DISUSUN OLEH :
4. Risiko penularan HIV lewat seks anal, Seks anal menjadi pilihan yang umum bagi
pasangan gay, meskipun banyak juga pasangan beda jenis yang mempraktikkan seks
anal. Sebuah penelitian yang dimuat dalam International Journal of Epidemiology
mengungkapkan bahwa tingkat risiko penularan HIV lewat seks anal lebih besar 18%
dari penetrasi vagina. Pasalnya, jaringan dan lubrikan alamiah pada anus
dan vagina sangat berbeda. Vagina memiliki banyak lapisan yang bisa menahan infeksi
virus, sementara anus hanya memiliki satu lapisan tipis saja. Selain itu, anus juga tidak
memproduksi lubrikan alami seperti vagina sehingga kemungkinan terjadinya luka atau
lecet ketika penetrasi anal dilakukan pun lebih tinggi. Luka inilah yang bisa
menyebarkan infeksi HIV.i nfeksi HIV juga bisa terjadi jika ada kontak dengan cairan
rektal pada anus. Cairan rektal sangat kaya akan sel imun, sehingga virus HIV mudah
melakukan replikasi atau penggandaan diri. Cairan rektal pun menjadi sarang bagi HIV.
Maka, jika pasangan yang melakukan penetrasi telah positif mengidap HIV, virus ini
akan dengan cepat berpindah pada pasangannya lewat cairan rektal pada anus. Tak
seperti vagina, anus tidak memiliki sistem pembersih alami sehingga pencegahan infeksi
virus lebih sulit dilakukan oleh tubuh.
5. Ora-Genital Cara hubungan ini merupakan tingkat resiko kedua,
termasuk menelan semen dari mitra seksual pengidap HIV.
6. Genito-Genital / Heteroseksual Penularan secara heteroseksual ini
merupakan tingkat penularan ketiga, hubungan suami istri yang
mengidap HIV, resiko penularannya, berbeda-beda antara satu peneliti
dengan peneliti lainnya. Secara Non Seksual Penularan secara non seksual
ini dapat terjadi melalui :
Transmisi Parental Penggunaan jarum dan alat tusuk lain (alat tindik, tatto) yang
telah terkontaminasi, terutama pada penyalahgunaan narkotik dengan
mempergunakan jarum suntik yang telah tercemar secara bersama-sama. Penularan
parental lainnya, melalui transfusi darah atau pemakai produk dari donor dengan
HIV positif, mengandung resiko yang sangat tinggi.
Transmisi Transplasental Transmisi ini adalah penularan dari ibu yang mengandung
HIV positif ke anak, mempunyai resiko sebesar 50%. Disamping cara penularan
yang telah disebutkan di atas ada transmisi yang belum terbukti, antara lain: ASI,
Saliva/Air liur, Air mata, Hubungan sosial dengan orang serumah, Gigitan serangga
Walaupun cara-cara transmisi di atas belum terbukti, akan tetapi karena prevalensi
HIV telah demikian tinginya di Amerika Serikat, maka tetap dianjurkan :
Ibu yang mengidap supaya tidak menyusui bayinya.
Mengurangi kontaminasi saliva pada alat seduditasi pada saat berciuman dan
pada anak-anak yang mengidap HIV yang menderita gangguan jiwa dan
sering digigit serangga.
bagi dokter ahli mata dianjurkan untuk lebih berhati-hati berhubungan
dengan air mata pengidap HIV. Perlu diketahui AIDS tidak menular karena :
1. Hidup serumah dengan penderita AIDS (Asal tidak berhubungan seksual)
1. Pencegahan Infeksi HIV Melaui Hubungan Seksual HIV terdapat pada semua cairan
tubuh penderita tetapi yang terbukti berperan dalam penularan AIDS adalah mani,
cairan vagina dan darah. HIV dapat menyebar melalui hubungan seksual pria ke
wanita, dari wanita ke pria dan dari pria ke pria. Setelah mengetahui cara penyebaran
HIV melaui hubungan seksual maka upaya pencegahan adalah dengan cara : • Tidak
melakukan hubungan seksual. Walaupun cara ini sangat efektif, namun tidak mungkin
dilaksanakan sebab seks merupakan kebutuhan biologis. • Melakukan hubungan
seksual hanya dengan seorang mitra seksual yang setia dan tidak terinfeksi HIV
(homogami) • Mengurangi jumlah mitra seksual sesedikit mungkin • Hindari
hubungan seksual dengan kelompok rediko tinggi tertular AIDS. • Tidak melakukan
hubungan anogenital. • Gunakan kondom mulai dari awal sampai akhir hubungan
seksual dengan kelompok resiko tinggi tertular AIDS dan pengidap HIV.
