Anda di halaman 1dari 30

Lab/SMF Ilmu Kesehatan Mata Tutorial Klinik

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman


RSUD Abdul Wahab Sjahranie

PTERYGIUM GRADE III OKULI DEXTRA

Disusun Oleh:
Khoirunnisa
Sizigia H Utami

Pembimbing:
dr. Manfred.H, Sp.M

Laboratorium/SMF Ilmu Kesehatan Mata


Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
RSUD AW Sjahranie Samarinda
Tahun 2013
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pterygium adalah suatu jaringan yang berbentuk segitiga atau sayap pada
permukaan basement membrane sebagai akibat dari pertumbuhan epitel limbus
yang masuk ke kornea secara sentripetal. Proliferasi tersebut diikuti dengan
terjadinya hiperplasia dari epitel konjungtiva, proliferatif, gambaran inflamasi,
serta kaya pembuluh darah. Gambaran histologi dari pertumbuhan berlebihan
pterygium adalah terdapatnya proliferasi fibrovaskular berlebihan, degradasi
membran basal, dan invasi stroma kornea oleh jaringan fibrovaskular.1,2
Etiologi pterygium bersifat multifaktorial, dapat berupa paparan sinar
matahari, debu, ataupun udara kering. Faktor resiko untuk terjadinya pterygium
telah dievaluasi di berbagai tempat di dunia dan memberikan bukti bahwa
komponen genetik, mekanisme anti apoptosis, sitokin, faktor pertumbuhan, faktor
angiogenik, ekstraseluler matrix remodeling, mekanisme imunologik, dan infeksi
virus memiliki pernanan terhadap terbentuknya pterygium. 3
Distribusi pterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di
daerah iklim panas dan kering yang merupakan karakteristik dari daerah
periequator. “Sabuk pterygium” merupakan daerah dengan prevalensi pterygium
yang tinggi, terletak pada daerah lintang 370 utara dan selatan equator. Menurut
Tan et al. beberapa penelitian menunjukkan prevalensi yang meningkat sesuai
umur. 3
Berdasarkan hasil survei nasional pada tahun 1993-1996 mengenai angka
kesakitan mata di 8 provinsi di Indonesia, diketahui bahwa pterygium terletak
pada urutan kedua penyakit mata terbanyak di Indonesia dengan angka prevalensi
sebesar 13,9%. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Gazzard di
Indonesia,ditemukan bahwa angka prevalensi tertinggi ditemukan di Provinsi
Sumatra. sedangkan, dari survei kesehatan indra penglihatan dan pendengaran
tahun 1995, prevalensi pterygium merupakan urutan pertama pada penyakit mata
tersering di Sulawesi Utara dengan angka prevalensi 17,9%. Mandang pun
menemukan kasus pterygium sebanyak 14,69% khususnya di 19 desa dan

2
sebanyak 17,50% di tiga ibukota kecamatan Kabupaten Minahasa. Angka tersebut
menempatkan pterygium sebagai penyakit mata nomor tiga sesudah kelainan
refraksi dan penyakit infeksi mata bagian luar. Hasil yang lebih detail dilaporkan
oleh Bustani dan Mangindaan. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa
sebanyak 21,35% kasus pterygium di dua desa Kabupaten Minahasa Utara dengan
persebaran pria sebanyak 12,92% dan wanita sebanyak 8,43%.3

3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI KONJUNGTIVA

Konjungtiva merupakan membran mukosa yang transparan dan tipis yang


membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan
permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan
dengan kulit pada tepi palpebra (suatu sambungan mukokutan) dan dengan epitel
kornea dilimbus.4
Sesuai dengan namanya, konjungtiva menghubungkan antara bola mata
dan kelopak mata. Dari kelopak mata bagian dalam, konjungtiva terlipat ke bola
mata baik dibagian atas maupun bawah. Refleksi atau lipatan ini disebut dengan
forniks superior dan inferior. Forniks superior terletak 8-10 mm dari limbus
sedangkan forniks inferior terletak 8 mm dari limbus. Lipatan tersebut
membentuk ruang potensial yang disebut dengan sakkus konjungtiva, yang
bermuara melalui fissura palpebra antara kelopak mata superior dan inferior. Pada
bagian medial konjungtiva, tidak ditemukan forniks, tetapi dapat ditemukan
karunkula dan plika semilunaris yang penting dalam sistem lakrimal. Pada bagian
lateral, forniks bersifat lebih dalam hingga 14 mm dari limbus.5
Secara anatomi, konjungtiva terdiri atas 3 bagian:5,6
1. Konjungtiva Palpebra
Mulai pada mucocutaneus junction yang terletak pada bagian posterior
kelopak mata yaitu daerah dimana epidermis bertransformasi menjadi
konjungtiva. Dari titik ini, konjungtiva melapisi erat permukaan dalam kelopak
mata. Konjungtiva palpebra dapat dibagi lagi menjadi zona marginal, tarsal, dan
orbital. Konjungtiva marginal dimulai pada mucocutaneus junction hingga
konjungtiva proper. Punktum bermuara pada sisi medial dari zona marginal
konjungtiva palpebra sehingga terbentuk komunikasi antara konjungtiva dengan
sistem lakrimal. Kemudian zona tarsal konjungtiva merupakan bagian dari
konjungtiva palpebralis yang melekat erat pada tarsus. Zona ini bersifat sangat
vaskuler dan translusen. Zona terakhir adalah zona orbital, yang mulai dari ujung
perifer tarsus hingga forniks. Pergerakan bola mata menyebabkan perlipatan

4
horisontal konjungtiva orbital, terutama jika mata terbuka. Secara fungsional,
konjungtiva palpebra merupakan daerah dimana reaksi patologis bisa ditemui.
2. Konjungtiva Bulbi
Menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera dibawahnya.
Konjungtiva bulbi dimulai dari forniks ke limbus, dan bersifat sangat translusen
sehingga sklera dibawahnya dapat divisualisasikan. Konjungtiva bulbi melekat
longgar dengan sklera melalui jaringan alveolar, yang memungkinkan mata
bergerak ke segala arah. Konjungtiva bulbi juga melekat pada tendon muskuler
rektus yang tertutup oleh kapsula tenon. Sekitar 3 mm dari limbus, konjungtiva
bulbi menyatu dengan kapsula tenon dan sklera.
3. Konjungtiva Forniks
Merupkan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi.
Lain halnya dengan konjungtiva palpebra yang melekat erat pada struktur
sekitarnya konjungtiva forniks ini melekat secara longgar dengan struktur di
bawahnya yaitu fasia muskulus levator palpebra superior serta muskulus rektus.
Karena perlekatannya bersifat longgar, maka konjungtiva forniks dapat bergerak
bebas bersama bola mata ketika otot-otot tersebut berkontraksi.

