BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2 Epidemiologi
Risiko untuk mengalami gagal jantung meningkat seiring dengan
pertambahan usia. Penduduk Amerika berusia > 40 tahun berisiko mengalami
gagal jantung sebesar 20%. Di AS, insiden gagal jantung stabil dalam beberapa
dekade terakhir dengan > 650.000 kasus gagal jantung baru terdiagnosis setiap
tahunnya.13 Walaupun angka harapan hidup pasien-pasien gagal jantung semakin
meningkat, namun tingkat mortalitas absolut untuk gagal jantung masih berkisar
50% dalam 5 tahun setelah terdiagnosis.14,15
Berdasarkan studi The Atherosclerosis Risk in Communities Study (ARIC)
case fatality rate 30 hari, 1 tahun dan 5 tahun paska hospitalisasi pada pasien –
pasien gagal jantung adalah 10.4%, 22% dan 42.3%. Dijumpai pola penurunan
tingkat kematian selama perawatan namun justru dijumpai peningkatan tingkat
mortalitas dalam 30 hari pasca perawatan dari 4.3% menjadi 6.4%. Temuan-
temuan ini terutama dijumpai pada pasien – pasien gagal jantung dengan
penurunan fraksi ejeksi/reduced ejection fraction (rEF)16
2.1.3 Patofisiologi
Gagal jantung merupakan kelainan yang bersifat progresif, proses
terjadinya gagal jantung dimulai setelah timbulnya suatu peristiwa/index event
yang menyebabkan kerusakan pada otot jantung, terjadi pengurangan miosit yang
berfungsi dalam jumlah besar atau di sisi lain menyebabkan gangguan pada
kemampuan miokard untuk membentuk suatu gaya/kekuatan yang kemudian
menyebabkan jantung tidak dapat berkontraksi dengan normal. Proses terjadinya
peristiwa yang menginisiasi proses terjadinya gagal jantung dapat terjadi tiba –
tiba seperti pada infark miokard, dapat terjadi perlahan dan tersembunyi seperti
pada kasus – kasus peningkatan tekanan hemodinamik pada hipertensi dan
stenosis katup ataupun kelebihan cairan, atau dapat juga bersifat herediter seperti
pada kasus – kasus kardiomiopati yang bersifat genetik. Namun apapun
prosesnya, hal yang menjadi kesamaan dari semua proses – proses tersebut ialah
keseluruhan peristiwa – peristiwa tersebut mempunyai pola yang sama yakni
menyebabkan penurunan pada kapasitas pemompaan jantung. Pada mayoritas
kasus pasien tetap tidak bergejala ataupun dapat mempunyai gejala minimal
setelah penurunan awal kapasitas pemompaan jantung atau dapat menimbulkan
gejala hanya setelah disfungsi yang terjadi timbul untuk waktu yang lama. 1,2,3,
Walaupun alasan yang tepat untuk menjelaskan mengapa pasien - pasien
dengan disfungsi ventrikel kiri dapat tetap asimptomatik belum diketahui dengan
pasti, namun satu penjelasan potensial adalah bahwa sejumlah mekanisme
kompensasi menjadi aktif jika terjadi cedera pada jantung atau disfungsi ventrikel
kiri untuk menjaga dan mengatur fungsi ventrikel kiri selama periode bulan hingga
tahun. Berbagai mekanisme kompensasi yang telah diketahui hingga saat ini adalah
(1). Aktivasi renin-angiotensin-aldosteron system (RAAS) serta sistem saraf
adrenergik, yang bertanggung jawab untuk menjaga curah jantung melalui retensi
garam dan air, dan (2). Peningkatan kontraktilitas miokard. Disamping itu terjadi
aktivasi sejumlah molekul yang bersifat vasodilator, yakni atrial dan brain
natriuretic peptide (ANP dan BNP), prostaglandin (PGE2 dan PGI), dan nitric
oxide yang mengimbangi vasokonstriksi vaskular perifer yang berlebihan. Latar
belakang genetik, jenis kelamin, usia, maupun lingkungan turut berperan dalam
Gambar 2.1. Patogenesis terjadinya penurunan fraksi ejeksi pada gagal jantung
(Dikutip dari : D Mann et al, 1999)
2.1.6 Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, elektrokardiografi
foto toraks, ekokardiografi-doppler, kateterisasi jantung dan uji latih. 1
Kriteria Framingham dapat dipakai untuk membantu diagnosis gagal
jantung yaitu dengan terpenuhinya 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2
kriteria minor. Adapun kriteria Framingham sebagai berikut:1
1. Kriteria mayor:
a. Paroksismal nokturnal dispnu
b. Distensi vena leher
c. Ronki paru
d. Kardiomegali
e. Edema paru akut
f. Gallop S3
g. Peninggian tekanan vena jugularis
h. Refluks hepatojugular
2. Kriteria minor:
a. Edema ekstremitas
b. Batuk malam hari
c. Dispnea d'effort
d. Hepatomegali
e. Efusi pleura
f. Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
g. Takikardia (>120 x/menit)
