Anda di halaman 1dari 19

6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gagal Jantung


2.1.1 Definisi
American college of cardiology foundation (ACCF)/American Heart
Association (AHA) mendefinisikan gagal jantung sebagai suatu sindroma klinis
yang kompleks yang terjadi akibat gangguan struktur atau fungsi dari pengisian
ventrikel serta pemompaan darah, yang menyebabkan gejala klinis utama berupa
sesak nafas, fatigue dan tanda – tanda gagal jantung berupa edema dan ronki pada
pemeriksaan paru. Saat ini terminologi gagal jantung lebih dipilih dibandingkan
terminologi gagal jantung kongestif, oleh karena banyak pasien gagal jantung
tidak memiliki gejala serta tanda kelebihan cairan.4

2.1.2 Epidemiologi
Risiko untuk mengalami gagal jantung meningkat seiring dengan
pertambahan usia. Penduduk Amerika berusia > 40 tahun berisiko mengalami
gagal jantung sebesar 20%. Di AS, insiden gagal jantung stabil dalam beberapa
dekade terakhir dengan > 650.000 kasus gagal jantung baru terdiagnosis setiap
tahunnya.13 Walaupun angka harapan hidup pasien-pasien gagal jantung semakin
meningkat, namun tingkat mortalitas absolut untuk gagal jantung masih berkisar
50% dalam 5 tahun setelah terdiagnosis.14,15
Berdasarkan studi The Atherosclerosis Risk in Communities Study (ARIC)
case fatality rate 30 hari, 1 tahun dan 5 tahun paska hospitalisasi pada pasien –
pasien gagal jantung adalah 10.4%, 22% dan 42.3%. Dijumpai pola penurunan
tingkat kematian selama perawatan namun justru dijumpai peningkatan tingkat
mortalitas dalam 30 hari pasca perawatan dari 4.3% menjadi 6.4%. Temuan-
temuan ini terutama dijumpai pada pasien – pasien gagal jantung dengan
penurunan fraksi ejeksi/reduced ejection fraction (rEF)16

Universitas Sumatera Utara


7

2.1.3 Patofisiologi
Gagal jantung merupakan kelainan yang bersifat progresif, proses
terjadinya gagal jantung dimulai setelah timbulnya suatu peristiwa/index event
yang menyebabkan kerusakan pada otot jantung, terjadi pengurangan miosit yang
berfungsi dalam jumlah besar atau di sisi lain menyebabkan gangguan pada
kemampuan miokard untuk membentuk suatu gaya/kekuatan yang kemudian
menyebabkan jantung tidak dapat berkontraksi dengan normal. Proses terjadinya
peristiwa yang menginisiasi proses terjadinya gagal jantung dapat terjadi tiba –
tiba seperti pada infark miokard, dapat terjadi perlahan dan tersembunyi seperti
pada kasus – kasus peningkatan tekanan hemodinamik pada hipertensi dan
stenosis katup ataupun kelebihan cairan, atau dapat juga bersifat herediter seperti
pada kasus – kasus kardiomiopati yang bersifat genetik. Namun apapun
prosesnya, hal yang menjadi kesamaan dari semua proses – proses tersebut ialah
keseluruhan peristiwa – peristiwa tersebut mempunyai pola yang sama yakni
menyebabkan penurunan pada kapasitas pemompaan jantung. Pada mayoritas
kasus pasien tetap tidak bergejala ataupun dapat mempunyai gejala minimal
setelah penurunan awal kapasitas pemompaan jantung atau dapat menimbulkan
gejala hanya setelah disfungsi yang terjadi timbul untuk waktu yang lama. 1,2,3,
Walaupun alasan yang tepat untuk menjelaskan mengapa pasien - pasien
dengan disfungsi ventrikel kiri dapat tetap asimptomatik belum diketahui dengan
pasti, namun satu penjelasan potensial adalah bahwa sejumlah mekanisme
kompensasi menjadi aktif jika terjadi cedera pada jantung atau disfungsi ventrikel
kiri untuk menjaga dan mengatur fungsi ventrikel kiri selama periode bulan hingga
tahun. Berbagai mekanisme kompensasi yang telah diketahui hingga saat ini adalah
(1). Aktivasi renin-angiotensin-aldosteron system (RAAS) serta sistem saraf
adrenergik, yang bertanggung jawab untuk menjaga curah jantung melalui retensi
garam dan air, dan (2). Peningkatan kontraktilitas miokard. Disamping itu terjadi
aktivasi sejumlah molekul yang bersifat vasodilator, yakni atrial dan brain
natriuretic peptide (ANP dan BNP), prostaglandin (PGE2 dan PGI), dan nitric
oxide yang mengimbangi vasokonstriksi vaskular perifer yang berlebihan. Latar
belakang genetik, jenis kelamin, usia, maupun lingkungan turut berperan dalam

