Anda di halaman 1dari 38

7

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Debu
Menurut Prayudi (2005:386), debu adalah benda
padat yang terjadi karena proses mekanis (pemecahan
reduksi) terhadap massa padat yang masih dipengaruhi
oleh gaya gravitasi. Debu berukuran lebih dari 0,6 µm
yang terhirup akan tertahan pada saluran nafas bagian
atas, sedangkan yang di bawah 0,3 µm akan mengikuti
gerakan brown yakni keluar masuk. Riyadina (1996:11)
berpendapat bahwa debu merupakan kumpulan partikel
padat di udara berukuran kasar dan tersebar berasal dari
gabungan material secara mekanik.
Debu termasuk substansi yang bersifat toksik
(racun). Aerosol padat yang terbentuk dari proses
pemisahan suatu bahan secara mekanik seperti proses
penggilingan, penghancuran dan peledakkan dapat
disebut dengan debu (dust). Proses tersebut terjadi karena
ada gesekan bahan dengan angin yang kencang
(Suhariyono dan Muji, 2003:162).
Debu juga dianggap sebagai partikel padat yang
mempunyai ukuran 0,1 hingga 100 µm (Suhariyono dan
Muji, 2003:162). Bagian dari debu yang berukuran 10 µm
dapat disebut Particullate Matter 10. Gambar 2.1
menyajikan ukuran partikel di atmosfer dan garis batas
ukuran PM10
8

Gambar 2. 1 Ukuran partikel di atmosfer


Berdasarkan gambar 2.1 semakin halus ukuran
partikel maka akan lebih ringan dan mudah tertiup
angin. Partikel yang lebih halus cenderung menetap di
udara lebih lama dan dapat menyebar jauh dari
sumbernya karena terbawa angin (Goverment, 2009:23).
Debu terdiri atas partikel padat yakni dust, fames,
dan smoke. Fames merupakan partikel padat yang
terkondensasi dari bentuk gas disertai oksidasi kimia.
Smoke atau asap merupakan hasil dari pembakaran bahan
organik yang tidak sempurna dan berukuran 0,5 mikron
(Sucipto, 2007:17).
Golongan komposisi debu ada tiga yakni inert
dust, poliferal dust, dan debu asam atau basa. Inert dust
merupakan golongan debu yang tidak menyebabkan
kerusakan fibriosis pada paru-paru. Poliferal dust adalah
golongan debu yang di dalam paru-paru akan
membentuk jaringan baru dan membuat pengerasan
pada jaringan alveoli. Debu asam adalah debu yang tidak
9

ditahan pada paru namun dapat menimbulkan efek


iritasi dan keracunan (Sucipto, 2007:32).
Menurut Pudjiastuti (2002:1), partikel di udara
mempunyai beberapa sifat diantaranya:
1. Pengendapan, cenderung mengendap karena adanya
gaya gravitasi bumi.
2. Permukaan basah dan selalu basah karena ada
lapisan air yang tipis
3. Penggumpalan diakibatkan permukaan yang basah
maka antar partikel lainnya menempel karena ada
turbulensi di udara mempermudah partikel
membentuk gumpalan.
4. Listrik statis yang sifatnya mampu menarik partikel
lain yang berlawanan dan dapat mempercepat
penggumpalan
5. Optis, partikel dapat memancarkan sinar dalam
keadaan gelap
Suma’mur (2009:23); Pudjiastuti (2002:2); Depkes
RI (1993:1) mengelompokkan partikel menjadi empat
macam yakni:
1. Debu organik merupakan debu yang berasal dari
fosil (batu bara, karbon hitam, granit), bakteri (TBC,
antraks, enzim, bacillus subtilis), jamur (actinomycosis,
kriptokokus, thermophilic), virus (cacar air, psikatosis,
Q fever), sayuran (kompos jamur, ampas tebu, tepung
padi, gabus, serat nanas), binatang (kotoran ayam,
burung, kesturi), plastik dan reagen.
2. Debu anorganik merupakan debu yang berasal dari
silika bebas (crystaline dan Amorphous), silika
(Fibrosis).
3. Debu metal (inert) merupakan debu yang
mengandung unsur logam yakni Pb, Hg, Cd, Arsen
10

4. Debu mineral merupakan senyawa komplek yakni


SiO2, SiO3, arang dan batu.
Zat debu juga memiliki karakter yakni debu
radio aktif, kimia, biologis, dan debu fisik. Dapat ditemui
pada kegiatan pertanian, pedagang pinggir jalan, batu
kapur, pasar tradisional, batu bata, pengusaha keramik
dan pengusaha kasur.

B. Particullate Matter 10 atau PM10


Material yang berupa solid maupun liquid yang
tersuspensi di udara disebut Particulate Matter. Partikulat
dapat melayang di udara dalam waktu relatif lama
berdiameter 0,005-100 µm (Maulana, et al., 2014:1). PM10
merupakan partikulat yang berdiameter kurang dari 10
µm (Raman, et al, 2007; US-EPA 2009).
Koren (2003:34) berpendapat bahwa partikulat
berdiameter 10 mikron dapat disebut inhalable dust dan
respilable particulate. Partikulat debu inhalable merupakan
partikulat debu yang dapat terhirup ke dalam mulut atau
hidung. Partikulat debu respirable adalah partikulat
airbone yang dapat terhirup dan mencapai daerah
bronchiola sampai alveoli di dalam sistem pernafasan
(Rahmadhani, 2017:6).
United States Environmental Agency (US. EPA,
2004) menyatakan bahwa proses pembentukan PM 10 di
udara terdiri dari fase pengintian (nukleasi) partikulat
dari gas bertekanan uap rendah yang diemisikan atau
yang terbentuk di atmosfer oleh reaksi kimia. Fase kedua
adalah kondensasi gas bertekanan uap rendah pada
partikulat yang ada dan fase ketiga adalah koagulasi
partikulat. Partikulat di udara kemungkingan dapat
berisi partikulat dari beberapa sumber.
11

PM10 dibagi menjadi dua yakni partikel halus


dengan diameter ≤ 2,5 µm dan partikel kasar berdiameter
2,5-10 µm (EPA, 2017). Sehelai rambut manusia rata-rata
berukuran 70 mikrometer dan 30 kali lebih besar dari
ukuran partikel halus terbesar. Perbedaan antara partikel
halus dan kasar terletak pada sumber, asal pembentukan,
mekanisme penyisihan, sifat optiknya dan komposisi
kimianya (Santiasih, Hermana dan Bambang, 2012: 627).
Gambar 2.2 menyajikan perbandingan ukuran
PM10 dan PM2,5 dengan rambut manusia

