukaan. Berdasarkan cara produksinya, tahapan primer dibedakan
menjadi 2 yaitu dengan memakai bantuan secara alamiah (Natural Flowing)
berupa mekanisme pendorong reservoir dan dengan memakai bantuan peralatan
buatan (Artificial Lift).
1) Natural Flowing
Tekanan statik dasar sumur cukup besar untuk mendorong fluida
masuk ke dalam sumur dan dapat diproduksi secara alamiah tanpa
bantuan energi dari luar. Tenaga pendorong alamiah yang terdapat
13

dalam reservoir tersebut seperti Compaction, Solution Gas Drive, Gas


Cap Drive, Water Drive, Gravity Drainage dan Combination Drive.
2) Artificial Lift
Artificial Lift merupakan mekanisme pengangkatan fluida dari sumur
hingga ke permukaan dengan mempergunakan peralatan berupa
pompa disebabkan karena tekanan dari sumur (Reservoir Pressure) itu
sendiri tidak mampu lagi untuk mendorongnya keatas setelah
diproduksikan beberapa waktu. Sistem Artificial Lift yang sering
digunakan dalam dunia perminyakan adalah Electric Submersible
Pump (ESP), Sucker Rod Pump (SRP), Gas Lift, Progressive Cavity
Pump (PCP) dan Hydraulic Pump Unit (HPU).

2.2.2 Secondary Recovery


Setelah dilakukannya proses produksi tahap awal ternyata masih banyak
cadangan minyak tertinggal didalam reservoir yang masih bisa dikeluarkan,
karena pada tahap awal minyak hanya dapat diproduksi sebagian saja. Selain itu
kinerja reservoir juga telah mengalami penurunan sehingga perlu dipertahankan
dengan jalan menginjeksikan material berupa fluida dengan tujuan menambah
tenaga reservoir untuk tetap berproduksi. Hal ini dapat dilakukan dengan
mempergunakan teknik yang lebih tinggi untuk meningkatkan produksi minyak
dan juga menjaga agar tekanan reservoir tetap berada di atas tekanan bubble point,
dan disebut sebagai tahapan kedua (Secondary Recovery).
Pada tahapan kedua ini metoda yang sering digunakan antara lain proses
injeksi air (waterflood) dan proses injeksi gas yang keduanya bertujuan untuk
mempertahankan kinerja reservoir.
Metoda waterflood ini merupakan cara yang sangat sering digunakan pada
secondary recovery. Metoda ini dilakukan dengan menginjeksikan air ke dalam
reservoir melalui sumur-sumur injeksi yang kemudian diharapkan air tersebut
akan mendorong sebagian minyak yang tersisa ke arah sumur-sumur produksi.
Metode Water Injection atau bisa juga disebut Water Flooding yaitu penggunaan
injeksi air. Metode ini digunakan untuk mengisi hilangnya tekanan akibat
14

terproduksinya minyak. Air dimasukkan dalam reservoir kemudian air akan


menekan minyak keatas sehingga memudahkan dalam pemompaan serta
memperpanjang umur dari reservoir itu sendiri.

2.2.3 Tertiary Recovery


Apabila tahap sekunder ini sudah tidak ekonomis lagi, sementara di
reservoir masih tersisa cadangan minyak bumi yang masih cukup ekonomis bila
dapat diproduksikan, maka dapat dilakukan tahap selanjutnya dengan tahap
Tertiary Recovery atau lebih dikenal dengan EOR (Enhanced Oil Recovery).
Secara garis besar metode-metode EOR dapat diklasifikasikan menjadi :
1) Metode Thermal (Injeksi Uap, In-Situ Combustion, dan Injeksi Air
Panas)
2) Metode Chemical (Injeksi Surfactant, Polymer flooding, Injeksi
Alkaline)
3) Metode miscible flooding (Injeksi Hidrokarbon dan Injeksi
Karbondioksida)
4) Microbial Enhaced Oil Recovery (MEOR)

