Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Tanah Aluvial merupakan tanah endapan, dibentuk dari lumpur dan pasir
halus yang mengalami erosi tanah. Banyak terdapat di dataran rendah, di sekitar
muara sungai, rawa-rawa, lembah-lembah, maupun di kanan kiri aliran sungai
besar. Tanah ini banyak mengandung pasir dan liat, tidak banyak mengandung
unsur-unsur zat hara. Ciri-cirinya berwarna kelabu dengan struktur yang sedikit
lepas-lepas dan peka terhadap erosi. Kadar kesuburannya sedang hingga tinggi
tergantung bagian induk dan iklim. Di Indonesia tanah alluvial ini merupakan
tanah yang baik dan dimanfaatkan untuk tanaman pangan (sawah dan palawija)
musiman hingga tahunan.
Sifat dan karakter jenis tanah ini bergantung dari bahan apa yang
membentuk endapan. Secara umum tanah ini ada yang memiliki tekstur
tanah yang kasar dan halus. Tanah endapan yang ada di pinggiran sungai atau
danau memiliki tekstur yang halus. Sedangkan tanah endapan yang ada di aliran
sungai memiliki teknik yang kasar. Hal ini karena banyak lapukan batuan yang
ikut terbawa oleh aliran sungai.
Tekstur yang dimiliki oleh tanah Aluvial tidak begitu mempengaruhi
tingkat kesuburan. Yang paling berpengaruh justru adalah material pembentuk
endapan tanah. Karena berada di lokasi yang kaya akan kandungan mineral pada
air sungai, endapan tanah ini sangat baik sebagai lahan pertanian karena memiliki
kadar air yang cukup tinggi. Selain itu kandungan unsur hara yang terdapat pada
tanah endapan ini dapat menjadi nutrisi yang baik bagi tanaman.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Tekstur Tanah


Tekstur tanah merupakan salah satu dari beberapa sifat fisik tanah seperti
warna tanah, struktur tanah, kadar air, bulk density, dan lain sebagainya. Tekstur
Tanah adalah perbandingan relatif antara fraksi-fraksi debu, liat, dan pasir dalam
bentuk persen. Tekstur tanah erat hubungannya dengan kekerasan, permeabilitas,
plastisitas, kesuburan, dan produktivitas tanah pada daerah tertentu. Tekstur tanah
mengindikasikan perbandingan relatif berbagai golongan partikel tanah dalam
suatu massa. Ukuran relatif partikel tanah di implementasikan dalam bentuk
tekstur yang mengacu pada kehalusan atau kekasaran tanah.

2.2. Jenis Tanah Berdasarkan Tekstur


Hanafiah (2005) menyebutkan bahwa tanah yang didominasi liat akan
memiliki pori-pori kecil (tidak poros). Tanah yang didominasi oleh pasir akan
memiliki pori-pori besar (lebih poros). Sedangkan tanah yang didominasi debu
akan memiliki pori-pori sedang (agak porous). Berdasarkan kelas teksturnya maka
tanah dapat digolongkan menjadi:
1. Tanah bertekstur halus atau kasar berliat; artinya tanah yang memiliki
minimal 37,5% liat, baik itu liat berdebu dan atau liat berpasir.
2. Tanah bertekstur sedang atau tanah berlempung; artinya tanah ini
tersusun atas:
• Tanah bertekstur sedang, mencakup tanah dengan tekstur lempung berdebu
(silty loam), lempung berpasir sangat halus, lempung (loam), atau debu (silt).
• Tanah bertekstur sedang tetapi agak kasar, mencakup tanah yang bertekstur
lempung berpasir halus atau lempung berpasir (sandy loam).
• Tanah bertekstur sedang dan agak halus, meliputi lempung liat berdebu
(sandy silt loam), lempung liat berpasir (sandy clay loam), serta lempung liat
(clay loam).

2
3. Tanah bertekstur kasar atau tanah berpasir; artinya tanah yang memiliki
minimal 70% pasir, dan atau bertekstur pasir, dan atau pasir berlempung.

Tekstur tanah sangat mempengaruhi kemampuan aerasi, infiltrasi, serapan


air, ketersediaan air di dalam lapisan tanah, serta laju pergerakan air (perkolasi).
Oleh karena itu, tekstur tanah juga secara tidak langsung dapat mempengaruhi
perkembangan pertumbuhan tanaman, perakaran, serta penghematan dalam
pemupukan.