Gambar 2. 2 Perbandingan ukuran PM10 dan PM2,5 dengan rambut


manusia
Partikel yang paling merusak kesehatan adalah
partikel dengan diameter 10 mikron yang dapat
menembus dan menyimpan jauh di dalam paru-paru
(WHO, 2016). Menurut Dewan Perlindungan
Lingkungan Hidup Nasional di Australia, standar udara
ambien konsentrasi maksimum 50 µm/m3 dengan
periode perhitungan nilai rata-rata 1 hari (Goverment,
12

2009:13). Karakteristik kimiawi PM10 dibagi menjadi dua


yakni organik dan inorganik.
Bahan organik yang ada di udara yakni fenol,
asam organik dan alkohol. Bahan inorganik yang berada
di udara yakni besi, timah hitam, mangan, seng, dan
vanadium. Debu PM10 merupakan prediktor kesehatan
dan partikulat respirable karena alasan berikut ini:
1. Mengendap di saluran pernapasan bawah dan
daerah pertukaran gas dapat menimbulkan iritasi
secara terus-menerus disertai reaksi jaringan
bermacam-macam
2. Mewakili zat pencemar lain, kadar PM 10 dapat
berasosiasi dengan zat pencemar lain ketika berada
di udara.
3. PM10 lebih efisien terhirup ke dalam saluran
pernapasan daripada partikulat yang lebih besar.
Dalam skala itu, angka inspirability PM10 adalah
73,3% dari jumlah PM10 udara ambien. Angka
inspirability ini dinilai cukup menunjukkan tingginya
efisiensi jumlah PM10 yang masuk ke dalam saluran
pernapasan jika dibandingkan dengan partikulat
berukuran lebih besar. Besar efisiensi terhirupnya
partikulat ke dalam saluran pernapasan amat penting
untuk menentukan besarnya pemajanan partikulat
dan efek kesehatan yang ditimbulkannya (Koren,
2003:20).
Tahun 1987 ada 70% penduduk kota di dunia
hidup dengan partikel yang mengambang di udara
melebihi ambang batas WHO menurut Sistem
Pemantauan Lingkungan Global disponsori oleh PBB.
Partikel-partikel halus yang keluar dari cerobong pabrik
berasap hitam tebal sangat berbahaya karena dapat
13

menembus bagian terdalam paru-paru. Partikel halus


dibentuk dengan sulfur dioksida dan oksida nitrogen
yang secara kimiawi berubah dan membentuk zat nitrate
serta sulfat. Zat nitrate terbentuk dari proses oksida
nitrogen yang membentuk sepertiga partikulat (Moore,
C, 2007).
Kristanto, (2002) (dalam Sulasmini, Mahendra, &
Lila 2007:2) Partikulat berpengaruh pada tanaman karena
debu yang tercampur air hujan atau uap air membentuk
kerak pada permukaan daun yang menganggu proses
fotosintesis. Bahan organik dan energi yang dihasilkan
rendah merupakan akibat dari laju fotosintesis yang
rendah (Kozlowski dan Constantinidou, (1986) dalam,
Taihuttu, 2001:10).

C. Sumber debu PM10


Sumber pencemar dibagi menjadi 4 sumber
yakni mobile transportation (sumber bergerak), stationary
combustion (sumber tidak bergerak), industrial processes
(proses industri) dan solid waste (pembuangan sampah).
PM10 dapat bersumber dari mobile transportation (sumber
bergerak), stationary combustion (sumber tidak bergerak).
Menurut Peraturan Gubernur Provinsi Jawa Timur No.
10 tahun 2009 tentang baku mutu udara ambien dan
emisi sumber tidak bergerak di Jawa Timur, sumber
tidak bergerak adalah emisi yang tetap pada suatu
tempat seperti industri, perumahan, dan daerah
perdagangan.
Emisi sumber tidak bergerak dapat
menghubungkan nilai jumlah particullate matter (PM)
dengan sumber polutan. Partikulat yang dihasilkan oleh
industri bergantung pada jenis dan proses produksinya.
14

Proses industri yang menghasilkan partikulat


mengandung bahan kimia yakni karbon, nitrat, sulfat,
timah hitam, tembaga, besi dan seng dengan ambang
batas WHO 80 µg/m3 lewat 24 jam (Kementrian
Lingkungan Hidup, 2014:54).
Sumber bergerak juga dapat menyumbang 70%
pencemaran udara di kota-kota besar. Sumber bergerak
merupakan emisi yang tidak menetap pada suatu tempat
seperti kendaraan bermotor, pesawat udara, kereta api
dan kapal bermotor. Semakin padat lalu lintas oleh
kendaraan bermotor membuat bahan pencemar terbuang
dalam bentuk partikel dan gas (Sari, 2013:91).
Penelitian yang dilakukan oleh Yenni pada
kawasan industri, institusi, komersil (perdagangan) dan
domestik (pemukiman) berdasarkan tata guna lahan
Kota Padang akibat pencemar yang bersumber dari PM 10
dapat dilihat pada gambar 2.3.

Gambar 2. 3 Perbandingan Konsentrasi PM10 rata-rata Masing-Masing


Kawasan Dengan Baku Mutu (Ruslinda dan Didi, 2014:24)

Berdasarkan gambar 2.3 kawasan industri


memiliki konsentrasi debu PM10 tertinggi daripada
kawasan lainnya dikarenakan pada kawasan industri
Kota Padang banyak dan beragamnya aktivitas di sekitar
lokasi seperti industri semen, karet dan perabotan yang
menghasilkan pencemar partikulat ke udara. Konsentrasi
debu terendah di kawasan domestik (pemukiman)
dikarenakan pada kawasan tersebut tidak banyak
15

aktivitas transportasi dan kegiatan manusia yang


berpotensi menghasilkan pencemar partikulat, kawasan
ini banyak ditemui pepohonan yang dapat mereduksi
debu PM10. Berdasarkan PP No. 41 tahun 1999 baku mutu
konsentrasi debu PM10 untuk pengukuran selama 24 jam
sebesar 150 µm/m³, bila dibandingkan dengan baku
mutu keempat kawasan masih berada di bawah baku
mutu tetapi perlu dilakukan pengukuran secara kontinu
untuk mengetahui peningkatan debu PM10.
Sumber partikulat juga tergantung pada jenis
kegiatan yang menghasilkan partikulat itu sendiri.
Sumber partikulat yang terutama adalah industri,
pertambangan, kendaraan bermotor, pembakaran
sampah, pembangunan gedung serta jalan (Candra,
2014:13). Menurut US.EPA 2004 ada tiga sumber
partikulat berdasarkan ukuran diameter:
1. Diameter <0,1 µm disebut partikulat sangat
halus/ultrafine berasal dari hasil transformasi SO2,
hasil pembakaran, dan hasil proses kimia pada
temperatur tinggi serta campuran organik di
atmosfer.
2. Diameter 0,1 s/d 3 µm disebut partikulat mode
akumulasi karena berasal dari hasil transformasi
Nox, SO2 dan campuran organik, pembakaran batu
bara, bensin, minyak, kayu bakar, dan solar serta
proses peleburan baja atau pabrik baja.
3. Diameter >3 µm disebut partikulat kasar/coarse
karena berasal dari jejak tanah di atas jalan raya,
kegiatan kontruksi dan penghancuran, resuspensi
partikulat industri, suspensi kegiatan pertanian,
pertambangan dan jalan beraspal, percikan air laut,
16

sumber biologi serta pembakaran batu bara dan


minyak berlebihan.