Kesuksesan suatu proyek EOR adalah sangat tergantung kepada


pertambangan oil production rate setelah diterapkannya EOR di suatu reservoir.
Inilah yang disebut Incremental Oil, yaitu berupa kurva oil production versus
time. Adapun mekanisme kerja tahap tersier ini adalah :
1) Mengurangi viskositas minyak (thermal methods)
2) Menaikkan viskositas air (chemical methods)
3) Mengurangi tegangan permukaan minyak dan air (surfactant dan
Alkaline)
15

2.3 Definisi Injeksi Air


Pada lapangan yang sudah melewati batas primary recovery-nya,
dilakukan optimasi produksi dengan cara yang lain salah satunya adalah injeksi
air (water flooding). Penginjeksian air bertujuan untuk mendesak minyak menuju
sumur produksi sehingga akan meningkatkan produksi minyak ataupun dapat juga
berfungsi untuk mempertahankan tekanan reservoir (pressure maintenance) agar
tetap stabil. Pada proses pendesakan, air akan mendesak minyak mengikuti jalur-
jalur arus yang dimulai dari sumur injeksi dan berakhir pada sumur produksi.
Selain itu air yang digunakan untuk proses injeksi adalah air formasi yang ikut
terproduksi, pada umumnya air formasi merupakan air asin yang ikut
terproduksikan bersamaan dengan produksi minyak dan gas. Selain itu densitas air
lebih besar dari densitas minyak, sehingga lapisan air formasi berada di bawah
lapisan minyak.
BPMIGAS
Surfactant Flooding Process Mechanism
PT Ca lt e x Pacific In d on e sia

Injection
Fluids

Injection Production Well


Pump

Oil
Injection
Well

4 3 2 1

Driving Fluid Tapered Polymer Polymer Solution Surfactant Slug Additional Oil
(Water )
Gambar 2.5 Mekanisme waterflood
Slug for Transition
to Drive Water
for Mobility Control for Releasing Oil Recovery (Oil Bank)

15

Mekanisme kerja waterflood adalah dengan menginjeksikan air ke dalam


formasi yang berfungsi untuk mendesak minyak menuju sumur produksi
(produser) sehingga akan meningkatkan produksi minyak ataupun dapat juga
berfungsi untuk mempertahankan tekanan reservoir (pressure maintenance),
untuk lebih jelasnya lihat Gambar 2.5.
16

Injeksi air merupakan salah satu metoda EOR yang paling banyak
dilakukan sampai saat ini. Biasanya injeksi air digolongkan ke dalam injeksi tak
bercampur. Alasan-alasan sering digunakan injeksi air ialah:
1) Mobilitas yang cukup rendah
2) Air cukup mudah diperoleh
3) Pengadaan air cukup murah
4) Air mudah diinjeksikan
5) Berat kolom air dalam sumur injeksi turut memberikan tekanan
6) Memiliki efisiensi pendesakan yang sangat baik.

2.3.1 Sejarah Perkembangan dan Aplikasi Waterflood


Penemuan minyak mentah oleh Edwin L. Drake di Titusville pada tahum
1859 menandai dimulainya era industri minyak bumi. Penggunaan minyak bumi
yang semakin meluas membuat orang mulai berpikir untuk meningkatkan
perolehan sproduksi minyak bumi. Maka pada awal 1880-an, J.F. Carll
mengemukakan pendapatnya bahwa kemungkinan perolehan minyak dapat
ditingkatkan melalui penginjeksian air dari suatu sumur injeksi untuk mendorong
minyak ke sumur produksi adalah sangat besar.
Eksperimen waterflood pertama tercatat dilakukan di Lapangan Bradford,
Pennsylvania pada tahun 1880-an. Dari eksperimen pertama ini, mulai terlihat
bahwa program waterflood akan dapat meningkatkan produksi minyak. Maka
pada awal 1890-an, dimulailah penerapan waterflood di lapangan-lapangan
minyak di Amerika Serikat.
Pada 1907 ditemukan metoda baru dalam pengaplikasian waterflood di
Lapangan Bradford, Pennsylvania, yang disebut sebagai “metoda lingkar (circular
method)”, yang juga tercatat sebagai pengaplikasian flooding pattern pertama.
Karena adanya regulasi pemerintah yang melarang penerapan waterflood dimasa
itu, proyek ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi, sampai larangan itu dicabut
pada 1921.
17