Gambar 1. Konjugtiva8

Konjungtiva di vaskularisasi oleh arteri ciliaris anterior dan arteri


palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis dengan bebas dan bersama banyak

5
vena konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaring-
jaring vaskuler konjungtiva yang sangat banyak. Pembuluh limfe konjungtiva
tersusun didalam lapisan superfisial dan profundus dan bergabung dengan
pembuluh lemfe palpebra membentuk pleksus limfatikus. Konjungtiva menerima
persarafan dari percabangan nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus. Saraf ini
memiliki serabut nyeri yang relatif sedikit.4
Secara histologis konjungtiva terdiri atas epitel dan stroma. Lapisan epitel
konjungtiva terdir atas 2-5 lapisan sel epitel silindris bertingkat, superfisial dan
basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus, diatas caruncula, dan di dekat
persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri atas sel-sel epitel
skuamous bertingkat. Sel-sel superfisial mengandung sel-sel goblet bulat dan oval
yang mensekresi mukus. Mukus yang terbentuk mendorong inti sel goblet ke tepi
dan diperlukan untuk dispersi lapisan air mata prakornea secara merata. Sel-sel
epitel basal berwarna lebih pekat dibandingkan sel-sel superfisial dan di dekat
limbus dapat mengandung pigmen. Lapisan stroma di bagi menjadi 2 lapisan yaitu
lapisan adenoid dan lapisan fibrosa. Lapisan adenoid mengandung jaringan
limfoid dan di beberapa tempat dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa
sentrum germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi
berumur 2-3 bulan. Hal ini menjelaskan konjungtivitis inklusi pada nenonatus
bersifat papilar bukan folikular dan mengapa kemudian menjadi folikular. Lapisan
fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada lempeng tarsus.
Hal ini menjelaskan gambaran reaksi papilar pada radang konjungtiva. Lapisan
fibrosa tersusun longgar pada bola mata. Kelenjar lakrimal aksesorius (kelenjar
krause dan wolfring), yang struktur fungsinya mirip kelenjar lakrimal terletak di
dalam stroma. Sebagian besar kelenjar krause berada di forniks atas, sisanya di
forniks bawah. Kelenjar wolfring terletak di tepi tarsus atas.5
2.2 PTERYGIUM
2.2.1 Definisi
Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang
bersifat invasif dan degeneratif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah
kelopak bagian nasal maupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah

6
kornea. Pterygium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di
daerah kornea dan basis menghadap lipatan semilunar pada cantus.7
Asal kata pterygium dari bahasa Yunani, yaitu pteron yang artinya wing
atau sayap. Hal ini mengacu pada pertumbuhan pterygium yang berbentuk sayap
pada konjungtiva bulbi.8

Gambar 2. Mata dengan pterygium 21


2.2.2 Epidemiologi
Pterigium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim
panas dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Faktor
yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat dengan ekuator yaitu daerah <370
lintang utara dan selatan dari ekuator. Prevalensi tinggi sampai 22 % di daerah
dekat ekuator dan <2 % pada daerah di atas lintang 400.16
Di Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung pada
lokasi geografisnya. Di daratan Amerika serikat, Prevalensinya berkisar kurang
dari 2% untuk daerah di atas 40o lintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis
lintang 28-36o. Sebuah hubungan terdapat antara peningkatan prevalensi dan
daerah yang terkena paparan ultraviolet lebih tinggi di bawah garis lintang.
Sehingga dapat disimpulkan penurunan angka kejadian di lintang atas dan
peningkatan relatif angka kejadian di lintang bawah.Pasien di bawah umur 15
tahun jarang terjadi pterigium. Prevalensi pterigium meningkat dengan umur,
terutama dekade ke 2 dan 3 kehidupan. Insiden tinggi pada umur antara 20-49
tahun. Pterigium rekuren sering terjadi pada umur muda dibandingkan dengan
umur tua. Laki-laki 4 kali lebih berisiko daripada perempuan dan berhubungan
dengan merokok, pendidikan rendah dan riwayat paparan lingkungan di luar
rumah.16,17

7
2.2.3 Faktor Resiko
Faktor resiko yang mempengaruhi munculnya pterygium antara lain ialah :
1. Usia
Prevalensi pterygium meningkat dengan pertambahan usia, banyak
ditemui pada usia dewasa tetapi dapat juga ditemui pada usia anak-anak.
Pterygium terbanyak pada usia dekade kedua dan ketiga.
2. Pekerjaan
Pertumbuhan pterygium berhubungan dengan paparan yang sering dengan
sinar ultraviolet. Sinar ultraviolet diabsorbsi oleh kornea dan konjungtiva
yang kemudian akan mengakibatkan kerusakan sel dan proliferasi sel.
Letak lintang, waktu diluar rumah, pengunaan kacamata dan topi juga
meupakan faktor penting yang dapat meningkatkan resiko terjadinya
pterygium.
3. Tempat tinggal
Gambaran yang paling mencolok dari pterygium adalah distribusi
geografisnya. Distribusi ini meliputi seluruh dunia, tapi banyak survei
yang dilakukan setengah abad terakhir menunjukkan bahwa negara di
kahtulistiwa memiliki angka kejadia pterygium yang lebih tinggi. Survei
lain juga menyatakn bahwa orang yang menghabiskan 5 tahun pertama
kehidupannya pada garis lintang kurang dari 300 memiliki resiko
pterygium 36 kali lebih besar dibandingkan didaerah yang lebih selatan.
4. Jenis kelamin
Tidak terdapat perbedaan resiko antara laki-laki dan perempuan.
5. Herediter
Pterygium dipengaruhi faktor herediter yang diturunkan secara autosomal
dominan.
6. Infeksi
Human Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai faktor penyebab
pterygium.