D. Efek debu PM10 untuk Kesehatan


Debu PM10 merupakan pencemar yang
berbahaya karena banyak senyawa kimia yang terikat
dalam partikel. Keberadaan debu PM10 di udara
dipengaruhi oleh besaran partikel sehingga semakin kecil
partikel akan semakin meluas keberadaannya U.S EPA
melalui NAAQS (National Ambient Air Quality Standart)
(dalam Sinolungan, 2009:67). Nilai ambang batas
menurut NAAQS untuk debu PM10 adalah 150 µm/m3,
sedangkan nilai ambang batas dari WHO adalah 80
µm/m3 dalam periode pengukuran 24 jam.
PM10 yang mencemari udara dapat merusak
lingkungan, tanaman, hewan dan manusia pada
umumnya. Udara yang tercemar dapat menimbulkan
berbagai macam penyakit saluran pernafasan
(pneumoconiosis) (Candra, 2014:14). Ukuran partikel
berpengaruh pada penyakit saluran pernapasan, dari
hasil penelitian dapat dicapai target organ sebagai
berikut:
1. 0,1-0,5 µm akan melayang di permukaan alveoli
2. 0,5-1 µm akan hinggap pada permukaan alveoli
dapat menyebabkan vibriosis paru
3. 1-3 µm akan sampai di permukaan alveoli
4. 3-5 µm akan tertahan di saluran pernapasan bagian
bawah
5. 5-10 µm akan tertahan di saluran pernapasan bagian
atas
Ukuran partikel yang membahayakan pada
gangguan saluran pernapasan berukuran 0,1-5 µm atau
17

10 µm Pujiastuti, (2002:3) (dalam Lindawaty, 2010:16).


Bahan debu PM10 yang dapat menganggu fungsi paru
terdiri dari partikel dasar karbon (carbon based particles),
debu (dust), dan aerosol asam (acid aerosol). Bruce, Padilla
& Albalak, (2002) melaporkan bahwa partikel yang
masuk secara akut dapat menyebabkan iritasi bronchial,
peningkatan kematian pada bayi prematur, peningkatan
reaktivitas paru-paru, menekan pergerakan mukosiliar
dan menekan respon makrofag serta imunitas lokal.
Mukono 1997 dalam Lindawaty (2010:17)
berpendapat bahwa dampak pada saluran pernafasan
dapat menyebabkan sebagai berikut:
1. Rusaknya sel pembunuh bakteri pada saluran
pernapasan
2. Lepasnya silia dan lapisan sel selaput lendir
3. Produksi lendir yang menyebabkan penyempitan
saluran pernapasan
4. Peningkatan produksi lendir akibat iritasi bahan
pencemar
5. Pergerakan silia hidung menjadi lambat sehingga
tidak dapat membersihkan saluran pernapasan
dikarenakan iritasi
6. Pembengkakan saluran pernapasan dan merangsang
pertumbuhan sel, sehingga saluran pernapasan
menyempit.
Debu PM10 juga dapat menyebabkan keracunan
lokal karena adanya debu penyebab fibriosis, debu inert,
debu alergen, dan debu iritan. Efek debu terhadap
kesehatan sangat tergantung pada solusibility, komposisi
kimia debu, dan ukuran partikel debu (Sucipto, 2007:20).
Reaksi fibrotik, aktifitas koagulan, stres oksidasi
dalam paru-paru, dan gangguan keseimbangan
18

autonomik dikarenakan terpapar lama oleh debu PM 10.


Efek potensial terhadap kesehatan yang dapat
ditimbulkan menurut Bruce adalah asma yang
kambuhan (exacerbation), infeksi saluran napas, sesak
napas, bronkitis dan chronic obstruction pulmonary disease
(COPD), serta COPD yang kambuhan. Penyakit
kardiovaskular dapat menyebabkan kematian yang
diakibatkan oleh gangguan autonomik (Sinolungan,
2009:68).
Ruseven (2011:34) menyatakan bahwa kadar
yang berlebihan dari debu PM10 dapat mengurangi
pengelihatan, menyebabkan gangguan pada hidung dan
menyebabkan gangguan atau iritasi pada kulit yang
dihasilkan pada jalan. Menurut Pudjiastuti (2002:2) selain
menyebabkan efek terhadap kesehatan, debu PM10 juga
menyebabkan gangguan seperti:
1. Rusaknya hidup tumbuhan karena pori-pori yang
tertutup sehingga menghambat fotosintesis
2. Iklim global dan internasional berubah
3. Mengganggu kesehatan manusia seperti iritasi mata,
alergi dan pernafasan.

E. Pengaruh Tutupan Lahan terhadap Konsentrasi Debu


PM10
1. Industri
Kegiatan industri merupakan mengolah
masukan menjadi keluaran. Industri mampu
meningkatkan permintaan sumber daya alam yang
tidak terbaharui dan “memaksakan” daya tampung
sistem alam untuk menyerap hasil sampingan
berupa limbah. Jenis limbah yang diakibatkan oleh
pabrik mengandung bahan beracun dan berbahaya,
19

keluar melalui media udara, air dan tanah


(Kristanto, 2002:164).
Aktivitas industri yang beragam berpotensi
menghasilkan pencemar partikulat ke udara (Yenni,
2014:23). Akumulasi limbah industri di udara dan
dipengaruhi oleh arah angin, tetapi sumbernya
bersifat stasioner. Jenis industri yang menjadi
sumber pencemar udara adalah industri pupuk,
pangan, pertambangan, metalurgi, dan kimia.
(Kristanto, 2002:173).
Sitepu (2011:15) mengelompokkan industri
berdasarkan rata-rata polutan (NO2, SO2, CO, PM10
dan NH3) kelompok pencemar tinggi (industri
migas, minyak goreng, makanan dan pupuk) dan
pencemar rendah (industri karet, sawit, pengalengan
ikan, listrik, pertambangan dan semen). Berdasarkan
hasil konsentrasi debu PM10 tertinggi pada industri
semen mencapai 1151,41 µm/m3. Konsentrasi debu
PM10 yang tinggi dikarenakan pengolahan bahan
baku yang mencampurkan beberapa komponen
bahan kimia utama seperti kapur, silika, alumina,
biji besi dan gipsum yang mampu memicu
bertambahnya debu PM10 pada udara ambien.
Sukar, Athena, Hananto dan Zahra (2006:434)
mengukur kualitas udara ambien pada lokasi
industri musim kemarau dan musim hujan disajikan
pada tabel 2.1. Pengaruh musim terhadap penurunan
kadar PM10 secara signifikan dengan analisis statistik
mendapatkan nilai p<0,05. Rata-rata pengukuran
PM10 pada hari kerja lebih tinggi dari pada hari libur.
20

