Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Farmakologi merupakan ilmu yang mempelajari hubungan antara obat
dengan makhluk hidup, dalam tubuh, antara obat dengan sistem biologis pasti
mempunyai interaksi.Farmakologi berasal dari bahasa Yunani yaitu pharmacon
yang berarti senyawa bioaktif dan logos yang berarti ilmu.Secara umum,
farmakologi merupakan ilmu yang mempelajari efek dan nasib obat dalam
tubuh.
Syarat untuk mempelajari farmakologi adalah terlebih dahulu faham
mengenai ilmu anatomi dan fisiologi manusia, salah satunya yakni sistem
syaraf.Sebagaimana yang kita ketahui bahwa sistem saraf terbagi menjadi dua
bagian, yaitu sistem saraf pusat (SSP) dan sistem saraf otonom (SSO).
Sistem saraf pusat merupakan bagian dari sistem saraf yang terdriri dari
otak dan sumsum tulang belakang.SSP mempunyai fungsi mengkoordinasi
segala aktivitas bagian tubuh manusia.Berbicara mengenai SSP, ada beberapa
obat-obatan yang dapat mempengaruhi kinerjanya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana fisiologi nyeri dan demam?
2. Apa yang dimaksud dengan analgetika?
3. Bagaimana pengklasifikasian obat-obat golongan analgetika?
4. Bagaimana fisiologi tidur?
5. Apa yang dimaksud dengan sedativa dan hipnotika?
6. Bagaimana sejarah mengenai sedativa dan hipnotika?
7. Bagaimana penggolongan obat-obat sedativa dan hipnotika?

1
C. Tujuan Masalah
Agar mahasiswa mengetahui :
1. Cara terjadinya nyeri dan demam.
2. Apa yang dimaksud dengan analgetika.
3. Apa saja golongan obat-obat analgetika
4. Cara terjadinya tidur
5. Apa yang dimaksud dengan sedativa dan hipnotika
6. Sejarah mengenai sedativa dan hipnotika
7. Apa saja golongan obat-obat sedativa dan hipnotika

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Analgetika-Antipiretika
Fisiologi Nyeri dan Demam
Nyeri. Prostaglandin (PG) hanya berperan pada nyeri yang berikatan
dengan kerusakan jaringan atau inflamasi.Penelitian telah membuktikan bahwa
PG menyebabkan sensitisasi reseptor nyeri terhadap stimulasi mekanik dan
kimiawi. Jadi PG menimbulkan keadaan hiperalgesia, kemudian mediator kimiawi
seperti bradikinin dan histamin merangsangya dan menimbulkan nyeri yang nyata.
Obat mirip-aspirin tidak mempengaruhi hiperalgesia atau nyeri yang
ditimbulkan oleh efek langsung PG. Ini menunjukkan bahwa sintesis PG yang
dihambat oleh golongan obat ini, dan bukannya blokade langsung.
Demam. Suhu badan diatur oleh keseimbangan antara produksi dan
hilangnya panas. Alat pengatur suhu tubuh berada di hipotalamus. Pada keadaan
demam, keseimbangan ini terganggu dapat dikembalikan ke normal oleh obat
mirip-aspirin. Ada bukti bahwa peningkatan suhu tubuh pada keadaan patologik
diawali penglepasan suatu zat pirogen endogen atau sitokin seperti interleukin-1
(IL-1) yang memacu penglepasan PG yang berlebihan di daerah preoptik
hipotalamus.Selain itu PGE2 terbukti menimbulkan demam setelah diinfuskan ke
ventrikel serebral atau disuntikkan ke daerah hipotalamus. Obat mirip-aspirin
menekan efek zat pirogen endogen dengan menghambat sintesis PG. Tetapi
demam yang timbul akibat pemberian PG tidak dipengaruhi, demikian pula
peningkatan suhu tubuh oleh sebab lain seperti latihan fisik.