Universitas Sumatera Utara


8

mempengaruhi mekanisme kompensasi ini. Mekanisme kompensasi berperan dalam


menjaga fungsi ventrikel kiri dalam rentang fisiologis/homeostasis sedemikian rupa
sehingga kapasitas fungsional pada pasien dapat terjaga/preserved atau hanya
menurun sedikit. Oleh karena itu pasien dapat dalam kondisi asimptomatik atau
dapat memberi gejala yang ringan selama periode beberapa tahun. Namun pada satu
titik pasien kemudian akhirnya menunjukkan gejala – gejala yang jelas, timbulnya
kondisi ini kemudian turut menyebabkan peningkatan tingkat morbiditas dan
mortalitas pada pasien – pasien gagal jantung.2,17
Mekanisme pasti yang bertanggung jawab dalam terjadinya masa peralihan
tersebut belum diketahui. Proses peralihan ke kondisi gagal jantung yang bergejala
yang diiringi dengan terjadinya peningkatan aktivasi neurohormonal, sistem
adrenergik dan sitokin yang menyebabkan berbagai perubahan adaptif pada
miokardium dikenal dengan proses remodelling ventrikel kiri.2,17
Dibalik pemahaman mengenai patogenesis dari gagal jantung dengan rEF
pemahaman mengenai mekanisme –mekanisme yang terjadi pada proses
terjadinya gagal jantung dengan pEF masih terus berkembang. Walaupun
disfungsi diastolik diyakini sebagai satu – satunya mekanisme yang bertanggung
jawab dalam perkembangan gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang masih
terpelihara, berbagai studi menunjukkan bahwa mekanisme tambahan yang terjadi
diluar jantung juga merupakan hal yang penting seperti peningkatan kekakuan
pembuluh darah dan gangguan pada fungsi ginjal.2,3,17

Gambar 2.1. Patogenesis terjadinya penurunan fraksi ejeksi pada gagal jantung
(Dikutip dari : D Mann et al, 1999)

Universitas Sumatera Utara


9

Informasi mengenai fisiologi seluruh organ telah dipahami dengan baik


dalam 30 tahun terakhir dengan adanya berbagai penemuan mekanisme humoral
dan seluler yang dijelaskan dengan teknik biologi molekuler. Pemahaman akan
patofisiologi jantung turut mengalami perkembangan.2
Ada beberapa pola yang membantu dalam pemahaman akan terjadinya
gagal jantung, yakni:,2,3
1. Model Hemodinamik
Pemahaan patofisiologi mengenai gagal jantung menggunakan
model hemodinamik merupakan paradigma lama. Model hemodinamik
berdasar pada pemahaman bahwa jantung diibaratkan suatu pompa.
Jantung memiliki kemampuan meningkatkan aliran darah setara dengan
kebutuhan tubuh seperti pada konsidi latihan dimana terjadi peningkatan
frekuensi jantung, isi sekuncup, atau keduanya. Peningkatan pre load
menyebabkan peningkatan kontraktilitas, namun proses latihan serta
volume yang berlebihan tidak akan menyebakan peningkatan kontraktilitas
lebih lanjut (fase plateau) yang kemudian diikuti penurunan pada kekuatan
kontraksi. Frank dan starling mengilustrasikan keadaan ini dengan studi
hemodinamik dan terminologi hukum Starling pada jantung. Studi – studi
berikutnya mengenai gagal jantung kronis mengkonfirmasi validitas dari
hukum starling ini, namun lebih penting lagi menemukan suatu hubungan
profil anatomi dan hemodinamik dengan kelebihan tekanan serta volume
yang bersifat kronis.2,17
Model hemodinamik ini merupakan salah satu hal yang berperan
dalam terjadinya remodelling dari ventrikel. Hemodinamik yang abnormal
menyebabkan remodeling, yang kemudian menyebabkan abnormalitas
hemodinamik lebih lanjut. Proses primer serta perubahan - perubahan
yang terjadi akibat mekanisme kompensasi pada geometri dan performa
bervariasi tergantung dari tipe gagal jantung. Contoh klasik ialah kondisi
peningkatan tekanan berlebihan pada hipertensi dan stenosis katup
menyebabkan hipertrofi pada ventrikel yang terkait , meningkatkan
kekauan miokardium dan membatasi isi sekuncup terkait dengan massa

Universitas Sumatera Utara


10

dari ventrikel kiri. Kondisi – kondisi dimana terjadi kelebihan volume


seperti pada regurgitasi mitral umumnya menyebabkan dilatasi ventrikel,
peningkatan tekanan akhir diastolik dan menurunkan fungsi sistolik.
Kondisi yang mempengaruhi kontraktilitas seperti infark miokard ataupun
miopati primer menyebabkan terjadinya kelebihan tekanan serta volume.
Penurunan fungsi sistolik menyebabkan peningkatan tekanan akhir
diastolik ventrikel, dan menyebabkan dilatasi ventrikel juga peningkatan
massa ventrikel. Hasil akhir dari proses remodeling patologis ini ialah
penurunan curah jantung, sesak nafas dan edema yang timbul pada pasien
gagal jantung terkait dengan peningkatan tekanan pengisian yang terjadi
secara kronis.2,17
2. Model Neurohormonal
Model neurohormonal merupakan paradigma baru yang membantu
dalam pemahaman patofisiologi gagal jantung. Gagal jantung saat ini
dianggap sebagai suatu penyakit sistemik yang melibatkan berbagai proses
neurohormonal sehingga blokade proses neurohormonal ini merupakan
bagian dalam tatalaksana gagal jantung dan diharapkan dapat mencegah
progresifitas dari gagal jantung.2,17
Proses neurohormonal pada gagal jantung mempunyai peranan
besar dalam mempengaruhi outcome terapi pada pasien-pasien gagal
jantung terutama gagal jantung sistolik. Penurunan curah jantung pada
gagal jantung menyebabkan aktivasi simpatis yang dimediasi baroresptor
yang terletak di ventrikel kiri, sinus karotikus, dan arkus aorta dengan
konsekuensi hilangnya efek inhibisi oleh tonus parasimpatis di susunan
saraf pusat, sehingga terjadi peningkatan tonus simpatis dan pelepasan
AVP oleh hipofisis. AVP (atau dengan nama lain anti diuretic
hormone/ADH) adalah vasokonstriktor kuat yang meningkatkan
permeabilitas dari duktus koligentes di ginjal, menyebabkan reabsorbsi air.
Sistem saraf pusat juga mengaktivasi jalur simpatis eferen yang
menginervasi jantung, ginjal, pembuluh darah perifer dan otot skelet.2,3,17

