Deep Vein Thrombosis
Deep Vein Thrombosis
BAB I
PENDAHULUAN
Trombosis vena dapat terjadi pada vena dalam maupun vena superfisial
pada keempat ekstremitas.1 Pada 90% kasus, trombosis vena dalam dapat
berkembang menjadi emboli paru, dan kondisi yang beresiko tinggi menyebabkan
kematian.1,2 Trombosis vena dalam atau deep vein thrombosis (DVT) dan emboli
paru dikelompokkan menjadi satu dan sering disebut sebagai tromboemboli vena/
venous thromboembolism (VTE).1
Angka kejadian VTE mendekati 1 per 1000 populasi setiap tahunnya. 3,4
Pada satu pertiga kasus VTE bermanifestasi sebagai emboli paru, sedangkan dua
pertiga lainnya hanya sebatas DVT.1,3,4 Angka kematian pada kasus DVT sebesar
6% dan 12% pada kasus emboli paru terhitung sejak 1 bulan diagnosis DVT dan
emboli paru ditegakkan.4 Pada sebuah studi didapatkan fakta bahwa angka
kematian akibat emboli paru sebesar 30%, termasuk kasus emboli paru yang
terdiagnosa dari autopsi.3
Pembentukan, pembesaran dan perombakan tromboemboli vena
bergantung pada keseimbangan antara rangsangan trombogenik dan mekanisme
protektif (trombolitik).1 Pada tahun 1859, Rudolph Virchow menyimpulkan bahwa
faktor rangsangan trombogenik adalah stasis aliran darah, perubahan pada dinding
pembuluh darah, dan hiperkoagulabilitas.1,2 Mekanisme terbentuknya trombus
akibat faktor rangsangan trombogenik, terutama yang berkaitan dengan kerusakan
dinding pembuluh darah, dapat tergambar secara jelas pada trombosis arteri,
namun pada vena, mekanisme tersebut masih belum jelas.2 Contohnya pada
penelitian Sevitt, tidak ada bukti rusaknya dinding pembuluh darah vena pada 49
dari 50 kasus.2 Hal ini menjadi menarik untuk diangkat, dan dibahas pada makalah
ini untuk menjelaskan mekanisme terjadinya trombosis vena terutama pada vena-
vena yang masih intak.
Manifestasi klinik dari trombosis vena antara lain nyeri pada kaki,
tenderness, bengkak, diskolorasi, distensi vena, penonjolan vena superfisial, dan
sianosis. Namun diagnosis DVT secara klinik tidak spesifik karena masing-
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Trombosis vena adalah terbentuknya bekuan darah di dalam vena, yang
sebagian besar tersusun atas fibrin dan sel darah merah dengan sebagian kecil
komponen leukosit dan trombosit.1,6,7,8 Trombosis vena paling banyak terjadi pada
vena dalam dari tungkai (deep vein thrombosis/DVT ), dan dapat menjadi emboli
paru.6
2.2 Epidemiologi
Angka kejadian VTE mendekati 1 per 1000 populasi setiap tahunnya. 3,4,6
Pada satu pertiga kasus, bermanifestasi sebagai emboli paru, sedangkan dua
pertiga lainnya hanya sebatas DVT.1,3,4,6 Pada beberapa penelitian juga didapatkan
bahwa kejadian VTE meningkat sesuai umur, dengan angka kejadian 1 per 10.000
– 20.000 populasi pada umur dibawah 15 tahun, dan meningkat secara
eksponensial sesuai dengan umur hingga 1 per 1000 kasus pada usia diatas 80
tahun.3,4,6 Insidensi VTE pada ras Asia dan Hispanic dilaporkan lebih rendah
dibandingkan dengan ras Kaukasians, Afrika-Amerika, Latin, dan Asia Pasifik. 4
Angka insidensi yang lebih rendah ini masih belum dapat dijelaskan, namun
diduga berkaitan dengan rendahnya prevalensi faktor predisposisi genetik, seperti
faktor V Leiden.4 Tidak ada perbedaan insidensi antara pria dan wanita, walaupun
penggunaan kontrasepsi oral dan terapi sulih hormon post menopause merupakan
faktor resiko terjadinya VTE.4
fibrin oleh fagosit mononuklear dan hepar, serta enzim fibrinolisis. Terjadinya
VTE merefleksikan ketidakseimbangan antara faktor stimuli dengan faktor
protektif.1
Faktor risiko terjadinya VTE dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu faktor
risiko didapat (acquired) dan faktor risiko yang diturunkan (inherited), seperti
pada tabel 1.
Tabel 1. Faktor Risiko Terjadinya VTE1,6
Didapat (aquired) Diturunkan (inherited) Campuran Keduanya
Bertambahnya usia Defisiensi antitrombin Tingginya kadar PCI
(PAI-3)
Tindakan pembedahan Defisiensi Protein C Tingginya kadar salah
(ortopedi, bedah saraf, satu faktor pembekuan
laparotomi,dll) darah dibawah ini: VIII,
IX, XI
Trauma Defisiensi Protein S Tingginya kadar
fibrinogen
Kateter vena sentral Faktor V Leiden (FVL) Tingginya kadar TAFI
(Thrombin Activated
Fibrinolysis Inhibitor)
Keganasan Prothrombin G20210A Menurunnya kadar TFPI
(Tissue Factor Pathway
Inhibitor)
Sindrom antifosfolipid Kelompok Golongan Resistensi protein C
darah non-O teraktivasi pada absennya
FVL
Puerperium Disfibrinogenemia Hiperhomosisteinemia
Imobilisasi lama (tirah Faktor XIII 34val
baring, paralisis
ekstremitas)
Kehamilan
Obesitas
Kontrasepsi oral
Terapi sulih hormon
Penyakit
myeloproliferatif
Polisitemia vera
Infark miokard
Varises
5
Intensitas nyeri tidak tergantung kepada besar dan luas trombosis. Trombosis
vena di daerah betis menimbulkan nyeri di daerah tersebut dan bisa menjalar
ke bagian medial dan anterior paha.
