Anda di halaman 1dari 53

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejak ditemukannya penyakit Aqcuired Immune Deficiency Syndrome (AIDS)

pada tahun 1981 telah berkembang menjadi masalah kesehatan global . HIV/AIDS

(Human Immunodeficiency/Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan

isu sensitive dibidang kesehatan. HIV juga menjadi isu internasional karena HIV

telah menyerang banyak manusia di seluruh penjuru dunia. Menurut data dari

United Nations Programme on HIV/ AIDS (UNAIDS) dalam laporannya pada hari

AIDS sedunia tahun 2012, menyatakan hingga tahun 2011 diperkirakan ada

sebanyak 34 juta orang hidup dengan HIV/AIDS, sebanyak 2,5 juta kasus baru

terinfeksi HIV, dan 1,7 juta kematian disebabkan AIDS. Negara yang memiliki

penduduk yang positif HIV/ AIDS adalah region Sub Sahara, diikuti Asia pada

peringkat kedua yakni 4,8 juta kasus. Indonesia menempati posisi ke lima dari

seluruh negara di Asia setelah India, Myanmar, Nepal, dan Thailand. HIV/AIDS

(Human Immunodeficiency/Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan

isu sensitive dibidang kesehatan. HIV juga menjadi isu internasional karena HIV

telah menyerang banyak manusia di seluruh penjuru dunia.

Menurut data WHO 2014 total kasus infeksi HIV di akhir tahun 2012

mencapai 75 juta orang. Lebih dari 36 juta orang meninggal akibat AIDS di

seluruh dunia sejak penyakit ini ditemukan untuk pertama kalinya pada

tahun 1981. Data WHO juga menunjukkan bahwa 0,8% orang dewasa (15-49

tahun) di seluruh dunia hidup dengan HIV.


Penyakit HIV/ AIDS di Indonesia dilaporkan pertama kali di Bali pada tahun

1987. Sampai dengan September 2014, HIV/ AIDS tersebar di 386 dari 498

kabupaten/kota diseluruh provinsi di Indonesia. Berdasarkan laporan dari

Departemen Kesehatan hingga bulan September tahun 2014, terjadi peningkatan

jumlah penderita HIV/ AIDS yang cukup signifikan dari sebelumnya tahun 2012

sebanyak 21.551 menjadi 150.296 orang dengan HIV, dan AIDS sebanyak 55.799

orang (DepKes RI, 2014).

Sejak ditemukannya kasus HIV di Sulawesi Utara pada tahun 1997 maka

terlihat pertambahan kasus baru yang semakin membesar pada 5 tahun terakhir.

Kasus dan tercatat hingga bulan Desember 2016 penderita HIV/AIDS di Sulawesi

Utara sebanyak 2.384 kasus, yaitu untuk kasus HIV sebanyak 742 kasus dan kasus

AIDS sebanyak 1.642 kasus. Pada sepanjang tahun 2016 di temukan 83 kasus

HIV baru pada golongan umur 20 – 29 tahun dan 224 kasus AIDS pada golongan

umur 30 – 49 tahun. Kematian akibat AIDS di tahun 2016 sebanyak 1 orang pada

golongan umur >50 tahun. ( Profil Kesehatan Sulut, 2016).

Dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Welly Vitriawan, dkk.

Menunjukan bahwa beberapa ODHA pertama kali terdiagnosis HIV/AIDS

mengalami stress, pasien juga mengalami proses berduka dan mengalami

keterpurukan.

Penanganan HIV/ AIDS tidak hanya segi medis saja, tetapi layanan

psikososial dengan berdasarkan pendekatan kesehatan masyarakat sangat

diperlukan melalui pencegahan primer, sekunder dan tertier. Penanggulangan

HIV/ AIDS ditujukan untuk mencegah, menggurangi resiko penularan,


meningkatkan kualitas hidup ODHA serta menggurangi dampak sosial ekonomi

pada individu, keluarga dan masyarakat. Individu yang menderita HIV/ AIDS,

akan mengalami tekanan emosional serta stress psikologis takut dikucilkan

keluarga dan masyarakat, terutama keluarga takut tertular, serta adanya stigma

sosial dan diskriminasi di masyarakat (Green & Hertin, 2013).

Perawatan dan pengobatan HIV/ AIDS membutuhkan waktu yang lama

terkadang dapat menyebabkan penderita menghentikan pengobatan. Selain itu

juga karena rasa bosan, banyaknya jenis obat, efek samping serta komplikasi yang

mungkin dialami. Untuk mencegah resistensi obat dan tetap bertahan dengan

kepatuhan yang tinggi, memerlukan disiplin pribadi dan bantuan agar selalu

minum obat (Green & Hestin, 2013).

Keluarga sebagai support system yang utama dibutuhkan untuk

mengembangkan koping yang efektif untk beradaptasi menghadapi stressor terkait

penyakit, baik fisik, psikologis maupun sosial. Dukungan keluarga terdiri dari

dukungan informatif, penghargaan, instrumental dan emosional. Kecenderungan

dukungan keluarga yang adekuat terbukti dapat menurunkan angka mortalitas,

lebih mudah sembuh dari sakit, fungsi kognitif, fisik dan kesehatan emosi

(Friedmen 1998 dalam Setiadi, 2013).

Kepedulian, kasih sayang keluarga merupakan salah satu dukungan yang

sangat dibutuhkan bagi penderita HIV/AIDS. Beberapa pendapat mengatakan

kedekatan hubungan merupakan sumber yang paling penting, karena salah satu

fungsi keluarga selain menyediakan makanan, pakaian dan rumah, juga

mempunyai peran dalam hal perawatan. Fungsi perawatan dilakukan dengan


memberikan dengan memberi asuhan terhadap anggota keluarga baik berupa

pencegahan sampai merawat keluarga yang sakit (Nursalam & Kurniawati, 2007;

Padila, 2012).

Dari survey awal yang dilakukan di Komunitas Dukungan Sebaya Family

Support Manado peneliti mendapatkan data penderita HIV/AIDS dari bulan

januari hinggan juni 2018 berjumlah 178 orang. Menurut wawancara yang

dilakukan peneliti bahwa 3 dari 5 ODHA mengatakan bahwa merasa tidak puas

dengan kondisi dirinya saat ini.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalah dalam penelitian ini “Apa

kah Ada Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kualitas Hidup Pada Penderita

HIV/AIDS di Kelompok Dukungan Sebaya Family Support Manado ?”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Diketahui Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kualitas Hidup Pada

Penderita HIV / AIDS di Kelompok Dukungan Sebaya Family Support

Manado.

2. Tujuan Khusus

a. Diidentifikasi dukungan keluarga penderita HIV/AIDS di Kelompok

Dukungan Sebaya Family Support Manado.

b. Diidentifikasi kualitas hidup penderita HIV/AIDS di Kelompok

Dukungan Sebaya Family Support Manado.


c. Dianalisa Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kualitas Hidup

Penderita HIV/AIDS di Kelompok Dukungan Sebaya Family Support

Manado.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi tambahan wawasan bagi

perkembangan ilmu pengetahuan tentang dukungan keluarga dan kualitas

hidup penderita HIV/AIDS.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi tempat penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi guna

mengembangkan penerimaan diri secara positif pada pasien HIV-AIDS

melalui dukungan sosial dari orang-orang yang ada di sekitar pasien

salah satunya adalah keluaga.

b. Bagi Peneliti

Penelitian ini semoga menambah wawasan dan diharapkan bermanfaat

dalam menerapkan teori dan pelaksanaan pengobatan khususnya

ODHA.

c. Bagi Pasien

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pemahaman pasien dengan

HIV/AIDS berkaitan dengan kualitas hidupnya.

d. Bagi Institusi Pendidikan

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi untuk penelitian

selanjutnya dan sebagai tambahan literature bagi Program Studi Ilmu


Keperawatan STIKES Muhammadiyah Manado tentang dukungan

keluarga dan kualitas hidup penderita HIV/AIDS.

e. Bagi Peneliti Selanjutnya

Diharapkan untuk mengembangkan penelitian dengan meneliti factor

lain yang berhubungan dengan dukungan keluarga dan kualitas hidup

penderita HIV/AIDS dengan melibatkan populasi dan sampel yang

lebih luas.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep dasar HIV/AIDS

1. Pengertian

HIV adalah virus penyebabkan AIDS dengan cara menyerang sel

darah putih sehingga dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia yang

pada akhirnya tidak dapat bertahan dari gangguan penyakit walaupun yang

sangat ringan sekalipun. AIDS merupakan dampak atau efek dari

perkembangbiakan virus HIV dalam tubuh makhluk hidup. Penyakit yang

kemunculannya seperti fenomena gunung es (iceberg phenomena), yaitu

jumlah ODHA yang dilaporkan jauh lebih kecil dari pada jumlah ODHA

yang sebenarnya, telah menyebar di sebagian besar provinsi di Indonesia.

Hal ini berarti bahwa jumlah pengidap infeksi HIV dan AIDS yang

sebenarnya di Indonesia masih sangat sulit diukur dan belum diketahui

secara pasti (Agusyanti, 2012).