Mulai tahun 1921, penerapan waterflood mulai meningkat. Pola pattern


waterflood berubah dari circular method menjadi line method. Pada 1928, pola
five spot ditemukan dan diterapkan secara meluas di lapangan-lapangan minyak.
Selain tahun-tahun tersebut, operasi waterflood juga tercatat dilakukan di
Oklahoma pada tahun 1931, di Kansas pada tahun 1935 dan di Texas pada tahun
1936.
Dibandingkan dengan masa sekarang, penerapan waterflood pada masa
dahulu boleh dibilang sangat sedikit. Salah satu faktor penyebabnya adalah karena
pada zaman dahulu pemahaman tentang waterflood masih sangat sedikit. Selain
itu, pada zaman dahulu produksi minyak cenderung berada diatas kebutuhan
pasar. Signifikansi waterflood mulai terjadi pada akhir 1940-an, ketika sumur-
sumur produksi mulai mencapai batasan ekonomisnya (economic limit) dan
memaksa operator berpikir untuk meningkatkan producable reserves dari sumur-
sumur produksi. Pada 1955, waterflood tercatat memberikan konstribusi produksi
lebih dari 750000 BOPD dari total produksi 6600000 BOPD di Amerika Serikat.
Dewasa ini, konstribusi waterflood mencapai lebih dari 50% dari total produksi
minyak di Amerika Serikat. Injeksi air ini sangat banyak digunakan.
Penginjeksian air bertujuan untuk memberikan tambahan energi kedalam
reservoir. Pada proses pendesakan, air akan mendesak minyak mengikuti jalur-
jalur arus (stream line) yang dimulai dari sumur injeksi dan berakhir pada sumur
produksi, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.6, yang menunjukkan
kedudukan partikel air yang membentuk batas air-minyak sebelum breakthrough
(a) dan sesudah breakthrough (b) pada sumur produksi.
18

Gambar 2.6 Kedudukan Air Sepanjang Jalur Arus


(a) sebelum dan (b) sesudah Tembus Air Pada Sumur Produksi

2.3.2 Pengawasan Waterflood (Reservoir Surveillance)


Kunci kesuksesan sebuah proyek waterflood terlelak pada perencanaan
dan pelaksanaan program pengawasan serta monitoring pada sumur. Program ini
disesuaikan dengan lapangan atau proyek yang bersangkutan, sebab masing-
masing proyek waterflood mempunyai karakter yang beragam. Hal yang penting
untuk diperhatikan pada program monitoring sumur khususnya sistem waterflood
terdapat pada Gambar 2.7 Sebelumnya proyek waterflood hanya terfokus pada
hasil produksi dan injeksi saja. Dewasa ini dengan pengetahuan manajemen
reservoir modern, telah menjadi praktek industri untuk menjadikan sumur,
fasilitas, water system dan kondisi pengoperasian menjadi program surveillance
secara comprehensive.
Manajemen reservoir yang baik terdiri dari reservoir, well dan surface
facilities sebagai komponen dari satu kesatuan sistem. Telah diakui bahwa
karakteristik reservoir, fluida dan bentuk alirannya akan mempengaruhi operasi
sumur dan proses produksi fluida di permukaan.
19

Hydrocarbon Water
Water Wells
Transport Ttreatment

Production Disposal Wells injection facilities


Facilities

production wells reservoir injection wells

Gambar 2.7 Waterflood Injection System

Saat ini, pelaksanaan surveillance tidak hanya difokuskan pada kinerja


reservoir, namun melibatkan sumur-sumur, fasilitas dan sistem air. Informasi
tentang sejarah kinerja waterflood pada suatu lapangan lebih detail dapat
diperoleh, memberikan suatu penilaian terhadap behavior waterflood yang tengah
berjalan. Informasi ini mencakup :
1) Deskripsi reservoir yang akurat dan lebih detail
2) Kinerja reservoir, estimasi efisien penyapuan dan recovery minyak
untuk tiap stage (at various stage of depletion)
3) Sumur injeksi dan sumur produksi, beserta laju alir, tekanan, dan
profil fluida
4) Treatment dan kualitas air
5) Performansi fasilitas dan perawatan.
6) Perbandingan performasi aktual dan teoritis untuk memonitor
behavior dan efektfitas waterflood.
7) Diagnosa terhadap permasalahan yang ada/potensial, dan solusinya.
20