Universitas Sumatera Utara


11

Stimulasi simpatis di ginjal menyebabkan pelepasan renin yang


kemudian mengakibatkan peningkatan kadar angiotensin (AT) II dan
aldosterone yang bersirkulasi. Aktivasi dari renin-angiotensin-aldosterone
memicu retensi garam dan air dan menyebabkan vasokonstriksi dari
pembuluh darah perifer, hipertrofi miosit, kematian sel miosit, dan fibrosis
miokardium. Walaupun mekanisme neurohormonal ini merupakan
mekanisme adaptasi jangka pendek yang bertujuan untuk mempertahankan
tekanan darah sehingga perfusi ke organ – organ vital tetap terjaga namun
mekanisme neurohormonal ini diyakini turut berkontribusi terhadap
perubahan pada jantung dan sirkulasi serta retensi garam dan air yang
berlebihan pada gagal jantung tahap lanjut.2,3,17

Gambar 2.2. Aktivasi sistem neurohormonal pada gagal jantung


(Dikutip dari : Nohria A, 2002)

2.1.4 Manifestasi Klinis


Gejala utama dari gagal jantung adalah sesak nafas dan mudah lelah
disamping itu dapat dijumpai edema paru dan edema perifer. Walaupun awalnya
keluhan mudah lelah dianggap terjadi oleh karena kondisi curah jantung yang
rendah pada gagal jantung, namun ternyata abnormalitas skeletal dan komorbid non
kardiak seperti anemia juga turut berkontribusi dalam menimbulkan gejala ini. Pada
fase awal dari gagal jantung, sesak nafas dijumpai hanya pada saat aktivitas, namun
seiring dengan progresifitas penyakit sesak nadas timbus bahkan pada saat

Universitas Sumatera Utara


12

beraktivitas. Timbulnya sesak nafas pada gagal jantung kemungkinan bersifat


multifaktorial. Mekanisme utama yang paling penting dalam menyebabkan keluhan
ini ialah kongesti paru akibat akumulasi cairan intersisial dan intra alveolar, yang
kemudian mengaktivasi reseptor J juksta kapiler yang menstimulasi timbulnya
pernafasan cepat dan dalam. Faktor lain yang turut berkontribusi terhadap kejadian
sesak nafas saat beraktivitas ialah penurunan kapasitas paru, peningkatan resistensi
jalan nafas, kelelahan otot pernafasan dan diafragma serta anemia. 1,2
Pasien gagal jantung juga dapat memberikan gejala – gejala gastrointestinal.
Anoreksia, mual, perasaan cepat kenyang dan nyeri perut serta terasa penuh
dibagian perut kemungkinan terkait dengan edema pada dinding usus dan
kongesti hati. Gejala serebral seperti kebingungan, disorientasi dan mengantuk
serta perubahan mood sering juga dijumpai pada pasien gagal jantung yang berat
terutama pada pasien usia tua.2

2.1.5 Klasifikasi Gagal Jantung


Saat ini ada dua klasifikasi stadium gagal jantung yang dikenal, yakni
klasifikasi berdasarkan ACCF/AHA dan klasifikasi kapasitas fungsional
berdasarkan New York Heart Association (NYHA). Kedua klasifikasi ini
memberikan informasi berguna dan saling melengkapi mengenai kondisi dan
keparahan gagal jantung. Stadium gagal jantung berdasarkan ACCF/AHA
menekankan perkembangan dan progresi penyakit dan dapat digunakan untuk
mendeskripsikan baik individu maupun populasi, dimana klasifikasi berdasarkan
NYHA memfokuskan pada kapasitas latihan dan gejala yang dijumpai.4
Pembagian fungsional NYHA sering digunakan untuk menentukan
progresifitas gagal jantung. Sistim ini membagi pasien atas 4 kelas fungsional
yang bergantung pada gejala yang muncul, yaitu asimptomatis (kelas I), gejala
muncul pada aktifitas berat (kelas II), gejala muncul pada aktifitas ringan (kelas
III), dan gejala muncul pada saat istirahat (kelas IV). Kelas fungsional pada
penderita gagal jantung cenderung berubah-ubah. Bahkan perubahan ini dapat
terjadi walaupun tanpa perubahan pengobatan, dan tanpa perubahan pada fungsi
ventrikel yang dapat diukur.1,4

Universitas Sumatera Utara


13

ACCF/AHA membagi klasifikasi untuk perkembangan dan progresifitas


gagal jantung atas 4 stadium yaitu stadium A adalah berisiko tinggi untuk menjadi
gagal jantung tanpa ditemukan adanya disfungsi jantung, stadium B adalah
adanya disfungsi jantung tanpa gejala, stadium C adalah adanya disfungsi jantung
dengan gejala, stadium D adalah adanya gejala yang berat dan refrakter terhadap
terapi maksimal. Pembagian ini mengutamakan pada keberadaan faktor risiko dan
abnormalitas struktural jantung, pengenalan progresifitasnya, dan strategi
pengobatan pada upaya preventif. Penderita gagal jantung akan mengalami
perjalanan penyakitnya dari stadium A ke D namun tidak dapat kembali lagi ke
stadium A, hal yang mana dapat terjadi bila menggunakan klasifikasi menurut
NYHA.4

