Anda di halaman 1dari 37

BAB II

KORELASI TINGKAT KECERDASAN SPIRITUAL DENGAN MOTIVASI


BELAJAR MENGHAFAL AL-QU’RAN SANTRI

A. Deskripsi Teori
1. Kecerdasan spiritual
a. Pengertian kecerdasan spiritual
1) Kecerdasan menurut para ahli
Kecerdasan berasal dari kata dasar cerdas yang mendapat
konfiks ke-an. Sedangkan kecerdasan adalah perihal cerdas,
kesempurnaan perkembangan akal budi (seperti kepandaian,
ketajaman pikiran). Spiritual mempunyai arti kejiwaan, rohani,
batin, mental, moral. jadi kecerdasan spiritual menurut bahasa
artinya adalah kecerdasan yang berkenaan dengan hati dan
kepedulian antar sesame manusia, mahluk lain, dan alam sekitar
berdasar keyakinan akan adanya Tuhan Yang Maha Esa.1
Kecerdasan spiritual menurut pendapat para ahli riset tentang
spiritual intelligence (Spiritual Quotient) merupakan temuan
yang menggemparkan. Hal ini dikarenakan kecerdasan spiritul
adalah temuan yang disebut-sebut sebagai the ultimate
intelligence yaitu puncak kecerdasan.2 Kecerdasan spiritual
muncul di tengah paradigma yang masih didominasi oleh temuan
terbaru Daniel Goleman tentang Emotional Intelligence (EQ).
Menurut Khalil A. Khavari dalam buku Sukidi,
mendefinisikan kecerdasan spiritual:

Spiritual intelligence is the faculty of our nonmaterial


dimension the human soul. It is the diamond in the rough
that every one of us has. It must be recognized for what it is,
polished to high luster with great determination and used to

1
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi 3, (Jakarta : Balai Pustaka2002), hlm. 857.
2
Sukidi, Kecerdasan Spiritual; Mengapa SQ Lebih Penting dari IQ dan EQ, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2002), hlm. 35

10
capture lasting personal happiness. Like the other two forms
of intelligence, spiritual intelligence is also subject to
enhancement as well as deterioration, except that its
capacity to increase seems limitless.

Kecerdasan spiritual (SQ) adalah fakultas dimensi non


material kita jiwa manusia. Inilah intan yang belum terasah,
yang dimiliki oleh kita semua. Kita harus mengenalinya
seperti apa adanya, menggosoknya sehingga mengkilap
dengan tekad yang besar dan menggunakannya untuk
memperoleh kebahagiaan abadi. Seperti dua bentuk
kecerdasan lainnya (IQ dan EQ), kecerdasan spiritual dapat
ditingkatkan dan diturunkan. Kemampuannya untu
diturunkan tampaknya tidak terbatas.3

Lebih jelas John P. Miller mengatakan bahwa kecerdasan


spiritual adalah mengenai kemampuan hati nurani atau “kata
nabi” yang lebih hebat dari semua jenis kecerdasan. Kecerdasan
spiritual dipandang sebagai unsur pokok yang menjadikan
seseorang bisa mencapai kesuksesan hidup sejati. Anak dengan
IQ tinggi tidak menjamin mampu mengatasi berbagai masalah
yang dihadapi, kecuali dia juga memiliki kecerdasan spiritual
yang tinggi.4
Yaacov J. Kravitz mengemukakan bahwa:
Spiritual Intelligence refers to skills, abilities and behaviors
required to develop and maintain a relationship to the
ultimate source of All Being, succeed in the search for
meaning in life, final a moral and ethical path to help guide
us through life, and act out our sense of meaning and values
in our personal life and in our interpersonal relationship.5

Kecerdasan spiritual merujuk pada ketrampilan, kepandaian


dan tingkah laku yang diinginkan untuk mengembangkan
dan memelihara hubungan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
sukses dalam mencari makna hidup, menemukan bentuk
moral dan etika untuk membantu menunjukkan kita dalam

3
Sukidi, op cit., hlm. 77
4
John P. Miller, Cerdas di Kelas Sekolah Kepribadian, Terj Abdul Munir Mulkhan, Yogyakarta:
Kreasi Wacana, 2002), hlm. 3
5
Yaacov J. Kravitz, “Spiritual Intelligence”, http: //www.spiritualintelligence.com/ newsletter 1.
htm, hlm. 1

11
menjalani hidup, dan memainkan perasaan kita akan makna
dan nilai dalam kehidupan antar pribadi dan dalam
hubungan interpribadi kita.

Kecerdasan spiritual (SQ) merupakan kecerdasan tertinggi


manusia. Orang yang memiliki IQ tinggi, para akademisi dan
teknisi, hampir dipastikan memiliki prospek kerja dan masa
depan yang cerah. Tetapi itu belum cukup untuk menjadi
manusia-manusia sukses. Untuk sukses, di samping perlu
memiliki IQ yang tinggi juga harus bertumpu pada EQ
(kecerdasan emosional). Ibaratnya, IQ hanyalah seekor kuda
tunggang, sedangkan EQ adalah penunggangnya. Tetapi itu
semua belum cukup untuk mencapai kebahagiaan sejati ada pada
kecerdasan spiritual (SQ). kecerdasan spiritual bersumber dari
fitrah manusia itu sendiri. Ia memancar dari kedalaman diri
manusia seperti dorongan-dorongan keingintahuan yang
dilandasi kesucian, ketulusan hati dan tanpa pretense egoisme.6
Dalam kecerdasan spiritual, manusia diinterpretasi dan
dipandang eksistensinya sampai pada dataran noumenal (fitriyah)
dan universal. Jadi orang-orang yang bisa berpikir dan memiliki
kecerdasan spiritual (SQ) dan mengetahui sesuatu secara
inspiratif, tidak hanya memahami dan memanfaatkan
sebagaimana adanya, tetap mengembalikannya pada asal
ontologisnya, yakni Allah SWT.7 Potensi kecerdasan intelektual,
emosional dan spiritual terdapat dalam keseluruhan diri manusia.
Kecerdasan intelektual (IQ) berada di wilayah otak (brain), yang
karenanya terkait dengan kecerdasan otak, rasio, nalar
intelektual. Kecerdasan emosional (EQ) mengambil wilayah di
sekitar emosi, yang karenanya lebih mengembangkan emosi
supaya menjadi cerdas, tidak cenderung marah. Sedangkan

6
Suharsono, Akselerasi Inteligensi Optimalkan IQ, EQ dan SQ Secara Islami, (Jakarta: Inisiasi
Press, 2004), hlm
7
Ibid., hlm. 227

12
kecerdasan spiritual (SQ) mengambil tepat di seputar jiwa, hati
(yang merupakan wilayah spirit), yang karenanya dikenal sebagai
the soul’s intelligence: kecerdasan hati, yang menjadi hakekat
sejati kecerdasan spiritual.
Kecerdasan spiritual (SQ) dengan sendirinya melampaui
segi segi kecerdasan intelektual (IQ) dan kecerdasan emosional
(EQ). Secara konseptual kecerdasan spiritual (SQ)
mengintegrasikan semua kecerdasan manusia, baik IQ maupun
EQ. Dengan kecerdasan spiritual (SQ), kita diharapkan menjadi
prototip manusia yang benar benar utuh dan holistic, baik secara
intelektual (IQ), emosional (EQ) dan sekaligus secara spiritual
(SQ).8 Sangat menarik mengkaji SQ ini, justru dengan
membandingkannya terlebih dahulu dengan peta paradigm
kecerdasan yang selama ini sudah jauh lebih popular dan mapan,
yakni IQ dan EQ.9 Dengan pemetaan paradigma kecerdasan ini,
diharapkan masyarakat tidak saja mengenal arti penting IQ, EQ
dan SQ, melainkan untuk memperkaya dan bahkan
meningkatkan segi–segi kecerdasan spiritual yang justru
merupakan penyerupaan atas kualitas kecerdasan intelektual (IQ)
dan kecerdasan emosional (EQ). Sesuai dengan pemetaan tiga
kecerdasan tersebut, berikut ini dicantumkan pola IQ, EQ dan
SQ.10
SQ
EQ
IQ

8
Sukidi,op. cit., hlm. 36
9
Ibid., hlm. 46
10
Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power, (Jakarta: Arga,
2003), hlm. 46

13
Setelah mengetahui masing-masing pengertian kecerdasan
spiritual, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan spiritual atau
spiritual intelligence adalah suatu kecerdasan tertinggi manusia
yang mengajarkan nilai-nilai kebenaran, bila difungsikan secara
efektif maka akan memberikan pengaruh kuat pada
perkembangan jiwa, sehingga menumbuhkan dorongan atau
motivasi seseorang untuk melakukan suatu hal yang bermakna.
2) Kecerdasan spiritual perspektif Islam
Spiritualisasi (Islam) mempunyai pengertian sama dengan
tazkiyah al-nafas, yaitu konsep AL-Ghazali dalam Ihya’ Ulum
al-Din tentang pembinaan mental spiritual, adalah penjiwaan
hidup dengan nilai-nilai agama Islam serta berfungsi sebagai pola
pembentukan manusia yang berakhlak baik, beriman dan
bertaqwa kepada Allah SWT. Tujuan dari spiritualisasi secara
Islam adalah pembentukan keharmonisan relasi jiwa manusia
dengan Allah, dengan seksama manusia dan makhlukNya dan
dengan manusia sendiri. Dalam spiritual Islam (al-Qur’an),
kecerdasan intelektual (IQ) dihubungkan dengan kecerdasan akal
pikiran (‘aql), sementara EQ lebih mengandalkan pada emosi diri
(nafs) dan terakhir, kecerdasan spiritual mengacu pada
kecerdasan hati, jiwa, yang menganut terminologi al-Qur’an
disebut dengan qalb.11 Kecerdasan spiritual memberikan banyak
kesempatan kepada manusia untuk berbuat, hanya saja
kebebasannya harus disertai dengan rasa cinta yang melahirkan
tanggung jawab. Ajaran Islam memberikan keleluasaan,
kemerdekaan bagi pemeluknya untuk mempergunakan
kecerdasan spiritualnya. Ary Ginanjar Agustian mengemukakan
bahwa kecerdasan spiritual perspektif Islam adalah kemampuan