Pengertian
Analgesik atau analgetika (obat penghalang nyeri) adalah zat-zat yang
mengurangi atau menghalau rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. (Tjay,
2007)
Antipiretika adalah obat yang berkhasiat menurunkan suhu tubuh dari
suhu yang tinggi menjadi kembali normal. Obat-obat antipiretik juga,

3
menekan gejala-gejala yang biasanya menyertai demam seperti myalgia,
kedinginan, nyeri kepala, dll.

Penggolongan Obat-obat Analgesik


Menurut cara kerja farmakologisnya, analgetika dibagi dalam dua
kelompok besar (Tjay, 2007) :
 Analgetika perifer (non-narkotik), yang terdiri dari obat-obat yang tidak
bersifat narkotik dan tidak bekerja sentral. Analgetika antiradang,
termasuk dalam golongan ini.
 Analgetika narkotika, khusus digunakan untuk menghalau rasa nyeri
hebat, seperti pada fractura dan kanker.

1. Analgetika perifer atau obat-obat golongan Analgesik, Antipiretik, dan


Antiinflamasi Non Steroid (AINS),
Merupakan salah satu kelompok obat yang paling banyak diresepkan
dan juga digunakan tanpa resep dokter.Obat obat ini merupakan suatu
kelompok obat yang heterogen, secara kimia.Walaupun demikian obat-
obat ini ternyata memiliki banyak persamaan dalam efek terapi maupun
efek samping.Prototip obat golongan ini adalah aspirin, karena itu obat
golongan ini sering disebut juga sebagai obat mirip aspirin (aspirin-like-
drugs).
Kemajuan penelitian dalam dasawarsa terakhir ini memberi
penjelasan mengapa kelompok heterogen tersebut memiliki kesamaan efek
terapi dan efek samping.Ternyata sebagian besar efek terapi dan efek
sampingnya berdasarkan atas penghambatan biosintesis prostaglandin
(PG).

4
Klasifikasi Obat-obat AINS
Obat AINS
Golongan Derivat Obat

 Fenasetin
Para-aminofenol
 Asetaminofen

 Diklofenak
Asam Fenilasetat
 Fenklofenak
 Indometasin
Asam Asetat-inden  Sulindak
 Tolmetin
 Aspirin
 Benorilat
Asam Salisilat
 Diflunisal
Asam Karboksilat  Salsalat
 As. Tiaprofenat
 Fenbufen
 Fenoprofen
Asam Propionat
 Flurbiprofen
 Ibuprofen
 Ketoprofen
 As. Mefenamat
Asam Fenamat
 Meklofenamat
 Azapropazon
Pirazolon  Fenilbutazon
Asam Enolat  Oksifenbutazon
 Piroksikam
Oksikam
 Tanoksikam