2. Etiologi

Penyebab AIDS adalah sejenis virus yang tergolong Retrovirus

yang disebut Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus ini pertama

kali diisolasi oleh Montagnier dan kawan-kawan di Prancis pada tahun

1983 dengan nama Lymphadenopathy Associated Virus (LAV),

sedangkan Gallo di Amerika Serikat pada tahun 1984 mengisolasi (HIV)

III. Kemudian atas kesepakatan internasional pada tahun 1986 nama virus

dirubah menjadi HIV (Herawati, 2012). Virus HIV hidup dalam darah,
saliva, semen, air mata dan mudah mati diluar tubuh. HIV dapat juga

ditemukan dalam sel monosit, makrotag dan sel glia jaringan otak. Banyak

orang yang terinfeksi oleh virus AIDS dan hanya sedikit yang yang berani

memeriksakan sehingga kasus HIV / AIDS ini tetap meningkat (Herawati,

2012)

Retrovirus merupakan suatu virus RNA yang mampu membuat

DNA dan RNA dengan pertolongan enzim, reverse transcriptase yang

kemudian disisipkan ke DNA sel hospes sebagai mesin genetic. Dengan

demikian virus mampu menggunakan mesin reflikatif sel hospes untuk

memproduksi, baik dirinya maupun berbagai zat yang ternyata dapat

mentransformasikan sel hospes menjadi sel maligna. Pertimbangan bahwa

retrovirus sebagai rumor virus RNA, dianggap sebagai kandidat virus

penyebab yang paling pantas, di dasarkan atas beberapa alasan berikut:

1. Beberapa retrovirus mempunyai tropisma spesifik terhadap limfosit T–

Helper.

2. Retrovirus adalah blood-bone.

3. Beberapa retrovirus dapat menimbulkan immunodefisiensi pada

binatang, sebagai contoh ialah : virus leukemia felin dapat

menyebabkan immunodefisiensi padda kucing (feline-AIDS) dan suatu

ledakan spontan penyakit pada kera (simian AIDS atau SAIDS)

mempunyai persamaan dengan AIDS yang disebabkan retrovirus.

4. Pada manusia suatu kelompok retrovirus yang dikenal sebagai T–cell

leukemia virus (HTLV) mempunyai hubungan dengan keganasan


limfosit T dan dapat memproduksi sel–T secara berlebihan dengan

memnyebabkan leukemia.

3. Patogenesis

HIV masuk tubuh manusia terutama melalui darah, semen dan

secret vagina, serta transmisi dari ibu ke anak. Tiga cara penularan HIV

adalah sebagai berikut :

a. Hubungan seksual, baik secara vagina, oral maupun anal dengan

seorang pengidap. Hal ini adalah cara yang paling umum terjadi,

meliputi 80–90% total kasus sedunia.

b. Kontak langsung dengan darah, produk darah, atau jarum suntik.

Transfuse darah/produk darah yang tercemar mempunyai resiko

sampai > 90%, ditentukan 3–5% total kasus sedunia. Pemakainan

jarum suntik tidak steril atau pemakaian bersama jarum suntik dan

spuitnya pada pecandu narkotik beresiko 0,5–1%, ditentukan 5–10%

total kasus sedunia. Penularan melalui kecelakaan tertusuk jarum pada

petugas kesehatan mempunyai resiko 0,5% dan mencakup < 0,1% total

kasus sedunia.

c. Transmisi secara vertical dari ibu hamil mengidap HIV pada bayinya

melalui plasenta. Resiko penularan dengan cara ini 25–40% dan

terdapat <0,1% kasus sedunia.


Setelah masuk tubuh, virus menuju ke kelenjar limfe dan berada

dalam sel dendritik selama beberapa hari kemudian terjadi sindrom

retroviral akut seperti flu (serupa infeksi mononucleosis) disertai vivernia

hebat dengan keterlibatan berbagai kelenjar limfe. Pada tubuh, timbul

respon imun humoral maupun selular. Sindrom ini akan hilang sendiri

setelah 1–3 minggu. Kadar virus yang tinggi dalam darah dapat diturunkan

oleh system imun tubuh. Proses ini berlangsung selama berminggu–

minggu sampai terjadi keseimbangan antara pembentukan virus baru dan

upaya eliminasi oleh respon imun. Titik keseimbangan yang disebut sel

point ini penting karena menentukan perjalanan penyakit selanjutnya. Bila

tinggi, perjalanan penyakit menuju AIDS akan berlangsung lebih cepat.

Serokonversi (perubahan antibody negative menjadi positif) terjadi

1-3 bulan setelah infeksi, tetapi pernah juga dilaporkan sampai 8 bulan.

Kemudian pasian akan memasuki masa tanpa gejala. Dalam masa ini

terjadi penurunan bertahap jumlah CD4 (jumlah normal 800–1000/mm2)

yang terjadi setelah replikasi persisten HIV dengan kadar RNA virus

relative konstan. CD4 adalah reseptor pada limfosit T4 yang menjadi

target sel utama HIV.

Limfosit T4 mengatur reaksi sistem kekebalan manusia. Limfosit

T4 memulai dan mengarahkan untuk pengenalan dan pemusnahan agen

asing (termasuk virus). Namun justru sel inilah yang di infeksi dan

kemudian dirusak oleh HIV. Karena proses infeksi dan pengambilan aliran

sel T4 mengakibatkan kelainan dari kekebalan, maka ini memungkinkan


berkembangnya neoplasma dan infeksi oportunistik. Pada awalnya

penurunan jumlah CD4 sekitar 30–40/mm3/tahun, tapi pada tahun terakhir

penurunan jumlah menjadi 50–100/mm3 sehingga bila tanpa pengobatan

rata–rata masa infeksi HIV sampai menjadi AIDS adalah 8–10 tahun,

dimana jumlah CD4 akan mencapai kurang dari 200/mm3.

Tahapan perjalanan HIV/AIDS sesudah terjadi infeksi virus HIV,

awalnya tidak memperlihatkan gejala–gejala khusus, baru beberapa

minggu sesudah itu orang yang terinfeksi sering kali menderita penyakit

ringan sehari–hari seperti flu dan diare. Selain itu penderita juga sering

merasa tidak sehat meski dari luar nampak sehat. Keadaan penderita yang

terinfeksi ini bisa disebut dengan sindrom HIV akut. Gejala ini serupa

dengan gejala infeksi virus pada umumya yaitu berupa demam, sakit

kepala, sakit tenggorokan, mialgia (pegal–pegal dibadan), pembesaran

kelenjar dan rasa lemah. Pada sebagian orang, infeksi dapat berat disertai

kesadaran menurun. Sindrom ini biasanya akan menghilang dalam

beberapa minggu. Dalam waktu 3–6 bulan kemudian, tes serologi baru

akan positif, karena telah terbentuk anti bodi. Masa 3–6 bulan ini disebut

window periode, dimana penderita dapat menularkan namun secara

laboratorium hasil tes HIV-nya masih negative. Setelah melalui infeksi

primer penderita akan masuk kedalam masa tanpa gejala. Pada masa ini

virus terus berkembang biak secara progresif di kelenjar limfe. Masa ini

berlangsung cukup panjang yaitu 5–10 tahun, setelah masa ini pasian akan

masuk ke fase full blown AIDS.


4. Faktor Resiko

Faktor risiko adalah karakteristik, tanda atau kumpulan gejala pada

penyakit yang diderita individu yang mana secara statistic berhubungan

dengan peningkatan kejadian status baru berikutnya (besar individu lain

pada suatu kelompok masyarakat). Dari factor risiko inilah yang kemudian

dijadikan dasar penentuan tindakan pencegahan dan penaggulangan

(Arsyad, 2012). Berdasarkan data dari Kementrian Kesehatan RI sampai

dengan Maret 2013, presentase factor risiko HIV tertinggi adalah

hubungan seks berisiko pada heteroseksual (50.5%), penggunaan jarum

suntik tidak steril pada penasun (8.4%) dan LSL (Lelaki Seks Lelaki)

(7.6%). Sedangkan presentase factor risiko AIDS tertinggi adalah

hubungan seks berisiko pada heteroseksual (81.1%), penggunaan jarum

suntik tidak steril pada penasun (7.8%), dari ibu positif HIV ke anak (5%),

dan LSL (2.8%).