11
Sukidi, op cit., hlm. 62.

14
untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan
kegiatan melalui langkah-langkah yang bersifat fitrah.12
Sedangkan Toto Tasmara berpendapat bahwa kecerdasan
spiritual mempunyai makna yang sama dengan kecerdasan
ruhaniah yaitu kemampuan untuk mendengarkan hati nurani atau
bisikan kebenaran yang mengillahi dalam cara mengambil
keputusan, berempati dan beradaptasi. Rasa ruhiyah merupakan
rasa yang paling fitrah yaitu sebuah potensi yang secara hakiki
ditiupkan ke dalam tubuh manusia ruh kebenaran, yang selalu
mengajak kepada kebenaran.13 John R. Hinnells, mengemukakan
bahwa :
Islamic spirituality is rooted in the Qur’an and the
instructions of the Prophet Muhammad as messenger of
God. For the muslim the spiritual life is based on both the
fear and the love of God, on obedience to God’s will and on
a search for the knowledge of God, the ultimate goal of
creation.14

Spiritualitas Islam berasal dari Al Qur’an and sunnatu Nabi


Muhammad SAW sebagai utusan Allah SWT. Bagi seorang
muslim kehidupan spiritual berdasarkan pada keduanya
yaitu takut dan cinta kepada Allah, dengan mentaati
perintah Allah SWT dalam sebuah pencarian pengetahuan
tentang Allah, yaitu tujuan paling tinggi/utama.

Dalam spiritual Islam (al-Qur’an), kecerdasan intelektual


(IQ) dapat dihubungkan dengan kecerdasan akal pikiran (‘aql),
sementara kecerdasan emosional lebih dihubungkan dengan
emosi diri (nafs), dan terakhir, kecerdasan spiritual mengacu
pada kecerdasan hati, yang menganut terminologi al-Qur’an
disebut dengan qalb.15Qalb dalam arti luthf rabbani ruhiy

12
Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ
Emotional Spiritual Quotient, (Jakarta : Arga, 2001), cet. IV, hlm. 56.
13
Toto Tasmara, Kecerdasan Ruhaniah (Transecendental Inteligence) Membentuk Kepribadian
yang Bertanggung Jawab, Profesional dan Berakhlak, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 48.
14
John R. Hinnels, Living Religions, (USA: Penguin Books, 1997), hlm. 674.
15
Sukidi, op cit., hlm. 8.

15
(bersifat spiritual).al-Qalb merupakan alat untuk mengetahui
hakikat sesuatu. Hal ini sesuai dengan Al Ghozali dalam kitab
Ihya’Ulum ad-din:
‫اﻟﻘﻠﺐ ﻫﻮ ﻟﻄﻴﻔﺔ رﺑﺎﻧﻴﺔ روﺣﻴﺔ ﻟﻬﺎ ﺑﻬﺪا اﻟﻘﻠﺐ اﻟﺠﺴﻤﺎﻧﻲ ﺗﻌﻠﻖ وﺗﻠﻚ اﻟﻠﻄﻴﻔﺔ ﻫﻲ‬
‫ﺣﻘﻴﻘﺔ‬16 ‫اﻻﻧﺴﺎن وﻫﻮ اﻟﻤﺪرك اﻟﻌﻠﻢ اﻟﻌﺎرف ﻣﻦ اﻻﻧﺴﺎن وﻫﻮاﻟﻤﺨﺎﻃﺐ‬
‫واﻟﻤﻌﺎﻗﺐ‬

”Qalb adalah dzat yang halus bersifat ketuhanan dan rohani,


bagi sifat-sifat tersebut dengan qalb jasmaniyah berkaitan.
Dan zat yang halus tersebut merupakan hakikat manusia,
dan dia bagian dari diri manusia yang menemukan dan
mengetahui, dan dia pula yang menerima perintah agama
dan yang disiksa."

Sedangkan dari sudut pandang model berfikir, cara berfikir


model kecerdasan intelektual cenderung seri, sementara
kecerdasan emosional (EQ) bersifat asosiatif dan kecerdasan
spiritual bersifat unitif (menyatukan). Paparan atas struktur
kecerdasan seperti di atas dapat diringkas dalam model struktur
kecerdasan antara IQ, EQ dan SQ sebagai berikut :

STRUKTUR KECERDASAN
IQ, EQ dan SQ
Jenis kecerdasan
Perspektif IQ EQ SQ
PsikologiModern Otak ( mind) Emosi (body) Jiwa ( soul )
Model Berfikir Seri Asosiatif Unitif
Al Qur’an ‘Aql Nafs Qalb
ProdukKecerdasan Rasional Emosional Spiritual

Spiritualitas dalam pandangan Islam merupakan tujuan hidup


utama orang yang bertaqwa dan menjadi penentu bagi
16
Al-Ghazali, Ihya’ Ulum ad-Din, (Beirut: Maktabah Dar al_kutub al-Arabiyah, tt) juz III,
hlm.3.

16
keselamatan dan kesengsaraan manusia di dunia dan akhirat.
Ajaran Islam memberikan keleluasaan, kemerdekaan bagi
pemeluknya untuk mempergunakan kecerdasan spiritualnya. SQ
mengajarkan nilai-nilai kebenaran dan membawa kepada
kebahagiaan dan kebenaran yang hakiki.17 Berdasarkan beberapa
pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kecerdasan
spiritual dalam pandangan Islam adalah kecerdasan yang
berpusatkan pada rasa cinta yang mendalam kepada Allah dan
segala ciptaan-Nya. Bentuk cinta kepada Allah SWT dan ciptaan-
Nya harus terimplementasi dalam kehidupan sehari-hari dalam
bentuk menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya.
b. Upaya peningkatan kecerdasan spiritual
Berangkat dari peryataan Prof. Dr. Khalil Khafari yang
menyatakan bahwa kecerdasan spiritual adalah fakultas dari dimensi
non material yaitu ruh manusia, maka ada beberapa hal penting yang
bisa dilakukan untuk meningkatkan kecerdasan spiritual dalam diri
yaitu :
1) Banyak merenung persoalan secara mendalam mengenai
persoalan-persoalan hidup yang terjadi baik di dalam diri sendiri
atau di luar diri sendiri.
2) Melihat kenyatan-kenyataan hidup secara utuh dan menyeluruh,
tidak secara parsial.
3) Mengenali motif diri yang paling dalam.
4) Merefleksikan dan mengaktualisasikan spiritualitas dalam
penghayatan hidup yang kongkret dan nyata.
5) Merasakan kehadiran Tuhan yang begitu dekat saat menyebut
namanya (zikir), berdo’a, shalat, dalam aktivitas yang lain.18

17
Ary Ginanjar Agustian, Op.Cit., hlm. 65.
18
Abdul Wahid Hasan, Aplikasi &Model Kecerdasan Spiritual (SQ) Rasulallah di Masa
Kini,(Jogjakarta: IRCiSoD, 2006), hlm. 85.

17
Ari Ginanjar Agustin mengemukakan bahwa membangun
kecerdasan spiritual dengan menjalankan rukun Islam dan rukun
iman yaitu melalalui 6 prinsip rukun iman:19
1) Star principle (prinsip bintang): Iman kepada Allah SWT.
Prinsip ini merupakan landasan dari segala landasan
kecerdasan spiritual, ketenteraman kebijaksanaan, kepercayaan
diri, integritas dan motivasi. Dalam prinsip ini pula sumber-
sumber suara hati (God Spot) berasal, yang bermula dari 99 sifat
Allah SWT dan terekam dalam jiwa manusia.
Lawan terberat yang bisa membuat seseorang tergesar dari
prinsip satu ini adalah daya tarik dan kemilau dunia. Di sinilah
tantangan terberat seorang manusia, memilih yang nyata seperti
harta benda, atau Allah SWT yang tidak kasat mata. Tetapi
melalui “penalaran” dan “pendalaman” hati, maka itu semua
akan tampak nyata sekali, dan bisa dilihat melalui ciptaan-Nya,
dan yang terpenting melalui mata hati kita sendiri yaitu “mata
keimanan”.
Pemahaman Asmaul Husna secara parsial atau terpisah-
pisah, juga merupakan ‘nafsu’, (mengabaikan 99 Thinking Hat –
Berpikir Melingkar). Contoh keinginan untuk berkuasa semata-
mata tanpa disadari sifat rahman dan rahim atau sifat suci juga
akan mengakibatkan kegagalan. Oleh karena itu, pemahaman
bahwa Allah itu Esa, Bijaksana dan Adil juga harus
diperhatikan, sehingga pemahaman sifat-sifat Allah itu menjadi
satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan.
2) Angel Principle (prinsip malaikat) : iman kepada malaikat
Prinsip yang kedua ini adalah iman kepada malaikat.
Prinsip ini dibahas tentang semua pekerjaan yang dilakukan
mereka dengan sepenuh hati, hanya mengabdi kepada Allah
SWT, disiplin dalam menjalankan tugas dan keteladanan yang

19
Ariginanjar Agustin, Op.Cit, hlm.121-142.

18
bisa diambil dari sifat malaikat secara umum adalah
kepercayaan yang dimilikinya, loyalitas dan integritasnya yang
sangat mengagumkan.Kepercayaan bukanlah pemberian dari
orang lain.
Kepercayaan adalah upaya yang merupakan hasil timbal-
balik bagi seseorang yang telah menunjukkan integritas,
komitmen dan loyalitas. Seorang yang bisa menerapkan prinsip
malaikat adalah orang yang memiliki tingkat loyalitas tinggi,
komitmen yang kuat, memiliki kebiasaan untuk mengawali dan
memberi, suka menolong dan memiliki sikap saling percaya.
3) Leadership Principle (prinsip kepemimpinan) : Iman kepada
Nabi dan Rasul
Kepemimpinan adalah sebuah pengaruh yang berangkat
dari sebuah kepercayaan yang terbentuk dari sifat rahman dan
rahim-Nya, integritas, bimbingan dan kepribadian. Dalam
melatih prinsip kepemimpinan ini juga dengan melakukan shalat
secara disiplin setiap hari, kemudian dilatih dan dibentuk
integritasnya melalui shalat yang tulus, dimana hal ini akan
membangun suatu kepercayaan serta sebuah teladan yang patut
diikuti.
Pemimpin sejati adalah seseorang yang selalu mencintai
dan memberi perhatian kepada orang lain, sehingga ia dicintai.
Memiliki integritas yang kuat, sehingga ia dipercaya oleh
pengikutnya. Selalu membimbing dan mengajari pengikutnya.
Memiliki kepribadian yang kuat dan konsisten. Dan yang
terpenting adalah memimpin berlandaskan suara hati yang
fitrah.
4) Learning Principle (prinsip pembelajaran): Iman kepada Al-
Qur’an.
Pada setiap kali shalat, diwajibkan untuk membaca dan
menghayati surat Al-Fatihah yang merupakan intisari dari

19
keseluruhan isi Al-Qur’an Al-Karim. Isi Al-Fatihah secara
umum adalah sebagai dasar sikap, pujian atas sifat-sifat yang
mulia, bekal/ prinsip memberi, visi, integritas, aplikasi,
penyempurnaan dan evaluasi, serta prinsip ikhlas. Kandungan
dalam surat Al- Fatihah merupakan bimbingan total dari
penyempurnaan (Ihsan). Bacaan ini akan mampu menyelaraskan
pikiran, tindakan dan penyempurnaan seseorang untuk belajar
serta membandingkan antara idealisme. (Al-Fatihah) itu dengan
realisasi.
Dengan prinsip tersebut, seseorang memiliki kebiasaan
membaca buku dan membaca situasi dengan cermat, selalu
berpikir kritis dan mendalam, selalu mengevaluasi pemikirannya
kembali, bersikap terbuka untuk mengadakan penyempurnaan
dan memiliki pedoman yang kuat dalam belajar, yaitu
berpegang kepada Al-Qur’an.
5) Vision Principle (prinsip masa depan): Iman kepada hari kiamat.
Memiliki kepastian akan masa depan dan memilik
ketenangan batiniah yang tinggi, yang tercipta karena sebuah
keyakinan akan adanya “Hari Pembalasan”. Semakin kuat
keyakinan seseorang maka semakin tinggi pula energi dan
kekuatan seseorang untuk meraih impiannya.
Para ahli dan beberapa bukti nyata telah menunjukkan
bahwa orang-orang besar selalu memiliki visi yang kuat di
kepalanya sebelum merealisasikan di alam nyata. Inilah kunci
sebuah keberhasilan, kekuatan sebuah visualisasi. Dalam prinsip
ini seseorang diharapkan mampu berorientasi pada tujuan akhir
terhadap setiap langkah yang dibuat, melakukan setiap langkah
secara optimal dan sungguh-sungguh, memiliki kesadaran diri
dan sosial, karena telah memiliki kesadaran akan adanya “Hari
Kemudian”, memiliki kepastian akan masa depan dan memiliki

20
ketenangan batiniah yang tinggi, yang tercipta karena sebuah
keyakinan akan adanya “Hari Pembalasan”.
6) Well Organized Principle (prinsip keteraturan): Iman kepada
ketentuan Allah SWT.
Kunci dari prinsip “keteraturan” adalah sebuah disiplin.
Disiplin-lah yang akan mampu menjaga serta memelihara alur
sistem yang terbentuk. Dan kedisiplinanlah yang akan mampu
menciptakan sebuah kepastian. Tanpa kedisiplinan tatanan akan
hancur. Sebaliknya kedisiplinan akan menciptakan tatanan yang
kemudian akan menghasilkan keberhasilan.. Keteraturan adalah
dasar dari manajemen. Manajemen yang baik menurut Islam
adalah suatu keseimbangan intelektual yang diselaraskan secara
bersamaan dengan isi dan suara hati manusia, sehingga
menghasilkan pola keteraturan dan manajemen yang
berkelanjutan. Ilmu manajemen Islam adalah meniru Allah SWT
dalam menata manusia dan alam semesta dalam rangka
menciptakan kemakmuran bumi sebagai visinya. Orang yang
hidupnya teratur adalah memiliki kesadaran, ketenangan dan
keyakinan dalam berusaha, karena pengetahuan akan kepastian
hukum alam dan hukum sosial. Sangat memahami akan arti
penting sebuah proses yang harus dilalui, selalu berorientasi
pada pembentukan sistem (sinergi) dan selalu berupaya menjaga
sistem yang telah dibentuk.
Selain enam prinsip kecerdasan spiritual berdasarkan Rukun
Iman di atas, dibawah ini juga dikemukakan lima rukun Islam yang
merupakan sebuah langkah fisik yang dilakukan secara berurutan
dan sangat sistematis, yaitu :
1) Mission Statement (Penetapan Misi).
Mission statement yaitu “Dua Kalimat Syahadat” sebagai
tujuan hidup dan komitmen kepada Tuhan. Prinsip ini sangat
penting, karena akan menghasilkan kecerdasan spiritual dan

21
Akhlakul Karimah yang sangat tinggi. Bacaan syahadat akan
membangun sebuah keyakinan dalam berusaha, menciptakan
suatu daya dorong dalam upaya mencapai tujuan,
membangkitkan keberanian serta optimisme, sekaligus
menciptakan ketenangan batin dalam menjalankan misi hidup.
2) Character Building (Pembangunan Karakter).
Pembangunan Karakter tidaklah cukup hanya dimulai dan
diakhiri dengan penetapan misi saja. Hal ini perlu proses yang
dilakukan secara terus – menerus dan berlangsung sepanjang
hidup melalui gerak shalat. Proses ini merupakan langkah
penyelarasan antara nilai-nilai dasar dan kenyataan hidup yang
harus dihadapi.
Shalat adalah suatu metode yang dapat meningkatkan
kecerdasan spiritual secara terus menerus. Melalui shalat,
seseorang akan dapat memvisualisasikan prinsip hidup yang
diperolehnya melalui keenam prinsip yang ada dalam
pembangunan mental berdasarkan Rukun Iman tersebut. Dengan
menghabiskan waktu beberapa menit sehari untuk melakukan
shalat, ia memiliki waktu untuk membuat pikirannya menjadi
lebih rileks dan setelah itu ia dapat berpikir tentang dirinya serta
pemecahan-pemecahan masalah dalam lingkungannya secara
jernih.
3) Self Controlling (Pengendalian diri)
Tujuan akhir dari pengendalian diri yang dilatih dan
dilambangkan dengan puasa sebenarnya adalah mencapai
sebuah keberhasilan, bukan merupakan sebuah pelarian diri dari
kenyataan hidup di dunia yang seharusnya dihadapi. Puasa
adalah suatu metode pelatihan untuk pengendalian diri.
Bertujuan untuk meraih kemerdekaan sejati dan pembebasan
dari belenggu yang tak terkendali. Puasa yang baik akan

22
memelihara aset yang paling berharga yaitu suara hati Ilahiah
(Spiritual Sosial).

4) Social Strength (Ketangguhan Sosial)


Sesuai kehendak dasar nurani manusia, sesungguhnya
aktivitas zakat selaras dengan suara hati dirinya dan buka
merupakan paksaan bathiniah. Dalam ketangguhan social
dilambangkan dengan zakat karena zakat adalah langkah nyata
untuk mengeluarkan potensi spiritual (fitrah) menjadi sebuah
langkah konkret guna membangun sebuah sinergi yang kuat,
yaitu berlandaskan sikap empat, kepercayaan, sikap kooperatif,
keterbukaan serta kredibilitas.
5) Total Action (Aplikasi Total)
Dalam aplikasi total, haji merupakan suatu lambang dari
puncak “Ketangguhan Pribadi”. Haji adalah sublimasi dari
keseluruhan Rukun Iman; lambang perwujudan akhir dari
langkah-langkah Rukun Islam. Haji merupakan langkah
penyelarasan nyata antara suara hati dan aplikasi yang berpusat
kepada Allah Yang Maha Esa, dimana segala tujuan tak lagi
berprinsip kepada yang lain. Pelaksanaan ibadah haji adalah
suatu transformasi prinsip dan langkah secara total (thawaf),
konsistensi dan persistensi perjuangan (sa’i), evaluasi dan
visualisasi dan serta mengenal jati diri spiritual ketika wukuf
dan terakhir haji adalah persiapan fisik serta mental dalam
menghadapi berbagai tantangan masa depan (Lontar Jumroh).
Dari pemaparan tersebut, dapat dipahami bahwa rukun
Islam dan rukun Iman merupakan inti dari dari ajaran islam
yang harus diyakini dan direalisasikan dalam tindakan-tindakan
yang mengarakan kepada perilaku ahlaqul karimah dan
ketaqwaan kita kapada Allah SWT sereta membentuk
kecerdasan spiritual yang lebih matang.

23
c. Kegunaan peningkatan kecerdasan spiritual.
Penilitian Deacon, seorang neurolog dan antropolog biologi di
Harvard, menunjukan bahwa kita membutuhkan perkembangan di
bagian otak (frontal-lob, landasan SQ) supaya kita bisa
menggunakan bahasa. Perkembangan pada bagian ini
memungkinkan menjadi kreatif, visioner, dan fleksibel. Kecerdasan
spiritual digunakan pada saat:20
Berhadapan dengan masalah eksistensial seperti pada saat kita
merasa terpuruk, terjebak oleh kebiasaan, kekhawatiran, dan masalah
lalu akibat dari penyakit dan kesedihan.
Sadar bahwa kita mempunyai masalah eksistensial dan
membuat kita mempu menanganinya atau sekurang-kurangnya kita
damai dengan masalah tersebut. Kecerdasan spiritual memberi suatu
rasa rasa yang dalam menyangkut perjuangan hidup.
Perkembangan kecerdasan spiritual dibutuhkan untuk mencapai
perkembangan diri yang lebih utuh. Kecerdasan spiritual mengajak
kita memasuki jantungnya segala sesuatu, nilai-nilai kemanusiaan
(being values): Kegembiraan, rasa humor, daya cipta, kecintaan, dan
kejujuran.21
d. Indikator orang yang mempunyai kecerdasan spiritual tinggi dan
rendah.
Semua orang memiliki kecerdasan spiritual, tetapi tingkatannya
bisa berbeda-beda. Perbedaan tersebut disebabkan oleh
pengembangan terhadap kecerdasan spiritual yang dilakukan setiap
orang berbeda. Orang yang memiliki kecerdasan spiritual tinggi akan
memmiliki ciri-ciri tertentu. Mereka adalah orang yang fleksibel,
memiliki kesadaran diri, memiliki visi, dapat mengambil hikmah dari
suatu penderitaan, berpikir holistik, menikmati perbedaan, memiliki

20
Monty P. Satiadarma dan Fidelis E. Waruwu, Mendidik kecerdasan, Pedoman bagi Orang
Tua dan Guru dalam Mendidik Anak Cerdas, (Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2003), hlm.44.
21
Ibid, Hlm. 45.

24
sikap kritis, memaknai segala hal dalam konteks yang lebih luas, dan
memaknai segala aktivitas hanyalah sebuah pengabdian.22
Untuk mengetahui kecerdasan spiritual bergerak ke arah
perkembangan yang positif di dalam diri seseorang, maka ada
beberapa ciri sebagai berikut.23
1) Memiliki prinsip dan pegangan hidup yang jelas dan kuat yang
berpijak pada kebenaran universal baik yang berupa cinta,kasih
sayang, keadilan, kejujuran, toleransi, integrasi, dan lain-lain
Orang yang mempunyai prinsip maka akan berpegang pada
keyakinannya. Mengorbankan jiwa dan raga demi kebenaran.
2) Memiliki kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan
penderitaan dan memiliki kemampuan untuk menghadapi dan
melampaui rasa sakit
Orang yang mempunyai kecerdasan spiritual tinggi akan
melahirkan kualitas kesabaran yang tinggi pula. Sabar pada
hakikatnya adalah kemampuan untuk dapat menyelesaikan
kekusutan hati dan menyerah diri kepada Tuhan dengan sepenuh
kepercayaan menghilangkan segala keluhan dan berperang dalam
hati sanubari dengan segala kegelisahan.24
3) Mampu memaknai semua pekerjaan dan aktivitasnya dalam
kerangka dan bingkai yang lebih luas dan bermakna
Apapun profesi yang dilakukan akan dimaknai dengan
makna yang luas dan dalam dengan motivasi yang luhur dan suci
yaitu dengan niat yang ihlas, demi member bukan menerima,
demi orang lain bukan semata-mata demi dirinya, atau demi
manusia secara umum, dan lebih jauh lagi adalah demi
Tuhannya.

22
Aliah B. Purwakania Hasan, Psikologi Perkembangan Islam, (Jakarta: PT raja grafindo
persada, 2006), hlm. 313
23
Abdul Wahid Hasan, Op.Cit, hlm. 69-74.
24
Sulaiman Al-Kumayi, Kearifan Spiritual dari Hamka ke Aa Gym, (Semarang : Pustaka Nuun,
2004), hlm. 137.

25
4) Memiliki kesadaran diri yang tinggi
Segala sesuatu dilakukan dengan penuh kesadaran.
Kesadaran ini menjadi bagian terpenting dari bagian kecerdasan
spiritual, karena diantara fungsi “God Spot” yang ada diotak
manusia adalah mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendasar
yang mempertanyakan keberadaan diri sendiri, seperti “siapakah
aku sebenarnya?”, dan pentanyaan fundamental yang lainnya.
Secara terperinci ciri-ciri orang yang memiliki kecerdasan
spiritual adalah sebagai berikut.
1) Memiliki Visi
Mereka yang cerdas secara rohani, sangat menyadari bahwa
hidup yang dijalaninya bukanlah kebetulan tetapi sebuah
kesengajaan yang harus dilaksanakan penuh rasa tanggung jawab
(takwa). Hidup bukan hanya sekedar meniti karir, pangkat dan
jabatan, melainkan tanggung jawabnya terhadap masa depan.
Seperti firman Allah dalam sutar al-Hasr ayat 18
֠

$%"& ' !"#


-  # )* + ,֠ (
(01 / (
ִ☺16 -2 1-ִ4
:;= 0 78ִ☺7,
"Hai orang-orang yang beriman bertanggung jawablah
(bertakwa) kepada Allah dan hendaklah setiap diri
memperhatikan apa yang dipersiapkan untuk hari esok, dan
bertanggung jawablah (bertakwa) kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala yang kamu
kerjakan."25

Mereka yang menghayati makna ayat tersebut akan tampak


dari caranya meniti perjalanan hidupnya secara utuh. Mereka
menjadikan masa lalu sebagai pelajaran yang sangat berharga
25
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Dan Terjemahannya, (Semarang: Toha
Putra,1995) hlm.919

26
untuk membuat rencana yang lebih cermat, sehingga mereka
membuat proyeksi seakan-akan mereka sudah mengetahui
gambaran dirinya di masa depan. Mereka yang ingin
mempertajam kecerdasan spiritualnya menetapkan visinya
melampaui daerah duniawi atau yang bersifat duniawi, sehingga
menjadikan pertemuan Allah sebagai puncak dari pernyataan visi
pribadinya yang kemudian dijabarkan dalam bentuk perbuatan
baik yang terukur dan terarah. Dengan menetapkan pandangan
dan keyakinan seperti itu, menyebabkan kedamaian dan
kepasrahan yang luar biasa untuk selalu berbuat kebaikan dan
memenuhi harapan diri yang merindu jumpa dengan ilahi rabbi,
karena itu kita tidak mengenal wihdatul wujud seperti yang
diperkenalkan Al Hallaj atau pemikiran Nicola Decusanus
tentang "Coincidentia oppositorun" sebagaimana di kalangan
mistik aliran kepercayaan dikenal istilah manunggaling kawula
gusti yang memberi pengertian bersatunya dzat di mana aku dan
Allah menyatu, kita hanya mengenal bersatunya kehendak atau
iradah Allah dengan kehendak diri kita (manunggaling kersa)
jalan yang ditempuh adalah jalan yang sesuai dengan petunjuk
Allah (Shirath al Mustaqim).26
Orang yang sukses adalah orang yang bertindak dengan
penuh keikhlasan rasa cinta mendalam dan keterpanggilan yang
kuat, mereka memiliki paradigma terhadap masa depan sebagai
keinginan yang menyala di dalam dadanya untuk mewujudkan
impiannya, harapan yang kemudian menjadi tujuan hidupnya.
Visi berarti menetapkan satu parameter yang jelas untuk
mewujudkan apa yang belum dimilikinya untuk menjadi sesuatu
yang nyata dan bermakna.
Karena itu, visi berkaitan erat dengan cara kita memandang
hidup dan melihat apa yang kita perbuat dan harapan-harapan

26
Toto Tasmara, op.cit. hlm. 8

27
yang ingin kita raih di masa depan, ada semacam semangat
bahwa apa yang kita tanam itulah yang akan kita tunai, bila benih
kemalasan yang kita tanam maka kita akan menuai kekalahan,
bila kebencian yang ada maka permusuhanlah yang datang dan
bila kita menanam cinta kasih (rahma) tentu kita akan memetik
kedamaian hati (qolbun salim) ini telah menjadi aksioma ilahiah
sebuah hukum yang secara universal melekat pada fitrah kita
semua.27 Dengan menetapkan visi berarti akan terus berupaya
untuk mencari jalan (ikhtiar) karena mereka yang cerdas secara
ruhaniah, memiliki kepedulian terhadap akhirat setinggi
kepeduliannya terhadap duniawi.
2) Merasakan kehadiran Allah
Mereka yang bertanggung jawab dan cerdas secara
ruhaniah, merasakan kehadiran Allah di mana saja mereka berada
(omnipresence-God is all here). Mereka meyakini bahwa salah
satu produk dari keyakinannya beragama antara lain melahirkan
kecerdasan moral spiritual yang menumbuhkan perasaan yang
sangat mendalam (zauq) bahwa dirinya senantiasa berada dalam
pengawasan Allah. Ada kamera ilahiyah yang terus menyoroti
qalbunya dan mereka merasakan serta menyadari bahwa seluruh
detak hatinya diketahui dan dicatat Allah tanpa ada satupun yang
tercecer. Orang yang cerdas secara ruhaniah (spiritual)
merasakan pengawasan Allah (omniscience-the all-knowing mind
of god) Allah berfirman: dalam surat Qaf ayat 16
" >8ִ4 ) , ,#
DE>87 ' 4? @AB*C
H I16 F(= G 7
?" MN JI A"& '
)? I"R,#1 OP "֠ Q
:; = U "# =S -ִI

27
Ibid, hlm. 10

28
"Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan
mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami
lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya"(Qaaf: 16).28

Kesadaran bahwa Allah senantiasa bersamanya dan


perasaan bahwa Allah menyaksikan dirinya (musyahadah),
merupakan bentuk fitrah manusia, karena sejak awal penciptaan
telah ada perjanjian moral dan pengakuan/potensi bertuhan,
Sebagaimana firman Allah dalam surat al-A’raf ayat 172 sebagai
berikut.
Z? ִ-Y6 U ⌧R,X Q "V1
? ]ִ^ [$\ 6
E _U ` 
ab ☺c dU7V
e> a7_ִ )c Q
*A,# Q a fg &' Q
# ,֠ a h1>6 16
i Q A ') 1`⌧ A /e> 6
] # ,
'1 ִ☺ ^j "#
⌧R ִ_ )? ( k
:;no= [l1 & ⌧m
“Dan (ingatlah), ketikaTuhanmu mengeluarkan keturunan
anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil
kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
"Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul
(Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan
yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak
mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)",29

Dengan kesadaran itu pula, sebenarnya nilai-nilai moral akan


terpelihara, karena seluruh tindakan yang berasal dari pilihan
qalbunya yang berbinar cahaya (nurani) akan melahirkan
kemampuan untuk memilih atau keberpihakan yang jelas dan
lugas pada prinsip prinsip iman yang sangat merindukan

28
Departemen Agama Republik Indonesia, Op.Cit., hlm.852
29
Ibid, hlm.250

29
pertemuan dengan-Nya. Mereka yang memiliki kecerdasan
spiritual merasakan dirinya berada dalam limpahan karunia Allah,
dalam suka dan duka atau dalam sempit dan lapang mereka tetap
merasakan kebahagiaan (sa'addah, happiness) karena kepada
Allah mereka bertawakal. Tentu saja perasaan kehadiran Allah di
dalam qalbu tidak dapat datang dengan begitu saja, melainkan
harus dilatih melalui keheningan batin, mungkin hal ini hanya
diperoleh ketik keadaan jiwa dalam kondisi kontemplatif, bening
dan menarik diri untuk beberapa saat dari hiruk pikuk dunia atau
yang dalam istila sufistik dikenal dengan uzlah.30
3) Memiliki kualitas sabar
Sabar pada hakekatnya adalah kemampuan untuk dapat
menyelesaikan kekusutan hati dan menyerah diri kepada Tuhan
dengan sepenuh kepercayaan menghilangkan segala keluhan dan
berperang dalam hati sanubari dengan segala kegelisahan.31
Sabar merupakan sendi yang harus benar-benar kuat dan kokoh.
Dan lebih jauh, sabar itu inheren dalam diri seseorang. karena
bersifat inheren, maka kegagalan dalam mencapai sesuatu yang
dicita-citakan bersumber dari diri sendiri dan bukan dari orang
lain32
4) Memiliki empati
Empati adalah kemampuan seseorang untuk memahami
orang lain, mampu beradaptasi dan mampu merasakan kondisi
batin seseorang.
Merasakan rintihan dan mendengarkan debar jantungnya adalah
merupakan bentuk dari empati. Empati sosial telah dipatrikan
kepada jiwa agung Rasulullah SAW, sebagaimana firmanNya
dalam surat at-Taubah ayat 128 :

30
Toto Tasmara, Op.Cit,. hlm. 16.
31
Sulaiman Al-Kumayi, Kearifan Spiritual dari Hamka ke Aa Gym, (Semarang : Pustaka Nuun,
2004), hlm. 137
32
Ibid., hlm. 136-137

30
p G U a k ִ֠? ) , ,#
ms Y a rfA &' Q )? q
E t u I"R>8
a r"R>8 x v= w ִI
y ,☺"# 16
{E^ I%U z F U
“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari
kaum mu sendiri, berat terasa oleh nya penderitaanmu,
sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu,
amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang
mukmin”.

Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa anak yang


cerdas spiritualnya melihat orang lain bukan sebagai ancaman
melainkan kehadiran orang lain, bagi mereka yang cerdas spiritual
merupakan anugerah, karena hanya bersama orang lain itulah
dirinya akan mampu meningkatkan kualitas sebagai makhluk yang
memiliki multi potensi dihadapan Allah SWT, perbedaan dan
pluralitas dipandangnya sebagai rahmat yang akan memperkaya
nuansa atiniyah.
Seorang disebut cerdas spiritual, bila hanya peduli dengan
akhirat dengan tidak membutakan dirinya terhadap misinya di
dunia. Tujuan hidup yang hakiki adalah menetapkan target yang
tinggi terhadap penghargaan ke akhirat dan untuk meraih
ketinggian atau keluhuran hati nuraninya hanya bisa dibuktikan
dalam kehidupannya secara nyata dengan dunia.
2. Motivasi belajar menghafal al-Quran
a. Menghafal al-Quran
1) Pengertian menghafal al-Quran.
Secara bahasa, lafal Quran (‫ ) ان‬sama dengan qiraat (‫) أة‬
Ia merupakan bentuk mashdar menurut wazn (pola) fu’lan
(‫ن‬ ) seperti halnya lafal Ghufran (‫ان‬ ) dan Syukran (‫ان‬ ).
Bentuk kata kerjanya adalah qaraa’a (‫ ) أ‬yang berarti

31
( ‫وا‬ ‫ )ا‬yaitu menghimpun dan mengumpulkan.33Al-Quran
menjelaskan dalam kitab suci al-Quran sendiri dalam Surat
Hud ayat 1, Yaitu:
)*ִ☺fh)I|Q v8 t Z/ #
)*>8f\}7~ %a7E JIt
•2 1-ִ4 •E^fhִI 0 ?
“Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatNya
disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci‫و‬
yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana
lagi Maha tahu”,34
Ayat di atas mengandung pengertian bahwa al-Quran yaitu
sebuah kitab yang ayat-ayatnya ditetapkan kemudian
dijelaskan, yaitu yang ditetapkan lafalnya, diterangkan
maknanya. Karena kitab ini sempurna baik dalam
penampilannya maupun maknanya dari Yang Maha Bijaksana
dalam segala perkataan dan perbuatannya, Maha Mengetahui
kesudahan berbagai persoalan. Muhammad Isma’il Ibrahim
dalam bukunya yang berjudul “al-Quran wa I’jazah al-‘Ilmi”
mengemukakan definisi al-Quran adalah

‫ح ْاﻻَِﻣ ْﻴ َﻦ َﻋﻠَﻰ‬ ِِ ِ  َ‫ا َ◌ﻟْ ُﻘ ْﺮاَ ُن اﻟْ َﻜ ِﺮﻳْ ُﻢ ُﻫ َﻮ َﻛ َﻼ ُم‬


ُ ‫ﺮْو‬ ‫رب اﻟ َْﻌﺎﻟَﻤ ْﻴ َﻦ ﻧَـ َﺰ َل ﺑﻪ اﻟ‬
35 ِ
ِ ‫ﻤ ٍﺪ ﻟِ ِﻬ َﺪاﻳَِﺔ اﻟﻨ‬ ‫ َﺪﻧَﺎ ُﻣ َﺤ‬‫َﺧﺎﺗَ ِﻢ ْاﻻَﻧْﺒِﻴَﺎ ِء َواﻟ ُْﻤ ْﺮ َﺳﻠِ ْﻴ َﻦ َﺳﻴ‬
‫ﺎس اَ ْﺟ َﻤﻌ ْﻴ َﻦ‬

“Al-Quranul Karim adalah kalam Rabb semesta alam yang


diturunkan melalui Ruuhul amin (Malaikat Jibril) kepada
nabi dan utusan terakhir yaitu nabi Muhammad Saw
sebagai petunjuk bagi seluruh manusia”

Para ulama menyebutkan definisi Quran yang mendekati


maknanya dalam buku “Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran” al-Quran

33
Prof. Dr. Abdul Jalal H.A., Ulumul Quran, (Surabaya:Dunia Ilmu 2000) hlm. 4
34
Departemen Agama Republik Indonesia, Op.Cit., hlm. 326
35
Muhammad Isma’il Ibrahim, Al-Quran wa I’jazah al-‘Ilmi”, (Baerut: Daar al-Fikri al-
‘Arabi, t.t), hlm. 12.

32
sebagai kalam atau Firman Allah SWT, yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad saw serta yang membacanya adalah
merupakan Ibadah.36Al-Quran seratus persen berasal dari Allah
SWT, baik secara lafadz maupun makna, diwahyukan kepada
nabi dan rasulnya Muhammad saw melalui wahyu “al-Jalily”
(wahyu yang jelas) dengan turunnya malaikat Jibril sebagai
utusan Allah untuk disampaikan kepada Rasulullah dan bukan
melalui jalan wahyu yang lain.37 Al-Quran di khususkan
sebagai nama bagi kitab yang diturunkan kepada muhammad
saw, sehingga Quran menjadi nama khas bagi kitab itu, sebagai
nama diri. Dan secara gabungan kata itu dipakai untuk nama
Quran secara keseluruhan, begitu juga untuk penamaan
ayatnya.38
Dari definisi tentang al-Quran di atas dapat disimpulkan
definisi al-Quran adalah sebagai kalam dan firman Allah SWT,
yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw melalui
perantaraan jibril sebagai utusan allah yang tulis dalam mushaf
yang dijadikan sebagai pedoman bagi umat manusia seta
membacanya adalah ibadah
Menghafal adalah seseorang menyampaikan di luar kepala
(tanpa melihat tek). Dia mengokohkan dan menguatkannya di
dalam dada, sehingga mampu menghadirkan ilmu itu kapanpun
dia kehendaki. Jadi seorang dikatan hafal al-Quran adalah dia
menjaganya di luar kepala.39
2) Hukum menghafal al-Quran

36
Mudzakir AS, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran, (Bogor: Litera Antar Nusa, 2004), hlm. 17.
37
Yusuf Al-Qardhawi, Berinteraksi dengan al-Quran, (Terj. Abdul Hayyie al-Kattani,
Jakarta: Gema Insani, 1999), Cet. II, hlm. 25.
38
Mudzakir AS, Opcit, hlm. 16.
39
Abdul Qoyyum bin Muhammad, Keajaiban Hafalan, terj.ummu Abas, Yogyakarta: Pustaka
Al haura, 2008, hlm.13.

33
Para ulama bersepakat bahwa hukum menghafal al-Quran
adalah fardhu kifayah.40 Imam as-Suyuti dalam kitabnya al-
Itqan mengatakan: “ketahuilah sesungguhnya menghafal al-
Quran itu adalah fardhu kifayah bagi umat”
3) Kaidah-kaidah dalam menghafal al-Quran
Menghafal al-Quran bukanlah tugas yang mudah, untuk itu
butuh keseriusan dan ketekunan dengan memperhatikan
kaidah-kaidah pokok sebagi berikut
a) Ikhas
b) Tekad yang bulat.
c) Memahami besarnya nilai amalan
d) Mengamalkan apa yang diamalkan
e) Membentengi diri dari perbuatan dosa.
f) Berdoa
g) Memahami makna ayat dengan benar.
h) Menguasai ilmu tajwid.
i) Mengulang-ulang bacaan.
j) Melakukan shalat dengan membaca ayat-ayat yang telah
dihafalkan.41
b. Motivasi belajar menghafal al-Qur’an
1) Pengertian Motivasi Belajar.
Motivasi adalah dorongan yang timbul pada diri
seseorang secara sadar atau tidak sadar untuk melakukan suatu
tindakan dengan tujuan tertentu.42 Ada juga yang mengatakan
bahwa motivasi adalah segala sesuatu yang mendorong
seseorang untuk bertindak melakukan sesuatu.43Belajar
menurut Syaiful Bahri Djamarah adalah serangkaian kegiatan

40
Sa’dullah,S. Q., Cara Praktis Menghafal al-Quran, (Jakarta: gema Insani, 2008)
41
Raghib as-sirjani, Abdurrahman Abdul Khaliq, Cara Cerdas Hafal al-Quran, terj.Sarwedi
Hasibun, Arif Mahmudi, Solo: Aqwam, 2008, hlm.55
42
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka 2003) hlm. 756
43
Drs. M. Drs. M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosda
Karya 2000), hlm. 60.

34
jiwa raga untuk memperoleh suatui perubahan tingkah laku
sebagai hasil dari pengalaman individu dalam interaksi dengan
lingkungannya yang menyangkut kognitif, avektif, dan
psikomotorik.44
Dengan demikian yang dimaksud motivasi belajar
menghafal al-Quran adalah keseluruhan daya penggerak di
dalam diri yang menimbulkan kegiatan belajar menghafal dan
memberikan arahan pada kegiatan belajar itu demi tercapainya
suatu tujuan yaitu dapat menghafalkan al-Quran dengan baik
dan benar.
2) Macam-macam Motivasi Belajar.
Pendapat mengenai klasifikasi motivasi ada bermacam-
macam. Beberapa yang terkenal di antaranya adalah yang
dikemukakan oleh:
Menurut Chaplin, motivasi dapat dibagi menjadi dua,
yaitu:
a) Physiological Drive ialah dorongan-dorongan yang
bersifat fisik seperti lapar, haus, seks dan sebagainya.
b) Social Motives ialah dorongan-dorongan yang
berhubungan dengan orang lain seperti estetis yaitu
dorongan ingin selalu berbuat baik dan etis.
Sedangkan WoodWorth dan Marquis yang dikutip oleh M.
Ngalim Purwanto menggolongkan motivasi menjadi tiga
macam, yaitu:
a) Kebutuhan-kebutuhan organis yaitu motivasi yang
berkaitan dengan kebutuhan dengan dalam diri
manusia.
b) Motivasi yang timbul sekonyong-konyong (emergency
motives) ialah motif yang timbul jika situasi menuntut

44
Syaiful Bahri Djamarah. Psikologi Belajar, (Jakarta: Rineke Cipta, 2008), hlm. 13

35
timbulnya tindakan kegiatan yang cepat dan kuat dari
kita.
c) Motivasi objektif, yaitu motivasi yang diarahkan
kepada objek atau tujuan tertentu di sekitar kita.
Motivasi ini timbul karena dorongan dalam diri kita
tanpa kita sadari.45
Selain kedua tokoh di atas, beberapa psikolog ada yang
membagi motivasi menjadi dua yaitu:
a) Motivasi Instrinstik adalah motif-motif yang menjadi
aktif atau berfungsinya tidak perlu dirangsang dari
luar, karena dalam dirinya sudah ada dorongan untuk
melakukan sesuatu. Contohnya anak yang senang
membaca, tidak usah ada yang menyuruhnya, ia rajin
mencari buku untuk dibacanya.
b) Motivasi ekstrinsik adalah motif-motif yang aktif dan
berfungsi karena adanya perangsang dari luar
contohnya anak belajar karena tahu besok paginya
akan ujian dengan mendapatkan nilai baik.46Dalam al-
Quran ditemukan beberapa bentuk dorongan yang
mempengaruhi manusia. Dorongan-dorongan yang
dimaksud dapat berbentuk instingtif dalam bentuk naluriyah
maupun dorongan terhadap hal-hal yang memberikan
kenikmatan. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT.dalam
surat al-Rum ayat 30 sebagai berikut:

45
M. Ngalim Purwanto, Opcit, hlm. 64
46
Sardiman, A.M., Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada 2006) hlm. 91

36
ِ ِ ِ  ِ ِ ِ َ ‫ﻓَﺄَﻗِﻢ وﺟﻬ‬
‫ﻳﻞ‬ َ ‫ﻳ ِﻦ َﺣﻨﻴ ًﻔﺎ ﻓﻄ َْﺮةَ اﻟﻠﻪ اﻟﺘﻲ ﻓَﻄََﺮ اﻟﻨ‬‫ﻚ ﻟﻠﺪ‬
َ ‫ﺎس َﻋﻠَْﻴـ َﻬﺎ َﻻ ﺗَـ ْﺒﺪ‬ َْ َ ْ
‫ﺎس َﻻ ﻳَـ ْﻌﻠَ ُﻤﻮ َن‬ ِ ‫ﻦ أَ ْﻛﺜَـ َﺮ اﻟﻨ‬ ‫ ُﻢ َوﻟَ ِﻜ‬‫ﻳﻦ اﻟْ َﻘﻴ‬ َ ِ‫ ِﻪ ذَﻟ‬‫ﻟِ َﺨﻠ ِْﻖ ااﻟﻠ‬
ُ ‫ﺪ‬ ‫ﻚ اﻟ‬
﴾ ٣٠:‫﴿اﻟﺮوم‬

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada (Allah);


(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.
(Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui” (QS. al-Rum: 30)

Ayat di atas menekankan sebuah motivasi bawaan dalam


wujud fitrah, yaitu sebuah potensi dasar. Potensi dasar yang
memiliki makna sifat bawaan mengandung arti, bahwa sejak
diciptakan manusia memiliki sifat bawaan yang menjadi
pendorong untuk melakukan berbagai macam perbuatan. Namun,
dalam perspektif kognitif, motivasi yang lebih signifikan bagi
anak adalah motivasi intrinstik karena lebih murni dan langgeng
serta tidak tergantung pada dorongan atau pengaruh orang lain.
3) Fungsi motivasi belajar
Motivasi dalam belajar sangat menentukan keberhasilan
pencapaian tujuan pembelajaran. Dalam pembelajaran,
motivasi mempunyai fungsi sebagai berikut:
a) Motivasi sebagai pendorong kegiatan.
Pada mulanya anak didik tidak ada hasrat untuk belajar,
tetapi karena ada sesuatu yang dicari muncullah minatnya
untuk belajar.
b) Motivasi sebagi penggerak perbuatan.
Dorongan psikologis yang melahirkan sikap terhadap anak
didik itu merupakan sesuatu kekuatan yang tidak
terbendung, yang kemudian terjelma dalam bentuk
gerakan psikofisik.
c) Motivasi sebagai pengarah perbuatan.

37
Anak didik yang mempunyai motivasi dapat menyeleksi
mana perbuatan yang harus dilakukan dan mana perbuatan
yang diabaikan.47
4) Cara Membangkitkan Motivasi Belajar
Minat belajar pada anak dalam belajar membaca al-
Quran tidak selamanya menggebu-gebu, juga tidak selamanya
akan pudar begitu saja, sebab dalam diri anak rasa ingin tahu
terhadap sesuatu akan selalu tumbuh, dan hal ini merupakan
langkah awal yang harus dipahami orang tua. Motivasi sebagai
suatu dorongan kehendak yang menyebabkan seseorang
melakukan suatu perbuatan untuk mencapai tujuan tertentu.
Dalam belajar tingkat ketekunan siswa sangat ditentukan oleh
adanya motivasi dan kuat lemahnya motivasi belajar yang
ditimbulkan motivasi tersebut.
Ada berbagai pendapat tentang tori motivasi di
antaranya:
a) Teori Hedonisme yaitu suatu aliran dalam filsafat yang
memandang bahwa hidup itu untuk mencari kesenangan
(hedone) yang bersifat duniawi. Siswa dalam suatu kelas
merasa gembira apabila guru matematikanya tidak dapat
hadir karena sakit. Menurut teori ini para siswa harus
diberi motivasi yang tepat agar tidak malas dengan
memenuhi kemauannya.
b) Teori naluri yaitu pada dasarnya manusia memiliki tiga
naluri yaitu
% dorongan nafsu (naluri) mempertahankan diri
% dorongan nafsu (naluri) mengembangkan diri
% dorongan nafsu (naluri) mempertahankan atau
mempertahankan jenis.

47
Syaiful Bahri Djamarah. Op.Cit, hlm. 157.

38
Dengan dimilikinya ketiga naluri pokok itu, maka
kebiasaan-kebiasaan dan tingkah laku manusia yang
diperbuatnya setiap hari menbdapatkan dorongan atau
digerakkan ketiga naluri tersebut.
c) Teori reaksi yang dipelajari, berpandangan bahwa tindakan
atau perilaku manusia tidak didasarkan naluri, tetapi
berdasarkan pola-pola tingkah laku yang dipelajari dari
kebudayaan ditempat orang itu hidup.
d) Teori daya pendorong yaitu perpaduan dari “teori naluri”
dengan teori “reaksi yang dipelajari”.
e) Teori kebutuhan yaitu tindakan yang dilakukan oleh
manusia adalah untuk memenuhi kebutuhannya, baik
kebutuhan fisik maupun psikis.48
Pada umumnya motivasi seorang anak belajar
menghafal al-Quran itu lebih dari satu atau bersifat majemuk.
Seorang anak belajar dengan rajin biasanya tidak hanya karena
motivasi ingin menuntut ilmu tetapi juga karena motivasi
ingin mendapat pujian, merasa butuh, meniru orang lain,
mendapatkan hadiah dan karena motivasi-motivasi yang lain.
Jelaslah bahwa semakin banyak motivasi yang ada pada diri
anak, maka akan semakin kuatlah motivasi belajarnya. Anak
mempunyai motivasi belajar karena didorong oleh motivasi
intrinstik dan ekstrinsik. Seandainya anak dalam belajar itu
didorong oleh motivasi intrisik maka anak itu belajar dengan
inisiatif sendiri tanpa dorongan oleh orang lain.
Dengan kata lain motivasi intrinsik itu akan
memungkinkan seorang anak bersikap mandiri dalam
melakukan aktivitas belajar. Motivasi belajar anak dapat
dibangkitkan dengan mengusahakan agar anak memiliki
motivasi intrinsik dan ekstrinsik dalam belajar membaca al-

48
M. Ngalim Purwanto, Opcit, hlm. 74

39
Quran tersebut. Sebab motivasi belajar siswa akan semakin
kuat jika anak juga memiliki motivasi ekstrinsik di samping
motivasi intrinsik.
Cara membangkitkan motivasi juga dapat dilakukan
dengan memiliki berbagai keinginan yang perlu dimiliki untuk
membangkitkan motivasi belajar, yaitu:
1. Memberi angka
2. Hadiah
3. Saingan/kompetisi
4. Memberi ulangan
5. Mengetahui hasil
6. Pujian
7. Hukuman
8. Hasrat untuk belajar
9. Minat
10. Tujuan yang diakui.49
5) Faktor-faktor pemengaruh Motivasi Belajar
Dalam kegiatan belajar, berlangsung dan keberhasilannya
bukan hanya ditentukan oleh faktor intelektual tetapi juga
faktor-faktor non intelektual termasuk salah satunya ialah
motivasi. Karena belajar itu adalah suatu proses yang timbul
dari dalam, maka faktor motivasi memegang peranan penting
juga. Jika guru dapat memberikan motivasi yang baik dalam
diri peserta didik maka akan menumbuhkan dorongan dan
hasrat untuk belajar yang lebih baik. Peserta didik dapat
menyadari pentingnya belajar dan apa tujuan yang hendak
dicapai dengan pelajaran itu jika diberi perangsang, diberi
motivasi yang baik dan sesuai.50

49
Sardiman, A.M., Opcit, hlm.92-94
50
M. Ngalim Purwanto, Opcit, hlm.104

40
Usaha dan keberhasilan belajar dipengaruhi oleh banyak
faktor. Faktor tersebut dapat bersumber pada dirinya atau di luar
dirinya atau lingkungannya.
a) Faktor-faktor dalam diri individu
Banyak faktor yang ada dalam diri siswa yang
mempengaruhi usaha dan keberhasilan belajarnya. Faktor
tersebut menyangkut aspek jasmani dan rohani.
Keberhasilan belajar seseorang juga dipengaruhi oleh
ketrampilan-ketrampilan yang dimiliki seperti ketrampilan
membaca, berdiskusi dan lain-lain.
Secara global, faktor-faktor yang mempengaruhi
belajar peserta didik dapat kita bedakan menjadi dua
macam, yakni:
1) faktor-faktor fisiologis, dibedakan lagi menjadi dua:
a) keadaan tonus jasmani, pada umumnya melatar
belakangi aktivitas belajar. keadaan jasmani
yang segar akan lain pengaruhnya terhadap
jasmani yang tidak segar, keadaan jasmani yang
lelah akan lain pengaruhya dengan yang tidak
lelah.
b) Keadaan fungsi-fungsi jasmani tertentu terutama
fungsi indera, baik fungsinya panca indera
merupkan syarat dpatnya belajar itu dengan
baik.
2) faktor-faktor psikologis, Arden N. Frandsen yang
dikutip Sumadi Suryabrata mengatakan bahwa hal
yang mendorong seseorang belajar itu adalah
sebagai berikut
a) Adanya sifat ingin tahu dan ingin menyelidiki
dunia yang lebih luas.

41
b) Adanya sifat yang kreatif yang ada pada manusia
dan keinginan untuk selalu maju.
c) Adanya keinginan untuk mendapatkan simpati
dari guru, orang tua dan teman-teman.
d) Adanya keinginan memperbaiki kagagalan yang
lalu dengan usaha baru, baik kooperasi maupun
kompetisi.
e) Adanya keinginan untuk mendapatkan rasa aman
bila menguasai pelajaran.
f) Adanya ganjaran atau hukuman sebagai akhir
belajar.

b) Faktor yang ada di luar individu yang disebut faktor sosial.


1) faktor-faktor non sosial, yang boleh dikata dapat
dibilang jumlahnya antara lain: keadan udara, suhu,
cuaca, waktu (pagi, siang ataupun malam)
2) faktor-faktor sosial, yaitu faktor manusia (sesama
manusia), baik manusia itu hadir maupun tidak
langsung hadir; misalnya anak sedang belajar, ada anak
hilir mudik keluar masuk kamar itu.51
3. Korelasi tingkat kecerdasan spiritual dan motivasi menghafal al-Quran
Kecerdasan spiritual diibaratkan sebagai permata yang tersimpan
dalam batu.52 Dalam terminologi Islam dapat dikatakan bahwa
kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang bertumpu pada qalbu.
Qalbu inilah yang merupakan pusat kendali semua gerak anggota tubuh
manusia, Ia adalah raja bagi semua anggota tubuh yang lain, semua
aktivitas manusia berada di bawah kendalinya. Jika qalbu ini baik,

51
Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo 1995) Hlm. 249-252
52
Suharsono, Melecitkan IQ, IE, IS, (Depok: Inisiasi Press, 2002), hlm. 134.