Tabel 1.Klasifikasi obat-obat AINS

Mekanisme kerja obat-obat AINS

5
Mekanisme kerja berhubungan dengan sistem biosintesis PG mulai
dilaporkan pada tahun 1971 oleh Vane dkk yang memperlihatkan secara in
vitro menghambat produksi enzimatik PG. Penelitian lanjutan telah
membuktikan bahwa produksi PG akan meningkat bilamana sel
mengalami kerusakan. Walaupun in vitro, obat-obat AINS diketahui
menghambat berbagai reaksi biokimiawi lainnya, hubungannya dengan
efek analgesik, antipiretik, dan antiinflamasinya masih belum jelas. Selain
itu obat AINS secara umum tidak menghambat biosintesis leukotrien,
malah pada beberapa orang sintesis meningkat dan dikaitkan dengan reaksi
hipersensitivitas yang bukan berdasarkan pembentukan antibodi.
Golongan obat ini menghambat enzim siklooksigenase sehinga
konversi asam arakidonat menjadi PGG 2 terganggu. Setiap obat
menghambat siklooksigenase dengan kekuatan dan selektivitas yang
berbeda.
Enzim siklooksigenase terdapat dalam 2 isoform disebut COX-1 dan
COX-2. Kedua isoform tersebut dikode oleh gen yang berbeda dan
ekspresinya bersifat unik. Secara garis besar COX-1 esensial dalam
pemeliharaan berbagai fungsi dalam kondisi normal di berbagai jaringan
khususnya ginjal, saluran cerna, dan trombosit. Di mukosa lambung,
aktivasi COX-1 menghasilkan protasiklin yang bersifat sitoprotektif. COX-
2 semula diduga diinduksi berbagai stimulus inflamatoar, termasuk
sitokin, endotoksin, dan faktor pertumbuhan (growth factors). Ternyata
sekarang COX-2 juga mempunyai fungsi fisiologis yaitu di ginjal, jaringan
vaskular dan pada proses perbaikan jaringan. Tromboksan A2, yang
disintesis trombosit oleh COX-1, menyebabkan agregasi trombosit,
vasokonstriksi dan poliferasi otot polos. Sebaliknya prostasiklin (PGI 2)
yang disintesis oleh COX-2 di endotel makrovaskular melawan efek
tersebut dan menyebabkan penghambatan agregasi trombosit, vasodilatasi
dan efek anti-poliferatif.

Efek Samping

6
Selain menimbulkan efek terapi yang sama obat mirip-aspirin juga
memiliki efek samping serupa, karena didasari oleh hambatan pada sistem
biosintesis PG. Selain itu kebanyakan obat bersifat asam sehingga lebih
banyak terkumpul dalam sel yang bersifat asam seperti di lambung, ginjal
dan jaringan inflamasi. Jelas bahwa efek obat maupun efek sampingnya
akan lebih nyata di tempat dengan kadar yang lebih tinggi.

Efek samping yang paling sering terjadi adalah induksi tukak


lambung atau tukak peptik yang kadang-kadang disertai anemia sekunder
akibat perdarahan saluran cerna.Beratnya efek samping ini berbeda pada
masing-masing obat. Dua mekanisme terjadinya iritasi lambung ialah : (1)
iritasi yang bersifat lokal yang menimbulkan difusi kembali asam lambung
ke mukosa dan menyebabkan kerusakan jaringan; (2) Iritasi atau
perdarahan lambung yang bersifat sistemik melalui hambatan biosintesis
PGE2 dan PGI2. Kedua PG ini banyak ditemukan di mukosa lambung
dengan fungsi menghambat sekresi asam lambung dan merangsang sekresi
mukus usus halus yang bersifat sitoprotektif. Mekanisme kedua ini terjadi
pada pemberian parenteral

Efek samping lain ialah gangguan fungsi trombosit akibat


penghambatan biosintesis tromboksan A2 (TXA2) dengan akibat
perpanjangan waktu perdarahan. Efek ini telah dimanfaatkan untuk terapi
profilaksis trombo-emboli.

Penghambatan biosintesis PG di ginjal, terutama PGE2, berperan


dalam gangguan homeostasis ginjal yang ditimbulkan oleh onbat mirip-
aspirin ini.Pada orang normal gangguan ini tidak banyak mempengaruhi
fungsi ginjal. Tetapi pada penderita hipovolemia, sirosis hepatis yang
disertai asites dan penderita gagal jantung, alir darah ginjal dan kecepatan
titrasi glomeruli akan berkurang, bahkan dapat terjadi gagal ginjal.

Pada beberapa orang dapat terjadi reaksi hipersensitivitas terhadap


aspirin dan obat mirip-aspirin.Reaksi ini bisa berupa rinitis vasomotor,

7
udem angioneurotik, urtikaria luas, asma bronkial, hipotensi sampain
keadaan presyok dan syok.Diantara aspirin dan obat mirip-aspirin dapat
terjadi reaksi hipersensitif silang.Menurut hipotesis terakhir, mekanisme
reaksi ini bukan suatu reaksi imunologik tetapi akibat tergesernya
metabolisme asam arakidonat ke arah jalur hipoksigenase yang
menghasilkan leukotrien.Kelebihan produksi leukotrien inilah yang
mendasari terjadinya gejala tersebut.