2. Pencegahan Infeksi HIV Melalui Darah Darah merupakan media yang cocok untuk
hidup virus AIDS. Penularan AIDS melalui darah terjadi dengan : − Transfusi darah
yang mengandung HIV. − Jarum suntik atau alat tusuk lainnya (akupuntur, tato,
tindik) bekas pakai orang yang mengidap HIV tanpa disterilkan dengan baik. − Pisau
cukur, gunting kuku atau sikat gigi bekas pakai orang yang mengidap virus HIV.
Langkah-langkah untuk mencegah terjadinya penularan melalui darah adalah: −
Darah yang digunakan untuk transfusi diusahakan bebas HIV dengan jalan memeriksa
darah donor. Hal ini masih belum dapat dilaksanakan sebab memerlukan biaya yang
tingi serta peralatan canggih karena prevalensi HIV di Indonesia masih rendah, maka
pemeriksaan donor darah hanya dengan uji petik. − Menghimbau kelompok resiko
tinggi tertular AIDS untuk tidak menjadi donor darah. Apabila terpaksa karena
menolak, menjadi donor menyalahi kode etik, maka darah yang dicurigai harus di
buang. − Jarum suntik dan alat tusuk yang lain harus disterilisasikan secara baku
setiap kali habis dipakai. − Semua alat yang tercemar dengan cairan tubuh penderita
AIDS harus disterillisasikan secara baku. − Kelompok penyalahgunaan narkotik harus
menghentikan kebiasaan penyuntikan obat ke dalam badannya serta menghentikan
kebiasaan mengunakan jarum suntik bersama. − Gunakan jarum suntik sekali pakai
(disposable) − Membakar semua alat bekas pakai pengidap HIV.
3. Pencegahan Infeksi HIV Melalui Ibu Ibu hamil yang mengidap HIV dapat
memindahkan virus tersebut kepada janinnya. Penularan dapat terjadi pada waktu bayi
di dalam kandungan, pada waktu persalinan dan sesudah bayi di lahirkan. Upaya
untuk mencegah agar tidak terjadi penularan hanya dengan himbauan agar ibu yang
terinfeksi HIV tidak hamil.
Pengobatan Untuk Penderita HIV di sarankan untuk melakukan diagnosa dini dan
melakukan rujukan untuk evaluasi medis. Rujuklah sumber informasi mutakhir tentang obat
yang tepat, jadwal dan dosisnya.
a) Sebelum ditemukan pengobatan antiretrovirus yang relatif efektif, dan tersediasecara
rutin di AS sekitar tahun 90-an, pengobatan yang ada pada waktu itu hanya ditujukan
kepada penyakit “opportunistic” yang diakibatkan oleh infeksi HIV. Penggunaan
TMP-SMX oral untuk tujuan profilaktik, dengan pentamidin aerosol kurang efektif,
obat ini di rekomendasikan untuk mencegah penumonia P. carinii. Semua orang yang
terinfeksi HIV terhadap mereka harus dilakukan tes tuberkulin dan dievaluasi apakah
mereka penderita TBC aktif. Jika diketahui menderita TB aktif, pasien harus diberi
terapi anti tuberkulosa. Jika bukan TB aktif, pasien dengan tes tuberkulin positif atau
yang anergik tetapi baru saja terpajan dengan TB harus diberikan terapi dengan
isoniazid untuk 12 bulan.
b) Keputusan untuk memulai atau merubah terapi antiretrovirus harus di pandu dengan
memonitor hasil pemeriksaan parameter laboratorium baik Plasma HIV RNA (viral
load) maupun jumlah sel CD4+T dan dengan melihat kondisi klinis dari pasien. Hasil
dari dua parameter ini memberikan informasi penting tentang status virologi dan
imunologi dari pasien dan risiko dari perkembangan penyakit menjadi AIDS. Sekali
keputusan untuk memberi terapi antiretrovirus diambil, pengobatan harus di lakukan
dengan agresif dengan tujuan menekan virus semaksimal mungkin. Pada umumnya,
harus diawali dengan penggunaan inhibitor protease dan dua inhibitor “non
nucleoside reverse transcriptase”. Regimen lain mungkin digunakan tetapi dianggap
kurang optimal. Pertimbangan spesifik di berikan kepada orang dewasa dan wanita
hamil, dan bagi pasien pasien ini sebaiknya digunakan regimen pengobatan spesifik.
c) Hingga pertengahan tahun 1999, satu-satunya obat yang dapat mengurangi risiko
penularan HIV perinatal hanya AZT dan di berikan sesuai dengan regimen berikut:
diberikan secara oral sebelum kelahiran, mulai 14 minggu usia kehamilan dan
diteruskan sepanjang kehamilan, diberikan intravena selama periode intra-partum;
diberikan oral bagi bayi baru lahir hingga berusia 6 minggu. Regimen
“chemoprophylactic” ini menurunkan risiko penularan HIV hingga 66 %. Terapi AZT
yang lebih singkat mengurangi risiko penularan hingga 40%. Dari studi di Uganda,
dilaporkan bahwa pada bulan Juli 1999 dosis tunggal nevirapine yang diberikan
kepada ibu yang terinfeksi HIV diikuti dengan dosis tunggal kepada bayi hingga
berusia 3 hari, memberi hasil yang lebih baik dibandingkan dengan kedua terapi
diatas. Hanya 13.1 % dari bayi yang mendapat terapi nevirapine yang terinfeksi HIV,
dibandingkan dengan 25.1 % dari kelompok yang mendapat terapi AZT. Harga
Nevirapine kurang dari 4 dollar satu dosisnya, sehingga prospek untuk melindungi
penularan ibu ke anak di negara berkembang lebih memungkinkan di era milinium
ini. Namun, kurang tersedianya fasilitas tes HIV dan jasa konsultasi bagi wanita hamil
di negara-negara berkembang yang termiskin di Afrika tetap merupakan sebuah
tantangan yang berat. Disamping itu kurang tersedianya pengobatan anti HIV bagi
orang dewasa membuat angka anak-anak yang menjadi yatim-piatu bertambah di
negara-negara ini.
d) Penanganan tenaga kesehatan yang sehari-harinya terpajan darah dan cairan tubuh
yang mungkin mengandung virus HIV sangat kompleks. Sifat pajanan dan faktor-
faktor seperti kemungkinan hamil dan strain HIV yang resisten terhadap obat harus
dipertimbangkan sebelum Profilaksis HIV pasca pemajanan (Postexposure
prophylaxis = PEP) di berikan. Akhir tahun 1999, pemberian PEP yang dianjurkan
termasuk pemberian regimen dasar selama 4 minggu yang terdiri dari 2 jenis obat
(zidovudine dan lamivudine) untuk semua jenis pemajanan HIV, termasuk juga
regimen yang telah dikembangkan, dengan tambahan protease inhibitor (indinavir
atau nelfinavir) yang ditujukan bagi orang yang terpajan kuman HIV yang
keberadaannya membuat mereka mempunyai risiko tinggi tertular atau utnuk mereka
yang diketahui atau dicurigai resisten terhadap satu atau lebih obat antiretroviral yang
direkomendasikan untuk PEP. Institusi pelayanan kesehatan seharusnya mempunyai
pedoman yang mempermudah dan memberikan akses yang tepat untuk perawatan
pasca pemajanan bagi petugas kesehatan dan pengembangan sistem pencatatan dan
pelaporan peristiwa pemajanan.