2.4 Kerusakan Formasi (Formation Damage)


Kerusakan Formasi (Formation Damage) adalah kerusakan formasi di
sekitar lubang sumur migas, yang menyebakan pengurangan kemampuan alir
fluida reservoir dibawah kemampuan asalnya. Sebab-sebab kerusakan Formasi
sebagai berikut .

2.4.1 Clay Swelling


Pengurangan permeabilitas formasi yang disebabkan clay swelling,
merupakan subjek riset yang extensive dan publikasi. Berdasarkan pada hasil riset,
menunjukkan bahwa invasi fresh water (filtrat lumpur bor) yang masuk ke dalam
batuan pasir yang shaly, dapat mengurangi permeabilitas jika, batuan lempung
(clay) yang terkandung dalam batu pasir adalah dari tipe “expanding lattice” yang
mudah mengembang jika terkena air murni. Kecenderungan untuk mengembang
dan menyumbat pori batuan formasi, dapat dihambat oleh kehadiran garam
organik di dalam air. Sekali clay mengembang karena kontak dengan fresh water,
larutan garam yang kuat mampu mengerutkan partikel clay tersebut. Akan tetapi,
pengerutan ini tidak sempurna dan permeabilitasnya juga tidak akan kembali ke
asal. Sebenarnya, dengan kontaknya formasi yang mengandung expanding lattice
clay dengan fresh water akan mengurangi permeabilitas formasi secara permanen.

Gambar 2.8 Formation damage (clay swelling)


21

2.4.2 Penyumbatan Partikel-Partikel Padatan


Penyumbatan partikel padatan ini disebabkan karena partikel padat yang
berasal dari lumpur pemboran sehingga mengakibatkan rusaknya formasi.
Penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa partikel clay dari bahan lumpur
bentonite, mampu berpenetrasi dalam suatu material berpori. Penetrasi ini
walaupun tidak dalam, karena dihalangi oleh butiran batuan menghasilkan
pengurangan permeabilitas formasi yang cukup berarti. Tipe-tipe clay yang paling
tinggi terhadap penyumbatan formasi minyak dengan cara disperse (tersebar), dan
kemudian menyumbat formasi adalah kaolinite, illite, dan chlorite. Penyumbatan
bisa terjadi karena pengendapan scale anorganik seperti calcium carbonate,
calcium sulphate dan barium sulphate.

2.4.3 Pengendapan Asphaltic dan Paraffin


Pengurangan suhu dan tekanan yang disertai aliran crude oil (minyak
mentah) yang mengandung sejumlah bahan-bahan asphaltic atau paraffin dapat
menyebabkan pengendapan material asphaltic ataupun paraffin. Pengendapan ini
bisa mengurangi permeabilitas formasi terhadap minyak dengan cara pemblokiran
pori atau mengubah wettability formasi.
Dari ketiga penyebab kerusakan formasi yang sudah dibahas, secara garis
besar kerusakan formasi (formation damage) sangat berpengaruh pada
permeabilitas. Pengaruh kerusakan formasi (formation damage), mempunyai efek
yang buruk terhadap produktivitas sumur. Efek dari kerusakan formasi ini harus
segera ditangani agar produktivitas dari sumur kembali maksimal.