2. Analgetika narkotika
Analgesika narkotika atau analgesik opioid merupakan kelompok
obat yang memiliki sifat seperti opium. Opium yang berasal dari gertah
Papaver somniferum mengandung sekitar 20 jenis alkaloid diantaranya
morfin, kodein, tebain, dan papaverin. Analgesik opioid terutama
digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri, meskipun
juga memperlihatkan berbagai efek farmakodinamik yang lain.
Ada 3 jenis utama reseptor opioid yaitu mu (µ), delta (δ), kappa
(κ). Ketiga jenis reseptor yang berpasangan dengan protein G, dan
memiliki subtipe: mu1, mu2, delta1, delta2, kappa1, kappa2, kappa3. Karena
suatu opioid dapat berfungsi dengan potensi yang berbeda sebagai suatu
agonis, agonis parsial, atau antagonis pada lebih dari satu jenis reseptor
atau subtipe reseptor maka senyawa yang tergolong opioid dapat memiliki
efek farmakologik yang beragam.
Reseptor µ memperantarai efek analgetik mirip morfin, euphoria,
depresi napas, miosis, berkurangnya motilitas saluran cerna.Reseptor κ
diduga memperantarai analgesia seperti yang ditimbulkan pentazosin,
sedasi serta miosis dan depresi napas yang tidak sekuat agonis µ.Selain itu
di susunan saraf pusat juga didapatkan reseptor δ yang selektif terhadap
enkefalin dan reseptor ε (epilson) yang sangat selektif terhadap beta-
endorfin tetapi tidak mempunyai terhadap enkefalin.Terdapat bukti-bukti
yang tidak menunjukkan bahwa reseptor δ memegang peranan dalam

8
menimbulkan depresi pernapasan yang ditimbulkan opioid.Dari penelitian
pada tikus didapatkan bahwa reseptor δ dihubungkan dengan
berkurangnya frekuensi napas, sedangkan reseptor µ dihubungkan dengan
berkurangnya tidal volume. Reseptor µ ada 2 jenis yaitu reseptor µ1, yang
hanya didapatkan di SSP dan dihubungkan dengan analgesia supraspinal,
pengelepasan prolaktin, hipotermia dan katalepsi sedangkan reseptor µ2
dihubungkan dengan penurunan tidal volume dan bradikardia. Analgesik
yang berperan pada tingkat spinal berinteraksi dengan reseptor δ dan κ

Struktur dasar Agonis kuat Agonis lemah sampai sedang


Fenantren Morfin Kodein
Hidromorfon Oksikodon
Oksimorfon Hidrokodon
Fenilheptilamin Metadon Propoksifen
Fenilpiperidin Meperidin Difenoksilat
Fentanil
Morfinan Levorfanol

Mekanisme kerja analgetika narkotik


Obat-obat jenis ini bekerja dengan jalan menduduki reseptor-
reseptornya di SSP, hingga perasaan nyeri dapat diblokir.Khasiat analgetik
opioida berdasarkan kemampuannya untuk menduduki sisa-sisa reseptor
nyeri yang belum ditempati obat-obat ini.Tetapi apabila analgetika ini
digunakan secara terus menerus, pembentukan reseptor-reseptor baru
distimulasi dan produksi obat-obat ini di ujung saraf otak
dirintangi.Akibatnya terjadilah kebiasaan dan ketagihan.

