Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Trauma merupakan suatu keadaan dimana seseorang mengalami cedera oleh


salah satu sebab. Penyebab yang paling sering adalah kecelakaan lalu lintas, kecelakaan
kerja, olah raga dan rumah tangga. Di Indonesia kematian akibat kecelakaan lalu lintas
lebih kurang 12 ribu per tahun.Banyak dari korban trauma tersebut mengalami cedera
musculoskeletal berupa fraktur, dislokasi, dan cedera jaringan lunak. Cedera system
musculoskeletal cenderung meningkat dan terus meningkat dan akan mengancam
kehidupan kita. (Rasjad C,2003) Trauma adalah penyebab paling umum kematian pada
usia produktif yaitu 16-44 tahun di seluruh dunia. (WHO, 2004) Proporsi terbesar dari
kematian akibat trauma adalah kecelakaan lalu lintas di jalan raya sebesar 1,2 juta jiwa
pertahun. World Health Organization (WHO) memprediksi bahwa pada tahun 2020,
trauma akibat kecelakaan lalu lintas menduduki peringkat ketiga dalam penyebab
kematian dini dan kecacatan. (Peden, 2004). Kematian akibat trauma tergantung pada
sejumlah faktor, salah satunya adalah penilaian skor trauma pada awal masuk rumah
sakit. Menurut National Consultant for Injury dari WHO Indonesia (dikutip dari data
kepolisian RI) terdapat kecelakaan selama tahun 2007 memakan korban sekitar 16.000
jiwa dan di tahun 2010 meningkat menjadi 31.234 jiwa di Indonesia.
Faktor waktu menjadi sangat penting bagi penderita trauma. Proses awal
penanganan pasien dengan trauma disebut dengan initial asessment (penilaian awal). Hal
ini meliputi primary survey, secondary survey, dan penanganan definitif. Pengelolaan
pasien dengan trauma berat memerlukan penilaian yang cepat dan pengelolaan yang
tepat, guna menghindari kematian. Kematian yang disebabkan oleh trauma secara klasik
memiliki 3 tahap, yang berhubungan antara waktu kejadian dengan penanganan efektif
yang dilakukan untuk mengatasi mortalitas (Sobrino J, 2013; ACS, 2008). Trauma
merupakan masalah kesehatan yang besar di negara berkembang yang jumlahnya
meningkat sebanding dengan perkembangan industri dan transportasi.

Baru baru ini raum dan rekannya menghasilkan dan mevalidasi skor trauma baru
( skor trauma darurat EMTRAS). 3.314 pasien trauma dirawat di pusat trauma rujukan
regional dipelajari. Nilai prediktif skor EMTRAS dibandingkan dengan skor keparahan
cidera (ISS), skor trauma direvisi (RTS), skor keparahan cedera trauma (TRISS) dan skor
fisiologi akut sederhana (SAPS) II. Analisa regresi logistik dilakukan dengan medcalc
versi 10 (perangkat lunak medcalc, meriakerk, belgIA) menunjukan bahwa daerah
dibawah kurva karakteristik penerima operasi (AUC) adalah 0,828. Hasil penelitian
menunjukan bahwa EMTRAS akurat meramalkan kematian dan pengetahuan anatomi
tempat cedera tidak sangat diperlukan.

1.2 Rumusan Masalah

a. Apakah Yang Dimaksud Dengan Definisi Trauma?


b. Sebutkan macam macam-macam trauma!
c. Sebutkan penyebab dari trauma!
d. Apa Saja Manajemen Trauma?
e. Bagaimana Primary Survey And Resucitation?
f. Bagaimana Secondary Survey?
g. Apakah Yang Dimaksud EMTRAS atau Emergency Trauma Score?

