Kiang Santan
“Ceritakan padaku tentang kelahiran....” tanya seorang anak muda bernama Musa
kepada Khidr. Ada keraguan berkilat di wajah Khidr. Lalu, Khidr memandangi wajah Musa
sejenak. Ia menatap bola matanya yang bulat, berbinar, penuh rasa ingin tahu. Maka,
Khidr pun mulai bercerita.
***
Turunlah malaikat membawa ruh bayi yang akan lahir ke bumi.
“Masuklah kedalam tubuh yang terlelap ini,” perintah malaikat utusan. Namun, ruh
tidak segera melaksanakan perintah tersebut.
“Bila aku masuk ke dalam tubuh ini, apa yang akan terjadi?” Tanya ruh kepada
malaikat.
“Engkau akan hidup dan keluar dari kegelapan ini.”
“Ada apa di luar sana?”
“Di sana ada cahaya benderang, gunung-gunung tinggi, sungai-sungai mengalir
ke laut luas, dan langit ditaburi bintang-bintang jika gelap.”
“Apakah aku akan melupakan rahasia langit?”
“Benar.”
“Apakah aku akan melupakan keindahan sabda Tuhan yang dibisikkan ke dalam
jiwaku ketika pertama kali aku diciptakan?”
“Benar.”
“Kalau begitu akau tidak ingin masuk ke dalam tubuh yang terlelap ini.”
“Kenapa, wahai ruh?”
“Adakah suara yang lebih indah dari suara Pencipta? Adakah yang lebih merdu
dari suara itu sampai-sampai aku merasakan sesuatu menyelimutiku dengan kehangatan
surgawi dan ketika mendengar-Nya aku merasa melayang di udara, terangkat menuju
ketinggian? Malaikat, aku cemas jika di luar sana tak terdengar lagi bisikan itu, suara yang
merdu itu, yang mampu memberikan ketenangan padaku. Aku takut terlahir ke dunia. Aku
takut pada segala hal yang belum kuketahui.”
“Wahai ruh, jangan engkau takut.”
“Aku takut.”
“Masuklah ke dalam tubuh bayi yang terlelap, maka rasa takutmu akan lenyap.”
“Malaikat, aku akan masuk ke dalam tubuh yang terlelap ini, tapi sebelumnya aku
ingin bertanya sampai tidak ada lagi pertanyaan yang perlu kuajukan karena setiap
pertanyaan telah mendapat jawabannya masing-masing sampai setiap keraguanku,
kecemasanku, dan ketakutanku hilang. Maka, perkenankanlah aku bertanya dengan
segala kecamuk perasaan dalam diriku ini.”
“Bertanyalah wahai ruh.”
“Kenapa dunia diciptakan jika pada akhirnya setiap penghuni akan kembali pada
sang Pencipta?”
Yang terdengar adalah suara aliran darah, degup jantung dan embusan napas.
Selebihnya adalah kegelapan dan hening. Malaikat terdiam, tak mampu menjawab
pertanyaan yang satu ini. Lama ia merenung tapi tak kunjung menemukan jawaban. Ia pun
diam, diam dengan wajah yang tenang. Wajahnya menengadah ke arah langit. Meski
dalam rahim, sepasang matanya mampu menembus kegelapan dan segala yang menutupi
pandangannya. Ia pun terbang dari rahim itu, melesat ke langit dalam satu kedipan mata
manusia.
Di hadapan singgasana Tuhan ia bersujud, lalu menceritakan kejadian yang baru
saja dialaminya tentang ruh yang menolak masuk kedalam jasad bayi dalam rahim hingga
setiap pertanyaan yang diajukan terjawab.
Pertanyaan tadi belum sempat terjawab, ruh itu mendesak sang malaikat dengan
pertanyaan selanjutnya. “Wahai malaikat, bukankah agak sedikit aneh jika Tuhan
menciptakan surga dan neraka untuk manusia, seandainya Dia tidak menciptakan aku dan
ruh-ruh lainnya, bukankah Dia tidak perlu repot-repot menciptakan surga dan neraka?
Bukankah akan lebih baik jika Dia menciptakan sesuatu yang menyerupai diri-Nya sendiri
sehingga dia dapat bermain-main dengan sesama-Nya yang setara dengan Dia?”
Malaikat melesat lagi ke langit. Bersujud lagi di hadapan singgasana Tuhan dan
menceritakan pertanyaan yang diajukan ruh kepadanya tapi tak sanggup ia menjawabnya.
Tuhan tidak menjawab, Dia hanya tertawa terbahak-bahak seperti pertama kali malaikat
mengadu kepada-Nya. Lalu malaikat termenung dan meninggalkan singgasana Tuhan. Ia
pergi ke neraka.
Lalu malaikat mulai mendekatkan wajahnya ke wajah ruh yang pucat. Malaikat
menatap jauh ke kedalaman mata ruh kemudian tersenyum, mendekatkan jari telunjuknya
ke mulut ruh, hingga menempel tepat di bawah hidung, tepat di antara kedua lobang
hidung jari itu membekas sampai kini. Ruh itu masuk ke dalam janin yang terlelap dalam
rahim. Beberapa bulan kemudian , tubuh bayi mulai menggelosor ke bawah, seolah ada
yang sedang menariknya keluar dari kegelapan rahim. Kepalanya keluar terlebih dahulu
dengan sepasang mata yang terpejam. Ada tangan menarik seluruh tubuh bayi dari sela-
sela vagina. Sepasang mata yang masih jernih itu mulai terbuka, cahaya menyadarkan
dirinya bahwa ia telah dilahirkan ke dunia. Lalu ia menangis keras sekali. Ingin ia teriak
memanggil-manggil malaikat tapi tidak mampu mengucap sepatah kata pun, malaikat telah
meninggalkan tanda di bawah hidung. Bayi merah itu hanya mampu menjerit sekeras-
kerasnya dalam tangis, menangis, dan menangis....
“Apakah si bayi hidup bahagia? Bagaimana keadaan si bayi sekarang?” Tanya
Musa.
Maka, Khidr pun menjawab. “Kau tidak bisa bersabar bersamaku, Musa
tenangkan pikiranmu. Akan kutunjukkan kepadamu sang bayi itu, ia kini sudah tumbuh
dewasa, dan sekarang ia sedang membaca bagian akhir dari cerita kita.” [ ]