B. Hipnotika dan Sedativa


Fisiologi Tidur

9
Kebutuhan akan tidur dapat di anggap sebagai suatu perlindungan dari
organisme untuk menghindari pengaruh yang merugikan tubuh karena kurang
tidur. Tidur yang baik, cukup dalam dan lama, adalah mutlak untuk regenerasi sel-
sel tubuh dan memungkinkan pelaksanaan aktifitas pada siang hari dengan
baik.Efek terpenting yang mempengaruhi kualitas tidur adalah penyingkatan
waktu menidurkan,perpanjanganmasa tidur, dan pengurangan jumlah perioda
terbangun.Pusat-tidur di otak (sum-sum sambungan) mengatur fungsi fisiologi ini
yang sangat penting bagi kesehatan tubuh.
Pada waktu tidur, aktivitas saraf parasimpatis meningkat, dengan efek
penyempitan pupil (myosis), dengan perlambatan pernapasan dan sirkulasi
darah(bronchokonstriksi dan menurunnya kegiatan jantung), serta stimulasi
aktivitas saluran cerna dengan penguatan peristaltik dan sekresi getah lambung-
usus. Singkatnya, proses-proses pengumpulan enersi dan pemulihan tenaga dari
organisme diperkuat.
a) Tidur non-Rapid Eye Movement (REM), juga disebut slow wave sleep
(SWS) berdasarkan registrasi aktivitas listrik otak (EEG = electro-encefalo-
gram). Non-REM bercirikan denyutan jantung, tekanan darah, dan
pernapasan yang teratur, serta relakasi otot tanpa gerakan otot muka atau
mata. SWS ini berlangsung lebih kurang satu jam lamanya. Dan meliputi
berturut-turut 4 fase, dimana fase 3 dan 4 merupakan bentuk tidur yang
terdalam, juga penting bagi perbaikan (restorasi) alamiah dari sel-sel
tubuh. Kemudian fase ini disusul oleh stadium tidur-REM.
b) Tidur-REM atau tidur paradosal, dengan aktivitas EEG yang mirip keadaan
sadar dan aktif, bercirikan gerakan mata cepat ke satu. Disamping itu
jantung, tekanan darah, dan pernapasan turun-naik, aliran darah ke otak
bertambah, danb otot-otot sangat relaks. Selama tidur REM yang pada ke
dua siklis pertama berlangsung 5-25 menit. Lamanya, timbul banyak mimpi
sehingga di sebut juga tidur- mimpi berangsur-angsur fase mimpi ini
menjadi lebih panjang, hingga pada siklus terakhir (pada pagi hari) dapat
berlangsung rata-rata 20-30 menit lamanya.

10
*4-5 siklus tidur. Siklus pertama ini secara bergiliran di susul oleh 3-4 siklus
lainnyan dengan fase tidur-delta dari kira-kira 60 menit dan fase tidur-REM dari
kira-kira 15 menit. Dalamnya dan nyenyaknya tidur pada jam- jam pertama
bersifat paling lelap yang lambat-laun menjadi lebih dangkal.
Lansia juga mengalami perubahan demikian, tidur menjai lebih dangkal dengan
hilangnya “tidur dalam” (stadia 3 dan 4), edangkan tidur-mimpi menjadi lebih
panjang.
Bayi yang baru lahir memerlukan tidur 16 jam, orang dewasa lebih
kurang 8 jam, sedangkan di atas usia 50 tahun rata-rata 6 jam sudah cukup.
Tidur-REM pada bayi merupakan 50% dari tidur seluruhnya dam menurun
sampai 20-25% pada usia 6 tahun, yang selanjutnya K.I. konstan untuk seumur
hidup.
Bila tidur-REM dirintagi dan menjadi lebih singkat, misalnya akibat obat
tidur maka pasien mengalaminya sebagai obat tidur tidak nyenyak dan merasa
tidak segar-sehat. Hal ini akhirnya dapat menimbulkan gangguan psikis dan
kesehatan.