2.3. Gerakan geologi air pada permukaan tanah


Gerakan geologi air di permukaan tanah yang sumber airnya berasal
dari lapisan atmosfer atau hujan atau mata air, akan mengalir ketempat yang lebih
rendah. Dalam perjalanan, air menjalankan proses geologis. Air yang bergerak
dari dataran tinggi, yang semula sangat sedikit dan akan semakin banyak
berkumpul di daerah lereng dan lembah. Dan pada tempat datar arus akan
melemah dan akan terjadi proses pengendapan unsur-unsur. Bila bahan yang di
bawa hanyut air itu mengendap di dasar tebing sehingga terbentuk onggokan yang
berbaris-baris maka bahan itu disebut delluvium (collivium). Pergerakan air akan
melebar seolah merupakan lembaran yang tipis dan merata di permukaan tanah,
akan mencari celah-celah bukit dan berkumpul membentuk alur air yang kecil dan
beberapa alur tersebut berkumpul di bagian bawah akan membentuk parit-parit

3
sehingga akan membentuk jaringan dan membuat sungai kecil. Bila bahan ini
terangkut oleh gerakan air sampai ke saluran sungai dan diendapkan di sana,
disebut Alluvium.

2.4. Sifat dari Tanah Aluvial


Sifat dari tanah Alluvial ini kebanyakan diturunkan dari bahan-bahan yang
diangkut dan diendapkan. Teksturnya berkaitan dengan laju air mendepositkan
Alluvium. Oleh karenanya, tanah ini cenderung bertekstur kasar yang dekat aliran
air dan bertekstur lebih halus di dekat pinggiran luar paparan banjir. Secara
mineralogy, jenis jenis tanah ini berkaitan dengan tanah yang bertindak sebagai
sumber Alluvium. Endapan-endapan alluvial baik yang diendapkan oleh sungai
maupun diendapkan oleh laut, pada umumnya mempunyai sususnan mineral
seperti daerah diatasnya tempat bahan-bahan bersangkutan diangkut dan
diendapkan.
2.5. Proses pembentukan tanah
• Proses pembentukan tanah Alluvial sangat tergantung dari bahan induk asal
tanah dan topografi,
• Tingkat kesuburan tanah bervariasi dari rendah sampai tinggi, tekstur dari
sedang hingga kasar, serta kandungan bahan organik dari rendah sampai tinggi
dan pH tanah berkisar masam, netral, sampai alkalin, kejenuhan basa dan
kapasitas tukar kation juga bervariasi karena tergantung dari bahan induknya.
• Tanah Alluvial memiliki kadar ,pH yang sangat rendah yaitu kurang dari 4,
sehingga sangat sulit untuk dibudidayakan.
Tanah Alluvial atau Inceptisol ini yang masuk kategori bermasalah adalah
sulfaquepts, karena mengandung horizon sulfuric (cat clay) yang sangat
masam. Tahap perkembangan tanah Alluvial memperlihatkan awal perkembangan
yang biasanya lembab atau basa selama 90 hari berturut-turut. Umumnya
mempunyai lapisan kambik, karena tanah ini belum berkembang lebih lanjut dan
juga kebanyakan tanah ini cukup subur. Alluvial atau Inceptisol merupakan tanah-
tanah yang memiliki epipedon dan okrik, horizon albik.

4
2.6. Sifat Morfologis pada Tanah Aluvial
Terdapat perbedaan sifat morfologis pada tanah Aluvial yang
dipersawahan dengan tanah yang tidak dipersawahan. Perbedaan yang sangat
nyata dapat dijumpai pada epipedonnya, dimana pada epipedon yang tidak pernah
dipersawahan berstruktur granular dan warna coklat tua (10 YR 4/3). Sedangkan
epipedon tanah Aluvial yang dipersawahan tidak berstruktur dan berwarna
berubah menjadi kelabu. Tanah Alluvial yang lahannya sering menjadi penyebab
banjir dan mengalami endapan marine akibat adanya pasang surut air laut,
dianggap masih muda dan belum ada perbedaan horizon. Endapan aluval yang
sudah tua dan menampakan akibat pengaruh iklim dan vegetasi tidak termasuk
inceptisol, mungkin lebih berkembang.