2.1.6 Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, elektrokardiografi
foto toraks, ekokardiografi-doppler, kateterisasi jantung dan uji latih. 1
Kriteria Framingham dapat dipakai untuk membantu diagnosis gagal
jantung yaitu dengan terpenuhinya 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2
kriteria minor. Adapun kriteria Framingham sebagai berikut:1
1. Kriteria mayor:
a. Paroksismal nokturnal dispnu
b. Distensi vena leher
c. Ronki paru
d. Kardiomegali
e. Edema paru akut
f. Gallop S3
g. Peninggian tekanan vena jugularis
h. Refluks hepatojugular
2. Kriteria minor:
a. Edema ekstremitas
b. Batuk malam hari
c. Dispnea d'effort

Universitas Sumatera Utara


14

d. Hepatomegali
e. Efusi pleura
f. Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
g. Takikardia (>120 x/menit)
3. Kriteria mayor atau minor: Penurunan BB 4,5 kg dalam 5 hari pengobatan.

Gagal jantung dapat disertai spektrum abnormalitas fungsi ventrikel yang


luas, mulai dari ukuran ventrikel kiri dan fraksi ejeksi yang normal sampai dengan
dilatasi berat dan/atau fraksi ejeksi yang sangat rendah.1

2. 2 Kematian pada Gagal Jantung


Walaupun angka harapan hidup pasien – pasien gagal jantung semakin
meningkat sehubungan dengan berbagai kemajuan dalam terapi dan tatalaksana gagal
jantung, namun angka mortalitas absolut pada pasien pasien gagal jantung masih
berkisar 50- 70 % dalam 5 tahun sejak terdiagnosis.9,14 Berdasarkan studi ARIC
(2008) case fatality rate 30 hari, 1 tahun dan 5 tahun pasca hospitalisasi pada pasien-
pasien gagal jantung adalah 10.4%, 22% dan 42.3%.16 Dari studi oleh Bueno et al
menunjukkan pola penurunan tingkat kematian selama perawatan namun justru
dijumpai peningkatan tingkat mortalitas dalam 30 hari pasca perawatan dari 4.3%
menjadi 6.4%.18 Kecenderungan ini terutama dijumpai pada pasien-pasien gagal
jantung dengan rEF19 dan disfungsi ventrikel kiri didapati berkaitan dengan
peningkatan risiko kejadian kematian mendadak pada pasien-pasien gagal jantung.20
Di AS, dari tiap 8 kasus kematian didapatkan 1 kasus mencantumkan
gagal jantung sebagai salah satu diagnosis dalam sertifikat kematian, dan 20%
dari kelompok tersebut memiliki diagnosis gagal jantung sebagai penyebab primer
kematian.21 Risiko kematian meningkat secara stabil setelah pasien didiagnosis
dengan gagal jantung. Studi Framingham (1993) menemukan, mortalitas 30 hari
berkisar 10%, mortalitas 1 tahun 20-30%, dan mortalitas 5 tahun berkisar 45-
60%.22 Riwayat rawat inap juga didapati berkaitan dengan prognosis yang
semakin buruk. Dari suatu studi oleh Goldberg dkk (2007) di Massachusets
didapati, angka kematian 5 tahun kebih dari 75% setelah episode pertama rawat
inap oleh karena gagal jantung.23

Universitas Sumatera Utara


15

Gagal jantung yang mengalami perburukan berkaitan dengan peningkatan


mortalitas baik selama perawatan di rumah sakit maupun pasca rawatan. Studi
oleh Velavan dkk yang bertujuan mengidentifikasi factor-faktor yang berkaitan
dengan mortalitas jangka pendek pada pasien-pasien gagal jantung menemukan
angka kematian pada pasien-pasien gagal jantung yang dirawat inap dalam 12
minggu adalah sebesar 13%. Dan pada studi ini didapati peningkatan usia,
hiponatremia, gangguan fungsi ginjal, hiperkalemia, anemia, mitral regurgitasi
berat, disfungsi sistolik berat, pemanjangan kompleks QRS serta jenis kelamin
berkitan dengan peningkatan risiko kematian pada pasien-pasien gagal jantung.24
Meskipun didapati perbaikan yang cepat dan signifikan dari gejala dan
tanda gagal jantung dengan menggunakan diuretik intravena dan vasodilator,
kondisi pasca rawatan pada pasien-pasien yang dirawat karena gagal jantung
masih tetap buruk. Didapati sekitar 25% pasien yang dirawat dengan gagal
jantung akan kembali dirawat dalam 30 hari setelah pasien pulang, dan tingkat
mortalitas selama periode ini berkisar sebesar 10%. Pada periode awal pasca
rawatan ini pasien-pasien berisiko tinggi mengalami perburukan klinis, fase ini
dikenal dengan istilah fase rentan. Secara sederhana fase rentan didefinisikan
6,25
sebagai periode segera setelah pasien pulang dari perawatan. Durasi pasti dari
fase rentan sendiri masih pasti, namun berbagai studi menunjukkan fase rentan ini
berlangsung berkisar 2 – 3 bulan.26,27,28
Secara umum pasien yang dirawat inap akibat gagal jantung, meninggal dan
menjalani rehospitalisasi oleh karena berbagai penyebab, baik kardiak maupun non
kardiak. Namun, dari suatu kelompok pasien – pasien gagal jantung dengan outcome
yang buruk pasca perawatan, terutama yang menjalani rehospitalisasi, didapatkan
perburukan terjadi terkait dengan kondisi patofisiologi yang mendasari yang secara
khas berkaitan dengan peningkatan tekanan ventrikel kiri. Gejala dan tanda kongesti
(seperti, sesak nafas, orthopnea, edema perifer) merupakan alasan tersering rawat
inap pada pasien – pasien gagal jantung. Lebih dari 60% pasien didapati ronki paru
dan edema perifer. Kongesti hemodinamik persisten pada saat pasien pulang
tampaknya merupakan faktor penting pada patofisiologi yang mendasari tingginya
angka kematian dan rehospitalisasi selama fase rentan.29,30