Tabel 2. 1 Kadar debu PM10 (µg/m3) Udara Ambien Lokasi


Industri
Penurunan
No. Hari Kemarau Hujan
(%)
1 Kamis 104 92 11,4
2 Jumat 75 66 12
3 Sabtu 122 72 41
4 Minggu 64 53 17,2
5 Senin 58 46 20,7
Rata-rata 84,6 65,8 22,2
Sumber: Sukar, Athena, Hananto dan Zahra (2006:434)

2. Transportasi
Morlock (1991:15) berpendapat bahwa
transportasi merupakan perpindahan manusia atau
barang dari suatu tempat ke tempat lainnya dengan
menggunakan sebuah wahana yang digerakkan oleh
manusia atau mesin. Transportasi juga menjadi
sektor penunjang pembangunan dan pemberi jasa
bagi perkembangan ekonomi (Nasution, 1996:12).
Menurut Salim (2006:27) transportasi menjadi dasar
untuk pembangunan ekonomi dan perkembangan
masyarakat serta pertumbuhan industrialisasi.
Kegiatan transportasi yang meningkat telah
menjadi permasalahan terhadap kualitas udara
menurut Setyorini 2005 dalam (Gusnita, 2009:3).
Proses pembakaran bahan bakar dari motor
menghasilkan gas buang yang mengandung CO,
NO2, HC, C, CO2, N2 dan PM10, dimana banyak yang
bersifat mencemari lingkungan sekitar dalam bentuk
polusi udara (Kumaat, 2012:29). Pencemaran udara
21

pada transportasi dipengaruhi oleh karakteristik


sumber emisi kegiatan transportasi kota.
Hasil penelitian Suci menyebutkan bahwa
konsentrasi debu PM10 yang tinggi dapat disebabkan
oleh rata-rata jumlah kendaraan yang melintas.
Kendaraan bermotor menyumbang 13-44% debu
PM10 ke udara ambien (Samaun, 2012:38). Menurut
BPLH Kota Jakarta tahun 2013 dalam (Ismiyati,
Marlita dan Saidah 2014:244) beban emisi total
kendaraan bermotor di Yogyakarta menyumbang
sekitar 70% PM10. Menurut Sa’duddin dan Hadi
(2015:5) emisi yang dihasilkan PM10 dari sumber
jalan mencapai 99,86%. Prosentase hasil turunan
pangsa emisi transportasi jalan raya dilihat dari jenis
kendaraan berbabis jenis bahan bakar yang
digunakan untuk PM10 sepeda motor 13,5%, mobil
63,4%, LDV 10,7%, HVD 5,5% dan Bus 6,9%.
Sukar, Athena, Hananto dan Zahra (2006:
433) mengukur kualitas udara ambien pada lokasi
transportasi musim kemarau dan musim hujan
disajikan pada tabel 2.2.
Tabel 2. 2 Kadar debu PM10 (µg/m3) Udara Ambien Lokasi
Transportasi

Penurunan
No. Hari Kemarau Hujan
(%)
1 Kamis 170 92 45,9
2 Jumat 91 78 14,3
3 Sabtu 97 56 42,3
4 Minggu 85 54 36,5
5 Senin 143 131 8,4
Rata-rata 117,2 82,2 29,9
Sumber: Sukar, Athena, Hananto dan Zahra (2006:433)
22

3. Pemukiman
Menurut UU No.1 Tahun 2011 tentang
perumahan dan kawasan pemukiman, pemukiman
adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri
atas lebih dari satu satuan perumahan yang
mempunyai prasarana, sarana, fasilitas umum, serta
mempunyai penunjang kegiatan. Pemukiman adalah
perumahan dengan segala isi dan kegiatan yang ada
didalamnya (Kuswartojo, 1997:21). Keberadaan
sebuah pemukiman dapat mempengaruhi
berkembangnya suatu wilayah dan kegiatan
pembangunan dalam suatu wilayah mempengaruhi
berkembangnya pemukiman (Anonim, 1994).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Leinawati, konsentrasi debu PM10 di kawasan
pemukiman sebesar 54,41 µm/m3. Kawasan
pemukiman dapat menambah konsentrasi debu
PM10 namun tidak signifikan karena adanya
aktivitas transportasi yang menuju dan
meninggalkan area tersebut (Muzayanah, 2014;
Leinawati, 2013).
Sukar, Athena, Hananto dan Zahra
(2006:434) mengukur kualitas udara ambien pada
lokasi pemukiman musim kemarau dan musim
hujan disajikan pada tabel 2.3.
23

Tabel 2. 3 Kadar debu PM10 (µg/m3) Udara Ambien Lokasi


Pemukiman
Penurunan
No. Hari Kemarau Hujan
(%)
1 Kamis 104 95 8,7
2 Jumat 65 59 9,2
3 Sabtu 120 107 10,8
4 Minggu 98 68 30,6
5 Senin 123 93 24,4
Rata-rata 117,2 84,4 17,3
Sumber: Sukar, Athena, Hananto dan Zahra (2006:433)

4. Badan air
Kawasan badan air terdiri atas sungai,
tambak, dan saluran pembuangan air. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Muzayanah
(2016:432) badan air dapat mengurangi potensi
konsentrasi debu PM10 karena badan air dapat
menjadi tempat jatuhnya debu PM10 berukuran
besar yang mengendap akibat gaya gravitasi.
5. Ruang Terbuka Hijau
Ruang terbuka hijau merupakan area yang
memanjang atau mengelompok dan penggunaannya
lebih bersifat terbuka sebagai tempat tumbuh
tanaman baik secara ilmiah maupun sengaja
ditanam menurut UU No. 26 Tahun 2007. Ruang
Terbuka Hijau (RTH) memliki fungsi sebagai
pengatur iklim mikro, daerah resapan air, dan
estetika kota. Fasilitas penunjang yang disediakan
untuk masyarakat dapat dijadikan sebagai sarana
lingkungan yang mempunyai manfaat besar bagi
kualitas lingkungan, keindahan, kesegaran,
24