1.3 Tujuan Masalah


a. Untuk Mengetahui Apa Yang Dimaksud Dengan Definisi Trauma
b. Untuk mengetahui macam-macam truma
c. Untuk mengetahui penyebab trauma
d. Untuk Mengetahui Apa Saja Manajemen Trauma
e. Untuk Mengetahui Bagaimana Primary Survey And Resucitation
f. Untuk Mengetahui Bagaiman Secondary Survey
g. Untuk Mengetahui Apa Yang Dimaksud Dengan EMTRAS atau Emergency Trauma
Score
1.4 Manfaat Makalah

Secara teoritis makalah ini bermanfaat untuk menambah wawasan tentang materi

Manfaat praktis :

1. Bagi mahasiswa
Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami mengenaiPengkajian
Scoring Pada Pasien Dewasa.

2. Bagi dosen
Dosen dapat menilai kinerja mahasiswa dalam pembuatan makalah
khususnya tentang materiPengkajian Scoring Pada Pasien Dewasa, serta dosen
dapat memberikan materi bukan hanya dengan teori tetapi juga dengan pemecahan
masalah yang di tuangkan dalam bentuk makalah.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Trauma

Trauma merupakan suatu keadaan dimana seseorang mengalami cedera oleh


salah satu sebab. Penyebab yang paling sering adalah kecelakaan lalu lintas, kecelakaan
kerja, olah raga dan rumah tangga. Di Indonesia kematian akibat kecelakaan lalu lintas
lebih kurang 12 ribu per tahun.Banyak dari korban trauma tersebut mengalami cedera
musculoskeletal berupa fraktur, dislokasi, dan cedera jaringan lunak. Cedera system
musculoskeletal cenderung meningkat dan terus meningkat dan akan mengancam
kehidupan kita. (Rasjad C,2003)

Multipel trauma adalah istilah medis yang menggambarkan kondisi seseorang


yang telah mengalami beberapa luka traumatis, seperti cedera kepala serius selain luka
bakar yang serius. Multipel trauma atau politrauma adalah apabila terdapat 2 atau lebih
kecederaan secara fisikal pada regio atau organ tertentu, dimana salah satunya bisa
menyebabkan kematian dan memberi dampak pada fisik, kognitif, psikologik atau
kelainan psikososial dan disabilitas fungsional (Lamichhane P, et al., 2011).Multipel
trauma atau politrauma adalah suatu istilah yang biasa digunakan untuk menggambarkan
pasien yang mengalami suatu cedera berat yang diikuti dengan cedera yang lain, misalnya
dua atau lebih cedera berat yang dialami pada minimal dua area tubuh. Kondisi yang
penting dalam menggambarkan penggunaan istilah ini adalah pada keadaan trauma yang
bisa disertai dengan shock dan atau perdarahan serta keadaan yang dapat membahayakan
jiwa seseorang (Kroupa J, 1990). Beberapa penelitian terdahulu, diantaranya Border dan
kawan-kawan mendefinisikan multipel trauma adalah cedera yang cukup signifikan
mengenai dua atau lebih regio tubuh. Tscherne dan kawan-kawan mengatakan multipel
trauma adalah dua atau lebih cedera berat dengan salah satunya atau semuanya dapat
mengancam jiwa. Beberapa penulis mendefinisikan multipel trauma menggunakan
pengukuran yang lebih objektif yaitu dengan menggunakan scoring Injury Severity Score (
ISS ), dimana dikatakan multipel trauma bila nilai ISS 15 sampai 26 atau lebih besar
(Nerida E, et al, 2013).
Kematian yang disebabkan oleh trauma itu secara klasik memiliki 3 penyebaran,
yang berhubungan antara waktu kejadian dengan penanganan efektif yang dilakukan
untuk mengatasi mortalitas :