Keluhan nyeri sangat bervariasi dan tidak spesifik, bisa terasa nyeri atau kaku
dan intensitasnya mulai dari yang enteng sampai hebat. Nyeri akan berkurang
kalau penderita istirahat di tempat tidur, terutama posisi tungkai ditinggikan.
2. Pembengkakan
Timbulnya edema disebabkan oleh sumbatan vena di bagian proksimal dan
peradangan jaringan perivaskuler. Apabila pembengkakan ditimbulkan oleh
sumbatan maka lokasi bengkak adalah di bawah sumbatan dan tidak nyeri,
sedangkan apabila disebabkan oleh peradangan perivaskuler maka bengkak
timbul pada daerah trombosis dan biasanya di sertai nyeri. Pembengkakan
bertambah kalau penderita berjalan dan akan berkurang kalau istirahat di
tempat tidur dengan posisi kaki agak ditinggikan.
3. Perubahan warna kulit
Perubahan warna kulit tidak spesifik dan tidak banyak ditemukan pada
trombosis vena dalam dibandingkan trombosis arteri. Pada trombosis vena
perubahan warna kulit di temukan hanya 17%-20% kasus. Perubahan warna
kulit bisa berubah pucat dan kadang-kadang berwarna ungu.
4. Sindroma post-trombosis.
Penyebab terjadinya sindroma ini adalah peningkatan tekanan vena
sebagai konsekuensi dari adanya sumbatan dan rekanalisasi dari vena
besar. Keadaan ini mengakibatkan meningkatnya tekanan pada dinding
vena dalam di daerah betis sehingga terjadi imkompeten katup vena dan
perforasi vena dalam.
Semua keadaan di atas akan mengkibatkan aliran darah vena dalam
membalik ke daerah superfisilalis apabila otot berkontraksi, sehingga
terjadi edema, kerusakan jaringan subkutan, pada keadaan berat bisa
terjadi ulkus pada daerah vena yang di kenai.
Manifestasi klinis sindroma post-trombotik yang lain adalah nyeri
pada daerah betis yang timbul / bertambah waktu penderitanya berkuat
(venous claudicatio), nyeri berkurang waktu istirahat dan posisi kaki
ditinggikan, timbul pigmentasi dan indurasi pada sekitar lutut dan kaki
sepertiga bawah.
9
1. Venografi
Sampai saat ini venografi masih merupakan pemeriksaan standar
untuk trombosis vena. Akan tetapi teknik pemeriksaanya relatif sulit,
mahal dan bisa menimbulkan nyeri dan terbentuk trombosis baru
sehingga tidak menyenangkan penderitanya.
10
BAB III
PATOFISIOLOGI DVT
dinding pembuluh darah, (3)stasis aliran darah, dan sampai saat ini ketiga faktor
tersebut masih berperan penting pada trombosis vena dan dikenal sebagai Triad
Virchow. 1,2
Selain itu, stasis vena juga dapat menyebabkan desaturasi hemoglobin dan
mengarah pada suatu keadaan hipoksia pada endotelium. Suplai nutrisi
endotelium berasal dari perfusi langsung sel-sel darah di dalam lumen. Keadaan
hipoksia pada endotelium dapat menyebabkan berbagai respon seluler, mulai dari
tidak ada respon, aktivasi sel, hingga kematian sel. Keadaan iskemia dapat
memicu aktivasi sel endotelial untuk mengekpresikan P-selectin, yang kemudian
memungkinkan kompleks TF-mikrovesikel untuk menginisiasi koagulasi dan
trombosis.
BAB IV
PENATALAKSANAAN DVT
4.2 Farmakologis
15
Saat ini preparat yang tersedia di Indonesia adalah Enoxaparin (Lovenox) dan
(Nandroparin Fraxiparin).
Tabel 2. Regimen LMWH dalam penatalaksanaan DVT1
LMWH diberikan secara subkutan satu atau dua kali sehari, dan lebih dipilih
dibanding pemberian heparin kontinu secara intravena, terutama pada pasien-
pasien dengan trombosis vena tanpa komplikasi yang dapat rawat jalan.
Walaupun demikian, unfractionated heparin intravena tetap menjadi
antikoagulan inisial pada pasien dengan gagal ginjal. Beberapa regimen LMWH
yang telah terbukti efektif dalam menatalaksana trombosis vena dapat dilihat pada
tabel 2.
Kembali : 2 minggu
2,0 – 3,0 tidak ada perubahan.
Kembali : 1 minggu
3,1 – 3,9 hari : kurang 5% – 10% dari dosis total mingguan.
Mingguan : kurang 5 – 150 dari dosis total mingguan
Kembali : 2 minggu
4,0 – 5,0 hari 1: tidak dapat obat
mingguan : kurang 10%-20% TDM
kembali : 1 minggu
> 50 :
- Stop pemberian warfarin.
- Pantau sampai INR : 3,0
- Mulai dengan dosis kurangi 20%-50%.
- kembali tiap hari.
monitor yang ketat terhadap waktu trombo plastin parsial dan waktu
protombin, jangan melebihi 2,5 kali nilai kontrol.
DAFTAR PUSTAKA