5. Pencegahan Penularan HIV/AIDS

Pencegahan penularan HIV pada wanita dilakukan secara primer,

yang mencakup mengubah perilaku seksual dengan menetapkan prinsip

ABC, yaitu Abstinence (tidak melakukan hubungan seksual), Be faithful

(setia pada pasangan), dan kondom. Wanita juga disarankan tidak

memakai narkoba, terutama narkoba suntik dengan pemakaian jarum

bergantian dengan orang lain (misalnya tindik, tato, silet cukur, dan lain-

lain), petugas kesehatan perlu menetapkan kewaspadaan universal dan

menggunakan darah serta produk darah yang bebas dari HIV untuk pasien
(Nursalam, 2009). WHO mencanangkan empat strategi untuk mencegah

penularan HIV dari ibu ke bayi dan anak, yaitu dengan mencegah jangan

sampai wanita terineksi HIV/AIDS, apabila sudah dengan HIV/AIDS

dicegah supaya tidak hamil. Apabila sudah hamil, dilakukan pencegahan

supaya tidak menular pada bayi dan anaknya, namun bila ibu dan anknya

sudah terinfeksi maka sebaiknya diberikan dukungan dan perawatan bagi

ODHA dan keluarganya (Nursalam, 2009). Area pencegahan HIV dan

AIDS penyebaran HIV dipengaruhi oleh perilaku berisiko kelompok-

kelompok masyarakat sesuai dengan kelompok dan potensi ancaman yang

dihadapi.

Kegiatan-kegiatan dari pencegahan dalam bentuk penyuluhan,

promosi hidup sehat, pendidikan sampai kepada cara penggunaan alat

pencegahan yang efektif dikemas sesuai dengan sasaran upaya

pencegahan. Program-program pencegahan pada kelompok sasaran

meliputi :

a. Kelompok Tertular (Infected People) kelompok tertular adalah mereka

yang sudah terinfeksi HIV. Pencegahan ditujukan untuk menghambat

lajunya perkembangan HIV, memelihara produktifitas individu dan

meningkatkan kualitas hidup

b. Kelompok Berisiko Tertular atau Rawan Tertular ( High Risk People).

Kelompok berisiko tertular adalah mereka yang berperilaku

sedemikian rupa sehingga sangat berisiko untuk tertular HIV. Dalam

kelompok ini termasuk penjaja seks baik perempuan maupun laki-laki,


pelanggan penjaja seks dan pelanggannya, serta lelaki suka lelaki.

Karena kekhususannya, narapidana termasuk dalam klompok ini.

Pencegahan untuk kelompok ini ditujukan untuk mengubah perilaku

beresiko menjadi perilaku aman.

c. Kelompok Rentan (Vulnerable People)

Kelompok masyarakat yang karena lingkup pekerjaan, lingkungan,

ketahanan dan atau kesejahteraan keluarga yang rendah dan status

kesehatan yang labil, sehingga rentan terhadap penularan HIV.

Termasuk dalam kelompok rentan adalah orang dengan mobilitas

tinggi baik sipil maupun militer, perempuan, remaja, anak jalanan,

pengungsi, ibu hamil, penerima transfuse darah dan petugas pelayanan

kesehatan. Pencegahan untuk kelompok ini ditujukan agar tidak

melakukan kegiatan-kegiatan yang berisiko tertular HIV (menghambat

menuju kelompok berisiko).

d. Mayarakat umum (General Population)

Masyarakat umum adalah mereka yang tidak termasuk dalam ketiga

kelompok terdahulu. Pencegahan ditujukan untuk peningkatan

kewaspadaan, kepedulian dan keterlibatan dalam upaya pencegahan.


6. Pengobatan HIV/AIDS

Infeksi HIV/AIDS merupakan suatu penyakit dengan perjalanan

yang panjang. Sistem imunitas menurun secara progresif sehingga muncul

infeksi-infeksi opotunistik yang dapat muncul secara bersamaan dan

berakhir pada kematian. Sementara itu belum ditemukan obat maupun

vaksin yang efektif, sehingga pengobatan HIV/AIDS dapat dibagi dalam

tiga kelompok antara lain :

a. Pengobatan suportif

Pengobatan untuk meningkatkan keadaan umum penderita.

Pengobatan ini terdiri dari pemberian gizi yang baik, obat simtomatik,

vitamin, dan dukungan psikososial agar penderita dapat melakukan

aktivitas seperti semula/seoptimal mungkin. Pengobatan infeksi

opotunistik dilakukan secara empiris.

b. Pengobatan Antiretroviral (ARV) bekerja langsung menghambat

perkembangan HIV. ARV bekerja langsung menghambat enzim

reverse transcriptase atau menghambat enzim protease. Kendala dalam

pemberian ARV 18 antara lain kesukaran ODHA untuk meminum obat

secara langsung dan resistensi HIV terhadap obat ARV. (Depkes RI,

2012)
B. Konsep Dukungan Keluarga

1. Pengertian Dukungan Keluarga

Dukungan merupakan bantuan menyelesaikan suatu masalah sesuai

dengan yang direkomendasikan. Dukungan ini biasanya didapatkan dari

seseorang yang terdekat yang bisa diandalkan, memberikan kepedulian

serta mengasihi dan akan efektif apabila terjalin hubungan saling percaya.

Keluarga merupakan orang terdekat yang mempunyai unsur penting dalam

kehidupan, karena didalamnya terdapat peran dan fungsi dari anggota

keluarga tersebut yang saling berhubungan dan ketergantungan dalam

menberikan dukungan, kasih sayang dan perhatian secara harmonis untuk

mencapai tujuan bersama (Friedmen, 2010).

Dukungan adalah bentuk dari perilaku yang diharapkan dari

seseorang pada situasi sosial tertentu. Dukungan dipengaruhi oleh keadaan

sosial baik dari dalam maupun dari luar dan bersifat stabil. (Alimul, 2012)

Dukungan didefinisikan oleh Zainudin (2012) yaitu informasi

verbal, sasaran, bantuan yang nyata atau tingkah laku yang diberikan oleh

orang-orang yang akrab dengan subjek didalam lingkungan sosialnya atau

yang berupa kehadiran dan hal yang dapat memberikan keuntungan

emosional atau pengaruh pada tingkah laku penerimanya. Dalam hal ini

orang yang merasa memperoleh dukungan sosial, secara emosional merasa

lega diperhatikan, mendapat saran atau kesan yang menyenangkan pada

dirinya (Zainudin, 2012). Dukungan keluarga adalah keberatan,

kesesdihan, kepedulian dari orang-orang yang dapat diandalkan,


menghargai dan menyayangi kita, pandangan yang sama juga

dikemukakan oleh Cobb (2012) mendefinisikan dukungan keluarga

sebagai adanya kenyamanan, perhatian, penghargaan atau menolong orang

dengan sikap menerima konsisinya, dukungan keluarga tersebut diperoleh

dari individu maupun kelompok

2. Fungsi Pokok Keluarga

Fungsi pokok keluarga biasanya didefinisikan sebagai hasil atau

konsekuensi dari struktur keluarga. Adapun fungsi keluarga tersebut

adalah (Fridman, 2012) :

a. Fungsi Afektif (fungsi pemeliharaan kepribadian)

Fungsi afektif merupakan fungsi untuk pemenuhan kebutuhan

psikososial, saling mengasuh dan memberikan cinta kasih, serta saling

menerima dan membimbing.

b. Fungsi sosialiasi dan fungsi penempatan sosial

Fungsi ini sdalah proses perkembangan dan perubahan individu

keluarga, tempat anggota keluarga berinteraksi sosial dan belajar

berperan dilingkingan.

c. Fungsi reproduktif

Fungsi ini untuk meneruskan kelangsungan keturunan dan menambah

sumber daya manusia

d. Fungsi ekonomis

Fungsi ini untuk memenushi kebutuhan keluarga, seperti sandang,

pangan dan papan.


e. Fungsi perawatan kesehatan

Fungsi ini untuk merawat anggota keluarga yang mengalami masalah

kesehatan.

3. Tugas Keluarga Dalam Bidang Kesehatan

Sesuai dengan fungsi pemeliharaan kesehatan, keluarga

mempunyai tugas dibidang kesehatan yang perlu dipahami dan dilakukan.

Friedman (2012) membagi 5 tugas keluarga dalam bidang kesehatan yang

harus dilakukan, yaitu :

a. Mengenal masalah kesehatan setiap anggotanya

Perubahan sekecil apapun yang dialami anggota keluarga secara tidak

langsung menjadi perhatian dan tanggung jawab keluarga, maka

apabila menyadari adanya perubahan perlu segera di catat kapan

terjadinya, perubahan apa yang terjadi dan seberapa besar

perubahannya.

b. Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat bagi

keluarga. Tugas ini merupakan upaya keluarga yang utama untuk

mencari pertolongan yang tepat sesuai dengan kedaan keluarga,

dengan pertimbangan siapa diantara keluarga yang mempunyai

kemampuan memutuskan untuk tindakan keluarga maka segera

melakuan tindakan yang tepat agar masalah kesehatan dapat dikurangi

atau bahkan teratasi. Jika keluarga mempunyai keterbatasan

seyogyanya meminta bantuan orang laib dilingkungan sekitar keluarga.


c. Memberikan perawatan anggotannya yang sakit atau yang tidak dapat

membantu dirinya sendiri karena cacat atau usianya terlalu muda.

Perawatan ini dapat dilakukan dirumah apabila keluarga memiliki

kemampuan untuk pertolongan pertama atau kepelayanan kesehatan

untuk memperoleh tindakan lanjutan agar masalah yang lebih parah

tidak terjadi.

d. Mempertahankan suasana dirumah yang menguntungkan kesehatan

dan perkembangan kepribadian anggota keluarga.

e. Mempertahankan hubungan timbal balik antara keluarga dan lembaga

kesehatan (pemanfaatanfasilitas kesehatan yang ada).