2.5. Hall Plot Analysis


Metode Hall mulai dilakukan untuk menganalisis sumur injeksi air pada
tahun 1963. Metode ini berupa pendekatan secara grafis untuk mengevaluasi
kapasitas injeksi sumur. Secara umum, kapasitas sumur injeksi sulit untuk
dievaluasi karena banyaknya variasi dari laju injeksi dan tekanan. Untuk
mengevaluasi kemungkinan adanya scalling ataupun peningkatan injeksi biasanya
dibutuhkan data-data tekanan reservoir, viskositas air dan densitas air. Untuk
22

mengatasi masalah tersebut, maka Hall Plot menunjukkan bahwa gradient dari
kurva jumlah tekanan kepala sumur dikalikan dengan waktu terhadap volume
injeksi kumulatif dapat memperlihatkan kapasitas sumur injeksi dan gradient akan
tetap bernilai konstan apabila kapasitasnya tetap konstan.
Persamaan yang digunakan untuk menentukan gradient pada Hall Plot
adalah fungsi yang berasal dari berbagai parameter reservoir yaitu permeabilitiy
thickness (kapasitas) adalah yang paling penting. Persamaannya adalah:

𝑟𝑒
𝜇𝑤𝐵𝑤 ln( )
𝑟𝑤
𝑚 = 0.00707 𝐾𝑤ℎ .................................................................................. ( 2.10 )

keterangan : m = Gradient pada Hall Plot,psi-mont/bbl


𝜇𝑤 = Viskositas air, cp
𝐵𝑤 = Faktor Volume Formasi Air, Bbl/Stb
re = Radius Injeksi, ft
rw = Radius Sumur, ft
kw = Permeabilitas, mD
h = Ketebalan Formasi, ft

Beberapa asumsi berlaku untuk persamaan ini. Asumsi yang paling


penting adalah tekanan reservoir dan radius injeksi harus konstan. Ketika nilai
gradient pada kurva water injection kumulatif versus tekanan kepala sumur
dikalikan dengan waktu mengalami perubahan menjadi berkurang, maka
diindkasikan adanya efek stimulasi, misalnya perekahan hydraulic dan
pengasaman. Jika gradient pada kurva tersebut mengalami perubahan menjadi
bertambah, maka diindikasikan bahwa adanya efek damage pada sumur, misalnya
adanya plugging atau bertambahnya nilai skin yang menyebabkan menurunnya
kapasitas injeksi fluida.
Kurva Hall Plot tidak hanya dapat digunakan untuk mengidentifikasikan
adanya penurunan kapasitas injeksi, tetapi juga dapat digunakan sebagai metode
untuk menentukan treatment atau prosedur workover apa yang akan dilakukan
23

untuk sumur tersebut. Pada prosedur konvensional, jika ditemukan adanya


problem pada sumur melalui Hall Plot, langsung dilakukan pengujian sumur
untuk menentukan nilai formation damage ataupun nilai skin.

Gambar 2.9 Hall Plot (Hall 1963 )

Gambar 2.9 merupakan contoh skematik dari Hall Plot yang digunakan
untuk mendemonstrasikan beberapa kondisi yang dapat didiagnosa dengan teknik
ini. Bagian kurva yang berlabel A merupakan proses pertama kali dilakukan
injeksi pada sumur (fill up) selama periode waktu ini, polanya menjadi terisi
fluida, radius injeksi (re) meluas dan tekanan pada jari-jari eksternal daerah
pengurasan (Pe) meningkat. Pada titik B, proses fill-up selesai dan re serta Pe
konstan. Jalur ke titik C menunjukan Hall Plot untuk sumur yang mengalami
kerusakan formasi. Jalur ke titik D menunjukan sumur injeksi normal. Jalur ke
titik E menunjukan pada sumur tersebut pernah dilakukakan stimulasi. Jalur ke
titik F menunjukan bahwa proses injeksi yang dilakukan keluar dari zona yang
ditentukan (channling).
24

Hawe (1976) menjelaskan bahwa nilai formation damage dapat diketahui


tanpa melaksanakan pengujian sumur yang memerlukan waktu yang lama dan
biaya yang mahal. Dengan cara mengevaluasi data laju injeksi dan tekanan pada
waktu tertentu, dengan menggunakan kurva Hall Plot, maka nilai formation
damage bisa didapatkan. Sehingga pengujian sumur tidak perlu lagi dilakukan
untuk menentukan nilai formation damage atau skin factor pada sumur tersebut.