2.7. Ciri-ciri pada Pembentukan Tanah Aluvial


Suatu hal yang mencirikan pada pembentukan Alluvial adalah bahwa
sebagian bahan kasar akan diendapkan tidak jauh dari sumbernya.
• Tekstur bahan yang diendapkan pada tempat dan waktu yang sama akan lebih
seragam. Makin jauh dari sumbernya semakin halus butir yang diangkut.
• Tanah Alluvial mempunyai kelebihan agregat tanah yang didalamnya
terkandung banyak bahan organik sekitar setengah dari kapasitas tukar katio
(KTK), berasal dari bahan bahan sumber hara tanaman.
• Dan disamping itu juga, bahan organik merupakan sumber energi dari
sebagian besar organism tanah, dalam memainkan peranannya bahan organik
sangat dibutuhkan oleh sumber dan susunanya.
Tanah Alluvial mengalami proses pencucian selama bertahun-tahun.
Tanah ini ditandai dengan memiliki kandungan bahan organik yang tinggi.
Vegetasi kebanyakan lumut yang tumbuh rendah. Tumbuhan tumbuh dengan
lambat, tetapi suatu lahan yang rendah menghambat dekomposisi bahan organik
sehingga menghasilkan tanah yang mengandung bahan organik dan KTK yang
tinggi. Tanah Alluvial berwarna kelabu muda dengan sifat fisik jika kering akan
keras dan pijal dan lekat jika basah. Kaya akan kandungan fosfot yang mudah
larut dalam sitrat 2% mengandung 5% CO2 dan tepung kapur yang halus dan juga

5
berstruktur pejal yang dalam keadaan kering dapat pecah menjadi fragmen
berbetuk persegi sedang sifat kimiawinya sama dengan bahan asalnya.
Kandungan Tanah Aluvial
Kadar fosfor yang ada dalam tanah Alluvial ditentukan oleh banyak atau
sedikitnya cadangan mineral yang megandung fosfor dan tingkat pelapukannya.
Permasalahan fosfor ini meliputi beberapa hal, yaitu peredaran fosfor di dalam
tanah, bentuk-bentuk fosfor tanah, dan ketersediaan fosfor. Tingkat kesuburan
tanah alluvial sangat tergantung dengan bahan induk dan iklim. Suatu
kecenderungan memperlihatkan bahwa di daerah beriklim basa P dan K relative
rendah dan pH lebih rendah dari 6,5. daerah-daerah dengan curah hujan rendah di
dapat kandungan P dan K lebih tinggi dan netral.
Persebaran jenis tanah alluvial terdapat hampir di seluruh wilayah Indonesia yang
memiliki sungai-sungai besar seperti di pulau Jawa, Sumatra, Halmahera,
Kalimatan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi dan Papua bagian selatan (Sungai
Bengawan Solo, Sungai Opak, Sungai Glagah)
1. Permasalahan Tanah Aluvial
• Kandungan pH pada tanah aluvial tergolong rendah (5,3 – 5,8).
• Terjadinya keracunan alumunium yang sangat tinggi
• Kandungan alumunium terlarut dalam jumlah cukup banyak.
• Terdapatnya P terarbsorbsi relatif rendah.
2. Pengelolaan Tanah Aluvial
• Pemberian pupuk P dapat meningkatkan ketersediaan hara dalam tanah.
• Kapur pertanian dan pupuk kandang sangat dianjurkan untuk meningkatkan
produktivitas tanah aluvial.

2.8. Karakteristik Tanah Sawah Dari Endapan Aluvial Dan


Pengelolaannya
Tanah sawah berdasarkan asalnya dapat dibedakan atas sawah dari
endapan aluvial, sawah dari lahan kering, sawah dari rawa lebak. Tanah sawah
dari endapan aluvial diperkirakan mempunyai luasan terbesar dibandingkan
dengan jenis tanah lainnya. Dugaan ini didasarkan pada kondisi bahwa endapan
aluvial dapat dijumpai hampir diseluruh daerah indonesia. Di lapangan tanah