4. Bentuk Dukungan Keluarga

Pasien HIV/ AIDS penting mengetahui bahwa ia bisa hidup dengan

normal dan produktif. Demikian juga dengan keluarganya, keluarga harus

bisa menerima ODHA dengan besar hati dan tidak melakukan diskriminasi

terhadapnya, kadang tak mudah membangkitkan semangat hidup ODHA.

Hal itu terjadi terutama pada ODHA yang secara kejiwaan lemah, tak bisa

menerima kenyataan hidup (Yvonne, 2014).

Menurut House dan Kahn (1985) dalam Friedman (2012), terdapat empat

tipe dukungan keluarga yaitu:

a. Dukungan Emosional

Keluarga sebagai tempat yang aman dan damai untuk bersistirahat dan

juga menenangkan pikiran. Setiap orang pasti membutuhkan bantuan

dari keluarga. Individu yang menghadapi persoalan atau masalah akan


merasa terbantu kalau ada keluarga yang mau mendengarkan dan

memperhatikan masalah yang sedang dihadapi.

b. Dukungan Penilaian

Keluarga bertindak sebagai penengah dalam pemecahan masalah dan

juga sebagai fasilitator dalam pemecahan masalah yang sedang

dihadapi. Dukungan dan perhatian dari keluarga merupakan bentuk

penghargaan positif yang diberikan kepada individu.

c. Dukungan instrumental

Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan dalam hal

pengawasan, kebutuhan individu. Keluarga mencarikan solusi yang

dapat membantu individu dalam melakukan kegiatan.

d. Dukungan informasional

Keluarga berfungsi sebagai penyebar dan pemberi informasi. Disini

diharapkan bantuan informasi yang disdiakan 11 keluarga dapat

digunakan oleh individu dalam mengatasi persoalanpersoalan yang

sedang dihadapi.
C. Konsep Kualitas Hidup

1. Definisi Kualitas Hidup

Kualitas hidup menurut World Health Organization Quality of Life

(WHOQOL) Group (dalam Rapley, 2013), didefinisikan sebagai persepsi

individu mengenai posisi individu dalam hidup dalam konteks budaya dan

sistem nilai dimana individu hidup dan hubungannya dengan tujuan,

harapan, standar yang ditetapkan dan perhatian seseorang. (Nimas, 2012).

Kualitas hidup merupakan persepsi subjektif dari individu terhadap

kondisi fisik, psikologis, sosial, dan lingkungan dalam kehidupan sehari-

hari yang dialaminya (Urifah, 2012).

Menurut Cohan & Lazarus (dalam Handini, 2012) kualitas hidup

adalah tingkatan yang menggambarkan keunggulan seseorang individu

yang dapat dinilai dari kehidupan mereka. Keunggulan individu tersebut

biasanya dilihat dari tujuan hidupnya, kontrol pribadinya, hubungan

interpersonal, perkembangan pribadi, intelektual dan kondisi materi.

Sedangkan Ghozali juga mengungangkap faktor-faktor yang

mempengaruhi kualitas hidup diantaranya adalah mengenali diri sendiri,

adaptasi, merasakan perhatian orang lain, perasaan kasih dan sayang,

bersikap optimis, mengembangkan sikap empati. Kualitas hidup menurut

definisi WHO adalah persepsi individu tentang keberadaannya di

kehidupan dalam konteks budaya dan system nilai tempat ia tinggal. Jadi

dalam skala yang luas meliputi berbagai sisi kehidupan seseorang baik dari

segi fisik, psikologis, kepercayaan pribadi, dan hubungan sosial untuk


berinteraksi dengan lingkungannya. Definisi ini merefleksikan pandangan

bahwa kualitas hidup merupakan evaluasi subjektif, yang tertanam dalam

konteks cultural, sosial dan lingkungan. Kualitas hidup tidak dapat

disederhanakan dan disamakan dengan status kesehatan, gaya hidup,

kenyamanan hidup, status mental dan rasa aman (Snoek, dalam Indahria,

2013)

Kualitas hidup merupakan suatu persepsi subjektif dari kepuasan

atau kebahagiaan terhadap kehidupan di domain yang penting bagi

individu (IDAI,2015).

Kualitas hidup (Quality Of Life) adalah konsep analisis

kemampuan individu untuk mendapatkan hidup yang normal terkait

dengan persepsi secara individu mengenai tujuan, harapan, standar dan

perhatian yang secara spesifik terhadap kehidupan yang dialami dengan

dipengaruhi oleh nilai dan budaya pada lingkungan individu tersebut

berada (Nursalam,2013).

Kualitas hidup dalam ilmu kesehatan dipakai untuk menilai rasa

nyaman atau sehat (wellbeing) pasien dengan penyakit kronik atau

menganalisis biaya atau manfaat (costbenefit) intervensi medis, meliputi

kerangka individu, kelompok dan sosial, model umum kualitas hidup dan

bidang-bidang kehidupan yang mempengaruhi (Bulan,2010).


2. Aspek-aspek Kualitas Hidup

Berawal dari pemikiran mengenai aspek kualitas hidup yang dapat

berbeda antara individu satu dengan individu lainnya, berbagai studi

kualitas hidup meneliti aspek-aspek kehidupan yang penting bagi individu

dalam hubungannya dengan kualitas hidup. Ada banyak aspek kualitas

hidup menurut para ahli, diantaranya terdapat pada World Heath

Organization Quality of Life Bref version (WHOQoL BREF) karena sudah

mencakup keseluruhan kualitas hidup. Menurut WHOQOL Group (Power

dalam Lopers dan Snyder, 2013) kualitas hidup memiliki enam aspek yaitu

kesehatan fisik, kesejahteraan psikologis, tingkat kemandirian, hubungan

sosial, hubungan dengan lingkungan, dan keadaan spiritual. WHOQoL ini

kemudian dibuat lagi menjadi insturment WHOQoL BREF dimana enam

aspek tersebut dipersempit menjadi empat aspek yaitu kesehatan fisik,

kesejahteraan psikologis, hubungan sosial dan hubungan dengan

lingkungan ( Power, dalam Lopez dan Snyder, 2013) :

a. Aspek Kesehatan Fisik

Kesehatan fisik dapat mempengaruhi kemampuan individu untuk

melakukan aktivitas. Aktivitas yang dilakukan individu akan

memberikan pengalaman baru yang merupakan modal perkembangan

ketahap selanjutnya. Kesehatan fisik mencakup aktivitas sehari-hari,

ketergantungan pada obat-obatan dan bantuan medis, energi dan

kelelahan, mobilitas (keadaan mudah bergerak), sakit dan

ketidaknyamanan, tidur dan istirahat, kapasitas kerja.


b. Aspek Psikologis

Aspek psikologis yaitu terkait dengan keadaan mental individu.

Keadaan mental mengarah pada kemampuan individu untuk

menyesuaikan diri terhadap berbagai tuntutan perkembangan sesuai

dengan kemampuannya, baik tuntutan dari dalam diri maupun dari luar

dirinya. Aspek psikologis juga terkait dengan aspek fisik, dimana

individu dapat melakukan suatu aktivitas dengan baik bila individu

tersebut sehat secara mental. Kesejahteraan psikologis mencakup body

image dan appearance, perasaan positif, perasaan negatif, self esteem,

spiritual atau keyakinan pribadi, berpikir, belajar, memori dan

konsentrasi.

c. Aspek hubungan sosial

Aspek hubungan sosial yaitu hubungan antara dua individu atau lebih

dimana tingkah laku individu tersebut akan saling mempengaruhi,

mengubah, atau memperbaiki tingkah laku individu lainnya.

Mengingat manusia adalah mahluk sosial maka dalam hubungan sosial

ini, manusia dapat merealisasikan kehidupan serta dapat berkembang

menjadi manusia seutuhnya. Hubungan sosial mencakup hubungan

pribadi, dukungan sosial, aktivitas seksual.

d. Aspek lingkungan

Aspek lingkungan yaitu tempat tinggal individu, termasuk di dalamnya

keadaan, ketersediaan tempat tinggal untuk melakukan segala aktivitas

kehidupan, termasuk di dalamnya adalah saran dan prasarana yang


dapat menunjang kehidupan. Hubungan dengan lingkungan mencakup

sumber finansial, kebebasan, keamanan dan keselamatan fisik,

perawatan kesehatan dan social care termasuk aksesbilitas dan kualitas,

lingkungan rumah, kesempatan untuk mendapatkan berbagai informasi

baru maupun keterampilan (skill), partisipasi dan mendapat

kesempatan untuk melakukan rekreasi dan kegiatan yang

menyenangkan di waktu luang, lingkungan fisik termasuk polusi,

kebisingan, keadaan air, iklim, serta transportasi.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup penderita

HIV/AIDS

a. Kesehatan fisik, yaitu kemampuan organ tubuh untuk berfungsi secara

optimal sehingga dapat melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri

untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Adanya infeksi virus HIV yang

menyerang organ tubuh yang vital yaitu sistem imun seseorang akan

berdampak cukup fatal bagi kesehatan fisik seseorang. Dimana pada

kondisi ini seseorang harus berusaha mencegah dirinya terinfeksi

kuman atau virus lain yang dapat memperburuk keadaannya. Pada

kondisi ini, seseorang masih dapat bertahan hidup melakukan kegiatan

sehari-hari seperti biasa sampai ia dinyatakan positif menderita AIDS,

yang mana perjalanan HIV menjadi AIDS secara umum bervariasi dari

3 sampai 13 tahun, tetapi ada juga sebagian orang yang mengalami

waktu terpendek antara 3 bulan sampai 3 tahun. Selain itu, penelitian

yang lain juga menyatakan bahwa kesejahteraan fisik didapatkan dari


kepuasan pasien terhadap adaptasi atau terbebas dari keluhan fisik

yang dirasakan terkait penyakit seperti nyeri, kelemahan, kualitas tidur,

dan gejala lain terkait infeksi opportunistik yang di derita.

b. Psikologis/emosional, yaitu kemampuan untuk menciptakan perasaan

senang dan puas terhadap suatu peristiwa atau kejadian yang dialami

dalam kehidupan seseorang sehingga terhindar dari timbulnya

masalah-masalah psikologis. Kondisi emosional ODHA yang tidak

stabil karena adanya berbagai keterbatasan membuat ODHA merasa

frustasi atau kecewa dan akhirnya menimbulkan masalah depresi, yang

merupakan masalah psikologis terbesar pada ODHA. Masalah

psikologis lainnya yang juga sering dialami ODHA adalah kecemasan,

paranoid, mania, iritabel, harga diri rendah, body image yang buruk,

ketidakmampuan berkonsentrasi, dan psikosis. Berbagai masalah

psikologis ini akan mempengaruhi kemampuan ODHA untuk

berpartisipasi secara penuh dalam pengobatan dan perawatan dirinya

sehingga akan berdampak terhadap kualitas hidup ODHA.

c. Sosial, yaitu kemampuan seseorang untuk membina hubungan

interpersonal dengan orang lain, dimana hubungan yang terbina adalah

hubungan yang mempunyai kerekatan dan keharmonisan. Bagi

ODHA, salah satu masalah sosial terbesar yang dialaminya adalah

isolasi sosial dari keluarga maupun masyarakat. Stigma yang

berkembang di masyarakat terhadap ODHA membuat masyarakat

cenderung bersikap mengucilkan. Kondisi ini akan membuat ODHA


semakin menutup dirinya dari kehidupan sosialnya sehingga semakin

memperburuk kondisi ODHA, terutama ODHA yang sebelum

terinfeksi virus HIV adalah seorang pekerja. ODHA yang dikeluarkan

dari pekerjaannya setelah diketahui terinfeksi HIV, akan mengalami

masalah sosial yang cukup serius dan mempengaruhi kualitas

hidupnya.

d. Tingkat kemandirian, yaitu kemampuan seseorang untuk berfungsi

secara optimal dan mandiri dalam kehidupannya sehari-hari meliputi

bekerja, melakukan transaksi di bank, belanja, belajar, membersihkan

rumah, merawat diri, berpakaian, menyiapkan makan dan toileting.

Orang dengan HIV/AIDS mempunyai berbagai keterbatasan fungsi,

sehingga membutuhkan dukungan sosial dari berbagai pihak,

khususnya orang-orang yang berada di sekitarnya seperti pasangan,

anak, keluarga, atau teman dekat.

e. Lingkungan, yaitu kepuasan terhadap keamanan fisik, lingkungan

rumah, sumber financial, pelayanan kesehatan, akses informasi,

kesempatan untuk ikut dalam aktivitas rekreasi, lingkungan fisik

(polusi, bising, cuaca, dan lain-lain), serta sarana transportasi.

f. Spiritual, meliputi kemampuan dalam menemukan arti kehidupan dan

menjalankan ibadah sesuai dengan agama yang dianutnya secara

bebas. ODHA yang menyadari penyakit yang di deritanya adalah

merupakan cobaan dari Tuhan untuk menguji umatNya, maka akan

lebih meningkatkan keimanannya sehingga ia memperbaiki dirinya


dengan lebih mendekatkan diri pada Tuhannya. Hal ini akan

berdampak pada kualitas hidup ODHA.

g. Manajemen kasus, merupakan pelayanan terpadu dan

berkesinambungan yang diberikan kepada ODHA untuk dapat

menghadapi permasalahan dalam hidupnya. Manajemen kasus

merupakan salah satu layanan untuk membantu dan mendukung orang

dengan HIV/AIDS untuk memenuhi kebutuhan biopsikososial dan

spiritual. Pelayanan yang diperlukan, rujukan yang sesuai serta

perencanaan yang baik mendukung kualitas hidup ODHA. Dengan

pelayanan yang bersifat komprehensif dan berkesinambungan yang

melibatkan suatu jaringan kerja di antara semua sumber daya yang ada

dalam rangka memberikan pelayanan dan perawatan yang holistic,

komprehensif dan dukungan yang luas bagi ODHA.


BAB III
KERANGKA PENELITIAN

A. Kerangka Konsep
Kerangka konseptual penelitian adalah suatu hubungan atau kaitan antara

konsep yang lainya dari masalah yang ingin diteliti (Setiadi, 2013). Berdasarkan

tinjauan kepustakaan diatas maka kerangka kerja pada penelitian ini adalah :

Variabel Idependen Variabel Dependen

Dukungan Keluarga Kualitas hidup penderita


HIV/AIDS

: Variabel yang di teliti


: Hubungan
Gambar 3.1 Kerangka konsep Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kualitas
Hidup Penderita HIV/AIDS di Kelompok Dukungan Sebaya Family
Support Manado.

B. Hipotesa

Hipotesa adalah jawaban sementara dari suatu penelitian. (Setiadi, 2013).

Dari kerangka konseptual diatas maka hipotesisnya adalah ;

Ha = Ada Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kualitas Hidup Penderita

HIV/AIDS di Kelompok Dukungan Sebaya Family Support Manado ?


C. Variabel Penelitian

Definisi operasional merupakan penjelasan semua variabel dan istilah

yang akan digunakan dalam penelitian secara operasional sehingga akhirnya

mempermudah pembaca dalam mengartikan makna penelitian (Setiadi, 2013).

Tabel 3.1 Definisi Operasional Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kualitas


Hidup Penderita HIV/AIDS di Kelompok Dukungan Sebaya Family
Support Manado.
Skala
No Variabel Definisi Operasional Parameter Alat Ukur Skor
ukur
1 Independen : Suatu bentuk 1. Dukungan Kuesioner Ordinal 1. Baik
Dukungan dukungan yang Emosional ≥22.5
Keluarga diberikan dari orang- 2. Dukungan 2. Kuran
orang terdekat, berupa instrumental g
dukungan emosi dan 3. Dukungan <22.5
psikososial. informasional

2 Dependen : Suatu bentuk persepsi Parameter


Kualitas seseorang terhadap merujuk pada Kuesioner Ordinal 1. Baik
hidup dirinya dalam hidup kuesioner ≥ 64
penderita konteks budaya dan WHOQOL 2. Kuran
HIV/AIDS sosial yang g <64
berhubungan dengan
perhatian seseorang.
BAB IV
METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian Deskriptif Analitik yaitu

untuk mengetahui hubungan antara variabel independen dengan variable

dependen penelitian yaitu Hubungan dukungan keluarga dengan kualitas

hidup penderita HIV/AIDS di Kelompok Dukungan Sebaya Family

Support Manado.

Desain penelitian yang di gunakan dalam penelitian ini adalah

“Cross sectional study”, adalah jenis penelitian yang menekankan pada

waktu pengukuran variable dependen dan independen yaitu hanya satu kali

penelitian pada satu saat (Setiadi, 2013)

B. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan dari subyek penelitian atau obyek yang

akan diteliti (Setiadi, 2013). Populasi pada penelitian ini adalah

penderita HIV/AIDS yang datang berobat dikelompok family support

manado dari bulan januari hingga bulan juni yang berjumlah 178

orang.
2. Sampel

Sampel menurut Arikunto 2010 dalam Syaefudin 2014, sebagian

atau wakil dari populasi yang diteliti. Arikunto memberikan anjuran

dalam pengambilan sampel, apabila jumlah subjek kurang dari 100

orang lebih baik diambil semua, selanjutnya apabila subjek besar atau

lebih dari 100 orang maka dapat di ambil antara 10%-15% atau 20%-

25% atau lebih.

Dalam penelitian penarikan sampel sebesar 25 % dari jumlah

pupulasi. Diperoleh jumlah sampel sebagai berikut : 25 % x 178 = 44,5

dibulatkan 45 artinya jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian

ini adalah berjumlah 45 orang, dengan mengunakan teknik

pengambilan Accidental Sampling . Keterangan :

n= Jumlah Sampel

N= Jumlah Populasi

3. n= 25 % x N

n = 25 % x 178

n = 44,5 dibulatkan menjadi 45.


C. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Penelitian ini telah dilakukan di kelompok dukungan sebaya family

support manado.

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan pada tanggal 10 Agutus sampai

dengan 13 Oktober 2018.

D. Kriteria Sampel

Sampel yang akan disertakan dalam penelitian adalah yang memenuhi

kriteria sebagai berikut :

1. Kriteria inklusi

Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian dari suatu

populasi target yang terjangkau dan akan diteliti (Nursalam, 2008).

a) Penderita HIV/AIDS yang datang berobat di Kelompok Dukungan

Sebaya Family Support Manado.

b) Responden yang berusia 20 – 40 tahun

c) Dapat membaca dan menulis

2. Kriteria eksklusi

Kriteria eksklusi adalah menghilangkan atau mengeluarkan subjek

yang memenuhi kriteria inklusi dari studi karena berbagai sebab

(Nursalam, 2008).

a) Penderita dengan cacat fisik dan mental

b) Responden dibawah umur 20 tahun dan diatas umur 40 tahun


c) Responden yang tidak bersedia

E. Etika Pengumpulan Data

Setiap penelitian yang menggunakan subjek manusia harus

mengikuti aturan etik dalam hal ini adalah persetujuan (Setiadi, 2007).

Sebelum melakukan penelitian, peneliti mengajukan permohonan izin

kepada institusi STIKES Muhammadiyah Manado. Setelah disetujui,

peneliti mengajukan permohonan izin penelitian kepada kelompok

dukungan sebaya family support manado dan pihak-pihak terkait untuk

mendapatkan persetujuan. Selanjutnya kuesioner dikirim ke subyek yang

diteliti dengan menekankan pada masalah etika sebagai berikut :

1. Memberi penjelasan kepada responden tentang penelitian yang akan

dilakukan, jika bersedia untuk ikut serta dalam penelitian, responden

harus menandatangani lembar persetujan. Jika responden menolak,

maka peneliti tidak boleh memaksa dan tetap menghormati haknya.

Responden dapat mengakhiri keikutsertaanya dalam penelitian setiap

saat penelitian ini berjalan.

2. Menjaga kerahasian identitas responden, peneliti tidak mencantumkan

nama subyek pada lembar pengumpulan data (kuesioner) yang diisi

oleh subyek. Lembar tersebut hanya diberi kode tertentu.

3. Menjamin kerahasian informasi yang telah diberikan oleh responden.


F. Instrumen Penelitian

Alat pengumpul data atau instrumen yang akan digunakan untuk

pengumpulan data dalam penelitian ini berupa :

1. Pengumpulan Data : Data demografi responden meliputi : umur,

Pendidikan, Jenis Kelamin.

2. Kuesioner mengenai dukungan keluarga menggunakan skala guttman

dan kualitas hidup menggunakan skala likert. Skala independen terdiri

dari 15 pertanyaan. Baik bernilai 2, dan Kurang bernilai 1. Dan skala

dependen terdiri dari 32 pertanyaan. Baik bernilai 3, Cukup 2, kurang

1.

Untuk menghitung median dengan menggunakan rumus :

Median=Jumlah pertanyaan x Skor tertinggi + Jumlah pertanyaan x Skor


terendah
2

(15 x 2) + (15 x 1) = 30 + 15 = 45 = 22.5


2 2 2
Keterangan : Jika hasil median ≥ 22.5 maka dikatakan dukungan keluarga

baik dan jika < 22.5 maka dikatakan dukungan keluarga kurang baik.

(32 x 3) + (32 x 1) = 96 + 32 = 128 = 64


2 2 2
Keterangan : Jika hasil median ≥ 64 maka dikatakan kualitas hidup baik

dan jika < 64 maka dikatakan kualitas hidup kurang.


G. Pengolahan Data

1. Editing (Pengelompokan Data)

Yaitu memeriksa hasil kuesioner tertutup yang terkumpul dan

memeriksa kelengkapan data apakah jawaban sudah lengkap atau

belum. Tahap ini dilakukan pemeriksaan antara lain dan kesesuaian

jawaban, kelengkapan pengisian serta konsistensi jawaban.

2. Coding (Pemberian kode)

Yaitu memberi kode pada lembar hasil pengisian kuesioner dan master

table. Memberi kode pada lembar pengumpulan data untuk

memudahkan peneliti dalam analisa data.

3. Entry

Yaitu memasukan data untuk diolah menggunakan komputer.

4. Scoring (Pemberian Skor)

Yaitu penelitian data dengan memberikan skor pada pertanyaan yang

berkaitan dengan faktor mempengaruhi perilaku responden.

Pemberian nilai sesuai jawaban responden, yaitu nilai 1 untuk jawaban

ya dan nilai 0 untuk jawaban tidak.

5. Tabulating

Yaitu penelitian data dengan memberikan skor pada pertanyaan yang

berkaitan dengan faktor mempengaruhi perilaku responden.

Pemberian nilai sesuai jawaban responden, yaitu nilai 1 untuk jawaban

ya dan nilai 0 untuk jawaban tidak.


H. Analisa Data

1. Analisa univariat

Analisa univariat adalah analisa tiap variabel dari penelitian baik

variabel bebas (dukungan keluarga) dan variabel terkait (keterampilan)

dalam bentuk distribusi dan presentasi dari tiap variabel.

(Notoadtmojo, 2012)

2. Analisa bivariat

Analisis data di tujukkan untuk menjawab tujuan penelitian dan

menguji hipotesis penelitian. Untuk maksud tersebut, uji statistic yang

di gunakan adalah uji Chi-Square dengan tingkat kemaknaan (α) ≤

0.05 dengan menggunakan program SPSS 16,0. Jika nilai signifikan

(P) lebih kecil dari α maka hasil penelitian di terima, dan jika nilai

signifikan P lebih besar dari α maka hasil penelitian di tolak.


I. Etika Penelitian

Penelitian ini akan di lakukan setelah mendapat persetujuan dari

Program Studi Ilmu Keperawatan Stikes Muhammadiyah Manado.

Masalah etika pada penelitian yang mennggunakan objek manusia,

peneliti harus memahami prinsip–prinsip etika penelitian yang meliputi :

1. Informed consent

Informasi harus diberikan secara lengkap tentang tujuan penelitian

yang akan dilaksanakan, subjek mempunyai hak untuk bebas menolak

atau berpartisipasi menjadi responden.

2. Confideantility

Untuk menjaga kerahasiaan subjek, maka nama subjek tidak di

cantumkan pada lembar kuesioner yang diteliti dan hanya diberi kode

tertentu.

3. Anonnimity

Kerahasiaan informasi yang di berikan oleh responden dijamin oleh

peneliti hanya kelompok data tertentu yang akan disajikan atau di

laporkan pada hasil penelitian.


BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

1. Gambaran Umum Kelompok Dukungan Sebaya Family Support

Manado

Kelompok Dukungan Sebaya Manado adalah sebuah LSM yang

memberikan dukungan bagi orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA)

dan orang yang hidup dengan ODHA (OHIDHA). Beranggotakan orang-

orang yang memiliki kepedulian dan komitmen untuk membantu ODHA

dan OHIDHA dalam menyikapi hal yang timbul akibat HIV/AIDS.

Kelompok Dukungan Sebaya Family Support Manado berdiri pada

tanggal 11 Desember 2004 berdasarkan hasil penggalian kebutuhan

dengan di latar belakangi atas adanya keinginan dari ODHA dan OHIDHA

untuk berkumpul berbagi pengalaman, kekuatan, dan harapan juga berbagi

informasi tentang HIV/AIDS. Berawal dari sebuah kelompok dukungan

berbasis komunitas yang akhirnya mendaftarkan sebagai yayasan sosial

dengan akte Notaris Karel Linduat Butarbutar, S. H, M. H. No. 03 19

September 2008. Yang menjadi Visi dan Misi dari Kelompok Dukungan

Sebaya Famly Support Manado adalah Visi : Terciptanya kualitas hidup

yang lebih baik bagi ODHA serta kesetaraan hak dan kewajiban sebagai

warga negara Republik Indonesia. Misi : Membangun kepedulian akan

HIV/AIDS kepada masyarakat di sulawesi utara dengan melibatkan

ODHA melalui pendidikan. Informasi dan pemberian pemahaman yang


tepat sehingga berdampak kepada pengurangan stigma dan diskriminasi

serta memutus mata rantai penularan.

Adapun Program Kelompok Dukungan Sebaya Family Support Manado

adalah :

a. Pelayanan Kesehatan

1) Memberikan akses rujukan perawatan dan pengobatan bagi

ODHA

2) Memberikan akses rujukan kepada kelompok beresiko

3) Konseling dan testing

b. Pendampingan/ Buddies

1) Kunjungan kerumah ODHA

2) Kunjungan dan mendampingi ODHA yang sedang di rawat di

Rumah Sakit

3) Penjangkauan dan pendampingan kelompok beresiko

c. Dukungan

1) Konseling Dukungan Bagi ODHA dan OHIDHA

2) Memberikan bantuan tekhnis kepada kelompok dukungan

sebaya

d. Advokasi

1) Bekerja sama Dengan Stake Holder dan Masyarakat yang ada

di manado untuk menghilangkan stigma dan diskriminasi

terhadap ODHA dan OHIDHA.