8
7. Faktor resiko lainnya
Kelembaban yang rendah dan mikrotrauma karena partikel-partikel
tertentu seperti asap rokok dan pasir merupakan salah satu faktor resiko
terjadinya pterygium.
2.2.4 Etiologi
Hingga saat ini etiologi pasti pterigium masih belum diketahui secara
pasti. Beberapa faktor resiko pterigium antara lain adalah paparan ultraviolet,
mikro trauma kronis pada mata, infeksi mikroba atau virus. Selain itu beberapa
kondisi kekurangan fungsi lakrimal film baik secara kuantitas maupun kualitas,
konjungtivitis kronis dan defisiensi vitamin A juga berpotensi menimbulkan
pterigium. Selain itu ada juga yang mengatakan bahwa etiologi pterigium
merupakan suatu fenomena iritatif akibat pengeringan dan lingkungan dengan
banyak angin karena sering terdapat pada orang yang sebagian besar hidupnya
berada di lingkungan yang berangin, penuh sinar matahari, berdebu dan berpasir.
Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan pterigium dan
berdasarkan penelitian menunjukkan riwayat keluarga dengan pterigium,
kemungkinan diturunkan autosom dominan.4,16,18,19
2.2.5 Klasifikasi Pterygium
Pterygium dibagi menjadi tiga bagian yaitu 8:
1. Bagian kepala atau cap, biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada kornea
yang kebanyakan terdiri atas fibroblast. Area ini menginvasi dan
menghancurkan lapisan Bowman pada kornea. Garis zat besi (iron
line/Stocker’s line) dapat dilihat pada bagian anterior kepala. Area ini juga
merupakan area kornea yang kering.
2. Bagian whitish.Terletak langsung setelah cap, merupakan sebuah lapisan
vesikuler tipis yang menginvasi kornea seperti halnya kepala.
3. Bagian badan atau ekor, merupakan bagian yang mobile (dapat bergerak),
lembut, merupakan area vesikuler pada konjungtiva bulbi dan merupakan area
paling ujung. Badan ini menjadi tanda khas yang paling penting untuk
dilakukannya koreksi pembedahan
A subepithelial cap atau halo timbul pada tengah apex dan membentuk batas
pinggir pterygium.

9
collum

corpus
apeks

Gambar 3. Bagian Pterigium


Pterigium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan tipe,
stadium, progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera ,
yaitu:
1. Berdasarkan Tipenya pterigium dibagi atas 3 :
- Tipe I : Pterigium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau
menginvasi kornea pada tepinya saja. Lesi meluas < 2 mm dari kornea.
Stocker’s line atau deposit besi dapat dijumpai pada epitel kornea dan
kepala pterigium. Lesi sering asimptomatis, meskipun sering mengalami
inflamasi ringan. Pasien yang memakai lensa kontak dapat mengalami
keluhan lebih cepat.
- Tipe II : di sebut juga pterigium tipe primer advanced atau ptrerigium
rekuren tanpa keterlibatan zona optik. Pada tubuh pterigium sering
nampak kapiler-kapiler yang membesar. Lesi menutupi kornea sampai 4
mm, dapat primer atau rekuren setelah operasi, berpengaruh dengan tear
film dan menimbulkan astigmat.
- Tipe III: Pterigium primer atau rekuren dengan keterlibatan zona optik.
Merupakan bentuk pterigium yang paling berat. Keterlibatan zona optik
membedakan tipe ini dengan yang lain. Lesi mengenai kornea > 4 mm dan
mengganggu aksis visual. Lesi yang luas khususnya pada kasus rekuren
dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke forniks
dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola mata serta kebutaan
2. Berdasarkan derajat pterigium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu:
- Derajat I : jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea

10
- Derajat II : jika pterigium sudah melewati limbus dan belum mencapai
pupil, tidak lebih dari 2 mm melewati kornea.
- Derajat III : jika pterigium sudah melebihi stadium II tetapi tidak melebihi
pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar
3-4 mm).
- Derajat IV : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan.

Gambar 4. Pterigium derajat 1 Gambar 5. Pterigium derajat 2

Gambar 6. Pterigium derajat 3 Gambar 7. Pterigium derajat 4

3. Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterigium dibagi menjadi 2 yaitu:


- Pterigium progresif : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di
kornea di depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium)
- Pterigium regresif : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi bentuk
membran, tetapi tidak pernah hilang.
4. Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterigium dan harus
diperiksa dengan slit lamp pterigium dibagi 3 yaitu:
- T1 (atrofi) : pembuluh darah episkleral jelas terlihat
- T2 (intermediet) : pembuluh darah episkleral sebagian terlihat
- T3 (fleshy, opaque) : pembuluh darah tidak jelas. 16,18
2.2.6 Patogenesis
Etiologi pterygium tidak diketahui dengan jelas. Karena penyakit ini lebih
sering pada orang yang tinggal di daerah beriklim panas, maka gambaran yang

11
paling diterima tentang hal tersebut adalah respon terhadap faktor-faktor
lingkungan seperti paparan terhadap sinar ultraviolet dari matahari, daerah kering,
inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau faktor iritan lainnya. Diduga
berbagai faktor risiko tersebut menyebabkan terjadinya degenerasi elastis jaringan
kolagen dan proliferasi fibrovaskular. Dan progresivitasnya diduga merupakan
hasil dari kelainan lapisan Bowman kornea. Beberapa studi menunjukkan adanya
predisposisi genetik untuk kondisi ini.8
Teori lain menyebutkan bahwa patofisiologi pterygium ditandai dengan
degenerasi elastik kolagen dan proliferasi fibrovaskular dengan permukaan yang
menutupi epitel. Hal ini disebabkan karena struktur konjungtiva bulbi yang selalu
berhubungan dengan dunia luar dan secara intensif kontak dengan ultraviolet dan
debu sehingga sering mengalami kekeringan yang mengakibatkan terjadinya
penebalan dan pertumbuhan konjungtiva bulbi sampai menjalar ke kornea. Selain
itu, pengeringan lokal dari kornea dan konjungtiva yang disebabkan kelainan tear
film menimbulkan fibroplastik baru. Tingginya insiden pterygium pada daerah
beriklim kering mendukung teori ini.9
Teori terbaru pterygium menyatakan kerusakan limbal stem cell di daerah
interpalpebra akibat sinar ultraviolet. Limbal stem cell merupakan sumber
regenarasi epitel kornea dan sinar ultraviolet menjadi mutagen untuk p53 tumor
supressor gene pada limbal stem cell. Tanpa apoptosis, transforming growth
factor-beta diproduksi dalam jumlah berlebihan dan meningkatkan proses
kolagenase sehingga sel-sel bermigrasi dan terjadi angiogenesis. Akibatnya,
terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial
fibrovaskular. Pada jaringan subkonjungtiva terjadi perubahan degenerasi elastik
dan proliferasi jaringan vaskular di bawah epitelium yang kemudian menembus
kornea. Kerusakan pada kornea terdapat pada lapisan membran Bowman oleh
pertumbuhan jaringan fibrovaskular yang sering disertai inflamasi ringan. Epitel
dapat normal, tebal, atau tipis dan kadang terjadi displasia. Pada keadaan
defisiensi limbal stem cell, terjadi pembentukan jaringan konjungtiva pada
permukaan kornea.10
Pemisahan fibroblast dari jaringan pterygium menunjukkan perubahan
phenotype, yaitu lapisan fibroblast mengalami proliferasi sel yang berlebihan.