2.6 Evaluasi Formation Damage dengan Hall Plot


Dalam setiap evaluasi formation damage, tujuan utamanya adalah untuk
mengetahui apakah terjadi penurunan produktifitas sumur atau apakah ada
penambahan pressure loss akibat adanya skin. Oleh karena itu nilai skin factor
dihitung untuk mengetahui seberapa besarnya efek damage yang terdapat pada
sumur, pressure drop yang terdapat karena adanya skin, dan memperkirakan
jumlah produksi yang dapat ditingkatkan. Dari indikasi-indikasi ini, kita dapat
memperkirakan treatment atau prosedur workover apa yang akan dilakukan.
Hall Plot untuk sumur injeksi menggunakan data tekanan kepala sumur
dan laju injeksi air. Pada penelitian ini digunakan tekanan bawah sumur dengan
asumsi pressure loss yang terdapat sepanjang tubing dianggap konstan dan
menggunakan laju alir fluida terproduksi. Pada keadaan sebenarnya digunakan
data tekanan kepala sumur sehingga dapat mempermudah dalam membuat kurva
Hall Plot. Penelitian ini menggunakan batasan bahwa fluida yang terprosuksi
seluruhnya adalah minyak. Dari persamaan gradient yang sudah dijelaskan diatas,
persamaan tersebut diaplikasikan untuk fluida minyak.
Dari analisa Hall Plot perubahan slope yang terjadi akan menunjukan
kondisi di sekitar lubang sumur, kemudian terlihat bahwa gradient garis tersebut
berbanding terbalik dengan transmissibility (Tm), dimana:

𝐾𝑤ℎ
𝑇𝑚 = 𝜇𝑤
..............................................................................................(2.11)

1
𝑇𝑚~ 𝑚............................................................................................................(2.12)
25

dengan gradient tersebut mempunyai satuan psi/bbl, dan transmissibilitas


mempunyai satuan mD-ft/cp, sehingga dibutuhkan nilai konstanta konversi
sebesar 2942, maka persamaannya menjadi:

𝑟𝑒
𝐵𝑤 ln( )
𝑟𝑤
𝑇𝑚 = (0.00707)(29.2)𝑚 ............................................................................ (2.13)

𝑟𝑒
4,844 𝐵𝑤 ln( )
𝑟𝑤
𝑇𝑚 = .............................................................................. (2.14)
𝑚

Oleh karena itu, ketika dilakukan dengan menggunakan Hall Plot dan
terjadi perubahan gradient pada kurva tersebut menjadi meningkat, maka dapat
diindikasikan terjadi formation damage pada sumur tersebut. Kedua gradient yang
berbeda ini merupakan kondisi ketika formation damage belum dan sudah terjadi
pada sumur yaitu m1 dan m2. Nilai transmissibilitas pertama (Tm1) berasal dari
gradient yang pertama (m1) yaitu ketika formation damage belum terjadi. Disini
terlihat jelas, bahwa gradient tidak berubah ketika belum terjadi damage. Nilai
transmissibity kedua (Tma) yang berasal dari gradient kedua (m2) merupakan nilai
yang berasal dari rata-rata nilai transmissibilitas ketika formation damage telah
terjadi dan belum terjadi.
Dengan didapatkannya kedua nilai transmissibilitas ini (Tm1 dan Tma),
maka formation damage dapat ditentukan seperti pada Gambar 2.11 Oleh karena
itu, masing-masing transmissibilitas selanjutnya disebut menjadi Tm1
(transmissibilitas pada zona undamage) dan Tma (transmissibilitas rata-rata pada
zona damage dan undamage).
Setelah kedua nilai transmissibilitas diketahui, maka kita mengasumsikan
radius dari reservoir yang terkena damage (ra). Nilai ra pada umumnya berkisar
tidak lebih dari tiga feet karena efek skin hanya terasa pada sumur itu saja.
Walaupun begitu, seberapa besarpun nilainya, tidak memberikan perubahan yang
cukup signifikan pada nilai skin factor yang didapatkan. Pada gambar di bawah
ini dapat dilihat dimana zona damage dan zona undamage.
26