2) Penyuluhan dan Sosialisasi


3) Melakukan penguatan jaringan melalui kunjungan daerah.

e. Pelatihan dan peningkatan kapasitas serta pertemuan

1) Memberikan pendidikan dan informasi terbaru tentang

pengobatan bagi ODHA.

2) Pertemuan ODHA se Provinsi Sulawesi Utara

3) Melakukan forum diskusi terarah.

B. Hasil Penelitian

1. Karakteristik Responden

a. Table 5.1 Karakteristik responden berdasarkan umur di


Kelompok Dukungan Sebaya Family
Support tahun 2018 .
Frequency
Umur responden
Sampel (n) Presentase (%)
17 – 25 10 22.2
26 – 35 32 71.2
36 – 45 2 4.4
46 – 55 1 2.2
Total 45 100.0
Sumber data depkes : 2009
Berdasarkan table 5.1 diatas terlihat bahwa dari 45

responden yang paling banyak adalah dewasa awal yaitu 32

responden (71.2 %) dam yang paling sedikit adalah lansia

awal yaitu 1 responden (2.2 %).


b. Table 5.2 Karakteristik responden berdasarkan jenis
kelamin diKelompok Dukungan Sebaya
Family Support Manado tahun 2018.

Frequency
Jenis Kelamin
Sampel (n) Presentase (%)
Laki-laki 18 40.0
Perempuan 27 60.0
Total 45 100.0
Sumber data primer : 2018

Berdasarkan Tabel 5.2 terlihat bahwa dari 45 responden

yang paling banyak perempuan yaitu 27 responden (60.0

%). Dan laki-laki 18 responden (40.0 %).

c. Table 5.3 Karakteristik responden berdasarkan tingkat


pendidikan di Kelompok Dukungan Sebaya
Family Support Manado tahun 2018.

Frequency
Tingkat Pendidikan
Sampel (n) Presentase (%)
SMP 1 2.2
SMA 31 68.9
Perguruan Tinggi 13 28.9
Total 45 100.0
Sumber data primer : 2018
Berdasarkan table 5.3 terlihat bahwa dari 45 responden

yang paling banyak berpendidikan terakhir SMA yaitu 31

responden (68.9 %) dan paling rendah SMP 1 responden

(2.2 %).
2. Analisa Univariat

a. Table 5.4 Karakteristik responden berdasarkan dukungan


keluarga di Kelompok Dukungan Sebaya
Family Support Manado tahun 2018.

Frequency
Dukungan Keluarga
Sampel (n) Presentase (%)
Baik 33 73.3
Kurang 12 26.7
Total 45 100.0
Sumber data primer : 2018
Berdasarkan Tabel 5.4 menunjukan bahwa dari 45

responden yang dukungan keluarga baik sebanyak 33

responden (73.3%) dan dukungan keluarga kurang

sebanyak 12 responden (26.7%).

b. Table 5.5 Karekteristik responden berdasarkan kualitas hidup


Di Kelompok Dukungan Sebaya Family Support
Manado tahun 2018.
Frequency
Kualitas Hidup
Sampel (n) Presentase (%)
Baik 39 86.7
Kurang 6 13.3
Total 45 100.0
Sumber data primer : 2018

Berdasarkan Tabel 5.5 menunjukan bahwa dari 45 responden

yang kualitas hidup baik sebanyak 39 responden (86.7%) dan kualitas

hidup kurang sebanyak 6 responden (13.3%).


3. Analisa Bivariat

Hubungan dukungan keluarga dengan kualitas hidup penderita

HIV/AIDS di Kelompok Dukungan Sebaya Family Support

Manado.

a. Table 5.6 Tabulasi Hubungan Dukungan Keluarga Dengan


Kualitas Hidup Penderita HIV/AIDS Di Kelompok
Dukungan Sebaya Family Support Manado tahun
2018.
Kualitas Hidup
OR
Dukungan Baik Kurang Total P
95 % CI
Keluarga Baik
n % n % n %
Baik 32 97.0 1 3.0 33 100
Kurang Baik 7 58.3 5 41.7 12 100 22,85 0.003

Total 39 86.6 6 13.4 45 100


Sumber data primer : 2018

Berdasarkan Tabel 5.6 menunjukan bahwa dari 45 responden

(100%) ODHA dengan dukungan keluarga baik sebanyak 32 orang (97.0)

dan yang kualitas hidup buruk 1 orang (3.0%) dan ODHA dengan

dukungan keluarga kurang baik dengan kualitas hidup baik 7 orang

(58.3%) dan kualitas hidup kurang baik 5 orang (41.7%). Selanjutnya hasil

uji fisher exact test didapatkan hasil bahwa P value = 0,003 dengan taraf

signifikan sebesar (0,003 < 0,05), dengan demikian Ha diterima yang

menunjukan ada hubungan antara dukungan keluarga dengan kualitas

hidup penderita HIV/AIDS di Kelompok Dukungan Sebaya Family

Support Manado. Selaim itu hasil analisis diperoleh pula nilai Odds Ratio

(OR) = 22.85 artinya ODHA dengan dukungan keluarga yang baik

mempunyai 22.85 peluang kualitas hidupnya baik.


C. Pembahasan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Kelompok Dukungan

Sebaya Family Support Manado, pada bulan September 2018

diperoleh berdasarkan umur menunjukan bahwa dari 45 responden

yang paling banyak adalah dewasa awal yaitu 32 responden (71.2

%) dan yang paling sedikit adalah lansia awal yaitu 1 responden

(2.2 %), kemudian berdasarkan pada jenis kelamin bahwa dari 45

responden yang paling banyak perempuan yaitu 27 responden

(60.0 %). Dan laki-laki 18 responden (40.0 %), dan berdasarkan

tingkat pendidikan terlihat bahwa dari 45 responden yang paling

banyak berpendidikan terakhir SMA yaitu 31 responden (68.9 %)

dan paling rendah SMP 1 responden (2.2 %).

Hasil menunjukan bahwa dari 45 responden (100%) ODHA

dengan dukungan keluarga baik sebanyak 32 orang (97.0) dan yang

kualitas hidup buruk 1 (3.0%) dan ODHA dengan dukungan

keluarga kurang baik dengan kualitas hidup baik 7 orang (58.3%)

dan kualitas hidup kurang baik 5 orang (41.7%). Selanjutnya hasil

uji fisher exact test didapatkan hasil bahwa P value = 0,003 dengan

taraf signifikan sebesar (0,003 < 0,05), dengan demikian Ha

diterima yang menunjukan ada hubungan antara dukungan

keluarga dengan kualitas hidup penderita HIV/AIDS di Kelompok

Dukungan Sebaya Family Support Manado. Hal tersebut hampir

sama dengan hasil penelitian kusuma (2011) yang menunjukkan


bahwa dukungan keluarga mempunyai hubungan yang signifikan

dengan kualitas hidup pasien HIV/AIDS yang menjalani perawatan

di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta dan kekuatan

hubungannya sedang yang berpola positif (p= 0,001, α= 0,05).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin baik dukungan

keluarga maka semakin baik kualitas pasien HIV/AIDS yang

menjalani perawatan di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta.

Pada penelitian Li (2009) diketahui juga bahwa orang yang hidup

dengan HIV/AIDS sangat membutuhkan bantuan dan dukungan

dari keluarga karena penyakit ini bersifat kronis dan membutuhkan

penanganan yang komprehensif. Dukungan keluarga tersebut

meliputi dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan

informasi dan instrumental. Dukungan keluarga dapat berupa

sikap, tindakan, dan penerimaan keluarga terhadap penderita yang

sedang sakit. Pada penelitian ini, keluarga telah mengetahui bahwa

anggota keluarganya menderita HIV/AIDS. Dukungan yang

diterima oleh ODHA dari keluarga merupakan dukungan yang

sangat berarti bagi ODHA. ODHA merasa dukungan yang

didapatkan dari keluarga merupakan bentuk kepedulian keluarga

terhadap dirinya serta menunjukkan ODHA masih dianggap

sebagai bagian dari keluarga walaupun saat ini menderita

HIV/AIDS. Dukungan keluarga yang diterima ODHA juga

merupakan bentuk dukungan dari keluarga yang dapat mengurangi


stress akibat berbagai masalah fisik, psikologis maupun sosial yang

sering dihadapi ODHA. Hal ini sesuai dengan Friedman (2010),

dukungan keluarga dapat berfungsi sebagai strategi pencegahan

untuk mengurangi stress, dengan cara keluarga memberikan

semangat dan motivasi serta menghibur ODHA.