1. Immediate deaths ( kematian yang segera ) (Sobrino J, 2013) Immaediate deaths


adalah pasien meninggal oleh karena trauma sebelum sampai ke rumah sakit.Sebagai
contoh trauma kepala berat, atau trauma spinal cord.Hanya sedikit dari pasien ini yang
dapat hidup sampai ke rumah sakit, karena berkisar 60% dari kasus ini pasien
meninggal bersamaan dengan saat kejadian.
2. Early deaths (Sobrino J, 2013)Early deaths adalah pasien meninggal beberapa jam
pertama setelah trauma.Sebagian disebabkan oleh perdarahan organ dalam dan
sebagian lagi disebabkan oleh trauma sistem saraf pusat.Hampir semua kasus pada
trauma ini potensial dapat ditangani dengan segera. Pada umumnya setiap kasus
membutuhkan pertolongan dan perawatan definitif yang sesuai di pusat
trauma.Khususnya pada institusi yang dapat melakukan resusitasi segera,identifikasi
trauma, dan sarana pelayanan operasi selama 24 jam.
3. Late deaths (Sobrino J, 2013)Late death adalah pasien meninggal beberapa hari atau
minggu setelah trauma.Prevalensi kematian kasus trauma yang terjadi pada periode
ini sebesar 10%-20%. Mayoritas kematian pada periode ini disebabkan oleh karena
infeksi dan kegagalan organ multipel. Trauma kepala paling banyak dicatat pada
pasien trauma multipel dengan kombinasi dari kondisi yang cacat seperti amputasi,
kelainan pendengaran dan penglihatan, post-traumatic stress syndrome dan kondisi
kelainan jiwa yang lain. Trauma toraks merupakan salah satu penyebab kematian pada
trauma. Banyak penderita meninggal setibanya di rumah sakit, dan banyak kematian
dapat dicegah diantaranya dengan penilaian awal pasien trauma. Penyebab kematian
pada trauma toraks dapat terjadi pada dua keadaan yaitu primary survey dan
secondary Survey. (ACS, 2008)

2.2 Jenis Jenis Trauma

a. Trauma Tumpul

Penyebab terbanyak dari trauma tumpul adalah kecelakaan lalu lintas. Misalnya pada
tabrakan mobil, maka penderita yang berada didalam mobil akan mengalami beberapa
benturan (collision)
 Primary Collision
Terjadi pada saat mobil baru menabrak, dan penderita masih berada pada posisi
masingmasing. Tabrakan dapat terjadi dengan cara :
 Tabrakan depan (frontal)
 Tabrakan samping (T-Bone)
 Tabrakan dari belakang
 Terbalik (roll over)
 Secondary Collision
Setelah terjadi tabrakan penderita menabrak bagian dalam mobil (atau sabuk
pengaman). Perlukaan yang mungkin timbul akibat benturan akan sangat
tergantung dari arah tabrakan.
 Tertianr Collision
Setelah penderita menabrak bagian dalam mobil, organ yang berada dalam
rongga tubuh akan melaju kearah depan dan mungkin akan mengalami perlukaan
langsung rongga tubuh tersebut.
 Subsidary Collİsİon
Penumpang mobil yang mengalami tabrakan terpental kedepan atau keluar darİ
mobil. Selain İtü barang- barang yang berada dalam mobil turut terpentan dan
menambah cedera pada penderita.
Akibat dari kecelakaan bisa berupa fraktur dan dislokasi,cedera servikal,
gangguan struktural aserta gangguan fungsional sementara atau menetap pada otak

b. Trauma ledakan (Blast Injury)

 Ledakan terjadi sebagai hasilperubahan yang sangat cepat dari suatu bahan dengan
volume yang relatif kecil, baik padat, cairan atau gas, menjadi produk-produk gas.
 Cepat berkembang dan menempati suatu volume yang jauh lebih besar dari pada
volume bahan aslinya.
 Hasil dari efek langsung gelombang tekanan.
 timpani = paling peka terhadap efek primer ledak dan mungkin mengalami ruptur.
 Jaringan paru = kontusi, edema dan rupture yang dapat menghasilkan
pneumothoraks.
 Ruptur alveoli dan vena pulmonaris dapat menyebabkan emboli udara dan
kemudian kematian mendadak.
 Pendarahan intraokuler dan ablasio retina Ruptur intestinal.

Merupakan hasil dari objek-objek yang melayang dan kemudian menmbentur


orang disekitarnya. Terjadi bila orang disekitar ledakan terlempar dan
kemudiannmembentur suatu objek atau tanah. Trauma ledak sekuder dan tertier
dapat mengakibatkan trauma baik tembus maupun tumpul secara bersamaan.

c. Trauma Tembus (Penetrating Injury) :

 Dengan senjata energi rendah


 Dengan senjata energi sedang
 Dengan senjata energi tinggi

2.3 Penyebab Trauma

Penyebab dari trauma anatara lain:

a. Terjatuh
b. Kecelakaan
c. Trauma akibat benda tumpul pada kepala atau bagian tubuh lainnya
d. Luka bakar
e. Luka tusuk

Apabila mengalami cedera yang parah, organ tubuh biasanya akan berhenti
bekerja . hal ini merupakan mekanisme alami tubuh untuk proses penyembuhan, namun
adanya faktor lain seperti pendarahan dapat mempersulit penyembuhan sehingga harus
segera diberikan diberikan pertolongan medis.

2.4 Penatalaksanaan

Manajemen cedera diprioritaskan untuk mengobati cedera yang mengancam


nyawa terlebih dahulu, mengikuti urutan ABCDE. Pengecualian ini adalah korban yang
menderita perdarahan perifer. Hal ini telah menyebabkan pengembangan dari urutan
CABC, di mana C merupakan singkatan untuk bencana perdarahan (Hodgetts, 2002).
Mengancam jiwa, perdarahan eksternal dikendalikan, maka urutan ABC yang biasa
diikuti.
Pada korban dengan obstruksi jalan napas dalam beberapa menit, mengamankan
jalan napas pasien selalu menjadi prioritas. Setelah jalan napas terbuka, korban harus
diberi oksigen dan dipasang ventilasi jika napas tidak memadai (ATLS, 2004).

Selama manajemen berlangsung, asumsi selalu dibuat dimana kerusakan servikal


dan tulang belakang lumbal thoraco mungkin terjadi. Stabilitas tulang belakang leher
harus dilindungi sampai leher dijamin bebas dari risiko cedera (Hodgetts, 2006).

a. Airway
Napas dibuka awalnya dengan 'manuver tangan' angkat dagu dan dorong rahang,
kepala tidak boleh dimanipulasi dan harus dalam posisi netral. Jika darah, air liur atau
muntah ada dalam napas, suction harus digunakan. Jika 'tangan kosong' teknik yang
tidak memadai, saluran udara orofaringeal atau nasofaring (NP) jalan napas harus hati-
hati ditempatkan untuk mencegah aspek posterior lidah menghalangi faring. NP
saluran udara sangat berguna bagi korban dalam menghalangi saluran udara yang
dipertahankan dari gag refleks untuk menahan orofaringeal, namun mereka harus
digunakan hati-hati pada korban dengan patah tulang tengkorak basal dengan klinis
jelas. Jika manuver ini tidak berhasil, ada perangkat seperti LaringealMask Airway
(LMA), yang dapat dimasukkan ke dalam situasi sulit (Hodgetts, 2002).

Definitif nafas securement dengan intubasi atau krikotiroidotomi sangat sulit


dalam korban terjebak. Tanpa penggunaan obat bius dan otot relaksan, korban hanya
dapat diintubasi.

b. Breathing
Setelah jalan napas dibuka dan aman, penilaian pernapasan korban dibuat. Jika
bernapas baik, oksigen diberikan dengan laju alir 5 L/menit. Jika ada keraguan bahwa
pernapasan tidak memadai, maka ventilasi harus didukung dengan bag-valve-mask
(BVM). Ini harus memiliki reservoir yang melekat dengan oksigen mengalir dari 15
L/menit. Kecukupan oksigenasi harus dinilai oleh penilaian klinis seperti warna bibir
untuk mendeteksi sianosis, atau menggunakan pulse oksimetri. Kecukupan ventilasi
dapat dinilai oleh penilaian klinis ekspansi dada dan suara napas, atau penggunaan
elektronik end tidal karbon dioksida (EtCO2) monitor (Clasper, 2004).

Tidak adanya bunyi nafas menunjukkan pneumothoraks atau hemothoraks.


Sebuah pneumothoraks harus diperbaiki secepatnya karena merupakan cedera yang
mengancam jiwa, dan harus segera didekompresi dengan jarum besar (14 gauge)
kanula intravena melalui interkostal kedua di garis mid – clavicularis pada sela iga V-
VI.

Open atau Sucking pneumothoraks harus ditutup dengan plester pada tiga sisi-
sisi keempat terbuka untuk mencegah tension pneumotoraks berkembang. Ventilasi
tekanan positif kemungkinan untuk mempercepat konversi tension pneumothoraks
menjadi pneumothorax sederhana. Jika korban yang diintubasi dan berventilasi, dan
pneumothoraks dicurigai, simple thoracostomy dibuat di ruang intercostal 5, anterior
garis mid-clavikularis. Hal ini memungkinkan tension pneumothoraks untuk di
dekompresi.

c. Circulation
Perdarahan eksternal dikendalikan terutama oleh tekanan langsung dengan
dressing, dan anggota tubuh di elevasi jika memungkinkan. Metode lain
yangdigunakan adalah penggunaan tourniquet, dressintag hemostatik juga dapat
digunakan pada setiap tahap (Hodgetts, 2002).

Torniket tidak dianjurkan dalam perawatan pra-rumah sakit, karena signifikan


menimbulkan risiko komplikasi serius. Tidak tepat diterapkan torniket dalam
perdarahan karena hasil di distal ekstremitas menjadi iskemia, dan menyebabkan
kerusakan tekanan langsung pada kulit, otot dan saraf. Namun, dengan cedera
ekstremitas dapat mengakibatkan perdarahan (Hodgetts, 2006).

Shock cenderung merupakan hasil dari perdarahan yang tidak terkendali


baikeksternal atau ke internal (dada, perut, panggul, dan beberapa tulang panjang).
Kehilangan cardiac output juga dapat disebabkan oleh tension pneumothorax atau
tamponade jantung. Tamponade jantung paling sering dikaitkan dengan trauma
tembus dada pada garis putting anterior atau scapula posterior.

Shock berat menyebabkan aktivitas listrik pulseless (PEA) atau henti jantung
asystolic merupakan indikasi untuk thoracostomy bilateral dan atau pembukaan clam-
shell dada.

Resusitasi adalah usaha dalam memberikan ventilasi yang adekuat, pemberian


oksigen dan curah jantung yang cukup untuk menyalurkan oksigen kepada otak,
jantung dan alat-alat vital lainnya. Ini adalah prosedur darurat menyelamatkan nyawa
yang dilakukan ketika pernapasan seseorang atau detak jantung telah berhenti. Hal ini
mungkin terjadi setelah sengatan listrik, serangan jantung, atau tenggelam(Hazinski
MF, Samson R, Schexnayder S. 2010). Berdasarkan Advanced Trauma Life Support,
Dosis awal pemberian cairan kristaloid adalah 1000-2000 ml pada dewasa dan 20
mL/kg pada anak dengan tetesan cepat. Pemberian cairan selanjutnya berdasarkan
respon terhadap pemberian cairan awal:

a) Respon cepat
 Pemberian cairan diperlambat sampai kecepatan maintenance
 Tidak ada indikasi bolus cairan tambahan yang lain atau pemberian
darah
 Pemeriksaan darah dan cross-match tetap dikerjakan
 Konsultasikan pada ahli bedah karena intervensi operatif mungkin
masih diperlukan
b) Respon sementara
 Pemberian cairan tetap dilanjutkan, ditambah dengan pemberian darah
 Respon terhadap pemberian darah menentukan tindakan operatif
 Konsultasikan pada ahli bedah
c) Tanpa respon
 Konsultasikan pada ahli bedah
 Perlu tindakan operatif sangat segera
 Waspadai kemungkinan syok non hemoragik seperti tamponade jantung atau
kontusio miokard
 Pemasangan CVP dapat membedakan keduanya (ATLS, 2008)