kenyamanan, dan mampu menurunkan polusi


sehingga dapat meningkatkan kesehatan masyarakat
pada suatu wilayah perkotaan adalah Ruang
Terbuka Hijau (Rochim dan Joesron, 2013).
Ruang terbuka hijau terdiri dari ruang
terbuka hijau publik dan privat, sedangkan proporsi
ruang terbuka pada wilayah kota paling sedikit 30
persen dari luas wilayah kota. Proporsi ruang
terbuka hijau publik pada wilayah kota paling
sedikit 20 persen dari luas wilayah kota (UU No. 26
Thn 2007). Kota Surabaya pada tahun 2016
mempunyai ruang terbuka hijau 21,73% dari luas
total wilayah Surabaya. Menurut UU No. 26 Thn
2007 tentang Penataan Ruang dimana RTH publik
harus mencapai 20% dari luas total wilayah kota dan
10% berupa RTH privat dan RTNH (Ruang Terbuka
Non Hijau) Surabaya telah memenuhi kriteria
tersebut apabila dilihat dari prosentase luas ruang
terbuka hijau (Kementrian Lingkungan Hidup, 2016:
III-2).
Tutupan lahan pada kawasan RTH di Kota
Surabaya menurut Dinas Lingkungan Hidup Kota
Surabaya tahun 2016, prosentase terbesar adalah
badan air yakni 54,48%, yang kedua lahan vegetasi
19,61%, ketiga adalah area terbangun 12,67% dan
yang terakhir adalah tanah terbuka 9,24%. Ada tujuh
jenis RTH yakni RTH makam sebesar 3,90%, RTH
lapangan dan stadion 4,82%, RTH
telaga/waduk/bozem 2,62%, RTH dari fasilitas
umum dan fasilitas sosial pemukiman 2,82%, RTH
kawasan lindung 62,58% yang tersebar di kawasan
utara dan timur Kota Surabaya, RTH hutan kota
25

0,62% serta RTH taman dan jalur hijau 22,62%


(Kementrian Lingkungan Hidup, 2016: III-9).
Ruang Terbuka Hijau juga mempunyai
fungsi sebagai paru-paru kota yang sebenarnya
merupakan aspek berlangsungnya daur ulang antara
gas CO2, O2 dan hasil fotosintesis pada daun serta
berfungsi sebagai ventilasi udara dalam bangunan.
Tanaman berkayu dapat memberikan manfaat
dalam proteksi, estetika, rekreasi, dan penghasil O2.
Meningkatnya kualitas lingkungan kota sehingga
dapat menciptakan kondisi yang nyaman dan
ketercapaian keseimbangan antara lingkungan alam
dan lingkungan binaan merupakan bantuan dari
ruang terbuka hijau.
Tanaman juga berfungsi sebagai penyerap
unsur pencemar udara secara kimiawi (Anatari dan
Sundra, 2002 dalam Martuti, 2013:37). Kemampuan
untuk menyerap polutan yang berada di udara
dipengaruhi oleh morfologi tanaman, jenis dan
konsentrasi pencemar, faktor pertumbuhan tanaman
dan sensivitas tanaman terhadap pencemar
(Hidayati, 2009 dalam Yulfida et al, 2012; Wilmer,
1986; Mc Kersie & Leshem, 1994; Larcher, 1995
dalam Sulistijorini, 2009:24).
Pemilihan jenis tanaman juga perlu
diperhatikan terutama pada fungsi tajuk pohon yang
dapat menyerap dan menahan partikel padat.
Partikel yang diserap akan menempel dipermukaan
daun yang lengket, bertekstur kasar, berbulu,
bergerigi, berdaun jarum dan sebagian partikel akan
terserap pada stomata daun (Martuti, 2013:38;
Syahadat et al, 2017:185). Menurut Ngabekti (2004)
26

tanaman peneduh jalan dapat menurunkan kadar


PM10 dari 448,76 µg/m3 pada area tanpa tanaman
menjadi 6.411.448,76 µg/m3 pada area dengan
tanaman.
Pohon penyejuk jalan mempunyai kerapatan
stomata dibawah permukaan daun lebih tinggi
sehingga semakin tinggi jumlah kerapatan stomata
semakin tinggi pula potensi pohon tersebut
menyerap logam berat atau partikel yang melayang
di udara. Tajuk pohon yang tinggi dapat
membelokkan pohon yang tinggi dapat
membelokkan hembusan angin ke atmosfir yang
lebih luas sehingga konsentrasi polutan menurun,
melalui stomata polutan gas masuk ke dalam
jaringan daun sehingga kadar polutan berkurang.
Morfologi tanaman seperti permukaan daun, batang,
dan ranting juga dapat menyerap polutan partikel
debu dan logam yang terkandung di udara (Hanafri
2011 dalam Yulfida et al 2012:6).
Menurut Bernatzky, 1978 (dalam Taihuttu,
2001:11) luas dan kerapatan tanaman mempengaruhi
penyebaran dan pengendapan bahan pencemar
udara. Tanaman yang terdiri dari satu barisan hanya
mampu membelokkan angin, sedangkan
sekelompok tanaman yang rapat mampu menyaring
partikel bahan pencemar udara.

F. Box Model
Box model termasuk tipe model dispersi
atmosfer yang paling sederhana. Model dispersi atmosfer
merupakan mekanisme pelarutan pencernaan gas atau
asap sehingga konsentrasinya terus menurun yang secata
27

rutin digunakan untuk menginformasikan analisis


dampak kualitas udara (Rifai, 2004; Goverment, 2009).
Formulasi sistematis parameter mempengaruhi
konsentrasi polutan di udara meliputi proses transport
dan difusi yang terjadi di atmosfer merupakan
pemodelan kualitas udara (Hassan dan Crowther,
1998:270).
Model yang sering dipakai adalah Box-Model.
Box-Model digunakan untuk menduga rata-rata
konsentrasi polutan di daerah yang diserupakan dengan
bentuk kotak dimana emisi tersebar merata di
permukaan bawah kotak. Aktivitas yang menghasilkan
gas emisi terdapat di dalam kotak (Kurniawan. S, 2014:1).

Gambar 2. 4 Box Model (Jin dan Damerjian, 1993:372)

Box Model layak digunakan untuk partikulat


yang secara kimia stabil. Asumsi ini tidak tepat apabila
digunakan untuk Hidrokarbon (HC) dan Nitrogen
Oksida (Nox) yang mendorong terbentuknya
photochemical smog. Kelemahan dari Box Model antara lain
model ini tidak memperhitungkan dispersi atmosfer
pada arah vertikal maupun horizontal dan model ini
mengasumsikan bahwa emisi polutan bukan merupakan
28

reaksi kimia selama periode waktu yang digunakan


dalam analisis (Kurniawan. S, 2014:4).
Menurut Hassan dan Crowther (1998:273)
konsep box model ini memperhitungkan aspek arah dan
kecepatan angin, laju emisi, dimensi kotak dan parameter
model empirik untuk memprediksi konsentrasi polutan
per jam. Hukum kekekalan massa pada model ini
berlaku dengan rumus:

Dengan:

Penggunaan Box Model memiliki beberapa asumsi


diantaranya:
1. Pemukaan kotak berukuran panjang dan lebar
2. Laju emisi polutan relatif tetap, udara bergerak
dibatasi dari atas oleh lapisan udara yang stabil pada
ketingian (h), udara yang bergerak juga dibatasi pada
arah tegak lurus terhadap kecepatan angin.
3. Sifat polutannya stabil, tidak terurai selama di dalam
kotak.
4. Kondisi emisi, kecepatan angin selalu tetap dan
katakteristik udara nilainya tidak bervariasi terhadap
waktu, lokasi, dan ketinggian tempat
5. Tidak ada polutan keluar masuk melalui kedua sisi
yang sejajar dengan arah angin
6. Laju aliran polutan yang masuk terdiri dari dua
komponen: laju aliran polutan yang dibawa oleh
angin melalui bidang masuk, besarnya U.L.H.Co.
29

U.L.H adalah volume udara yang melalui bidang


batas (sisi masuk) kotak per satuan waktu
(vol/waktu). Jika besaran ini dikalikan konsentrasi
(massa/vol) akan diperoleh laju aliran massa
(massa/waktu). Co sebagai konsentrasi background
7. Laju aliran polutan yang diproduksi oleh kotak
disimbolkan dengan Q. Konsentrasi di seluruh kotak
nilainya konstan misalnya C Polutan hanya dapat
keluar kotak melalui satu sisi, yaitu sisi keluar. Jadi
laju aliran keluar adalah U.L.H.C
30

G. Kerangka Berpikir

Perkembangan Kota
Surabaya

Transportas Bangunan Infrastuktur Lahan


i Terbuka

Motor, Mobil, Industri, Sekolah, Jalan, Taman,


Truk, Bus, Pemukiman, Mall, stasiun, Lapangan, Hutan
Kereta Api, dan Kantor, Gedung, pelabuhan, Kota, RTH, Lahan
Pesawat Pabrik dll bandara Kosong

Menyebabkan gangguan
Konsentrasi debu
pada pernafasan dan
meningkat
penglihatan

Penurunan Kualitas Baku Mutu WHO 80


Udara akibat debu µm/m³ dalam waktu 24
jam

Konsentrasi PM10 di Dipengaruhi oleh arah dan


Kec. Krembangan kecepatan angin
31

Sebagai kota terbesar ke dua di Indonesia, Surabaya


mengalami perkembangan yang pesat akibat pembangunan.
Perkembangan yang pesat dibuktikan dengan banyaknya
transportasi, lahan terbangun, lahan terbuka serta infrastruktur
yang pastinya akan mempengaruhi kegiatan pembangunan di
wilayah ini. Daerah metropolitan Surabaya dikenal dengan
Gerbang kertosusila yakni Gresik, Bangkalan, Mojokerto,
Surabaya, Sidoarjo, dan Lamongan yang bertujuan untuk
melakukan pemerataan daerah.
Transportasi, lahan terbangun, lahan terbuka serta
infrastruktur atau disebut dengan tutupan lahan dapat
meningkatkan konsentrasi debu di udara. Transportasi
menyumbang konsentrasi debu di udara yang dihasilkan dari
proses pembakaran bahan bakar dan menghasilkan gas buang
mengandung CO, NO2, HC, C, CO2, N2 dan PM10, dimana banyak
yang bersifat mencemari lingkungan sekitar dalam bentuk polusi
udara (Kumaat, 2012:29). Lahan terbangun seperti pemukiman,
industri, sekolah, perkantoran, pergudangan juga mampu
meningkatkan konsentrasi.
Aktivitas industri yang beragam berpotensi
menghasilkan pencemar partikulat ke udara (Yenni, 2014:23).
Jenis limbah yang diakibatkan oleh pabrik mengandung bahan
beracun dan berbahaya dapat keluar dari cerobong asap melalui
media udara (Kristanto, 2002:164). Mengingat substansi debu
bersifat toksik atau racun.
Hal ini akan sangat berbahaya apabila konsentrasi debu
yang ada di udara melebihi ambang batas yang ditentukan WHO
(World Health Organization) yakni 80 µm/m³ dalam waktu
pengukuran 24 jam. Kondisi ini dapat menyebabkan penurunan
kualitas udara akibat debu seperti ganguuan kesehatan pada
manusia. Dampak yang ditimbulkan apabila konsentrasi debu
berlebihan di udara antara lain gangguan pernapasan misalnya
32

infeksi saluran pernapasan, sesak nafas dan gangguan


penglihatan seperti iritasi mata dan mata pedih.
Konsentrasi debu PM10 yang meningkat juga dipengaruhi
oleh musim, apabila musim kemarau maka konsentrasi akan
meningkat karena panasnya suhu udara dan debu semakin jauh
berterbangan terbawa angin. Pada musim hujan ada
pengurangan konsentrasi debu dikarenakan debu yang terkena
air akan hilang dan bersih dari atmosfer. Arah dan kecepatan
angin juga dapat mempengaruhi keberadaan debu karena angin
dapat menyebarkan debu pada area yang lebih luas.
Upaya untuk mengurangi konsentrasi debu diperlukan
agar tidak memperparah kualitas udara salah satunya dengan
memaksimalkan ruang terbuka hijau yang berfungsi sebagai
penghambat tersebarnya debu di udara, menurunkan polusi,
memberikan udara segar, dan kenyamanan sehingga dapat
meningkatkan kesehatan di wilayah perkotaan termasuk di
Surabaya. Apabila semua unsur tersebut ada, baik jumlahnya
besar maupun kecil akan mempengaruhi konsentrasi debu PM10
di Kecamatan Krembangan.
33

H. Penelitian yang Relevan


Kegunaan penelitian yang relevan dalam
penelitian ini diantaranya untuk mencari persamaan dan
perbedaan antara penelitian orang lain dengan penelitian
penulis disajikan pada tabel 2.5. Penelitian yang relevan
juga digunakan untuk membandingkan penelitian yang
sudah ada dengan penelitian yang akan diteliti oleh
penulis disajikan pada tabel 2.4. Berikut penelitian yang
relevan terkait dengan penelitian penulis yang berjudul
“Pengaruh Tutupan Lahan terhadap Konsentrasi Debu
PM10 di Kecamatan Krembangan Kota Surabaya”

Tabel 2. 4 Penelitian Terdahulu


Nama
Judul Tujuan Hasil Penelitian
No. Peneliti
1. Muzayana Greenspace Mengkaji kemampuan 1. Perdu, semak, dan
h, Arifin, Determination tiap kelompok pohon di bawah
Sudarto, For Reduction tanaman di RTH ketinggian 3 m
Yanuwidi of Particulate dalam mereduksi PM10 adalah kelompok
Matter In udara ambien, dan tanaman yang
Ambient Air menghasilkan model paling berpengaruh
RTH untuk mereduksi dalam mereduksi
PM10 udara di Kota PM10 udara ambien.
Surabaya 2. Model RTH
melibatkan variabel
meteorologi,
penggunaan lahan
bukan RTH
2. Yenni Analisis Mengetahui besaran 1. Konsentrasi PM10
Ruslinda, Kualitas Udara pencemaran udara (total 24 jam) rata-
Didi Ambien Kota telah mempengaruhi rata di kawasan
Wiranata Padang akibat kualitas udara ambien institusi adalah
Pencemar di Kota Padang, 101,933 µm/m³,
Particullate menghitung kawasan komersil
Matter 10 µm konsentrasi PM10 dan 101,770 µm/m³,
(PM10) menganalisis kawasan industri
kandungan kimia 103,493 µm/m³,
34

Nama
Judul Tujuan Hasil Penelitian
No. Peneliti
yang terdapat dalam dan kawasan
PM10 di udara ambien domestik adalah
berbagai kawasan 28,630 µm/m³.
2. Konsentrasi
tersebut belum ada
yang melewati
baku mutu udara
ambien PP No. 41
Tahun 1999 yaitu
sebesar 150 µm/m³.
3. Senyawa Sulfat
merupakan
komposisi kimia
terbesar dalam
PM10 di keempat
kawasan, yaitu
berkisar 12,34–
14,30 %. Sumber
partikulat Sulfat
diperkirakan
berasal dari
pembakaran bahan
bakar dari aktivitas
kendaraan
bermotor, aktivitas
memasak dan
aktivitas
pembakaran
tanaman atau
lading. Selain itu
juga dari proses
alamiah yang
berasal dari
semburan air laut
dandebu tanah
yang tertiup angin.
4. Angka ISPU pada
kawasan institusi,
35

Nama
Judul Tujuan Hasil Penelitian
No. Peneliti
komersil dan
industri berkisar
antara 76-77, yang
dikategorikan
sedang. Untuk
kawasan domestik
nilainya 29 yang
dikategorikan
masih baik Angka
ISPU PM10 rata-rata
untuk Kota Padang
sebesar 67 dengan
kategori sedang.
Hal ini berarti
pencemar PM10
tidak memberikan
efek bagi kesehatan
manusia atau
hewan tetapi
berpengaruh pada
tumbuhan yang
sensitif dan nilai
estetika
3. Lindawaty Partikulat Mengkaji hubungan 1. Kejadian ISPA
(PM10) Udara antara PM10 udara pada balita berisiko
Rumah Tinggal rumah tinggal dengan 5,23 kali lebih besar
Yang ISPA pada balita, pada balita yang
Mempengaruhi mengkaji hubungan 2. tinggal di rumah
Kejadian Infeksi antara PM10 udara dengan kadar
Saluran rumah tinggal dengan partikulat PM10
Pernapasan ISPA pada balita tidak memenuhi
Akut (ISPA) setelah dikontrol syarat.
Pada Balita dengan variabel 3. Suhu dan
(Penelitian Di kondisi lingkungan pencahayaan
Kecamatan
rumah, polutan rumah dalam rumah
Mampang
balita dan merupakan
Prapatan,
karakteristik balita. variabel
Jakarta Selatan
konfounding
Tahun 2009-
36

Nama
Judul Tujuan Hasil Penelitian
No. Peneliti
2010) hubungan PM10
dengan kejadian
penyakit ISPA
pada balita.
4. Jun Yang, Hutan Kota Menggambarkan 1. Beijing bagian
Joe Beijing Dan komposisi saat ini dan tengah, sekitar
McBride, Perannya dalam struktur hutan kota 29% dari pohon
Jinxing, Pengurangan Beijing, mengukur digolongkan
dan Polusi polutan udara kedalam kondisi
Zhcu Udara termasuk SO2, NO2, yang buruk
Zhenyuan PM10, dan O3, 2. Polutan yang
Sum mengukur emisi paling berkurang
BVOC dari perkotaan adalah PM10,
hutan dan sekitar 722 ton.
menghitung Sekitar 0,2 juta ton
penyerapan CO2 CO2 tersimpan
dalam bentuk
biomassa oleh
hutan kota.
5. Tuning Studi Mengetahui besarnya 1. Konsentrasi PM10
Leinawati, Indentifikasi konsentrasi PM10 dan yang mewakili
Juli Karakteristik kesesuaian dengan kawasan
Soemirat, Anorganik baku mutu yang pemukiman kota
Mila PM10 Terhadap berlaku, mengetahui Bandung sebesar
Dirgawati Mortalitas Dan komposisi anorganik 54,41 µm/m3.
Morbiditas Di PM10 di udara ambien 2. Unsur anorganik
Udara Ambien serta dampaknya yang
Pada Kawasan terhadap mortalitas berhubungan
Pemukiman dan mordibitas di dengan
kawasan pemukiman. morbiditas
adalah Natrium,
Kalium,
Magnesium,
Mangan, Seng,
Kadmium,
Kromium,
Tembaga, Kobalt,
Arsen
37

Nama
Judul Tujuan Hasil Penelitian
No. Peneliti
3. Unsur anorgnaik
yang dapat
berpengaruh
terhadap
mortalitas adalah
Timbal, Arsen,
Kobalt, Tembaga,
Kalium dan
Merkuri
4. Mortalitas dari
tahun 2008-2011
mengalami
penurunan,
sedangkan
mordibitas
mengalami
peningkatan
6. Ana Analisis Mengkaji hubungan 1. Berdasar hasil
Turyani Pengaruh antara kondisi regresi linier
Meteorologi meteorologi setempat berganda faktor
Terhadap terhadap konsentrasi meteorologi yang
Konsentrasi PM10 udara ambien berpengaruh
PM10 terhadap
Menggunakan konsentrasi
Regresi Linier pencemar PM10
Berganda berbeda antar
(Studi Kasus: lokasi
Daerah Dago 2. Di Dago faktor
Pakar Dan
kecepatan angin
Cisaranten,
tidak
Bandung)
berpengaruh tapi
di Cisaranten
berpengaruh
terhadap
keberagaman
PM10
3. Di Cisaranten
faktor suhu tidak
38

Nama
Judul Tujuan Hasil Penelitian
No. Peneliti
mempengaruhi
konsentrasi PM10,
sedangkan
kecepatan angin
berpengaruh
negatif terhadap
konsentrasi PM10
7. Vera Analisis Menganalisis 1. Konsentrasi
Surtia Pemetaan konsentrasi PM10 dari tertinggi berada
Bachtiar Dispersi transportasi dan di Jalan
Particullate hubungannya dengan Adinegoro (5 m)
Matter (PM10) karakteristik lalu lintas dengan nilai
Akibat dan kecepatan angin, 133,760 μg/Nm3
Aktivitas serta memetakan dan konsentrasi
Transportasi Di dispersi PM10 di Kota terendah pada
Kota Padang Padang Jalan Hamka (100
m) dengan nilai
16,808 μg/Nm3.
2. Peningkatan
volume dan
kepadatan lalu
lintas sebanding
dengan
peningkatan
konsentrasi PM10.
Sedangkan
kecepatan
kendaraan dan
kecepatan angin
memiliki
hubungan
berbanding
terbalik dengan
peningkatan
konsentrasi PM10.
3. Beban emisi PM10
tertinggi berada
di Jalan Sutomo
39

Nama
Judul Tujuan Hasil Penelitian
No. Peneliti
dengan nilai
10,716 g/jam dan
terendah di Jalan
Sutan Syahrir
dengan nilai 4,699
g/jam.