Rw Ra Re

Gambar 2.10 Lokasi zona damage

Tavg = Tm2

Tma Tme = Tm1

Damaged zone Undamaged Zone

Gambar 2.11 Lokasi zona Damage

Dengan asumsi nilai ra tersebut, kemudian dapat ditentukan nilai


transmissibilitas pada zona damage (Tma). Nilai Tma didapatkan dengan
menggunakan korelasi untuk menghitung permeabilitas rata-rata pada lapisan seri:

𝑟𝑒
𝑘𝑎𝑘𝑒 ln( )
𝑟𝑤
𝐾𝑎𝑣𝑔 = 𝑟𝑒 𝑟𝑎 ................................................................. (2.15)
𝑘𝑎 ln( )+ 𝑘𝑒 ln( )
𝑟𝑎 𝑟𝑤
27

Persamaan menjadi :
𝑟𝑒
𝑇𝑚𝑎𝑇𝑚1 ln( )
𝑟𝑤
𝑇𝑚𝑎𝑣𝑔 = Tma = 𝑟𝑒 𝑟𝑎 ............................................. (2.16)
𝑇𝑚𝑎 ln( )+ 𝑇𝑚1 ln( )
𝑟𝑎 𝑟𝑤

Kemudian didapatkan nilai dari Tma. Setelah didapatkan nilai Tma dan
menggunakan asumsi ra yang sudah ditentukan sebelumnya. Maka nilai
transmissibilitas dan ra disubstitusikan ke persamaan untuk mendapatkan nilai
skin:
(𝑘𝑒−𝑘𝑎) 𝑟𝑎
𝑆= ln (𝑟𝑤) ............................................................................. (2.17)
𝐾𝑎

Menjadi :

(𝑇𝑚1−𝑇𝑚𝑎) 𝑟𝑎
𝑆= ln (𝑟𝑤) ....................................................................... (2.18)
𝑇𝑚𝑎

2.7 Stimulasi
Stimulasi merupakan suatu proses perbaikan terhadap sumur untuk
meningkatkan harga permeabilitas formasi yang mengalami kerusakan sehingga
dapat memberikan laju produksi yang besar, yang akhirnya produktifitas sumur
akan menjadi lebih besar jika dibandingkan sebelum diadakannya stimulasi
sumur. Stimulasi dilakukan pada sumur-sumur produksi yang mengalami
penurunan produksi yang disebabkan oleh adanya kerusakan formasi (formation
damage) disekitar lubang sumur dengan cara memperbaiki permeabilitas batuan
reservoir. Metode stimulasi dapat dibedakan menjadi Acidizing dan Hydraulic
Fracturing.
Alasan dilakukanya stimulasi antara lain karena adanya hambatan alami
yaitu permeabilitas reservoir yang rendah sehingga menyebabkan fluida reservoir
tidak dapat bergerak secara cepat melewati reservoir dan hambatan akibat yaitu
yang sering disebut dengan kerusakan formasi (formation damage), kerusakan
fomasi ini kebanyakan disebabkan oleh operasi pemboran dan penyemenan yang
menyebabkan permeabilitas batuan menjadi kecil jika dibandingkan dengan
28

permeabilitas alaminya sebelum terjadi kerusakan formasi, pengecilan


permeabilitas batuan formasi ini akan mengakibatkan terhambatnya aliran fluida
dari formasi menuju ke lubang sumur sehingga pada akhirnya akan menyebabkan
turunnya produktivitas suatu sumur.
Sasaran dari stimulasi ini adalah formasi produktif, karena itu karakteristik
reservoir mempunyai pengaruh besar pada pemilihan stimulasi. Karakteristik
reservoir meliputi karakteristik batuan maupun karakteristik fluida reservoir
terutama berpengaruh pada pemilihan fluida treatment baik pada acidizing
maupun pada hydraulic fracturing, faktor lain yang berpengaruh dalam treatment
ini adalah kondisi reservoir yaitu volume pori, tekanan dan temperatur reservoir.

2.8 Acidizing
Acidizing atau Pengasaman dilakukan untuk memperbaiki kerusakan
disekitar lubang sumur dapat meningkatan produktivitas sumur. Dalam hal ini
sangat penting untuk mengetahui jenis kerusakan sumur yang telah terjadi dan
hal-hal yang mungkin menyebabkan kerusakan tersebut.