6
sawah dari endapan aluvial ini dapat di jumpai dalam bentuk sawah irigasi
maupun sawah tadah hujan.
Endapan aluvial merupakan bahan endapan hasil erosi ataupun pelapukan
dari hulu sungan yang terendapkan di daerah hilir yang reliefnya tergolong dasar
ataupun cekung melalui proses sedimentasi. Pada umumnya semakin jauh posisi
endapn luvial dari sumber bahan yang tererosi, sifat fisik dari tanah sawah yang
terbentuk akan semakin halus, dan semakin dekat dengan sumber bahan tererosi
sifat tanah sawahnya semakin kasar. Selain itu, semakin panjang sungai akan
semakin banyak anak sungainya, semakin banyak jenis bahan yang terangkut
pada aliran sungai, dan semakin sedikit bahan yang terangkut dan terendapkan
oleh sungai tersebut.
Bahan endapan aluvia merupakan bahan pembentuk tanah yang sangat
potensial, karena bahannya merupakan hasil pengendapan atau akumulasi, pada
umumnya terletak di daerah datar, dekat dengan sumber air. Bahan endapan ini
juga berhubungan erat dengan akumulasi bahan hasil erosi, sehingga bila daerah
yang tererosi merupakan daerah yang kaya sumber hara maka endapan aluvial di
daerah hilirnya pun kaya akan sumber hara. Namun bila daerah hulu sungainya
merupakan daerah miskin sumber hara, maka daerah endapan aluvialnya pun
akan semakin miskin sumber hara.
Beberapa hasi penelitian menunjukkan bahwa tanah sawah dari endapan
aluvial mempunyai komposisi mineral dan sifat kimia yang sangat bervariasi,
dipengaruhi oleh jenis bahan endapan yang menjadi bahan induk tanahnya.

2.9. Proses Pembentukan Tanah Sawah Aluvial


Tanah sawah a l u v i a l pada umumnya sudah mempunyai warna glei dan
karatan dan karena tanah sawah ini terbentuk pada kondisi muka air tanah
yang dangkal. Menurut Fanning dan Fanning (1989) ada beberapa model yang
dapat dipaakai untuk menjelaskan pembentukan karatan dan glei pada tanah
sawah, antara lain :
Pada musim kering tanah sawah s e r i n g t e r j a d i retak-retak dengan
kedalaman yang bervariasi. Pada kondisi ini oksigen dapat masuk melalui retakan

atau melalui lubang-lubang akar, sehingga Fe2+ yang terbebaskan pada waktu

7
penggenangan dan berada di permukaan retakan akan teroksidasi oksigen

Fe3+ dan mengendap sebagai karatan dari oksida besi pada permukaan ped.
(Prasetyo, 2001). Model semacam ini banyak dijumpai pada tanah sawah yang
bersifat vertik. K e t i k a t e r j a d i p e n g g e n a n g a n l a g i oksida besi

(karatan) yang di permukaan ped akan tereduksi, dan Fe2+ yang terbawa air
dapat meresap masuk ke dalam struktur tanah, sehingga teroksidasi lagi dan
terendapkan di bagian dalam dari ped.(Prasetyo, 2004).

8
BAB III
PENUTUP

Tanah Aluvial merupakan tanah endapan, dibentuk dari lumpur dan pasir
halus yang mengalami erosi tanah. Banyak terdapat di dataran rendah, di sekitar
muara sungai, rawa-rawa, lembah-lembah, maupun di kanan kiri aliran sungai
besar. Sifat dari tanah Alluvial ini kebanyakan diturunkan dari bahan-bahan yang
diangkut dan diendapkan. Teksturnya berkaitan dengan laju air mendepositkan
Alluvium. Oleh karenanya, tanah ini cenderung bertekstur kasar yang dekat aliran
air dan bertekstur lebih halus di dekat pinggiran luar paparan banjir. Terdapat
perbedaan sifat morfologis pada tanah Aluvial yang dipersawahan dengan tanah
yang tidak dipersawahan. Perbedaan yang sangat nyata dapat dijumpai pada
epipedonnya, dimana pada epipedon yang tidak pernah dipersawahan berstruktur
granular dan warna coklat tua (10 YR 4/3). Sedangkan epipedon tanah Aluvial
yang dipersawahan tidak berstruktur dan berwarna berubah menjadi kelabu.

9
DAFTAR PUSTAKA

Fanning, D.S. and M.C.B. Fanning. 1989. Soil, morphology, genesis, and
classification. John Wiley & Son. New York. P. 395.

Prasetyo, B.H. dan Hikmatullah. 2001. Potensi dan kendala pengembangan


tanaman pangan lahan basah di Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan
Timur. Jurnal Tanah dan Air 2:97-109.

Prasetyo, B.H., J.S. Adiningsih, K. Subagyono, dan


R.D.M.Simanungkalit. 2004. Mineralogi, kimia, fisika, dan
biologi lahan sawah. Hlm 29-82. Dalam F. Agus, A. Adimihardja,
S. Hardjowigeno, A.M. Fagi, dan W. Hartatik (Eds.). Tanah Sawah dan
Teknologi Pengelolaannya.

10

Anda mungkin juga menyukai