3. Kriteria mayor atau minor: Penurunan BB 4,5 kg dalam 5 hari pengobatan.
berbagai faktor lain telah terkontrol dan merupakan faktor penting dalam kejadian
mortalitas jangka pendek dan jangka panjang pada pasien - pasien gagal
jantung.35
Suwaidi dkk (2012) juga melaporkan temuan serupa mengenai pengaruh
usia terhadap outcome pada pasien – pasien gagal jantung yang dirawat inap. Dari
7066 pasien gagal jantung yang dirawat inap dari tahun 1991 -2010 didapatkan
tingkat mortalitas sebanyak 7% pada kelompok usia <50 tahun, 7.2% pada
kelompok usia 51 – 70 tahun dan 10.6% pada kelompok usia >70 tahun dengan p
value 0.001.36
aldosterone, angiotensin II, sitokin – sitokin dan endotelin yang berperan dalam
pathogenesis penyakit ginjal dan jantung. Aktivasi faktor- faktor ini mempunyai
peran dalam perkembangan penyakit jantung dan dalam waktu bersamaan juga
dapat menimbulkan gangguan fungsi ginjal.34
Studi oleh Shamagian dkk (2006) menemukan selama masa follow up 2
tahun yang melibatkan 526 pasien, didapatkan tingkat mortalitas sebesar 53.5%
pasien dengan gagal ginjal berat (GFR < 30 ml/menit/1.73), 23.7% pasien dalam
2
kelompok gagal ginjal moderat (GFR 30-60 mL/min/1.73 m ), dan 15.6% pasien
dalam kelompok gagal ginjal ringan/tanpa gagal ginjal. 12 pasien meninggal selama
rawatan, dimana tingkat mortalitas ini 5 kali lebih tinggi pada pasien dengan gagal
ginjal berat dibandingkan kelompok dengan gagal ginjal ringan/tanpa gagal ginjal.39
terdiagnosis gagal jantung adalah 2,67 kali lebih tinggi pada kelompok dengan
disfungsi sistolik (Left ventricular ejection fraction (LVEF) <40%, OR 2,67, 95%
Confidence interval (CI) 1,36 – 5,23).11
Dari studi lain juga didapatkan adanya disfungsi ventrikel meningkatkan
mortalitas selama rawatan di rumah sakit,38 mortalitas jangka pendek (30 hari)39
dan mortalitas jangka panjang (1 tahun).42,43,44
Pada studi The Candesartan in Heart Failure: Assessment of Reduction in
Mortality and morbidity (CHARM), didapatkan lebih seperempat populasi studi
memiliki fraksi ejeksi >50%. Didapatkan fraksi ejeksi merupakan prediktor kuat
terhadap outcome yakni mortalitas jangka pendek maupun jangka panjang.
Hubungan antara perburukan outcome dengan rendahnya nilai fraksi ejeksi
terlihat jelas pada fraksi ejeksi < 45%, dengan peningkatan risiko mortalitas
jangka pendek dan jangka panjang untuk setiap penurunan 5% fraksi ejeksi.42
2.3.4 Hubungan Kadar Natrium Serum dan Kematian pada Gagal Jantung
Hiponatremia telah diyakini sebagai prediktor penting outcome pasien
gagal jantung baik rawat jalan maupun rawat inap. Analisis dari berbagai uji acak
terkontrol mengaitkan keadaan hiponatremia dengan kejadian peningkatan
mortalitas saat perawatan di rumah sakit maupun mortalitas jangka pendek serta
rehospitalisasi.45,46
Aktivasi RAAS pada pasien – pasien gagal jantung menunjukkan korelasi
dengan kejadian mortalitas. AT II diketahui sebagai penyebab remodelling
miokard, dan mengakibatkan peningkatan aldosterone yang dapat meningkatkan
kejadian fibrosis miokard dan nekrosis pada jantung. Lebih jauh lagi, AT II
diketahui sebagai stimulator poten terhadap persarafan simpatis. Peningkatan
tonus simpatis ginjal sekunder akibat gangguan pada baroreseptor juga berperan
menyebabkan retensi natrium melalui beberapa mekanisme. Angiotensin dan
stimulasi adrenergik mengaktivasi resptor pada epitel tubulus proksimal yang
meningkatkan reabsorbsi natrium. Vasokonstriksi pada arteriol eferen glomerular
oleh AT II pada gagal jantung juga mempengaruhi tekanan yang terbentuk pada
kapiler peritubuler dengan menurunkan tekanan hidrostatik dan meningkatkan
kematian adalah 1.49% (95% CI, 1.22 – 1.82) pada kelompok dengan tingkat
disabilitas fungsional sedang dan hazard ratio (HR) 2.26 (95% CI, 1.79 – 2.86)
pada kelompok dengan disabilitas berat.12
Mekanisme kompensasi
Gangguan Keseimbangan
Natrium Mortalitas