12
Pada fibroblast pterygium menunjukkan matriks metalloproteinase, yaitu matriks
ekstraselular yang berfungsi untuk memperbaiki jaringan yang rusak,
penyembuhan luka, dan mengubah bentuk. Hal ini menjelaskan penyebab
pterygium cenderung terus tumbuh dan berinvasi ke stroma kornea sehingga
terjadi reaksi fibrovaskular dan inflamasi.11
2.2.7 Gambaran Klinis
Pterygium biasanya terjadi secara bilateral, namun jarang terlihat simetris,
karena kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama untuk kontak dengan
sinar ultraviolet, debu dan kekeringan. Kira-kira 90% terletak di daerah nasal
karena daerah nasal konjungtiva secara relatif mendapat sinar ultraviolet yang
lebih banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain. Selain secara
langsung, bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultra violet secara tidak
langsung akibat pantulan dari hidung.8
Pterygium yang terletak di nasal dan temporal dapat terjadi secara
bersamaan walaupun pterygium di daerah temporal jarang ditemukan. Perluasan
pterygium dapat sampai ke medial dan lateral limbus sehingga menutupi sumbu
penglihatan dan menyebabkan penglihatan kabur.9
Secara klinis muncul sebagai lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva
yang meluas ke kornea pada daerah fissura interpalpebra. Biasanya pada bagian
nasal tetapi dapat juga terjadi pada bagian temporal. Deposit besi dapat dijumpai
pada bagian epitel kornea anterior dari kepala pterygium (stoker’s line). 9
Gejala klinis pterygium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering
tanpa keluhan sama sekali (asimptomatik) atau dapat ditemukan sindrom mata
kering seperti rasa terbakar, gatal atau mata berair. Beberapa keluhan yang sering
dialami pasien antara lain 9,12
- mata sering berair dan tampak merah
- merasa seperti ada benda asing
- timbul astigmatisme akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterygium
- pada pterygium derajat 3 dan 4 dapat terjadi penurunan tajam penglihatan.
-
Dapat terjadi diplopia sehingga menyebabkan terbatasnya pergerakan mata.

13
2.2.8 Diagnosis
Anamnesis
Pada anamnnesis didapatkan adanya keluhan pasien seperti mata merah,
gatal, mata sering berair, ganguan penglihatan. Selain itu perlu juga ditanyakan
adanya riwayat mata merah berulang, riwayat banyak bekerja di luar ruangan pada
daerah dengan pajanan sinar mathari yang tinggi, serta dapat pula ditanyakan
riwayat trauma sebelumnya.1,9
Pemeriksaaan fisik
Pada inspeksi pterigium terlihat sebagai jaringan fibrovaskular pada
permukaan konjuntiva. Pterigium dapat memberikan gambaran yang vaskular dan
tebal tetapi ada juga pterigium yang avaskuler dan flat. Perigium paling sering
ditemukan pada konjungtiva nasal dan berekstensi ke kornea nasal, tetapi dapt
pula ditemukan pterigium pada daerah temporal. 6
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterigium adalah
topografi kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa astigmtisme
ireguler yang disebabkan oleh pterigium.6
2.2.9 Diagnosis Banding
Secara klinis pterygium dapat dibedakan dengan dua keadaan yang sama
yaitu pinguecula dan pseudopterygium.
1. Pinguecula
Bentuknya kecil dan meninggi, merupakan massa kekuningan berbatasan
dengan limbus pada konjungtiva bulbi di fissura intrapalpebra dan kadang
terinflamasi. Tindakan eksisi tidak diindikasikan pada kelainan ini.
Prevalensi dan insiden meningkat dengan meningkatnya umur. Pingecuela
sering pada iklim sedang dan iklim tropis. Angka kejadian sama pada laki
laki dan perempuan. Paparan sinar ultraviolet bukan faktor resiko
pinguecula 8

14
Gambar 8. pinguecula
2. Pseudopterygium
Pertumbuhannya mirip dengan pterygium karena membentuk sudut miring
atau Terriens marginal degeneration. Selain itu, jaringan parut
fibrovaskular yang timbul pada konjungtiva bulbi pun menuju kornea.
Namun berbeda dengan pterygium, pseudopterygium merupakan akibat
inflamasi permukaan okular sebelumnya seperti pada trauma, trauma kimia,
konjungtivitis sikatrikal, trauma bedah atau ulkus perifer kornea. Pada
pseudopterigium yang tidak melekat pada limbus kornea, maka probing
dengan muscle hook dapat dengan mudah melewati bagian bawah
pseudopterigium pada limbus, sedangkan pada pterygium tak dapat
dilakukan. Pada pseudopteyigium tidak didapat bagian head, cap dan body
dan pseudopterygium cenderung keluar dari ruang interpalpebra fissure
yang berbeda dengan true pterigium.7