Konsep laparotomi damage control untuk resusitasi pasien dengan trauma


berat mulai dikembangkan pada tahun 1983 oleh Stone dan kawan-kawan di Grady
Memorial Hospital A.S.terbukti berhasil menurunkan kematian akibat perdarahan
massif yang mulai mengalami koagulopati. Moore dan kawan-kawan pada tahun
1993 mengembangkan teknik laparotomi bertingkat sebagai usaha damage control
pada pasien perdarahan masif yang akan mengalami asidosis metabolik,
hipotermia, dankoagulopati progresif yang disebut trias kematian atau lingkaran
setan perdarahan massif. Rotondo dan kawan-kawan pada tahun 1993 kemudian
menamakannya sebagai laparotomi damage kontrol.

Operasi damage kontrol adalah operasi yang terbatas, singkat dan bertahap
sebagai bagian dari usaha penyelamatan jiwa atau resusitasi pada pasien dengan
syok hemorragik berat yang telah atau akan mengalami gangguan metabolik pre
operatif ataupun intraoperatif yang akan menyebabkan kematian dikamar bedah
atau setelah di ICU. Ada tiga tahap damage kontrol :

 Tahap I : Operasi singkat dan terbatas dikamar bedah sebagai bagian dari
resusitasi, untuk menghentikan perdarahan dan mencegah kontaminasi,
termasuk :
- Menghentikan segera perdarahan luka jantung atau paru
- Packing perdarahan organ solid, dengan tindakan minimal
- Packing rongga badan yang berdarah bila telah terjadi koagulopati (non
surgical bleeding)
- Reseksi bagian saluran pencernaan yang rusak berat tanpa reanastomosis.
Ujung-ujung saluran cerna yang terbuka ditutup cepat dengan klip kulit, tali
umbilikal atau jahitan jelujur. Hindari pembuatan kolostomi karena akan
membuang waktu.
- Luka operasi pada leher, torakotomi, laparotomi atau pada tempat eksplorasi
ekstremitas kulitnya tidak usah ditutup.
 Tahap II : Melanjutkan resusitasi di icu, termasuk :
- Mengatasi hipotermi (rewarming)
- Menstabilkan fungsi kardiovaskuler dengan infus cairan, PRC, inotropik
- Mengatasi koagulopati kalau kalau masih ada, dan hanya akan berhasil baik
bila hipotermia telah diatasi.
- Memperbaiki gagal paru dan ginjal.
 Tahap III :
- Re operasi atau operasi definitif kalau mungkin
- Apakah ada cedera lain yang terlewati diagnosisnya, kalau ada segera atasi.
- Luka insisi operasi laparotomi, torakotomi, dan luka eksplorasi ditutup
kembali bila keadaan telah memungkinkan (Warko karnadiharja, DSTC,
2010)
Primary survey and resucitation

Setelah setiap tahap dalam ABC selesai, korban dievaluasi kembali untuk menilai
kerusakan atau perbaikan. Pada saat penyelesaian penilaian pernapasan, jalan napas
diperiksa ulang dan jalan napas dan pernapasan ulang sebelum pindah ke sirkulasi.

A - Airway dan kontrol tulang belakang leher.

Ada dua teknik untuk ini :

1. Manual, in-line imobilisasi.


2. Cervical collar (Earlam, 1997). B – Breathing
Segera setelah jalan napas dijamin, dada harus terbuka dan diperiksa dengan melihat,
mendengar dan merasakan. Trakea adalah teraba dalam kedudukan supra sternal untuk
mendeteksi penyimpangan yang disebabkan oleh tension pneumothorax, dan dada
percussed untuk hiper - resonansi tension pneumothorax atau hemothorax.