42
maka gerak dan aktivitas anggota tubuh lain akan baik; demikian juga
sebaliknya.53 Dan hati ini merupakan cermin dari tingkah laku
seseorang sehingga baik buruk budi pekerti, tingkah laku manusia
ditentukan oleh kualitas hatinya.
Hadits Nabi yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim
menyebutkan:

:‫ ﺳﻤﻌﺖ اﻟﻨﻌﻤﺎن اﺑﻦ ﺑﺸﻴﺮ ﻳﻘﻮل‬:‫ ﺣﺪﺛﻨﺎ زﻛﺮﻳﺎ ﻋﻦ ﻋﺎﻣﺮ ﻗﺎل‬: ‫ﺣﺪﺛﻨﺎ اﺑﻮ ﻧﻌﻴﻢ‬
‫ اﻻ وان ﻓﻲ اﻟﺠﺴﺪ ﻣﻀﻐﺔ اذا‬:‫ﺳﻤﻌﺖ رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻳﻘﻮل‬
‫ اﻻ وﻫﻲ اﻟﻘﻠﺐ‬،‫ واذا ﻓﺴﺪت ﻓﺴﺪ اﻟﺠﺴﺪ ﻛﻠﻪ‬،‫ﺻﻠﺤﺖ ﺻﻠﺢ اﻟﺠﺴﺪ ﻛﻠﻪ‬
54
(‫)رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى‬

Telah menceritakan pada kami Abu Nuaim Dia berkata :


Zakariya telah menceritakan kepada kami dari Amir berkata “
Aku mendengar Nu’man bin Basir bahwa Rasulullah saw
bersabda: Ketahuilah bahwa didalam tubuh manusia ada
segumpal daging, jika ia baik maka baiklah seluruh jasadnya, jika
ia rusak maka rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah itu adalah
hati.

Orang yang kecerdasan spiritualnya berkembang dengan baik


memiliki pemahaman tentang tujuan hidup. Danah Zohar dan Ian
Marsall menggambarkan orang yang memiliki kecerdasan spiritual
tinggi sebagai orang yang mampu bersikap fleksibel, mampu
beradaptasi secara spontan dan akif, mempunyai kesadaran diri yang
tinggi,mampu menghadapi dan memanfaatkan penderitaan, rasa sakit,
memiliki visi dan prinsip nilai, mempunyai komitmen dan bertindak
penuh tanggung jawab.55 Dengan demikian, kecerdasan spiritual
mengarahkan kita untuk merefleksikan secara lebih dalam apa yang kita
pikir, kita inginkan, menempatkan apa yang kita inginkan kedalam

53
Abdul Wahid Hasan, Op.Cit, hlm.63.
54
Imam Abi Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah bin Barezalah
Bukhari Ja’farin,Shahih Bukhari juz I, (Beirut Libanon: Darul al-Kutub al-Ikmiyah, 1992M/1424),
hlm.23
55
Monty P. Satria Darma dan Fidelis E.Waruwu (eds.), Mendidik Kecerdasan Pedoman Bagi
Orang Tua Dan Guru Mendidik Anak Cerdas ,(Jakarta: Pusataka Popular obor, 2003), hlm.45

43
kerangka yang lebih dalam dan luas dari motivasi dan tujuan hidup kita
yang lebih dalam.
Utuk menghafal teks al-Qur’an dan mendalami makna yang
terkandung di dalamnya, maka dibutuhkan kesadaran bahwa al-Qur’an
merupakan kebutuhan pokok untuk mewujudkan kehidupan yang
bahagia di dunia dan di akhirat. Karena pada dasarnya tindakan yang
dilakukan oleh manusia adalah untuk memenuhi kebutuhannya, baik
kebutuhan fisik maupun psikis.56 Motivasi dari dalam diri sendiri yaitu
berupa kesadaran makna suatu tujuan, merupakan dorongan yang paling
kuat pada diri seseorang melakukan suatu tindakan secara terarah untuk
mencapai tujuan.
Dengan usaha-usaha yang telah dilakukan, Allah telah
menanamkan al-Qur’an dalam jiwa umat muhammad yang bersih dan
suci. Firman Allah dalam al-Qur’an disebutkan:

﴾ َ‫ﱠ ُون‬#$َ ُ ْ ‫﴿ َ "َ َ ﱡ! ُ إِ ﱠ ا‬


Tidak akan menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan
(Q.S. al-Waaqi’ah: 79).57

Kesucian jiwa dapat terbentuk dengan pengembangan


kecerdasan spiritual seseorang secara optimal.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kecerdasan spiritual
merupakan faktor penting dalam menumbuhkan motivasi sehingga
seseorang terdorong dan tergerak untuk menghafalkan al-Quran secara
baik dan terarah.

B. Kajian Peneletian Yang Relevan


Untuk menghindari adanya plagiat maka berikut peneliti sertakan
beberapa literetur serta hasil penelitian yang ada relevansinya terhadap

56
M. Ngalim Purwanto, Opcit, hlm. 74
57
Departemen Agama Republik Indonesia, Op.Cit., hlm. 897.

44
skripsi yang akan diteliti sebagai bahan perbandingan dalam mengupas
berbagai masalah yang ada, di antaranya :
1. Hubungan Antara Kecerdasan Spiritual Dengan Prestasi Belajar Aqidah
Ahlak Peserta Didik di Mts Nurul Muslim Batualit Jepara Oleh Fitrotun
Ni’mah Tahun 2007.58 Di dalamnya disimpulkan bahwa ada pengaruh
yang positif kecerdasan spiritual dan prestasi belajar aqidah ahlak peserta
didik di Mts Nurul Muslim Batualit Jepara.
2. Studi Korelasi Antara Kecerdasan Spiritual Dengan Prestasi Belajar
Pendidikan Agama Islam Siswa Smk Gajah Mungkur 2 Gritontro
Wonogiri Oleh Andrea Setyawan Tahun 2006.59 Di dalamnya disimpulkan
bahwa ada pengaruh positif kecerdasan spiritual dan prestasi belajar
pendidikan Agama Islam Siswa Smk Gajah Mungkur 2 Gritontro
Wonogiri.
3. Pengaruh Kecerdasan Spiritual Terhadap Etos Kerja Guru Di SD Al-
Azhar 25 Semarang Oleh Noor Fitria Tahun 2007.60 Di dalamnya
disimpulkan bahwa kecerdasan spiritual berpengaruh positif terhadap etos
kerja guru di SD Al-Azhar 25 Semarang.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penelitian ini berbeda
dengan literature tersebut. Penelitian ini untuk mengetahui hubungan
kecerdasan spiritual dan motivasi belajar santri pondok pesantren Quran
al-Aziziyah Beringin Ngalian Semarang yang lebih condong kepada
kondisi psikis yaitu motivasi dalam belajar bukan suatu hasil dari
pembelajaran.

C. Pengajuan Hipotesis

58
Skipsi Fitrotunni’mah, Hubungan antara kecerdasan spiritual dengan prestasi belajar akidah
ahlak peserta didik di MTs Nurul Muslim Batealit Jepara tahun ajar 2006/2007,3102294,
Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN semarang,2007.
59
Skripsi Andreat Setyawan, Hubungan antara kecerdasan spiritual dengan prestasi belajar
Pendidikan Agama Islam Siswa SMK Gajah Mungkur 2 GrintoroWonogiri Tahun Ajaran
2005/2006,3102252, Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN semarang,2007.
60
Skripsi Nur fitria, Pengaruh kecerdasan spiritual terhadap etos kerja guru di SD Al-Azhar 25
Semarang Tahun Ajaran 2006/2007 , Semarang, Fakultas Tarbiyah IAIN WaliSongo Semarang
2007.

45
Hipotesis merupakan jawaban sementara atau permasalahan yang
dipahami, jawaban ini dapat benar, atau salah tergantung pembuktian nanti
di lapangan. Sebagaimana diungkapkan oleh Sutrisno Hadi : “Hipotesis
adalah dugaan yang mungkin benar, mungkin salah atau palsu, dan akan
diterima jika faktor-faktor yang membenarkannya”. Jadi hipotesis
penelitian adalah “Jawaban sementara terhadap masalah penelitian, yang
kebenarannya masih harus diuji secara empiris.61
Dalam penelitian ini penulis mendeskripsikan hipotesis sebagai
berikut: bahwa ada hubungan positif antara kecerdasan spiritual dan
motivasi belajar menghafal al-Quran santri pondok peasantren Quranil
Aziziyah.
Mengingat hipotesis adalah jawaban atau dugaan sementara yang
mungkin benar atau mungkin salah, maka dilakukan pengkajian pada
bagian analisis data untuk mendapat bukti apakah hipotesis yang diajukan
itu dapat diterima atau tidak.

61
Sutrisno Hadi, Metodologi Research I, (Yogyakarta : Andi Offset, 2000), hlm. 63.

46

Anda mungkin juga menyukai