Gambar 9. Gambar pseudopterygium

15
2.2.10 Penatalaksanaan
1. Konservatif
Pada pterygium yang ringan tidak perlu diobati dan biasanya cukup diatasi
dengan menghindari faktor iritan serta memakai pelindung mata untuk
meminimalisasi kontak mata dengan lingkungan. Untuk pterygium derajat 1-2
yang mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata kombinasi
antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa
penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan pada penderita dengan tekanan
intraokular tinggi atau mengalami kelainan pada kornea.9
2. Bedah
Pada pterygium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi
pterygium. Sedapat mungkin setelah avulsi pterygium maka bagian konjungtiva
bekas pterygium tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari
konjugntiva bagian superior untuk menurunkan angka kekambuhan. Tujuan utama
pengangkatan pterigyum yaitu memberikan hasil yang baik secara kosmetik,
mengupayakan komplikasi seminimal mungkin, angka kekambuhan yang rendah.
Penggunaan Mitomycin-C (MMC) sebaiknya hanya pada kasus pterygium yang
rekuren, mengingat komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup berat.10
Indikasi Operasi 9
- Pterygium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus
- Pterygium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil
- Pterygium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau
karena astigmatismus
-
Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.
Adapun indikasi operasi menurut Ziegler and Guilermo Pico, yaitu:
Menurut Ziegler :
1. Mengganggu visus
2. Mengganggu pergerakan bola mata
3. Berkembang progresif
4. Mendahului suatu operasi intraokuler
5. Kosmetik

16
Menurut Guilermo Pico :
1. Progresif, resiko rekurensi > luas
2. Mengganggu visus
3. Mengganggu pergerakan bola mata
4. Masalah kosmetik
5. Di depan apeks pterigium terdapat Grey Zone
6. Pada pterigium dan kornea sekitarnya ada nodul pungtat
7. Terjadi kongesti (klinis) secara periodik
Teknik Pembedahan
Pada tatalaksana pembedahan pterigium banyak terjadi kekambuhan,
dibuktikan dengan pertumbuhan fibrovaskular di limbus ke kornea. Banyak teknik
bedah telah digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara universal karena
tingkat kekambuhan yang variabel. Dengan menggunakan Conjunctival autograft
tingkat kekambuhan pterigium dapat dikurangi hingga 5%. Terlepas dari teknik
yang digunakan, eksisi pteryigium adalah langkah pertama untuk perbaikan.
Banyak dokter mata lebih memilih untuk memisahkan ujung pterygium dari
kornea yang mendasarinya. Keuntungan termasuk epitelisasi yang lebih cepat,
jaringan parut yang minimal dan halus dari permukaan kornea.9,13
Teknik lain yang bisa digunakan pada pembedahan pterygium, yaitu :
1. Eksisi pterygium
Anestesi subkonjungtival 4% lignocaine (Xylocaine) jika pasien kurang
kooperatif dapat digunakan anastesi peribulbar. Pisahkan bagian kepala
pterigium dengan limbus dengan surgical blade. Kemudian bagian leher dan
badan diseksi dengan gunting Westcott sekitar 4- 6 mm dari limbus. Cara
lain adalah dengan diseksi dibawah badan pterigium. Dengan repositor iris
pisahkan badan pterigium dengan kornea. Setelah eksisi hampir seluruh
bagian tenon, subkonjungtiva dan jaringan fibrovaskular dipisahkan dari
konjungtiva dan lanjutkan eksisi ke arah fornik sampai karunkula. Hati-hati
jangan merusak otot rectus medialis. Kontrol perdarahan dengan kauter
2. Bare sclera
Teknik ini tidak ada jahitan atau jahitan, benang absorbable digunakan
untuk melekatkan konjungtiva ke sklera di depan insersi tendon rektus.

17
Meninggalkan suatu daerah sklera yang terbuka. Tingkat kekambuhan
tinggi, antara 24 – 89 %, telah didokumentasikan dalam berbagai laporan.7
3. Simple closure
Dengan tepi konjungtiva yang bebas dijahit bersama (efektif jika hanya
defek konjungtiva sangat kecil).
4. Sliding flaps
Suatu insisi bentuk L dibuat sekitar luka kemudian flap konjungtiva digeser
untuk menutupi defek.
5. Rotational flap
Insisi bentuk U dibuat sekitar luka untuk membentuk lidah konjungtiva
yang dirotasi pada tempatnya.
6. Conjunctival graft
Suatu free graft biasanya dari konjungtiva superior, dieksisi sesuai dengan
besar luka dan kemudian dipindahkan dan dijahit.
Keuntungan menggunakan conjungtival graft 21 :
 Mudah untuk dilakukan
 Mencegah bagian sklera yang terbuka
 Mengubah aliran darah
 Jaringan yang dibuang sedikit
 Tidak terbentuk dellen
 Menghindari penggunaan bahan lain
 Tidak memerlukan radiasi atau kemoterapi lanjutan
Memiliki tingkat kekambuhan antara 2 – 40 % pada beberapa studi
prospektif. Komplikasi jarang terjadi, dan untuk hasil yang optimal
ditekankan pentingnya pembedahan secara hati-hati jaringan Tenon's dari
graft conjungtiva penerima, manipulasi minimal jaringan dan orientasi
akurat dari graft tersebut.12,22
7. Amnion membrane transplantation
Dengan menutup sklera dengan membran amnion. Membran amnion
dijahitkan melalui episklera dan konjungtiva dengan benang Vicryl 8-0 dan
setelah itu mata ditutup. Amnion membrane transplantation mengurangi
frekuensi rekuren pterygium, mengurangi fibrosis atau skar pada permukaan

18
bola mata dan penelitian baru mengungkapkan menekan TGF-β pada
konjungtiva dan fibroblast pterygium. Pemberian mytomicin C dan beta
irradiation dapat diberikan untuk mengurangi rekuren tetapi jarang
digunakan.20
Mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk mencegah
kekambuhan pterygium. Meskipun keuntungkan dari penggunaan membran
amnion ini belum teridentifikasi, sebagian besar peneliti telah menyatakan
bahwa membran amnion berisi faktor penting untuk menghambat
peradangan dan fibrosis dan epitelialisasi. Tingkat kekambuhan sangat
beragam pada studi yang ada, antara 2,6 -10,7 % untuk pterygium primer
dan 37,5 % untuk kekambuhan pterygium sekunder.8,14,20
8. Lamellar keratoplasty, excimer laser phototherapeutic keratectomy dan
terapi baru dengan menggunakan gabungan angiostatik dan steroid. Terapi
ini difokuskan pada pterigium yang rekuren dan jaringan kornea yang
terdapat scar atau tipis. Prosedur ini memerlukan donor jaringan kornea
dengan resiko penolakan donor. Masalahnya adalah tekniknya cukup sulit
untuk dilakukan.9,23
2.2.11 Preventif
Pterigium dapat dicegah menggunakan UV protective dan penggunaan kacamata
hitam untuk mengurangi paparan sinar UV. Teknik lain adalah dengan
menggunakan mitomisin jika terjadi rekurensi.13
2.2.12 Komplikasi
Komplikasi pterygium termasuk mata merah, iritasi, dan skar kronis pada
konjungtiva dan kornea. Pada pasien yang belum dieksisi, distorsi dan penglihatan
sentral berkurang, skar pada otot rektus medial dapat menyebabkan diplopia.
Komplikasi yang jarang adalah malignan degenerasi pada jaringan epitel diatas
pterygium yang ada.
Komplikasi sewaktu operasi antara lain ialah perforasi korneosklera, graft
oedem, graft haemorrhage, graft retraction, jahitan longgar, granuloma
konjungtiva, skar konjungtiva, skar kornea, astigmatisma, disinsersi otot rektus.
Komplikasi terbanyak adalah rekurensi pterygium setelah operasi.