C - Circulation

Kontrol perdarahan, sirkulasi dinilai dengan mencari perdarahan eksternal dan


terlihat tanda-tanda syok seperti pucat, dan penurunan tingkat kesadaran. Pada jantung,
dilakukan auskultasi untuk mendeteksi jantung tamponade, dan perfusi rendah dinilai
dengan meraba berkeringat dan mendinginkan kulit. Nadi perifer dan sentral nadi teraba
untuk mendeteksi tachycardia. Perdarahan eksternal dikendalikan oleh tekanan, dan dua
14-gauge kanula digunakan untuk pemberian cairan dan darah.

2.5 Secondary Survey

Survei sekunder adalah pemeriksaan secara rinci, evaluasi head-to-toe untuk


mengidentifikasi semua cedera yang tidak dijumpai di primary survey. Ini terjadi setelah
survey primer selesai, jika pasien cukup stabil dan tidak membutuhkan perawata definitif
(JRCALC, 2008). Pentingnya survei sekunder adalah bahwa luka ringan dapat ditemukan
selama survei primer dan resusitasi, tapi menyebabkan jangka panjang morbiditas jika
diabaikan, misalnya dislokasi sendi kecil. Komponen dari survei sekunder adalah:

1. Riwayat cedera
2. Pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaan neurologis
4. Tes diagnostik lebih lanjut
5. Evaluasi ulang

2.6 EMTRAS atau Emergency Trauma Score

1. Pengertian
Skor trauma yang dikembangkan untuk memudahkan penggunaan parameter
sederhana yang dapat digunakan dalam waktu 30 menit.parameter tersebut terdiri dari
4 parameter yakni usia pasien, glasgow coma scale, penyakit penyerta dan kadar
prothrobin time (PT). Parameter yang dipilih diberikan berbagai nilai pada masing-
masing butir dari 0 sampai 3. Nilai EMTRAS adalah penambahan nilai sederhana dari
setiap item
2. Latar Belakang

Baru baru ini raum dan rekannya menghasilkan dan mevalidasi skor trauma baru
( skor trauma darurat EMTRAS). 3.314 pasien trauma dirawat di pusat trauma rujukan
regional dipelajari. Nilai prediktif skor EMTRAS dibandingkan dengan skor keparahan
cidera (ISS), skor trauma direvisi (RTS), skor keparahan cedera trauma (TRISS) dan skor
fisiologi akut sederhana (SAPS) II. Analisa regresi logistik dilakukan dengan medcalc
versi 10 (perangkat lunak medcalc, meriakerk, belgIA) menunjukan bahwa daerah
dibawah kurva karakteristik penerima operasi (AUC) adalah 0,828. Hasil penelitian
menunjukan bahwa EMTRAS akurat meramalkan kematian dan pengetahuan anatomi
tempat cedera tidak sangat diperlukan

3. Indikasi
 Memperkirakan resiko kematian pasien dengan luka serius lebih awal
 Memperkirakan tingkat keparahan kondisi pasien dengan trauma trauma darurat

4. Kelebihan
 digunakan dalam waktu 30 menit
 mengetahui tingkat keparahan pada tahap awal.
 Tidak memerlukan pengetahuan anatomi tempat cidera
 Mempermudah memprediksi kematian
5. Kekurangan
 Masih baru
 Tidak spesifik karena tidak memerlukan anatomi tempat cidera

6. intepretasi

Emtras Score Patients Mortality %


0 8 0
1 57 5.2
2 48 8.3
3 60 3.3
4 57 3.5
5 41 17
6 30 20
7 11 54.6
8 5 40
9 4 25
10 2 50
11 1 100

Skor terendah mulai dari 0-1 berarti resiko kematian sangat rendah, jika skor diatas 8
maka resiko kematian sangat tinggi.

Penghitungan

Jika diketahui usia 65 dengan total GCS 11, base exces -5 mmol/L dan prothrombin
time 50%, Maka

Usia 65 = 2

GCS = 1

Base excase = 1

PT = 1
Jumlah skor 5 maka resiko kematian 17 % masih rendah.

7. instrumen

Variable Category EMTRAS scoring weight


Age <40 0
41-60 1
61-75 2
>75 3
Glasgow coma scale 13-15 0
10-12 1
6-9 2
3-5 3
Base excess, mmol/L >-1 0
-1 to -5 1
-5.1 to -10 2
<-10 3
PROTHROMBIN >80 0
TIME (%) 50-80 1
20-49 2
<20 3

Fungsi Respon skor


MATA (4) Buka spontan 4
Buka diperintah 3
Buka dengan rangsangan 2
nyeri 1
Tidak ada respons
BICARA (5) Normal 5
Bingung 4
Kata-kata kacau 3
Suara tak menentu 2
Diam 1
MOTORIK (6) Dapat diperintah 6
Dapat menunjuk tempat nyeri 5
Fleksi normal terhadap nyeri 4
Fleksi abnormal terhadap 3
nyeri 2
Ekstensi terhadap nyeri 1
Tak ada respon

PT, pemeriksaan yang dilakukan utuk melihat gangguan faktor pembekuan darah pada jalur
ekstrinsik dan jalur bersama: faktor I (fibrinogen), faktor II (prothrombin), faktor V
(proakselerin), faktor VII (prokonvertin), dan faktor X (faktor stuart).

Base excess bisa dilakukan dengan analisa gas darah


BAB III

PENUTUP

1.1 Kesimpulan
Trauma merupakan suatu keadaan dimana seseorang mengalami cedera oleh salah
satu sebab. Penyebab yang paling sering adalah kecelakaan lalu lintas, kecelakaan
kerja, olah raga dan rumah tangga.
Penyebab dari trauma anatara lain: Terjatuh, Kecelakaan, Trauma akibat benda
tumpul pada kepala atau bagian tubuh lainnya, Luka bakar, dan Luka tusuk.
Skor trauma yang dikembangkan untuk memudahkan penggunaan parameter
sederhana yang dapat digunakan dalam waktu 30 menit.parameter tersebut terdiri dari
4 parameter yakni usia pasien, glasgow coma scale, penyakit penyerta dan kadar
prothrobin time (PT). Parameter yang dipilih diberikan berbagai nilai pada masing-
masing butir dari 0 sampai 3.

1.2 Saran
1. Diharapkan penulis mampu memahami dan menerapkan dari penilaian trauma yang
telah dijelaskan pada makalah

2. Diharapkan hasil penulisan makalah ini bisa dijadikan sebagai bahan bacaan.
DAFTAR PUSTAKA

Alencar CD, Performance Of Trauma And Injury Severity Score (TRISS) Adjustments:
An Integrative Review. Comite De Trauma Brasileiro, 2015.

Celcilia, Gambaran Skor Trauma Pada Pasien Di Ugd Rsud Dr Soedarso Pontianak
Menggunakan Revised Trauma Score (RTS) Periode Tahun 2012, Naskah Publikasi, Fakultas
Kedokteran Universitas Tanjungpura, Pontianak; 2015.

Khayat NH, Sharifipoor H, Rezaei MA, Mohammadinia N, Darban F, Correlation Of


Revised Trauma Score With Mortality Rate Of Traumatic Patientswithin The First 24 Hours Of
Hospitalization Zahedan J of Research In M Sci, 2014.

Joose P, de jong WJ, reitsma JB, et, al. External validation of the emergency trauma
score for early prediction of mortality in trauma patients. Crit Care Med. 2014.

Nanda R, Prabisma D, Marshal. Gambaran penatalaksanaan trauma toraks di RSUP H.


Adam Malik Medan. Tesis. Departemen Ilmu Bedah, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara, RSUP H. Adam Malik.; 2015

Raum MR, nitjsten MW, vogelzang M, et al. Emergency trauma score : an instrument
for early estimation of trauma severity. Crit care med. 2009.

Salim C. Sistem Penilaian Trauma, CDK-232/ vol. 42 no. 9, th. 2015

Anda mungkin juga menyukai