2.8.1 Definisi Acidizing


Acidizing adalah salah satu proses perbaikan terhadap sumur untuk
menanggulangi atau mengurangi kerusakan formasi dalam upaya peningkatan laju
produksi dengan melarutkan sebagian batuan, dengan demikian akan
memperbesar saluran yang tersedia atau barangkali lebih dari itu membuka
saluran baru sebagai akibat adanya pelarutan atau reaksi antara acid dengan
batuan. Acidizing atau pengasaman dilakukan untuk memperbaiki kerusakan
disekitar lubang sumur dapat meningkatan produktivitas sumur. Dalam hal ini
sangat penting untuk mengetahui jenis kerusakan sumur yang telah terjadi dan
hal-hal yang mungkin menyebabkan kerusakan tersebut.
Kerusakan dikarakterisasi dengan dua parameter utama yaitu komposisi
dan lokasi. Parameter-parameter ini akan menentukan jenis fluida yang akan
diinjeksikan dan teknik injeksi yang akan dilakukan untuk menghilangkan
kerusakan formasi tersebut. Lokasi kerusakan penting untuk diketahui karena
29

fluida yang diinjeksikan akan kontak dengan beberapa subtrat lain seperti karat
dari casing atau material karbonat dari semen formasi. Sebelum kerusakan
diperbaiki hal ini harus dilakukan secara efektif sehingga asam dapat menjangkau
semua daerah yang rusak dan sebagai tambahan teknik pendispersian harus
dilakukan.

Gambar 2.12 Sandstone Acidizing

Prinsip kerja asam adalah melarutkan batuan reservoir atau material yang
yang ada di dalamnya. Pada mulanya aciding hanya untuk batuan limestone.
Dengan berkembangnya waktu maka pengasaman pada lapisan sandstone mulai
dilakukan untuk menghilangkan material damage yang ditimbulkan saat
dilakukan pemboran maupun completion, workover dan untuk menghancurkan
fines yang timbul dari formasi itu sendiri.
Ada tiga syarat agar asam bisa digunakan untuk stimulasi :
1) Harus bisa bereaksi dengan karbonat dan mineral lain untuk
menghasilkan produk yang bisa melarut.
2) Harus bisa menghambat karat di peralatan sumur.
3) Hal lain seperti aman, biaya, pengadaan, penyimpanan dll.
30

2.8.2 Jenis-Jenis Acidizing


Stimulasi dengan acidizing dapat dilakukan dengan menggunakan tiga
metode yaitu :
1) Acid Washing
Acid washing adalah operasi yang direncanakan untuk menghilangkan
endapan scale yang dapat larut dalam larutan asam yang terdapat dalam
lubang sumur untuk membuka perforasi yang tersumbat.

2) Acid fracturing
Acid fracturing adalah penginjeksian asam ke dalam formasi pada tekanan
yang cukup tinggi untuk merekahkan formasi atau membuka rekahan yang
sudah ada. Aplikasi acid fracturing ini hanya terbatas untuk formasi
karbonat, karena jika dilakukan pada formasi batu pasir dapat
menyebabkan keruntuhan formasinya dan mengakibatkan masalah
kepasiran.

3) Matrix acidizing
Matriks acidizing dilakukan dengan cara menginjeksikan larutan asam dan
aditif tertentu secara langsung ke dalam pori-pori batuan formasi disekitar
lubang sumur dengan tekanan penginjeksian di bawah tekanan rekah
formasi, dengan tujuan agar reaksi menyebar ke formasi secara radial.

Pada intinya, acidizing adalah proses pelarutan material-material batuan


yang terdapat disekitar lubang tempat masuknya fluida reservoir ke dalam sumur
dengan menginjeksikan sejumlah asam ke dalam sumur atau lapisan produktif.
Acidizing ini digunakan untuk menghilangkan pengaruh kerusakan formasi
disekitar lubang sumur yaitu skin (s) dengan cara memperbesar pori-pori batuan
dan melarutkan partikel-partikel penyumbat pori-pori batuan.

Anda mungkin juga menyukai