Universitas Sumatera Utara


16

Studi oleh Gheorghidae M dkk (2012) yang bertujuan mencari gambaran


karakteristik klinis, laboratorium, dan neurohormonal pada pasien gagal jantung
baik pada saat dirawat inap maupun pasca perawatan yang dikaitkan dengan risiko
kematian dan rehospitalisasi dalam 90 hari dari awal pasien dirawat mendapatkan
kejadian mortalitas dini dan rehospitalisasi terkait kondisi kardiovaskular
memiliki karakteristik usia yang lebih tua, memiliki riwayat rawat inap yang lebih
banyak sebelumnya, dan memiliki jumlah komorbid yang lebih banyak seperti,
riwayat infark miokard, penyakit katup mitral, penyakit ginjal kronis, dan
penyakit paru obstruksi kronis yang berat. Pemeriksaan penunjang menunjukkan
pasien dengan kejadian mortalitas dini dan rehospitalisasi memiliki fraksi ejeksi
yang lebih rendah, durasi kompleks QRS yang lebih panjang, kadar natrium
serum yang lebih rendah, peninggian blood urea nitrogen (BUN) dan kreatinin
serta kadar albumin yang lebih rendah. Berdasarkan profil neurohormonal,
didapati kelompok dengan kematian dini dan rehospitalisasi memilki kadar
aldosteron dan peptida natriuretik yang lebih tinggi.28
Memastikan penyebab kematian pada gagal jantung merupakan suatu
tantangan. Di masyarakat, kematian akibat kardiovaskular lebih jarang pada
kelompok dengan preserved fraksi ejeksi. Temuan serupa juga didapatkan dari
studi di Olmsted, Minnesota dari 1063 penderita gagal jantung didapati penyebab
kematian utama pada kelompok dengan preserved fraksi ejeksi adalah non
kardiovaskular (49%) diikuti penyakit koroner (43%) pada kelompok dengan rEF.
Proporsi kematian kardiovaskular menurun dari 69% pada tahun 1979 – 1984
menjadi 40% pada tahun 1997 – 2002 (p= 0.07) pada subjek dengan preserved
fraksi ejeksi berkebalikan dengan perubahan sederhana pada kelompok dengan
rEF (77% menjadi 64%, P= 0.08). Perubahan pada distribusi penyebab kematian,
dimana kematian akibat kejadian kardiovaskular mengalami penurunan sejalan
dengan beban besar berbagai kondisi komorbid pada gagal jantung serta
pentingnya tatalaksana menyeluruh pada gagal jantung dan pemantauan hasil
terapi.31

Universitas Sumatera Utara


17

2.3 PREDICE Score


PREDICE score adalah suatu model prediksi klinis yang dapat digunakan
dalam menilai prognosis pada pasien-pasien gagal jantung kronis yang dirawat
inap. Komponen dalam PREDICE score melibatkan faktor biologis dan
nonbiologis. Adapun faktor biologis terdiri dari usia, bersihan kreatinin, kadar
natrium pada saat awal masuk RS serta diagnosis patofisiologis yang dinilai
berdasarkan fraksi ejeksi. Sedangkan faktor non biologiknya adalah status
fungsional yang dinilai menggunakan indeks Barthel. Kelima variabel ini
memiliki nilai masing-masing yang kemudian akan diakumulasikan.11

2.3.1 Hubungan Usia dengan Mortalitas pada Gagal Jantung


Usia merupakan faktor terpenting yang menentukan kondisi kesehatan
kardiovaskular individu. Pada tahun 2030 ada sekitar 20% populasi akan berusia
65 tahun atau lebih. Pada kelompok usia ini, tingkat kematian akibat penyakit
kardiovaskular adalah sebesar 40% dari seluruh penyebab kematian dan
merupakan penyebab mortalitas terbanyak.8,32
Penuaan berkaitan dengan penurunan progresif sejumlah proses fisiologis,
yang menyebabkan peningkatan risiko penyakit serta berbagai komplikasi. Efek
penuaaan pada sistem kardiovaskular menyebabkan berbagai perubahan patologis
termasuk hipertrofi, perubahan pada fungsi diastolik ventrikel kiri, dan
mengurangi kapasitas sistolik ventrikel kiri, meningkatkan kekakuan arteri serta
menggangu fungsi endotel. Peningkatan kekakuan arteri kemudian akan diikuti
mekanisme kompensasi oleh miokardium termasuk hipertrofi ventrikel kiri serta
proliferasi dari fibroblast, yang kemudian menyebabkan penurunan curah jantung
dan peningkatan jaringan fibrotik.33,34
Seiring peningkatan usia, tingkat pengisian pada fase diastolik ventrikel
kiri mulai mengalami penurunan, yang dikompensasi dengan peningkatan
kontraksi atrial untuk menyokong isi sekuncup dan beban kerja jantung sehingga
fraksi ejeksi tetap terjaga baik. Namun akibat penuaan, kontraktilitas ventrikel kiri
dan fraksi ejeksi, demikian juga dengan modulasi aktivitas simpatis pada
frekuensi jantung, dan respons terhadap aktivasi reseptor adrenergik mengalami