Karakteristik responden dilihat dari umur sebagian besar dewasa

awal. (Wardoyo, 2007) dalam (Paryati, 2012) mengemukakan

pendapatnya bahwa infeksi HIV/AIDS sebagian besar (80 %)

diderita oleh kelompok usia 25 tahun keatas, berdasarkan

penelitian tersebut dapat dinyatakan bahwa semakin tinggi umur

seseorang semakin banyak pengalaman yang di dapat seseorang

mengenai penyakit HIV/AIDS. Hal ini disebabkan karena pada

usia tersebut aktifitas seksual mereka sangat tinggi, sehingga

termasuk kelompok yang rentan tertular HIV/AIDS. Semakin

dewasa usia seseorang akan lebih mudah merespon terhadap

masalah kesehatan dalam hal HIV/AIDS.

Karakteristik responden dilihat dari jenis kelamin terlihat bahwa

dari 45 responden yang paling banyak perempuan yaitu 27

responden (60.0 %). Dan laki-laki 18 responden (40.0 %). Faktor

penyebab tingginya kejadian HIV-AIDS pada kelompok

perempuan antara lain karena faktor perempuan masih dianggap

kelas dua, sehingga mereka tidak berdaya menolak atau memilih

pasangan seksualnya seperti kaum laki-laki. Risiko ini semakin


tinggi bagi perempuan pada umumnya, ketika budaya patriakal di

Indonesia masih terjadi, sehingga menempatkan perempuan pada

posisi paling rentan untuk sisi manapun. Di beberapa suku,

perempuan yang telah ”dibeli”, sudah menjadi milik laki-laki. Oleh

karena sudah ”dibeli” dengan harga demikian maka laki-laki di

tempat lainnya akan selalu menempatkan perempuan sebagai

warga masyarakat kelas dua, dan harus rela diperlakukan apa pun

oleh laki-laki. Di beberapa daerah di Indonesia penularan HIV-

AIDS pada kelompok perempuan dapat terjadi akibat banyaknya

hubungan seks berganti-ganti pasangan yang dilakukan setelah

pesta adat, atau satu orang melayani beberapa orang, atau

berhubungan seks di usia muda, serta rendahnya pemakaian

kondom. (Amik Khosidah, 2014)

Dan dilihat dari karakteristik pendidikan paling banyak

berpendidikan akhir SMA sebanyak 31 responden (68.9%).

Pendidikan dapat mempengaruhi perilaku seseorang terhadap pola

hidup terutama dalam motivasi sikap. Semakin tinggi pendidikan

seseorang, maka semakin mudah untuk penerimaan informasi.

Tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan pengetahuan yang

rendah pula terhadap HIV/AIDS. Pendidikan SMA cenderung

memilki pergaulan yang sangat bebas, mereka bergaul dengan

siapa saja termasuk orang-orang yang memakai narkoba, bahkan

yang sudah mempunyai penyakit HIV/AIDS. Keterbatasan


pendidikan berkontribusi juga terhadap keterbatasan pengetahuan

khususnya pengetahuan mengenai HIV/AIDS, hal ini berdampak

pada jumlah penderita HIV/AIDS dengan tingkat pendidikan SMA

menjadi tinggi. (Takwa, 2011)

Hasil penelitian menunjukan bahwa 39 ODHA (86.7%)

mempunyai kualitas hidup yang baik. Hasil penelitian ini sama

dengan hasil penelitian Rahmayuni (2014) bahwa mayoritasn

responden memiliki kualitas hidup baik yaiyu sejumlah 26 orang

(61,9%), sedangkan yang memiliki kualitas hidup yang kurang

baik yaitu sebanyak 16 orang (38,1%).

ODHA yang memiliki kualitas hidup kurang baik ditemukan pada

45 orang (42.5%) responden. 16 orang (15.1%) ODHA selalu

merasa terganggu dengan kondisi sakit yang menghambat aktifitas

sehari-harinya. Lima puluh orang (47.2%) ODHA sering merasa

orang-orang disekitarnya tidak menyukainya dan menghindar

darinya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Nojomi (2008) yaitu

80 orang (73%) ODHA dalam penelitian mempersepsikan kualitas

hidup yang kurang baik.

Hasil penelitian menunjukan bahwa 33 (73.3%) memiliki

dukungan keluarga yang baik. Responden banyak yang menjawab

selalu mendapatkan pendampingan dari keluarga dalam

pengobatan penyakitnya. Hasil penelitian ini sama dengan hasil

penelitian Nuraeni (2011) bahwa mayoritas responden memiliki


dukungan keluarga yang baik yaitu sejumlah 13 orang (65,0 %),

sedangkan yang memiliki dukungan keluarga yang kurang baik

sebanyak 7 orang (35,0 %). Berdasarkan jawaban responden dari

pernyataan yang disebar melalui kuesioner, sebagian besar (47,2

%) responden menjawab jika keluarga sering menunjukkan

kepeduliannya terhadap ODHA, 59 orang (55,7%) menjawab

keluarga sering berperan aktif dalam setiap pengobatan dan

perawatan sakitnya, sebagian besar (60,4%) responden menjawab

keluarga selalu berusaha untuk mencarikan kekurangan sarana dan

peralatan perawatan yang diperlukan, 65,1% responden menjawab

keluarga tidak pernah melarang ODHA untuk terlibat dalam

kegiatan sosial di kampungnya. Empat puluh enam orang (43,4%)

ODHA menunjukkan bahwa mereka memiliki dukungan keluarga

yang kurang baik. Berdasarkan jawaban responden masih banyak

yang menjawab tidak pernah atau jarang diperhatikan dan dibantu

keluarga dalam pengobatan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian

Kusuma (2011) yaitu 51 orang (55,4%) memiliki dukungan

keluarga yang kurang baik. Hasil penelitian yang sama juga

ditemukan oleh Nirmal (2008) yaitu 63 orang (58 %) memiliki

dukungan keluarga yang kurang baik.

Adanya responden yang mendapatkan dukungan keluarga yang

kurang baik dipengaruhi oleh kurangnya pemahaman atau

pengetahuan keluarga tentang penyakit HIV/AIDS. Selain itu hal


ini juga dipengaruhi oleh stigma di sekitar lingkungan tempat

tinggal mereka. Karena ketakutan terhadap reaksi masyarakat yang

cenderung negatif, seperti terjadinya stigma dan diskriminasi yang

ditimbulkan oleh lingkungan sekitarnya, ODHA memilih untuk

tidak mau membuka status HIV kepada keluarga, pasangan

ataupun lingkungan. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian yang

menyatakan bahwa rendahnya ODHA yang membuka status HIV

kepada orang terdekatnya termasuk kepada keluarga. Oleh sebab

itu perlu adanya penjelasan informasi HIV/AIDS kepada keluarga

sehingga tidak ada lagi ODHA dikucilkan.

Berdasarkan uraian diatas peneliti berasumsi bahwa 12 responden

yang dukungan keluarganya kurang baik dikarenakan kurangnya

pemahaman dan pengetahuan tentang HIV/AIDS dan 6 responden

yang kualitas hidupnya kurang baik dikarenakan ODHA sering

merasa terganggu dengan statusnya dan merasa diajuhi oleh

lingkungan disekitarnya.
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan

bahwa:

1. Dukungan keluarga terhadap penderita HIV/AIDS di Kelompok

Dukungan Sebaya Family Support Manado sebagian besar dukungan

keluarganya baik.

2. Kualitas Hidup penderita HIV/AIDS di Kelompok Dukungan Sebaya

Family Support Manado sebagian besar kualitas hidupnya baik .

3. Ada hubungan dukungan keluarga dengan kualitas hidup penderita

HIV/AIDS di Kelompok Dukungan Sebaya Family Support Manado.

B. Saran

a. Bagi LSM Kelompok Dukungan Sebaya Family Support Manado

Perlunya upaya peningkatan pengetahuan tentang HIV pada

penderita serta guna mendapatkan gambaran yang komprehensif

mengenai dukungan keluarga dengan kualitas hidup penderita

HIV/AIDS dan untuk lebih meningkatkan keterlibatannya dalam

penanggulangan HIV/AIDS melalui sosialisasi dan

penanggulangan HIV/AIDS.

b. Bagi Peneliti

Guna menambah wawasan serta pemahaman dalam menentukan

dan mengaplikasikan pengetahuan tentang dukungan keluarga dan

kualitas hidup penderita HIV/AIDS.


c. Bagi Pasien

Guna meningkatkan pemahaman ODHA atas kualitas hidupnya

serta mengurangi tingkat stress dan depresi atau perilaku bunuh

diri pada ODHA.

d. Bagi Institusi Pendidikan

Sebagai bahan pertimbangan pemberian tindakan maupun acuan

terhadap berbagai stigma yang terjadi di masyarakat.

e. Bagi Peneliti Selanjutnya

Bagi peneliti selanjutnya agar dapat mengembangkan penelitian

pada faktor lain seperti gaya hidup, sikap, dan prilaku yang dapat

menyebabkan HIV/AIDS meningkat.

Anda mungkin juga menyukai