Pengertian
Hipnotika atau obat tidur (Yun: hypnos = tidur) adalah zat-zat yang dalam
dosis terapi diperuntukan meningkatkan keinginan faali untuk tidur dan
mempermudah atau menyebabkan tidur.Lazimnya obat ini diberikan pada malam
hari.Bilamana zat-zat ini diberikan pada siang hari dalam dosis yang lebih rendah
untuk tujuan menenangkan, maka dinamakan sedativa (obat-obat pereda).Oleh
karena itu, tidak ada perbedaan tajam antar kedua kelompok obat ini.
Hipnotika/sedativa, seperti juga antipsikotika termasuk dalam kelompok
psikodepretiva yang mencangkup obat-obat yang menekan atau menghambat
fungsi-fungsi ssp tertentu.
Sedativa berfungsi menurunkan aktivitas, mengurangi ketegangan dan
menenangkan penggunanya.Keadaan sedasi juga merupakan efek samping dari
banyak obatyang khasiat utamanya tidak menekan ssp, misalnya antikolinergika.

11
Hipnotika menimbulkan rasa kantuk (drowsiness), mempercepat tidur dan
sepanjang malam mempertahankan keadaan tidur yang menyerupai tidur alamiah
mengenai sifat-sifat EEG-nya.Selain sifat-sifat ini, secara idel obat tidur tidak
memiliki aktivitas sisa pada keesokan harinya. Diazepin, dapat menekan ssp
dengan khasiat sedatif dan hipnotisnya, tetapi selain relaksasi otot . kerjaan
xiolitis (menghalau rasa takut dan kegelisahan) tidak tergantung dari daya
sedaktif, bahkan tranquillizer yang ideal hendaknya berefek sedative seringan
mungkin. Pada pengunaan jangka panjang benzodiasepin juga dapat menimbulkan
kebiasaan dan ketergantungan, tetapi lebih ringan daripada hipnotika
lainnya.Pada overdose (besar) jarang seali menimbulkan depresi pernapasan dan
kardiovaskuleratau koma fatal, jika tiak dikombinasi dengan obat lain yang
menekan ssp (misalnya alkohol). Karena kemasannya yang tinggi, maka obat-obat
ini sudah mendesak tuntas barbiturate sebagai obat tidur dan penenang pada
keadaan neurotis, seperti gelisa, takut dan stress (Lat. Tranquilis = tenang, anxios
= kuatir/ cemas, lysis = menguraikan, hilangkan, Yun. Ataraktos = ketenangan).

Sejarah
Sedativa-hipnotika telah digunakan sejak tahun 1853 dengan
diintroduksinya bromida dan pada dasawarsa berikutnya disususl oleh antara lain
kloraldidrat dan paradelhida. Di tahun 1903, barbital (veronal) di pasarkan
sebagai obat pereda dan obat tidurpertama kali kelompok barbitural.
Fenobarbital menyusul di tahun 1912 dan sekitar lima pluh barbiturat lainnya
sampai tahun 1950-an. Awal tahun 1950 klorpromazin dan memprobamat telah di
introduksi sebaga obat penenang jiwa yang baru. Pada tahun 1957
klordiazepoksida di sintesa sebagai zat pertama dari kelompok sedative canggih,
yakni senyawa benzodiazepin. Derivat lainnya seperti diazepam dan lorazepam,
segera menyusul, juga nitrazepam sebagai obat tidur di tahun 1973. Pada tahun
1975 klonazepam diperkenalkan sebagai zat anti-konvulsi untuk mengobati
epilepsi dan di susul oleh turunan lainnya hingga kini tersedia lebih dari 35
benzodiazepin diseluruh dunia untuk pengobatan.Kelompok ini disebut minor

12
tranquillizers sebagai kontras dengan antipsikotika yang di namakan major
tranquillizers, atau neuroleptika.