Universitas Sumatera Utara


18

penurunan. Pengurangan curah jantung oleh karena penurunan fungsi akibat


penuaan mestimulasi miokardium melakukan kompensasi dengan meningkatkan
massa otot melalui hipertrofi jantung, dengan mekanisme ini curah jantung dapat
ditingkatkan untuk sementara waktu namun efek jangka panjang dari hipertrofi
menyebabkan penurunan fungsi jantung. Disamping itu terjadi juga gangguan
pada sistem konduksi jantung.32
Efek penuaan pada pembuluh darah menyebabkan peningkatan ketebalan
dan kekakuan pembuluh darah serta disfungsi endotel. Disfungsi vaskular akibat
penuaan menyebabkan berbagai perubahan patologis yang memicu terjadinya
iskemia, hipertensi dan degenerasi makular terkait usia.32
Keseluruhan proses diatas menjadi faktor yang mendasari adanya pola
eksponensial prevalensi gagal jantung yang meningkat seiring pertambahan usia.
Disamping itu akibat proses menua, terjadi kemunduran struktur anatomi dan
fungsional secara menyeluruh akibat proses degenerasi. Kerapuhan serta adanya
penyakit komorbid menjadi ciri khas pada kelompok usia ini, dan berkontribusi
pada kejadian – kejadian tidak diharapkan pada saat rawatan maupun pasca
rawatan. 32
Sekitar 50% kematian dan rehospitalisasi dalam 60 hari pada pasien –
pasien gagal jantung yang dirawat inap merupakan kejadian sekunder disamping
adanya perburukan dari kondisi gagal jantung. Dari penelitian yang dilakukan
Gustafsson dkk (2004) yang meneliti efek usia terhadap mortalitas jangka pendek
dan jangka panjang pada pasien – pasien gagal jantung yang dirawat inap
didapatkan dari 5419 pasien dengan gagal jantung usia rata – rata adalah 71.7 ±
10.2 tahun, dengan distribusi usia: 13% berusia <61 tahun, 27% antara 61 – 70
≥ 81 tahun. Penilaian
tahun, 40% antara 71 – 80 tahun, dan 20% berusia
mortalitas jangka pendek dilakukan dalam 30 hari dan jangka panjang dalam 5
tahun. Dari studi ini didapati bahwa usia adalah prediktor independen mortalitas
jangka pendek dengan risk ratio (RR) meningkat 1.23% setiap peningkatan usia
10 tahun (95% CI 1.04 – 1,47). Peningkatan usia juga secara signifikan
meningkatkan mortalitas jangka panjang (RR 1.55 CI 1.50 – 1.61) pada pasien –
pasien gagal jantung yang dirawat inap. Pengaruh usia tetap ada walaupun

Universitas Sumatera Utara


19

berbagai faktor lain telah terkontrol dan merupakan faktor penting dalam kejadian
mortalitas jangka pendek dan jangka panjang pada pasien - pasien gagal
jantung.35
Suwaidi dkk (2012) juga melaporkan temuan serupa mengenai pengaruh
usia terhadap outcome pada pasien – pasien gagal jantung yang dirawat inap. Dari
7066 pasien gagal jantung yang dirawat inap dari tahun 1991 -2010 didapatkan
tingkat mortalitas sebanyak 7% pada kelompok usia <50 tahun, 7.2% pada
kelompok usia 51 – 70 tahun dan 10.6% pada kelompok usia >70 tahun dengan p
value 0.001.36

2.3.2 Hubungan Klirens Kreatinin Serum dengan Mortalitas Gagal Jantung


Disfungsi ginjal merupakan hal yang sering dijumpai pada pasien dengan
gagal jantung dan berkaitan dengan morbiditas serta mortalitas yang tinggi.
Disfungsi jantung dan ginjal dapat mengalami perburukan melalui berbagai
mekanisme seperti kelebihan cairan dan peningkatan tekanan vena, hipoperfusi,
aktivasi neurohormonal dan inflamasi, serta dipengaruhi juga akan penggunaan
obat – obatan. Interaksi antara disfungsi jantung dan ginjal merupakan hal yang
penting dalam perkembangan penyakit serta prognosis. 37

Gambar 2.3. Mekanisme perburukan fungsi ginjal pada gagal jantung


(Dikutip dari: Metra M,2012)