Tabel 2. 5 Persamaan dan Perbedaan Penelitian


Perbedaan
Nama
No Persamaan Penelitian Rencana
Peneliti
Terdahulu Penelitian
1. Muzayanah, 1. Membahas 1. Model 1. Tutupan
Arifin, konsentrasi PM10 RTH lahan yang
Sudarto, 2. Metode yang untuk mempenga
Yanuwidi digunakan adalah meminima ruhi PM10
Judul: observasi, lisir PM10 2. Mengguna
Greenspace interpretasi dan 2. Mengguna kan data
Determinatio pengukuran kan data primer
n For sekunder 3. Pengambil
Reduction of 3. Pengambil an sampel
Particulate an sampel di
Matter In di wilayah Kecamatan
Ambient Air Kota Krembang
Surabaya an
4. Waktu 4. Waktu
pengambil pengambil
an sampel an sampel
24 jam pada jam
sibuk di
Kota
Surabaya
selama 1
minggu
2. Yenni Mengukur konsentrasi 1. Menganali 1. Menghitun
Ruslinda, PM10 di udara ambien sis g
Didi kandunga konsentrasi
Wiranata n kimia PM10 rata-
Judul: PM10 di rata udara
40

Perbedaan
Nama
No Persamaan Penelitian Rencana
Peneliti
Terdahulu Penelitian
Analisis udara ambien
Kualitas ambien 2. Menghitun
Udara Kota g
Ambien Kota Padang konsentrasi
Padang akibat 2. Menghitu PM10 di
Pencemar ng Kecamatan
Particullate konsentras Krembang
Matter 10 µm i PM10 di an
(PM10) kawasan berdasarka
institusi, n tutupan
industri, lahannya
domestik
dan
komersil
3. Lindawaty Mengukur konsentrasi 1. Menghitu 1. Menghitun
Judul: PM10 ng g
Partikulat konsentras konsentrasi
(PM10) Udara i PM10 di PM10 di
Rumah udara udara
Tinggal Yang rumah ambien
Mempengaru tinggal 2. Dikaitkan
hi Kejadian 2. Dikaitkan dengan
Infeksi dengan tutupan
Saluran kejadian lahan di
Pernapasan ISPA Krembang
Akut (ISPA) balita di an
Pada Balita Jakarta
(Penelitian Di
Kecamatan
Mampang
Prapatan,
Jakarta
Selatan
Tahun 2009-
2010)
4. Jun Yang, Mengukur konsentrasi 1. Menghitu 1. Menghitun
Joe McBride, PM10 ng g
Jinxing, dan konsentra konsetrasi
41

Perbedaan
Nama
No Persamaan Penelitian Rencana
Peneliti
Terdahulu Penelitian
Zhcu si PM10 di PM10 di
Zhenyuan Beijing Kecamatan
Sum 2. Menganali Krembang
Judul: sis an
Hutan Kota kandunga 2. Tutupan
Beijing Dan n kimia lahan yang
Perannya PM10 mampu
dalam 3. Menganali mempenga
Pengurangan sis ruhi
Polusi seberapa konsentrasi
Udara besar PM10
hutan kota
mampu
mereduksi
polutan
5. Tuning 1. Mengukur 1. Pengukura 1. Pengukura
Leinawati, konsentrasi PM10 n pada n
Juli pada kawasan kawasan dilakukan
Soemirat, pemukiman pemukima di
Mila 2. Metode yang n di Kota Kecamatan
Dirgawati digunakan Bandung Krembang
Judul: Studi pengukuran dan 2. Identifikas an tidak
Indentifikasi observasi i hanya
Karakteristik karakterist dikawasan
Anorganik ik pemukima
PM10 anorganik n saja
Terhadap PM10 2. Menghitun
Mortalitas 3. Pengaruh g
Dan PM10 konsentrasi
Morbiditas Di terhadap rata-rata
Udara mortalitas 3. Seberapa
Ambien Pada dan besar
Kawasan morbiditas pengaruh
Pemukiman
tutupan
lahan
terhadap
PM10
42

Perbedaan
Nama
No Persamaan Penelitian Rencana
Peneliti
Terdahulu Penelitian
6. Ana Turyani 1. Mengukur 1. Pengaruh 1. Pengaruh
Judul: konsentrasi PM10 meteorolo tutupan
Analisis 2. Analisis regresi gi lahan
Pengaruh linier berganda terhadap terhadap
Meteorologi digunakan untuk konsentra konsentrasi
Terhadap mencari si PM10 PM10
Konsentrasi pengaruh antar 2. Mengguna
PM10 lokasi kan data
Menggunaka 2. Menggun primer
n Regresi akan data
Linier sekunder
Berganda
(Studi Kasus:
Daerah Dago
Pakar Dan
Cisaranten,
Bandung)
7. Vera Surtia Menghitung 1. Menghitu 1. Menghitun
Bachtiar konsentrasi PM10 di ng g pengaruh
Judul: udara ambien korelasi konsentrasi
Analisis konsentra PM10
Pemetaan si PM10 dengan
Dispersi dengan tutupan
Particullate volume lahan
Matter lalu lintas 2. Meghitung
(PM10) Akibat 2. Menghitu luas lahan
Aktivitas ng beban pada
Transportasi emisi Kecamatan
Di Kota tertinggi Krembanga
Padang dan di n
korelasika 3. Waktu
n dengan sampling 7
konsentra hari pada
si PM10 30 unit
3. Waktu analisis dan
sampling dilakukan
10 hari pengukura
pada titik n pada jam
43

Perbedaan
Nama
No Persamaan Penelitian Rencana
Peneliti
Terdahulu Penelitian
ruas jalan sibuk di
dan Kota
dilakukan Surabaya
pengukur 4. Konturing
an selama PM10 pada
1 jam jam pagi
4. Memetak dan siang
an
dispersi
PM10
menggun
akan
software
Surfer10

Kelebihan penelitian ini adalah pengukuran yang


dilakukan menggunakan model box untuk membatasi daerah
penelitian dilakukan selama satu minggu dan hanya pada jam
sibuk di Kota Surabaya. Digitasi tutupan lahan (bangunan, jalan,
lahan kosong, lapangan dan tanaman) digunakan untuk
menentukan pengaruh terhadap konsentrasi debu PM10. Hasil
dari pengukuran lapangan akan di rata-rata dalam satu minggu
dan dibuat peta kontur. Penelitian yang dilakukan menggunakan
data primer terbaru.
44

Halaman ini sengaja dikosongkan

Anda mungkin juga menyukai