Penggolongan hipnotika-sedativa
Hipnotika dapat dibagi dalam beberapa kelompok, yakni senyawa
barbiturat dan benzodiazepin, obat-obat lainnya dan obat absolet.
a) Barbiturat: fenobarbital, siklobarb dll. Pengunaanya sebagai sedativa-
hipnotika kini praktis sudah ditinggalkan berhubung adanya zat-zat
benzodiazepin yang jauh lebih aman. Dewasa ini hanya benerapa
barbiturate masih digunakan untuk indikasi tertentu, misalnya fenobarb
dan mefobarb sebagai anti-epileptika dan pentotal sebagai
anestetikum.
b) Benzodiazepin: temasepam, nitrasepam, flurasepam, flunitrasepam,
triasolam, estasolam dan midasolam. Obat-obat ini pada umunya kini
diangap sebagai obat tidurpilihan pertama karena toksisitas dan efek
sampingnya yang relative ringan. Obat ini juag menimbulkan lebih
sedikit interaksi dengan obat lain, lebih ringan menekan pernapasan dan
kecenderungan ponyalagunaan yang lebih sedikt.
Sejumlah benzodiazepinlain khusus digunakan sebagai tranquillizer,
yakni kloridazepoksid, klorazepat (Tanxene), bromasepam (lexotan),
diazepam, prazepam, medazepam, oxazepam (Serenal).
c) Lain-lain: morfin (candu) juga berkhasiat hipnotis kuat tetapi terlalu
bahaya untuk digunakan sebagai obat tidur, begitu pula alkohol.
Memrobamat, opipramol, buspiron (Buspar) dan zopiclon (imovane)
digunakan sebagai tranquillizers. Klorarhidrat termasuk obat tidur
yang paling tua dan kadangkala masih digunakan dalam pediatrik dan
geriatri untuk jangka waktu singkat
d) Obat-obat absolet: senyawa brom K/Na/NH4Br serta turunan-turunan
ureakabromaldan bromisoval. Obat-obat ini hanya berkhasiat hipnotis
lemah dan dahulu hanya digunakan sebagai obat pereda (Sol. Chacot).

13
Bahaya komulasi dan toksisitasnya besar (Bromosme), sehingga tidak
digunakan lagi dalam terapi modern.
 Memrobamat (deparon) adalah traquillizer pertama (1955) yang
dahulu sering digunakan. Namun karena efek sampingnya banyak
dan agak sering terjadi tentamen suicide (percobaan bunuh diri) dan
intoksikasi, kin obat ini tidak lagi di anjurkan pada pasien baru.

 Opipramol(insidom) adalah senyawa trisiklis sepert antidepresivum


amitriptilin (1962), tetapi tidak menghambat reuptake serotonin.
Opipramol berdaya hipnotis dan anksilitis lemah yang mulai
kerjanya lambat, sehingga danjurkan sebagai obat tambahan pada
keadaan ketengangan dengan perasaan takut. Berhubung ratio
efektifitas dan efek sampingnya relatif lebih buruk, kini
penggunaannya sudah berkurang.

BAB III
PENUTUP

14
A. Kesimpulan
Sistem saraf pusat merupakan bagian dari sistem saraf yang terdriri dari
otak dan sumsum tulang belakang.SSP mempunyai fungsi mengkoordinasi
segala aktivitas bagian tubuh manusia. Berbicara mengenai SSP, ada beberapa
obat-obatan yang dapat mempengaruhi kinerjanya, misalnya obat-obat
golongan analgetika dan obat-obat golongan Sedativa-Hipnotik

Daftar Pustaka

15
Anonim.2008. Informatorium Obat Nasianal Indonesia.Jakarta : Badan POM RI
Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2012. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI
Nugroho Agung. 2011. Farmakologi : Obat-obat Penting dalam Pembelajaran
Ilmu Farmasi dan Dunia Kesehatan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Tjay Han, Rahardja Kirana. 2007. Obat-Obat Penting Edisi 6. Jakarta : PT. Elex
Media Komputindo

16

Anda mungkin juga menyukai