Anda di halaman 1dari 2

Cukup Selangkah!

(Bagian 1)
Oleh: Asep Irawan

Seperti biasanya, sebelum fajar menyerbakan sinarnya ibu selalu membangunkaku untuk
mengunci pintu dari dalam dan tidur bersama adikku, karena aku teringat cerita dari bapak baik
dari via telpon selama aku dijogja dan ketika aku sampai dirumah bahwa rumah sering disatroni
maling dan terakhir maling datang hampir merusak pintu soalnya todak bisa membobol pintu
belakang rumah. Subuhpun tiba dan ibu sama bapakpun pulang, warga dusun puntang di rt.08
sudah tidak asing dengan aktivitias mereka yang selalu dimulai paling awal, memang notaben
dari mereka adalah para pedadang, dari dagang sebagian besar bias membuat rumah, dari
berdagang bisa menyekolahkan anaknya dari TK (Taman Kanak-kanak) bahkan, biasanya anak
di desa hanya bisa menyekolahkan dari SD (Sekolah Dasar) sampai SMA (Sekolah Menengah
Atas) dan dari dagang mereka bisa membeli kebutuhan tersier lainnya. Hari ini senin dibulan
agutus adalah hari terakhir aku berada dirumah dan siang nanti akan pergi ke jogja dengan moda
transportasi kereta api, akhirnya mentaripun menyongsong dengan kehanganatan yang bagiku
berbeda untuk kali ini, karena pada hari ini juga, aku tidak bisa belari lagi entah untuk berapa
lama diakibatkan sedikit kecelakaan disaat latian pencak silat di SMP (Sekolah Menengah
Pertama). Tapi tidak apa, karena aku yakin ini akan sembuh dan cepat berlalu sama halnya
dengan diriku yang akan pulang ketika liburanpun tiba.
Tak terasa, waktu keberangkatanku untuk meninggalkan rumah selangkah demi selangkah akan
tiba, packingan baju di tas keril bagai gunung yang akan diangkat oleh seoonggok daging,
sarapan agak special telah disiapkan oleh ibu dan sayup mayup mata bapak yang saing
menghantarkan aku pergi ke jalan raya lewatnya para kendaraan yang sudah menentukan arah.
Pergi, akhirnya aku pergi dengan motor merk honda berkonsep metik, tak jauh dari rumah
mlipirlah motor kami dirumah nenek dari ibu beserta saudara dari ibu lainnya. Stttt... sampailah
kami di jalan pantura, pantura? Ya, begitulah rumahku dekat dengan jalan penghubung dari yang
katanya terbesar yang sering dilewati kendaraan-kendaraan besar semacam truck, bus, minibus,
motor dll. Salaman dan pamit ke bapak serta adikku yang ikut terasa begitu agak sedih tapi juga
menimbulkan semangat dan keyakinan. Sambal ditinggal dan melambaikan tangan, silih berganti
lalu lalang dai kendaraan yang lewat layaknya badai, begitu cepat dan lihai bak seorang ahli.
Dalam sekali tengokan, datanglah bus dengan tujuan yang aku inginkan, bus berhenti agak jauh
dari tempat aku berdiri, sehingga menimbulkan kejadian jalan agak cepat, karena posisi kakiku
dalam keadaan cedera.
Alhamdulillah dapat tempat duduk, padahal biasanya penuh dan harus berdiri dari dusun puntang
sampai lampu merah widasari, terkadang buah dari hasil pemikiran positif itu terealisasikan.
Selama di bus, aku jadi mengingat kejadian saat kena cidera sambil melihat disisi kaca sebelah
kiri dengan pemandangan sawah terbentang tak jenuh-jenuh untuk dipandang. Siang itu hari
kamis aku pergi dengan membawa pakaian latian dan izin ke ibu, pergi seperti biasa memakai
helm dan sweater, sampailah aku ditempat latian di lapangan SMP (Sekolah Menengah
Pertama), cidera ini terjadi (mungkin) aku yang kurang pemanasan kaki, kaki yang mengangkat
mengakibatkan telapak kaki yang kurang siap dan terjadilah bunyi krek. Setelah latihan, aku dan
Rudini (temenku) mengantarkanku pergi ke tukang pijat, tapi tukang pijat yang dimaksud sedang
pergi keluar kota, yasudah akhirnya diputuskan tukang pijit yang seadanyanya aja, setelah
berfikir akhirnya menuju teman mas arif (mas arif adalah pelatih waktu aku SMK dulu). Tengok
kekiri, ternyata ada penumpang yang baru naik bus, sambil mengusap keringat dikening, aku
sambil berkata “begitu cepat terjadi.”. sesampainya di lampu merah widasari aku turun dan
melanjutkan lagi dengan gojek pangkalan menuju stasiun yang jaraknya lumayan, kurang lebih 3
KM dari jalan raya pantura.
Seperti biasanya setelah nyetak tiket di mesin cetak tiket mandiri, tidak jarang aku membelikan
buah tangan di pasar dekat stasiun yaitu pasar jatibarang untuk teman sekosan yang ada di jogja,
entah itu membelikan krupuk udang mentah maupun buah khas kota indramayu yaitu buah
manga, entah mengapa buah mangga di kota ini memiliki rasa yang berbeda dan memilik bau
yang sangat khas. Akhirnya penantian selama sejam di peron stasiun kreta api jatibarang datang
juga kreta yang membawa diriku ke daerah kotanya para pelajar, yups Yogyakarta. Yeah aku
menemukan tempat duduk yang aku cari 24C gerbong 5, biasanya aku kalau naik kreta selalu di
kursi yang duduk berdua dan kalau tujuanya ke jogja selalu di urutan C, tapi kalau menuju
pulang ke Indramayu pasti dipojok yaitu D. selesai merapikan tas yang aku bawa untuk ditaruh
ditempat yang telah disedikan (biasanya diatas tempat duduk penumpang) aku mengambil
handphone disaku celanaku untuk menghubungi temenku yang nan jauh di Yogyakarta sana.
Namanya Novian, orang yang gila lari, bukan lagi suka lari. Aku teringat pada janjiku bakalan
ikut marathon di Borobudur sana bersama dia, tetapi ada cidera yang menghantui. (bersambung)

Anda mungkin juga menyukai