19
2.2.13 Prognosis
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Rasa tidak
nyaman pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi. Sebagian besar pasien
dapat beraktivitas kembali setelah 48 jam postoperasi. Pasien dengan rekuren
pterygium dapat dilakukan eksisi ulang dengan conjungtiva autograft atau
transplantasi membran amnion. Umumnya rekurensi terjadi pada 3-6 bulan
pertama setelah operasi.8
Pasien dengan resiko tinggi timbulnya pterygium seperti riwayat keluarga
atau karena terpapar sinar matahari yang lama dianjurkan memakai kacamata
sunblock dan mengurangi intensitas terpapar sinar matahari.8

20
BAB 3
LAPORAN KASUS
3.1 Anamnesis
Anamnesa (autoanamnesa) dan pemeriksaan fisik dilakukan pada hari
Rabu, 24 Juni 2013.
Identitas Pasien
Nama : Tn. S
Umur : 41 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
Alamat : Jl. Manunggal Jaya rt.17 Tenggarong
Keluhan Utama
Mata kanan terasa mengganjal
Riwayat Penyakit Sekarang
Mata kanan terasa ada yang mengganjal dirasakan pasien sejak 2 tahun
yang lalu. Keluhan dirasakan pasien semakin lama semakin memberat. Keluhan
tersebut disertai oleh mata berair, merah dan mata terasa nyeri. Selain itu pasien
mengeluhkan pandangan kabur jika pasien melihat benda jauh, membaca atau
menulis dalam waktu yang lama. Hal ini dirasakan sejak 1 tahun terakhir.
Menurut pasien hal ini semakin lama semakin mengganggu aktivitas pasien.
Pasien mengaku matanya sering terpapar debu dan tidak pernah menggunakan
pelindung mata jika berpergian keluar rumah.
Riwayat Penyakit Dahulu
- Pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya
Riwayat Penyakit Keluarga
- Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan serupa
3.2 Pemeriksaan Fisik
Keadaaan Umum : sakit ringan
Kesadaran : kompos mentis
Tanda vital : TD : 100/70 mmHg
Nadi : 79 kali per menit
RR : 19 kali per menit

21
Status Generalisata
Kepala leher : dalam batas normal
Thorax : dalam batas normal
Abdomen : dalam batas normal
Ekstremitas : dalam batas normal
Status Oftalmologi
Pemeriksaan Okuli dekstra Okuli sinistra
Visus 6/9 6/6
Pergerakan Bola Mata Baik ke segala arah Baik ke segala arah
Silia Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Palpebra Superior Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Palpebra Inferior Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Konjungtiva Bulbi Terdapat selaput bening Tidak ada kelainan
berbentuk segitiga dari
sisi nasal sampai 4 mm
ke dalam kornea, dengan
cap pada sisi nasal dan
apex 4 mm ke dalam
kornea. Hiperemis
Kornea Jernih Jernih
COA Kedalaman cukup Kedalaman cukup
Pupil Bulat, reguler, 3 mm, Bulat, reguler, 3 mm,
refleks cahaya (+) refleks cahaya (+)
Iris Warna cokelat Warna cokelat
Lensa Jernih Jernih
TIO (palpasi) Normal Normal
Slit Lamp Terdapat selaput bening Tidak ada kelainan
dari sisi nasal sampai
kornea

22
3.3 Diagnosis Banding:
Pterygium grade III okuli dextra
Pinguekela
Pseudopterygium
3.4 Diagnosis kerja:
Pterygium grade III okuli dextra
3.5 Penatalaksanaan
Planning :
 Diagnostik
o Pemeriksaan sonde
 Terapi
o Pembedahan Pterygium OD
 Monitoring :
o Kontrol 7 hari lagi untuk melihat perbaikan gejala pada mata
setelah terapi baik operatif maupun medikamentosa
o Monitoring pertumbuhan pterigium pasca pembedahan
o Monitoring gangguan visus yang dialami pasien.
o Monitoring komplikasi yang timbul setelah pembedahan
 Edukasi :
o Edukasi pasien tentang penyakit pterigium bahwa penyakit
pterygium dapat tumbuh kembali setelah pembedahan dan
diperlukan tindakan pencegahan.
o Melindungi mata dari sinar matahari, debu dan udara kering
dengan kacamata pelindung.
o Kontrol lagi ke rumah sakit apabila terdapat keluhan timbulnya
pterigium kembali.

3.6 Prognosis
At vitam : bonam
At functionam : bonam

23
BAB 4
PEMBAHASAN

Anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan pada hari Selasa, 25 Juni 2013 di
ruang dahlia RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda. Pasien datang dengan
keluhan
4.1 Anamnesa
Teori Kasus
Gejala klinis:
 Umumnya asimptomatis  Pasien mengeluhkan rasa yang
 Keluhan: mengganjal pada mata kanan.
o Mata sering berair dan  Mata sering berair, merah dan
tampak merah penglihatan tampak kabur
o Adanya sesuatu yang terutama jika melihat jauh,
tumbuh di kornea dan menulis dan membaca dalam
khawatir akan adanya jangka waktu yang lama dan
keganasan atau karena mata terasa nyeri.
alasan kosmetik
o Rasa panas, gatal, dan
adanya rasa mengganjal di
tempat sekitar tumbuhnya
pterigium tersebut
o Keluhan gangguan
penglihatan
Faktor resiko:
 Usia dewasa  Pasien berusia 41 tahun
 Pekerjaan yang sering terpapar  Pekerjaan pasien adalah
sinar ultraviolet petani. Pasien selalu berladang
 Tempat tinggal di daerah tropis, dari pagi hingga sore hari
terutama di sekitar garis tanpa menggunakan alat
khatulistiwa pelindung mata
 Herediter  Tidak pernah menggunakan

24
 Infeksi human papiloma virus pelindung mata ketika pasien
 Kelembaban yang rendah dan melakukan perjalanan keluar
mikrotrauma rumah.
4.2 Pemeriksaan Fisik
Teori Kasus
Adanya penonjolan daging, berwarna Terdapat penonjolan daging tumbuh
putih, tampak jaringan fibrovaskular berwarna putih dari sisi nasal meluas
yang berbentuk segitiga yang sampai kornea (OD)
terbentang dari konjungtiva
interpalpebra sampai kornea, tepi
jaringan berbatas tegas sebagai suatu
garis yang berwarna cokelat kemerahan,
umumnya tumbuh di daerah nasal.
4.3 Diagnosis
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan, kelainan
pada mata kanan pasien ini mengarah kepada pterigium. Pterigium sendiri
memiliki beberapa klasifikasi sesuai dengan derajatnya. Adapun klasifikasi
derajat pterigium adalah sebagai berikut:
 Derajat 1: Hanya terbatas pada limbus
 Derajat 2: Sudah melewati limbus tetapi tidak melebihi 2 mm melewati
kornea
 Derajat 3: Jika telah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggir pupil
mata dalam keadaan cahaya (pupil dalam keadaan normal berukuran
sekitar 3-4 mm)
 Derajat 4: Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehigga
mengganggu penglihatan
Pada pasien ini dari hasil pemeriksaan inspeksi bola mata, didapatkan
ukuran pterigium yaitu 4 mm melewati tepi limbus pada okuli dekstra
sehingga dikategorikan pterigium derajat 3 pada okuli dekstra.
4.4 Penatalaksanaan
Pasien didiagnosis menderita penyakit pterygium derajat 3, seperti yang
diketahui pada pterygium derajat 3-4 penatalaksaan utama adalah dilakukannya

25
tindakan bedah berupa avulsi pterygium. Tujuan utama pengangkatan pterigyum
yaitu memberikan hasil yang baik secara kosmetik, mengupayakan komplikasi
seminimal mungkin, angka kekambuhan yang rendah.beberapa referensi
menyatakan bahwa indikasi operasi pada pasien pterygium adalah
- Pterygium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus
- Pterygium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil
- Pterygium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau
karena astigmatismus
-
Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.
Adapun indikasi operasi menurut Ziegler and Guilermo Pico, yaitu:
Menurut Ziegler :
- Mengganggu visus
- Mengganggu pergerakan bola mata
- Berkembang progresif
- Mendahului suatu operasi intraokuler
- Kosmetik
Menurut Guilermo Pico :
- Progresif, resiko rekurensi > luas
- Mengganggu visus
- Mengganggu pergerakan bola mata
- Masalah kosmetik
- Di depan apeks pterigium terdapat Grey Zone
- Pada pterigium dan kornea sekitarnya ada nodul pungtat
- Terjadi kongesti (klinis) secara periodik.
Teknik operasi pterygium sendiri berbagai macam teknik diantaranya eksisi
pterygium, bare sclera, simple closure, sliding flap, rotational flap, conjunctival
graft, amnion membrane transplantation dan lamellar keratoplaty. Masing-
masing memiliki kekurangan dan kelebihan, sebagai contoh teknik bare sclera
yang akan meninggalkan suatu daerah sclera yang terbuka dan memiliki tingkat
kekambuhan yang tinggi setelah dilaksanakannya operasi, teknik simple closure
hanya efektif jika defek konjungtiva sangat kecil. Teknik conjunctival graft
memiliki keuntungan terbanyak diantara teknik yang lain. Teknik ini mudah

26
dilakukan, mencegah bagian sclera yang terbuka, jaringan yang dibuang sedikit,
tidak terbentuk delllen dan memiliki angka kekambuhan yang rendah yaitu
sekitar 2-40% kasus.
4.4 Pencegahan
Pterigium dapat dicegah menggunakan UV protective dan penggunaan
kacamata hitam untuk mengurangi paparan sinar UV. Teknik lain adalah dengan
menggunakan mitomisin jika terjadi rekurensi, namun penggunaan mitomisin
masih menjadi perdebatan. Pada pasien dianjurkan penggunaan alat pelindung
mata, menggingat pasien sering kali bepergian tanpa menggunakan alat pelindung
mata.
4.5 Rekurensi
Pertumbuhan ulang pterygium adalah gangguan atau perubahan pada
permukaan okuler yang biasanya terjadi mengikuti operasi pterygium.
Pertumbuhan ulang ditandai dengan adanya jaringan granularisasi dan
neovaskularisasi pada daerah bekas bedah, serta dijumpainya jaringan menyerupai
konjungtiva yang bertumbuh ke arah kornea. Tanda ini merupakan tanda khas
yang menunjukkan adanya suatu tumbuh ulang pterygium dan dapat terjadi
setelah dua minggu hingga empat bulan pasca bedah dengan gambaran patologi
fibroblas dan fibrovaskular yang meningkat.3
Raiskup, et al mengemukakan bahwa lamanya tumbuh ulang hampir 100%
terjadi pada enam bulan pertama hingga dua tahun pasca bedah. Sedangkan,
Koranyi, et al mengemukakan tumbuh ulang dapat terlihat dalam enam bulan
pasca bedah atau dapat terjadi lebih lambat. Variabilitas ditemukan pula oleh
Farjo dan Sugar yang menyatakan bahwa pertumbuhan ulang terjadi antara empat
bulan hingga satu tahun pascabedah.3
Di Indonesia, terjadinya tumbuh ulang pascabedah pterygium memiliki
angka yang bervariasi dan cukup besar. Di RS Dr Soetomo Surabaya angka
tumbuh ulang berkisar sekitar 52%,. Dalam studi yang lebih khusus, ditemukan
angka tumbuh ulang pterygium di RSCM Jakarta adalah sekitar 61,1% untuk
kelompok umur di bawah 40 tahun dan 12,5% untuk kelompok umur di atas 40
tahun. Berbeda dengan hasil sebelumnya, Gupta, et al dan Sukirman menyatakan
bahwa tumbuh ulang terjadi terutama pada kelompok umur yang lebih muda.3