Universitas Sumatera Utara


20

Disfungsi ginjal secara konvensional didefinisikan dengan penurunan dari


laju filtrasi glomerulus (LFG) yang dikalkulasi dari kadar kreatinin serum.
Evaluasi fungsi ginjal pada pasien – pasien gagal jantung merupakan hal yang
penting karena dapat merefleksikan status hemodinamik serta membantu dalam
menentukan prognosis dan pemberian terapi yang efektif.37
Penurunan fungsi ginjal merupakan faktor risiko independen terhadap
outcome penyakit–penyakit kardiovaskular dan berkaitan dengan all cause
mortality pada pasien – pasien kardiovaskular, termasuk mereka dengan disfungsi
sistolik ventrikel kiri dan gagal jantung kronis. Dari studi oleh Hillege dkk (2000)
yang melibatkan 1906 pasien dengan gagal jantung kronis didapatkan gangguan
fungsi ginjal merupakan prediktor mortalitas yang lebih kuat daripada disfungsi
ventrikel dan kapasitas fungsional berdasarkan NYHA. Pada studi ini LFG yang
didapat berdasarkan penilaian klirens kreatinin menggunakan formula cokcroft
gault. Dari studi ini didapatkan pasien dengan LFG < 44 ml/menit memiliki risiko
kematian 3 kali lebih besar dibandingkan pasien dengan LFG > 76 ml/menit
(risiko relatif 2.85; p< 0.001).38
Peningkatan kreatinin serum dijumpai pada 20 – 40% pasien yang dirawat
inap oleh karena gagal jantung. Peningkatan ini secara umum didefinisikan
sebagai perburukan fungsi ginjal, umumnya berkaitan dengan jenis kelamin pria,
usia tua, riwayat gagal jantung, penyakit ginjal kronis, diabetes, anemia, hipertensi,
penurunan tekanan darah serta dosis tinggi diuretik. Kadar kreatinin yang lebih
tinggi dan peningkatan kreatinin serum dalam jumlah besar berkaitan dengan masa
perawatan yang lebih lama, peningkatan mortalitas di RS dan mortalitas jangka
panjang serta tingkat rehospitalisasi yang lebih tinggi. Namun beberapa studi tidak
menemukan hubungan independen antara peningkatan kreatinin serum dan outcome
pada pasien – pasien gagal jantung.34 Adanya penurunan curah jantung yang
disebabkan oleh berkurangnya fraksi ejeksi akan menimbulkan penurunan fungsi
ginjal. Namun dari berbagai penelitan didapatkan bahwa tidak semua pasien yang
mengalami penurunan fungsi ginjal, mempunyai penurunan curah jantung (pasien
tersebut masih mempunyai fraksi ejeksi > 40%). Berbagai penelitian menunjukkan
adanya faktor independen seperti nitrit oksida, prostaglandin, natriuretic peptide,

Universitas Sumatera Utara


21

aldosterone, angiotensin II, sitokin – sitokin dan endotelin yang berperan dalam
pathogenesis penyakit ginjal dan jantung. Aktivasi faktor- faktor ini mempunyai
peran dalam perkembangan penyakit jantung dan dalam waktu bersamaan juga
dapat menimbulkan gangguan fungsi ginjal.34
Studi oleh Shamagian dkk (2006) menemukan selama masa follow up 2
tahun yang melibatkan 526 pasien, didapatkan tingkat mortalitas sebesar 53.5%
pasien dengan gagal ginjal berat (GFR < 30 ml/menit/1.73), 23.7% pasien dalam
2
kelompok gagal ginjal moderat (GFR 30-60 mL/min/1.73 m ), dan 15.6% pasien
dalam kelompok gagal ginjal ringan/tanpa gagal ginjal. 12 pasien meninggal selama
rawatan, dimana tingkat mortalitas ini 5 kali lebih tinggi pada pasien dengan gagal
ginjal berat dibandingkan kelompok dengan gagal ginjal ringan/tanpa gagal ginjal.39

2.3.3 Hubungan Kondisi Patofisiologi dan Kematian pada Gagal Jantung


Dalam klasifikasi lebih lanjut dari gagal jantung, dibutuhkan pemahaman
mengenai parameter fungsi ventrikel kiri. Dengan mengetahui fraksi ejeksi
ventrikel kiri, memungkinkan untuk mengklasifikasikan gagal jantung ke dalam
kelompok preserved atau reduced fraksi ejeksi. Ada berbagai nilai cut off fraksi
ejeksi berbeda yang direkomendasikan dalam pengklasifikasian gagal jantung,
kesemuanya berdasarkan variasi dari studi – studi yang ada. Nilai ambang 55%
direkomendasikan oleh American Society of Echocardiography guidelines. The
Organized Program to Initiate Lifesaving Treatment in Hospitalized Patients with
Heart Failure (OPTIMIZE-HF) dan Acute Decompensated Heart Failure
National Registry (ADHERE) menggunakan nilai ambang 40% sebagai cut off.
Meskipun dengan berbagai variasi yang ada, hampir separuh dari keseluruhan
gagal jantung dikomunitas adalah dengan pEF.40,41
Studi oleh de la Camara dkk (2012) yang bertujuan mengidentifikasi
factor-faktor yang dapat berperan sebagai prediktor mortalitas dalam 1 tahun pada
pasien gagal jantung, menemukan disfungsi sistolik lebih sering dijumpai pada
kelompok pasien gagal jantung yang meninggal dibandingkan kelompok yang
hidup (36.8% vs 22.16%), dan probablitias kematian dalam 1 tahun setelah

Universitas Sumatera Utara


22

terdiagnosis gagal jantung adalah 2,67 kali lebih tinggi pada kelompok dengan
disfungsi sistolik (Left ventricular ejection fraction (LVEF) <40%, OR 2,67, 95%
Confidence interval (CI) 1,36 – 5,23).11
Dari studi lain juga didapatkan adanya disfungsi ventrikel meningkatkan
mortalitas selama rawatan di rumah sakit,38 mortalitas jangka pendek (30 hari)39
dan mortalitas jangka panjang (1 tahun).42,43,44
Pada studi The Candesartan in Heart Failure: Assessment of Reduction in
Mortality and morbidity (CHARM), didapatkan lebih seperempat populasi studi
memiliki fraksi ejeksi >50%. Didapatkan fraksi ejeksi merupakan prediktor kuat
terhadap outcome yakni mortalitas jangka pendek maupun jangka panjang.
Hubungan antara perburukan outcome dengan rendahnya nilai fraksi ejeksi
terlihat jelas pada fraksi ejeksi < 45%, dengan peningkatan risiko mortalitas
jangka pendek dan jangka panjang untuk setiap penurunan 5% fraksi ejeksi.42