27
Teknik operasi yang digunakan oleh operator berpengaruh pada terjadinya
pertumbuhan ulang pterygium. Teknik operasi dengan menggunakan teknik bare
sclera memberikan angka tumbuh ulang yang cukup tinggi yaitu 24 - 89%. Terapi
tambahan ditujukan untuk menekan pertumbuhan kembali dari jaringan
subkonjuntival seperti penggunaan â-irradiation, thiotepa, dan mitomycin C
pascaoperasi telah sukses menurunkan angka tumbuh ulang sekitar 0-12%.
Namun, berbagai komplikasi serius terkait dengan metode ini seperti
depigmentasi kulit, terbentuknya katarak, glaukoma sekunder yang berat, uveitis,
perforasi sklera, dan nekrosis sklera yang berujung pada perforasi dan
endoftalmitis.3
Penggunaan conjunctival autograft untuk menangani masalah pterygium
memberikan angka pertumbuhan ulang yang rendah yaitu 5,3%. Berbagai laporan
studi menunjukkan penggunaan conjunctival limbal autograft (CLAG)
menunjukkan keunggulan teknik tersebut, ditunjukkan dengan angka
pertumbuhan ulang yang paling rendah. Penggunaan teknik CLAG pada operasi
pterygium memperpendek waktu kerusakan, karena pada teknik ini area sclera
yang terbuka ditutup oleh konjungtiva, sedangkan pembuluh darah yang
memperdarahi graft ini akan tumbuh dari suatu feeder vessel tunggal yang berasal
dari sirkulasi konjungtiva anterior yang merupakan cabang radial dari pembuluh
darah dari pterygium. Reperfusi dari pembuluh darah ini dapat didemonstrasikan
dalam waktu sekitar satu minggu dengan sebelumnya graft ini hidup dari perfusi
episcleral bed. Dengan demikian teknik ini cukup aman dalam artian cepat
menimbulkan reperfusi jaringan. 3

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Rodrigues FW, Arruda JT, Silva RE, Moura KKVO. TP53 gene espression,
codon 72 polymorphism and human papillomavirus DNA associated with
pterygium. Genetics and molecular research.2008;7 (4):1251-8.
2. Perra MT, Maxia C, Cobu A, Minerba L, Demurtas P, Murtas O, et al.
Oxidative stress in pterygium: relationship between p53 and 8-
hydroxydeoxyguanosine. Mol vis. 2006;12:1136-42
3. Saerang,J.S.M. Vascular Endothelial Growth Factor Air Mata sebagai Faktor
Risiko Tumbuh Ulang Pterygium.Manado: Departemen Mata Fakultas
Kedokteran Universitas Samratulangi. Manado.2013.
4. Voughan & Asbury. Oftalmologi Umum edisi 17. Jakarta : EGC. 2010. Hal
119.
5. Tasman, W and Jaeger, E.A. Pathology of Conjunctiva. In : Duane’s
Ophtalmology. New York : Lippincott William and Wilkins. 2007.
6. Lang, Gerhad K. Conjungtiva. In : Ophtalmology A Pocket Textbook Atlas.
New York : Thieme Stutgart. 2000
7. Sidharta, Ilyas. Ilmu Penyakit Mata Edisi 3. Jakarta : FKUI, 2010
8. Vaughan, G. Oftalmologi Ed 14. Jakarta : Widya Medika, 2000
9. Putra, A,K. Penatalaksanaan Pterigium Atmajaya. Jakarta : s.n., 2003
10. Fisher, Jerome, P. http://emedicine.medscape.com/aricle/1192527- overview.
http://emedicine.medscape.com [Online] http://emedicine.medscape.com
11. Fisher, Jerome, P. http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview.
http://emedicine.medscape.com. [Online] http://emedicine.medscape.com
12. Amilari, Ardalan.
http://www.aao.org/aao/publications/eyenet/201011/pearls.cfm.
13. http://www.aao.org. [Online] http://www.aao.org
14. Singh, Ravi, Liang, David, Aminlari, Ardalan.Management of Pterygium.
Cornea, Chicago : Ophtalmic Pearls, 2010, Vol. 3. 7
15. Clearsight Eye Centre. www.eyes@clearsight.com.au. [Online]
www.eyes@clearsight.com.au

29
16. Katbaab, Asadollah, Ardekani, Anvari, Hamid-Reza, Khosniyat, Hamid,
Hosseini, Jahadi, Hamid-Reza.Amniotic Membrane Transplantation for
Primary Pterygium Surgery. Shiraz : Journal of Ophtalmic and Vision
Research, 2008, Vol. 3. 8
17. Laszuarni. Prevalensi Pterigium di Kabupaten Langkat. Tesis Dokter Spesialis
Mata. Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara. 2009.
18. Jerome P Fisher, Pterygium. [online]. 2011 [cited 2013 June 22]
http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview
19. Caldwell, M. Pterygium. [online]. 2011 [cited 2013 June 22]. Available from :
www.eyewiki.aao.org/Pterygium
20. Suharjo. Ilmu kesehatan Mata edisi 1. Yogyakarta. Bagian Ilmu Penyakit
Mata Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada.2007. hal 40-41
21. Katbaab, Asadollah, Ardekani, Anvari, Hamid-Reza, Khosniyat, Hamid,
Hosseini, Jahadi, Hamid-Reza. Amniotic Membrane Transplantation for
Primary Pterygium Surger. Shiraz : Journal of Ophtalmic and Vision
Research, 2008, Vol. 3.
22. Jharmawala, Mayur, Jhaveri, Reshma. Pterygium : A New Surgical Technique.
Bombay : Journal of the Bombay Ophthalmologist's Association, 2000, Vol.
11.
23. Singh, Ravi, Liang, David, Aminlari, Ardalan. Cornea. Management of
Pterygium. Chicago : Ophtalmic Pearls, 2010, Vol. 3.
24. Putra, A,K. Penatalaksanaan Pterigium Atmajaya. Jakarta : s.n., 2003.

30

Anda mungkin juga menyukai