2.3.4 Hubungan Kadar Natrium Serum dan Kematian pada Gagal Jantung
Hiponatremia telah diyakini sebagai prediktor penting outcome pasien
gagal jantung baik rawat jalan maupun rawat inap. Analisis dari berbagai uji acak
terkontrol mengaitkan keadaan hiponatremia dengan kejadian peningkatan
mortalitas saat perawatan di rumah sakit maupun mortalitas jangka pendek serta
rehospitalisasi.45,46
Aktivasi RAAS pada pasien – pasien gagal jantung menunjukkan korelasi
dengan kejadian mortalitas. AT II diketahui sebagai penyebab remodelling
miokard, dan mengakibatkan peningkatan aldosterone yang dapat meningkatkan
kejadian fibrosis miokard dan nekrosis pada jantung. Lebih jauh lagi, AT II
diketahui sebagai stimulator poten terhadap persarafan simpatis. Peningkatan
tonus simpatis ginjal sekunder akibat gangguan pada baroreseptor juga berperan
menyebabkan retensi natrium melalui beberapa mekanisme. Angiotensin dan
stimulasi adrenergik mengaktivasi resptor pada epitel tubulus proksimal yang
meningkatkan reabsorbsi natrium. Vasokonstriksi pada arteriol eferen glomerular
oleh AT II pada gagal jantung juga mempengaruhi tekanan yang terbentuk pada
kapiler peritubuler dengan menurunkan tekanan hidrostatik dan meningkatkan

Universitas Sumatera Utara


23

tekanan onkotik yang kemudian meningkatkan reabsorbsi natrium.45


Studi metaanalisis oleh Rusinaru dkk (2012) menemukan dari 22 studi
dengan 14.766 pasien gagal jantung menemukan pasien dengan hiponatremia
memiliki kapasitas fungsional berdasarkan NYHA yang lebih tinggi serta tekanan
darah yang lebih rendah. Pada follow up didapatkan 335 (21%) kematian pada
kelompok dengan hiponatremia (Natrium < 135 mmol/L) dan 2128 (16%)
kematian dari 13148 pasien tanpa hiponatremia. Didapati risiko kematian 3 tahun
meningkat secara linier dengan kadar natrium < 140 mmol/L.45

2.3.5 Hubungan Status Fungsional dan Kematian pada Gagal Jantung


Gagal jantung berpengaruh dalam menurunkan kualitas hidup
penderitanya dan menyebabkan kemunduran dalam kemampuan melakukan
aktivitas fisik harian. Rendahnya status fungsional yang dinilai dari kemampuan
melakukan aktivitas harian berkaitan dengan mortalitas dan rehospitalisasi pada
pasien – pasien gagal jantung yang dirawat inap. Oleh karena itu berbagai studi
mencoba mencari hubungan antara disabilitas fungsional dengan outcome pada
pasien – pasien gagal jantung. 12,47
Indeks Barthel (IB) merupakan alat bantu yang umum digunakan dalam
mengukur kemandirian seseorang dalam hal perawatan diri dan mobilitas melalui
penilaian kemampuan dalam melakukan kegiatan dasar harian. Dengan cara ini
dapat dinilai status fungsional dari seorang individu.48
IB terdiri dari 10 item yang diberi skor 0,5,10 dengan nilai total
maksimum 100 poin. Interpretasi skor total IB adalah : 0-20 = Dependen Total;
21-60=Dependen Berat; 61-90 = Dependen Sedang, 91-99 = Dependen Ringan,
100=Independen / Mandiri.48
Studi oleh Dunlay dkk (2015) menemukan bahwa kesulitan dalam
melakukan aktivitas harian merupakan hal yang umum dijumpai pada pasien –
pasien dengan gagal jantung, dan bersifat progresif dari waktu ke waktu. Dan
adanya kesulitan melakukan aktivitas harian merupakan penanda prognosis yang
buruk pada pasien – pasien gagal jantung. Mortalitas meningkat sejalan dengan
peningkatan kesulitan melakukan aktivitas harian, dengan hazard ratio terhadap

Universitas Sumatera Utara


24

kematian adalah 1.49% (95% CI, 1.22 – 1.82) pada kelompok dengan tingkat
disabilitas fungsional sedang dan hazard ratio (HR) 2.26 (95% CI, 1.79 – 2.86)
pada kelompok dengan disabilitas berat.12

Beban miokard/Index of event/underlying


heart disease

Mekanisme kompensasi

Hipertrofi remodelling, Apoptosis, disfungsi ventrikel


Gagal Jantung Penuaan

Keterbatasan aktivitas fisik


Penurunan cardiac output Disfungsi diastolik/sistolik
(Indeks Barthel)

Aktivasi simpatoadrenal, Renin


angiotensin aldosteron system
(RAAS), Endotelin, Arginin
vasopressin, sitokin

Vasokonstriksi, retensi natrium dan Penurunan fungsi


cairan, hipertrofi miosit, kematian ginjal
sel miosit, fibrosis miokard

Gangguan Keseimbangan
Natrium Mortalitas

Gambar 2.4. Kerangka Teori penelitian

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai